• Tidak ada hasil yang ditemukan

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Hibridisasi Budaya dalam Ritus Siklus Kehidupan Orang Bajo di Desa Mola Wakatobi T2 752015031 BAB II

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Hibridisasi Budaya dalam Ritus Siklus Kehidupan Orang Bajo di Desa Mola Wakatobi T2 752015031 BAB II"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

16

BAB II

TEORI RITUAL DAN LANSKAP GLOBALISASI

2.1. Ritual Sebagai Identitas Budaya

Budaya merupakan cara bagaimana manusia hidup atau cara bertahan hidup di tengah

masyarakat atau cara belajar dari masyarakat.1 Dalam perspektif sosiologis, budaya merujuk

pada elemen simbolik dari kehidupan sosial, terlebih khusus pada objek sosial dan aktifitas

masyarakat.2 Salah satu unsur dari budaya adalah ritual, ritual berguna sebagai simbol pemersatu

dan juga pembaharu kehidupan bermasyarakat. Di dalam ritual mengandung nilai kesakralan

yang membuat pengikutnya terpanggil untuk hidup dalam solidaritas. Selain itu, ritual juga

menjadi alat untuk melakukan pembedaan terhadap satu masyarakat dengan masyarakat lainnya.

Karena di dalamnya terkandung proses inisiasi terhadap ‘individu baru’ yang masuk dalam komunitas tersebut. Melalui proses inisiasi, individu itu melebur menjadi satu bagian tak

terpisahkan dalam komunitas itu. Oleh sebab itu, ritual wajib hukumnya dilaksanakan di dalam

suatu masyarakat, baik itu masyarakat tradisional maupun masyarakat modern saat ini. Tanpa

disadari, pola hidup dan interaksi kita dalam masyarakat merupakan suatu ritual yang

berlangsung terus menerus. Meskipun hal itu terkadang merupakan hal biasa, sehingga tidak bisa

dikatakan sebagai suatu ritual di dalam masyarakat. Namun, ritual merupakan suatu proses yang

berlangsung melalui beberapa tahapan di dalam masyarakat, dan pada akhirnya ritual itu menjadi

karakter masyarakat.

(2)

17 Rites of Passage (ritus peralihan) yang diperkenalkan oleh Arnold van Gennep,

merupakan suatu transisi kehidupan dari setiap individu, dari satu masa kehidupan ke masa

selanjutnya, dan proses pembentukan identitas masyarakat dipengaruhi oleh ritus peralihan

tersebut.3 Ritus dalam suatu kebudayaan terus berubah, namun nilai di dalamnya tetap bertahan

sesuai dengan konteks masing-masing. Ritus ini berfungsi untuk menjaga masyarakat dalam

tatanan yang seimbang. Karena perubahan sosial yang begitu cepat dalam masyarakat,

menyebabkan perubahan perilaku di tengah masyarakat. Karena itu, ritus sosial menguatkan atau

mengintesifkan habitual (kebiasaan) relasi dalam masyarakat. Dengan kata lain, ritus mencegah

punahnya kebiasaan-kebiasaan yang telah ada dalam masyarakat.4

Sedangkan kata ritual, berdasarkan kamus besar sosiologi, yakni suatu aktifitas yang

dilakukan secara signifikan oleh tindakan-tindakan formal dalam suatu pola tertentu, melalui

simbol, dan ekspresi yang bermakna. Dalam istilah sosiologis, ritual merupakan suatu tindakan

berulang-ulang yang memiliki pola tertentu dalam suatu masyarakat.5 Grant Potts mengutip

pandangan Roy Rappaport, seorang antropolog, yang menyatakan bahwa ritual berguna sebagai

alat untuk beradaptasi dalam masyarakat, alat untuk memelihara komunitas yang memungkinkan

kita untuk bertahan hidup dan bereproduksi.6 Ritual memiliki berbagai definisi, karena makna

istilah itu begitu dalam dan bervariasi. Secara umum, penggunaan ritual diidentifikasi dengan

yang sakral. Richard Schechner mempertimbangkan ritual sebagai berikut:

3 Miri Rubin, "Introduction: Rites of Passage," in Rites of Passage: Cultures of Transition in the Fourteenth

Century, ed. Nicola F. McDo ald a d W. M. Or rod U iversity of York’s: York Medieval Press, 2004 , 8.

4 Debika Saha, "Ceremonies," in 21st Century Anthropology: A Reference Handbook, ed. H. James Birx (California: Sage Publications, 2010), 769.

