• Tidak ada hasil yang ditemukan

Efektifitas Pelaksanaan Program Kartu Indonesia Sehat Dalam Pelayanan Kesehatan di Pusat Kesehatan masyarakat (PUSKESMAS) (Studi pada Puskesmas Sei Agul Kec. Medan Barat Kota Medan)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Efektifitas Pelaksanaan Program Kartu Indonesia Sehat Dalam Pelayanan Kesehatan di Pusat Kesehatan masyarakat (PUSKESMAS) (Studi pada Puskesmas Sei Agul Kec. Medan Barat Kota Medan)"

Copied!
50
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 mengamanatkan

bahwa pelayanan Kesehatan merupakan salah satu aspek dari hak asasi manusia,

yaitu sebagaimana yang tercantum dalam pasal 28 H ayat (1) :“setiap orang

berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapat

lingkungan hidup yang baik dan sehat, serta berhak memperoleh pelayanan

kesehatan”. Dengan amanat tersebut maka pemerintah wajib melayani setiap

warga Negara dan penduduk untuk memenuhikebutuhan dasarnya dalam rangka

meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Badan kesehatan dunia (WHO) juga telah menetapkan bahwa kesehatan

merupakan investasi, hak, dan kewajiban setiap manusia sebagai masyarakat

dunia, dimana kutipan tersebut tertuang dalam Pasal 28 ayat (3) Undang-undang

Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang disingkat dengan (UUD NRI)

dan Undang-undang nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan yang disingkat

dengan (UUK), menetapkan bahwa setiap orang berhak mendapatkan pelayanan

kesehatan. Karena itu setiap individu, keluarga dan masyarakat berhak

memperoleh perlindungan terhadap kesehatannya, dan setiap negara

bertanggungjawab untuk mengatur pelaksanaannya agar terpenuhi hak hidup sehat

bagi setiap penduduknya termasuk untuk masyarakat miskin dan yang tidak

(2)

Kepentingan publik harus dilaksanakan oleh pemerintah sebagai

penyelenggara Negara dengan melalui berbagai sektor pelayanan, terutama yang

menyangkut pemenuhan hak hak sipil dan kebutuhan dasar masyarakat dengan

kata lain seluruh kepentingan yang menyangkut kepentingan hidup orang banyak

terutama dibidang kesehatan. Pelayanan di bidang kesehatan merupakan salah

satu bentuk pelayanan yang paling banyak di butuhkan oleh masyarakat oleh

karena itu pelaksanaan kesehatan di Indonesia sangat penting untuk dilaksanakan

dengan tujuan agar mampu meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan

hidup sehat bagi setiap orang sehingga mampu mewujudkan kesejahteraan umum

bagi seluruh rakyat Indonesia dalam perwujudan jaminan kesehatan bagi seluruh

lapisan masyarakat.

Dalam hal ini penerapan desentralisasi dalam bidang kesehatan di Indonesia

memberi ruang yang lebih luas bagi pemerintah daerah untuk meningkatkan

pembangunan kesehatan termasuk di dalamnya pelayanan kesehatan dalam rangka

mencapai kesejahteraan masyarakat. Desentralisasi kesehatan, dalam hal ini

pelayanan kesehatan di daerah, harus dilaksanakan secara menyeluruh kepada

seluruh lapisan masyarakat termasuk masyarakat miskin.

Desentralisasi pembangunan kesehatan bertujuan untuk mengoptimalkan

pembangunan bidang kesehatan dengan cara lebih mendekatkan pelayanan

kesehatan kepada masyarakat sehingga diharapkan pembangunan kesehatan lebih

efektif dan efisien untuk menjawab kebutuhan kesehatan masyarakat. Hal ini

dimungkinkan karena memperpendek rantai demokrasi dan atau melahirkan

(3)

tertentu termasuk dalam pengalokasian dana bahkan dengan melibatkan

masyarakatnya sebagai salah satu potensi lokal yang dapat dieksplorasi sumber

dayanya baik dari segi tenaga maupun pikiran.

Namun sebagian besar masyarakat di Indonesia merupakan kalangan

masyarakat yang berasal dari kelas ekonomi menengah kebawah yang tentu saja

rentan terhadap berbagai permasalahan kesehatan seperti terbatasnya akses untuk

mendapatkan fasilitas layanan kesehatan. Hal tersebut berdampak bagi kehidupan

masyarakat itu sendiri seperti rendah nya kemampuan akses mayarakat terhadap

pelayanan kesehatan, rendahnya upaya pencegahan penyakit dan perilaku hidup

sehat dikalangan masyarakat, rendahnya pengetahuan tentang berbagai gejala dan

jenis penyakit, rendahnya kualitas lingkungan dan ketidak merataan penyebaran

tenaga kesehatan.

Maka dari itu dibentuk suatu program pelayanan kesehatan oleh pemerintah

dalam upaya memberikan pelayanan kesehatan yang mampu menjangkau semua

lapisan masyarakat terutama yang berada di bawah garis kemiskinan. Dalam hal

ini program tersebut bernama Kartu Indonesia Sehat yang dikerluarkan oleh

Presiden Joko Widodo.

Program Kartu Indonesia Sehat(KIS) sebagai suatu sistem perlindungan

sosial untuk menjamin masyarakat yang tergolong miskin agar dapat memenuhi

kebutuhan dasar layak yang akan sangat menentukan kualitas hidup warga negara.

Kartu Indonesia Sehat akan menyediakan layanan kesehatan dan jaminan

pendapatan kepada masyarakat miskin di saat mengalami risiko hidup; sakit,

(4)

Kartu Indonesia Sehat diarahkan agar setiap penduduk dapat terhindar dari risiko

hidup dan dapat memenuhi kebutuhan dasar yang layak sehingga terwujudlah

kesejahteraan bersama.

Sebagaimana yang tercantum dalam Konstitusi Negara Kesatuan Republik

Indonesia yaitu Undang-Undang Dasar 1945 terutama pada Pasal 28 (ayat 3) dan

Pasal 34 (ayat 2) mengamanatkan bahwa “Jaminan Sosial adalah hak setiap warga negara” dan “Negara mengembangkan Sistem Jaminan Sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu”. Berdasarkan

landasan konstitusi tersebut maka Presiden Joko Widodo melalu Nawacita

mengeluarkan Program Kartu Indonesia Sehat yang diperuntukkan untuk

masyarakat yg tergolong di dalam kategori miskin.

Jika melihat ide dasar Kartu Indonesia Sehat(KIS), Predisen Joko Widodo

menegaskan bahwa KIS dengan BPJS Kesehatan tidak bisa dipertentangkan,

karena ini satu kesatuan sistemik. (Surapaty (2014) menambahkan bahwa KIS

merupakan kartu peserta Jaminan Kesehatan yang berlaku secara nasional dalam

kerangka SJSN. Sehingga semua penduduk wajib menjadi peserta dengan

membayar iuran. Bagi warga fakir, miskin dan tidak mampu, iurannya dibayarkan

oleh pemerintah.

Secara regulatif, Kartu Indonesia Sehat (KIS) berkaitan dan sejalan dengan

amanat:

(5)

b) Pasal 13 Huruf (a) UU Nomor 24/2011 tentang BPJS bahwa dalam

melaksanakan tugasnya, BPJS berkewajiban untuk “memberikan nomor identitas tunggal kepada peserta”;

c) Pasal 8 Peraturan Pemerintah Nomor 101/2011 tentang Penerima Bantuan Iuran

Jaminan Kesehatan bahwa “BPJS kesehatan wajib memberikan nomor identitas

tunggal kepada peserta Jaminan Kesehatan yang telah didaftarkan oleh menteri

yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang Kesehatan”.

Di dalam Kartu Indonesia Sehat terdapat dua pendekatan, yaitu kuantitas

dan kualitas. Dari segi kuantitas, ada tambahan peserta PBI yang saat ini tercatat

dalam program JKN yang jumlahnya sekitar 86,4 juta. Jika sebelumnya

penyandang masalah kesejahteraan keluarga (PMKS) belum terdaftar dalam

peserta PBI, dengan KIS ini akan dikaver. Sementara dari segi kualitas, KIS

mengintegrasikan layanan preventif, promotif, diagnosis dini di dalam skim yanag

ada di Kementerian Kesehatan. Prosedur pelayanan kesehatan peserta KIS

disesuaikan dengan prosedur yang selama ini diterapkan dalam program JKN

yang dikelola BPJS Kesehatan, yaitu berdasarkan sistem rujukan berjenjang,

sesuai dengan indikasi medis, serta tidak ada batasan umur. Terdapat 19.682

fasilitas kesehatan tingkat pertama (puskesmas, klinik, dokter prakter perorangan,

optik dsb) dan 1.574 rumah sakit se-Indonesia, termasuk 620 rumah sakit swasta,

yang siap melayani peserta KIS.

