STUDI PUTUSAN PENGADILAN NEGERI SIDOARJO
N
TERHADAP KASUS KEMATIAN DALAM PERISTIWA
PEMBUNUHAN MENURUT FIQIH JINAYAH DAN KUHP
Universitas Islam Negeri Sunan Ampel
Program Studi Hukum Pidana
STUDI PUTUSAN PENGADILAN NEGERI SIDOARJO
NOMOR 560/ PID.B/2014/PN.Sda
TERHADAP KASUS KEMATIAN DALAM PERISTIWA
PEMBUNUHAN MENURUT FIQIH JINAYAH DAN KUHP
SKRIPSI
Oleh :
Syamsul Muria
NIM. C33209027
Universitas Islam Negeri Sunan Ampel
Fakultas Syariah dan Hukum
Jurusan Hukum PublikIslam
Program Studi Hukum Pidana Islam (Jinayah)
SURABAYA
2016
STUDI PUTUSAN PENGADILAN NEGERI SIDOARJO
TERHADAP KASUS KEMATIAN DALAM PERISTIWA
PEMBUNUHAN MENURUT FIQIH JINAYAH DAN KUHP
ABSTRAK
Penelitian ini merupakan hasil studi kasus dengan judul : ‚Studi Putusan
Pengadilan Negeri Sidoarjo Nomor 560/PID.B/2014/PN.Sda Terhadap Kasus
Kematian Dalam Peristiwa Pembunuhan Menurut Fiqih Jinayah dan KUHP‛.
Penelitian ini ditujukan untuk menjawab rumusan masalah, yaitu : Bagaimanakah pertimbangan hukum hakim Pengadilan Negeri Sidoarjo dalam kasus kematian dalam peristiwa pembunuhan dan Bagaimana analisis fiqih jinayah dan KUHP terhadap putusan Hakim Sidoarjo dalam kasus kematian dalam peristiwa pembunuhan.
Data penelitian dihimpun melalui beberapa literatur terkait seperti perundang-undangan KUHP, putusan pengadilan negeri sidoarjo Nomor 560/PID.B/2014/PN.Sda, buku-buku dan jurnal hukum yang dinilai relevan dengan permasalahn yang dibahas dan selanjutnya dianalisis dengan teknik diskriptif-analisis, yaitu mendiskripsikan Studi Putusan Pengadilan Negeri Sidoarjo Nomor 560/PID.B/2014/PN.Sda Terhadap Kasus Kematian Dalam Peristiwa Pembunuhan. Selanjutnya dianalisis dari sudut pandang hukum pidana di Indonesia dan Fiqih Jinayah.
Hasil penelitian menyimpulkan bahwa putusan oleh hakim Pengadilan Negeri Sidoarjo, terdapat beberapa bukti dan fakta keterangan saksi yang seharusnya dapat dijadikan pertimbangan Hakim kembali dalam menjatuhkan sebuah putusan tersebut. Meski dalam fakta tersebut, terdapat indikasi yang menyatakan terdakwa melakukan perlawanan, menangkis atas serangan korban yang berulang-ulang dan berebut senjata pelaku sehingga terjadi perkelahian dan mengakibatkan hilangnya nyawa korban. Berdasarkan fakta persidangan Hakim memutuskan pelaku ditindak pidana pembunuhan yang mengakibatkan hilangnya nyawa korban meski pelaku melakukan pembelaan diri.
Berdasrkan kesimpulaan diatas, dapat kita pahami bahwa pada dasarnya tujuan semua hakim pengadilan negeri adalah untuk memberikan kepastian hukum dan keadilan seperti halnya tujuan pengadilan negeri sidoarjo tingkat pertama adlah untuk memberikan keadilan mengenai perdata dan pidana. Maka dari itu, disarankan bagi para legislator dan penegak hukum agar dapat memasukkan dua unsur penting dalam perundang-undangan atau putusan-putusannya, yakni kepastian hukum dan keadilan demi tercapainya cita-cita hukum.
DAFTAR ISI
Halaman
SAMPUL DALAM ... i
PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii
PENGESAHAN ... iii
MOTTO ... iv
PERSEMBAHAN ... v
ABSTRAK ... vi
KATA PENGANTAR ... vii
DAFTAR ISI ... ix
DAFTAR TRANSLITERASI ... xii
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Identifikasi Masalah dan Batasan Masalah ... 12
C. Rumusan Masalah ... 12
D. Kajian Pustaka ... 13
E. Tujuan Penelitian ... 16
F. Kegunaan Hasil Penelitian ... 16
G. Definisi Operasional ... 16
H. Metode Penelitian ... 17
BAB II KASUS KEMATIAN DALAM PERISTIWA PEMBUNUHAN
MENURUT KAJIAN FIQIH JINAYAH DAN KUHP... 23
A.Pembelaan terpaksa yang melampaui batas menurut fiqih jinayah ... 23
1. Pengertian Pembelaan Terpaksa Menurut Fiqih Jinayah ... 23
2. Syarat-syarat pembelaan terpaksa menurut fiqih jinayah ... 28
3. Pembelaan Diri Melampaui Batas yang Diperbolehkan... ... 31
4. Sumber dan Hukum Tindakan Pembelaan Umum ... 33
B.Pembelaan Terpaksa yang Melampaui Batas Menurut KUHP ... 35
1. Pengertian Pembelaan Terpaksa (noodweer) ... 35
2. Syarat dan Unsur Pembelaan Terpaksa ... 38
3. Pembelaan Terpaksa yang Melampaui Batas (noodweer exses). ... 41
BAB III PUTUSAN PENGADILAN NEGERI SIDOARJO NOMOR 560/ PID.B/2014/PN.Sda ... 45
A. Deskripsi Pengadilan Negeri Sidoarjo ... 45
1. Status dan Kewenangan Pengadilan Negeri Sidoarjo.. ... 45
2. Struktur organisasi pengadilan negeri sidoarjo... 48
B. Deskripsi khasus tindak pidana pembunuhan ... 49
C. Tuntutan, Fakta Persidangan, Pertimbangan Hakim dan Isi Putusan Pengadilan Negeri Sidoarjo Nomor 560/PID.B/Pn.Sda... ... 60
2. Fakta Persidangan dan Pertimbangan Hakim ... 60
3. Isi Putusan... 63
BAB IV ANALISA FIQIH JINAYAH DAN KUHP TERHADAP KASUS KEMATIAN DALAM PERISTIWA PEMBUNUHAN... ... 65
A. Analisis Hukum Pidana di Indonesia Terhadap Putusan Pengadilan Negeri Sidoarjo Nomor 560/PID.B/2014/PN.Sda. ... 65
B. Analisis Fiqih Jinayah Tentang Pembelaan Terpaksa Terhadap Putusan Pengadilan Negeri Sidoarjo Nomor 560/PID.B/2014/PN.Sda... 71
BAB V PENUTUP ... 81
A. Kesimpulan ... 81
B. Saran ... 82
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hukum secara umum dibuat untuk kebaikan manusia itu sendiri,
dan berguna memberikan argumentasi yang kuat bahwa bila hukum
diterapkan dalam suatu masyarakat maka mereka akan dapat merasakan
kebenaran, kebaikan, keadilan, kesamaan dan kemaslahatan dalam hidup di
dunia ini. Seperti hukum positif yang merupakan hasil interpretasi manusia
terhadap peraturan dan perbuatan manusia di dunia, sedangkan hukum Islam
menghubungkan antara dunia dan akhirat, seimbang antara kebutuhan rohani
dan kebutuhan jasmani. Manfaat yang diperoleh bagi yang mematuhi
perintah Allah dan kemudlaratan yang diderita lantaran mengerjakan
maksiat, kembali kepada pelakunya sendiri.1
Hukum pidana Islam merupakan syariat Allah yang mengandung
kemaslahatan bagi kehidupan manusia baik di dunia maupun akhirat. Syariat
Islam yang dimaksud, secara materil mengandung kewajiban asas bagi setiap
manusia untuk melaksanakannya. Konsep kewajiban asasi syariat, yang
berarti menempatkan Allah sebagai pemegang dari segala hak, baik itu yang
ada pada diri sendiri maupun yang ada pada diri orang lain. Setiap orang
1 Nourouzzaman Shiddiqi, Fiqh Indonesia, Penggagas dan Gagasannya, (Yogyakarta: Pustaka
2
hanya pelaksana dari kewajiban yang diperintahkan Allah. Perintah Allah
yang dimaksud, harus diamalkan untuk kemaslahatan dirinya dan orang lain.
Kejahatan atau tindak pidana dalam Islam merupakan
larangan-larangan syariat yang dikategorikan dalam istilah jarimah atau jinayah.