5 Steve Bruce and Steven Yearley, "Ritual," in The Sage Dictionary of Sociology (California: SAGE Publications Inc, 2006), 263.

6 Grant Potts, "Negotiating the Social in the Ritual Theory of Victor Turner and Roy Rappaport," in

(3)

18

1) Sebagai bagian dari perubahan evolusioner dari binatang; 2) sebagai struktur

dengan kualitas resmi dan suatu hubungan yang dapat dijelaskan; 3) sebagai sistem

simbol dari makna; 4) sebagai suatu pertunjukkan atau sebuah proses; 5) sebagai

suatu pengalaman.7

Definisi di atas mempertajam pemahaman akan ritual sebagai aspek religius karena orang-orang

menggunakannya untuk mencari bantuan dari roh-roh leluhur, baik melaksanakan ritual dengan

cara yang sesuai dan dengan keinginan untuk memperoleh, misalnya: hujan, kesehatan, tanaman

yang baik atau status sebagai orang dewasa.8

Ritual tidak hanya mengandung nilai kesakralan saja, tetapi juga mengandung nilai

profan yang nyata dalam kehidupan bermasyarakat. Sakral dan profan merupakan terminologi

yang dibuat oleh Emile Durkheim dalam bukunya Elementary Forms of the Religious Life, yang

mengarah pada suatu distingsi antara yang suci dan tidak suci (duniawi).9 Simbol-simbol yang

sakral memiliki sifat padat akan makna, kemurnian, solidaristik dan menenangkan, sedangkan

simbol-simbol profan bersifat membagi dan menyebar, berbahaya dan merusak, serta terutama

mengancam yang sakral.10 Nilai profan dan nilai sakral inilah yang seringkali sifatnya bertalian

dan tumpang tindih ketika berada dalam suatu budaya. Kedua nilai tersebut saling

mempengaruhi dan memberi dampak terhadap pola kebiasaan dalam masyarakat. Karena itu,

konsep kebudayaan menurut Clifford Geertz cukup baik untuk ditempatkan dalam ranah ini,

7 Richard Schechner, The Future of Ritual: Writings on Culture and Performance (London: Routledge, 1993), 228.

8 Thera Rasing, "The Importance of Ancestors in The Religion of The Bemba of Northern Zimbabwe," in

David Levinson, "Encylopedia of Religious Rites, Rituals, and Festivals" (New York: Routledge, 2004), 7.

9 Steve Bruce and Steven Yearley, "Sacred and Profane, in 21st Century Anthropology: A Reference

Handbook, ed. H. James Birx (California: Sage Publications, 2010), 266.

(4)

19

yakni kebudayaan sebagai sebuah ilmu yang bersifat interpretatif untuk mencari makna.11 Makna

ini sebagai suatu proses yang terus berjalan dan dinamis, sesuai dengan konteks ruang dan waktu

masing-masing.

2.2. Pertemuan antara Lokal dan Global

Kebudayan yang menjadi akar dalam masyarakat lama kelamaan tergerus oleh perubahan

yang terjadi, karena arus modernisasi memberi peluang untuk mengangkat nilai-nilai

kebudayaan, dan di saat yang sama membuat suatu celah untuk menggeser nilai-nilai

kebudayaan tersebut. Dalam hal ini budaya global memberi dampak besar terhadap perubahan

yang terjadi di konteks lokal, yang mengakibatkan menipisnya nilai-nilai kebudayaan dalam

masyarakat. Masyarakat mulai memberi ruang kepada arus globalisasi dalam kehidupannya,

tanpa menyadari dampak yang akan terjadi terhadap identitas mereka. Wunderlich dan Warrier

mengutip pandangan dari David Held bahwa globalisasi merupakan suatu fenomena space

(ruang), yakni sebuah rangkaian kesatuan antara lokal di satu sisi dan global di sisi lainnya. Hal

itu ditandai dengan organisasi dan aktifitas inter-regional, dan suatu interaksi yang melibatkan

kekuasaan.12 Merujuk pada pandangan tersebut bahwa globalisasi merupakan suatu fenomena

dua arah, yakni global dan lokal saling mempengaruhi. Karena itu, ketika kekuatan lokal

masyarakat mampu mendapatkan tempatnya di tengah globalisasi ini, maka kebudayaan dan

nilai-nilainya akan bertahan sesuai dengan konteks yang diberikan. Meskipun tidak ada satu pun

kebudayaan di dunia ini yang tidak berubah, namun dengan mempertahankan nilai-nilai tradisi

11 Clifford Geertz, Tafsir Kebudayaan (Yogyakarta: Kanisius, 1992), 5.

(5)

20

dan kepercayaannya dalam masyarakat, maka proses tarik menarik antara kebudayaan lokal dan

global terus berlangsung dan akan menciptakan suatu hybrid baru, yaitu suatu sintesa akibat dari

meleburnya kebudayaan lokal dan global di tengah masyarakat. Hal ini yang menjadi realitas

baru dalam masyarakat pos modern, yakni suatu masyarakat yang mampu membuat

kebudayaannya kokoh, meskipun ada sedikit tambalan-tambalan dari kebudayaan global yang

menerpanya.

