• Tidak ada hasil yang ditemukan

img src=" images banners AKSI AKSI_0301_2015_S.jpg" border="0" width="170" height="230" style="float: left;"

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "img src=" images banners AKSI AKSI_0301_2015_S.jpg" border="0" width="170" height="230" style="float: left;""

Copied!
56
0
0

Teks penuh

(1)

open

recruit-ment

Reporter

Poet

Writer

Graphic Designer

Illustrator

Comic Artist

Terbuka untuk mahasiswa Fakultas Film dan

Televisi, Fakultas Seni Rupa, dan Fakultas Seni

Pertunjukan.

Isi formulir di majalah dan kumpulkan ke kotak

AKSI

terdekat sebelum 10 April 2015.

Grammar Nazi

Fortune Teller

Food Enthusiast

Philosopher

Comedian

Photographer

ask

(2)

Exposure:

Susunan Senat

Mahasiswa Baru

Photography Tips:

PHONE-TOGRAPHY

Film Technique:

EXPLOSION

E

D

ISI

3

N

O

1

2

0

1

5

M

A

J

A

L

A

H

T

R

IW

UL

A

(3)

Majalah AKSI diterbitkan oleh Fakultas Film dan Televisi, Institut Kesenian Jakarta. Majalah ini bertujuan untuk membangun semangat menulis dan membaca, serta menjadi sarana komunikasi antara Fakultas Film dan Televisi dengan Fakultas Seni Rupa dan Fakultas Seni Pertunjukan.

TABLE OF

CONTENTS

3

Introduction

4

Contributors

5

Vox Pop & Talkies

6

Exposure

10

Reportage

22

Point of View

28

Cinemascope

30

Viewfinder

32

Film Technique

34

Photography Tips

36

Close Up

37

The Survival Guide

38

Film Apparatus

40

Campus Life

44

Foodie Corner

46

Galerie de Photos

50

Plot Point

52

Flash Forward

54

Application Form

55

AKTRIS

(4)

Penasihat Umum

R.B. Armantono, M.Sn.

Penasihat Teknis

Arda Muhlisiun, M.Sn. Sam Sarumpaet, M.Sn. Bambang Supriadi, S.Sn.

Pemimpin Umum

German G. Mintapradja, M.Sn.

Pemimpin Redaksi

Caecilia Sherina

Wakil Pemimpin Redaksi

Ella Putri Maning

Sekretaris dan Bendahara Redaksi

Bella Fitrianah

Kepala Divisi Hubungan Masyarakat

Nabilah Putri Dewani

Tim Penulisan

Mubyar Parangina Samuel Rustandi Cemara Weda Chrisalit Larry Luthfianza Revin Palung

Tim Reportase

Yudhistya Putri Bharati Zafira Sekarnegara

Tim Fotografi

Alfathir Yulianda Fina Ayu Kumala Devi

Tim Artistik

Adhi Abel Garyanes Yulius Novian Virgiawan

Redaktur Bahasa dan Fotografi

Bawuk Respati Fira Budiman

Asaf Kharisma Putra Utama SELAMAT PAGI TEMAN AKSI!

Assalamu'alaikum Wr. Wb.

Selamat pagi sahabat dan selamat berjumpa kembali dengan

AKSI. Salam sejahtera bagi semua pembaca setia majalah

AKSI terutama civitas academica Institut Kesenian Jakarta.

Transisi adalah peralihan, situasi yang sedang dihadapi kampus FFTV-IKJ. Kali ini para Senat Mahasiswa lama Rini cs beralih ke yang baru, Firmansyah cs. Juga tim redaksi majalah AKSI beralih dari Bawuk cs ke Caecilia cs. Menyerahkan tongkat estafet kepada orang yang tepat tidaklah semudah membalikkan tangan—diperlukan energi lebih untuk melaksanakannya, sebab memilih seseorang dengan tekad serta daya dibutuhkan kemauan yang besar bagai memilih jarum di tumpukan jerami.

Kemudian bulan Maret 2015 ini ditandai sebagai Hari Film Nasional yang ke-65 dan kehadiran majalah AKSI turut menyemarakkannya. Selain itu, FFTV sebagai institusi yang mencetak para praktisi sekaligus akademisi bekerjasama dengan IKAFI mengadakan acara launching dengan kegiatan bertajuk “Beyond the Screen”.

Ask & See, menjadi tagline baru pada penerbitan kali ini. Tanya dan Lihat sebagai pengejawantahan dari membaca dan menulis. Dengan membaca anda akan mengenal dunia dan dengan menulis maka dunia akan mengenalmu, camkan ini!

Anda tidak akan pernah bisa membaca dalam mimpi, karena membaca dan bermimpi adalah fungsi dari dua sisi yang berbeda dari pikiran. Jadi tetaplah bermimpi demi meraih cita-cita dan selamat ber-AKSI!

Wassalam,

German G. Mintapradja, M.Sn.

(5)

Abe Kusuma

Angkatan 2011 Penyutradaraan Fakultas Film dan Televisi

Batara Aji Pekerti

Angkatan 2012 Penulisan Skenario Fakultas Film dan Televisi

Candra Aditya

Rahman

Angkatan 2009 Penataan Suara Fakultas Film dan Televisi

Chairunnisa

Angkatan 2012 Seni Murni

Fakultas Seni Rupa

CONTRIBUTORS

Dicky Purnama

Sidik

Angkatan 1983 Penyuntingan Gambar Fakultas Film dan Tele-visi

Firizqi Nasution

Angkatan 2012 Penyutradaraan Fakultas Film dan Televisi

Julius Pandu

Angkatan 2014 Fakultas Film dan Televisi

M. Myrdal Muda

(6)

VOX

POP

TALK

IES

Setiap kapan sih AKSI itu terbit?

Mulai sekarang, AKSI adalah majalah triwulan, artinya terbit tiap 3 bulan sekali. Karena AKSI adalah majalah mahasiswa, jadwal terbitnya juga mengikuti jadwal kuliah. Tiap semester dijadwalkan untuk 2 edisi terbit.

Apa yang bisa kita dapatkan ketika kita bergabung di AKSI?

Banyak banget keuntungan yang bisa kamu dapatkan kalau bergabung di AKSI! Pertama, kamu akan mendapatkan pelatihan khusus dari para profesional di bidang yang kamu pilih. Baik sebagai reporter, penulis, desainer, maupun fotografer!

Kamu juga akan mendapat kesempatan meliput acara ke segala tempat, yang tidak menutup kemungkinan bisa memperluas pengetahuan kamu, pergaulan kamu, dan kadang juga menjadi ajang jalan-jalan gratis.

Ketiga, AKSI adalah cara yang asyik dan berwawasan untuk aktif di kampus—tidak hanya ketemu teman-teman baru (baik dari angkatan yang sama maupun berbeda), kamu juga berkesempatan belajar mengasah kemampuan menulis (ini akan sangat berguna dalam perkuliahanmu loh!). Tidak hanya itu, majalah AKSI juga dibaca oleh para tamu-tamu terhormat IKJ yang berasal dari manca negara. Artinya karya kamu dalam bentuk apapun itu akan dilihat oleh banyak orang!

Terakhir, bergabung dengan AKSI itu seperti bergabung dengan keluarga besar yang super-duper seru. Masa sih belum mau gabung juga? ;-)

“Salam buat Fira Budiman, semoga kapan-kapan kita bisa ngobrol!”

Pancake

“Salam buat Dian Yulinda, tolong mukanya dikontrol yah! Haha...”

Mr. Bolot

“Salam buat Abdel Darroza yang biasa tipsen terus.”

Alumnus Kwitang

“Salam buat Rian Ferdiansyah, kalo mau ngambil kelas Penyut,

rajin masuk ya!”

Aep

“Salam buat maba-maba 2014, selamat datang dan selamat

berkarya!”

Kakak-Kakakan

“Salam buat adek-adek unyu angkatan baru!”

(7)

exposure

S

enat Mahasiswa (SEMA)

yang “baru” saat ini memiliki AD/ART baru, logo baru, serta divisi-divisi baru. Yah pokoknya semuanya baru. Oleh karena semuanya baru (bahkan pengurusnya pun tidak memiliki hubungan dengan periode sebelumnya), mohon dukungan dari para mahasiswa agar SEMA dan mahasiswa dapat bekerja sama dengan baik dalam membawa FFTV-IKJ ke arah yang lebih positif. Peribahasa mengatakan bahwa, “Tak kenal maka tak sayang.” Supaya kita saling kenal satu sama lain, maka melalui tulisan ini, kami akan menjelaskan pada para pembaca tersayang mengenai apa itu SEMA sejelas-jelasnya!

SEMA FFTV sebagai sarana aspirasi dan kreativitas mahasiswa yang aktif, kritis, serta harmonis dalam pengabdian terhadap kesenian dan kebudayaan Indonesia.

1. Menampung dan menyalurkan aspirasi mahasiswa agar terciptanya lingkungan kampus yang kondusif.

2. Memfasilitasi kegiatan kemahasiswaan, produktivitas mahasiswa, dan apresiasi karya dalam rangka meningkatkan kreativitas.

3. Merangsang partisipasi mahasiswa dalam keorganisasian.

4. Meningkatkan rasa kepedulian mahasiswa terhadap sesama dan lingkungan sekitar.

Struktur Organisasi

SEMA FFTV-IKJ

Oleh Batara Aji Pekerti

5. Menjalin hubungan baik antar civitas academica IKJ

dengan asas kebersamaan dan kekeluargaan.

6. Berperan serta dalam

perkembangan insdustri kreatif dan kehidupan bermasyarakat.

Dilihat dari misinya, tujuan akhir SEMA adalah aspirasi mahasiswa, apresiasi karya, keaktifan mahasiswa, hubungan baik antar civitas academica IKJ serta peran aktif mahasiswa kepada masyarakat.

1. Divisi Aspirasi: menampung aspirasi mahasiswa (kalau ketemu orang-orangnya, todong saja; kasih aspirasi kalian ke mereka!)