Pakar fiqih telah mendefinisikan jarimah dengan perbuatan-perbuatan
tertentu yang apabila dilakukan akan mendapatkan ancaman hukuman had
atau ta’zir . Adapun istilah jinayah kebanyakan para fuqaha memaknai kata
tersebut hanya untuk perbuatan yang mengenai jiwa atau anggota badan
seperti membunuh, melukai, memukul, menggugurkan kandungan dan
sebagainya.2
Had merupakan ketetapan hukum Allah yang paling berat diatas
hukuman qishash dan ta’zir. Ta'zir dalam konteks bahasa adalah menolak
dan mencegah kejahatan, Ta’zir juga berarti memberi pelajaran. Para ulama’
mengartikan ta'zir dengan hukuman yang tidak ditentukan oleh nas dan
berkaitan dengan kejahatan. Tujuannya adalah untuk memberi pelajaran agar
tidak mengulangi kejahatan serupa.3
Pada dasarnya dengan adanya sanksi terhadap pelanggaran bukan
berarti pembalasan akan tetapi mempunyai tujuan tersendiri yaitu, untuk
mewujudkan dan memelihara lima sasaran pokok yang disebut al-dharuriyat
al-khamsah yaitu yang terdiri dari hifz al-nafs (menjaga jiwa), hifz al-’aql
(menjaga akal), hifz al-din (menjaga agama), hifz al-mal (menjaga harta) dan
3
hifz al-nasl (menjaga keturunan). Lima hal pokok ini, wajib diwujudkan dan
dipelihara, jika seseorang menghendaki kehidupan yang bahagia di dunia dan
diakhirat. Segala upaya untuk mewujudkan dan memelihara lima pokok tadi
merupakan amalan saleh yang harus dilakukan oleh umat Islam.4
Hukum Islam dapat dibedakan menjadi dua bagian yaitu Hukum
Privat (Munakahat, Wiratsah dan Muamalat) dan Hukum Publik (Jinayat, Al
ahkamal sulthaniyah, Siyar, Mukhashamat).5 Di dalam ajaran Islam
bahasan-bahasan tentang kejahatan manusia berikut upaya preventif dan represif
dijelaskan dalam fiqih jinayah.6
Islam seperti halnya sistem lain melindungi hak-hak untuk hidup
merdeka dan merasakan keamanan. Dalam Islam melarang bunuh diri
ataupun pembunuhan. Dalam Islam pembunuhan terhadap seorang manusia
tanpa alasan yang benar diibaratkan seperti membunuh seluruh manusia.
Sebaliknya, barang siapa yang memelihara kehidupan seorang manusia,
maka ia di ibaratkan memelihara seluruh manusia. Jika terjadi pembunuhan,
maka pelaku wajib bertanggung jawab. Permasalahanya adalah jika
pembunuhan yang disengaja tersebut dilakukan dalam upaya membela jiwa,
kehormatan, maupun harta benda baik milik sendiri ataupun orang lain.7
4Muhammad Amin Suma, Pidana Islam di Indonesia, Peluang, Prospek, dan Tantangan,(Jakarta:
Pustaka Firdaus, 2001), 107.
5Dahlan Tamrin, Filsafat Hukum Islam(Malang: UIN-Malang Press, 2007),9-10.
6H.A. Djazuli, Fiqh Jinayah; Upaya Menanggulangi Kejahatan dalam Islam,( Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2000), 1.
7Topo Santoso, Membumikan Hukum Pidana Islam; Penegakan Syari‟at dalam Wacana
4
Dalam melakukan pembelaan dalam islam dikenal dengan istilah
daf’uas-sail, dalam hukum Islam, pertanggung jawaban pidana dapat dihapus
karena pertama, hal-hal yang bertalian dengan perbuatan yang dilakukan
adalah mubah (tidak dilarang) yang disebut asbab al-ibahah atau sebab
diperbolehkanya perbuatan yang dilarang. Diantaranya yaitu : pembelaan
yang sah, mendidik, pengobatan, permainan kesatriaan, halalnya jiwa,
anggota badan dan harta seseorang, hak dan kewajiban penguasa. Kedua,
hal-hal yang bertalian dengan pelaku atau perbuatan yang dilakukan tetap
dilarang tapi pelakunya tidak dijatuhi hukuman yang disebut asbab raf’i
al-Uqubah atau sebab dihapusnya hukuman. Diantaranya yaitu paksaan,
mabuk, gila dan anak kecil (bawah umur).8
Sedangkan dalam hukum Islam, tidak diatur secara jelas
pembelaan yang diperbolehkan juga sanksi bagi pelaku pembelaan terpaksa
yang melampaui batas pembelaan. Dalam firman Allah Q.S Al Syura (42) :
39, yang bunyinya :
َنوُرِصَتنَي ْمُ ُيْغَ بْلا ُمُهَ باَصَأ اَذِإ َنيِذَلاَو
.
Artinya : ‚Dan (bagi) orang-orang yang apabila mereka
diperlakukan dengan zalim, mereka membela diri9.‛
Dalam Q.S Al Baqarah (2) : 178 : yang bunyinya :
ُلاَو ِدْبَعْلاِب ُدْبَعْلاَو ِرُْْاِب رُْْا ىَلْ تَقْلا ِِ ُصاَصِقْلا ُمُكْيَلَع َبِتَُ ْاوُنَمآ َنيِذَلا اَه يَأ اَي
ىَثنُلاِب ىَثن
َكِلَذ ٍناَسْحِإِب ِهْيَلِإ ءاَدَأَو ِفوُرْعَمْلاِب ٌعاَبِ تاَف ٌءْيَش ِهيِخَأ ْنِم ُهَل َيِفُع ْنَمَف
ْمُكِبَر نِم ٌفيِفََْ
ٌميِلَأ ٌباَذَع ُهَلَ ف َكِلَذ َدْعَ ب ىَدَتْعا ِنَمَف ٌةََْْرَو
.
5
Artinya : Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu (melaksanakan) Qisas berkenaan dengan orang yang dibunuh.Orang merdeka dengan orang merdeka, hamba sahaya dengan hamba sahaya, perempuan dengan perempuan.Tetapi barangsiapa memperoleh maaf dari saudaranya, hendaklah dia mengikutinya dengan baik, dan membayar diat (tebusan) kepadanya dengan baik (pula).Yang demikian itu adalah keringanan dan rahmat dari Tuhan-mu. Barangsiapa melampaui batas setelah itu, maka ia
akan mendapat azab yang sangat pedih10.
Dari ayat tersebut hanya menerangkan tentang pembelaan diri ketika
diserang tetapi tidak menjelaskan syarat dan sanksi bagi penyerang jika
melebihi batas serangan.
Yang pertama, Islam sangat melindungi hak hidup seseorang. Hal
ini terbukti dalam tujuan syara’ atau yang lebih dikenal dengan
al-Maqashidul khamsah (panca tujuan) salah satunya memelihara jiwa.
Didalam Al-qur’an telah banyak menjelaskan tentang sanksi berkenaan
dengan masalah kejahatan terhadap nyawa. Diantara jenis-jenis hukum
qisash disebutkan dalam Al-Qur’an ialah : qisash pembunuh, qisash anggota
badan dan qisash dari luka. Semua kejahatan yang manimpa seseorang
hukumanya adalah dianalogikan dengan qisash yakni berdasar atas
persamaan antara hukuman dengan kejahatan, karena itu adalah tujuan
pokok dari pelaksanaan hukuman qisash.
Secara umum, pengertian Jinayat sama dengan hukum Pidana pada
hukum positif. Hukum secara umum dibuat untuk kebaikan manusia itu
sendiri, dan berguna memberikan argumentasi yang kuat bahwa bila hukum
diterapkan dalam suatu masyarakat maka mereka akan dapat merasakan
kebenaran, kebaikan, keadilan, kesamaan dan kemaslahatan dalam hidup di
6
dunia ini. Seperti hukum positif yang merupakan hasil interpretasi manusia
terhadap peraturan dan perbuatan manusia di dunia, sedangkan hukum Islam
menghubungkan antara dunia dan akhirat, seimbang antara kebutuhan rohani
dan kebutuhan jasmani. Manfaat yang diperoleh bagi yang mematuhi
perintah Allah dan kemudlaratan yang diderita lantaran mengerjakan
maksiat, kembali kepada pelakunya sendiri.11
Sebuah peraturan hukum ada, karena adanya sebuah masyarakat
(ubiius ubi-societas). Hukum menghendaki kerukunan dan perdamaian dalam
pergaulan hidup bersama. Hukum itu mengisi kehidupan yang jujur dan
damai dalam seluruh lapisan masyarakat.12
Berbeda dengan hukum positif pada masa sebelum revolusi
Perancis, setiap orang bagaimanapun keadaanya bisa dibebani
pertanggungjawaban pidana tanpa membedakan apakah pelaku mempunyai
kemauan sendiri atau tidak, sudah dewasa atau belum. Bahkan hewan dan
benda mati juga bisa dibebani pertanggug jawaban apabila menimbulkan
kerugian pada pihak lain. Kematian juga tidak bisa menghindarkan seseorang
dar pemeriksaan pengadilan dan hukuman. Demikian juga seseorang harus
mempertanggung jawabkan kesalahan orang lain meskipun tidak tahu
menahu dan tidak ikut serta mengerjakanya. Baru setelah revolusi Perancis
dengan aliran tradisionalisme dan lainnya, pertanggung jawaban itu hanya
11 Nourouzzaman Shiddiqi, Fiqh Indonesia, Penggagas dan Gagasannya, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 1997), 89.
