• Tidak ada hasil yang ditemukan

STUDI PUTUSAN PENGADILAN NEGERI SIDOARJO NOMOR 560/PID.B/2014/PN.Sda TERHADAP KASUS KEMATIAN DALAM PERISTIWA PEMBUNUHAN DALAM KAJIAN FIQIH JINAYAH DAN KUHP.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "STUDI PUTUSAN PENGADILAN NEGERI SIDOARJO NOMOR 560/PID.B/2014/PN.Sda TERHADAP KASUS KEMATIAN DALAM PERISTIWA PEMBUNUHAN DALAM KAJIAN FIQIH JINAYAH DAN KUHP."

Copied!
93
0
0

Teks penuh

(1)

STUDI PUTUSAN PENGADILAN NEGERI SIDOARJO

N

TERHADAP KASUS KEMATIAN DALAM PERISTIWA

PEMBUNUHAN MENURUT FIQIH JINAYAH DAN KUHP

Universitas Islam Negeri Sunan Ampel

Program Studi Hukum Pidana

STUDI PUTUSAN PENGADILAN NEGERI SIDOARJO

NOMOR 560/ PID.B/2014/PN.Sda

TERHADAP KASUS KEMATIAN DALAM PERISTIWA

PEMBUNUHAN MENURUT FIQIH JINAYAH DAN KUHP

SKRIPSI

Oleh :

Syamsul Muria

NIM. C33209027

Universitas Islam Negeri Sunan Ampel

Fakultas Syariah dan Hukum

Jurusan Hukum PublikIslam

Program Studi Hukum Pidana Islam (Jinayah)

SURABAYA

2016

STUDI PUTUSAN PENGADILAN NEGERI SIDOARJO

TERHADAP KASUS KEMATIAN DALAM PERISTIWA

PEMBUNUHAN MENURUT FIQIH JINAYAH DAN KUHP

(2)
(3)
(4)
(5)
(6)

ABSTRAK

Penelitian ini merupakan hasil studi kasus dengan judul : ‚Studi Putusan

Pengadilan Negeri Sidoarjo Nomor 560/PID.B/2014/PN.Sda Terhadap Kasus

Kematian Dalam Peristiwa Pembunuhan Menurut Fiqih Jinayah dan KUHP‛.

Penelitian ini ditujukan untuk menjawab rumusan masalah, yaitu : Bagaimanakah pertimbangan hukum hakim Pengadilan Negeri Sidoarjo dalam kasus kematian dalam peristiwa pembunuhan dan Bagaimana analisis fiqih jinayah dan KUHP terhadap putusan Hakim Sidoarjo dalam kasus kematian dalam peristiwa pembunuhan.

Data penelitian dihimpun melalui beberapa literatur terkait seperti perundang-undangan KUHP, putusan pengadilan negeri sidoarjo Nomor 560/PID.B/2014/PN.Sda, buku-buku dan jurnal hukum yang dinilai relevan dengan permasalahn yang dibahas dan selanjutnya dianalisis dengan teknik diskriptif-analisis, yaitu mendiskripsikan Studi Putusan Pengadilan Negeri Sidoarjo Nomor 560/PID.B/2014/PN.Sda Terhadap Kasus Kematian Dalam Peristiwa Pembunuhan. Selanjutnya dianalisis dari sudut pandang hukum pidana di Indonesia dan Fiqih Jinayah.

Hasil penelitian menyimpulkan bahwa putusan oleh hakim Pengadilan Negeri Sidoarjo, terdapat beberapa bukti dan fakta keterangan saksi yang seharusnya dapat dijadikan pertimbangan Hakim kembali dalam menjatuhkan sebuah putusan tersebut. Meski dalam fakta tersebut, terdapat indikasi yang menyatakan terdakwa melakukan perlawanan, menangkis atas serangan korban yang berulang-ulang dan berebut senjata pelaku sehingga terjadi perkelahian dan mengakibatkan hilangnya nyawa korban. Berdasarkan fakta persidangan Hakim memutuskan pelaku ditindak pidana pembunuhan yang mengakibatkan hilangnya nyawa korban meski pelaku melakukan pembelaan diri.

Berdasrkan kesimpulaan diatas, dapat kita pahami bahwa pada dasarnya tujuan semua hakim pengadilan negeri adalah untuk memberikan kepastian hukum dan keadilan seperti halnya tujuan pengadilan negeri sidoarjo tingkat pertama adlah untuk memberikan keadilan mengenai perdata dan pidana. Maka dari itu, disarankan bagi para legislator dan penegak hukum agar dapat memasukkan dua unsur penting dalam perundang-undangan atau putusan-putusannya, yakni kepastian hukum dan keadilan demi tercapainya cita-cita hukum.

(7)

DAFTAR ISI

Halaman

SAMPUL DALAM ... i

PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

PENGESAHAN ... iii

MOTTO ... iv

PERSEMBAHAN ... v

ABSTRAK ... vi

KATA PENGANTAR ... vii

DAFTAR ISI ... ix

DAFTAR TRANSLITERASI ... xii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi Masalah dan Batasan Masalah ... 12

C. Rumusan Masalah ... 12

D. Kajian Pustaka ... 13

E. Tujuan Penelitian ... 16

F. Kegunaan Hasil Penelitian ... 16

G. Definisi Operasional ... 16

H. Metode Penelitian ... 17

(8)

BAB II KASUS KEMATIAN DALAM PERISTIWA PEMBUNUHAN

MENURUT KAJIAN FIQIH JINAYAH DAN KUHP... 23

A.Pembelaan terpaksa yang melampaui batas menurut fiqih jinayah ... 23

1. Pengertian Pembelaan Terpaksa Menurut Fiqih Jinayah ... 23

2. Syarat-syarat pembelaan terpaksa menurut fiqih jinayah ... 28

3. Pembelaan Diri Melampaui Batas yang Diperbolehkan... ... 31

4. Sumber dan Hukum Tindakan Pembelaan Umum ... 33

B.Pembelaan Terpaksa yang Melampaui Batas Menurut KUHP ... 35

1. Pengertian Pembelaan Terpaksa (noodweer) ... 35

2. Syarat dan Unsur Pembelaan Terpaksa ... 38

3. Pembelaan Terpaksa yang Melampaui Batas (noodweer exses). ... 41

BAB III PUTUSAN PENGADILAN NEGERI SIDOARJO NOMOR 560/ PID.B/2014/PN.Sda ... 45

A. Deskripsi Pengadilan Negeri Sidoarjo ... 45

1. Status dan Kewenangan Pengadilan Negeri Sidoarjo.. ... 45

2. Struktur organisasi pengadilan negeri sidoarjo... 48

B. Deskripsi khasus tindak pidana pembunuhan ... 49

C. Tuntutan, Fakta Persidangan, Pertimbangan Hakim dan Isi Putusan Pengadilan Negeri Sidoarjo Nomor 560/PID.B/Pn.Sda... ... 60

(9)

2. Fakta Persidangan dan Pertimbangan Hakim ... 60

3. Isi Putusan... 63

BAB IV ANALISA FIQIH JINAYAH DAN KUHP TERHADAP KASUS KEMATIAN DALAM PERISTIWA PEMBUNUHAN... ... 65

A. Analisis Hukum Pidana di Indonesia Terhadap Putusan Pengadilan Negeri Sidoarjo Nomor 560/PID.B/2014/PN.Sda. ... 65

B. Analisis Fiqih Jinayah Tentang Pembelaan Terpaksa Terhadap Putusan Pengadilan Negeri Sidoarjo Nomor 560/PID.B/2014/PN.Sda... 71

BAB V PENUTUP ... 81

A. Kesimpulan ... 81

B. Saran ... 82

DAFTAR PUSTAKA

(10)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Hukum secara umum dibuat untuk kebaikan manusia itu sendiri,

dan berguna memberikan argumentasi yang kuat bahwa bila hukum

diterapkan dalam suatu masyarakat maka mereka akan dapat merasakan

kebenaran, kebaikan, keadilan, kesamaan dan kemaslahatan dalam hidup di

dunia ini. Seperti hukum positif yang merupakan hasil interpretasi manusia

terhadap peraturan dan perbuatan manusia di dunia, sedangkan hukum Islam

menghubungkan antara dunia dan akhirat, seimbang antara kebutuhan rohani

dan kebutuhan jasmani. Manfaat yang diperoleh bagi yang mematuhi

perintah Allah dan kemudlaratan yang diderita lantaran mengerjakan

maksiat, kembali kepada pelakunya sendiri.1

Hukum pidana Islam merupakan syariat Allah yang mengandung

kemaslahatan bagi kehidupan manusia baik di dunia maupun akhirat. Syariat

Islam yang dimaksud, secara materil mengandung kewajiban asas bagi setiap

manusia untuk melaksanakannya. Konsep kewajiban asasi syariat, yang

berarti menempatkan Allah sebagai pemegang dari segala hak, baik itu yang

ada pada diri sendiri maupun yang ada pada diri orang lain. Setiap orang

1 Nourouzzaman Shiddiqi, Fiqh Indonesia, Penggagas dan Gagasannya, (Yogyakarta: Pustaka

(11)

2

hanya pelaksana dari kewajiban yang diperintahkan Allah. Perintah Allah

yang dimaksud, harus diamalkan untuk kemaslahatan dirinya dan orang lain.

Kejahatan atau tindak pidana dalam Islam merupakan

larangan-larangan syariat yang dikategorikan dalam istilah jarimah atau jinayah.