2. Divisi Sosial-Politik dan ganisasian: bertugas mengamati kebijakan pemerintah di luar sana dan kualitas “keaktifan” mahasiswa FFTV-IKJ.

3. Divisi Rumah Tangga: mengurus permasalahan internal SEMA sendiri: acara-acara dan kebutuhan ruang kerja. 4. Divisi Apresiasi: membangun suasana kondusif, memfasilitasi serta mendorong karya anak FFTV agar semakin berkualitas. 5. Divisi Kewirausahaan: mengurus keuangan internal SEMA dan meningkatkan jiwa

kewirausahaan mahasiswa FFTV. 6. Divisi Kekeluargaan: menjaga hubungan baik antar civitas

(8)

Wakil 1

Batara

Sekretaris

Nurul

Humas

Cemara

Bendahara

Dede

Wakil 2

Myrdal

Aspirasi

Daniel Fauzan

Sosial-Politik & Keorganisasian

Apung Nanta

Rumah Tangga

Hugo Dian

Sekretaris 2 Humas 2 Bendahara 2

Apresiasi

Sofyan Ihsan Rendro

Kewirausahaan

Intan Riama

Kekeluargaan

Jeremy Genza Raihan

Tian

Makna Lambang

1. Bentukfast forwardyang menyerupai lensa di bagian kiri lambang berarti harapan untuk melangkah maju mengikuti perkembangan zaman dengan pandangan sebagai mahasiswa seni.

2. Bentuk magazine yang memuat “SEMA” di bagian atas lambang menunjukkan identitas sebagai lembaga

perwakilan mahasiswa yang berfungsi sebagai penampung aspirasi mahasiswa.

3. Bentuk televisi yang menampilkan lambang pohon hayat berarti Senat Mahasiswa berkewajiban menyalurkan aspirasi mahasiswa FFTV-IKJ dalam asas kekeluargaan. 4. Warna hijau menunjukkan warna bumi yang memuat makna kelimpahan, kesuburan, pertumbuhan, muda, keseimbangan, dan persahabatan seiring dengan warna panji FFTV.

5. Warna putih merupakan hasil dari penggabungan spektrum cahaya yang berarti kesatuan dalam keberagaman.

Senator

(9)

exposure

Baru

Majalah

Oleh

Yudhistya Putri Bharati

T

idak hanya Senat Mahasiswa yang memberikan tongkat estafet kepada mahasiswa generasi selanjutnya, redaksi majalah AKSI pun harus melakukan transisi. Posisi pemimpin redaksi yang sebelumnya dipegang oleh Bawuk Respati angkatan 2011 telah diturunkan kepada mahasiswa angkatan 2012 bernama Caecilia Sherina. Dengan semangat baru, redaksi AKSI pun melakukan berbagai perubahan dalam sistem penerbitan sekaligus konten majalahnya.

Selama ini AKSI hanya terbit satu kali dalam satu tahun dan dalam jumlah halaman 80 hingga ratusan per jilidnya. Namun dengan sistem yang baru, majalah

AKSI berencana untuk terbit 2 kali dalam satu semester dengan jumlah halaman sekitar 60 per jilid. Tentunya majalah AKSI akan tetap gratis dan dapat ditemukan di perpustakaan setiap fakultas di Institut Kesenian Jakarta.

Selain itu, salah satu hal yang menarik dari susunan redaksi yang baru ini adalah keikutsertaan mahasiswa Fakultas Seni Rupa. Dulu anggota redaksi majalah

AKSI hanya berasal dari Fakultas Film dan Televisi, namun sejak saat ini, peraturan itu dirubah dan redaksi

AKSI berencana untuk terus memperluas jaringannya hingga ke Fakultas Seni Pertunjukan. (YPB)

Redaksi

Struktur

AKSI

(10)

Penasihat Umum

Sekretaris & Bendahara

Penasihat Teknis Pemimpin Umum

Pemimpin Redaksi Wakil Pemimpin

Redaksi

Kepala Divisi HUMAS

Fotografer Reportase Koordinator

Penulisan

Fotografer Mandiri

Koord. Rubrik AKTRIS

Koord. Rubrik TALKIES

Koordinator Reportase

Koordinator Fotografi

Koordinator

Artistik Redaktur

Inggris Bahasa

Bahasa Inggris Bahasa

Indonesia Desainer Grafis Fotografi

Desainer Layout

Ilustrator

Indonesia

Bagi para mahasiswa baru yang berminat

menjadi anggota redaksi, penerimaan

anggota akan selalu diadakan di bulan

April dan formulir untuk tahun 2015 dapat

dilihat di halaman akhir majalah

AKSI

.

(11)

B

ertemu dengan mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi seni dan membuat sebuah karya film pendek bersama dalam kurun waktu kurang dari sepekan, merupakan hal yang belum pernah terbayangkan sebelumnya.

Pengalaman berharga saya dapatkan saat mengikuti kegiatan workshop film yang merupakan bagian dari rangkaian program acara Festival Kesenian Indonesia (FKI) ke-8 yang diselenggarakan di ISI Yogyakarta, pada 22-27 September 2014 lalu. FKI sendiri merupakan sebuah upaya yang dilakukan oleh Badan Kerjasama Perguruan Tinggi Seni Indonesia (BKS-PTSI) untuk mengakomodir perguruan-perguruan tinggi seni dalam meningkatkan nilai-nilai luhur kemanusiaan, baik sebagai insan seni secara pribadi maupun dalam lingkup

Workshop Film

Festival Kesenian

Indonesia 8:

Oleh

Mubyar Parangina

SEBUAH CATATAN HARIAN

masyarakat, melalui aktualisasi ruang seni yang menjadi agenda rutin secara berkala.

Kegiatan workshop film yang saya ikuti ini berlangsung di Ruang Audio Visual Fakultas Seni Media Rekam dan Studio Editing Jurusan Televisi Fakultas Seni Media Rekam ISI

Yogyakarta. Pematerinya adalah praktisi dari FourColours Films, sementara pesertanya berasal dari tujuh perguruan tinggi seni di Indonesia, yaitu ISI Padang Panjang, IKJ, STSI Bandung, ISI Surakarta, STKW Surabaya, ISI Denpasar, dan ISI Yogyakarta sendiri. Setiap perguruan tinggi mengirimkan 2-3 orang mahasiswa yang rata-rata merupakan mahasiswa semester 5. IKJ sendiri mengirimkan dua orang perwakilan dari FFTV untuk mengikuti kegiatan ini, yaitu saya dan seorang rekan lainnya.

Perjalanan dari Jakarta ke Yogyakarta ditempuh selama kurang lebih 8 jam dengan menggunakan kereta Gajah Wong. Setiba di penginapan, belum banyak delegasi perguruan tinggi seni lain yang datang. Awalnya, percakapan antar delegasi masih sebatas

perkenalan saja. Hal ini berlanjut hingga saat pertama kalinya saya dan delegasi lainnya berada dalam bis menuju lokasi kegiatan.

Di hari pertama, Edi Cahyono dan Seno Aji Julius menyampaikan materi mengenai penyutradaraan dan naratif. Kegiatan ini dimulai pada sekitar pukul 08.30 WIB hingga 17.00 WIB. Materi ini membahas tentang bagaimana untuk memulai pembuatan sebuah film, mulai dari pencarian gagasan hingga pembuatan naskah. Dari materi yang disampaikan, peserta mendapatkan banyak pengetahuan baru tentang betapa pentingnya menentukan

(12)

gagasan-gagasan yang akan dijadikan sebuah film dan memperhatikan kekuatan karakter, serta set yang juga dapat mempengaruhi kekuatan film.

Peserta yang berjumlah 16 orang dibagi menjadi dua kelompok. Dalam masing-masing kelompok terdapat minimal seorang perwakilan mahasiswa dari satu perguruan. Itu artinya, saya dan rekan saya dari IKJ tidak berada dalam satu kelompok yang sama, sehingga saat itu saya benar-benar bekerja bersama orang-orang yang baru saya kenal. Saat kelompok telah terbentuk, masing-masing kelompok segera berkumpul untuk mendiskusikan ide apa yang akan diangkat. Lalu, kelompok melakukan pembagian posisi kerja. Setelah itu, pembuatan naskah pun dimulai. Selama proses pembuatan naskah, semua peserta dari masing-masing kelompok memberi masukan kepada penulis tentang apa yang harus dipertahankan dan apa yang sebaiknya dihilangkan dari naskah. Panitia pun berperan dalam membantu peserta untuk mempersiapkan peralatan dan perlengkapan apa saja yang diperlukan dalam proses pembuatan film, serta pemeran seperti apa yang dibutuhkan.

Pada hari kedua, acara juga dimulai sekitar pukul 07.30 WIB hingga 17.00 WIB. Di kegiatan hari kedua ini, peserta mendapatkan materi workshop mengenai beberapa topik, yaitu: mengenai manajemen produksi yang disampaikan oleh Yosi Arifianto, mengenai sinematografi yang

disampaikan oleh Kelik, mengenai tata suara yang disampaikan oleh Fahmi Arsyad, dan mengenai editing yang disampaikan oleh Greg Arya. Materi-materi yang diberikan disampaikan dengan menarik, misalnya saja dengan disisipkannya film-film dan video yang dijadikan contoh dari teori yang sedang dibahas. Setelah pembahasan materi, kelompok kembali meneruskan proses pra-produksi, yaitu pembuatan breakdown script. Proses ini dilakukan di penginapan, yaitu Hotel Putra Jaya yang terletak di Jalan Prawirotaman.

Di hari ketiga, masing-masing kelompok pun melakukan proses shooting.Dalam agenda hari itu, kami seharusnya sudah

sampai di kampus ISI pukul 05.00 WIB. Akan tetapi karena satu dan lain hal, misalnya telat bangun karena malam harinya berdiskusi hingga sangat larut, peserta baru tiba di kampus ISI sekitar pukul 06.30 WIB. Peserta kelompok mulai bersiap dengan melakukan pengecekan alat, lalu setelah itu kami langsung menuju lokasi pengambilan gambar. Proses shooting sendiri berlangsung hingga pukul 17.00 WIB.