7
dibebankan kepada manusia yang masih hidup yang memiliki pengetahuan
dan pengetahuan.13
Tidak ada pertanggungjawaban pidana selama perbuatanya itu
tidak bermaksud turut serta, memudahkan atau memberi bentuan
terlaksananya jarimah. Sedangkan bagi pelaku perbuatan langsung dan sebab
dikenakan pertanggungjawaban pidana atas perbuatanya, karena keduanya
merupakan illat (sebab) adanya jarimah.14 Dalam hukum pidana Indonesia,
pembelaan terpaksa diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP) BAB III pasal 49 ayat 1 yang berbunyi :
‚tidak dipidana barang siapa yang melakukan perbuatan pembelaan terhadap jiwa, kehormatan dan harta benda baik untuk diri sendiri maupun orang lain
karena pengaruh daya paksa tidak dipidana‛15
Pembelaan terpaksa melampaui batas diatur dalam KUHP pasal 49
ayat 2 yang berbunyi :
‚pembelaan terpaksa yang melampaui batas, yang langsung disebabkan oleh
goncangan jiwa yang hebat karena serangan atau ancaman serangan itu, tidak dipidana‛.16
Undang-undang tidak memberi keterangan lebih jauh tentang
pembelaan terpaksa yang melampaui batas. Dalam Memorie van Toelichting
(MvT) ada sedikit keterangan mengenai pembelaan terpaksa yang
melampaui batas yang mengatakan jika terdapat ‚kegoncangan jiwa yang
hebat‛. Yang dimaksud kegoncangan jiwa yang hebat tidak dijelaskan dalam
KUHP tetapi oleh ahli hukum memberikan penjelasan kegoncangan jiwa
13Ahmad Hanafi, Asas-asas Hukum . . . . , 156-158. 14Ahmad Hanafi, Asas-asas Hukum ... 160.
8
yang hebat sehingga diperbolehkan melakukan pembelaan terpaksa yang
melampaui batas,
Alasan penghapusan pidana (strafuitsluitingsground) diartikan
sebagai keadaan khusus (yang harus dikemukakan, tetapi tidak perlu
dibuktikan oleh terdakwa), meskipun terhadap semua unsur tertulis dari
rumusan delik telah dipenuhi tidak dapat dijatuhkan pidana. Alasan
penghapusan tindak pidana dikenal baik dalam KUHP, doktrin maupun
yurisprudensi. Sesuai dengan ajaran daaddader strafrecht alasan penghapusan
pidana dapat dibedakan sebagai berikut :17
1. Alasan pembenar (rechtfuitsluitingsground) yaitu alasan yang
menghapuskan sifat melawan hukumnya perbuatan, berkaitan dengan
tindak pidana (strafbaarfeit) yang dikenal dengan istilah actus reus
dinegara Anglosaxon.
2. Alasan pemaaf (schuldduitsluitingsground) yaitu alasan yang
menghapuskan kesalahan dengan istilah mens rea di Negara Anglosaxon.
Ada beberapa hal yang menjadikan penulis tertarik untuk
membahas judul tentang Tinjauan Fiqh Jinayah Terhadap KUHP BAB III
Pasal 49 Tentang Pembebasan Hukuman Pidana.Begitupun dalam hukum
positif juga diatur sanksi untuk pembunuh dari yang teringan sampai yang
terberat.
Kedua, dalam KUHP BAB III tentang pembebasan hukuman
pidana pasal 49 ayat 1 tetang pembelaan terpaksa, dan juga dalam hukum
9
pidana Islam diatur pembelaan sah, tidak dijatuhi hukuman sebab
diperbolehkanya perbuatan yang dilarang. Tetapi untuk mengetahui apakah
suatu perbuatan itu sebagai suatu pembelaan atau sebaliknya, maka harus
diketahui unsur atau syarat yang dimaksud dalam pasal tersebut dan dan
tidak dijelaskan bagaimana melakukan pembelaan yang diperbolehkan.
Begitu juga dalam KUHP pasal 49 ayat 2 tentang pembelaan terpaksa yang
melampaui batas tidak dijelaskan pelampauan batas yang diperbolehkan
dalam melakukan suatu pembelaan.
Salah satu kasus tersebut dilakukan oleh terdakwa Buasan yang
telah terbukti secara sah bersalah melakukan tindak pidana pembunuhan
terhadap korban Bustomi dengan cara membacok sehingga di tuntut dengan
pasal 338 KUHP dan diancam pidana penjara 7 tahun karena telah dengan
sengaja merampas nyawa orang lain.
Peristiwa ini bermula pada 01 Mei 2014 sekitar pukul 02.00 Wib
terdakwa berangkat dari rumah untuk jaga sebagai keamanan di PT. Izza
Sarana Karsa (Pabrik Aspal) di by Pass Kecamatan Krian Kabupaten
Sidoarjo lalu ketika sampai di warung kopi milik Sdr. Murgianto dan pada
saat itu di warung sudah ada Sdr. Siswanto, Sdr. Radi Purnomo, dan Sdr.
Budi Setiawan selanjutnya terdakwa bergabung dengan mereka sambil
duduk-duduk menonton sepak bola di televisi.18
Bahwa kemudian pada sekitar pukul 03.00 WIB korban Sdr.
Bustomi dalam keadaan mabuk datang ke warung dengan menggunakan
10
sepeda mator, lalu korban Bustomi turun dari sepeda motor dan langsung
menghampiri terdakwa, selanjutnya terdakwa menyapa kepada korban ‚ dari
mana Om?‛ dan di jawab oleh korban ‚ dari kafe‛ dan selanjutnya korban
marah-marah dan menantang terdakwah sambil melemparkan sembilah
senjata clurit yang di bawanya kepada terdakwa, dan kemudian sembilah
senjata clurit yang dilempar tersebut dan di ambil oleh Sdr. Radi Purnomo.
Dan terdakwa mengatakan ‚meminta maaf dan tidak berani sama korban‛
sambil marah-marah terus lalu korban melempar lagi cluritnya kearah
terdakwa sambil berkata ‚ kamu disini ini nomor dua, nomor satu aku San..
kalau aku sampai kalah sama kamu, aku gak hidup di by pass selamanya aku
tak hidup di Wonokromo ‛ dan di jawab oleh terdakwa ‚ kenapa sih om..
rame sekampung sendiri, aku masak pernah sih rame sama kampung
sendiri,.. semua ini teman‛. Lalu karena pada saat itu di televisi ada
pertandingan sepak bola dan Sdr. Siswanto berteriak ‚GOL...‛ dan kemudian
korban memukul Sdr. Siswanto kearah mulutnya, selanjutnya karena Sdr.
Siswanto di tanya KTP tidak di bawahnya lalu lutut kanan Sdr. Siswanto
juga dipukul menggunakan clurit dengan posisi celurit dibalik, dan kemudian
korban mengatakan ‚ kalau tidak ada KTP sana pergi pulang, kalau gak mau
pulang saya bunuh ‛ dan selanjutnya Sdr. Siswanto berlari meninggalkan
warung.19
Bahwa selanjut korban marah-marah lagi kepada terdakwa sambil
menarik terdakwa yang sedang duduk di dalam warung kearah keluar
11
warung, kemudian pada saat diseret keluar lalu terdakwah terbentur tiang
teras warung dan terdakwa berontak sehingga pegangan korban lepas yang
selanjutnya terdakwah berusaha menjauh, tetapi pada saat itu korban
langsung melemparkan sembilah senjata clurit yang dipeganya ke arah
terdakwa, namun dihindari oleh terdakwa lalu antar korban dan terdakwa
saling berebut clurit yang tergeletak di depan warung dan ketika berebut
sembilah senjata clurit tersebut, senjata clurit berhasil dikuasai oleh
terdakwa dan selanjutnya disabetkan/ dibacokkan kearah korban dan pada
saat itu langsung mengenai telapak tangan kanan korban hingga terpotong
dan ketika sembilah senjata clurit yang dikuasai oleh terdakwa lalu korban
berusaha berlari meninggalkan terdakwa namun oleh terdakwa langsung
mengayunkan clurit yang dipegannya ke arah punggung korban sehingga
punggung korban terluka dan kemudian korban berusaha berbalik arah
menghadap terdakwa lalu korban disabet/ dibacok lagi pada bagian dada atas
sebelah kiri korban sehingga korban terluka dan kemudian jatuh ketanah.20
Dari uraian penjelasan diatas, maka dalam skripsi ini penulis akan
menguraikan suatu perbuatan dikatakan sebagai pembelaan baik dalam
hukum positif maupun hukum Islam agar pasal tersebut tetap berfungsi atau
tidak menjadi pasal mati karena sulit dalam pembuktianya. Secara mendalam
masalah ini akan penulis jelaskan dalam skripsi yang berjudul ‚STUDI
PUTUSAN PENGADILAN NEGERI SIDOARJO NOMOR
560/PID.B/2014/PN.Sda TERHADAP KASUS KEMATIAN DALAM
12
PERISTIWA PEMBUNUHAN MENURUT FIQIH JINAYAH DAN
KUHP‛.
B. Identifikasi Masalah dan Batasan Masalah
Dari paparan yang terdapat pada latar belakang diatas maka
diidentifikasi beberapa masalah sebagai berikut:
1. Hukum pidana di Indonesia memandang terhadap kasus kematian
dalam peristiwa pembunuhan.
2. Pandangan hukum positif terhadap putusan nomor. 560/ PID.B/2014/
Pn. Sda.
3. Landasan hukum hakim dalam mengaplikasikan pasal 49 ayat 2
KUHP.
4. Pandangan hukum Islam tentang kasus kematian dalam peristiwa
pembunuhan yang melampaui batas.
5. Pandangan Fiqih jinayah terhadap putusan nomor. 560/ PID.B/2014/
Pn. Sda.