Di kota Medan, Kartu Indonesia Sehat sendiri sudah sering dibagikan, dan

(6)

meningkatkan pelayanan kesehatan bagi masyarakat kurang mampu, sebagaimana

yang penulis dapati dalam artikel online tentang pembagian KIS yaitu:

“Sebanyak 1.473 Kartu Indonesia Sehat (KIS) dibagikan pada sejumlah warga Kota Medan, terutama yang kurang mampu mendapatkan pelayanan kesehatan. Pj Walikota Medan yang di-wakilkan oleh Asisten Kesejahteraan Masyarakat (Askesmas) Setdakot Medan, Erwin Lubis. Dia mengatakan, dalam rangka me-menuhi kebutuhan dasar masyarakat di bidang kesehatan, pihaknya menjamin dan memastikan masyarakat kurang mampu untuk mendapatkan pelayanan kesehatan melalui Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang diselenggarakan oleh BPJS Kesehatan. “Untuk itu saya berharap agar kartu ini terdistribusi secara ketat dan tepat pada sasarannya yakni keluarga tidak mampu yang ada di Kota Medan. Dengan demikian mereka dapat menjangkau akses terhadap pelayanan kesehatan jika dibutuhkan,”kata Erwin sembari menjelaskan secara keseluruhan ada sebanyak 83.375 KIS yang direncanakan akan dikeluarkan untuk warga Kota Medan. Berdasarkan hal tersebut, Erwin meminta kepada camat beserta jajarannya dan pihak BPJS Kesehatan untuk mendata secara seksama. Masyarakat yang kurang mampu yang harus benar-benar mendapatkan KIS. “Saya tidak ingin kita salah mendata, sehingga KIS yang diberikan ini salah sasaran. Pesannya kepada media.” (http://sumut.pojoksatu.id/2016/02/04/puluhan-warga-medan-kecewa-kartu-indonesia-sehat-dicoret-tanpa-pemberitahuan/ di akses pada 27 Maret 2016 pukul 20.30 wib)

Kemudian di dalam proses implementasinya, program Kartu Indonesia

Sehat juga mengalami yang namanya masalah-masalah yang membuat program

ini tidak dapat berjalan dengan efektif dan efisien, hal ini diperkuat oleh temuan

penulis di salah satu berita online yang memuat tentang tidak tepatnya masyarakat

kota Medan terkhusus Kecamatan Medan Barat yang mendapatkan KIS dan juga

kurangnya pelayanan kesehatan di tingkat Posyandu, Puskesmas Kecamatan

(7)

“Banyaknya warga miskin yang tidak mendapatkan BPJS gratis dan Kartu Indonesia Sehat (KIS), membuat warga resah. Warga meminta Pemerintah Kota Medan benar-benar melakukan pendataan ulang masyarakat miskin dan tidak mampu sehingga program tersebut tepat sasaran. Usulan warga ini mengemuka dalam reses III Tahun 2015, Anggota DPRD Medan H.Rajudin Sagala, S.Pd.I yang dilaksanakam di Jl. Sekata Gg. Alfalah Kelurahan Karang Berombak Kec. Medan Barat, Rabu 2 Desember 2015. Amir Husen, warga Jl. Karya Dame Gg. Pribadi Kelurahan Karang Berombak Kec. Medan Barat mengatakan, "Kami meminta pemerintah untuk segera mendata ulang masyarakat Kota Medan yang betul-betul berhak layak menerima BPJS/KIS (Kartu Indonesia Sehat) dan Kartu Indonesia Pintar (KIP) yang ditanggung oleh pemerintah yang selama ini mereka menerima Askeskin, Jamkesmas, atau Medan Sehat," Hal yang sama juga diminta warga lainnya Budi Raharjo, warga Jl. Karsa Kelurahan Karang Berombak Kec. Medan Barat. "Masalah banyaknya warga miskin belum menerima BPJS/KIS masyarakat meminta pemerintah untuk segera mendata ulang masyarakat Kota Medan yang betul-betul berhak layak menerima BPJS/KIS," jelasnya. Warga juga meminta Pemerintah meningkatkan layanan kesehatan masyarakat di Posyandu dan kegiatan lainnya sehingga masyarakat bisa benar-benar hidupnya merasa layak. "Pelayanan Kesehatan juga kami minta ditingkatkan mulai dari posyandu, puskesmas dan kebersihan lingkungan dengan menggerakkan dan mengajak warga untuk gotong royong bersama yang langsung diarahkan oleh aparat pemerintah di tingkat lingkungan (Kepling setempat)," jelasnya. Terkait permasalahan warga ini, Anggota DPRD Medan Rajudin Sagala menyampaikan terimakasihnya atas partisipasi warga untuk menyampaikam permasalahan yang ada di masyarakat. "Kita sangat berharap pemerintah bisa memberikan solusi atas persoalan masyarakat. Persoalan BPJS, KIS, KIP dan sejenisnya akan menjadi perhatian dan akan disampaikan dalam rapat paripurna langsung kepada Pemko Medan,"jelasnya.(dna/mdn) (http://www.dnaberita.com/berita-11927-warga-desak-pemko-data-ulang-warga-penerima-bpjskis.html/di akses pada tanggal 27 Maret 2016 pukul 22.00 wib)

Efektivitas yang pada dasarnya merupakan hubungan antara hasil yang

(8)

tersebut. Pada dasarnya juga berdasarkan latar belakang dan permasalahan yang

telah diuraikan di atas, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan

judul “Efektivitas Pelaksanaan Program Kartu Indonesia Sehat Di Puskesmas Kecamatan Medan Barat Kota Medan”

1.2.Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang masalah yang telah dikemukakan di atas,

maka rumusan masalah yang akan di jawab melalui penelitian ini adalah

Bagaimana efektivitas pelaksanaan program Kartu Indonesia Sehat dalam

mendukung program Jaminan Kesehatan Nasional pada Puskesmas Medan

Barat”?

1.3.Tujuan Penelitian

Dalam sebuah kegiatan yang dilaksanakan memiliki tujuan tertentu yang

hendak dicapai. Adapun yang menjadi tujuandari penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui pelaksanaan program Kartu Indonesia Sehat di

Puskesmas Medan Barat didalam mendukung program Jaminan Sosial

Nasional.

2. Untuk mengetahui kendala-kendala yang di hadapi di dalam implementasi

program Kartu Indonesia Sehat di Puskesmas Medan Barat.

1.4.Manfaat penelitian

Adapun manfaat yang diperoleh dalam penelitian ini adalah:

1. Secara subjektif, penelitian diharapkan bermanfaat untuk melatih,

(9)

metodologi penulis dalam menyusun suatu wacana baru dalam memperkaya

khazana ilmu pengetahuan dan wawasan khususnya mengenai Efektivitas

pelaksanaan program Kartu Indonesia Sehat di masyarakat.

2. Secara Praktis, penelitian ini menjadi sumbangan pemikiran bagi instansi

terkait mengenai Efektivitas pelaksanaan program Kartu Indonesia Sehat di

masyarakat. Penelitian ini juga diharapakan dapat dijadikan referensi untuk

mengambil kebijakan yang mengarahkan kepada kemajuan institusi.

3. Secara akademis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi dan

memperkaya ragam penelitian yang telah dibuat oleh para mahasiswa bagi

Departemen Ilmu Administrasi Negara Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Sumatera Utara serta dapat menjadi bahan referensi bagi terciptanya

suatu karya ilmiah.

4. Sebagai bahan perbandingan untuk penelitian yang relevan yang telah ada dan

sebagai acuan kepeda peneliti yang hendak melakaukan penelitian yang bahannya

sama di masa mendatang.

1.5 Kerangka Teori

Dalam penelitian ini diperlukan adanya kumpulan teori-teori yang akan menjadi

pedoman dalam melaksanakan penelitian. Setelah masalah penelitian dirumuskan

maka langkah selanjutnya adalah mencari teori-teori, konsep-konsep dan

generalisasi-generalisasi hasil penelitian yang dapat dijadikan sebagai landasan

(10)

1.5.1 EFEKTIVITAS

1.5.1.1 Pengertian Efektivitas

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, efektivitas diartikan sebagai

sesuatu yang ada efeknya (akibatnya, pengaruhnya) dapat diartikan dapat

membawa hasil, berhasil guna, serta dapat pula berarti mulai berlaku. Seorang

praktisi ahli mendefenisikan efektivitas sebagai pencapaian sasaran yang telah

disepakati secara bersama serta tingkat pencapaian sasaran itu menunjukkan

tingkat efektivitas ( Tampubolon, 2008:175).

Hidayat menyatakan efektivitas adalah suatu ukuran yang menyatakan

seberapa jauh target kuantitas, kualitas dan waktu telah tercapai. Dimana makin

besar persentase target yang dicapai, makin tinggi efektivitasnya. Sondang P.

Siagian juga menjelaskan bahwa efektivitas adalah pemanfaatan sumber daya,

sarana dan prasarana dalam jumlah tertentu yang secara sadar ditetapkan

sebelumnya untuk menghasilkan sejumlah barang atau jasa kegiatan yang

dijalankannya. Efektivitas menunjukkan keberhasilan dari segi tercapai tidaknya

sasaran yang telah ditetapkan.

Menurut Abdurahman efektivitas adalah pemanfaatan sumber daya, sarana

dan prasarana dalam jumlah tertentu yang secara sadar ditetapkan sebelumnya

untuk menghasilkan sejumlah pekerjaan tepat pada waktunya. Menurut kamus

administrasi efektif adalah berhasil guna/tepat guna. Efektif adalah pencapaian

sasaran mengenai suasana dagang dan kemungkinan membuat laba/keuntungan.

(11)

perbuatan. Pekerjaan yang efesien adalah hasil yang dicapai dengan

penghamburan pikiran, tenaga, waktu, ruang, dan benda.

Dalam pengertian teoritis dan praktis, tidak ada persetujuan yang universal

mengenai apa yang dimaksud dengan efektivitas. Efektivitas adalah hubungan

antara output dan tujuan, kebijakan dan prosedur dari organisasi mencapai tujuan

yang telah ditetapkan. Suatu efektivitas dilihat berdasarkan pencapaian hasil atau

pencapaian dari suatu tujuan. Efektivitas berfokus kepada outcome (hasil) dari

suatu program atau kegiatan, yang dinilai efektif apabila output yang dihasilkan

dapat memenuhi tujuan yang diharapkan.

Pada dasarnya, dikemukakan bahwa cara yang terbaik untuk meneliti

efektivitas ialah memperhatikan secara serempak tiga buah konsep yang saling

berhubungan, diantaranya adalah paham mengenai optimal tujuan, prespektif

sistematika, tekanan pada segi tingkah laku manusia dalam susunan organisasi.

Efektivitas dijabarkan berdasarkan kapasitas suatu organisasi untuk memperoleh

dan memanfaatkan sumber daya yang langka dan berharga secara sepandai

mungkin dalam usahanya men gejar tujuan operasi dan operasionalnya.

Efektivitas dan efisiensi adalah dua hal yang berbeda. Efektivitas adalah

melakukan hal yang benar sesuai dengan tujuan dan sasaran yang hendak dicapai.

Efesiensi merupakan suatu kegiatan yang dilakukan secara benar. Dalam hal ini

efektivitas suatu program dapat menimbulkan sasaran atau tujuan yang telah

disepakati bersama dapat terwujud dan dilaksanakan dengan baik maupun tidak.

Efektivitas program dapat dijalankan dengan kemampuan operasional

(12)

telah ditetapkan sebelumnya secara komprehensif. Efektivitas dapat diartikan

sebagai tingkat kemampuan suatu lembaga atau organisasi untuk dapat

melaksanakan semua tugas-tugas pokok atau untuk mencapai sasaran yang telah

ditentukan sebelumnya.

Dari beberapa definisi efektivitas diatas dapat ditarik benang merah bahwa

pada dasarnya efektivitas merupakan hubungan antara hasil yang dicapai dengan

hasil yang diharapkan. Semakin besar hasil yang dicapai daripada yang

diharapkan, semakin efektif kegiatan, program dan kebijakan tersebut.

1.5.1.2 Ukuran Efektivitas

Mengukur efektivitas organisasi bukanlah suatu hal yang sederhana,

karena efektivitas dapat dikaji dari berbagai sudut pandang dan tergantung pada

siapa yang menilai serta menginterpretasikannya. Bila dipandang dari sudut

produktivitas, maka seorang manajer produksi memberikan pemahaman bahwa

efektivitas berarti kualitas dan kuantitas (output) barang dan jasa. Tingkat

efektivitas juga dapat diukur dengan membandingkan rencana yang telah

ditentukan dengan hasil nyata yang telah diwujudkan. Namun, jika usaha atau

hasil pekerjaan dan tindakan yang dilakukan tidak tepat dapat menyebabkan

tujuan tidak tercapai atau sasaran yang diharapkan, maka hal itu dikatakan tidak

efektif.

Adapun kriteria atau ukuran mengenai pencapaian tujuan efektif atau

(13)

a. Kejelasan tujuan yang hendak dicapai, hal ini dimaksudkan supaya karyawan

dalam pelaksanaan tugas mencapai sasaran yang terarah dan tujuan organisasi

dapat tercapai.

b. Kejelasan strategi pencapaian tujuan, telah diketahui bahwa strategi adalah

“pada jalan” yang diikuti dalam melakukan berbagai upaya dalam mencapai

sasaran-sasaran yang ditentukan agar para implementer tidak tersesat dalam

pencapaian tujuan organisasi.

c. Proses analisis dan perumusan kebijakan yang mantap, berkaitan dengan tujuan

yang hendak dicapai dan strategi yang telah ditetapkan artinya kebijakan harus

mampu menjembatani tujuan-tujuan dengan usaha-usaha pelaksanaan kegiatan

operasional.

d. Perencanaan yang matang, pada hakekatnya berarti memutuskan sekarang apa

yang dikerjakan oleh organisasi dimasa depan.

e. Penyusunan program yang tepat, suatu rencana yang baik masih perlu

dijabarkan dalam program-program pelaksanaan yang tepat sebab apabila

tidak, para pelaksana akan kurang memiliki pedoman bertindak dan bekerja.

f. Tersedianya sarana dan prasarana kerja, salah satu indikator efektivitas

organisasi adalah kemamapuan bekerja secara produktif. Dengan sarana dan

prasarana yang tersedia dan mungkin disediakan oleh organisasi.

g. Pelaksanaan yang efektif dan efisien, bagaimanapun baiknya suatu program

apabila tidak dilaksanakan secara efektif dan efisien maka organisasi tersebut

tidak akan mencapai sasarannya, karena dengan pelaksanaan organisasi

(14)

h. Sistem pengawasan dan pengendalian yang bersifat mendidik, mengingat sifat

manusia yang tidak sempurna maka efektivitas organisasi menuntut

terdapatnya sistem pengawasan dan pengendalian.

Selanjutnya Steers dalam Tangkilisan (2005:141), mengemukakan 5 (lima)

kriteria dalam pengukuran efektivitas, yaitu: produktivitas, kemampuan adaptasi

kerja, kepuasan kerja, kemampuan berlaba, dan pencarian sumber daya.

Sedangkan Duncan yang dikutip Richard M. Steers (1985:53) dalam bukunya

“Efektivitas Organisasi” mengatakan mengenai ukuran efektivitas, sebagai

berikut:

1. Pencapaian Tujuan

Pencapaian adalah keseluruhan upaya pencapaian tujuan harus dipandang

sebagai suatu proses. Oleh karena itu, agar pencapaian tujuan akhir semakin

terjamin, diperlukan pentahapan, baik dalam arti pentahapan pencapaian

bagian-bagiannya maupun pentahapan dalam arti periodisasinya. Pencapaian

tujuan terdiri dari beberapa faktor, yaitu: Kurun waktu dan sasaran yang

merupakan target konkrit.

2. Integrasi

Integrasi yaitu pengukuran terhadap tingkat kemampuan suatu organisasi untuk

mengadakan sosialisasi, pengembangan konsensus dan komunikasi dengan

berbagai macam organisasi lainnya. Integrasi menyangkut proses sosialisasi.

3. Adaptasi

Adaptasi adalah kemampuan organisasi untuk menyesuaikan diri dengan

(15)

pengisian tenaga kerja.

Pada penelitian ini, peneliti dalam mengukur efektivitas program

menggunakan ukuran efektivitas program menurut Sutrisno (2007:125-126) yang

terdiri dari:

1. Pemahaman Program

Dalam penelitian ini peneliti ingin mengetahui sejauh mana masyarakat dapat

memahami program Kartu Indonesia Sehat. Melalui program maka segala

bentuk rencana akan lebih terorganisir dan lebih mudah untuk

dioperasionalkan. Dengan memperhatikan kelompok sasaran maka suatu

program dapat dikatakan efektif atau tidak.

2. Tepat Sasaran

Yaitu bagaimana kesesuaian program-program Kartu Indonesia Sehat yang

dirancang oleh pejabat atau pengelola kepada kelompok sasaran. Dalam

indikator ini peneliti mencoba untuk mengukur sejauhmana suatu lembaga

berhasil merealisasikan sasaran yang hendak dicapai. Sasaran yang penting

diperhatikan dalam pengukuran efektivitas program Kartu Indonesia Sehat ini

adalah masyarakat. Dengan demikian, indikator ini mencoba untuk mengukur

bagaimana kesesuaian program-program yang telah dibuat kepada kelompok

sasaran.

3. Tepat Waktu

Yaitu dalam penelitian ini peneliti ingin mengetahui penggunaan waktu dalam

(16)

sudah dirancang atau tidak. Dengan waktu yang tepat maka program tersebut

akan lebih efektif.

4. Tercapainya Tujuan

Dalam hal ini peneliti ingin mengetahui apakah tujuan dari dibentuknya

program Kartu Indonesia Sehat sudah tercapai atau belum mengingat program

Kartu Indonesia Sehat di Puskesmas Sei Agul Kec.Medan Barat tersebut sudah

dilaksanakan sejak tahun 2015. Pencapaian tujuan juga dapat dilihat dari

beberapa faktor, yaitu kurun waktu dan sasaran yang merupakan target.

Sehingga suatu program dapat dikatakan efektif apabila dapat mencapai tujuan

yang telah ditentukan sebelumnya.

5. Perubahan Nyata

Dalam penelitian ini peneliti ingin mengetahui apa saja dan bagaimana bentuk

perubahan nyata (khususnya mengenai pelayanan kesehatan bagi masyarakat

miskin) sebelum dan sesudah adanya program Kartu Indonesia Sehat. Sehingga

dapat diukur sejauhmana program Kartu Indonesia Sehat tersebut memberikan

suatu efek atau dampak serta perubahan nyata bagi masyarakat.

1.5.1.3 Pendekatan Efektifitas

Efektivitas merupakan konsep yang sangat penting dalam teori organisasi

karena konsep tersebut mampu memberikan gambaran mengenai keberhasilan

organisasi dalam mencapai sasarannya (Lubis dan Huseini, 1987: 55). Pendekatan

terhadap efektivitas dilakukan dengan bagian yang berbeda, dimana organisasi

(17)

dan proses internal yang terjadi dalam perusahaan mengu bah input menjadi

output atau program yang kemudian dilemparkan kembali kepada lingkungannya.

Pendekatan terhadap efektivitas terdiri dari:

1. Pendekatan Sasaran

Pendekatan sasaran (goal approach) ini mencoba mengukur sejauh mana

suatu organisasi berhasil merealisasikan sasaran yang hendak dicapai. Pendekatan

sasaran dalam pengukuran efektivitas dimulai dengan identifikasi sasaran

organisasi dan mengukur tingkat keberhasilan organisasi dalam mencapai sasaran

tersebut. Sasaran yang perlu diperhatikan dalam pengukuran efektifitas ini adalah

sasaran yang realistis untuk memberikan hasil maksimal berdasarkan sasaran

resmi dengan memperhatikan permasalahan yang ditimbulkan. Dan memusatkan

perhatian terhadap aspek output, yaitu dengan mengukur keberhasilan program

dalam mencapai tingkat output. Secara sederhana output atau dapat disebut

sebagai keluaran adalah hasil dari perubahan yang dilakukan terhadap data atau

informasi yang diberikan kepada input (Hedwig, 2004 :1). Pendekatan sasaran

dapat direalisasikan apabila organisasimampu melakukan pendekatan kepada

warga binaaan sosial dalam mengarahkan kepada tujuan yang ingin dicapaiyaitu

semua warga binaan sosial dapat berfungsi sosial.

Menurut Lubis dan Huseini (1989 : 104), terdapat dua jenis sasaran yaitu

operative goals (sasaran aktual) dan official goals (sasaran resmi). Sasaran resmi

bukanlah salah satu tujuan atau sasaran yang digunakan sebagai acuan dalam

menentukan arah tindakan dan pengukuran kinerja. Sasaran aktual dianggap

(18)

yang ingin dicapai (Lubis dan Huseini, 1989: 104-105). Sasaran aktual dapat

diartikan sebagai keadaan yang ingin dicapai dalam jangka waktu yang lebih

pendek dariutbuijsuan (L dan Huseini, 1989: 105). Indikator pencapaian

efektivitas dalam pendekatan sasaran diantaranya efisiensi organisasi,

produktifitas tinggi, keuntungan yang maksimal, pertumbuhan organisasi,

stabilitas organisasi, dan kesejahteraan karyawan.

2. Pendekatan Sumber

Pendekatan Sumber (system resource approach) mengukur efektivitas

melalui keberhasilan organisasi dalam mendapatkan berbagai macam sumber

yang dibutuhkan. Suatu organisasi harus dapat memperoleh berbagai macam

sumber dan juga memelihara keadaan dan sistem agar dapat menjadi efektif.

Pendekatan ini didasarkan pada teori mengenai keterbukaan sistem suatu

organisasi terhadap lingkungannya, karena perusahaan mempunyai hubungan

yang merata dengan lingkungannya dimana dari lingkungan diperoleh

sumber-sumber yang merupakan input lembaga tersebut dan output yang dihasilkan juga

dilemparkannya pada lingkungannya. Sementara itu sumber-sumber yang terdapat

pada lingkungan sering kali bersifat langka dan bernilai tinggi. Pendekatan

sumber dalam organisasi dapat di ukur dari seberapa jauh hubungan antara warga

binaan sosial dengan lingkungan sekitarnya.

Pendekatan sumber mengukur efektivitas dari sisi input, yaitu dengan

mengukur keberhasilan organisasi dalam usaha memperoleh berbagai sumber

yang dibutuhkan guna mencapai kinerja yang baik. Secara sederhana dalam teori

(19)

menyediakan kebutuhan operasi atau kegiatan proses (Schoderbek dkk, 1985:13).

Sementara itu, Azwar (1996 : 23) mendefinisikan input sebagai perangkat

administrasi berupa tenaga kerja, dana, sarana dan metoda atau dikenal dengan

istilah sumber, tata cara dan kesanggupan.

Pendekatan sumber yang menitikberatkan pada input yang didapat

memandang bahwa organisasi mempunyai hubungan yang merata dengan

lingkungan karena dari lingkungan diperoleh sumber-sumber yang merupakan

input bagi organisasi, sedangkan output yang dihasilkan juga akan dilemparkan ke

lingkungan. Sejumlah faktor yang dapat digunakan untuk mengukur efektivitas

dengan pendekatan sumber adalah:

1. kemampuan organisasi untuk memanfaatkan lingkungan untuk

memperoleh berbagai jenis sumber yang bersifat langka dan nilainya

tinggi.

2. kemampuan para pengambil keputusan dalam organisasi untuk

meninterpretasikan sifat-sifat lingkungan yang tepat.

3. kemampuan organisasi untuk menghasilkan output tertentu dengan

menggunakan sumber sumber yang berhasil diperoleh.

4. kemampuan organisasi dalam memelihara kegiatan operasionalnya

sehari-hari.

5. kemampuan organisasi untuk bereaksi dan menyesuaikan diri terhadap

perubahan lingkungan.

Secara sederhana dalam pendekatan sumber, faktor yang dapat mengukur

(20)

Sumber daya memiliki peranan yang penting dalam pendekatan sumber. Jenis

sumber daya dapat berupa sumber daya manusia, sumber daya keuangan dan

sarana yang tersedia. Sumber daya manusia merupakan salah satu sumber daya

yang terpenting dalam keberlangsungan suatu kegiatan. Semakin tinggi kualitas

sumber daya manusia, maka semakin meningkat pula efektivitas, efisiensi dan

produktivitas kegiatan (Atmanti, 2005 : 31). Oleh karena itu, sumber daya

manusia memiliki peranan yang mendasar dan utama sebagai pengelola input,

memproses segala sumber daya (masukan) menjadi output yang dihasilkan.

“Tanpa adanya sumber daya manusia yang berkualitas maka sulit bagi organisasi

untuk mencapai tujuannya” (Praningrum, 2002 : 158).

Sementara itu, sumber daya sarana merupakan segala jenis peralatan,

perlengkapan kerja dan fasilitas yang berfungsi sebagai alat utama dan/atau

pembantu dalam pelaksanaan pekerjaan, serta dalam rangka kepentingan yang

sedang berhubungan dengan organisasi kerja (Moenir, 1992 : 119). Jika sarana

dikaitkan dengan prasarana dapat dimaknai sebagai seperangkat alat yang dapat

digunakan dalam suatu proses kegiatan baik sebagai alat pembantu maupun alat

utama yang digunakan untuk mencapai tujuan.

3. Pendekatan Proses

Pendekatan Proses (internal process approach) menganggap efektivitas

sebagai efisien dan kondisi kesehatan dari suatu organisasi. Proses merupakan

operasi atau perkembangan alami yang berlangsung secara kontinu yang ditandai

oleh sederetan perubahan kecil yang berurutan dengan cara yang relatif tetap dan

(21)

yang efektif, proses internal berjalan dengan lancar dimana kegiatan

bagian-bagian yang ada berjalan secara terkoordinasi. Pendekatan ini tidak

memperhatikan lingkungan melainkan memusatkan perhatian terhadap kegiatan

yang dilakukan terhadap berbagai sumber yang dimiliki organisasi, yang

menggambarkan tingkat efesiensi serta kesehatan organisasi. Tujuan dari pada

pendekatan proses yang dilakukan organisasi adalah bagaimana organisasi mampu

menggunakan semua program secara terkoordinir dengan baik kepada warga

binaan (Cunningham, 1978:635)

Berbagai komponen yang dapat menunjukkan efektivitas organisasi

berdasarkan pendekatan ini adalah :

1. perhatian atasan terhadap karyawan.

2. kerja sama, dan loyalitas kelompok kerja.

3. saling percaya dan komunikasi antara karyawan dengan pimpinan.

4. desentralisasi dalam pengambilan keputusan.

5. adanya komunikasi vertikal dan horizontal yang lancar dalam organisasi.

6. adanya usaha dari setiap individu atau keseluruhan organisasi untuk

mencapai tujuan yang telah direncanakan.

7. bagian-bagian organisasi bekerja sama dengan baik dan konflik yang

(22)

Gambar 1.1. Pengukuran Efektivitas dan Pendekatan Efektivitas Sumber : Lubis dan Huseini (1987 : 99)

Sedangkan menurut Gibson (1984:38), mengungkapkan tiga pendekatan

mengenai efektivitas yaitu:

1. Pendekatan Tujuan.

Pendekatan tujuan untuk mendefinisikan dan mengevaluasi efektivitas

merupakan pendekatan tertua dan paling luas digunakan. Menurut pendekatan

ini, keberadaan organisasi dimaksudkan untuk mencapai suatu tujuan tertentu.

Pendekatan tujuan menekankan peranan sentral dari pencapaian tujuan sebagai

kriteria untuk menilai efektivitas serta mempunyai pengaruh yang kuat atas

INPUT

SUMBER

PROSES

(Mengubah input menjadi output melalui kegiatan dan proses internal)

OUTPUT

PRODUK/JASA

Pendekatan

Sumber

Pendekatan

Proses

(23)

pengembangan teori dan praktek manajemen dan perilaku organisasi, tetapi

sulit memahami bagaimana melakukannya. Alternatif terhadap pendekatan

tujuan ini adalah pendekatan teori sistem.

2. Pendekatan Teori Sistem.

Teori sistem menekankan pada pertahanan elemen dasar

masukan-proses-pengeluaran dan beradaptasi terhadap lingkungan yang lebih luas yang

menopang organisasi. Teori ini menggambarkan hubungan organisasi terhadap

sistem yang lebih besar, dimana organisasi menjadi bagiannya. Konsep

organisasi sebagian suatu sistem yang berkaitan dengan sistem yang lebih besar

memperkenalkan pentingnya umpan balik yang ditujukan sebagai informasi

mencerminkan hasil dari suatu tindakan atau serangkaian tindakan oleh

seseorang, kelompok, atau organisasi. Teori sistem juga menekankan

pentingnya umpan balik informasi. Teori sistem dapat disimpulkan:

a. Kriteria efektivitas harus mencerminkan siklus masukan– proses-keluaran,bukan keluaran yang sederhana, dan

b. Kriteria efektivitas harus mencerminkanhubungan antar organisasi

dan lingkungan yang lebih besar dimana organisasiitu berada. Jadi

efektivitas organisasi adalah konsep dengan cakupan luas termasuk

sejumlah konsep komponen.

c. Tugas manajerial adalah menjaga keseimbangan optimal antara

komponen dan bagiannya.

3. Pendekatan Multiple Constituency. Pendekatan ini adalah perspektif yang

(24)

individual dalam hubungan relatif diantara kepentingan kelompok dan

individual dalam suatu organisasi. Dengan pendekatan ini memungkinkan

pentingnya hubungan relatif diantara kepentingan kelompok dan individual

dalam suatu organisasi. Dengan pendekatan ini juga memungkinkan

mengkombinasikan tujuan dan pendekatan sistem guna memperoleh

pendekatan yang lebih tepat bagi efektivitas organisasi.

Robbins (1994:54) mengungkapkan juga mengenai pendekatan dalam

efektivitas organisasi:

1. Pendekatan pencapaian tujuan (goal attainment approach). Pendekatan ini

memandang bahwa keefektifan organisasi dapat dilihat dari pencapaian

tujuannya (ends) daripada caranya (means). Kriteria pendekatan yang popular

digunakan adalah memaksimalkan laba, memenangkan persaingan, dan lain

sebagainya. Metode manajemen yang terkait dengan pendekatan ini dikenal

dengan Management By Objectives (MBO) yaitu falsafah manajemen yang

menilai keefektifan organisasi dan anggotanya dengan cara menilai seberapa

jauh mereka mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan.

2. Pendekatan sistem.

Pendekatan ini menekankan bahwa untuk meningkatkan kelangsungan hidup

organisasi, maka perlu diperhatikan adalah sumber daya manusianya.

Mempertahankan diri secara internal dan memperbaiki struktur organisasi dan

pemanfaatan teknologi agar dapat berintegrasi dengan lingkungan yang darinya

organisasi tersebut memerlukan dukungan terus menerus bagi kelangsungan

(25)

3. Pendekatan konstituensi-strategis.

Pendekatan ini menekankan pada pemenuhan tuntutan konstituensi itu di dalam

lingkungan yang darinya orang tersebut memerlukan dukungan yang terus

menerus bagi kelangsungan hidupnya.

4. Pendekatan nilai-nilai bersaing.

Pendekatan ini mencoba mempersatukan ke tiga pendekatan diatas,

masing-masing didasarkan atas suatu kelompok nilai. Masing-masing-masing nilai selanjutnya

lebih disukai berdasarkan daur hidup di mana organisasi itu berada.

1.5.1.4 Masalah dalam Pengukuran Efektivitas

Kesulitan menilai efektivitas disebabkan oleh beberapa masalah yang tak

terpisahkan dari model yang sekarang ada mengenai keberhasilan organisasi.

Masalah-masalah pengukuran ini sangat beraneka ragam baik dalam sifat maupun

titik asal mereka. Adapun masalah-masalah dalam pengukuran efektivitas yang

dimaksudkan adalah sebagai berikut:

1. Masalah kesahihan susunan.

Maksud susunan disini adalah suatu hipotesis yang abstrak (sebagai lawan dari

yang kongkrit) mengenai hubungan antara beberapa variabel yang saling

berhubungan. Ia mengungkapkan keyakinan bahwa variabel - variabel tersebut

bersama - sama membentuk suatu keseluruhan yang utuh.

2. Masalah stabilitas kerja.

Artinya bahwa banyak kriteria evaluasi yang digunakan ternyata relatif tidak

stabil setelah beberapa waktu. Yaitu kriteria yang dipakai untuk mengukur

(26)

waktu berikutnya. Kriteria tersebut berubah-ubah tergantung pada permintaan,

kepentingan dan tekanan-tekanan ekstern.

3. Masalah perspektif waktu.

Masalah yang ada hubungannya dengan hal diatas adalah perspektif waktu yang

dipakai orang pada waktu menilai efektivitas. Masalah bagi mereka yang

mempelajari manajemen adalah cara yang terbaik menciptakan keseimbangan

antara kepentingan jangka pendek dengan kepentingan jangka panjang, dalam

usaha mempertahankan stabilitas dan pertumbuhan dalam perjalanan waktu.

4. Masalah kriteria ganda.

Seperti ditunjukkan sebelumnya, keuntungan utama dari ancangan multivariasi

dalam evaluasi efektivitas adalah sifatnya yang komprehensif, memadukan

beberapa faktor kedalam suatu kerangka yang kompak. Hal yang terpenting

adalah bahwa jika menerima kriteria tersebut untuk efektivitas, maka organisasi

menurut defenisinya tidak dapat menjadi efektif, mereka tidak dapat

memaksimalkan kedua dimensi tersebut secara serempak.

5. Masalah ketelitian pengukuran.

Pengukuran terdiri dari peraturan atau prosedur untuk menentukan beberapa nilai

atribut dalam rangka agar atribut-atribut ini dapat dinyatakan secara kuantitatif.

Jadi, berbicar amengenai pengukuran efektivitas organisasi, dianggap ada

kemungkinan menentukan kuantitas dari konsep ini secara konsisten dan tetap.

Tetapi penentuan kuantitas atau pengukuran demikian sering sulit karena konsep

(27)

berusaha mengenali kriteria yang dapat diukur dengan kesalahan minimum atau

berusaha mengendalikan pengaruh yang menyesatkan dalam proses analisis.

6. Masalah kemungkinan generalisasi.

Apabila berbagai masalah pengukuran diatas dapat dipecahkan, masih akan timbul

persoalan mengenai seberapa jauh orang dapat menyatakan kriteria evaluasi yang

dihasilkannya dapat berlaku juga pada organisasi lainnya. Jadi, pada waktu

memilih kriteria orang harus memperhatikan tingkat konsistensi kriteria tersebut

dengan tujuan dan maksud organisasi yang sedang dipelajari.

7. Masalah relevansi teori.

Tujuan utama dari setiap ilmu adalah merumuskan teori - teori dan model-model

yang secara tepat mencerminkan sifat subyek yang dipelajari. Jadi, dari sudut

pandang teoritis harus diajukan pertanyaan yang logis sehubungan dengan

relevansi model-model tersebut. Jika model tersebut tidak membantu kita dalam

memahami proses, struktur dan tingkah laku organisasi, maka mereka kurang

bernilai pandang dari sudut teoritis.

8. Masalah tingkat analisis.

Kebanyakan model efektivitas hanya menggarap tingkat makro saja, membahas

gejala keseluruhan organisasi dalam hubungannya dengan efektivitas tetapi

mengabaikan hubungan yang kritis antara tingkah laku individu dengan persoalan

yang lebih besar yaitu keberhasilan organisasi. Jadi, hanya ada sedikit integrasi

antar model makro dengan apayang dapat kita sebut model mikro dari karya dan

efektivitas (Steers, 1980: 61-64).

(28)

1.5.2 PELAKSANAAN 1.5.2.1 Pengertian Pelaksanaan

Pelaksanaan adalah suatu tindakan atau pelaksanaan dari sebuah rencana

yang sudah disusun secara matang dan terperinci, implementasi biasanya

dilakukan setelah perencanaan sudah dianggap siap. Secara sederhana

pelaksanaan bisa diartikan penerapan. Majone dan Wildavsky mengemukakan

pelaksanaan sebagai evaluasi. Browne dan Wildavsky mengemukakan bahwa

Pelaksanaan adalah perluasan aktivitas yang saling menyesuaikan.

Pengertian-pengertian di atas memperlihatkan bahwa kata pelaksanaan

bermuara pada aktivitas, adanya aksi, tindakan, atau mekanisme suatu sistem.

Ungkapan mekanisme mengandung arti bahwa pelaksanaan bukan sekedar

aktivitas, tetapi suatu kegiatan yang terencana dan dilakukan secara

sungguh-sungguh berdasarkan norma tertentu untuk mencapai tujuan kegiatan.

Pelaksanaan merupakan aktifitas atau usaha-usaha yang dilaksanakan

untuk melaksanakan semua rencana dan kebijaksanaan yang telah dirimuskan dan

ditetapkan dengan dilengkapi segala kebutuhan, alat-alat yang diperlukan, siapa

yang melaksanakan, dimana tempat pelaksanaannya mulai dan bagaimana cara

yang harus dilaksanakan, suatu proses rangkaian kegiatan tindak lanjut setelah

program atau kebijaksanaan ditetapkan yang terdiri atas pengambilan keputusan,

langkah yang strategis maupun operasional atau kebijaksanaan menjadi kenyataan

guna mencapai sasaran dari program yang ditetapkan semula.

Dari pengertian yang dikemukakan di atas dapatlah ditarik suatu

(29)

ditetapkan oleh pemerintah harus sejalan dengan kondisi yang ada, baik itu di

lapangan maupun di luar lapangan. Yang mana dalam kegiatannya melibatkan

beberapa unsur disertai dengan usaha-usaha dan didukung oleh alat-alat penujang.

Faktor-faktor yang dapat menunjang program pelaksanaan adalah sebagai

berikut:

a. Komunikasi, merupakan suatu program yang dapat dilaksanakan

dengan baik apabila jelas bagi para pelaksana. Hal ini menyangkut proses

penyampaian informasi, kejelasan informasi dan konsistensi informasi yang

disampaikan;

b. Sumber daya, dalam hal ini meliputi empat komponen yaitu

terpenuhinya jumlah staf dan kualitas mutu, informasi yang diperlukan guna

pengambilan keputusan atau kewenangan yang cukup guna melaksanakan tugas

sebagai tanggung jawab dan fasilitas yang dibutuhkan dalam pelaksanaan;

c. Disposisi, sikap dan komitmen dari pada pelaksanaan terhadap program

khususnya dari mereka yang menjadi implementasi program khususnya dari

mereka yang menjadi implementer program;

d. Struktur Birokrasi, yaitu SOP (Standar Operating Procedures), yang

mengatur tata aliran dalam pelaksanaan program. Jika hal ini tidak sulit dalam

mencapai hasil yang memuaskan, karena penyelesaian khusus tanpa pola yang

(30)

Keempat faktor di atas, dipandang mempengaruhi keberhasilan suatu proses

implementasi, namun juga adanya keterkaitan dan saling mempengaruhi antara

suatu faktor yang satu dan faktor yang lain. Selain itu dalam proses implementasi

sekurang-kurangnya terdapat tiga unsur penting dan mutlak yaitu:

a. Adanya program (kebijaksanaan) yang dilaksanakan;

b. Kelompok masyarakat yang menjadi sasaran dan manfaat dari program

perubahan dan peningkatan;

c. Unsur pelaksanaan baik organisasi maupun perorangan yang bertanggung

jawab dalam pengelolaan pelaksana dan pengawasan dari proses implementasi

tersebut.

1.5.3 PROGRAM

1.5.3.1 Pengertian Program

Menurut Charles O. Jones, pengertian program adalah cara yang disahkan

untuk mencapai tujuan, beberapa karakteristik tertentu yang dapat membantu

seseorang untuk mengindentifikasi suatu aktivitas sebagai program atau tidak

yaitu:

1. Program cenderung membutuhkan staf, misalnya untuk melaksanakan atau

sebagai pelaku program.

2. Program biasanya memiliki anggaran tersendiri, program kadang biasanya

(31)

3. Program memiliki identitas sendiri, yang bila berjalan secara efektif dapat

diakui oleh publik.

Program adalah unsur pertama yang harus ada demi terciptanya suatu

kegiatan. Di dalam program dibuat beberapa aspek, disebutkan bahwa di dalam

setiap program dijelaskan mengenai:

1. Tujuan kegiatan yang akan dicapai.

2. Kegiatan yang diambil dalam mencapai tujuan.

3. Aturan yang harus dipegang dan prosedur yang harus dilalui.

4. Perkiraan anggaran yang dibutuhkan.

5. Strategi pelaksanaan.

Melalui program maka segala bentuk rencana akan lebih terorganisir dan

lebih mudah untuk diopersionalkan. Hal ini sesuai dengan pengertian program

yang diuraikan. “A programme is collection of interrelated project designed to

harmonize andintegrated various action an activities for achieving averral policy

abjectives” (suatu program adalah kumpulan proyek-proyek yang berhubungan

telah dirancang untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan yang harmonis dan secara

integraft untuk mencapai sasaran kebijaksanaan tersebut secara keseluruhan.

Salah satu model implementasi program yakni model yan diungkapkan oleh

David C. Korten. Model ini memakai pendekatan proses pembelajaran dan lebih

dikenal dengan model kesesuaian implementasi program. Model kesesuaian

(32)

PROGRAM

Output Tugas

Pemanfaatan Kebutuhan Kompetensi Organisasi

Tuntutan Putusan

Sumber: Haedar Akib dan Antonius Tarigan (2000: 12)

Gambar 1.2. Model Kesesuaian Implementasi Program

Korten menggambarkan model ini berintikan tiga elemen yang ada dalam

pelaksanaan program yaitu program itu sendiri, pelaksanaan program, dan

kelompok sasaran program. Korten menyatakan bahwa suatu program akan

berhasil dilaksanakan jika terdapat kesesuaian dari tiga unsur implementasi

program. Pertama, kesesuaian antara program dengan pemanfaat, yaitu kesesuaian

antara apa yang ditawarkan oleh program dengan apa yang dibutuhkan oleh

kelompok sasaran (pemanfaat). Kedua, kesesuaian antara program dengan

organisasi pelaksana, yaitu kesesuaian antara tugas yang disyaratkan oleh program

dengan kemampuan organisasi pelaksana. Ketiga, kesesuaian antara kelompok

pemanfaat dengan organisasi pelaksana, yaitu kesesuaian antara syarat yang

diputuskan organisasi untuk dapat memperoleh output program dengan apa yang

(33)

1.5.4 PELAYANAN PUBLIK

1.5.4.1. Pengertian Pelayanan Publik

Pelayanan adalah cara melayani, membantu, menyiapkan, dan mengurus,

menyelesaikan keperluan, kebutuhan seseorang atau sekelompok orang, artinya

obyek yang dilayani adalah individu, pribadi, dan kelompok organisasi (Sianipar,

1998), sedangkan publik dapat diartikan sebagai masyarakat atau rakyat (Ahmad,

Ainur Rohman 2010:25).

Moenir (2000) mengemukakan bahwa pelayanan itu adalah:

1. Adanya kemudahan dalam pengurusan kepentingan yakni pelayanan yang

cepat dalam arti tanpa hambatan.

2. Memperoleh pelayanan secara wajar, yaitu pelayanan tanpa disertai

kata-kata yang bernada meminta sesuatu kepada pihak yang dilayani dengan alasan

apapun.

3. Memperoleh perlakuan yang sama dalam pelayanan, yaitu tanpa pilih

kasih dimana aturan dan prosedur diterapkan sama.

4. Memperoleh perlakuan yang jujur dan terus terang. Ini menyangkut

keterbukaan pihak yang melayani, seperti jika ada masalah yang dihadapi dalam

pemberian pelayanan sebaiknya dikemukakan terus terang. Jurnal Ilmu

(34)

Undang-Undang No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik

mendefinisikan pelayanan publik sebagai berikut:

Pelayanan publik adalah kegiatan atau rangkaian kegiatan dalam rangka

pemenuhan kebutuhan pelayanan sesuai dengan peraturan perundang-undangan

bagi setiap warga negara dan penduduk atas barang, jasa, dan/atau pelayanan

administratif yang disediakan oleh penyelenggara pelayanan publik.

Sedangkan Lewis dan Gilman (2005:22) mendefinisikan pelayanan publik

sebagai berikut: Pelayanan publik adalah kepercayaan publik. Warga negara

berharap pelayanan publik dapat melayani dengan kejujuran dan pengelolaan

sumber penghasilan secara tepat, dan dapat dipertanggungjawabkan kepada

publik. Pelayanan publik yang adil dan dapat dipertanggung-jawabkan

menghasilkan kepercayaan publik. Dibutuhkan etika pelayanan publik sebagai

pilar dan kepercayaan publik sebagai dasar untuk mewujudkan pemerintah yang

baik.

Pelayanan publik (public service) adalah suatu pelayanan atau pemberian

terhadap masyarakat yang berupa penggunaan fasilitas –fasilitas umum, baik jasa maupun non jasa, yang dilakukan oleh organisasi publik dalam hal ini suatu

pemerintahan. Dalam pemerintahan pihak yang memberikan pelayanan adalah

aparatur pemerintahan beserta segenap kelengkapan kelembagaannya (Ahmad,

Ainur Rohman 2010:3).

Pelayanan publik dengan demikian merupakan segala kegiatan dalam

(35)

negara dan penduduk atau suatu barang, jasa, dan atau pelayanan administrasi

yang disediakan oleh penyelenggara pelayanan yang terkait dengan kepentingan

publik. Adapun penyelenggaranya adalah lembaga dan petugas pelayanan publik

baik pemerintah daerah maupun badan usaha milik negara (BUMN) yang

menyelenggarakan pelayanan publik. Penerimaan pelayanan publik adalah orang

perseorangan dan atau kelompok orang dan atau badan hukum yang memilki hak,

dan kewajiban terhadp suatu pelayanan publik. Standar pelayanannya didasarkan

atas ketentuan yang berisi norma, pedoman dan kesepakatan mengenai kulitas

pelayanan, sarana dan prasarana yang dirumuskan secara bersama-sama antara

penyelenggara pelayanan publik, penerima pelayanan dan pihak yang

berkepentingan.

1.5.4.2 Unsur-unsur pokok pelayanan publik

Menurut Moenir (2001: 13), pelayanan publik harus mengandung

unsur-unsur dasar sebagai berikut:

1. Hak dan kewajiban bagi pemberi maupun pelayanan umum harus jelas

dan diketahui secara pasti oleh masing-masing pihak;

2. Pengaturan setiap bentuk pelayanan umum harus disesuaikan dengan

kondisi kebutuhan dan kemampuan masyarakat untuk membayar berdasarkan

ketentuan perundang-undangan yang berlaku dengan tetap berpegang teguh pada

(36)

3. Kualitas, proses dan hasil pelayanan umum harus diupayakan agar

dapat memberi keamanan, kenyamanan, kepastian hukum yang dapat

dipertanggungjawabkan;

4. Apabila pelayanan umum yang diselenggarakan oleh pemerintah

terpaksa harus mahal, maka instansi pemerintah yang bersangkutan berkewajiban

memberi peluang kepada masyarakat untuk ikut menyelenggarakan.

1.5.4.3 Asas Pelayanan Publik

MenurutPasal 4 UU No 25 Tahun 2009 Tentang Pelayanan Publik, Adapun

asas-asas pelayanan publik adalah:

a. Kepentingan umum, yaitu Pemberian pelayanan tidakboleh

mengutamakan kepentingan pribadi dan/atau golongan.

b. Kepastian hukum, yaitu Jaminan terwujudnya hak dan kewajiban dalam

penyelenggaraan pelayanan.

c. Kesamaan hak, yaitu Pemberian pelayanan tidak membedakan suku,

ras, agama, golongan, gender, dan status ekonomi.

d. Keseimbangan hak dan kewajiban, yaitu Pemenuhan hak harus

sebanding dengan kewajiban yang harus dilaksanakan, baik oleh pemberi maupun

penerima pelayanan.

e. Keprofesionalan, yaitu Pelaksana pelayanan harus memiliki kompetensi

(37)

f. Partisipatif, yaitu Peningkatan peran serta masyarakat dalam

penyelenggaraan pelayanan dengan memperhatikan aspirasi, kebutuhan, dan

harapan masyarakat.

g. Persamaan perlakuan/tidak diskriminatif, yaitu Setiap warga negara

berhak memperoleh pelayanan yang adil.

h. Keterbukaan, yaitu Setiap penerima pelayanan dapat dengan mudah

mengakses dan memperoleh informasi mengenai pelayanan yang diinginkan.

i. Akuntabilitas, yaitu Proses penyelenggaraan pelayanan harus dapat

dipertanggungjawabkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

j. Fasilitas dan perlakuan khusus bagi kelompok rentan, yaitu Pemberian

kemudahan terhadap kelompok rentan sehingga tercipta keadilan dalam

pelayanan.

k. Ketepatan waktu, yaitu Penyelesaian setiap jenis pelayanan dilakukan

tepat waktu sesuai dengan standar pelayanan.

l. Kecepatan, kemudahan, dan keterjangkauan, yaitu Setiap jenis

pelayanan dilakukan secara cepat, mudah, dan terjangkau.

1.5.5 Pelayanan Kesehatan

1.5.5.1 Pengertian Pelayanan Kesehatan

Pelayanan kesehatan adalah setiap upaya yang diselenggarakan sendiri atau

secara bersama-sama dalam suatu organisasi untuk memelihara dan meningkatkan

kesehatan, mencegah dan menyembuhkan penyakit serta memulihkan kesehatan

(38)

Sesuai dengan batasan seperti di atas, mudah dipahami bahwa bentuk dan

jenis pelayanan kesehatan yang ditemukan banyak macamnya. Karena

kesemuanya ini ditentukan oleh :

1. Pengorganisasian pelayanan, apakah dilaksanakan secara sendiri atau secara

bersama-sama dalam suatu organisasi.

2. Ruang lingkup kegiatan, apakah hanya mencakup kegiatan pemeliharaan

kesehatan, pencegahan penyakit, penyembuhan penyakit, pemulihan kesehatan

atau kombinasi dari padanya.

Menurut pendapat Hodgetts dan Casio, jenis pelayanan kesehatan secara

umum dapat dibedakan atas dua, yaitu :

1. Pelayanan kedokteran

Pelayanan kesehatan yang termasuk dalam kelompok pelayanan kedokteran

(medical services) ditandai dengan cara pengorganisasian yang dapat

bersifat sendiri (solo practice) atau secara bersama-sama dalam satu

organisasi. Tujuan utamanya untuk menyembuhkan penyakit dan

memulihkan kesehatan, serta sasarannya terutama untuk perseorangan dan

keluarga.

2. Pelayanan kesehatan masyarakat

Pelayanan kesehatan yang termasuk dalam kelompok kesehatan masyarakat

(39)

untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan serta mencegah penyakit,

serta sasarannya untuk kelompok dan masyarakat.

1.5.5.2 Syarat Pokok Pelayanan Kesehatan

Pelayanan kesehatan yang baik harus memiliki berbagai persyaratan pokok.

Syarat pokok yang dimaksud adalah :

1. Tersedia dan berkesinambungan

Pelayanan kesehatan harus tersedia di masyarakat (available) serta bersifat

berkesinambungan (continous). Artinya semua jenis pelayanan kesehatan

yang dibutuhkan oleh masyarakat tidak sulit ditemukan, serta

keberadaannya dalam masyarakat adalah pada setiap saat yang dibutuhkan.

2. Dapat diterima dan wajar

Pelayanan kesehatan harus dapat diterima (acceptable) oleh masyarakat

serta bersifat wajar (appropriate). Artinya pelayanan kesehatan tersebut

tidak bertentangan dengan keyakinan dan kepercayaan masyarakat.

3. Mudah dicapai

Pelayanan kesehatan harus mudah dicapai (accesible) oleh masyarakat.

Pengertian ketercapaian yang dimaksud di sini terutama dari sudut lokasi.

Dengan demikian untuk dapat mewujudkan pelayanan kesehatan yang baik,

maka pengaturan distribusi sarana kesehatan menjadi sangat penting.

(40)

Pelayanan kesehatan harus mudah dijangkau (affordable) oleh masyarakat.

Pengertian keterjangkauan dimaksud disini terutama dari sudut biaya. Untuk

dapat mewujudkan keadaan yang seperti ini harus dapat diupayakan biaya

kesehatan tersebut sesuai dengan kemampuan ekonomi masyarakat.

5. Bermutu

Pelayanan kesehatan harus bermutu (quality), pengertian mutu yang

dimaksud di sini adalah yang menunjuk pada tingkat kesempurnaan

pelayanan kesehatan yang diselenggarakan dimana di satu pihak dapat

memuaskan para pemakai jasa pelayanan, dan di pihak lain tata cara

penyelenggaraannya sesuai dengan kode etik serta standar yang telah

ditentukan.

1.5.5.3 Stratifikasi Pelayanan Kesehatan

Strata pelayanan kesehatan yang dianut oleh tiap negara tidaklah sama,

namun secara umum dikelompokkan menjadi tiga macam, yaitu :

1. Pelayanan kesehatan tingkat pertama (primary health services)

Pelayanan kesehatan jenis ini diperlukan untuk masyarakat yang sakit

ringan dan masyarakat yang sehat untuk meningkatkan kesehatan mereka

(promosi kesehatan). Yang dimaksud pelayanan kesehatan tingkat pertama

adalah pelayanan kesehatan yang bersifat pokok (basic health services),

yang sangat dibutuhkan oleh sebagian besar masyarakat serta mempunyai

(41)

umunya pelayanan kesehatan tingkat pertama ini bersifat pelayanan rawat

jalan (ambulatory/ out patient services). Bentuk pelayanan ini di Indonesia

adalah Puskesmas, Puskesmas pembantu, Puskesmas keliling, dan

Balkesmas.

2. Pelayanan kesehatan tingkat kedua (secondary health services)

Yang dimaksud pelayanan kesehatan tingkat kedua adalah pelayanan

kesehatan yang lebih lanjut yang diperlukan oleh kelompok masyarakat

yang memerlukan rawat inap (in patient services) yang sudah tidak dapat

ditangani oleh pelayanan kesehatan primer dan memerlukan tersedianya

tenaga-tenaga spesialis.

3. Pelayanan kesehatan tingkat ketiga (tertiary health services)

Yang dimaksud dengan pelayanan kesehatan tingkat ketiga adalah

pelayanan kesehatan yang diperlukan oleh kelompok masyarakat atau

pasien yang sudah tidak dapat ditangani oleh pelayanan kesehatan sekunder,

bersifat lebih komplek dan umumnya diselenggarakan oleh tenaga-tenaga

superspesialis.

1.5.5.4 Pemanfaatan Pelayanan Kesehatan

Pemanfaatan pelayanan kesehatan adalah hasil dari proses pencarian

pelayanan kesehatan oleh seseorang maupun kelompok. Menurut Notoatmodjo

(1993), perilaku pencarian pengobatan adalah perilaku individu maupun

(42)

pencarian pengobatan di masyarakat terutama di negara sedang berkembang

sangat bervariasi (Ilyas, 2003). Menurut Notoatmodjo (2003), respons seseorang

apabila sakit adalah sebagai berikut:

1. Tidak bertindak atau tidak melakukan kegiatan apa-apa (no action). Dengan

alasan antara lain :

a. Bahwa kondisi yang demikian tidak akan mengganggu kegiatan atau kerja

mereka sehari-hari.

b. Bahwa tanpa bertindak apapun simptom atau gejala yang dideritanya

akan lenyap dengan sendirinya. Hal ini menunjukkan bahwa kesehatan

belum merupakan prioritas di dalam hidup dan kehidupannya.

c. Fasilitas kesehatan yang dibutuhkan tempatnya sangat jauh, petugasnya

tidak simpatik, judes dan tidak ramah.

d. Takut dokter, takut disuntik jarum dan karena biaya mahal.

2. Tindakan mengobati sendiri (self treatment), dengan alasan yang sama

seperti telah diuraikan. Alasan tambahan dari tindakan ini adalah karena

orang atau masyarakat tersebut sudah percaya dengan diri sendiri, dan

merasa bahwa berdasarkan pengalaman yang lalu usaha pengobatan sendiri

sudah dpat mendatangkan kesembuhan. Hal ini mengakibatkan pencarian

obat keluar tidak diperlukan.

(43)

4. Mencari pengobatan dengan membeli obat-obat ke warung-warung obat

(chemist shop) dan sejenisnya, termasuk tukang-tukang jamu.

5. Mencari pengobatan ke fasilitas-fasilitas modern yang diadakan oleh

pemerintah atau lembaga-lembaga kesehatan swasta, yang dikategorikan ke

dalam balai pengobatan, puskesmas, dan rumah sakit.

6. Mencari pengobatan ke fasilitas pengobatan modern yang diselenggarkan

oleh dokter praktek (private medicine). (Notoatmodjo, 2007).

Menurut Anderson (2009), ada tiga faktor-faktor penting dalam mencari

pelayanan kesehatan yaitu :

1. Mudahnya menggunakan pelayanan kesehatan yang tersedia

2. Adanya faktor-faktor yang menjamin terhadap pelayanan kesehatan yang

ada

3. Adanya kebutuhan pelayanan kesehatan.

1.5.6 KARTU INDONESIA SEHAT 1.5.6.1 Pengertian Kartu Indonesia Sehat

Kartu Indonesia Sehat merupakan program baru dari Pemerintah Baru

Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla untuk melanjutkan

Program JKN dari Pemerintah sebelumnya. Latar belakang munculnya kartu

Indonesia sehat (KIS) karena untuk memenuhi kemaslahatan/hajat hidup orang

(44)

dilaksanakan dalam Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Ini bertujuan untuk

meringankan beban masyarakat miskin terhadap kesehatan. KIS akan diberikan

kepada anggota Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) sehingga tidak menggeser

Sistem JKN.

Kartu Indonesia Sehat (KIS) merupakan:

1. Program untuk percepatan kepesertaan semesta Jaminan Kesehatan yang

sejalan dengan SJSN. Dengan KIS, Jaminan Kesehatan universal coverage dapat

diwujudkan dalam tempo cepat dan tidak harus menunggu sampai 2019.

2. Kartu Indonesia Sehat merupakan pelaksanaan dari amanat beberapa

regulasi terkait dengan kewajiban penyelenggara Jaminan Kesehatan dalam

memberikan identitas tunggal kepada peserta dan anggota keluarganya.

3. Pemenuhan hak–hak penduduk untuk mendapatkan Jaminan Kesehatan yang merupakan hak dasar.

4. Kartu Indonesia Sehat merupakan program penyempurnaan pelaksanaan

SJSN bidang Jaminan Kesehatan agar sejalan dengan SJSN sehingga tidak akan

ada lagi tumpang–tindih kewenangan bidang regulasi, pengawasan dan penyelenggaraan. Harapannya, antara Kementerian Kesehatan, Kementerian

Sosial, DJSN, Pemerintah Daerah dan BPJS Kesehatan berjalan sesuai role–nya. Secara programatik, dengan KIS, seluruh program Jaminan Kesehatan dapat

diintegrasikan ke dalam SJSN – BPJS Kesehatan.

Yang menarik dari program ini yaitu untuk PMKS, iuran premi BPJS

Kesehatan sebesar Rp 19.225 per orang per bulan itu ditanggung oleh Kemensos,

(45)

iuran ini akan masuk dalam skema PBI dan menambahkan jumlah peserta PBI

yang menjadi tanggungan pemerintah selama ini atau sebanyak 86,4 juta orang.

Secara regulatif, KIS berkaitan dan sejalan dengan amanat:

a) Pasal 15 Ayat (1) UU Nomor 40/2004 tentang SJSN bahwa “Badan

Penyelenggara Jaminan Sosial wajib memberikan nomor identitas tunggal kepada

setiap peserta dan anggota keluarganya”;

b) Pasal 13 Huruf (a) UU Nomor 24/2011 tentang BPJS bahwa dalam

melaksanakan tugasnya, BPJS berkewajiban untuk “memberikan nomor identitas tunggal kepada peserta”;

c) Pasal 8 Peraturan Pemerintah Nomor 101/2011 tentang Penerima Bantuan Iuran

Jaminan Kesehatan bahwa “BPJS kesehatan wajib memberikan nomor identitas

tunggal kepada peserta Jaminan Kesehatan yang telah didaftarkan oleh menteri

yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang Kesehatan”.

Di dalam KIS sendiri terdapat dua pendekatan, yaitu kuantitas dan kualitas.

Dari segi kuantitas, ada tambahan peserta PBI yang saat ini tercatat dalam

program JKN yang jumlahnya sekitar 86,4 juta. Jika sebelumnya penyandang

masalah kesejahteraan keluarga (PMKS) belum terdaftar dalam peserta PBI,

dengan KIS ini akan dimasukkan sebagai peserta PBI. Sementara dari segi

kualitas, KIS mengintegrasikan layanan preventif, promotif, diagnosis dini di

dalam skim yanag ada di Kementerian Kesehatan. Prosedur pelayanan kesehatan

peserta KIS disesuaikan dengan prosedur yang selama ini diterapkan dalam

(46)

19.682 fasilitas kesehatan tingkat pertama (puskesmas, klinik, dokter prakter

perorangan, optik dsb) dan 1.574 rumah sakit se-Indonesia, termasuk 620 rumah

sakit swasta, yang siap melayani peserta KIS.

KIS memperluas cakupan baik secara kuantitas maupun kualitas pada sistem

jaminan kesehatan yang sudah ada. BPJS Kesehatan selaku penyelenggara

jaminan kesehatan siap menjalankan dan menerima peserta KIS. KIS

diperuntukan bagi penduduk Indonesia, khususnya fakir miskin dan tidak mampu

serta iurannya dibayarkan oleh pemerintah. Penerima KIS diprioritaskan untuk

masyarakat pra-sejahtera yang belum terkaver dalam Penerima Bantuan Iuran

(PBI) dalam program JKN. Diperkirakan ada 4,5 juta penduduk pra-sejahtera RI,

yang merupakan kepala dan anggota keluarga dari 1 juta keluarga kurang mampu

yang akan mendapat KIS. Adapun pemegang kartu JKN-BPJS Kesehatan yang

lama tidak perlu khawatir karena kartu tersebut masih berlaku.

Singkat uraian, KIS merupakan kartu yang memuat identitas peserta

Jaminan Kesehatan, unik dan bernomor tunggal yang diperuntukkan kepada

semua penduduk Indonesia sebagai alat untuk mendapatkan program Jaminan

Kesehatan dan pelayanannya. KIS dikeluarkan oleh pemerintah melalui BPJS

Kesehatan sebagai lembaga nirlaba yang menyelenggarakan program Jaminan

Kesehatan semesta bagi semua warga.

1.5.6.2 Manfaat Kartu Indonesia Sehat

Peserta dapat memanfaatkan pelayanan kesehatan yang di berikan oleh

fasilitas kesehatan yang bekerjasama dengan programkartu Indonesia sehat.

(47)

A. Pelayanan Kesehatan Tingat Pertama :

1.Rawat jalan tingkat pertama ( RJTP) dan

2.Rawat inap tingkat pertama ( RITP)

B. pelayanan Kesehatan Tingkat Lanjutan :

1.Rawat Jalan Tingkat Lanjutan (RJTL)

2.Rawat jalan Lanjutan (spesialistik)

3.Rawat Inap Tingkat Lanjutan (RITL) di kelas III

4.Rawat Inap Kelas Khusus (ICU/ICCU/NICU/PICU)

C. Pelayanan Gawat Darurat (emergency)

D. Pelayanan Transportasi Rujukan

E. Pelayanan obat Generik dan atau Formularium Obat RS

F. Penunjang Diagnosis

G. Pelayanan Persalinan

H. Tindakan Medis Operatif dan Non Operatif

I. Pelayanan yang tidak di tanggung:

1. Pelayanan yang tidak sesuai prosedur

2. Pelayanan akosmetik (scaling,bedah plastic dll)

3. Ketidaksuburban

4. Medical check up (pap smear dll)

5. Susu formula dan makanan tambahan

6. Pengobatan alternatif (tusuk jarum dll)

7. Pecandu narkotika

Gambar

Gambar 1.1. Pengukuran Efektivitas dan Pendekatan Efektivitas
Gambar 1.2. Model Kesesuaian Implementasi Program

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan penelitian ini adalah mengkaji jaminan hukum terhadap hak anak jalanan untuk mendapatkan pelayanan kesehatan dan memahami pemenuhan hak anak jalanan

“ PELAKSANAAN PELAYANAN KESEHATAN BAGI PEMEGANG KARTU PESERTA BADAN PENYELENGGARA JAMINAN SOSIAL KESEHATAN YANG TIDAK TERPENUHI HAKNYA OLEH DI RUMAH SAKIT UMUM

Adam Malik Medan adalah salah satu pemberi pelayanan bagi peserta Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan, perlu mendapatkan masukan sejauh mana tingkat kepuasan

Adam Malik Medan adalah salah satu pemberi pelayanan bagi peserta Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan, perlu mendapatkan masukan sejauh mana tingkat kepuasan

Peraturan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Penyelenggaraan Jaminan Kesehatan. Universitas

Program Kartu Indonesia Sehat Pada Pelayanan Kesehatan Di Puskesmas Sesuai dengan Intruksi Presiden No 07 Tahun 2014 Tentang Kartu Indonesia Sehat telah dikeluarkan sebagaimana