Globalisasi menunjukkan suatu proses penyebaran yang dinamis dari struktur, institusi

dan budaya oleh 'modernitas barat' seperti demokrasi liberal, konsumerisme, perdagangan bebas,

kapitalisme, bahasa inggris, dan mass media yang mendominasi budaya Amerika/barat, dan ini

bahkan menuju kepada homogenisasi budaya, yang merupakan konsep dari Arjun Appadurai.

Homogenisasi budaya nyata di berbagai aspek kehidupan, mulai dari aspek politik, ekonomi,

maupun interaksi antar budaya.13 Proses pertemuan antara budaya lokal dan global

mempengaruhi ritus siklus kehidupan dalam masyarakat, mulai dari kelahiran (inisasi),

pernikahan, penyembuhan dan kematian. Ritus ini dijalankan secara terus menerus, sama seperti

suatu siklus yang tidak pernah berhenti dan bersifat maju, serta dinamis dalam

perkembangannya.

2.3. Teori Ritus Peralihan dalam Siklus Kehidupan

Untuk dapat menganalisis ritus siklus kehidupan lebih mendalam, maka dibutuhkan

kerangka teoritis yang relevan dan signifikan sebagai pisau analisis data yang diperoleh.

Pencetus pertama mengenai ritus siklus kehidupan adalah Arnold van Gennep, seorang

antropolog dari Belgia, yang mempublikasikan pemikirannya pada tahun 1908, melalui buku

(6)

21

yang berjudul Les Rîtes des Passages. Terjemahan yang tepat untuk kata passage, adalah transisi

atau peralihan. Jadi, istilah van Gennep adalah ritus peralihan, namun peneliti menambahkannya,

menjadi ritus peralihan dalam siklus kehidupan. Karena dalam pemikiran van Gennep tentang

ritus peralihan, yang dibahas adalah suatu siklus kehidupan manusia yang terus berputar seperti

spiral, namun bersifat dinamis dalam prosesnya, sehingga terus bersifat progresif (maju). Dalam

tulisannya, van Gennep membandingkan ritus dan upacara antara budaya Eropa dan non Eropa

(Barat), yang menentukan pola dan proses kehidupan dalam masyarakat melalui fase-fase dalam

hidup.14 Pandangan van Gennep yang menyatakan bahwa masyarakat adalah gabungan dari

individu, dan mungkin bagi individu untuk mengubah keseluruhan, bertentangan dengan

pemikiran Emile Durkheim, yang melihat bahwa individu tidak dapat melawan tindakan kolektif

dari masyarakat. Van Gennep melihat dari sudut pandang upacara ritual, yang di dalamnya ada

masa transisi dari kehidupan manusia yang berbeda secara detail dari budaya satu dengan yang

lainnya, tetapi mereka (budaya-budaya itu), secara esensial adalah universal. Karena itu, ritual

merupakan cerminan atau refleksi terhadap budaya,. 15

Ritus siklus kehidupan menandakan perubahan status sosial di dalam diri individu. Dalam

hal ini, terkandung hirarki sosial, nilai-nilai dan kepercayaan dari budaya tersebut. Dalam ritus

tersebut, terdapat upacara terbagi atas beberapa fase kehidupan manusia: kelahiran, inisiasi, masa

pubertas, masa dewasa, pernikahan, dan kematian. Ini merupakan fase kehidupan manusia dari

14 Michael J. Simonton, "Europe: Past and Present," in 21st Century Anthropology: A Reference Handbook, ed. H. James Birx (California: Sage Publications, 2010), 717.

(7)

22

satu posisi ke posisi lainnya. Van Gennep lebih fokus terhadap upacara yang bersifat

sosio-kultural, daripada secara biologis.16

Fase-fase tersebut terangkai dalam skema ritus siklus kehidupan, yang terbagi atas fase

preliminal (ritus dari pemisahan), fase liminal (ritus dari transisi), dan fase postliminal (ritus dari

penggabungan), dan dalam realitanya ketiga ritus tersebut tidak selalu setara satu sama lain.17

Dalam setiap fase peralihan yang dialami dan dilewati oleh manusia, semuanya mempunyai sifat

kesakralan, karena semua peralihan adalah peralihan yang suci.18

1) Fase Preliminal

Pada fase pertama, pemisahan, masyarakat memisahkan diri dari lingkungan sosialnya.