C. Rumusan Masalah
Berdasarkan pada identifikasi masalah serta pembatasan masalah
diatas maka penulis merumuskan beberapa masalah guna mempermudah
pembahasan masalah serta sebagai kerangka kerja yang dirumuskan dalam
bentuk pertanyaan sebagai berikut:
1. Bagaimanakah pertimbangan hukum hakim PN Sidoarjo terhadap kasus
13
2. Bagaimanakah analisis Fiqih Jinayah dan KUHP terhadap putusan Hakim
Sidoarjo dalam kasus kematian dalam peristiwa pembunuhan ?
D. Kajian Pustaka
Hukum Islam merupakan subtansi ajaran Islam yang diyakini
kebenaran dan kesempurnaanya yang bersumber dari Allah SWT. Melalui
Nabi Muhammad SAW sebagai utusan-Nya, hukum tersebut hidup dalam
masyarakat Islam, sehingga menjadi pedoman umat dalam berbagai bidang
diantaranya masalah Jinayah. Secara teoritis hukum Islam atau yang dikenal
dengan fiqih bersumber dari al-Qur’an dan sunnah, tetapi para fuqaha (jama’
dari faqih) sering berbeda pendapat memahami konsep dari dua sumber
tersebut. Perbedaan ini dipengaruhi oleh kurun waktu dan lingkungan dimana
para fuqaha berada dan perbedaan metode istinbat yang di gunakan.
Kajian pustaka ini merupakan upaya untuk mengetahui penelitian
mana yang sudah pernah dilakukan dan mana yang belum dan dimana posisi
penelitian yang dilakukan diantara penelitian – penelitian yang sudah ada itu.
Hal ini bertujuan agar tidak ada duplikasi / plagiat dalam penelitian yang
dilakukan
Penelitian mengenai pembelaan terpaksa ini dalam hukum pidana
telah banyak dilakukan oleh peneliti sebelumnya, namun dengan pendekatan
yang berbeda dalam pengujian datanya. Untuk itu penulis akan menyebutkan
beberapa literatur yang akan penulis gunakan sebagai previous finding
(penelitian maupun penemuan sebelumnya). Disamping itu banyak pula sudut
14
membahas masalah pembelaan terpaksa, tetapi karya pemikiran yang
menggunakan sudut pandang Islam masih sangat sedikit. Sepanjang
pelacakan dan penelaahan yang penulis lakukan, baik di kalangan Fakultas
Hukum Islam UINSA Surabaya maupun secara umum, belum ada karya
penelitian yang membahas pada permasalahan tinjauan hukum pidana Islam
terhadap KUHP BAB III Pasal 49 tentang pembebasan hukuman pidana atas
pembelaan berlebihan yang menyebabkan pembunuhan.
Skripsi karya oleh Syarifudin tahun 2003 dengan judul: Studi
Hukum Islam Tentang Pembunuhan Sengaja oleh Wanita Karena
Mempertahankan Diri dari Pemerkosaan (Studi Analisis Pandangan
Madzhab Syafi’i). Penulis skripsi ini menyatakan bahwa seorang wanita
yang membunuh dengan sengaja karena mempertahankan diri menurut
pandangan madzhab Syafi’i pelakunya digugurkan dari perbuatanya dan
tidak ada hukuman baginya, baik qishash, diat, maupun kafarat.21
Skripsi karya Siti Munawarah tahun 2007 dengan judul
"Pembelaan Terpaksa Melampaui Batas dalam Tindak Pidana Pembunuhan
(Putusan Pengadilan Negeri Jember Nomor 961/PID.B/2008/PN.Jr) yang
menjelaskan bahwa seorang terdakwa yang berkeyakinan bahwa perbuatan
yang dilakukan merupakan pembelaan terpaksa tetapi dapat diabaikan
karena sebagian atau beberapa unsur mengenaipembelaan terpaksa melampui
batas tidak terpenuhi dalam pembuktian. Jadi, perbuatan terdakwa secara sah
21Syarifudin, ‚Studi Hukum Islam Tentang Pembunuhan Sengaja oleh WanitaKarena
15
dan meyakinkan melanggar pasal 338 KUHP mengenai pembunuhan. Tetapi
agar menjadi dasar untuk memperingan hukuman terdakwa yang dalam hal
ini, menyerahkan dirinya dan mengakui kesalahannya, karena terdakwa
berkeyakinan bahwa perbuatannya merupakan pembelaan terpaksa pasal 49
ayat 2.22
Skripsi karya Tathmainul Qulub tahun 2015 Tinjauan Fiqh
Jinayah Terhadap Pembelaan Terpaksa Yang Melampaui Batas Menurut
Pasal 49 KUHP. Yang menjelaskan syarat-syarat bagaimana seseorang bisa
dikatakan telah melakukan pembelaan terpaksa dan pembelaan terpaksa yang
melampaui batas menurut KUHP dan hukum Islam.23
Sedangkan yang membedakan penelitian sebelumnya dengan skripsi
ini adalah skripsi ini tidak hanya membahas tentang mempertahankan harta,
kehormatan tetapi lebih bersifat umum yaitu upaya perlindungan terhadap
jiwa, kehormatan maupun harta yang berupapembelaan diri ketika akan
diserang atau dirampas haknya. Penulis ingin membahas tentang ‚Studi
Putusan Pengadilan Negeri Sidoarjo Nomor 560/PID.B/2014/PN.Sda
Terhadap Kasus Kematian Dalam Peristiwa Pembunuhan Menurut Fiqih
Jinayah Dan KUHP‛
22Siti Munawarah, ‚Pembelaan Terpaksa Melampaui Batas dalam Tindak Pidana Pembunuhan
(Putusan PengadilanNegeri Jember Nomor 961/Pid.B/2008/PN.Jr‛ (skripsi-UIN sunan ampel surabaya,2007).vi
23Thatmainul Qulub, ‚Tinjauan Fiqh Jinayah Terhadap Pembelaan Terpaksa Yang Melampaui
16
E. Tujuan Penelitian
Tujuan dalam penelitian ini dalam rangka menjawab permasalahan
yang telah dirumuskan di atas. Adapun tujuan penelitian ini sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui alasan hukum hakim dalam menerapkan kasus
pembunuhan dalam putusan Pengadilan Negeri Sidoarjo Nomor. 560/
PID.B/ 2014/ Pn. Sda.
2. Untuk mengetahui kriteria fiqih jinayah dan KUHP terhadap Kasus
Kematian dalam Peristiwa Pembunuhan.
F. Kegunaan Hasil Penelitian
Kegunaan dari hasil penelitian ini dapat terbagi menjadi dua yakni
1. Teoritis
Secara teoritis kegunaan hasil penelitian ini, dapat membangun teori
hukum, tentang pembelaan diri, tahapan atau proses pembuktian dan
pembelaan diri.
2. Praktis
Hasil penulisan skripsi ini dapat menjadi informasi hukum dan panduan
hukum bagi masyarakat yang berperkara di pengadilan.
G. Definisi Operasional
Dalam rangka mendapatkan gambaran yang lebih jelas serta agar
tidak terjadi kesalahan dalam memahami topik pembahasan dari penelitian
dengan judul : Studi Putusan Pengadilan Negeri Sidoarjo Nomor
560/PID.B/2014/PN.Sda Terhadap Kasus Kematian Dalam Peristiwa
17
Pembunuhan : Berdasarkan kamus hukum pembunuhan berarti
merupakan suatu kesengajaan menghilangkan nyawa
orang lain
Fiqih jinayah : Fiqih berarti ilmu hukum Islam.24 Jinayah berarti
perbuatan yang diharamkan atau dilarang karena
menimbulkan kerugian atau kerusakan agama, jiwa,
akal, dan harta benda atau dalam hukum positif
disebut hukum pidana.25 Fiqih Jinayah adalah cabang
hukum Islam yang mempelajari tentang hukum
pidana yang ada dalam kitab kuning/ fikih menurut
pendapat para mujtahid.
Studi Putusan : Putusan yang dikeluarkan oleh Pengadialan Negeri
Sidoarjo dalam kasus tindak pidana pembunuhan
pada tanggal 28 oktober 2014 yang menyebabkan
hilangnya nyawa seseorang, dalam konteks ini
pembelaan oleh terdakwa Buasan.
KUHP : Kitab Undang-undang Hukum yang berlaku sebagai
dasar hukum pidana di Indonesia
H. Metode Penelitian
Seorang peneliti harus dapat memilih dan menentukan metode
yang tepat dan mungkin dilaksanakan (feasible) guna mencapai tujuan
penelitiannya. Karena itu, seorang peneliti perlu mengenal berbagai metode
24Pius A Partanto, Kamus Ilmiah Populer, (Surabaya, Penerbit Arkola, 1994), 177.
18
ilmiah dan karakteristiknya.26 Dalam menyusun penelitian ini penulis
menggunakan metode Kualitatif Deskriptif Ananlisis metode dengan
menanalisa putusan hakim kemudian mengaitkan dengan KUHP. dengan
menyiapkan strategi penelitian sebagai berikut :
1. Data yang dikumpulkan
Sesuai dengan tujuan yang telah dirumuskan, maka data yang
dikumpulkan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Data tentang putusan hakim perihal tindak pidana pembunuhan
oleh Pengadilan Negeri Sidoarjo Nomor. 560/ PID.B/ 2014/ Pn.