Di proses produksi

ini, pemeran, lokasi,

properti, dan logistik

disediakan oleh

panitia.

Hal ini membuat proses menjadi lancar karena peserta kelompok dapat berfokus pada cerita. Para peserta terlihat santai dan sangat nyaman menjalani proses produksi. Meskipun para peserta belum

pernah melaksanakan produksi bersama sebelumnya, produksi yang hanya dilakukan sehari ini dapat diselesaikan dengan baik.

Di hari keempat, peserta mulai memasuki tahap editing. Karena di jadwal semula hari ke-4 masih merupakan hari untuk pengambilan gambar, waktu untuk melakukan editing menjadi lebih luang, dan terus berlanjut hingga hari ke-5.

Kegiatan yang dilakukan di hari kelima, selain meneruskan proses editing, peserta juga kembali mendapatkan materi mengenai proses kreatif yang disampaikan oleh Ifa Ifansyah. Mas Ifa juga memberi kami masukan mengenai draft pertama film dari masing-masing kelompok yang diputar. Masukan tersebut terasa sangat berguna, terlebih untuk menyelesaikan proses editing.

(13)

"Bagi saya,

workshop film ini

juga merupakan

sarana untuk

belajar bahasa

daerah lain

dengan cara yang

menyenangkan.”

tentang seorang pemuda yang berusaha keras untuk mendapatkan koinnya yang terjatuh dan terus menggelinding. Kata “magol” sendiri berasal dari kata “logam” yang dibaca secara terbalik. Ide pemberian judul ini berasal dari penulis skenarionya sendiri yang merupakan mahasiswa dari ISI Denpasar. Sementara itu, penataan kamera, suara, dan editing ditangani oleh 2 orang mahasiswa dari STSI Bandung. Penataan artistik ditangani oleh 2 orang mahasiswa yang berasal dari ISI Surakarta dan STKW Surabaya, sementara produksi ditangani oleh seorang mahasiswa dari ISI Yogyakarta. Lalu, penyutradaraan pemain menjadi tanggung jawab saya sendiri, dibantu oleh seorang mahasiswa dari ISI Padang Panjang.

Saat proses pra-produksi, saya hanya melakukan 1 kali reading dengan pemain. Dalam penyutradaraan pemain untuk film ini, saya tidak menemukan hambatan yang berarti, karena pemeran utama dari film ini kebetulan adalah seorang mahasiswa jurusan teater, yang tidak lain adalah penata artistik dalam film ini (karena tidak adanya fakultas seni audio-visual, maka STKW Surabaya mengirimkan mahasiswa dari jurusan teater–pada akhirnya hal ini sangat menguntungkan kelompok saya). Saya hanya tinggal menjelaskan bagaimana karakter tokoh, kemudian ia menawarkan beberapa hal yang dapat menunjang penokohan, misalnya cara berjalan dan cara ekspresi lainnya. Saya hanya perlu menentukan mana

yang dirasa paling sesuai dengan tokoh dalam cerita. Untuk pemain lainnya, seorang mahasiswa ISI Yogyakarta, pada malam sebelum shooting, saya memintanya untuk membaca naskah secara keseluruhan kemudian membaca berulang kali bagian kalimat yang harus ia ucapkan dengan ekspresi sepolos mungkin. Untungnya, ia dapat melakukan apa yang diharapkan dengan baik.

(14)

"Meskipun proses produksi

berlangsung seperti banyak kendala,

namun sesungguhnya semua itu

sama sekali tidak terasa berat."

berlangsung seperti banyak kendala, namun sesungguhnya semua itu sama sekali tidak terasa berat. Itu karena kami melakukannya dengan perasaan yang senang, juga rasa antusias yang tinggi untuk menyelesaikan film ini.

Saya sendiri baru dapat bermain atau sekedar mengunjungi pameran seni lainnya (yang juga merupakan bagian dari rangkaian kegiatan yang ada di FKI ke-8 ini) sehari setelah proses shooting berlangsung, itu pun dengan sedikit-sedikit mencuri waktu pada jam-jam istirahat, mengingat jadwal kegiatan workshop film yang begitu padat. Jika berbicara tentang workshop film, jangan berpikir bahwa yang kami lakukan sepanjang hari hanyalah memikirkan tentang film. Bagi saya, workshop film ini juga merupakan sarana untuk belajar bahasa daerah lain dengan cara yang menyenangkan. Proses belajar bahasa ini dimulai secara tidak sengaja. Biasanya hal ini terjadi pada saat kami sedang berkumpul bersama, ketika tiba-tiba

ada peserta yang saling berinteraksi dengan bahasa daerahnya sendiri. Saat melihat mereka tertawa, muncullah rasa penasaran tentang apa yang mereka bicarakan, lalu pertukaran bahasa pun terjadi. Saya sendiri berhasil menguasai beberapa kata dalam bahasa Minang karena hampir selalu bersama dengan mahasiswa yang berasal dari Padang Panjang. Akhirnya menjadi sebuah kebanggaan pribadi ketika saya berhasil mengucapkan suatu kalimat dalam bahasa Minang (yang katanya betul dari sisi pengucapannya), tanpa menanyakan terlebih dahulu kepada mereka

bagaimana suatu kalimat diucapkan dalam bahasa daerah tersebut, dengan hanya bermodal mengingat kata-kata yang pernah diajarkan sebelumnya. Di situ pula letak kebanggaan bersama, yaitu saat mendengar rekan dari daerah lain berhasil dengan baik mengucapkan suatu kalimat dari bahasa daerah yang sudah diajarkan.

Hampir sepekan berlalu, kedekatan antar peserta semakin terasa. Meskipun

baru bertemu beberapa hari, namun rasanya kami sudah kenal sejak lama. Suasana di dalam bus yang pada hari pertama kegiatan terasa begitu sepi, sudah tidak terasa lagi. Keramaian yang diselingi gelak tawa menjadi lebih sering terdengar. Sayangnya semua riang tawa itu harus diakhiri, tak lama setelah film hasil workshop yang kami buat diputar untuk umum, karena itu artinya rangkaian acara workshop film telah berakhir. Namun, meskipun kami berpisah, pada saat itu kami berjanji untuk tetap saling berhubungan sampai kapan pun. Semoga suatu saat kelak, kami dapat saling membantu dalam hal pekerjaan.

(15)

B

andung, 23 November 2014. Jalanan terlihat ramai dengan kendaraan yang mayoritas memiliki satu tujuan: Pasar Seni ITB. Namun, kali itu ada hal lain yang tidak hanya menambah ruwetnya lalu lintas, tetapi juga menarik perhatian masyarakat sekitar. Mereka adalah sekumpulan binatang liar yang juga memiliki tujuan yang sama. Mereka menari, bergembira, mengeluarkan suara-suara khas binatang, dan tak henti-hentinya menyanyikan lagu “Bonbinben” milik Naif dengan penuh semangat di sepanjang perjalanan.

“Kamilah bonbinben, kami yang paling keren!” begitulah seruan mereka. Bonbinben sendiri adalah akronim dari Kebon Binatang Band. Mungkin lagu tersebut dirasa cocok untuk mewakili kampus IKJ yang dulunya merupakan area kebon binatang. Berdasarkan sejarah itu pula, mahasiswa berinisiatif mengangkat judul Bonbin 73: Jujur Asik

Parah (plesetan dari Jurassic Park) untuk parade kunjungan ke Pasar Seni ITB tahun ini. Ya, parade IKJ memang sudah menjadi tradisi setiap kali Pasar Seni diadakan.

Pasar Seni ITB

merupakan

event besar yang

diadakan tiap

empat tahun

sekali, maka

tidak heran jika

animo masyarakat

terhadap

event

tersebut sangat

luar biasa.

Bahkan hujan deras yang sempat mengguyur Bandung selama kurang lebih 30 menit tidak menyurutkan keramaian di tempat itu.

Tiap acara diadakan, IKJ turut diundang sebagai peserta acara. Meski tahun ini hanya Fakultas Seni Rupa yang diundang, 2 fakultas lainnya—Seni Pertunjukan serta Film dan Televisi— ikut bergabung untuk membuat parade besar-besaran pada Hari H. Mahasiswa pun dikerahkan untuk melakukan tugas mereka masing-masing. Angkatan 2013 dan 2014 menjadi peserta parade, sementara senior-senior mereka menjadi semacam mentor yang nantinya juga bergabung dalam parade. Hanya dalam waktu satu minggu, mereka melatih gerakan, nyanyian, juga membuat kostum dan properti dari bahan-bahan seadanya. Memang bukan mahasiswa seni namanya kalau tidak bisa kreatif. Tumpukan kardus dan pakaian bekas dapat disulap menjadi kostum manusia hutan, monyet, badak,

Ka m i I n i B i n a t a ng - B i n a t a ng J a la ng

(16)

jerapah, buaya, sapi, panda, bahkan merak yang memiliki warna-warni meriah.

Kami semua berkumpul di kampus pukul tiga pagi untuk sarapan bersama dan mempersiapkan kostum masing-masing. Rencana awalnya adalah berangkat pukul lima, namun rombongan bus datang terlambat sehingga terpaksa molor beberapa jam. Namun, hal itu tidak serta-merta menurunkan semangat peserta dalam mengikuti acara. Bus yang penuh sesak pun justru memeriahkan suasana selama perjalanan.

Selang beberapa jam kemudian, kami tiba di Bandung dengan kondisi langit yang mendung. Sangat bertolak belakang dengan langit Jakarta yang panas terik yang kami tinggalkan tadi pagi. Beberapa anak mulai cemas. Benar saja, sesampainya kami di lokasi acara, hujan turun dengan sangat deras. Semangat peserta mulai menurun ketika melihat hujan dari balik jendela bus. Kami tidak ingin kerja keras kami menjadi sia-sia, seperti kardus yang basah terkena air hujan!