Pemisahan ini membuat mereka unik, karena mereka adalah orang-orang spesial yang tergabung

dalam upacara yang sudah terorganisir.19 Ritus pemisahan yang paling menonjol dalam tulisan

van Gennep adalah tentang ritus kematian, yang begitu kontras dengan ritus transisi dan ritus

penggabungan. Ritus ini sebagai tanda adanya pemisahan antara dunia sebelumnya, dan berpisah

dengan masyarakat tempat ia hidup. Dalam ritus kematian,yang termasuk dalamnya fase

pemisahan ini, orang-orang dari berbagai latar belakang datang dan saling berbaur dalam ritus

tersebut.20 Karena itu, dalam situasi dukacita yang dialami oleh keluarga dekat maupun

masyarakat sekitar terdapat kedekatan emosional antara orang yang meninggal dan orang-orang

di sekitarnya. Van Gennep menyatakan bahwa hal ini menunjukkan adanya hubungan spesial di

16 Saha, "Ceremonies," in 21st Century Anthropology, 767.

17 Arnold Van Gennep, The Rites of Passage, trans. Monica B. Vizedom and Gabrielle L. Caffee (Chicago: The University of Chicago Press, 1960), 21.

18 Van Gennep, The Rites, 12.

(8)

23

dalam kelompok dari dunia orang hidup dan dunia orang mati.21 Melalui ritus kematian ini,

masyarakat tradisional (pra-industri) yang mengikuti proses ritus tersebut mengalami refleksi diri

dari kehidupannya, yang sedang berada dalam fase transisi (tidak berada di dunia masa lalu dan

kematian), dan memiliki ingatan-ingatan kolektif akan peristiwa yang terjadi dalam

kehidupannya dan bagaimana seharusnya ia hidup di dunia ini.

Catherine Bell menganalisis dalam fase pertama, pemisahan, terkadang dibuat ritus

pemurnian di dalamnya dan simbol sindiran kepada hilangnya identitas yang lama (sebagai efek,

kematian dari hidup yang lama): individu dimandikan, rambut dicukur, baju diganti, dan dibuat

tanda di tubuh individu tersebut.22 Fase pemisahan ini menunjukkan terjadinya transformasi dari

kehidupan normal, peran dan identitas individu dalam suatu masyarakat. Dalam hal ini, individu

terpisah dari kelompok dan identitas sebelumnya, setelah mereka terpisah dari masyarakat,

mereka melewati fase transisi yang melekat dalam diri mereka. Kemudian, mereka mengalami

keadaan liminalitas yang berhubungan dengan ambang pintu dalam kehidupan mereka.23

2) Fase Liminal

Fase kedua adalah fase transisi. Fase ini termasuk dalam Fase yang vital, karena

masyarakat hampir membentuk ulang status sosial dari masa lalu. Masa transisi ini ditandai

dengan tindakan yang bersifat transformatif.24 Van Gennep menyatakan bahwa dalam fase

liminal ini bukan merupakan upacara persatuan, namun suatu persiapan menuju persatuan.25

Salah seorang yang mendalami dan mengembangkan teori liminalitas adalah Victor Turner, yang

21 Van Gennep, The Rites, 147.

22 Catherine Bell, Ritual Perspectives and Dimensions (USA: Oxford University Press, 2009), 36.

23 Benjamin Feinberg, "Rites of Passage, in "Encylopedia of Religious Rites, Rituals, and Festivals" (New York: Routledge, 2004), 311.

(9)

24

menyatakan bahwa aspek liminality (liminalitas) sebagai the mother of all invention (Ibu dari

segala penemuan/sumber dari segala ciptaan).26 Karena menurut Turner bahwa fase liminalitas

merupakan suatu kondisi bagi manusia untuk mengembangkan dirinya, menemukan jati dirinya

dan merefleksikan keadaan yang terjadi di masa lalu, masa kini dan akan datang, sehingga dapat

terbentuk anggota masyarakat baru. Sejatinya, konsep liminalitas merupakan fase personae

(threshold people atau orang-orang berada di ambang pintu), yang menunjukkan keambiguan

dalam kondisi tersebut, dan orang-orang berada dalam posisi tersebut dalam ruang lingkup

budaya mereka.27 Menyebrangi ambang pintu berarti menyatukan diri dengan dunia baru. Hal ini

nampak dalam ritual pernikahan, pengangkatan anak, inisiasi, tahbisan dan pemakaman.28

3) Fase Post-Liminal

Fase ketiga, merupakan fase penggabungan. Di dalamnya terdapat ritual yang

menyambut kembali individu dalam masyarakat.29 Dengan adanya ritus inkorporasi

(penggabungan) ini, maka sampai pada suatu tahap penyatuan ke dalam dunia baru, yang disebut

sebagai ritus post-liminal. Van Gennep menganalisis pertunangan dan pernikahan yang masuk

dalam fase penggabungan, karena di kehidupan sebelumnya individu hanya mengurus diri

sendiri atau bersifat otonomi, namun setelah memasuki fase penggabungan ini, individu masuk

dalam fase baru setelah melewati fase transisi (liminalitas). Individu tersebut masuk dalam

lingkungan yang benar-benar baru dari sebelumnya, dan dalam fase ini individu membentuk

identitas baru dalam dirinya kembali.30 Bell menyatakan bahwa dalam fase ini, individu memiliki

26 Barry Stephenson, Ritual: A Very Short Introduction, (London: Oxford University Press, 2015), 59. 27 Victor Turner, The Ritual Process: Structure and Anti-Structure (New York: Cornell University Press, 1969), 95.

28 Y.W. Wartaya Winangun, Masyarakat Bebas Struktur: Liminalitas dan Komunitas Menurut Victor Turner (Yogyakarta: Kanisius, 1990), 34.

(10)

25

status baru di tengah masyarakat, sehingga menunjukkan bahwa mereka telah melalui fase

peralihan dengan baik dan telah disambut, serta diterima oleh masyarakat untuk menjadi satu

bagian yang utuh di dalamnya.31 Kehidupan itu sendiri, menurut van Gennep, berarti berpisah

dan bergabung kembali, untuk mengubah bentuk dan kondisi, untuk mati dan lahir kembali.32

Menurut Debika Saha, upacara atau ritual bukan hanya berfungsi sebagai perekat sosial

dalam masyarakat, lebih dari itu, ritual merupakan cerminan spiritual, religius, dan perasaan

alami dari manusia. Dengan kata lain, ritual merefleksikan bagaimana orang-orang terbentuk,

belajar dan bertransformasi dalam budaya, sehingga dapat memberi makna dan mendefinisikan

eksistensinya dalam hidup ini.33

2.4. Skema Ritus Peralihan dalam Drama Sosial

Richard Schechner, proffesor di bidang pertunjukan Universitas New York, memetakan

konsepnya mengenai ritus yang terjadi dalam teater dan dihubungkan dengan antropologi.

Schechner mengambil gagasan van Gennep tentang fase-fase dalam ritus siklus kehidupan

(separation, transition and incorporation), dan menambahkan aspek-aspek penting dalam

gagasannya mengenai pertunjukan teater sosial. Konsep Schechner di bawah ini memberi

gambaran signifikan mengenai ritus siklus kehidupan dalam aspek sosial-budaya.

31 Bell, Ritual Perspectives, 36. 32 Van Gennep, The Rites, 189.

(11)

26

Sumber: Buku Richard Schechner “Between theater and anthropology.”34

2.5. Aspek Kultural Globalisasi

Jan Nederveen Pieterse, professor di bidang ilmu global dan sosiologi, membagi tiga

paradigma dari aspek kultural globalisasi, yakni diferensialisme kultural, konvergensi budaya,

dan hibridisasi budaya. Paradigma dari Pieterse ini menunjukkan bahwa adanya suatu cara

pandang dunia terhadap budaya-budaya di seluruh dunia: selalu berbeda, memusat, atau

menciptakan bentuk “percampuran” baru dari kombinasi unik antara budaya lokal dan global.35

34 Richard Schechner, Between theater and anthropology (Philadelphia:University of Pennsylvania Press, 1985), 288.

(12)

27

Di bawah ini tabel Three Ways of Seeing Cultural Difference (Tiga jalan melihat perbedaan

budaya) dari Pieterse, dalam bukunya “Globalisasi dan Budaya: Globalisasi Campuran.”

Sumber:

Buku Jan Nederveen Pieterse “Globalization and Culture.” 36

Melalui tiga paradigma aspek kultural globalisasi di atas, maka peneliti merujuk pada

fokus, yakni dalam dimensi mixing atau campuran, di masa modern, diikuti dengan hibridisasi

sebagai aspek utama dalam penelitian ini.

2.6. Hibridisasi Budaya

Glokalisasi merupakan bagian dari paradigma hibridisasi budaya. Identitas dibangun

melalui negosiasi yang mengandung perbedaan yang terdapat celah, dan kesenjangan di

(13)

28

dalamnya. Hibriditas muncul dalam proses 'ruang ketiga,' yakni sebagi tempat elemen lainnya

mengubah satu sama lain, sehingga proses pertemuan bertemu dan menghasilkan satu perubahan.

Dalam perspektif fungsionalis, hal ini dipandang sebagai model pertukaran budaya. Dalam

bahasa Nikos Papastergiadis, hal itu dilihat sebagai sesuatu yang "mix and match" yang timbul di

banyak budaya dan berbagai wacana tentang identitas.37 Hibridisasi budaya merupakan salah

satu paradigma dari aspek kultural globalisasi yang menekankan terjadinya penyatuan antara

global dan lokal. George Ritzer menyatakan bahwa hibridisasi sebagai sebuah proses yang

sangat kreatif dalam memandang globalisasi, karena dari istilah ini akan muncul berbagai budaya

baru dan berkelanjutan, sehingga dapat meningkatnya heterogenitas di banyak tempat berbeda.38

Hibridisasi tersebut merupakan sintesa dari budaya yang berbeda atau identitas sosial,

yang menghasilkan bentuk ketiga baru. Beberapa ahli antropologi mengklaim bahwa

percampuran ras menghasilkan "jenis sosial" yang mereka sebut hybrid.39 Hibridisasi tidak sama

dengan hybrid. Hibridisasi merupakan kata aktif dan istilah yang berkonotasi proses yang sedang

berjalan sedangkan hybrid adalah penjelasan tentang sesuatu yang statis, dan bukan akhir dari

proses menjadi.40 Pencampuran budaya itu sebagai akibat dari globalisasi dan produksi. Akibat

penyatuan tersebut akan menghasilkan bentuk-bentuk hibrida yang khas, dan ini

mengindikasikan keberlanjutan heterogenisasi daripada homogenisasi.41 Barker dan beberapa

ahli budaya berpendapat bahwa kebudayaan dan identitas kultural tidak bisa dipahami lagi

sebagai ‘tempat,’ tetapi sebagai suatu perjalanan. Hal ini berarti kebudayaan sebagai arena

37 Nikos Papastergiadis, The Turbulence of Migration: Globalization, Deterritorialization and Hybridity 1st ed. (USA: Blackwell Publishers Inc, 2000), 170.

38 Ritzer, Teori Sosiologi, 999.

39 Julian Go, "Hybridity," in The Cambridge Dictionary of Sociology, ed. Bryan S. Turner (New York: Cambridge University Press, 2006), 275.

40 Sten Pultz Moslund, Migration Literature and Hybridity: The Different Speeds of Transcultural Change, First ed. (United Kingdom: Palgrave Macmillan, 2010), 14.

(14)

29

bertemunya para pelancong, sehingga meningkatnya perbenturan, pertemuan dan percampuran

kultural di dalamnya.42

Konsep hibridisasi budaya berkaitan erat dengan teori glokalisasi.43 Glokalisasi

merupakan sebuah istilah yang diadopsi oleh sosiolog dari strategi pemasaran

perusahaan-perusahaan global yang memperkenalkan modifikasi kecil sebagai produk global untuk pasar

lokal yang berbeda dan untuk mengikuti keinginan lokal. Dalam konsep sosiologis, hal ini

mengungkapkan ketegangan antara budaya lokal dan global. Sebagai sebuah proses, itu mengacu

pada globalisasi dari yang lokal dan glokalisasi dari yang global.44

2.7. Glokalisasi

Teori ini dikembangkan oleh Roland Robertson, seorang sosiolog, dan pakar teori tentang

globalisasi. Robertson berpandangan bahwa globalisasi mengakibatkan tekanan yang mendalam

kepada dunia dan intensifikasi kesadaran dunia secara menyeluruh. Ada dua dinamika dalam

globalisasi yang terus terjalin satu dengan lainnya, yakni mengenai penkhususan masalah dunia

dan penduniaan masalah khusus.45 Hailey menyatakan bahwa “globalisasi merupakan konsep penting dalam mengamati sistem yang kompleks dalam masyarakat, karena konsepnya yang

memadai, maka globalisasi memerlukan analisis yang cermat dari arah vertikal dan horizontal,

internal dan eksternal.”46

42Chris Barker, Cultural Studies: Teori & Praktik, trans. Nurhadi, Nineth ed. (Bantul: Kreasi Wacana, 2015), 211.

43 Ritzer, Teori Sosiologi, 999.

44Nicholas Abercrombie, Stephen Hill, and Bryan S. Turner, "Glocalization," in Dictionary of

Sociology(England: Penguin Books, 2006), 170.

(15)

30

Teori glokalisasi digunakan untuk meneliti isu-isu dan permasalahan yang berhubungan

dengan pertemuan identitas lokal dan global, sehingga fokus utama bukan identitas global yang

mempengaruhi yang lokal, melainkan identitas lokal dapat memberi pengaruh terhadap identitas

global. Hal ini mengindikasikan bahwa topik tentang kebudayaan berkaitan dengan konsep lokal

dan global, sehingga akan terjadi proses konstruksi dan reproduksi kebudayaan oleh masyarakat,

melalui interaksi sosial, negosiasi sosial, sampai pada proses internalisasi kebudayaan dalam

suatu masyarakat.

Teori glokalisasi dikembangkan Robertson pada pertengahan tahun 1990-an. Masalah

kemudian muncul, tentang hubungan antara glokalitas dan motif-motifnya, seperti polietnisitas,

kosmopolitanisme, lintas kebudayaan, sinkronisitas, hibriditas, transkultural, kreolisasi,

pribumisasi, dan diasporisasi. Hal tersebut mengidentifikasikan bahwa gagasan global memiliki

berbagai makna di berbagai konteks "lokal." Dengan cara yang sama, konsep lokal dapat

mengglobal.47 Penekanan dalam teori glokalisasi ini merujuk pada individu dan semua kelompok

lokal sebagai agen sosial yang penting dan kreatif yang mempunyai kekuatan untuk beradaptasi,

dan berinovasi dalam sebuah dunia yang mengalami glokalisasi. Ritzer menambahkan bahwa

teori glokalisasi paling cermat terhadap berbagai perbedaan di dalam dan di antara berbagai

kawasan di dunia.48

2.8. Landscape: Ethnoscapes, Ideoscapes, Financescapes, Technoscapes, dan Mediascapes

47Roland Robertson, "Coping with Binaries: Bays, Seas and Oceans," Glocalism: Journal of Culture, Politics

(16)

31

Arjun Appadurai merupakan seorang teoritis globalisasi, ia dikenal dengan teorinya yang

menjelaskan kompleksitasi gerakan kemasyarakatan, media, finansial, teknologi dan budaya

dalam konteks dunia yang tidak menentu. Ia mengkonseptualisasikan hal itu dalam lima scapes,

yakni ethnoscapes, ideoscapes, financescapes, technoscapes dan mediascapes. Penggunaan kata

scape menunjukkan bahwa semua proses di setiap area tersebut memiliki bentuk cair, tidak tetap

dan beragam, sehingga gagasan heterogenisasi tepat dalam hal ini, bukan homogenisasi.49

Landscapes tersebut dibangun dari pemikiran Bennedict Anderson mengenai imagined world

(dunia imajiner), yang dilakukan oleh berbagai individu dan komunitas yang tersebar di seluruh

dunia.50 Bagi Appadurai, memahami globalisasi perlu melihat landscapes tersebut, karena

globalisasi merupakan proses yang kompleks, dinamis dan interaktif.51

Berikut lima pokok pemikiran dari Arjun Appadurai:

1) Ethnoscape dari individu maupun kelompok yang bergerak (turis, pendatang, pengungsi,

tenaga kerja asing) yang memainkan peran penting dalam dunia yang terus berubah.

Sadar maupun tidak, hal ini menunjukkan terjadinya pergerakan yang sesungguhnya di

tengah masyarakat.52 Istilah Ethnoscape dipakai oleh Appadurai untuk menggambarkan

suatu perubahan sosial, teritorial dan reproduksi kultural dan identitas kelompok.

Kerangka konseptual dari Appadurai membahas tentang perdebatan kultural, yang

menurutnya bahwa terjadi proses perkembangan dinamika kultural yang begitu cepat, dan

ia menyebutnya sebagai deteritorialisasi, yang berarti adanya suatu korporasi

49 Ritzer, Teori Sosiologi, 1002.

50 Arjun Appadurai, Modernity at Large: Cultural Dimensions of Globalization (London: University of Minnesota Press, 1996), 33.

(17)

32

transnasional dan berkaitan dengan pasar uang, juga kepada kelompok etnik, gerakan

sektarian dan formasi politik.53

2) Technoscape merupakan suatu konfigurasi global yang terus berjalan melalui teknologi

informasi dan mekanika, serta sejumlah besar materi (data unduhan, e-mail), yang dalam

masa pos-modern ini sangat bebas dan begitu cepat mengalir tanpa adanya batasan.54

Appadurai menambahkan bahwa distribusi teknologi tidak meningkat karena adanya

dorongan dari skala ekonomi, kontrol politik atau dari rasionalitas pasar, tetapi meningkat

karena adanya hubungan yang kompleks di antara arus peredaran uang,

kemungkinan-kemungkinan politis dan ketersediaan dari pekerja (buruh) yang berkompeten dalam

industri.55

3) Financescape adalah suatu area peredaran uang secara besar-besaran, yang bergerak dari

satu wilayah ke wilayah lain (antar negara) dan proses tersebut berputar dengan cepat di

seluruh dunia melalui pasar uang, perdagangan mata uang, spekulasi, bursa saham, dan

sebagainya. Namun, Appadurai melihat titik kritis dalam hubungan global antara

ethnoscapes, technoscapes, dan financescapes, yang begitu berlawanan dan sangat tidak

bisa diprediksi, karena dari setiap area ini subyek itu sendiri terpaksa dan terdorong oleh

beberapa aspek (misalnya: aspek politik, beberapa yang bersifat informasi, dan yang

bersifat tekno-lingkungan), pada saat yang sama hal itu bertindak memaksa dan adanya

parameter terhadap gerakan-gerakan dari satu area ke area lainnya.56

4) Mediascape merupakan penyebaran informasi ke seluruh dunia melalui berbagai media

yang tersedia (Internet, social media, televisi, koran, majalah, dan buletin), sehingga

(18)

33

pihak-pihak yang terlibat merupakan orang-orang yang kompeten di bidangnya untuk

memberikan tampilan atau pertunjukkan yang sesuai dengan konteks dan situasi di

masing-masing tempat. Mediascape dan ideoscapes ditujukkan kepada audience lokal,

nasional dan internasional. Mediascapes ini dapat menunjukkan suatu karakter, plot, dan

bentuk-bentuk tekstual, yang dapat mengubah perspektif individu maupun komunitas,

sehingga mereka dapat mengubah kehidupannya melalui gambaran tersebut.57

5) Ideoscapes, hampir senada dengan mediascape, namun dalam ideoscape lebih

menonjolkan gambaran-gambaran politk atau ideologi masing-masing kelompok,58

berdasarkan kepentingannya masing-masing. Karena ideoscape mau menangkap

bagian-bagian kecil dari kekuasaan masing-masing kelompok. Appadurai menyatakan bahwa:

Ideoscapes terbentuk dari berbagai unsur, yakni cara pandang tentang pencerahan,

yang mana terdiri dari rangkaian ide-ide, istilah dan gambaran, termasuk di

dalamnya: kebebasan, kesejahteraan, hak-hak, kedaulatan, representasi dan istilah

yang unggul adalah demokrasi.59

Dalam area ini terdapat gerakan-gerakan pro dan kontra terhadap berbagai kepentingan

yang ada, namun terdapat juga gerakan yang bersifat netral dan anti terhadap kepentingan

politis tersebut.

Referensi

Dokumen terkait

Sesuai dengan jadwal yang tertera dalam SPSE dan sehubungan dengan akan dilaksanakannya pembuktian kualifikasi kepada peserta seleksi umum paket pekerjaan Belanja

Berdasarkan angka 1 s.d 2 diatas, Pokja Jasa Konsultansi dan Jasa Lainnya pada ULP Kabupaten Bengkulu Utara Mengumumkan Peringkat Teknis peserta seleksi umum paket

Berkenaan hal tersebut di atas, diminta saudara untuk membawa dokumen asli perusahaan dan/atau rekaman yang sudah dilegalisir oleh pihak yang berwenang meliputi

Semua pihak yang tidak dapat peneliti sebutkan satu persatu, yang telah banyak memberikan bantuan pada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini... Penulis menyadari tiada satupun

Sesuai hasil evaluasi Dokumen Kualifikasi yang dilaksanakan oleh Kelompok Kerja (POKJA) II Dinas Pekerjaan Umum ULP Kabupaten Donggala serta Klarifikasi terhadap keabsahan

Korosi : Peristiwa perusakan atau degradasi material logam akibat bereaksi secara kimia dengan lingkungan... Standar

[r]

telah sampai pada tahap klarifikasi dan pembuktian kualifikasi, untuk meneliti kembali dan membuktikan kebenaran dari isian dokumen pasca kualifikasi yang saudara masukkan,