Sda.
b. Data tentang putusan berdasarkan teori Fiqih jinayah dan subtansi
hukum bagi pembelaan diri menurut fiqih.
2. Sumber Data
Adapun Sumber data yang dipakai dalam penelitian ini terdiri
atas sumber data primer dan sekunder yaitu:
a. Sumber data Primer
Dalam Penelitian ini, sumber data primer yang digunakan
adalah sebagai berikut:
1) Informan, pihak-pihak yang tahu dan faham mengenai putusan
Pengadilan Negeri Sidoarjo Nomor. 560/ PIN.B/2014/Pn. Sda.
- Panitera Pengadilan Negeri Sidoarjo
- Hakim Pengadilan Negeri sidoarjo
19
2) Dokumenter, Dokumen-dokumen resmi yang terkait dengan
putusan:
a) Surat Tuntutan Jaksa Penuntut Umum
b) Surat Pembelaan Advokat terdakwa
c) BAP (Berita Acara Persidangan)
d) Amar Putusan Hakim
3) KUHP
b. Sumber Sekunder
Berisi semua publikasi tentang hukum yang bukan merupakan
dokumen-dokumen resmi, melainkan seperti buku, makalah,
jurnal, dan lain-lain. Adapun bahan hukum sekunder antara lain:
1) A. Djazuli, Fiqh Jinayah (Upaya Menanggulangi Kejahatan
Terhadap Manusia dalam Islam), 1997
2) Dahlan Tamrin, Filsafat Hukum Islam, Malang, UIN-Malang
Press, 2007
3) Johnny Ibraahim, Teori dan Metode Penelitian Hukum
Normatif, Malang, Bayumedia, 2005.
4) Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta, Rineka Cipta,
1993.
5) Muhammad Amin Suma, Pidana Islam di Indonesia, Peluang,
Prospek dan Tantangan, Jakarta, Pustaka Firdaus, 2001.
6) Sudarsono, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta, Rineka Cipta,
20
7) Topo Santoso, membumikan Hukum Pidana Islam; penegak
syari’at dalam Wacana dan Agenda, Jakarta, Gema Insani Press,
2003.
8) Burhan Asshofa, Metode Penelitian Hukum, Jakarta, Rineka
Cipta, 2001.
9) Zainuddin Ali, Metode Penelitian Hukum, Jakarta, Sinar
Grafika, 2009.
3. Tekhnik Pengumpulan Data
a. Interview, Wawancara (bahasa Inggris: interview) merupakan
percakapan antara dua orang atau lebih dan berlangsung antara
narasumber dan pewawancara.
b. Studi Dokumenter, proses mendapatkan data dari
dokumen-dokumen penting yang dilakukan oleh pejabat Negara.
4. Metode Pengolahan Data
a. Editing, yaitu dengan memeriksa kembali semua data putusan
yang telah terkumpul, baik mengenai kelengkapan, keterbatasan,
kejelasan makna, kesesuaian, keselarasan (relevansi) dan kesatuan
data.
b. Klasifikasi data, yaitupenyusunan bersistem dalam kelompok atau
golongan menurut kaidah atau standar yang ditetapkan, dengan
menyusun dan mengelompokkan data-data yang telah terkumpul
21
c. Analisis data, yaitu melakukan telaah dan penelitian terhadap
pengklarifikasian data untuk memperoleh suatu simpulan.
5. Metode Analisis Data
Analisis data dilakukan dengan metode berpikir deduktif adalah
metode berpikir yang menerapkan hal-hal yang umum terlebih dahulu
untuk seterusnya dihubungkan dalam bagian-bagiannya yang khusus,
kemudian dilakukan analisis verifikasi, yakni mengkaji putusan atau
alasan hukum dengan perundangan yang berlaku saat ini.
I. Sistematika Pembahasan
Dalam rangka mempermudah pembahasan dalam penelitian ini dan
agar dapat dipahami secara sistematis dan terarah, penulis menggunakan
sistematika pembahasan yang menjawab pokok permasalahan yang
dirumuskan. Sistematika pembahasan pada penelitian ini adalah sebagai
berikut:
BAB I : Bab ini merupakan pendahuluan dari pembahasan
skripsi yang meliputi: latar belakang, identifikasi
masalah, pembatasan masalah, rumusan masalah,
kajian pustaka, tujuan penelitian, kegunaan hasil
penelitian, definisi operasional, metode penelitian
dan sistematika pembahasan.
BAB II : Bab ini merupakan landasan teori tentang Kasus
Kematian Dalam Peristiwa Pembunuhan Menurut
22
meliputi Pengertian Pembelaan Melampui Batas dan
Batasannya, Macam-Macam Pembelaan, Syarat
Pembelaan, Alasan penghapus hukuman dalam
Pertanggung Jawaban Pidana.
BAB III : Bab ini memuat tentang deskripsi putusan PN
Sidoarjo Nomor.560/PID.B/2014/Pn. Sda. Meliputi:
fakta persidangan, tuntutan, pembelaan deskripsi
putusan kasus tindak pidana pembunuhan, isi amar
putusan dalam penetapan putusan PN Sidoarjo
tentang tindak pidana pembunuhan.
BAB IV : Bab ini memuat analisis putusan dalam kasus tindak
pidana pembunuhan meliputi: Pandangan Hukum
Pidana Indonesia dan fiqih jinayah tentang
pembelaan terpaksa dalam putusan PN Sidoarjo
Nomor. 560/PID.B/2014/Pn. Sda.
BAB V : Bab ini merupakan penutup dari keseluruhan
pembahasan skripsi yang memuat kesimpulan serta
23
BAB II
KASUS KEMATIAN DALAM PERISTIWA PEMBUNUHAN MENURUT
KAJIAN FIQIH JINAYAH DAN KUHP
A. Pembelaan Terpaksa yang Melampaui Batas Menurut Fiqh Jinayah
1. Pengertian Pembelaan Terpaksa Menurut Fiqh Jinayah
Menurut istilah yang dinamakan menolak penyerang/pembelaan
diri (daf‟u as-sail) adalah kewajiban manusia untuk menjaga dirinya atau
jiwa orang lain, atau hak manusia untuk mempertahankan hartanya atau
harta orang lain dari kekuatan yang lazim dari setiap pelanggaran dan
penyerangan yang tidak sah. Penyerangan khusus baik yang bersifat wajib
maupun hak bertujuan untuk menolak serangan, bukan sebagai hukuman
atas serangan tersebut sebab pembelaan tersebut tidak membuat
penjatuhan hukuman atas penyerang menjadi tertolak.1 Dasar pembelaan
diri dan menolak penyerangan, berdasarkan firman Allah SWT surat:
al-Baqarah ayat 194.
ِلْثِِِ ِهْيَلَع ْاوُدَتْعاَف ْمُكْيَلَع ىَدَتْعا ِنَمَف ٌصاَصِق ُتاَمُرُْْاَو ِماَرَْْا ِرْهَشلاِب ُماَرَْْا ُرْهَشلا
اَم
َنِقَتُمْلا َعَم َهّللا َنَأ ْاوُمَلْعاَو َهّللا ْاوُقَ تاَو ْمُكْيَلَع ىَدَتْعا
Artinya : Bulan haram dengan bulan haram,2dan (terhadap)
sesuatu yang dihormati berlaku (hukum) qishas. Oleh sebab itu barang siapa menyerang kamu, maka seranglah dia setimpal dengan serangannya
1Abdul Qodir ‘Audah, Al-Tasyri’i Al-Jina’i Al-Islami, Jilid II, (Beirut: Dar Al-KitabAl-‘Arabi,
tt), 138.
2Bulan haram dengan bulan haram (Kalau umat Islam diserang di bulan haram, yang sebenarnya
24
terhadap kamu. Bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah
beserta orang-orang yang bertakwa.3
Para fuqaha telah sepakat berpendapat bahwa membela diri
adalah suatu jalan yang sah untuk mempertahankan diri sendiri atau diri
orang lain dari serangan terhadap jiwa, kehormatan dan harta benda.
Tetapi berbeda atas hukumnya, apakah merupakan suatu kewajiban atau
hak. Jadi, konsekuensinya apabila membela diri merupakan suatu hak,
maka seseorang boleh memilih antara meninggalkan dan mengerjakannya,
tetapi tidak berdosa dalam memilih salah satunya. Sebaliknya apabila
dikatakan kewajiban maka seseorang tidak memiliki hak pilih dan berdosa
ketika meninggalknnya.4
Berkenaan dengan pembelaan terpaksa, dalam kaidah-kaidah
fiqIh dijelaskan, yaitu :
ال
َض
ِتاَرْوُظْحَمْلا ُحْيِبُت ُتاَرْوُر
Artinya:“Kemudaratan-kemudaratan itu dapat memperbolehkan
keharaman”.5
Dasar nash kaidah diatas adalah firman Allah dalam QS Al An’am
ayat 119 :
ِهْيَلِإ ُُْْرِرُطْضا اَم َاِإ ْمُكْيَلَع َمَرَح اَم مُكَل َلَصَف ْدَقَو
Artinya : Dan sesungguhnya Allah telah menjelaskan padahal Allah telah Menjelaskan kepadamu apa yang Diharamkan-Nya kepadamu, kecuali jika kamu dalam keadaan terpaksa kamu memakannya6.