Seperti menjawab doa kami, hujan mulai reda bertepatan dengan tibanya bus rombongan kami di area parkir yang telah disediakan khusus untuk pengunjung Pasar Seni. Pelan-pelan langit berubah warna menjadi biru cerah. Seluruh peserta pun mulai sibuk mengenakan atribut mereka dan mendandani diri masing-masing. Dalam sekejap, mahasiswa IKJ berubah menjadi sekumpulan binatang liar yang dipimpin oleh dua manusia hutan. Mereka semua berbaris dan berparade di sepanjang jalan menuju lokasi Pasar Seni, yang berjarak cukup jauh dari area parkir.

Sedikit lagi kami sampai di lokasi, namun tiba-tiba gerimis mulai turun lagi! Para peserta pun bergegas mempercepat langkah mereka—bahkan sampai berlarian—supaya cepat sampai di tujuan, sekaligus untuk mencegah adanya kerusakan berat pada kostum mereka yang berbahan dasar kardus. Untunglah hujan kali itu cepat reda kembali.

Sesampainya kami di area Pasar Seni, parade kebon binatang masih menjadi pusat perhatian pengunjung. Berbekal kamera digital canggih atau ponsel pintar, mereka mendokumentasikan serangkaian kegilaan yang kami ciptakan. Para peserta parade terlihat semakin bersemangat menari dan menyanyikan refrain “Bonbinben” yang menjadi mars mereka pada hari itu.

Kedua manusia hutan dan kawanan binatangnya mulai kelelahan. Para panitia mengantarkan kami ke suatu area di kampus untuk beristirahat sejenak, sekaligus mendiskusikan kegilaan macam apa lagi yang akan kami buat selanjutnya. Akhirnya kami pun memutuskan untuk mengitari area Pasar Seni sekali lagi, kemudian parade diakhiri dengan berkumpul di depan sebuah panggung kecil. Tidak jauh dari panggung itu, terdapat sebuah set peralatan musik dan sound system seadanya yang sepertinya sengaja disiapkan untuk kami. Energi para peserta seolah tidak ada habis-habisnya. Mereka semua terus menyanyi dan menari, meskipun di panggung milik ITB juga ada pertunjukan yang tengah berlangsung. Perhatian pengunjung pun menjadi terpecah. Ketika panggung utama menampilkan musisi ber-genre blues, kami sengaja memutarkan musik disko Pantura keras-keras kemudian berdansa sesuka hati. Suasana menjadi semakin tidak terkendali. Tujuan kami mengadakan parade memang satu: menciptakan keriuhan. Bukan IKJ namanya kalau tidak bikin riuh! Baik di kampus sendiri, maupun di kampus orang lain—terutama di kampus orang lain, kami harus tetap menciptakan keriuhan. Kami harus menjadi pusat perhatian! Kedengarannya memang sangat arogan, tetapi itulah kepribadian IKJ sejak dulu. Tidak ada waktu untuk menjadi rendah diri dan mempersilakan orang lain berada di bawah lampu sorot.

Kami terus bersenang-senang di panggung kecil itu hingga menjelang sore. Karena suatu alasan, pihak kami memutuskan untuk menghentikan kesenangan itu dan kembali ke area kampus untuk makan bersama dan pulang. Namun masih ada juga

beberapa orang yang tinggal untuk mengadakan acara sendiri, entah apapun itu. Rupanya mereka masih belum puas dengan keriaan di panggung kecil yang tiba-tiba dihentikan, seolah tanpa alasan yang jelas.

Ini adalah kali pertama saya

mengunjungi Pasar Seni ITB. Acaranya cukup menarik, namun sayangnya terlalu ramai sehingga saya kesulitan untuk mengunjungi booth jajanan atau sekadar menikmati berbagai pameran instalasi yang telah disiapkan. Yang bisa saya lihat sejauh mata memandang hanyalah lautan manusia yang sibuk berlalu-lalang. Mungkin karena acara ini hanya diadakan 4 tahun sekali, sehingga orang-orang selalu antusias dan berekspektasi tinggi tiap acara ini berlangsung. Saya tidak tahu dengan Pasar Seni di tahun-tahun sebelumnya, namun saya merasa Pasar Seni kali ini tampat tidak jauh berbeda dari outdoor events lainnya. Tidak ada poin yang menjadikannya istimewa. Tetapi, semoga saja itu cuma perasaan saya.

(17)

reportage

P

uncak penghargaan

bergengsi untuk para insan perfilman tanah air telah usai digelar. Dari 387 judul film, terdapat 19 film yang berhasil masuk sebagai nominasi Piala Citra Festival Film Indonesia (FFI) 2014. Selain itu, untuk pertama kalinya penjurian film bioskop dilakukan dengan 100 juri yang melibatkan akuntan publik; sementara sebelumnya penilaian film bioskop di FFI hanya dilakukan oleh sekitar 5-9 juri.

Puncak acara FFI 2014 diselenggarakan di Palembang Sports and Convention Center (PSCC), Sumatera Selatan pada hari Sabtu, 6 Desember 2014. Sebelum acara dimulai sekitar pukul 19.00 WIB, hamparan karpet merah membentang menyambut kedatangan para tamu dan artis FFI 2014. Tak hanya itu, Presiden Joko Widodo juga hadir, lengkap dengan serombongan Paspampres yang setia mengawal.

Oleh

Zafira Sekarnegara

Indonesia

Indonesia

Festival Film

Festival Film

Malam Anugerah

Malam Anugerah

Malam Anugerah

Festival Film

Indonesia

Acara FFI 2014 dibuka dengan pertunjukan Tarian Gending Sriwijaya yang kemudian dilanjutkan dengan pembacaan nominasi Film Animasi, Film Dokumenter, Film Pendek, dan Film Bioskop. Selain pembacaan nominasi, puncak acara FFI 2014 diisi dengan pertunjukan musik, pertunjukan tari, serta pembacaan skrip In Memoriam oleh Alm. Alex Komang dan Marini Soerjosoemarno. (ZS)

Daftar Penerima Penghargaan FFI 2014

Penata Busana Terbaik:

Retno Ratih Damayanti (Soekarno)

Pengarah Artistik Terbaik:

Allan Sebastian dalam film (Soekarno)

Penata Visual Efek Terbaik:

Eltra Studio dan Adam Howarth (Tenggelamnya Kapal Van der Wijck)

Penata Suara Terbaik:

Fajar Yuskemal dan Arya Prayogi (Killers)

Penata Musik Terbaik:

Fajar Yuskemal dan Arya Prayogi (Killers)

Penyunting Gambar Terbaik:

Cessa David Lukmansyah dan Wawan I Wibowo (Soekarno)

Pengarah Sinematografi Terbaik:

Nur Hidayat dalamfilm (Sebelum Pagi Terulang Kembali)

DO YOU KNOW?

Ulang tahun

founding father

FFTV-IKJ,

Alm.

Soetomo

Gandasoebrata

dan

Alm.

Soemardjono

(18)

Film Terbaik :

Cahaya Dari Timur - Beta Maluku

Film Pendek Terbaik :

Onomastika - Loeloe Hendra - Lanjong Production

Film Animasi Terbaik :

Asia Raya – Anka Atmawijaya Adinegara

Film Dokumenter Terbaik :

Dolanan Kehidupan – Afina Fahtu M. & Yofa Arfi

Sutradara Terbaik :

Adriyanto Dewo (Tabula Rasa)

Pemeran Utama Pria Terbaik : Chicco Jericho (Cahaya dari Timur)

Pemeran Utama Wanita Terbaik : Dewi Irawan (Tabula Rasa)

Pemeran Pendukung Wanita Terbaik : Tika Bravani (Soekarno)

Pemeran Pendukung Pria Terbaik : Yayu Unru (Tabula Rasa)

Penulis Skenario Asli Terbaik : Tumpal Tampubolon (Tabula Rasa)

Penulis Skenario Adaptasi Terbaik : Riri Riza (Sokola Rimba)

(19)

SIMPANSE

\\

SIMPANSE

\\

Malam Nostalgia Praktika Terpadu

Oleh

Abe Kusuma

reportage

B

erkumpul bersama saudara-saudara satu fakultas dan satu kampus, duduk bersama sambil menikmati karya, serta saling bertukar pikiran dan berbagi pengetahuan merupakan suatu tradisi di IKJ yang tidak akan pernah hilang. Tradisi itu secara turun-temurun akan selalu ada di setiap angkatan termasuk acara nonton bareng. Acara nonton bareng di sini adalah menonton film pendek karya anak-anak kampus sendiri. Setelah kerja keras yang panjang dalam membuat sebuah film, film itu harus dinikmati bersama-sama. Lewat SIMPANSE, tradisi nonton bareng ini diteruskan.

SIMPANSE adalah acara pemutaran film Praktika Terpadu angkatan 2011. Sudah menjadi rahasia umum bahwa Praktika Terpadu adalah mata kuliah yang paling menantang di antara mata kuliah lainnya sebelum Tugas Akhir. Kenapa? Karena dalam produksi film ini kita tidak bisa memilih sendiri tim inti yang nanti akan menjadi satu keluarga dengan kita. Kita bisa bertemu dengan orang yang menyenangkan, dan kita bisa pula bertemu dengan orang paling menyebalkan. Jangankan menjadi satu keluarga, untuk berteman saja mungkin sulit! Tidak sedikit mahasiswa yang setelah mengikuti Praktika Terpadu jadi bermusuhan dan anti syuting bareng lagi. Apapun bisa terjadi dalam Praktika Terpadu—semangat, harapan, tangis dan tawa bahagia, semuanya komplet.

Lewat acara pemutaran film SIMPANSE, kita kembali mengingat semua

kenangan itu. Semua kenangan bersama keluarga kecil kita dalam produksi film yang telah melahirkan sebuah karya bersama. Sebuah karya hasil kerja keras kita semua. Kerja keras dalam menyatukan impian-impian yang awalnya tidak sejalan menjadi sebuah langkah bersama untuk mencapai suatu tujuan. Tanggal 12-14 November 2014 menjadi tiga hari singkat untuk kembali mengingat semua kenangan akan Praktika Terpadu. Terdapat 24 film Praktika Terpadu yang diputar, yakni Kausalitas, Petruk & Gareng, Mey 1998, Kasur Sumur Dapur, Savage, Tanah Air Tertulis, Thrash, Becak, Meja Hijau, Jati Ara, Rumah Senja, Instan, DosaKecil, Anonymous, Tanpa Bahasa, Upacara, Aku dan Agustus, Kebaya, Genosida, Dewasa, Titik Balik, Sehabis Senja, The End, dan Ruang Kelas.