Pakar fiqih telah mendefinisikan jarimah dengan perbuatan-perbuatan

tertentu yang apabila dilakukan akan mendapatkan ancaman hukuman had

atau ta’zir . Adapun istilah jinayah kebanyakan para fuqaha memaknai kata

tersebut hanya untuk perbuatan yang mengenai jiwa atau anggota badan

seperti membunuh, melukai, memukul, menggugurkan kandungan dan

sebagainya.2

Had merupakan ketetapan hukum Allah yang paling berat diatas

hukuman qishash dan ta’zir. Ta'zir dalam konteks bahasa adalah menolak

dan mencegah kejahatan, Ta’zir juga berarti memberi pelajaran. Para ulama’

mengartikan ta'zir dengan hukuman yang tidak ditentukan oleh nas dan

berkaitan dengan kejahatan. Tujuannya adalah untuk memberi pelajaran agar

tidak mengulangi kejahatan serupa.3

Pada dasarnya dengan adanya sanksi terhadap pelanggaran bukan

berarti pembalasan akan tetapi mempunyai tujuan tersendiri yaitu, untuk

mewujudkan dan memelihara lima sasaran pokok yang disebut al-dharuriyat

al-khamsah yaitu yang terdiri dari hifz al-nafs (menjaga jiwa), hifz al-’aql

(menjaga akal), hifz al-din (menjaga agama), hifz al-mal (menjaga harta) dan

(12)

3

hifz al-nasl (menjaga keturunan). Lima hal pokok ini, wajib diwujudkan dan

dipelihara, jika seseorang menghendaki kehidupan yang bahagia di dunia dan

diakhirat. Segala upaya untuk mewujudkan dan memelihara lima pokok tadi

merupakan amalan saleh yang harus dilakukan oleh umat Islam.4

Hukum Islam dapat dibedakan menjadi dua bagian yaitu Hukum

Privat (Munakahat, Wiratsah dan Muamalat) dan Hukum Publik (Jinayat, Al

ahkamal sulthaniyah, Siyar, Mukhashamat).5 Di dalam ajaran Islam

bahasan-bahasan tentang kejahatan manusia berikut upaya preventif dan represif

dijelaskan dalam fiqih jinayah.6

Islam seperti halnya sistem lain melindungi hak-hak untuk hidup

merdeka dan merasakan keamanan. Dalam Islam melarang bunuh diri

ataupun pembunuhan. Dalam Islam pembunuhan terhadap seorang manusia

tanpa alasan yang benar diibaratkan seperti membunuh seluruh manusia.

Sebaliknya, barang siapa yang memelihara kehidupan seorang manusia,

maka ia di ibaratkan memelihara seluruh manusia. Jika terjadi pembunuhan,

maka pelaku wajib bertanggung jawab. Permasalahanya adalah jika

pembunuhan yang disengaja tersebut dilakukan dalam upaya membela jiwa,

kehormatan, maupun harta benda baik milik sendiri ataupun orang lain.7

4Muhammad Amin Suma, Pidana Islam di Indonesia, Peluang, Prospek, dan Tantangan,(Jakarta:

Pustaka Firdaus, 2001), 107.

5Dahlan Tamrin, Filsafat Hukum Islam(Malang: UIN-Malang Press, 2007),9-10.

6H.A. Djazuli, Fiqh Jinayah; Upaya Menanggulangi Kejahatan dalam Islam,( Jakarta: Raja

Grafindo Persada, 2000), 1.

7Topo Santoso, Membumikan Hukum Pidana Islam; Penegakan Syariat dalam Wacana

(13)

4

Dalam melakukan pembelaan dalam islam dikenal dengan istilah

daf’uas-sail, dalam hukum Islam, pertanggung jawaban pidana dapat dihapus

karena pertama, hal-hal yang bertalian dengan perbuatan yang dilakukan

adalah mubah (tidak dilarang) yang disebut asbab al-ibahah atau sebab

diperbolehkanya perbuatan yang dilarang. Diantaranya yaitu : pembelaan

yang sah, mendidik, pengobatan, permainan kesatriaan, halalnya jiwa,

anggota badan dan harta seseorang, hak dan kewajiban penguasa. Kedua,

hal-hal yang bertalian dengan pelaku atau perbuatan yang dilakukan tetap

dilarang tapi pelakunya tidak dijatuhi hukuman yang disebut asbab raf’i

al-Uqubah atau sebab dihapusnya hukuman. Diantaranya yaitu paksaan,

mabuk, gila dan anak kecil (bawah umur).8

Sedangkan dalam hukum Islam, tidak diatur secara jelas

pembelaan yang diperbolehkan juga sanksi bagi pelaku pembelaan terpaksa

yang melampaui batas pembelaan. Dalam firman Allah Q.S Al Syura (42) :

39, yang bunyinya :

َنوُرِصَتنَي ْمُ ُيْغَ بْلا ُمُهَ باَصَأ اَذِإ َنيِذَلاَو

.

Artinya : ‚Dan (bagi) orang-orang yang apabila mereka

diperlakukan dengan zalim, mereka membela diri9.‛

Dalam Q.S Al Baqarah (2) : 178 : yang bunyinya :

ُلاَو ِدْبَعْلاِب ُدْبَعْلاَو ِرُْْاِب رُْْا ىَلْ تَقْلا ِِ ُصاَصِقْلا ُمُكْيَلَع َبِتَُ ْاوُنَمآ َنيِذَلا اَه يَأ اَي

ىَثنُلاِب ىَثن

َكِلَذ ٍناَسْحِإِب ِهْيَلِإ ءاَدَأَو ِفوُرْعَمْلاِب ٌعاَبِ تاَف ٌءْيَش ِهيِخَأ ْنِم ُهَل َيِفُع ْنَمَف

ْمُكِبَر نِم ٌفيِفََْ

ٌميِلَأ ٌباَذَع ُهَلَ ف َكِلَذ َدْعَ ب ىَدَتْعا ِنَمَف ٌةََْْرَو

.

(14)

5

Artinya : Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu (melaksanakan) Qisas berkenaan dengan orang yang dibunuh.Orang merdeka dengan orang merdeka, hamba sahaya dengan hamba sahaya, perempuan dengan perempuan.Tetapi barangsiapa memperoleh maaf dari saudaranya, hendaklah dia mengikutinya dengan baik, dan membayar diat (tebusan) kepadanya dengan baik (pula).Yang demikian itu adalah keringanan dan rahmat dari Tuhan-mu. Barangsiapa melampaui batas setelah itu, maka ia

akan mendapat azab yang sangat pedih10.

Dari ayat tersebut hanya menerangkan tentang pembelaan diri ketika

diserang tetapi tidak menjelaskan syarat dan sanksi bagi penyerang jika

melebihi batas serangan.

Yang pertama, Islam sangat melindungi hak hidup seseorang. Hal

ini terbukti dalam tujuan syara’ atau yang lebih dikenal dengan

al-Maqashidul khamsah (panca tujuan) salah satunya memelihara jiwa.

Didalam Al-qur’an telah banyak menjelaskan tentang sanksi berkenaan

dengan masalah kejahatan terhadap nyawa. Diantara jenis-jenis hukum

qisash disebutkan dalam Al-Qur’an ialah : qisash pembunuh, qisash anggota

badan dan qisash dari luka. Semua kejahatan yang manimpa seseorang

hukumanya adalah dianalogikan dengan qisash yakni berdasar atas

persamaan antara hukuman dengan kejahatan, karena itu adalah tujuan

pokok dari pelaksanaan hukuman qisash.

Secara umum, pengertian Jinayat sama dengan hukum Pidana pada

hukum positif. Hukum secara umum dibuat untuk kebaikan manusia itu

sendiri, dan berguna memberikan argumentasi yang kuat bahwa bila hukum

diterapkan dalam suatu masyarakat maka mereka akan dapat merasakan

kebenaran, kebaikan, keadilan, kesamaan dan kemaslahatan dalam hidup di

(15)

6

dunia ini. Seperti hukum positif yang merupakan hasil interpretasi manusia

terhadap peraturan dan perbuatan manusia di dunia, sedangkan hukum Islam

menghubungkan antara dunia dan akhirat, seimbang antara kebutuhan rohani

dan kebutuhan jasmani. Manfaat yang diperoleh bagi yang mematuhi

perintah Allah dan kemudlaratan yang diderita lantaran mengerjakan

maksiat, kembali kepada pelakunya sendiri.11

Sebuah peraturan hukum ada, karena adanya sebuah masyarakat

(ubiius ubi-societas). Hukum menghendaki kerukunan dan perdamaian dalam

pergaulan hidup bersama. Hukum itu mengisi kehidupan yang jujur dan

damai dalam seluruh lapisan masyarakat.12

Berbeda dengan hukum positif pada masa sebelum revolusi

Perancis, setiap orang bagaimanapun keadaanya bisa dibebani

pertanggungjawaban pidana tanpa membedakan apakah pelaku mempunyai

kemauan sendiri atau tidak, sudah dewasa atau belum. Bahkan hewan dan

benda mati juga bisa dibebani pertanggug jawaban apabila menimbulkan

kerugian pada pihak lain. Kematian juga tidak bisa menghindarkan seseorang

dar pemeriksaan pengadilan dan hukuman. Demikian juga seseorang harus

mempertanggung jawabkan kesalahan orang lain meskipun tidak tahu

menahu dan tidak ikut serta mengerjakanya. Baru setelah revolusi Perancis

dengan aliran tradisionalisme dan lainnya, pertanggung jawaban itu hanya

11 Nourouzzaman Shiddiqi, Fiqh Indonesia, Penggagas dan Gagasannya, (Yogyakarta: Pustaka

Pelajar, 1997), 89.

(16)

7

dibebankan kepada manusia yang masih hidup yang memiliki pengetahuan

dan pengetahuan.13

Tidak ada pertanggungjawaban pidana selama perbuatanya itu

tidak bermaksud turut serta, memudahkan atau memberi bentuan

terlaksananya jarimah. Sedangkan bagi pelaku perbuatan langsung dan sebab

dikenakan pertanggungjawaban pidana atas perbuatanya, karena keduanya

merupakan illat (sebab) adanya jarimah.14 Dalam hukum pidana Indonesia,

pembelaan terpaksa diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

(KUHP) BAB III pasal 49 ayat 1 yang berbunyi :

‚tidak dipidana barang siapa yang melakukan perbuatan pembelaan terhadap jiwa, kehormatan dan harta benda baik untuk diri sendiri maupun orang lain

karena pengaruh daya paksa tidak dipidana‛15

Pembelaan terpaksa melampaui batas diatur dalam KUHP pasal 49

ayat 2 yang berbunyi :

‚pembelaan terpaksa yang melampaui batas, yang langsung disebabkan oleh

goncangan jiwa yang hebat karena serangan atau ancaman serangan itu, tidak dipidana‛.16

Undang-undang tidak memberi keterangan lebih jauh tentang

pembelaan terpaksa yang melampaui batas. Dalam Memorie van Toelichting

(MvT) ada sedikit keterangan mengenai pembelaan terpaksa yang

melampaui batas yang mengatakan jika terdapat ‚kegoncangan jiwa yang

hebat‛. Yang dimaksud kegoncangan jiwa yang hebat tidak dijelaskan dalam

KUHP tetapi oleh ahli hukum memberikan penjelasan kegoncangan jiwa

13Ahmad Hanafi, Asas-asas Hukum . . . . , 156-158. 14Ahmad Hanafi, Asas-asas Hukum ... 160.

(17)

8

yang hebat sehingga diperbolehkan melakukan pembelaan terpaksa yang

melampaui batas,

Alasan penghapusan pidana (strafuitsluitingsground) diartikan

sebagai keadaan khusus (yang harus dikemukakan, tetapi tidak perlu

dibuktikan oleh terdakwa), meskipun terhadap semua unsur tertulis dari

rumusan delik telah dipenuhi tidak dapat dijatuhkan pidana. Alasan

penghapusan tindak pidana dikenal baik dalam KUHP, doktrin maupun

yurisprudensi. Sesuai dengan ajaran daaddader strafrecht alasan penghapusan

pidana dapat dibedakan sebagai berikut :17

1. Alasan pembenar (rechtfuitsluitingsground) yaitu alasan yang

menghapuskan sifat melawan hukumnya perbuatan, berkaitan dengan

tindak pidana (strafbaarfeit) yang dikenal dengan istilah actus reus

dinegara Anglosaxon.

2. Alasan pemaaf (schuldduitsluitingsground) yaitu alasan yang

menghapuskan kesalahan dengan istilah mens rea di Negara Anglosaxon.

Ada beberapa hal yang menjadikan penulis tertarik untuk

membahas judul tentang Tinjauan Fiqh Jinayah Terhadap KUHP BAB III

Pasal 49 Tentang Pembebasan Hukuman Pidana.Begitupun dalam hukum

positif juga diatur sanksi untuk pembunuh dari yang teringan sampai yang

terberat.

Kedua, dalam KUHP BAB III tentang pembebasan hukuman

pidana pasal 49 ayat 1 tetang pembelaan terpaksa, dan juga dalam hukum

(18)

9

pidana Islam diatur pembelaan sah, tidak dijatuhi hukuman sebab

diperbolehkanya perbuatan yang dilarang. Tetapi untuk mengetahui apakah

suatu perbuatan itu sebagai suatu pembelaan atau sebaliknya, maka harus

diketahui unsur atau syarat yang dimaksud dalam pasal tersebut dan dan

tidak dijelaskan bagaimana melakukan pembelaan yang diperbolehkan.

Begitu juga dalam KUHP pasal 49 ayat 2 tentang pembelaan terpaksa yang

melampaui batas tidak dijelaskan pelampauan batas yang diperbolehkan

dalam melakukan suatu pembelaan.

Salah satu kasus tersebut dilakukan oleh terdakwa Buasan yang

telah terbukti secara sah bersalah melakukan tindak pidana pembunuhan

terhadap korban Bustomi dengan cara membacok sehingga di tuntut dengan

pasal 338 KUHP dan diancam pidana penjara 7 tahun karena telah dengan

sengaja merampas nyawa orang lain.

Peristiwa ini bermula pada 01 Mei 2014 sekitar pukul 02.00 Wib

terdakwa berangkat dari rumah untuk jaga sebagai keamanan di PT. Izza

Sarana Karsa (Pabrik Aspal) di by Pass Kecamatan Krian Kabupaten

Sidoarjo lalu ketika sampai di warung kopi milik Sdr. Murgianto dan pada

saat itu di warung sudah ada Sdr. Siswanto, Sdr. Radi Purnomo, dan Sdr.

Budi Setiawan selanjutnya terdakwa bergabung dengan mereka sambil

duduk-duduk menonton sepak bola di televisi.18

Bahwa kemudian pada sekitar pukul 03.00 WIB korban Sdr.

Bustomi dalam keadaan mabuk datang ke warung dengan menggunakan

(19)

10

sepeda mator, lalu korban Bustomi turun dari sepeda motor dan langsung

menghampiri terdakwa, selanjutnya terdakwa menyapa kepada korban ‚ dari

mana Om?‛ dan di jawab oleh korban ‚ dari kafe‛ dan selanjutnya korban

marah-marah dan menantang terdakwah sambil melemparkan sembilah

senjata clurit yang di bawanya kepada terdakwa, dan kemudian sembilah

senjata clurit yang dilempar tersebut dan di ambil oleh Sdr. Radi Purnomo.

Dan terdakwa mengatakan ‚meminta maaf dan tidak berani sama korban‛

sambil marah-marah terus lalu korban melempar lagi cluritnya kearah

terdakwa sambil berkata ‚ kamu disini ini nomor dua, nomor satu aku San..

kalau aku sampai kalah sama kamu, aku gak hidup di by pass selamanya aku

tak hidup di Wonokromo ‛ dan di jawab oleh terdakwa ‚ kenapa sih om..

rame sekampung sendiri, aku masak pernah sih rame sama kampung

sendiri,.. semua ini teman‛. Lalu karena pada saat itu di televisi ada

pertandingan sepak bola dan Sdr. Siswanto berteriak ‚GOL...‛ dan kemudian

korban memukul Sdr. Siswanto kearah mulutnya, selanjutnya karena Sdr.

Siswanto di tanya KTP tidak di bawahnya lalu lutut kanan Sdr. Siswanto

juga dipukul menggunakan clurit dengan posisi celurit dibalik, dan kemudian

korban mengatakan ‚ kalau tidak ada KTP sana pergi pulang, kalau gak mau

pulang saya bunuh ‛ dan selanjutnya Sdr. Siswanto berlari meninggalkan

warung.19

Bahwa selanjut korban marah-marah lagi kepada terdakwa sambil

menarik terdakwa yang sedang duduk di dalam warung kearah keluar

(20)

11

warung, kemudian pada saat diseret keluar lalu terdakwah terbentur tiang

teras warung dan terdakwa berontak sehingga pegangan korban lepas yang

selanjutnya terdakwah berusaha menjauh, tetapi pada saat itu korban

langsung melemparkan sembilah senjata clurit yang dipeganya ke arah

terdakwa, namun dihindari oleh terdakwa lalu antar korban dan terdakwa

saling berebut clurit yang tergeletak di depan warung dan ketika berebut

sembilah senjata clurit tersebut, senjata clurit berhasil dikuasai oleh

terdakwa dan selanjutnya disabetkan/ dibacokkan kearah korban dan pada

saat itu langsung mengenai telapak tangan kanan korban hingga terpotong

dan ketika sembilah senjata clurit yang dikuasai oleh terdakwa lalu korban

berusaha berlari meninggalkan terdakwa namun oleh terdakwa langsung

mengayunkan clurit yang dipegannya ke arah punggung korban sehingga

punggung korban terluka dan kemudian korban berusaha berbalik arah

menghadap terdakwa lalu korban disabet/ dibacok lagi pada bagian dada atas

sebelah kiri korban sehingga korban terluka dan kemudian jatuh ketanah.20

Dari uraian penjelasan diatas, maka dalam skripsi ini penulis akan

menguraikan suatu perbuatan dikatakan sebagai pembelaan baik dalam

hukum positif maupun hukum Islam agar pasal tersebut tetap berfungsi atau

tidak menjadi pasal mati karena sulit dalam pembuktianya. Secara mendalam

masalah ini akan penulis jelaskan dalam skripsi yang berjudul ‚STUDI

PUTUSAN PENGADILAN NEGERI SIDOARJO NOMOR

560/PID.B/2014/PN.Sda TERHADAP KASUS KEMATIAN DALAM

(21)

12

PERISTIWA PEMBUNUHAN MENURUT FIQIH JINAYAH DAN

KUHP‛.

B. Identifikasi Masalah dan Batasan Masalah

Dari paparan yang terdapat pada latar belakang diatas maka

diidentifikasi beberapa masalah sebagai berikut:

1. Hukum pidana di Indonesia memandang terhadap kasus kematian

dalam peristiwa pembunuhan.

2. Pandangan hukum positif terhadap putusan nomor. 560/ PID.B/2014/

Pn. Sda.

3. Landasan hukum hakim dalam mengaplikasikan pasal 49 ayat 2

KUHP.

4. Pandangan hukum Islam tentang kasus kematian dalam peristiwa

pembunuhan yang melampaui batas.

5. Pandangan Fiqih jinayah terhadap putusan nomor. 560/ PID.B/2014/

Pn. Sda.

C. Rumusan Masalah

Berdasarkan pada identifikasi masalah serta pembatasan masalah

diatas maka penulis merumuskan beberapa masalah guna mempermudah

pembahasan masalah serta sebagai kerangka kerja yang dirumuskan dalam

bentuk pertanyaan sebagai berikut:

1. Bagaimanakah pertimbangan hukum hakim PN Sidoarjo terhadap kasus

(22)

13

2. Bagaimanakah analisis Fiqih Jinayah dan KUHP terhadap putusan Hakim

Sidoarjo dalam kasus kematian dalam peristiwa pembunuhan ?

D. Kajian Pustaka

Hukum Islam merupakan subtansi ajaran Islam yang diyakini

kebenaran dan kesempurnaanya yang bersumber dari Allah SWT. Melalui

Nabi Muhammad SAW sebagai utusan-Nya, hukum tersebut hidup dalam

masyarakat Islam, sehingga menjadi pedoman umat dalam berbagai bidang

diantaranya masalah Jinayah. Secara teoritis hukum Islam atau yang dikenal

dengan fiqih bersumber dari al-Qur’an dan sunnah, tetapi para fuqaha (jama’

dari faqih) sering berbeda pendapat memahami konsep dari dua sumber

tersebut. Perbedaan ini dipengaruhi oleh kurun waktu dan lingkungan dimana

para fuqaha berada dan perbedaan metode istinbat yang di gunakan.

Kajian pustaka ini merupakan upaya untuk mengetahui penelitian

mana yang sudah pernah dilakukan dan mana yang belum dan dimana posisi

penelitian yang dilakukan diantara penelitian – penelitian yang sudah ada itu.

Hal ini bertujuan agar tidak ada duplikasi / plagiat dalam penelitian yang

dilakukan

Penelitian mengenai pembelaan terpaksa ini dalam hukum pidana

telah banyak dilakukan oleh peneliti sebelumnya, namun dengan pendekatan

yang berbeda dalam pengujian datanya. Untuk itu penulis akan menyebutkan

beberapa literatur yang akan penulis gunakan sebagai previous finding

(penelitian maupun penemuan sebelumnya). Disamping itu banyak pula sudut

(23)

14

membahas masalah pembelaan terpaksa, tetapi karya pemikiran yang

menggunakan sudut pandang Islam masih sangat sedikit. Sepanjang

pelacakan dan penelaahan yang penulis lakukan, baik di kalangan Fakultas

Hukum Islam UINSA Surabaya maupun secara umum, belum ada karya

penelitian yang membahas pada permasalahan tinjauan hukum pidana Islam

terhadap KUHP BAB III Pasal 49 tentang pembebasan hukuman pidana atas

pembelaan berlebihan yang menyebabkan pembunuhan.

Skripsi karya oleh Syarifudin tahun 2003 dengan judul: Studi

Hukum Islam Tentang Pembunuhan Sengaja oleh Wanita Karena

Mempertahankan Diri dari Pemerkosaan (Studi Analisis Pandangan

Madzhab Syafi’i). Penulis skripsi ini menyatakan bahwa seorang wanita

yang membunuh dengan sengaja karena mempertahankan diri menurut

pandangan madzhab Syafi’i pelakunya digugurkan dari perbuatanya dan

tidak ada hukuman baginya, baik qishash, diat, maupun kafarat.21

Skripsi karya Siti Munawarah tahun 2007 dengan judul

"Pembelaan Terpaksa Melampaui Batas dalam Tindak Pidana Pembunuhan

(Putusan Pengadilan Negeri Jember Nomor 961/PID.B/2008/PN.Jr) yang

menjelaskan bahwa seorang terdakwa yang berkeyakinan bahwa perbuatan

yang dilakukan merupakan pembelaan terpaksa tetapi dapat diabaikan

karena sebagian atau beberapa unsur mengenaipembelaan terpaksa melampui

batas tidak terpenuhi dalam pembuktian. Jadi, perbuatan terdakwa secara sah

21Syarifudin, ‚Studi Hukum Islam Tentang Pembunuhan Sengaja oleh WanitaKarena

(24)

15

dan meyakinkan melanggar pasal 338 KUHP mengenai pembunuhan. Tetapi

agar menjadi dasar untuk memperingan hukuman terdakwa yang dalam hal

ini, menyerahkan dirinya dan mengakui kesalahannya, karena terdakwa

berkeyakinan bahwa perbuatannya merupakan pembelaan terpaksa pasal 49

ayat 2.22

Skripsi karya Tathmainul Qulub tahun 2015 Tinjauan Fiqh

Jinayah Terhadap Pembelaan Terpaksa Yang Melampaui Batas Menurut

Pasal 49 KUHP. Yang menjelaskan syarat-syarat bagaimana seseorang bisa

dikatakan telah melakukan pembelaan terpaksa dan pembelaan terpaksa yang

melampaui batas menurut KUHP dan hukum Islam.23

Sedangkan yang membedakan penelitian sebelumnya dengan skripsi

ini adalah skripsi ini tidak hanya membahas tentang mempertahankan harta,

kehormatan tetapi lebih bersifat umum yaitu upaya perlindungan terhadap

jiwa, kehormatan maupun harta yang berupapembelaan diri ketika akan

diserang atau dirampas haknya. Penulis ingin membahas tentang ‚Studi

Putusan Pengadilan Negeri Sidoarjo Nomor 560/PID.B/2014/PN.Sda

Terhadap Kasus Kematian Dalam Peristiwa Pembunuhan Menurut Fiqih

Jinayah Dan KUHP‛

22Siti Munawarah, ‚Pembelaan Terpaksa Melampaui Batas dalam Tindak Pidana Pembunuhan

(Putusan PengadilanNegeri Jember Nomor 961/Pid.B/2008/PN.Jr‛ (skripsi-UIN sunan ampel surabaya,2007).vi

23Thatmainul Qulub, ‚Tinjauan Fiqh Jinayah Terhadap Pembelaan Terpaksa Yang Melampaui

(25)

16

E. Tujuan Penelitian

Tujuan dalam penelitian ini dalam rangka menjawab permasalahan

yang telah dirumuskan di atas. Adapun tujuan penelitian ini sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui alasan hukum hakim dalam menerapkan kasus

pembunuhan dalam putusan Pengadilan Negeri Sidoarjo Nomor. 560/

PID.B/ 2014/ Pn. Sda.

2. Untuk mengetahui kriteria fiqih jinayah dan KUHP terhadap Kasus

Kematian dalam Peristiwa Pembunuhan.

F. Kegunaan Hasil Penelitian

Kegunaan dari hasil penelitian ini dapat terbagi menjadi dua yakni

1. Teoritis

Secara teoritis kegunaan hasil penelitian ini, dapat membangun teori

hukum, tentang pembelaan diri, tahapan atau proses pembuktian dan

pembelaan diri.

2. Praktis

Hasil penulisan skripsi ini dapat menjadi informasi hukum dan panduan

hukum bagi masyarakat yang berperkara di pengadilan.

G. Definisi Operasional

Dalam rangka mendapatkan gambaran yang lebih jelas serta agar

tidak terjadi kesalahan dalam memahami topik pembahasan dari penelitian

dengan judul : Studi Putusan Pengadilan Negeri Sidoarjo Nomor

560/PID.B/2014/PN.Sda Terhadap Kasus Kematian Dalam Peristiwa

(26)

17

Pembunuhan : Berdasarkan kamus hukum pembunuhan berarti

merupakan suatu kesengajaan menghilangkan nyawa

orang lain

Fiqih jinayah : Fiqih berarti ilmu hukum Islam.24 Jinayah berarti

perbuatan yang diharamkan atau dilarang karena

menimbulkan kerugian atau kerusakan agama, jiwa,

akal, dan harta benda atau dalam hukum positif

disebut hukum pidana.25 Fiqih Jinayah adalah cabang

hukum Islam yang mempelajari tentang hukum

pidana yang ada dalam kitab kuning/ fikih menurut

pendapat para mujtahid.

Studi Putusan : Putusan yang dikeluarkan oleh Pengadialan Negeri

Sidoarjo dalam kasus tindak pidana pembunuhan

pada tanggal 28 oktober 2014 yang menyebabkan

hilangnya nyawa seseorang, dalam konteks ini

pembelaan oleh terdakwa Buasan.

KUHP : Kitab Undang-undang Hukum yang berlaku sebagai

dasar hukum pidana di Indonesia

H. Metode Penelitian

Seorang peneliti harus dapat memilih dan menentukan metode

yang tepat dan mungkin dilaksanakan (feasible) guna mencapai tujuan

penelitiannya. Karena itu, seorang peneliti perlu mengenal berbagai metode

24Pius A Partanto, Kamus Ilmiah Populer, (Surabaya, Penerbit Arkola, 1994), 177.

(27)

18

ilmiah dan karakteristiknya.26 Dalam menyusun penelitian ini penulis

menggunakan metode Kualitatif Deskriptif Ananlisis metode dengan

menanalisa putusan hakim kemudian mengaitkan dengan KUHP. dengan

menyiapkan strategi penelitian sebagai berikut :

1. Data yang dikumpulkan

Sesuai dengan tujuan yang telah dirumuskan, maka data yang

dikumpulkan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Data tentang putusan hakim perihal tindak pidana pembunuhan

oleh Pengadilan Negeri Sidoarjo Nomor. 560/ PID.B/ 2014/ Pn.

Sda.

b. Data tentang putusan berdasarkan teori Fiqih jinayah dan subtansi

hukum bagi pembelaan diri menurut fiqih.

2. Sumber Data

Adapun Sumber data yang dipakai dalam penelitian ini terdiri

atas sumber data primer dan sekunder yaitu:

a. Sumber data Primer

Dalam Penelitian ini, sumber data primer yang digunakan

adalah sebagai berikut:

1) Informan, pihak-pihak yang tahu dan faham mengenai putusan

Pengadilan Negeri Sidoarjo Nomor. 560/ PIN.B/2014/Pn. Sda.

- Panitera Pengadilan Negeri Sidoarjo

- Hakim Pengadilan Negeri sidoarjo

(28)

19

2) Dokumenter, Dokumen-dokumen resmi yang terkait dengan

putusan:

a) Surat Tuntutan Jaksa Penuntut Umum

b) Surat Pembelaan Advokat terdakwa

c) BAP (Berita Acara Persidangan)

d) Amar Putusan Hakim

3) KUHP

b. Sumber Sekunder

Berisi semua publikasi tentang hukum yang bukan merupakan

dokumen-dokumen resmi, melainkan seperti buku, makalah,

jurnal, dan lain-lain. Adapun bahan hukum sekunder antara lain:

1) A. Djazuli, Fiqh Jinayah (Upaya Menanggulangi Kejahatan

Terhadap Manusia dalam Islam), 1997

2) Dahlan Tamrin, Filsafat Hukum Islam, Malang, UIN-Malang

Press, 2007

3) Johnny Ibraahim, Teori dan Metode Penelitian Hukum

Normatif, Malang, Bayumedia, 2005.

4) Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta, Rineka Cipta,

1993.

5) Muhammad Amin Suma, Pidana Islam di Indonesia, Peluang,

Prospek dan Tantangan, Jakarta, Pustaka Firdaus, 2001.

6) Sudarsono, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta, Rineka Cipta,

(29)

20

7) Topo Santoso, membumikan Hukum Pidana Islam; penegak

syari’at dalam Wacana dan Agenda, Jakarta, Gema Insani Press,

2003.

8) Burhan Asshofa, Metode Penelitian Hukum, Jakarta, Rineka

Cipta, 2001.

9) Zainuddin Ali, Metode Penelitian Hukum, Jakarta, Sinar

Grafika, 2009.

3. Tekhnik Pengumpulan Data

a. Interview, Wawancara (bahasa Inggris: interview) merupakan

percakapan antara dua orang atau lebih dan berlangsung antara

narasumber dan pewawancara.

b. Studi Dokumenter, proses mendapatkan data dari

dokumen-dokumen penting yang dilakukan oleh pejabat Negara.

4. Metode Pengolahan Data

a. Editing, yaitu dengan memeriksa kembali semua data putusan

yang telah terkumpul, baik mengenai kelengkapan, keterbatasan,

kejelasan makna, kesesuaian, keselarasan (relevansi) dan kesatuan

data.

b. Klasifikasi data, yaitupenyusunan bersistem dalam kelompok atau

golongan menurut kaidah atau standar yang ditetapkan, dengan

menyusun dan mengelompokkan data-data yang telah terkumpul

(30)

21

c. Analisis data, yaitu melakukan telaah dan penelitian terhadap

pengklarifikasian data untuk memperoleh suatu simpulan.

5. Metode Analisis Data

Analisis data dilakukan dengan metode berpikir deduktif adalah

metode berpikir yang menerapkan hal-hal yang umum terlebih dahulu

untuk seterusnya dihubungkan dalam bagian-bagiannya yang khusus,

kemudian dilakukan analisis verifikasi, yakni mengkaji putusan atau

alasan hukum dengan perundangan yang berlaku saat ini.

I. Sistematika Pembahasan

Dalam rangka mempermudah pembahasan dalam penelitian ini dan

agar dapat dipahami secara sistematis dan terarah, penulis menggunakan

sistematika pembahasan yang menjawab pokok permasalahan yang

dirumuskan. Sistematika pembahasan pada penelitian ini adalah sebagai

berikut:

BAB I : Bab ini merupakan pendahuluan dari pembahasan

skripsi yang meliputi: latar belakang, identifikasi

masalah, pembatasan masalah, rumusan masalah,

kajian pustaka, tujuan penelitian, kegunaan hasil

penelitian, definisi operasional, metode penelitian

dan sistematika pembahasan.

BAB II : Bab ini merupakan landasan teori tentang Kasus

Kematian Dalam Peristiwa Pembunuhan Menurut

(31)

22

meliputi Pengertian Pembelaan Melampui Batas dan

Batasannya, Macam-Macam Pembelaan, Syarat

Pembelaan, Alasan penghapus hukuman dalam

Pertanggung Jawaban Pidana.

BAB III : Bab ini memuat tentang deskripsi putusan PN

Sidoarjo Nomor.560/PID.B/2014/Pn. Sda. Meliputi:

fakta persidangan, tuntutan, pembelaan deskripsi

putusan kasus tindak pidana pembunuhan, isi amar

putusan dalam penetapan putusan PN Sidoarjo

tentang tindak pidana pembunuhan.

BAB IV : Bab ini memuat analisis putusan dalam kasus tindak

pidana pembunuhan meliputi: Pandangan Hukum

Pidana Indonesia dan fiqih jinayah tentang

pembelaan terpaksa dalam putusan PN Sidoarjo

Nomor. 560/PID.B/2014/Pn. Sda.

BAB V : Bab ini merupakan penutup dari keseluruhan

pembahasan skripsi yang memuat kesimpulan serta

(32)

23

BAB II

KASUS KEMATIAN DALAM PERISTIWA PEMBUNUHAN MENURUT

KAJIAN FIQIH JINAYAH DAN KUHP

A. Pembelaan Terpaksa yang Melampaui Batas Menurut Fiqh Jinayah

1. Pengertian Pembelaan Terpaksa Menurut Fiqh Jinayah

Menurut istilah yang dinamakan menolak penyerang/pembelaan

diri (dafu as-sail) adalah kewajiban manusia untuk menjaga dirinya atau

jiwa orang lain, atau hak manusia untuk mempertahankan hartanya atau

harta orang lain dari kekuatan yang lazim dari setiap pelanggaran dan

penyerangan yang tidak sah. Penyerangan khusus baik yang bersifat wajib

maupun hak bertujuan untuk menolak serangan, bukan sebagai hukuman

atas serangan tersebut sebab pembelaan tersebut tidak membuat

penjatuhan hukuman atas penyerang menjadi tertolak.1 Dasar pembelaan

diri dan menolak penyerangan, berdasarkan firman Allah SWT surat:

al-Baqarah ayat 194.

ِلْثِِِ ِهْيَلَع ْاوُدَتْعاَف ْمُكْيَلَع ىَدَتْعا ِنَمَف ٌصاَصِق ُتاَمُرُْْاَو ِماَرَْْا ِرْهَشلاِب ُماَرَْْا ُرْهَشلا

اَم

َنِقَتُمْلا َعَم َهّللا َنَأ ْاوُمَلْعاَو َهّللا ْاوُقَ تاَو ْمُكْيَلَع ىَدَتْعا

Artinya : Bulan haram dengan bulan haram,2dan (terhadap)

sesuatu yang dihormati berlaku (hukum) qishas. Oleh sebab itu barang siapa menyerang kamu, maka seranglah dia setimpal dengan serangannya

1Abdul Qodir ‘Audah, Al-Tasyri’i Al-Jina’i Al-Islami, Jilid II, (Beirut: Dar Al-KitabAl-‘Arabi,

tt), 138.

2Bulan haram dengan bulan haram (Kalau umat Islam diserang di bulan haram, yang sebenarnya

(33)

24

terhadap kamu. Bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah

beserta orang-orang yang bertakwa.3

Para fuqaha telah sepakat berpendapat bahwa membela diri

adalah suatu jalan yang sah untuk mempertahankan diri sendiri atau diri

orang lain dari serangan terhadap jiwa, kehormatan dan harta benda.

Tetapi berbeda atas hukumnya, apakah merupakan suatu kewajiban atau

hak. Jadi, konsekuensinya apabila membela diri merupakan suatu hak,

maka seseorang boleh memilih antara meninggalkan dan mengerjakannya,

tetapi tidak berdosa dalam memilih salah satunya. Sebaliknya apabila

dikatakan kewajiban maka seseorang tidak memiliki hak pilih dan berdosa

ketika meninggalknnya.4

Berkenaan dengan pembelaan terpaksa, dalam kaidah-kaidah

fiqIh dijelaskan, yaitu :

ال

َض

ِتاَرْوُظْحَمْلا ُحْيِبُت ُتاَرْوُر

Artinya:“Kemudaratan-kemudaratan itu dapat memperbolehkan

keharaman”.5

Dasar nash kaidah diatas adalah firman Allah dalam QS Al An’am

ayat 119 :

ِهْيَلِإ ُُْْرِرُطْضا اَم َاِإ ْمُكْيَلَع َمَرَح اَم مُكَل َلَصَف ْدَقَو

Artinya : Dan sesungguhnya Allah telah menjelaskan padahal Allah telah Menjelaskan kepadamu apa yang Diharamkan-Nya kepadamu, kecuali jika kamu dalam keadaan terpaksa kamu memakannya6.

3Departemen Agama R I, Al-Qur’an danTerjemahnya, (Bandung : Hilal, 2010), 30 4Ahmad Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta: Bulan Bintang, 1993), 211

5 Drs. H. Muchlis Usman, MA, Kaidah-Kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyah, pedoman dasar dalam

istinbath hukum Islam, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2002), 133

(34)

25

QS Al Baqarah ayat 173

نمف رطْضا رْيغ غاب لو داع اف مْثإ هْيلع

Artinya : Maka barang siapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang ia tidak menginginkannya serta tidak melampaui batas maka tidak dosa baginya7.

Menilik ayat di atas, tidak semua keterpaksaan itu membolehkan

yang haram, namun keterpaksaan itu dibatasi dengan keterpaksaan yang

benar-benar tidak ada jalan lain kecuali hanya melakukan itu, dalam

kondisi ini maka semua yang haram dapat diperbolehkan memakainya.

Batas kemadaratan adalah suatu hal yang mengancam eksistensi

manusia, yang terkait dengan panca tujuan, yaitu memelihara agama,

memelihara jiwa, memelihara akal, memelihara keturunan dan

memelihara kehormatan atau hata benda. Dengan demikian darurat itu

terkait dengan dharuriah, bukan hajiah dan tahsiniah. Sedangkan hajat

(kebutuhan) terkait dengan hajiah dan tahsiniah. 8

َا

َح

َر َما

َم

َع

َضلا

ُر ْو َر

ِة

َو

َا

ََ

َر

َا َة

َم

َع ْا

َْ

َجا

َة

Artinya : Tiada keharaman bagi darurat9 dan tiada kemakmuran

bagi kebutuhan.10

اَِرَدَقِبُرَدَقُ ي ِتاَروُرَضلل َعْيِبُأاَم

Artinya: Apa yang dibolehkan karena darurat diukur sekadar

kedaruratannya.11

7Ibid, 30

8 Drs. H. Muchlis Usman, MA, Kaidah-Kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyah, pedoman dasar dalam

istinbath hukum Islam, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2002), 134

9 Darurat, yaitu kepentingan manusia yang diperbolehkan menggunakan sesuatu yang dilarang,

karena kepentingan itu menempati puncak kepentingan kehidupan manusia, bila tidak dilaksanakan maka mendapatkan kerusakan. Kondisi semacam ini memperbolehkan segala yang diharamkan atau dilarang.

(35)

26

Serangan seseorang adakalanya ditujukan kepada kehormatan

jiwa atau harta benda. Untuk membela kehormatan, para ulama sepakat

bahwa hukumnya adalah wajib. Apabila seorang laki-laki hendak

memperkosa seorang perempuan sedangkan untuk mempertahankan

kehormatannya tidak ada lagi kecuali membunuhnya maka perempuan

tersebut wajib membunuhnya, demikian pula bagi yang menyaksikan.

Untuk membela jiwa para fuqaha berbeda pendapat mengenai hukumnya.

Menurut mazhab Hanafi dan pendapat yang raj’ih dalam mazhab Maliki

dan mazhab Syafi’i membela jiwa hukumnya wajib. Sedangkan menurut

pendapat yang marjuh (lemah) didalam mazhab Maliki dan mazhab

Syafi’i serta pendapat yang raj’ih (kuat) didalam mazhab Hanbali

membela jiwa hukumnya ja’iz (boleh) bukan wajib.12

Imam Malik, Al-Syafi‟i dan Ahmad bin Hanbal berpendapat

bahwa jika seseorang diserang oleh anak-anak, orang gila dan hewan

maka harus membela diri. Jadi, jika korban tidak memiliki cara lain untuk

membela diri dari serangan mereka kecuali dengan membunuh, dan tidak

bertanggung jawab baik secara pidana maupun perdata sebab korban

hanya menunaikan kewajibannya untuk menolak serangan terhadap

jiwanya.13

11Ibid.,

12Abdul Qodir ‘Audah, at-Tasyri’i al-Jina’i . . ., 88.

13Marsum, Jinayat: Hukum Pidana Islam, (Yogyakarta: Perpustakaan Fak. Hukum UII, 1989),

(36)

27

Imam Abu Hanifah serta muridnya kecuali Abu Yusuf

berpendapat bahwa orang yang diserang harus bertanggung jawab secara

perdata yaitu dengan membayar diat atas anak-anak, orang gila dan harga

binatang yang telah dibunuhnya. Alasannya adalah karena pembelaan diri

dilakukan untuk menolak tindak pidana, padahal perbuatan anak-anak,

orang gila dan hewan tidak dianggap sebagai tindakpidana karena

binatang tidak berakal. Abu Yusuf berpendapat bahwa orang yang

diserang hanya bertanggung jawab atas harga hewan karena perbuatan

anak kecil dan orang gila tetap dianggap sebagai tindak pidana. Meskipun

penjatuhan hukuman atas keduanya dihapuskan karena keduanya tidak

memiliki pengetahuan (kecakapan bertindak). Berdasarkan pendapat ini,

dapat dikatakan bahwa menolak serangan anak kecil dan orang gila adalah

dalam keadaan membela diri sedangkan menolak serangan hewan

merupakan keadaan darurat yang memaksa.14

Ulama yang mengatakan ditegakannya pembelaan diri

menimbulkan kematian atau mendekati kematian. Dengan kata lain,

pengertian tersebut mengarah dalam segala keadaan bahwa manusia

berkewajiban untuk membela dirinya dan orang lain dari segala serangan

terhadap jiwa. Termasuk hak dan kewajiban manusia untuk menjaga harta

pribadinya dan harta orang lain darisemua serangan yang ditujukan

terhadap harta, baik bersifat pidana maupun bukan.15

(37)

28

2. Syarat-Syarat Pembelaan Terpaksa Menurut Fiqih Jinayah

a. Adanya serangan atau tindakan melawan hukum

Perbuatan yang menimpa orang yang diserang haruslah

perbuatan yang melawan hukum. Apabila perbuatan tersebut bukan

perbuatan yang melawan hukum, maka pembelaan atau penolakan

tidak boleh dilakukan. Jadi, pemakaian hak atau menunaikan

kewajiban baik oleh individu maupun penguasa, atau tindakan yang

diperbolehkan oleh syara’ tidak disebut sebagai serangan, seperti

pemukulan oleh orang tua terhadap anaknya sebagai tindakan

pengajaran atau pendidikan atau algojo yang melaksanakan tangan

terhadap terhukum sebagai pelaksanaan tugas.

Menurut Imam Malik, Imam Syafi’i dan Imam Ahmad

penyerangan tidak perlu harus berupa perbuatan jarimah yang diancam

dengan hukuman, cukup dengan perbuatan yang tidak sah (tidak

benar). Demikian pula kecakapan pembuat tidak diperlukan dan oleh

karenanya serangan orang giladan anak kecil dapat dilawan.Menurut

Imam Abu Hanifah dan murid-muridnya, serangan harus berupa

jarimah yang diancam dengan hukuman dan dilakukan oleh orang

yang dapat dimintai pertanggung jawaban pidana. Jadi, apabila

perbuatan (serangan) bukan jarimah yang diancam dengan hukuman,

melainkan hanya perbuatan yang tidak sah atau pelakunya tidak

memiliki kecakapan maka orang yang diserang itu hanya berada dalam

(38)

29

Abu Hanifah yaitu perbuatan diisyaratkan harus berupa jarimah yang

diancam dengan hukuman tetapi pelakunya tidak perlu harus orang

yang dapat dimintai pertanggung jawaban pidana.16

Pembelaan diri hanya terdapat pada orang yang diserang,

bukan yang menyerang. Tetapi jika melebihi batas dalam melakukan

pembelaan dirinya, kemudian orang yang pada mulanya sebagai

penyerang mengadakan pembelaan diri juga, karena balasan serangan

dari orang yang diserang semula sudah melampaui batas maka

tindakan itu dapat dibenarkan.17

b. Penyerangan harus terjadi seketika

Apabila tidak ada penyerangan seketika, maka perbuatan

orang yang baru akan diserang saja merupakan perbuatan yang

berlawanan dengan hukum. Pembelaan baru boleh diperbolehkan

apabila benar-benar telah terjadiserangan atau diduga kuat akan

terjadi. Apabila terjadi serangan yang masih ditunda seperti ancaman

dan belum terjadi bahaya maka tidak diperlukan pembelaan. Tetapi

jika ancaman sudah dianggap sebagai bahaya maka penolakannya harus

dengan cara yang seimbang, antara lain seperti berlindung atau

melaporkan adanya ancaman kepada pihak yang berwenang.18

c. Tidak ada jalan lain untuk mengelak serangan

16Abdul Qodir ‘Audah, Al-Tasyri’i Al-Jina’i . . ., 479 480.

17Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam : FiqihJinayah, (Jakarta: Sinar

Grafika, 2006), 90.

(39)

30

Apabila masih ada cara lain untuk menolak serangan maka

cara tersebut harus digunakan. Jadi, jika seseorang masih bisa menolak

serangan dengan teriakan-teriakan, maka tidak perlu menggunakan

senjata tajam untuk melukai atau bahkan senjata api yang dapat

membunuh orang yang menyerang. Apabila perbuatan tersebut telah

dilakukan padahal tidak diperlukan maka perbuatan tersebut dianggap

sebagai serangan dan termasuk jarimah.

Para fuqaha berbeda pendapat tentang lari sebagai cara untuk

menghindari serangan. Sebagian fuqaha menyatakan bahwa lari bisa

digunakan sebagai salah satu cara untuk menghindari serangan, karena

itu dianggap sebagai salah satu cara yang paling mudah, tetapi

menurut sebagian fuqaha yang lain, lari bukan merupakan jalan untuk

membela diri.19

d. Penolakan serangan hanya boleh dengan kekuatan seperlunya

Apabila penolakan tersebut melebihi batas yang diperlukan,

hal itu bukan lagi disebut pembelaan melainkan penyerangan. Dengan

demikian, orang yang diserang selamanya harus memakai cara

pembelaan yang seringan mungkin, dan selama hal itu masih bisa

dilakukan maka tidak boleh dilakukan cara yang lebih berat.20

Antara serangan dengan pembelaan terdapat hubungan yang

sangat erat, karena pembelaan timbul dari serangan. Dalam

19Marsum, Jinayat: Hukum . . ., 168.

(40)

31

perampasan harta, pembelaan belum berarti selesai dengan larinya

penyerang yang membawa harta rampasannya.

Dalam hal ini, orang yang diserang harus berupaya mencari

dan menyelidikinya sampai berhasil mengembalikan harta yang

dirampas oleh penyerang, dengan menggunakan kekuatan yang

diperlukan bahkan bila diperlukan maka boleh membunuhnya.21

3. Pembelaan Diri Melampaui Batas yang Diperbolehkan

Seseorang melakukan pembelaan diri dengan kekuatan yang

lebih besar dari kekuatan yang diperlukan, maka harus bertanggung jawab

atas tindakannya itu. Sebagai berikut :

a. Jika serangan dapat ditolak dengan mengancam si penyerang, namun

orang yang diserang itu memukul si penyerang maka harus tanggung

jawab atas pemukulan tersebut.

b. Jika serangan dapat ditolak dengan pukulan tangan namun orang yang

diserang melukai si penyerang maka harus bertanggung jawab atas

pelukaan itu.

c. Jika seragan dapat ditolak dengan pelukaan, tapi orang yang diserang

itu membunuh, maka harus bertanggung jawab atas pembunuhan itu.

d. Jika si penyerang melarikan diri dan orang yang diserang mengejar lalu

melukainya maka harus bertanggung jawab atas pelukaan itu.

(41)

32

e. Jika perlawanan penyerang dapat dilumpuhkan, namun orang yang

diserang memotong tangan atau kakinya atau membunuhnya maka

harus bertanggung jawab atas tindakannya itu.22

Pada dasarnya pembelaan diri hukumnya mubah (dibolehkan)

dan tidak ada hukumannya namun jika sampai melewati batasnya dan

mengenai orang lain dengan tersalah maka perbuatannya bukan mubah

lagi melainkan kekeliruan dan kelalaian si pembela diri. Contohnya,

apabila seseorang bermaksud memukul si penyerang tetapi dia tersalah

karena mengenai orang lain sehingga melukai atau bahkan membunuhnya,

si pembela diri harus bertanggung jawab atas pelukaan atau pembunuhan

tersalah tersebut meskipun bermaksud dengan sengaja melakukan

pembelaan diri. Dalam hal ini disamakan dengan berburu binatang akan

tetapi salah sasaran, sehingga mengenai orang lain. Berburu itu adalah

perbuatan yang diperbolehkan tapi pemburu tetap bertanggung jawab atas

penembakan salah sasaran yang mengenai manusia tersebut.23

4. Sumber dan Hukum Tindakan Pembelaan Umum

Adapun sumber hukum pembelaan umum, atau amar ma’ruf dan

nahi munkar, ialah ayat-ayat Al Quran dan hadits-hadits Nabi s.a.w.

diantara ayat-ayat Al Qur’an tersebut ialah:

َكِئ َلْوُأَو ِرَكنُمْلا ِنَع َنْوَهْ نَ يَو ِفوُرْعَمْلاِب َنوُرُمْأَيَو َِْْْْا ََِإ َنوُعْدَي ٌةَمُأ ْمُكنِم نُكَتْلَو

ُمُ

َنوُحِلْفُمْلا

(42)

33

Artinya : Hendaklah di antara kamu ada segolongan orang mengajak

kebajikan dan menyuruh kebaikan serta melarang keburukan, mereka

adalah orang-orang yang bahagia. (Ali-Imron,104)24.

ِناَوْدُعْلاَو ِِْْإا ىَلَع ْاوُنَواَعَ ت َاَو ىَوْقَ تلاَو ِرْلا ىَلَع ْاوُنَواَعَ تَو

Artinya : Dan bertolong-tolonglah kamu atas kebaikan dan takwa, dan

janganlah bertolong-tolongan atas dosa dan aniaya. (Al-Maidah, 2)25.

Dari hadits ialah hadits riwayat abu sa’id Al-Khudri bahwa

Rasulullah saw bersabda:

‚Barang siapa di antara kamu melihat kemungkaran (keonaran),

kemudian ia dapat mengubahnya dengan tangannya, maka hendahlah ia mengubah dengan tangannya. Kalau tidah dapat dengan tangan, maka hendaklah dengan lisannya (mulut). Kalu tidak dapat maka dengan

hatinya, dan ini adalah iman selemah-lemahnya‛.

Di kalangan fuqaha sudah disepakati bahwa pembelaan umum,

atau amar ma’ruf nahi mungkar, adalah suatu kewajiban yang tidak boleh

di tinggalkan. Pembelaan umum tersebut diadakan dengan maksud agar

masyarakat berdiri di atas kebajikan dan supaya anggota-anggotanya

ditumbuhkan atas keutamaan dan dengan demikian maka angka-angka

jarimah dan penyelewengan akan menjadi berkurang.26

Ma’ruf atau kebaikan adalah setiap ucapan atau perbuatan yang

perlu diucapkan atau diperbuat sesuai dengan ketentuan dan prinsip

umum syari’at Islam, seperti berakhlak mulia, berbuat baik kepada fakir

24Departemen Agama R I, Al-Qur’an danTerjemahnya, (Bandung : Hilal, 2010), 63 25Ibid, 107

26Ahmad Hanafi, M.A, ‚Asas-Asas Hukum Pidana Islam‛, (Jakarta: PT Bulan Bintang, 1990),

(43)

34

dan miskin dan sebagainya. Munkar adalah setiap perbuatan yang dilarang

terjadinya menurut syari’at Islam.27

Menyuruh kebaikan (amar ma’ruf) bisa berupa perkataan seperti

ajakan untuk membantu korban gempa atau dapat berupa perbuatan

seperti pemberian contoh hal yang baik kepada orang lain. Bisa juga

gabungan antara perbuatan dan ucapan seperti mengajak untuk

mengeluarkan zakat sekaligus mengeluarkannya. Sedangkan melarang

kemungkaran (nahi munkar) bisa berupa perkataan seperti melarang orang

lain minum-minuman keras. Dengan demikian, menyuruh kebaikan adalah

menganjurkan untuk mengerjakan atau mengucapkan apa yang

seharusnya. Sedangkan melarang keburukan adalah membujuk orang lain

agar meninggalkan apa yang sebaiknya ditinggalkan.28

Hukum pembelaan umum adalah wajib, tetapi dalam

pelaksanaanya diperlukan syarat-syarat tertentu yang berkaitan dengan

orang yang melaksanakannya. Syarat tersebut ada yang berkaitan dengan

tabiat (sifat) kewajiban dan ada pula yang berkaitan dengan prinsip dasar

syariat, yaitu dewasa dan berakal sehat (mukalaf), beriman, adanya

kesanggupan, adil dan izin (persetujuan).29

27

Nashr Farid Muhammad Washil, Abdul Aziz Muhammad Azzam, Qawa’id Fiqhiyyah, (Jakarta:

Amzah, 2009), 252-253.

(44)

35

B. Pembelaan Terpaksa yang Melampaui Batas Menurut KUHP

1. Pengertian Pembelaan Terpaksa (noodweer)

Pengertian Pembelaan Terpaksa dari segi bahasa, noodweer

terdiri dari kata ‚nood‛ dan ‚weer‛.‚Nood‛ yang artinya (keadaan)

darurat. ‛Darurat‛ berarti dalam keadaan sukar (sulit) yang tidak

disangka-sangka yang memerlukan penanggulangan segera dalam keadaan

terpaksa ‚Weer‛ artinya pembelaan yang berarti perbuatan membela,

menolong, melepaskan dari bahaya.30 Jika digabung, kedua kata tersebut.

Maka dapat diartikan melepaskan dari bahaya dalam keadaan terpaksa

atau menolong dalam keadaan sukar (sulit). Noodweer adalah pembelaan

yang diberikan karena sangat mendesak terhadap serangan yang mendesak

dan tiba-tiba serta mengancam dan melawan hukum.31

Pembelaan terpaksa merupakan alasan menghilangkan sifat

melanggar hukum (wederrechtelijkheid atau onrechtmatigheid), maka

alasan menghilangkan sifat tindak pidana (strafuitsluitings-grond) juga

dikatakan alasan membenarkan atau menghalalkan perbuatan yang pada

umumnya merupakan tindak pidana (rechtvaardigings-grond) disebut fait

justificatief.32 Pembelaan terpaksa dirumuskan dalam pasal 49 ayat 1

sebagai berikut:

‚Tidak dipidana, barang siapa melakukan perbuatan pembelaan terpaksa (lijf) untuk diri atu orang lain, kehormatan kesusilaan (eerbaarheid) atau harta benda (goed) sendiri maupun orang lain, karena adanya serangan

30Departemen P dan K, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka,1989), 156. 31

Zainal Abidin Farid, Hukum Pidana 1, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007), 200.

(45)

36

(aanranding) atau ancaman serangan yang melawan hukum

(wederrechtelijk) pada ketika itu juga.‛

Beberapa bentuk pembelaan terpaksa yang dirumuskan dalam

pasal 49 ayat 1 adalah sebagai berikut:

a. Serangan terhadap badan: seseorang yang ingin balas dendam

mendatangi orang lain dengan memegang tongkat karena berniat ingin

memukul, maka orang yang ingin dipukul tersebut mengambil tongkat

dan memukul si orang yang ingin membalas dendam tersebut.

b. Serangan terhadap barang/harta benda adalah terhadap benda yang

bergerak dan berwujud dan yang melekat hak kebendaan, sama dengan

pengertian benda pada pencurian pada pasal 362.33 Budi mencuri

barang milik Ani. Sedangkan Ani melihat dan meminta untuk

dikembalikan barang miliknya tetapi Budi menolak, maka Ani

berusaha merebut barangnya dari si Budi. dalam perebutan ini Ani

terpaksa memukul Budi agar barang miliknya dikembalikan.

c. Serangan terhadap kehormatan adalah serangan yang berkaitan erat

dengan masalah seksual, seorang laki-laki hidung belang meraba buah

dada seorang prempuan yang duduk disebuah taman, maka dibenarkan

jika serangan berlangsung memukul tangan laki-laki itu. Tetapi sudah

tidak dikatakan suatu pembelaan terpaksa jika laki-laki tersebut sudah

(46)

37

pergi, kemudian perempuan tersebut mengejarnya dan memukulnya,

karena bahaya yang mengancam telah berakhir.34

Namun ada beberapa hal yang menyebabkan tidak berlakunya

pasal 49 ayat 1 KUHP jika:

a. Apabila serangan dari seseorang dikatakan belum dimulai dan juga

belum memenuhi syarat onmiddelijk dreigende (dikhawatirkan akan

segera menimpa)

b. Apabila serangan dari seseorang dikatakan telah selesai35

Istilah onmiddelijk dreigende tidak ada dalam pasal tersebut dari

KUHP belanda tetapi hanya disebut serangan ogenblikkelijk (seketika

itu). Vanhattum menceritakan bahwa dari rancangan KUHP belanda

tersebut, yang dimaksud dengan ogenblikkelijk juga meliputi onmiddelijk

dreigende, tetapi usulan tersebut ditolak oleh Perlemen belanda pada

tahun 1900 karena dikhawatirkan akan adanya penyalahgunaan.36

Tetapi dalam KUHP Indonesia yang mulai berlaku pada 1 Januari

1918 kata onmiddelijk dreigende (serangan tiba-tiba) ditambahkan.

Dengan alasan bahwa keadaan khusus di Indonesia karena sering terjadi

perampokan dalam suatu rumah. Apabila dalam hal ini para perampok itu

baru mendekati rumah yang akan dirampok, maka dianggap layak apabila

penghuni rumah melakukan tembakan kepada para perampok, setelah para

34Ibid., 43

(47)

38

perampok dari jauh mendekati rumah. Dalam kasus tersebut sudah

merupakan pelaku serangan yang onmiddelijk dreigende atau

dikhawatirkan akan segera menimpa.37

2. Syarat dan Unsur Pembelaan Terpaksa (Noodweer)

a. Harus ada serangan (aanranding), harus memenuhi syarat:

1) Serangan itu Harus Datang Mengancam dengan Tiba-Tiba

Dibolehkannya pembelaan terpaksa bukan saja pada saat

serangan sedang berlangsung akan tetapi sudah boleh dilakukan

pada saat adanya ancaman serangan. Artinya serangan itu secara

obyektif belum diwujudkan namun baru adanya ancaman

serangan.38

2) Serangan itu harus melawan hukum (wederrechtelijk)

Serangan tersebut tidak dibenarkan baik dari

undang-undang (melawan hukum formil) maupun dari sudut masyarakat

(melawan hukum materiil)

b. Terhadap serangan perlu dilakukan pembelaan diri39 harus memenuhi

syarat:

1) Harus merupakan pembelaan yang terpaksa

Benar-benar sangat terpaksa artinya tidak ada alternative

perbuatan lain yang dapat dilakukan dalam keadaan mendesak

37Ibid., 84.

38Adami Chazawi, Pelajaran Hukum . . ., 47.

39`Leden Marpaung, Unsur-unsur Perbuatan Yang Dapat Dihukum (Delik), (Jakarta:Sinar Grafika,

(48)

39

ketika ada ancaman, serangan atau serangan sedang mengancam.

Apabila seseorang mengancam dengan memegang golok akan

melukai atau membunuh orang lain, maka menurut akal masih

memungkinkan untuk lari, maka orang yang terancam itu harus lari.

Tetapi apabila kemungkinan untuk lari itu tidak ada atau sudah

mengambil pilihan lari tetapi masih dikejarnya, maka disini ada

keadaan yang terpaksa. Maka dari itu, pembelaan boleh dilakukan

jika sudah tidak ada pilihan perbuatan lain dalam usaha membela

dan mempertahankan kepentingan hukumnya yang terancam.

2) Pembelaan itu dengan serangan setimpal

Tindakan pembelaan terpaksa dilakukan sepanjang perlu

dan sudah cukup untuk pembelaan kepentingan hukumnya yang

terancam atau diserang artinya harus seimbang dengan bahaya

serangan yang mengancam.

c. Pembelaan harus dilakukan untuk membela diri sendiri atau orang lain,

peri kesopanan (kehormatan) diri atau orang lain, benda kepunyaan

sendiri atau orang lain. Diri berarti badan, kehormatan adalah

kekhususan dari penyerangan terhadap badan, yaitu penyerangan badan

(49)

40

d. Harus ada serangan atau ancaman serangan yang melawan hukum dan

seketika, berarti mempunyai syarat yaitu serangan seketika, ancaman

serangan seketika itu dan bersifat melawan hukum.40

e. Serangan yang dilakukan binatang, orang gila dan instrumen

security/keamanan.

Menurut Prof. Pompe yang berpendapat bahwa ‚Selama pencuri

menguasai barang curian masih dalam jangkauan si pemilik barang, maka

pemilik barang tersebut dapat melakukan noodweer untuk memperoleh

kembali miliknya.‛ Dengan selesai kejahatan pencurian tidaklah berarti

serangan sebagaimana dimaksud pasal 49 ayat (1) KUHP itu juga harus

dianggap selesai. Sedangkan menurut Prof. Van Bemmelen ‚Bahwa

noodweer tidak dapat dilakukan di dalam 2 peristiwa,‛ yaitu:

a. Peristiwa dimana suatu serangan yang bersifat melawan hukum itu

baru akan terjadi di masa yang yang akan datang

b. Peristiwa dimana suatu serangan yang bersifat melawan hukum itu

telah berakhir.41

Perbuatan yang masuk dalam pembelaan terpaksa pada dasarnya

adalah tindakan menghakimi terhadap orang yang berbuat melawan

hukum terhadap diri orang itu atau orang lain (eigenriching).42

Jika peristiwa pengroyokan seorang pencuri oleh bayak orang

dapat masuk pelampauan batas keperluan membela diri yang memenuhi

40Roeslan Saleh, Kitab Undang-undang Hukum pidana, (Jakarta: Aksara Baru, 1987), 76. 41Ibid., 77

(50)

41

syarat-syarat dari pasal 49 ayat 1 KUHP, maka orang-orang yang

mengeroyok tidak dapat dihukum. Tapi si pencuri berhak membela diri

(noodweer) terhadap pengroyokan sehingga mungkin melukai salah

seorang dari pengroyokan tersebut maka si pencuri tidak dapat dihukum

karena penganiayaan (mishandeling) yang didasarkan pasal 351 KUHP.

3. Pembelaan terpaksa yang melampaui batas (noodweer exces)

Pengertian pembelaan terpaksa melampaui batas menurut Van

Bemmelen noodweer exces adalah melawan hukum atau tidak tercela.

Pelampauan batas pembelaan terpaksa yang disebabkan oleh suatu

tekanan jiwa yang hebat karena adanya serangan orang lain yang

mengancam. Perbuatan pidana tetap ada tetapi unsur pertanggung

jawaban pidana terhapus.43 Berdasarkan pasal 49 ayat 2:

‚Pembelaan terpaksa yang melampaui batas, yang langsung disebabkan oleh kegoncanngan jiwa yang hebat karena serangan atau ancaman

serangan itu, tidak dipidana.44

Penafsiran dan terjemahan yang berbeda khususnya mengenai

‚hevigegemoedsbeweging‛ oleh Prof. Satochid Kartanegara SH

diterjemahkan dengan, Keadaan jiwa yang menekan secara sangat atau

secara hebat (tekanan jiwa yang hebat), sedang Tiraamidjaja

menerjemahkan dengan ‚gerak jiwa yang sangat‛, Utrecht

menerjemahkan ‚perasaan sangat panas hati‛. Karena terjadi

43Zainal Abidin Farid, Hukum Pidana 1, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007), 200

(51)

42

perbedaan mengenai terjemahan dalam pasal tersebut,maka harus

diuraikan komponen ‚nooodweer exes‛, yaitu:

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini dilatarbelakangi oleh suatu masalah yaitu pertama; bagaimana mekanisme pembinaan anak didik pemasyarakatan di Lembaga Pemasyarakatan Klas I Kedung Pane Semarang,

Kandungan hara tanah yang pakai TPT Serelium secara konsisten lebih baik dari TPT kacangan campuran, hal ini dapat dikaitkan dengan jumlah bahan organik yang disumbung TPT ini

Mentalitas kewirausahaan santri juga bertujuan untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia yang mampu menjawab tantangan dan kebutuhan transformasi sosial sehingga

7.2 Kondisi untuk penyimpanan yang aman, termasuk ketidakcocokan Bahan atau campuran tidak cocok. Pertimbangan untuk nasihat lain •

Pada penelitian ini, uji statistik dengan Chi Square menunjukkan nilai yang signifikan (p value) sebesar 0,006 berarti nila p value kurang dari 0,05 sehingga dapat disimpulkan

Untuk bahan baku pig skin, dengan kebijakan non safety stock lebih tepat digunakan dengan teknik LUC yang memiliki penghematan total biaya persediaan sebesar 40,59%, sedangkan

Kartini adalah satu-satunya perempuan pribumi yang ada disana, teman perempuan Kartini hanya anak-anak menir Belanda, jadi tak heran bahwa kartini

Dalam memanfaatkan sumber daya alam pada proses pembelajaran IPA di sekolah dasar kelas V saat melakukan observasi terdapat kelebihan dan kekurangan, antara