3Departemen Agama R I, Al-Qur’an danTerjemahnya, (Bandung : Hilal, 2010), 30 4Ahmad Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta: Bulan Bintang, 1993), 211
5 Drs. H. Muchlis Usman, MA, Kaidah-Kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyah, pedoman dasar dalam
istinbath hukum Islam, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2002), 133
25
QS Al Baqarah ayat 173
نمف رطْضا رْيغ غاب لو داع اف مْثإ هْيلع
Artinya : Maka barang siapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang ia tidak menginginkannya serta tidak melampaui batas maka tidak dosa baginya7.
Menilik ayat di atas, tidak semua keterpaksaan itu membolehkan
yang haram, namun keterpaksaan itu dibatasi dengan keterpaksaan yang
benar-benar tidak ada jalan lain kecuali hanya melakukan itu, dalam
kondisi ini maka semua yang haram dapat diperbolehkan memakainya.
Batas kemadaratan adalah suatu hal yang mengancam eksistensi
manusia, yang terkait dengan panca tujuan, yaitu memelihara agama,
memelihara jiwa, memelihara akal, memelihara keturunan dan
memelihara kehormatan atau hata benda. Dengan demikian darurat itu
terkait dengan dharuriah, bukan hajiah dan tahsiniah. Sedangkan hajat
(kebutuhan) terkait dengan hajiah dan tahsiniah. 8
َا
َح
َر َما
َم
َع
َضلا
ُر ْو َر
ِة
َو
َا
ََ
َر
َا َة
َم
َع ْا
َْ
َجا
َة
Artinya : Tiada keharaman bagi darurat9 dan tiada kemakmuran
bagi kebutuhan.10
اَِرَدَقِبُرَدَقُ ي ِتاَروُرَضلل َعْيِبُأاَم
Artinya: Apa yang dibolehkan karena darurat diukur sekadar
kedaruratannya.11
7Ibid, 30
8 Drs. H. Muchlis Usman, MA, Kaidah-Kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyah, pedoman dasar dalam
istinbath hukum Islam, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2002), 134
9 Darurat, yaitu kepentingan manusia yang diperbolehkan menggunakan sesuatu yang dilarang,
karena kepentingan itu menempati puncak kepentingan kehidupan manusia, bila tidak dilaksanakan maka mendapatkan kerusakan. Kondisi semacam ini memperbolehkan segala yang diharamkan atau dilarang.
26
Serangan seseorang adakalanya ditujukan kepada kehormatan
jiwa atau harta benda. Untuk membela kehormatan, para ulama sepakat
bahwa hukumnya adalah wajib. Apabila seorang laki-laki hendak
memperkosa seorang perempuan sedangkan untuk mempertahankan
kehormatannya tidak ada lagi kecuali membunuhnya maka perempuan
tersebut wajib membunuhnya, demikian pula bagi yang menyaksikan.
Untuk membela jiwa para fuqaha berbeda pendapat mengenai hukumnya.
Menurut mazhab Hanafi dan pendapat yang raj’ih dalam mazhab Maliki
dan mazhab Syafi’i membela jiwa hukumnya wajib. Sedangkan menurut
pendapat yang marjuh (lemah) didalam mazhab Maliki dan mazhab
Syafi’i serta pendapat yang raj’ih (kuat) didalam mazhab Hanbali
membela jiwa hukumnya ja’iz (boleh) bukan wajib.12
Imam Malik, Al-Syafi‟i dan Ahmad bin Hanbal berpendapat
bahwa jika seseorang diserang oleh anak-anak, orang gila dan hewan
maka harus membela diri. Jadi, jika korban tidak memiliki cara lain untuk
membela diri dari serangan mereka kecuali dengan membunuh, dan tidak
bertanggung jawab baik secara pidana maupun perdata sebab korban
hanya menunaikan kewajibannya untuk menolak serangan terhadap
jiwanya.13
11Ibid.,
12Abdul Qodir ‘Audah, at-Tasyri’i al-Jina’i . . ., 88.
13Marsum, Jinayat: Hukum Pidana Islam, (Yogyakarta: Perpustakaan Fak. Hukum UII, 1989),
27
Imam Abu Hanifah serta muridnya kecuali Abu Yusuf
berpendapat bahwa orang yang diserang harus bertanggung jawab secara
perdata yaitu dengan membayar diat atas anak-anak, orang gila dan harga
binatang yang telah dibunuhnya. Alasannya adalah karena pembelaan diri
dilakukan untuk menolak tindak pidana, padahal perbuatan anak-anak,
orang gila dan hewan tidak dianggap sebagai tindakpidana karena
binatang tidak berakal. Abu Yusuf berpendapat bahwa orang yang
diserang hanya bertanggung jawab atas harga hewan karena perbuatan
anak kecil dan orang gila tetap dianggap sebagai tindak pidana. Meskipun
penjatuhan hukuman atas keduanya dihapuskan karena keduanya tidak
memiliki pengetahuan (kecakapan bertindak). Berdasarkan pendapat ini,
dapat dikatakan bahwa menolak serangan anak kecil dan orang gila adalah
dalam keadaan membela diri sedangkan menolak serangan hewan
merupakan keadaan darurat yang memaksa.14
Ulama yang mengatakan ditegakannya pembelaan diri
menimbulkan kematian atau mendekati kematian. Dengan kata lain,
pengertian tersebut mengarah dalam segala keadaan bahwa manusia
berkewajiban untuk membela dirinya dan orang lain dari segala serangan
terhadap jiwa. Termasuk hak dan kewajiban manusia untuk menjaga harta
pribadinya dan harta orang lain darisemua serangan yang ditujukan
terhadap harta, baik bersifat pidana maupun bukan.15
28
2. Syarat-Syarat Pembelaan Terpaksa Menurut Fiqih Jinayah
a. Adanya serangan atau tindakan melawan hukum
Perbuatan yang menimpa orang yang diserang haruslah
perbuatan yang melawan hukum. Apabila perbuatan tersebut bukan
perbuatan yang melawan hukum, maka pembelaan atau penolakan
tidak boleh dilakukan. Jadi, pemakaian hak atau menunaikan
kewajiban baik oleh individu maupun penguasa, atau tindakan yang
diperbolehkan oleh syara’ tidak disebut sebagai serangan, seperti
pemukulan oleh orang tua terhadap anaknya sebagai tindakan
pengajaran atau pendidikan atau algojo yang melaksanakan tangan
terhadap terhukum sebagai pelaksanaan tugas.
Menurut Imam Malik, Imam Syafi’i dan Imam Ahmad
penyerangan tidak perlu harus berupa perbuatan jarimah yang diancam
dengan hukuman, cukup dengan perbuatan yang tidak sah (tidak
benar). Demikian pula kecakapan pembuat tidak diperlukan dan oleh
karenanya serangan orang giladan anak kecil dapat dilawan.Menurut
Imam Abu Hanifah dan murid-muridnya, serangan harus berupa
jarimah yang diancam dengan hukuman dan dilakukan oleh orang
yang dapat dimintai pertanggung jawaban pidana. Jadi, apabila
perbuatan (serangan) bukan jarimah yang diancam dengan hukuman,
melainkan hanya perbuatan yang tidak sah atau pelakunya tidak
memiliki kecakapan maka orang yang diserang itu hanya berada dalam
29
Abu Hanifah yaitu perbuatan diisyaratkan harus berupa jarimah yang
diancam dengan hukuman tetapi pelakunya tidak perlu harus orang
yang dapat dimintai pertanggung jawaban pidana.16
Pembelaan diri hanya terdapat pada orang yang diserang,
bukan yang menyerang. Tetapi jika melebihi batas dalam melakukan
pembelaan dirinya, kemudian orang yang pada mulanya sebagai
penyerang mengadakan pembelaan diri juga, karena balasan serangan
dari orang yang diserang semula sudah melampaui batas maka
tindakan itu dapat dibenarkan.17
b. Penyerangan harus terjadi seketika
Apabila tidak ada penyerangan seketika, maka perbuatan
orang yang baru akan diserang saja merupakan perbuatan yang
berlawanan dengan hukum. Pembelaan baru boleh diperbolehkan
apabila benar-benar telah terjadiserangan atau diduga kuat akan
terjadi. Apabila terjadi serangan yang masih ditunda seperti ancaman
dan belum terjadi bahaya maka tidak diperlukan pembelaan. Tetapi
jika ancaman sudah dianggap sebagai bahaya maka penolakannya harus
dengan cara yang seimbang, antara lain seperti berlindung atau
melaporkan adanya ancaman kepada pihak yang berwenang.18
c. Tidak ada jalan lain untuk mengelak serangan
16Abdul Qodir ‘Audah, Al-Tasyri’i Al-Jina’i . . ., 479 – 480.
17Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam : FiqihJinayah, (Jakarta: Sinar
Grafika, 2006), 90.
30
Apabila masih ada cara lain untuk menolak serangan maka
cara tersebut harus digunakan. Jadi, jika seseorang masih bisa menolak
serangan dengan teriakan-teriakan, maka tidak perlu menggunakan
senjata tajam untuk melukai atau bahkan senjata api yang dapat
membunuh orang yang menyerang. Apabila perbuatan tersebut telah
dilakukan padahal tidak diperlukan maka perbuatan tersebut dianggap
sebagai serangan dan termasuk jarimah.