(20)

Acara berlangsung meriah dengan hiburan pantomim dari Fakultas Seni Pertunjukan. Di sela-sela acara juga diadakan sharing bersama beberapa teman-teman yang telah mengikuti Praktika Terpadu untuk berbagi cerita dan pengalaman yang pernah mereka alami.

Tanggal 14 November 2014, penghargaan khusus diberikan yang berkesan di Praktika Terpadu. Setelah “Tim Cepu” melakukan rapat rahasia di bawah tangga dekat toilet dan di pojokan kampus gelap, dengan suara yang saling berbisik dan kepala yang menengok ke kanan dan ke kiri, akhirnya keputusan telah keluar. Malam yang begitu meriah itu dibuka oleh kedua MC: Lei dan Endang. Acara juga diisi dengan pertunjukan pantomim dari Fakultas Seni Pertunjukan, sebelum akhirnya pembacaan nominasi penghargaan dimulai.

Penghargaan “Produksi Terngawang” diberikan pada Rio Nandono dalam film Tanpa Bahasa. Sama seperti panggilannya, “Pongo,” dia naik ke atas panggung dengan wajah melongo tidak menyangka. Lalu Penghargaan “Penulis Tersesat” diberikan kepada Aldo Diorama dalam film Ruang Kelas— si brewok ini memang tersesat dalam mayornya, namun dia tetap bisa menulis film yang sederhana tapi tetap menarik bagi para penontonnya. Penghargaan “Sound Terberisik” diberikan kepada Yusuf Akbar, karena ketenarannya sebagai yang paling berisik di antara anak sound dalam film Tanpa Bahasa. Penghargaan “Artistik Terbaper” diberikan kepada Farah Nadya Balfas dalam film Instan, karena dia selalu membawa semuanya dalam perasaan dan juga karena dia terlalu mencintai bidang keartistikannya. Penghargaan “Editing Terpalbis (paling bisa)” diberikan kepada Vici Simanjuntak, karena kemahirannya dalam mencuri-curi momen bersama beberapa wanita dan tertangkap kamera—filmnya adalah Jati Ara. Penghargaan “Sutradara Tergalak” diberikan kepada Redha Octavia, karena kejutekkannya dalam syuting Praktika Terpadu Jati Ara. Penghargaan khusus “Sinematografi Termesra” diberikan kepada Kojel dan Ajiz yang tidak pernah mau berpisah

dan selalu bersama dalam suka dan duka. Lalu, penghargaan “Praktika Terajin” diberikan kepada Irsyadul Anam alias Edo, karena kerja kerasnya untuk menembus Praktika Terpadu selama 5 kali. Setelah penghargaan diberikan pada Edo, panitia memutarkan film Praktika Terpadunya secara khusus atas permintaannya sendiri; filmnya berjudul Titik Temu.

Acara kemudian ditutup dengan band Sisitipsi dan band DIS, lalu dilanjutkan dengan acara musik lainnya. Malam itu terasa seperti pesta reuni angkatan 2011.

"Pemutaran film

SIMPANSE bukan

ajang untuk saling

unjuk gigi tentang

film mana yang

lebih bagus dan

jelek, karena bagi

kami dalam Praktika

Terpadu tidak ada

film yang terbaik.

Yang ada hanya

(21)

reportage

B

eberapa waktu lalu, tepatnya hari Selasa, 9 September 2014, Institut Kesenian Jakarta boleh berbangga hati karena telah terpilih sebagai salah satu tempat pelaksanaan program acara Film Forward. Acara ini merupakan hasil gagasan dari Sundance Institute yang setiap tahunnya diadakan di 4 kota di Amerika Serikat dan di 2 negara yang berbeda dengan 10 film pilihan terbaik. Tahun ini, bertempat di Gedung Art Cinema, Fakultas Film dan Televisi, acara Film Forward mengajak para mahasiswa IKJ untuk menyaksikan dan mendiskusikan dua buah film dokumenter independen yang berjudul Circles dan Twenty Feet From Stardom.

Acara Film Forward tidak dipungut biaya sama sekali, sehingga auditorium pun dengan cepat dipenuhi oleh mahasiswa FFTV-IKJ. Tak lama menunggu, datanglah rombongan dari Kedutaan Amerika Serikat, yakni Meredith Lavitt, Sundance Institute Manager for Independent Film Arena and Youth Media; Bethany Clarke, Film Forward Manager; Matthew Tanaka, Feature Film Manager; Srdan Golubović, sutradara film Circles; dan Douglas Blush, editor film Twenty Feet From Stardom.

Kelima tamu internasional ini disambut dengan hangat oleh R.B. Armantono, M.Sn. selaku Dekan FFTV, disertai para Wakil Dekan FFTV: Arda Muhlisiun, M.Sn., German G. Mintapradja, M.Sn., dan Bambang Supriadi, S.Sn. Setelah berbincang singkat, acara pagi itu segera dibuka oleh MC Cemara Chrisalit dengan perkenalan terlebih dahulu, baru setelah itu pemutaran video pembukaan Film Forward dan film Twenty Feet From Stardom.

Selama pemutaran film berlangsung, kelima tamu ini dibawa berkeliling gedung FFTV yang baru oleh Dekan, Wadek, dan seorang perwakilan dari mahasiswa FFTV. Kemudian mereka berkumpul di ruang rapat untuk membicarakan lebih dalam akan maksud serta tujuan acara Film Forward. Sesuai dengan slogan mereka: “advancing cultural dialogue”, Film Forward bertujuan untuk mempermudah

pembahasan topik-topik kemanusiaan melalui eksibisi film, diskusi, serta workshop dengan para filmmaker mancanegara. Sundance Institute percaya bahwa film dan diskusi dengan filmmaker dapat menciptakan pemahaman budaya yang lebih baik serta mendorong komunitas global ke arah yang lebih positif.

Diskusi singkat itu akhirnya diakhiri oleh moderator dan dilanjutkan dengan pemutaran film Tugas Akhir mahasiswa FFTV yang berjudul Lemantun, karya Wregas Bhanuteja. Kali ini giliran para tamu yang harus menonton dan mengkomentari. Srdan dan Doug mengaku takjub dengan film tersebut dan berharap Wregas dan kawan-kawan dapat terus berkarya dan bergabung dengan Sundance Institute apabila tertarik dengan dunia perfilman independen. (CS)

Foto: Supriyanta Budisukardjo, S.Sn. Humas FFTV-IKJ

Sundance

Institute

ke IKJ

(22)

IN MEMORIAM

DHANU

FARRIZA

Angkatan 2009

VERRYS

YAMARNO

Angkatan 2013

AGNIZEUS SEVERUS

SAMUEL BISMA

Angkatan 2011

(23)

M

eet Freddie Wong, a Chinese American filmmaker, internet celebrity and YouTube phenomenon known for his VFX adeptness and tutorials, viral action videos, and comical acting. Some people might argue that he is one of the many reasons that YouTube has grown into what it has become today. With over 200 videos, 7 million subscribers and a billion views, there is no doubt Freddie has inspired many soon-to-be YouTubers from all around the world including those in Indonesia.

Freddie started it all when he enrolled at University of Southern California School of Cinematic Arts. It was there that he would later meet his companion and partner in action: Brandon Laatsch, who had been his partner on every single short viral video up till November 2013, when they decided to work on separate projects. Freddie started uploading his amateur action videos on YouTube during his college days. At first, his video was shot in his dorm and didn’t attract much attention. It wasn’t until later when he started to master the art of VFX that his videos started hitting millions of views regularly. From someone who was uploading low quality 240p videos, he became one of the

FREDDIE

WONG:

FROM 240P TO 4K

biggest channels in YouTube and the online destination of teenage boys all around the world.

Currently, Freddie no longer shoots on 240p resolution. Instead, he shoots all his videos in 4K using his favored RED cameras. Furthermore, he also owns a production house, an online film school, a partnership with LionsGate (one of YouTube’s biggest partners) and an online merchandise store. His most successful online series, Video Games High School (already ended), racks up to at least 100 million views and has one of the highest budgets for a web series to date. It is hard to believe, even for those who have followed Freddie from the very beginning, that his future would end up like this. Back then, YouTube wasn’t seen as a job and very few people actually dared to step in and become a full time YouTuber. It wasn’t until the successful stories of Freddie and other talented people that people finally saw the potential of YouTube not only as a video sharing community, but as a platform to make videos, to get famous and make money. Since then, many people with a variety of content to offer, have begun to make a living out of YouTube. We also see big companies such as Fox, VEVO, Net TV and many others joining the market.

(24)

The impact of Freddie’s success story didn’t stop just there. Lately the community of YouTubers in Indonesia has grown into a considerable size. Of course it would be an exaggeration to say that it all happened because of him; there are other talented personalities that make big influences in this industry as well. However, Indonesian channels that make short action videos just like him, have started to sprout. Who knows, perhaps the next biggest online VFX artist might just come from Indonesia.

From someone who was uploading

low quality 240p videos, he became

one of the biggest channels in

YouTube and the online destination

of teenage boys all around the world.

(25)

Sutradara &

Seni Peran

H

aruskah seorang

sutradara dituntut agar mengetahui apa itu seni peran? Jawabannya, harus. Lalu bagaimana jika ada seorang sutradara yang mengetahui tentang seni peran dan juga pernah merasakan seni peran, baik di film maupun di panggung?

Saat melakukan proses kreatifnya, tipe sutradara semacam ini akan lebih bisa merasakan kerja para pemain dalam menghayati perannya. Dia dapat membantu menafsirkan kedalaman sebuah karakter yang digambarkan dalam skenario. Setidaknya, kekayaan pengalaman dalam seni peran akan membantu seorang sutradara ketika menghadapi para pemain dalam menafsirkan peran-peran yang dilakoni. Bagaimanapun juga, sutradara tidak bisa menerima mentah-mentah tokoh-tokoh yang akan dihadirkannya dalam film. Untuk itu, semakin kaya akan pengalaman terhadap disiplin ilmu seni peran, maka semakin lengkaplah proses kreatif seorang sutradara dalam menangani para pemainnya.

Kita bisa melihat sejumlah sutradara-sutradara terkemuka di Indonesia, seperti Wahyu Sihombing, Teguh Karya, Arifin C. Noer, Chaerul Umam, Slamet Rahardjo, dan Dedi Mizwar. Mereka adalah para sutradara yang berlatar belakang, tidak hanya memahami ilmu seni peran, tetapi juga terbilang piawai di dalamnya. Kita juga bisa melihat bagaimana mereka menangani para pemain ketika memproduksi sebuah film ataupun program televisi, seperti FTV (film televisi) maupun sinetron.

Di tangan mereka, hasil pencapaian seni peran selalu mendapat apresiasi penonton.

Para sutradara di atas sadar bahwa kontribusi para pemain adalah sangat penting bagi sebuah film. Semakin tergarap seni peran, semakin baiklah sebuah film. Sebab penonton sebuah pertunjukan film, FTV atau sinetron terhanyut bukan hanya semata-mata karena struktur editing, tetapi juga oleh penampilan para pemainnya.

“Pemain adalah roh

daripada film,”

demikian ungkapan Do Kyung Kim, sutradara asal Korea, saat berkunjung ke Indonesia. Sebuah ungkapan yang menyadarkan sutradara agar tidak hanya terjebak pada persoalan teknis penyutradaraan dalam melakukan kerja kreatifnya.

Hal ini pun berlaku pada sutradara film aksi/laga yang umumnya kurang memperhatikan penampilan akting yang prima pada seorang pemain dibandingkan dengan film drama. Padahal, cerita yang ditengahkan di dalam film aksi juga tidak terlepas dari persoalan psikologis manusia. Selama sebuah cerita masih berhubungan dan melibatkan situasi psikologis tokohnya, maka mutlak bahwa aspek-aspek yang berkaitan dengan watak perlu juga ikut tergarap.

Seorang sutradara dituntut untuk memahami bahwa para pemain adalah

objek yang dapat memberikan arti kepada penontonnya, karena cerita yang sedang dibangun pastilah melibatkan kehidupan yang berhubungan dengan manusia. Dalam mise-en-scène, selain setting, pencahayaan, tata rias dan kostum, keberadaan karakter tokoh menjadi bagian penting untuk menciptakan korelasi dengan objek-objek lainnya, baik dengan sesama karakter tokoh maupun dengan

lingkungan di sekitarnya yang kemudian akan diterjemahkan ke dalam bentuk visual/gambar.

Jika kekuatan sebuah film terletak pada unsur pemain dan juga cerita, maka film tersebut akan memiliki daya tarik tersendiri. Hal ini bisa dibuktikan pada film-film yang para pemainnya berhasil mendapatkan pengakuan sebagai aktor dan aktris terbaik di hampir setiap festival film.

Kurang Pendalaman

Sering kita melihat di beberapa adegan dalam film dan televisi, ekspresi wajah seorang pemain tidak sejalan dengan dialog yang mereka ucapkan. Hal tersebut boleh jadi para pemain tidak mendalami tahapan penguasaan tubuh dan rasa—sepertinya mereka baru menyentuh permukaan saja dalam menghidupkan karakter. Padahal seorang pemain dituntut untuk merepresentasikan lakonnya secara total. Manipulasi editing ataupun pencahayaan tata lampu tak bisa sepenuhnya menyulap karakter seseorang. Kesinambungan emosi, rasa, dan kecerdasan harus terus berjalan serta terjaga walaupun terjadi interupsi

point of view

(26)

pergantian shot demi shot hingga scene demi scene pada saat syuting.

Di banyak sinetron saat ini, kita menyaksikan para pemain terjebak pada pola permainan yang stereotip. Dalam adegan yang berbeda, para pemain akan mengulang ekpresi yang sama dan datar, yaitu mata melotot, mulut menganga jika mendengar atau menghadapi keterkejutan akan sesuatu. Padahal yang ia hadapi atau dengar adalah informasi yang berbeda. Dan ini terlihat, terus mengulang hingga berpuluh-puluh episode. Para pemain meniru-niru akting dari karakter film-film luar dengan polesan sedikit di sana-sini sehingga terjebak pada peran yang artifisial. Di film pun kita masih melihat para pemain yang hanya mengandalkan gerakan-gerakan fisik semata, serta kurang ditunjang inner action sehingga karakter yang tampil hanya terlihat permukaannya saja.

“Tidak ada

pendalaman yang

sampai pada

menghidupkan suatu

tokoh,”

demikian komentar Asrul Sani terhadap persoalan mutu seni peran film Indonesia di era 70-an, yang hingga saat ini masih relevan dirasakan. Menurut Asrul, persoalan klise yang

selalu berulang bagi seorang pemain disebabkan oleh para pemain tidak banyak membaca sehingga bahan perbandingan sama sekali tidak ada. Seperti membaca novel misalnya, di sana mereka banyak menemukan berbagai watak yang berlainan secara plastis dan tidak hanya hitam putih tanpa nuansa.

Celakanya, hingga sekarang dunia seni peran masih juga menghadapi kenyataan yang ada, yaitu dengan diterapkannya sistem bintang. Sementara para aktor dan aktris profesional menempati peran pembantu atau sekedar nempel menjadi

pelengkap. Dalam sistem ini, biasanya produser melihat artis atau selebritas yang sedang populer untuk diangkat menjadi bintang utama sebagai barang dagangannya. Dan demi memperlancar kerja kreatif sutradara, sebuah produksi akan menempatkan seorang acting coach (pelatih akting) untuk mengarahkan akting “pemain amatiran” tersebut.

Sebelum syuting (pra-produksi) berlangsung, seorang “pemain amatiran” tersebut terlebih dahulu dilatih untuk mempelajari bagaimana cara-cara menghidupkan sebuah karakter. Pengkondisian tersebut dipersiapkan demi mewujudkan karakter yang diinginkan dalam naskah skenario. Karena bagaimanapun, seperti yang diucapkan oleh seorang dramawan realis asal Rusia, sekaligus penulis buku

“Persiapan Seorang Aktor”, Constantin Stanislavski, tentang perlunya seorang pemain memiliki kekuatan untuk meyakinkan (to justify) dan membuat penonton percaya (make believe), dasar-dasar tersebut harus ditanamkan para pemain demi menghidupkan perannya.

Pernyataan Stanislavski di atas jelas tidak hanya terbatas untuk akting panggung tetapi juga terbuka bagi film, FTV serta sinetron. Dan pernyataan tersebut sudah dibuktikan oleh aktor-aktor watak luar di negeri, seperti Dustin Hoffman, Jack Nicholson, Benicio del Toro, dan Johny Deep. Di Indonesia, pencapaian tersebut juga telah dibuktikan pada aktor dan aktris, seperti Didi Petet, Mathias Muchus, Dedi Mizwar, Slamet Rahardjo, Alex Komang, dan Christine Hakim.

Pada akhirnya, sutradara sebagai pengarah utama kreativitas di dalam produksi sebuah film dan televisi dituntut juga soal wawasan ilmu seni peran. Walaupun hanya sebatas mengetahui, ilmu seni peran mutlak menjadi bagian penting di dalam pengadeganan. Jika tidak, akan sia-sialah hasil karya yang digarapnya. Terlebih jika produksi yang digarapnya telah ditunjang oleh skenario yang bagus, memadai, serta terbuka dalam hal kualitas seni peran para pemainnya, sehingga karya filmnya tak hanya sekedar rentetan gambar-gambar indah.

(27)

B

egitulah hasil dari jajak pendapat spontan yang penulis lakukan. Berbagai alasan menarik terungkap dari para responden. Beberapa yang lebih memilih gadget mengungkapkan bahwa alat ajaib yang serbaguna tersebut selain memang sangat dibutuhkan untuk kegiatan sehari-hari seperti untuk menyimpan kontak teman-teman, gadget juga dipercaya dapat meningkatkan value atau menjadi nilai tambah bagi seseorang.

Selain dianggap memberikan nilai tambah, bagi beberapa responden, memiliki gadget berarti memiliki sarana untuk mengekspresikan eksistensi diri. Apalah artinya punya pacar atau hobi atau menjadi bagian dari acara yang hip jika hanya kita sendiri yang tahu dan orang lain tidak. Dengan gadget, kita dapat mem-posting ekspresi dan pemikiran kita ke media

Oleh

German G. Mintapradja, M.Sn.

PILIH GADGET

ATAU PACAR ?

9 DARI 10 MAHASISWA

LEBIH MEMILIH GADGET

DIBANDING PACAR

Gadget dianggap “membunuh”

sisi-sisi hubungan manusia. Gadget

yang sejak awal diciptakannya

diniatkan sebagai alat yang

dapat mendekatkan yang

jauh, justru yang terjadi ialah

(28)

jejaring sosial, dan semua orang akan mengetahuinya.

Memiliki pacar yang dulu katanya dianggap suatu kebutuhan bagi generasi muda sebagai simbol perubahan diri dan sebagai pelengkap kekosongan satu sama lain, sudah dianggap dapat tergantikan atau minimal dapat terobati dengan kehadiran gadget. Gadget bagi generasi muda saat ini sudah seperti layaknya kebutuhan sandang pangan.

Banyak orang yang merasa

hidupnya kurang lengkap jika tidak membawa gadget. Satu hari terasa hilang jika lupa membawa gadget, dalam artian mereka jadi tidak bisa “memamerkan” kejadian-kejadian “penting” pada hari tersebut seperti misalnya saja mem-posting tentang kemacetan di jalan atau suasana kelas yang membosankan. Lain lagi pandangan responden yang berpendapat bahwa punya pacar

lebih penting ketimbang punya gadget. Memiliki pacar merupakan simbol dari dimilikinya suatu hubungan komunikasi yang real sebagai human-being, berbeda dengan hubungan komunikasi melalui gadget yang mereka anggap kurang “manusiawi”.

Gadget dianggap “membunuh” sisi-sisi hubungan manusia. Gadget yang sejak awal diciptakannya diniatkan sebagai alat yang dapat mendekatkan yang jauh, justru yang terjadi ialah menjauhkan yang dekat. Percakapan akrab di sela makan siang dengan sahabat misalnya, semenjak trend gadget, lebih didominasi dengan acara memainkan gadget. Sejak berkunjung ke tempat makan di restoran atau café, langsung berkutat dengan gadget untuk check-in di Path. Saat makanan datang, gadget pun harus ada di tangan untuk memfotonya lalu posting lagi di Path atau

Instagram. Hal-hal kecil seperti ini sedikit banyak turut menurunkan kualitas direct-human-interaction, namun bukan juga hal tersebut sepenuhnya salah. Tetapi itu merupakan fenomena baru pemilik gadget yang terjadi saat ini.

Perkembangan teknologi yang memudahkan penggunanya, juga sekaligus dapat mengurangi sisi manusia itu sendiri sebagai makhluk sosial. Sisi di mana manusia membutuhkan satu sama lainnya, termasuk dalam hal interaksi. Sekarang ini, mulai dari urusan belanja, perkembangan berita, finansial sampai hiburan dapat dilakukan melalui gadget. Sedikit banyak, kita mulai

kehilangan bentuk dari hubungan sosial sebenarnya dan memasuki era hubungan via gadget.

Jadi, pilih gadget atau pacar?

(29)

“Love is the one thing

we’re capable of

perceiving that transcends

time and space.”

cinemascope

I

nterstellar (2014) bercerita tentang perjalanan sekelompok astronot dalam menjelajahi galaksi untuk menemukan sebuah rumah baru bagi manusia, karena bumi sudah sekarat. Film ini disutradarai oleh Christopher Nolan dan ditulis oleh Christopher Nolan bersama dengan adiknya Jonathan Nolan. Hampir tiga jam penonton akan dibawa masuk menyaksikan perjalanan lintas ruang dan waktu dalam sebuah misi yang penuh dengan harapan dan keputus-asaan bernama misi Lazarus.

Skenario dalam film ini tidak dapat diragukan lagi. Setiap kata dan dialog begitu bermakna dan tidak ada yang tidak ada artinya. Seperti film Nolan lainnya, banyak parallel editing yang menghubungkan kejadian antara dua waktu yang berbeda, bahkan dalam dunia yang berbeda. Contohnya,

momen di mana Coop (Matthew McConaughey)—sang pemeran utama—bertarung dengan Dr. Mann (Matt Damon) diselingi dengan kejadian yang sedang terjadi di bumi di mana Tom (Casey Affleck) sedang berseteru dengan Murph (Jessica Chastain). Sinematografi dalam film ini tidak terlalu

berbicara dan sebagian besar hanya menghidupkan skenario.

Film ini mengambil dasar teori relativitas dan dilatasi waktu sebagai acuan dalam membuat cerita dengan sentuhan imajinasi sang sutradara beserta ciri khasnya dalam menyutradarai film. Christopher Nolan dengan ciri khasnya, yaitu plot yang tidak mudah ditebak beserta ending yang memiliki twist tertentu, selalu berhasil memukau penonton. Namun apabila anda sudah

menonton semua karya Nolan mulai dari Following (1998) hingga The

Dark Knight Rises (2012), maka tidak sulit untuk menebak alur cerita juga ending dalam film ini, bahkan pada beberapa menit awal ketika Murph kecil berkata ada “ghost” di kamarnya.

Ending dalam film ini, yang menurut saya sedikit terpaksa, berputar pada pemahaman bahwa Coop adalah penyebab dirinya sendiri pergi ke NASA lalu ke luar galaksi. Lewat sebuah tempat yang disebut dimensi kelima, Coop mampu pergi mengunjungi waktu yang terlewati. Waktu menjadi sesuatu yang tidak abstrak lagi dan dapat dilihat juga disentuh. Itulah dimensi kelima versi Nolan. Imajinasi tersebut memang sepertinya tidak dimiliki oleh semua orang, namun ending serupa juga terdapat dalam film Twelve Monkeys (Terry Gilliam, 1995) dan Predestination (Michael & Peter Spierig, 2014).

(30)

Interstellar

Cinta, Ruang, dan Waktu

Oleh

Revin Palung

: 169 minutes

: adventure, sci-i

: Christoper Nolan : Jonathan Nolan, Christoper Nolan

: Jordan Goldberg, Jake Myers, Christoper Nolan, Lynda Obst, Emma Thomas, Kip Thorne, Thomas Tull : Matthew McConaughey, Anne Hathaway, Jessica Chastain

: Hans Zimmer : Hoyte Van Hoytema : Lee Smith : Nathan Crowley

Duration

anaknya, tampak biasa saja, padahal sudah 80 tahun tidak bertemu. Ia malah menyuruh Coop pergi mencari Dr. Brand (Anne Hathaway) yang ada di planet lain. Coop juga terkesan lupa akan putranya yang satu lagi.

Namun apa yang sebenarnya ingin disampaikan dalam film ini? Film ini menceritakan banyak hal tentang cinta dan keterpurukan. Keluarga Coop setelah ditinggal mati oleh istri dan ibu bagi anak-anaknya. Coop, sang ayah harus pergi meninggalkan kedua anaknya untuk mencari rumah baru, sehingga mereka harus kehilangan ayahnya; sementara Brand harus pergi jauh meninggalkan ayahnya dan terdorong untuk bertemu dengan kekasihnya yang terpisah jutaan mil jauhnya dengan kemungkinan sudah mati. Putra Coop, Tom,

harus kehilangan anak sendirinya. Lewat semua hal itu, ternyata cinta tetap bertahan walau jarak dan waktu memisahkan. Cinta tersebut membuat Coop akhirnya menemukan rumus yang disampaikannya kepada Murph dan menyelamatkan bumi.

Ada pun sebuah puisi yang terus menerus diulang dalam film ini:

“Do not go gentle into

that good night; old

rage should burn and

rave at close of day.

Rage, rage against

the dying of the light.”

Banyak yang bertanya kepada saya apa arti dari puisi ini. Pada

(31)

KETIKA SEORANG PENGGILA

MUSIKAL NONTON

RENA ASIH

Oleh

Bawuk Respati

cinemascope

S

aya ini gila film musikal. Entah sejak kapan sebenarnya penyakit ini saya idap, namun baru beberapa tahun terakhir saja saya sadar akan hal ini. Mungkin karena dalam beberapa tahun terakhir, saya mendekatkan diri dengan berbagai macam film. Kebetulan, film musikal mencuat sebagai salah satu favorit saya.

Di Indonesia sayangnya jarang muncul film musikal yang bisa benar-benar saya nikmati. Saya kira baru Petualangan Sherina yang selama ini memberikan kepuasan penuh kepada saya sebagai penggila film musikal. Memang, film musikal itu sulit—atau mungkin yang lebih tepat, rumit—untuk dibuat. Ia pun cenderung memakan dana yang lebih besar, maka mungkin industri film Indonesia tidak mau mempertaruhkan modalnya di sana.

Saya sangat menyayangkan kekurangan ini. Film musikal sebagai sebuah genre sebenarnya bisa menjadi lahan yang sangat kreatif bagi para pembuat film. Ia adalah genre yang mempertemukan berbagai unsur filmis dengan unsur seni pertunjukan seperti teater, musik, dan tari. Menurut saya, ini perkawinan yang sempurna, karena di dalam film, kita sedang berusaha mempertunjukkan sesuatu. Hal apa yang lebih cocok untuk dipertunjukkan daripada seni pertunjukan itu sendiri? It is the perfect medium for exciting collaboration.

Maka, selalu menyenangkan ketika saya berkesempatan menemukan sebuah film musikal baru yang memuaskan kegilaan saya itu. Misalnya, September lalu, ketika menghadiri beberapa pemutaran film di rangkaian acara Festival

Kesenian Indonesia ke-8, tepatnya di Fakultas Seni Media Rekam ISI Yogyakarta, saya disuguhi sebuah film pendek yang cukup memukau berjudul Rena Asih, karya Lingga Galih Permadi. Film pendek tersebut merupakan karya akhir Lingga sebagai mahasiswa di ISI Yogyakarta.

Sebelum menonton Rena Asih, seorang rekan dari FFTV yang kebetulan juga hadir dalam rangkaian program FKI sebagai delegasi IKJ berbisik kepada saya dan beberapa teman lain, “Kalian sudah pernah nonton ini? Gue penasaran sama pendapat kalian.” Saya pun langsung penasaran.

Rena Asih berkisah tentang Damar, seorang anak laki-laki penggemar Arema yang pintar, supel, dan hampir selalu mempunyai pandangan positif terhadap dunianya. Namun sayangnya, ibu Damar, Asih, sedang terjelit kesulitan keuangan, baik untuk membayar uang sekolah Damar, membayar tagihan listrik yang menunggak, maupun membantu Damar membeli kaos tim bola favoritnya. Keseluruhan cerita pada dasarnya merupakan perjalanan Damar untuk memahami situasinya yang berkekurangan, tanpa kehilangan hormat dan kasih sayang terhadap sang ibu dan semangat untuk memaksimalkan hidupnya sendiri.

Film ini dikemas dengan apik dengan sejumlah adegan musikal. Di adegan musikal pertama, Damar dengan jenaka menyemangati temannya dengan berkata kira-kira demikian, “Jangan cemberutlah! Kayak orang susah aja!” (Ini kira-kira terjemahan bahasa Indonesianya. Rena Asih memakai dialog berbahasa Jawa—sesuatu

yang tentunya harus kita apresiasi— namun membuat saya lebih sulit untuk mengingat detail dialog.)

Namun, adegan yang menurut saya menjadi highlight utama dalam film ini adalah ketika Damar merasa sedikit kesal dengan sang ibu yang telah menyembunyikan kesulitan keuangan yang dihadapinya. Damar memilih untuk keluar dari rumah, semacam untuk merefleksikan perasaannya. Ia pun mulai bernyanyi, namun ini bukan nyanyian biasa, melainkan mirip seperti rap sederhana—tentunya, dalam bahasa Jawa. Sementara itu, Asih yang masih di rumah pun mengekspresikan perasaannya dengan bernyanyi, namun dengan gaya yang lebih tradisional. Kedua adegan ini diparalelkan, serta kedua gaya musik yang berbeda itu diharmonisasikan. Sungguh ide yang menarik. Meskipun belum sempurna, hal ini sulit untuk dilupakan dan seharusnya bisa mendorong kolaborasi-kolaborasi lain yang mirip seperti ini di masa depan.

(32)

Oleh

Larry Luthfianza M.F.Y.

MEMAHAMI

FILM

MEMBACA

viewfinder

M

emahami Film adalah

sebuah buku tentang teori film. Mulai dari unsur-unsur pembentukan film hingga bagaimana mengkaji sebuah film telah dituturkan oleh Himawan Pratista dalam bukunya ini.

Buku ini terbilang banyak diilhami oleh buku Film Art: An Introduction karya David Bordwell dan Kristin Thompson.

Himawan memecah pembahasannya menjadi 9 bab yang terdiri dari: Unsur-unsur Pembentuk Film, Jenis Film, Klasifikasi Film, Struktur Film, Struktur Naratif, Mise-en-Scène, Sinematografi, Editing, dan Suara. Secara keseluruhan, buku ini sangat direkomendasikan bagi kalian yang suka dengan film dan ingin mengerti bagaimana proses pembentukan sebuah film.

Himawan juga memberikan rekomendasi film-film yang bagus dalam bukunya, seperti Raiders of the Lost Ark, The Matrix, The Wizard of Oz, Saving

Private Ryan, Pulp Fiction, dan masih banyak lagi. Buku ini juga sangat mudah dipahami karena cara Himawan menyampaikan pemikirannya dibalut dengan kalimat-kalimat yang sederhana dan jelas. Meskipun begitu, dalam buku ini juga terdapat hal-hal yang belum lengkap dan tidak terlalu rinci. Namun setidaknya buku ini dapat membantu para pecinta film sebagai buku panduan mengenai bagaimana membaca sebuah film.

(33)

Hi, Guys! Kamu akan

belajar

explosion

effect (efek ledakan)

di semester 6

bersama Bapak Teuku

Rusian. Namun, kita

akan memberikan

pendahuluan singkat

bagi kamu yang

belum semester 6,

atau mungkin nggak

masuk kelas efek

ledakan.

Arah Tanah

Arah ledakan bisa kamu buat dengan menggali tanah dengan trik tertentu. Seperti gambar di atas, kamu bisa memilih arah ledakan ke kiri, ke kanan, di tengah, atau bahkan ledakan besar dan bulat.

Warna

Ketika mendengar kata ‘explosion’ atau ‘ledakan’, biasanya muncul di pikiran kita gambaran api, yang merah dan hitam. Padahal sebenarnya, ledakan itu bisa berwarna-warni (Kalau sutradaranya mau, coba cek dulu!). Untuk ledakan berwarna putih misalnya, kamu bisa tambahkan bedak ke dalam lubang galian. Maka, BAAAMMMM!!! Ledakannya akan memiliki warna putih. Untuk penggunaan warna-warna ini, kamu harus kreatif! Namun pastikan untuk tidak menggunakan bahan-bahan yang membahayakan pemain dan kru. Misalnya, kamu ingin saat ledakan terdapat bebatuan yang beterbangan. Ya… jangan pakai batu beneran! Buat saja dengan bahan yang lebih ringan, seperti polyfoam dan bahan lainnya.

Kunci Kroma

Sebuah teknik modern dalam pengambilan gambar dengan

menggabungkan dua layar menjadi satu. Teknik ini bisa kamu gunakan dalam pengambilan adegan ledakan. Kali ini, kita akan bahas 2 cara bagaimana kamu bisa mengambil gambar dengan teknik ini beserta keuntungannya:

1. Camera Lock

Kamu akan pecah satu shot menjadi dua shot di satu tempat, dengan posisi dan setting kamera yang sama sekali tidak berubah antara shot 1 dan shot 2, yang nantinya akan digabungkan dalam satu layar.

2. Green Screen atau Blue Screen

Kamu akan pecah satu shot menjadi dua shot di tempat yang berbeda. Shot pergerakan pemain akan diambil dengan green screen atau blue screen, dan tidak pada lokasi di mana gambar ledakan diambil.

Galilahi tanah untuk meletakkan ‘ramuan’ yang sudah kamu buat. Hal ini mempengaruhi ke arah mana ledakan kamu akan terjadi. Kanan, tengah, atau kiri.

(34)

Safety

1. Jarak

Poin satu ini harus benar-benar kamu perhatikan kalau kamu tidak mau masuk penjara karena pemain celaka akibat efek ledakan yang kamu buat.

Jarak minimal pemain dari jangkauan terjauh ledakan adalah 5 meter. (Namun, lebih baik jika kamu kasih jarak yang lebih dari minimal!)

Kamu harus benar-benar menjelaskan blocking pemain kepada kru yang akan meledakkan. Sebab, sedikit salah pengertian dari pemain atau kru akan mengakibatkan fatality.

Seperti gambar di atas, jika pemain belum sampai ke titik blocking merah dan kru sudah meledakkannya, maka… bisa gila!

1. Pemain kamu terluka. 2. Kamu retake!

2. Kaca Akrilik

Barang satu ini sangat dibutuhkan oleh director of photography (DP) saat mengambil gambar ledakan. Fungsinya untuk menjaga tubuh dan kamera dari biasan ledakan.

Letakkan kaca akrilik di depan kamera, minimal 1m x 1m untuk melindungi

tubuhmu juga. Saat terjadi ledakan yang sangat memungkinkan benda-benda kecil atau besar untuk berterbangan, kamu sudah siap dengan ‘perisai’ akrilik.

Maket/Mockup

Saat membuat sebuah efek ledakan, kamu pasti memikirkan objek apa yang akan meledak dan di mana ia meledak. Efek ledakan bom di tanah lapang yang luas? Aman.

Nah, kalau di skenario tertulis, “Terjadi ledakan besar di tengah kota yang menghancurkan Istana Negara dan Monas!” Hahaha… ngajak ribut!!!

Kamu punya sedikitnya 3 pilihan untuk merealisasikan skenario tersebut:

1. Ledakin beneran Istana Negara dan Monas.

Konsekuensi: Seumur hidupmu kamu kerja buat bayar utang.

2. Bikin set Istana Negara dan Monas di studio.

Konsekuensi: Sepertinya kamu butuh donatur miliuner...

3. BIKIN MAKET!!!

Konsekuensi: Kalau nggak terlihat real, ya jadinya konyol…

Maket adalah sebuah bentuk tiga dimensi yang meniru benda atau objek. Cara yang satu ini lagi hits di kalangan

filmmaker internasional namun masih belum terlalu sering digunakan di Indonesia. Hal yang paling penting diperhatikan dalam membuat maket adalah SKALA. Jika kamu sembarangan membuat maket tanpa skala, maka film kamu akan gagal total dalam memberikan ilusi kenyataan. Namun, jika maket kamu berhasil, maka kamu akan mendapatkan keuntungan besar sekali, terutama dari segi budget yang bisa hemat 100 kali lipat.

Jangan lupa, semakin besar

perbandingan skala yang kamu buat, maka semakin kecil maket yang dibentuk. Hal itu akan membuat kamu semakin sulit untuk menjadikannya terlihat nyata. Kalau menggunakan teknik maket artinya mau tidak mau kamu harus menggunakan green screen terhadap tokoh.

Multi Kamera

Jika satu ledakan menghabiskan dana Rp100.000.000,00 dan ada 5 shot yang harus diambil di adegan tersebut, kamu wajib menggunakan teknik multi kamera dengan mengatur type of shot setiap kamera. Biasanya, satu kamera sebagai master shot dan yang lain mengambil cover shot yang diinginkan.

Jangan sampai kamu harus menata ulang semua set dan melakukan efek ledakan lagi karena mengambil shot satu per satu. Bisa sih… Bisa gila! Kemudian jangan lupa, karakter gambar harus sama antara kamera satu dengan yang lainnya. Jangan sampai kamera 1 suhu warna tungsten, sedangkan kamera 2 suhu warna daylight. Kecuali, itu adalah konsep. Aptuyu… (EPM)

Gambar

gambar. Proses shooting sendiri
gambar menjadi pecah, karena pada

Referensi

Dokumen terkait

Implementing the procedure with actual S&P500 option-implied volatilities and high-frequency five-minute-based realized volatilities indicates significant temporal dependencies

Hal ini tidak sesuai dengan literatur bahwa minyak jelantah kaya akan asam lemak bebas, dan mudah mengalami kerusakan dan ransiditas, hal ini dapat terjadi

Dengan ini diberitahukan bahwa Direktorat Riset dan Pengabdian Masyarakat, Direktorat Jenderal Penguatan Riset dan Pengembangan, akan menyelenggarakan Pemaparan Hasil

Hal ini mengandung arti bahwa anggota mempunyai kewajiban untuk melaksanakan jasa profesional dengan sebaik-baiknya sesuai dengan kemampuannya, demi kepentingan pengguna jasa

Semakin besar ukuran file dan kunci yang digunakan atau diproses maka waktu proses menjadi semakin lama dan semakin panjang digit bilangan prima yang digunakan, jumlah

Konsekuensi dari bentuk Negara hukum ini bahwa dalam segala bentuk tindakan pemerintahan haruslah berdasar atas hukum termasuk dalam memberikan hak dan mencabut

• Satker pemerintah operasional yang melayani publik (seperti layanan kesehatan, pendidikan, pengelolaan kawasan, pengelolaan dana bergulir untuk usaha kecil dan menengah,

Penggunaan tenaga kerja rumah tangga petani kepada kegiatan produktif adalah terjadi karena adanya resiko dan ketidak pastian dalam berusahatani padi sebagai akibat