Para fuqaha berbeda pendapat tentang lari sebagai cara untuk
menghindari serangan. Sebagian fuqaha menyatakan bahwa lari bisa
digunakan sebagai salah satu cara untuk menghindari serangan, karena
itu dianggap sebagai salah satu cara yang paling mudah, tetapi
menurut sebagian fuqaha yang lain, lari bukan merupakan jalan untuk
membela diri.19
d. Penolakan serangan hanya boleh dengan kekuatan seperlunya
Apabila penolakan tersebut melebihi batas yang diperlukan,
hal itu bukan lagi disebut pembelaan melainkan penyerangan. Dengan
demikian, orang yang diserang selamanya harus memakai cara
pembelaan yang seringan mungkin, dan selama hal itu masih bisa
dilakukan maka tidak boleh dilakukan cara yang lebih berat.20
Antara serangan dengan pembelaan terdapat hubungan yang
sangat erat, karena pembelaan timbul dari serangan. Dalam
19Marsum, Jinayat: Hukum . . ., 168.
31
perampasan harta, pembelaan belum berarti selesai dengan larinya
penyerang yang membawa harta rampasannya.
Dalam hal ini, orang yang diserang harus berupaya mencari
dan menyelidikinya sampai berhasil mengembalikan harta yang
dirampas oleh penyerang, dengan menggunakan kekuatan yang
diperlukan bahkan bila diperlukan maka boleh membunuhnya.21
3. Pembelaan Diri Melampaui Batas yang Diperbolehkan
Seseorang melakukan pembelaan diri dengan kekuatan yang
lebih besar dari kekuatan yang diperlukan, maka harus bertanggung jawab
atas tindakannya itu. Sebagai berikut :
a. Jika serangan dapat ditolak dengan mengancam si penyerang, namun
orang yang diserang itu memukul si penyerang maka harus tanggung
jawab atas pemukulan tersebut.
b. Jika serangan dapat ditolak dengan pukulan tangan namun orang yang
diserang melukai si penyerang maka harus bertanggung jawab atas
pelukaan itu.
c. Jika seragan dapat ditolak dengan pelukaan, tapi orang yang diserang
itu membunuh, maka harus bertanggung jawab atas pembunuhan itu.
d. Jika si penyerang melarikan diri dan orang yang diserang mengejar lalu
melukainya maka harus bertanggung jawab atas pelukaan itu.
32
e. Jika perlawanan penyerang dapat dilumpuhkan, namun orang yang
diserang memotong tangan atau kakinya atau membunuhnya maka
harus bertanggung jawab atas tindakannya itu.22
Pada dasarnya pembelaan diri hukumnya mubah (dibolehkan)
dan tidak ada hukumannya namun jika sampai melewati batasnya dan
mengenai orang lain dengan tersalah maka perbuatannya bukan mubah
lagi melainkan kekeliruan dan kelalaian si pembela diri. Contohnya,
apabila seseorang bermaksud memukul si penyerang tetapi dia tersalah
karena mengenai orang lain sehingga melukai atau bahkan membunuhnya,
si pembela diri harus bertanggung jawab atas pelukaan atau pembunuhan
tersalah tersebut meskipun bermaksud dengan sengaja melakukan
pembelaan diri. Dalam hal ini disamakan dengan berburu binatang akan
tetapi salah sasaran, sehingga mengenai orang lain. Berburu itu adalah
perbuatan yang diperbolehkan tapi pemburu tetap bertanggung jawab atas
penembakan salah sasaran yang mengenai manusia tersebut.23
4. Sumber dan Hukum Tindakan Pembelaan Umum
Adapun sumber hukum pembelaan umum, atau amar ma’ruf dan
nahi munkar, ialah ayat-ayat Al Quran dan hadits-hadits Nabi s.a.w.
diantara ayat-ayat Al Qur’an tersebut ialah:
َكِئ َلْوُأَو ِرَكنُمْلا ِنَع َنْوَهْ نَ يَو ِفوُرْعَمْلاِب َنوُرُمْأَيَو َِْْْْا ََِإ َنوُعْدَي ٌةَمُأ ْمُكنِم نُكَتْلَو
ُمُ
َنوُحِلْفُمْلا
33
Artinya : Hendaklah di antara kamu ada segolongan orang mengajak
kebajikan dan menyuruh kebaikan serta melarang keburukan, mereka
adalah orang-orang yang bahagia. (Ali-Imron,104)24.
ِناَوْدُعْلاَو ِِْْإا ىَلَع ْاوُنَواَعَ ت َاَو ىَوْقَ تلاَو ِرْلا ىَلَع ْاوُنَواَعَ تَو
Artinya : Dan bertolong-tolonglah kamu atas kebaikan dan takwa, dan
janganlah bertolong-tolongan atas dosa dan aniaya. (Al-Maidah, 2)25.
Dari hadits ialah hadits riwayat abu sa’id Al-Khudri bahwa
Rasulullah saw bersabda:
‚Barang siapa di antara kamu melihat kemungkaran (keonaran),
kemudian ia dapat mengubahnya dengan tangannya, maka hendahlah ia mengubah dengan tangannya. Kalau tidah dapat dengan tangan, maka hendaklah dengan lisannya (mulut). Kalu tidak dapat maka dengan
hatinya, dan ini adalah iman selemah-lemahnya‛.
Di kalangan fuqaha sudah disepakati bahwa pembelaan umum,
atau amar ma’ruf nahi mungkar, adalah suatu kewajiban yang tidak boleh
di tinggalkan. Pembelaan umum tersebut diadakan dengan maksud agar
masyarakat berdiri di atas kebajikan dan supaya anggota-anggotanya
ditumbuhkan atas keutamaan dan dengan demikian maka angka-angka
jarimah dan penyelewengan akan menjadi berkurang.26
Ma’ruf atau kebaikan adalah setiap ucapan atau perbuatan yang
perlu diucapkan atau diperbuat sesuai dengan ketentuan dan prinsip
umum syari’at Islam, seperti berakhlak mulia, berbuat baik kepada fakir
24Departemen Agama R I, Al-Qur’an danTerjemahnya, (Bandung : Hilal, 2010), 63 25Ibid, 107
26Ahmad Hanafi, M.A, ‚Asas-Asas Hukum Pidana Islam‛, (Jakarta: PT Bulan Bintang, 1990),
34
dan miskin dan sebagainya. Munkar adalah setiap perbuatan yang dilarang
terjadinya menurut syari’at Islam.27
Menyuruh kebaikan (amar ma’ruf) bisa berupa perkataan seperti
ajakan untuk membantu korban gempa atau dapat berupa perbuatan
seperti pemberian contoh hal yang baik kepada orang lain. Bisa juga
gabungan antara perbuatan dan ucapan seperti mengajak untuk
mengeluarkan zakat sekaligus mengeluarkannya. Sedangkan melarang
kemungkaran (nahi munkar) bisa berupa perkataan seperti melarang orang
lain minum-minuman keras. Dengan demikian, menyuruh kebaikan adalah
menganjurkan untuk mengerjakan atau mengucapkan apa yang
seharusnya. Sedangkan melarang keburukan adalah membujuk orang lain
agar meninggalkan apa yang sebaiknya ditinggalkan.28
Hukum pembelaan umum adalah wajib, tetapi dalam
pelaksanaanya diperlukan syarat-syarat tertentu yang berkaitan dengan
orang yang melaksanakannya. Syarat tersebut ada yang berkaitan dengan
tabiat (sifat) kewajiban dan ada pula yang berkaitan dengan prinsip dasar
syariat, yaitu dewasa dan berakal sehat (mukalaf), beriman, adanya
kesanggupan, adil dan izin (persetujuan).29
27
Nashr Farid Muhammad Washil, Abdul Aziz Muhammad Azzam, Qawa’id Fiqhiyyah, (Jakarta:
Amzah, 2009), 252-253.
35
B. Pembelaan Terpaksa yang Melampaui Batas Menurut KUHP
1. Pengertian Pembelaan Terpaksa (noodweer)
Pengertian Pembelaan Terpaksa dari segi bahasa, noodweer
terdiri dari kata ‚nood‛ dan ‚weer‛.‚Nood‛ yang artinya (keadaan)
darurat. ‛Darurat‛ berarti dalam keadaan sukar (sulit) yang tidak
disangka-sangka yang memerlukan penanggulangan segera dalam keadaan
terpaksa ‚Weer‛ artinya pembelaan yang berarti perbuatan membela,
menolong, melepaskan dari bahaya.30 Jika digabung, kedua kata tersebut.
Maka dapat diartikan melepaskan dari bahaya dalam keadaan terpaksa
atau menolong dalam keadaan sukar (sulit). Noodweer adalah pembelaan
yang diberikan karena sangat mendesak terhadap serangan yang mendesak
dan tiba-tiba serta mengancam dan melawan hukum.31
Pembelaan terpaksa merupakan alasan menghilangkan sifat
melanggar hukum (wederrechtelijkheid atau onrechtmatigheid), maka
alasan menghilangkan sifat tindak pidana (strafuitsluitings-grond) juga
dikatakan alasan membenarkan atau menghalalkan perbuatan yang pada
umumnya merupakan tindak pidana (rechtvaardigings-grond) disebut fait
justificatief.32 Pembelaan terpaksa dirumuskan dalam pasal 49 ayat 1
sebagai berikut:
‚Tidak dipidana, barang siapa melakukan perbuatan pembelaan terpaksa (lijf) untuk diri atu orang lain, kehormatan kesusilaan (eerbaarheid) atau harta benda (goed) sendiri maupun orang lain, karena adanya serangan
30Departemen P dan K, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka,1989), 156. 31
Zainal Abidin Farid, Hukum Pidana 1, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007), 200.
36
(aanranding) atau ancaman serangan yang melawan hukum
(wederrechtelijk) pada ketika itu juga.‛
Beberapa bentuk pembelaan terpaksa yang dirumuskan dalam
pasal 49 ayat 1 adalah sebagai berikut:
a. Serangan terhadap badan: seseorang yang ingin balas dendam
mendatangi orang lain dengan memegang tongkat karena berniat ingin
memukul, maka orang yang ingin dipukul tersebut mengambil tongkat
dan memukul si orang yang ingin membalas dendam tersebut.
b. Serangan terhadap barang/harta benda adalah terhadap benda yang
bergerak dan berwujud dan yang melekat hak kebendaan, sama dengan
pengertian benda pada pencurian pada pasal 362.33 Budi mencuri
barang milik Ani. Sedangkan Ani melihat dan meminta untuk
dikembalikan barang miliknya tetapi Budi menolak, maka Ani
berusaha merebut barangnya dari si Budi. dalam perebutan ini Ani
terpaksa memukul Budi agar barang miliknya dikembalikan.
c. Serangan terhadap kehormatan adalah serangan yang berkaitan erat
dengan masalah seksual, seorang laki-laki hidung belang meraba buah
dada seorang prempuan yang duduk disebuah taman, maka dibenarkan
jika serangan berlangsung memukul tangan laki-laki itu. Tetapi sudah
tidak dikatakan suatu pembelaan terpaksa jika laki-laki tersebut sudah
37
pergi, kemudian perempuan tersebut mengejarnya dan memukulnya,
karena bahaya yang mengancam telah berakhir.34
Namun ada beberapa hal yang menyebabkan tidak berlakunya
pasal 49 ayat 1 KUHP jika:
a. Apabila serangan dari seseorang dikatakan belum dimulai dan juga
belum memenuhi syarat onmiddelijk dreigende (dikhawatirkan akan
segera menimpa)
b. Apabila serangan dari seseorang dikatakan telah selesai35
Istilah onmiddelijk dreigende tidak ada dalam pasal tersebut dari
KUHP belanda tetapi hanya disebut serangan ogenblikkelijk (seketika
itu). Vanhattum menceritakan bahwa dari rancangan KUHP belanda
tersebut, yang dimaksud dengan ogenblikkelijk juga meliputi onmiddelijk
dreigende, tetapi usulan tersebut ditolak oleh Perlemen belanda pada
tahun 1900 karena dikhawatirkan akan adanya penyalahgunaan.36
Tetapi dalam KUHP Indonesia yang mulai berlaku pada 1 Januari
1918 kata onmiddelijk dreigende (serangan tiba-tiba) ditambahkan.
Dengan alasan bahwa keadaan khusus di Indonesia karena sering terjadi
perampokan dalam suatu rumah. Apabila dalam hal ini para perampok itu
baru mendekati rumah yang akan dirampok, maka dianggap layak apabila
penghuni rumah melakukan tembakan kepada para perampok, setelah para
34Ibid., 43
38
perampok dari jauh mendekati rumah. Dalam kasus tersebut sudah
merupakan pelaku serangan yang onmiddelijk dreigende atau
dikhawatirkan akan segera menimpa.37
2. Syarat dan Unsur Pembelaan Terpaksa (Noodweer)
a. Harus ada serangan (aanranding), harus memenuhi syarat:
1) Serangan itu Harus Datang Mengancam dengan Tiba-Tiba
Dibolehkannya pembelaan terpaksa bukan saja pada saat
serangan sedang berlangsung akan tetapi sudah boleh dilakukan
pada saat adanya ancaman serangan. Artinya serangan itu secara
obyektif belum diwujudkan namun baru adanya ancaman
serangan.38
2) Serangan itu harus melawan hukum (wederrechtelijk)
Serangan tersebut tidak dibenarkan baik dari
undang-undang (melawan hukum formil) maupun dari sudut masyarakat
(melawan hukum materiil)
b. Terhadap serangan perlu dilakukan pembelaan diri39 harus memenuhi
syarat:
1) Harus merupakan pembelaan yang terpaksa
Benar-benar sangat terpaksa artinya tidak ada alternative
perbuatan lain yang dapat dilakukan dalam keadaan mendesak
37Ibid., 84.
38Adami Chazawi, Pelajaran Hukum . . ., 47.
39`Leden Marpaung, Unsur-unsur Perbuatan Yang Dapat Dihukum (Delik), (Jakarta:Sinar Grafika,
39
ketika ada ancaman, serangan atau serangan sedang mengancam.
Apabila seseorang mengancam dengan memegang golok akan
melukai atau membunuh orang lain, maka menurut akal masih
memungkinkan untuk lari, maka orang yang terancam itu harus lari.
Tetapi apabila kemungkinan untuk lari itu tidak ada atau sudah
mengambil pilihan lari tetapi masih dikejarnya, maka disini ada
keadaan yang terpaksa. Maka dari itu, pembelaan boleh dilakukan
jika sudah tidak ada pilihan perbuatan lain dalam usaha membela
dan mempertahankan kepentingan hukumnya yang terancam.
2) Pembelaan itu dengan serangan setimpal
Tindakan pembelaan terpaksa dilakukan sepanjang perlu
dan sudah cukup untuk pembelaan kepentingan hukumnya yang
terancam atau diserang artinya harus seimbang dengan bahaya
serangan yang mengancam.
c. Pembelaan harus dilakukan untuk membela diri sendiri atau orang lain,
peri kesopanan (kehormatan) diri atau orang lain, benda kepunyaan
sendiri atau orang lain. Diri berarti badan, kehormatan adalah
kekhususan dari penyerangan terhadap badan, yaitu penyerangan badan
40
d. Harus ada serangan atau ancaman serangan yang melawan hukum dan
seketika, berarti mempunyai syarat yaitu serangan seketika, ancaman
serangan seketika itu dan bersifat melawan hukum.40
e. Serangan yang dilakukan binatang, orang gila dan instrumen
security/keamanan.
Menurut Prof. Pompe yang berpendapat bahwa ‚Selama pencuri
menguasai barang curian masih dalam jangkauan si pemilik barang, maka
pemilik barang tersebut dapat melakukan noodweer untuk memperoleh
kembali miliknya.‛ Dengan selesai kejahatan pencurian tidaklah berarti
serangan sebagaimana dimaksud pasal 49 ayat (1) KUHP itu juga harus
dianggap selesai. Sedangkan menurut Prof. Van Bemmelen ‚Bahwa
noodweer tidak dapat dilakukan di dalam 2 peristiwa,‛ yaitu:
a. Peristiwa dimana suatu serangan yang bersifat melawan hukum itu
baru akan terjadi di masa yang yang akan datang
b. Peristiwa dimana suatu serangan yang bersifat melawan hukum itu
telah berakhir.41
Perbuatan yang masuk dalam pembelaan terpaksa pada dasarnya
adalah tindakan menghakimi terhadap orang yang berbuat melawan
hukum terhadap diri orang itu atau orang lain (eigenriching).42
Jika peristiwa pengroyokan seorang pencuri oleh bayak orang
dapat masuk pelampauan batas keperluan membela diri yang memenuhi
40Roeslan Saleh, Kitab Undang-undang Hukum pidana, (Jakarta: Aksara Baru, 1987), 76. 41Ibid., 77
41
syarat-syarat dari pasal 49 ayat 1 KUHP, maka orang-orang yang
mengeroyok tidak dapat dihukum. Tapi si pencuri berhak membela diri
(noodweer) terhadap pengroyokan sehingga mungkin melukai salah
seorang dari pengroyokan tersebut maka si pencuri tidak dapat dihukum
karena penganiayaan (mishandeling) yang didasarkan pasal 351 KUHP.
3. Pembelaan terpaksa yang melampaui batas (noodweer exces)
Pengertian pembelaan terpaksa melampaui batas menurut Van
Bemmelen noodweer exces adalah melawan hukum atau tidak tercela.
Pelampauan batas pembelaan terpaksa yang disebabkan oleh suatu
tekanan jiwa yang hebat karena adanya serangan orang lain yang
mengancam. Perbuatan pidana tetap ada tetapi unsur pertanggung
jawaban pidana terhapus.43 Berdasarkan pasal 49 ayat 2:
‚Pembelaan terpaksa yang melampaui batas, yang langsung disebabkan oleh kegoncanngan jiwa yang hebat karena serangan atau ancaman
serangan itu, tidak dipidana.44‛
Penafsiran dan terjemahan yang berbeda khususnya mengenai
‚hevigegemoedsbeweging‛ oleh Prof. Satochid Kartanegara SH
diterjemahkan dengan, Keadaan jiwa yang menekan secara sangat atau
secara hebat (tekanan jiwa yang hebat), sedang Tiraamidjaja
menerjemahkan dengan ‚gerak jiwa yang sangat‛, Utrecht
menerjemahkan ‚perasaan sangat panas hati‛. Karena terjadi
43Zainal Abidin Farid, Hukum Pidana 1, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007), 200
42
perbedaan mengenai terjemahan dalam pasal tersebut,maka harus
diuraikan komponen ‚nooodweer exes‛, yaitu: