• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENDAHULUAN. Tahun 2007 pintu gerbang bagi para investor. Melalui Undang-undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal,

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENDAHULUAN. Tahun 2007 pintu gerbang bagi para investor. Melalui Undang-undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal,"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

1 BAB I PENDAHULUAN 1.1Latar Belakang

Tahun 2007 pintu gerbang bagi para investor asing terbuka lebar. Melalui Undang-undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, investor asing memiliki kesempatan yang sama dengan investor lokal dalam berebut investasi. Undang-undang tersebut menjanjikan segenap kemudahan kepada para investor. Meskipun banyak menuai kontroversi, undang-undang tersebut tidak dibatalkan namun hanya mengalami revisi atau pembatalan pada sebagian pasal-pasalnya. Di sektor pertanahan, undang-undang ini dianggap sebagai bentuk menciptakan liberalisasi tanah atau menjadikan tanah sebagai barang komoditas/barang dagangan dan memberikan kemudahan kepada investor dalam berinvestasi, khususnya dalam mendapatkan tanah tanpa membedakan asal-usulnya investor.

Salah satu bentuk investasi yang ditawarkan pemerintah kepada investor asing adalah sektor pariwisata. Perlambatan pertumbuhan industri, menjadikan sektor pariwisata sebagai salah satu sektor yang dipilih pemerintah untuk mendorong pertumbuhan perekonomian (www.republika.co.id, 08/02/2016). Tahun 2014, sektor pariwisata nasional mampu menjadi penyumbang pemasukan ke kas negara urutan ke-4 atau sebesar 10 miliar dolar AS sehingga layak untuk dikembangkan. Melalui Kementerian Pariwisata, pemerintah mencoba menarik investor di sektor pariwisata melalui promo wisata dengan iming-iming harga tanah murah, misalnya untuk kawasan Bali Utara, Bintan dan Manado

(2)

2

(m.monitorday.com, 16/04/2016). Namun demikian, promo wisata yang dilakukan pemerintah dapat menjadi salah satu penyebab terjadinya pengambilalihan tanah masyarakat oleh investor (Noorloos, 2011), apabila pemerintah hanya berorientasi pada pertumbuhan ekonomi. Oleh sebab itu, konstruksi kebijakan pengembangan pariwisata harus dipersiapkan sebaik mungkin untuk menghadapi invasi investor asing, khususnya dalam menjamin dan melindungi hak-hak masyarakat atas tanah. Yogyakarta sebagai salah satu destinasi wisata di Indonesia harus berbenah. Pertumbuhan infrastruktur bangunan modern yang sangat pesat membuktikan bahwa Yogyakarta tidak lepas dari serbuan investor. Daya tarik wisata merupakan salah satu faktor penyebabnya. Keterlambatan mengantisipasi serbuan investor menimbulkan pro kontra di masyarakat. Pertumbuhan infrastruktur hotel dan pusat perbelanjaan modern yang masif di pusat kota Jogja menuai protes. Munculnya slogan “Jogja Ora Didol” yang berarti “Jogja tidak diperjualbelikan” menunjukkan keprihatinan masyarakat terhadap maraknya pembangunan infrastruktur hotel dan toko modern. Berbagai alasan penolakan seperti pencemaran lingkungan, penggusuran ruang publik, dan penurunan debit air mewarnai aksi masyarakat.

Tidak dapat dipungkiri bahwa sektor pariwisata di Yogyakarta memilki peran penting dalam mendukung perekonomian daerah. Selain memberikan peluang pekerjaan kepada masyarakat, sektor pariwisata mampu menyumbang pemasukan ke kas daerah total sebesar 236.955.587.960 rupiah pada tahun 2014 (Dinas Pariwisata D.I. Yogyakarta, 2015). Pembangunan infrastruktur dalam mendukung pertumbuhan ekonomi diperlukan, namun proses pembangunan harus

(3)

3

menjamin pemerataan distribusi dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat serta memperhatikan lingkungan (Buhaerah dkk, 2014 : v-vi). Hal tersebut sering terlupakan ketika mengukur pertumbuhan perekonomian, karena ukurannya bukan kesejahteraan masyarakat.

Kunjungan wisatawan di Yogyakarta dalam lima tahun terakhir mengalami peningkatan, hal tersebut dapat dilihat dari statistik kunjungan wisata ke Kota Yogyakarta sebagai berikut :

Tabel 1.1 Pertumbuhan jumlah wisatawan ke DI Yogyakarta 2009-2013 Tahun Wisatawan mancanegara Pertumbuhan (%) Wisatawan nusantara Pertumbuhan Wisman dan wisnus Pertumbuhan (%) 2010 152.843 9,57 1.304.137 1,37 1.456.980 2,17 2011 169.565 10,94 1.438.129 10,27 1.607.694 10,34 2012 197.751 16,62 2.162.422 50,36 2.360.173 46,80 2013 235.893 19,29 2.602.074 20,33 2.837.967 20,24 2014 254.213 7,77 3.091.967 18,83 3.346.180 17,91

Sumber : Dinas Pariwisata D.I. Yogyakarta 2015

Peningkatan jumlah wisatawan ke Yogyakarta dapat menjadi industri yang potensial dalam menambah pemasukan kas daerah maupun menciptakan lapangan pekerjaan bagi masyarakat Yogyakarta. Salah satu wilayah yang memiliki potensi wisata cukup baik untuk dikembangkan di Yogyakarta adalah Kabupaten Gunungkidul.

Peningkatan kunjungan wisatawan juga cukup pesat, hal ini dapat dilihat pada tabel sebagai berikut :

Tabel 1.2 Jumlah wisatawan per-daerah/tahun tingkat II di Provinsi D.I. Yogyakarta Tahun 2010-2014

No. Tujuan wisata Tahun 2010 Tahun 2011 Tahun 2012 Tahun 2013 Tahun 2014

(4)

4

2. Kab. Sleman 2.499.877 2.490.063 3.042.232 3.612.954 4.223.958

3. Kab. Bantul 1.300.042 2.378.209 2.378.209 2.037.874 2.708.816

4. Kab. Kulon Progo 444.125 546.797 596.529 695.850 904.972

5. Kab. Gunung Kidul 687.705 688.405 1.279.065 1.822.251 3.685.137

Jumlah wisatawan DIY 8.270.988 9.300.786 11.379.640 12.842.295 16.774.235

Sumber : Dinas Pariwisata D.I. Yogyakarta 2015

Tahun 2014, pertumbuhan jumlah kunjungan wisatawan tertinggi di Provinsi D.I. Yogyakarta adalah Kabupaten Gunungkidul dengan pertumbuhan kurang lebih mencapai 100 %. Kunjungan wisatawan didominasi oleh wisata alam khususnya wisata pantai dengan jumlah pengunjung sebesar 1.458.325 orang (40%) (Dinas Pariwisata D.I. Yogyakarta, 2014). Pada tahun 2015, sektor wisata Kabupaten Gunungkidul berkontribusi terhadap pendapatan asli daerah sebesar 20,9 miliar rupiah dari target awal sebesar 17, 4 miliar rupiah (7,3 % dari total PAD). Salah satu sektor wisata yang mendominasi pemasukan tersebut adalah

sektor wisata pantai sebesar ± 6,7 miliar rupiah (http://rri.co.id, 04/01/2016).

Namun demikian, perkembangan pariwisata di Gunungkidul turut diwarnai dengan maraknya peralihan penguasaan kepemilikan tanah. Setidaknya ditemukan 15 bidang tanah yang sedang dalam penawaran disepanjang jalan kawasan pesisir menuju objek wisata pantai yang berada pada 5 desa yang menjadi lokasi penelitian. Dalam sebuah perkembangan wilayah, fenomena dinamika penguasaan kepemilikan tanah (jual beli, sewa, ganti rugi) merupakan hal yang sulit dihindari. Salah satu penyebab perkembangan wilayah karena perumbuhan pariwisata. Dinamika sendiri bermakna sebagai adanya sebuah perubahan (Hollander, 1978:151). Dalam penelitian ini, dinamika dimaksudkan

(5)

5

sebagai terjadinya perubahan dalam penguasaan dan kepemilikan tanah. Dinamika tersebut dapat terjadi karena peningkatan kebutuhan tanah oleh pemilik modal, masyarakat, atau bahkan pemerintah. Pemilik modal atau masyarakat membutuhkan tanah untuk membuka usaha atau sekedar berinvestasi, sementara pemerintah membutuhkan tanah untuk penyediaan fasilitas umum yang mendukung perkembangan pariwisata.

Beralihnya kepemilikan tanah masyarakat khususnya melalui jual beli bukanlah perbuatan hukum yang dilarang. Hanya saja sebaiknya perlu diatur dengan batasan-batasan tertentu agar masyarakat tidak dirugikan mengingat perkembangan pariwisata cukup pesat. Jangan sampai masyarakat hanya menjadi penonton dari geliat pariwisata karena aset yang mereka miliki telah berpindah tangan kepada orang lain. Kebijakan pengaturan jual beli tanah masih sangat terbatas dan belum menyentuh fenomena akuisisi tanah karena sebab tertentu, misalnya karena perkembangan sebuah wilayah. Undang-undang Nomor 56 Tahun 1956 misalnya, didalamnya hanya mengatur larangan pemecahan tanah menjadi lebih kecil dari 2 hektar karena proses jual beli. Hal tersebut masih dikecualikan bagi tanah yang berasal dari waris sehingga perlu kebijakan yang lebih detil dalam mengatur jual beli tanah.

Pensertifikatan tanah masyarakat mungkin dapat menjadi salah satu solusi mekanisme kontrol dalam melindungi tanah masyarakat. Penelitian Yuliastuti (2013) di Kabupaten Sragen menyebutkan bahwa sertifikat tanah dapat menjadi penghambat terjadinya alih fungsi lahan. Hal tersebut cukup beralasan karena alih fungsi lahan biasa terjadi ketika tanah masyarakat telah dijual kepada

(6)

6

para investor untuk pembangunan permukiman dan infrasruktur lainnya. Larangan mengalihfungsikan tanah setidaknya mengurangi minat pemilik modal untuk membeli tanah masyarakat karena tidak dapat dijadikan tempat usaha. Selain itu, sertifikat tanah memberikan jaminan perlindungan dan kepastian hukum atas bidang tanah sehingga mencegah terjadinya penggusuran dan klaim sepihak atas bidang tanah oleh pihak lain.

Dilain pihak, pendapat lain diungkapkan oleh White, Borras, dan Hall (2014 dalam Pujiriyani dkk, 2014 : xx). Menurut mereka, pensertifikatan tanah justru mempermudah terjadinya akuisisi (pengambilalihan) tanah. Hal tersebut juga cukup beralasan karena dengan sertifikat tanah, data kepemilikan tanah tersedia dengan lengkap dan status hukum bidang tanah sudah jelas sehingga memudahkan para investor dalam memburu tanah-tanah tersebut. Namun demikian, dibalik kedua pendapat mengenai sertifikasi tanah tersebut kembali kepada komitmen pemerintah dan kesadaran pemilik tanah dalam melindungi dan mempertahankan tanah. Oleh sebab itu harus ada formulasi bagaimana pemerintah dapat memberikan perlindungan terhadap aset masyarakat sekaligus jaminan kepastian hukum melalui sertifikat tanah. Selain peran pemerintah, perlu di bentuk kesadaran masyarakat tentang perlunya memanfaatkan tanah yang mereka kuasai secara produktif sebagai sumber kesejahteraan sehingga menurunkan niat untuk menjual tanah meskipun ada iming-iming harga tanah mahal.

Kebijakan pengembangan pariwisata tidak hanya kebijakan yang bersifat eksploratif, namun harus memperhatikan kondisi sosial ekonomi masyarakat sekitar serta kelestarian lingkungan. Kesejahteraan masyarakat sebagai dampak

(7)

7

pengembangan kawasan wisata harus menjadi perhatian utama (Damanik dan Weber, 2006:107), sehingga kebijakan tersebut tidak semata-mata bertujuan untuk peningkatan PAD. Untuk mencapai tujuan tersebut, harus ada pemberdayaan dan keberdayaan masyarat untuk mengakses dan memanfaatkan sumber-sumber kehidupan di kawasan wisata dan sekitarnya. Pemberdayaan dan keberdayaan tersebut mencakup ketersediaan lapangan kerja dan perlindungan atas aset pertanahan dari serbuan investor. Masyarakat harus memiliki kedaulatan atas lahan yang mereka miliki (land sovereignity) dalam bentuk kontrol dan mendapat manfaat atas penggunaan tanah dalam konteks kewilayahan (Borras dan Franco, 2012). Artinya bahwa pengembangan wisata jangan sampai menghilangkan kekuasaan masyarakat terhadap sumber agaria (tanah) yang mereka miliki secara menyeluruh.

Pariwisata yang dibangun dengan asas pembangunan yang berkelanjutan akan mempertemukan antara pertumbuhan perekonomian, kesejahteraan masyarakat, dan kelestarian lingkungan. Namun perkembangan pariwisata yang tidak berorientasi pada pembangunan yang berkelanjutan akan menimbulkan dampak negatif pada sub sistem yang berhubungan dengan sistem kepariwisataan (Sunaryo, 2013:69). Pembangunan infrastruktur pendukung pariwisata yang berlebihan menyebabkan terjadinya alih fungsi tanah dan pengambilalihan tanah masyarakat, meskipun kedua hal tersebut tidak semata-mata disebabkan oleh pembangunan infrastruktur kepariwisataan.

Melihat dampak yang sangat luas dari aktivitas kepariwisataan, tidak dapat dipungkiri bahwa masalah lingkungan maupun urusan pertanahan

(8)

8

merupakan dua hal yang dapat terpengaruh oleh aktivitas perkembangan pariwisata. Hal tersebut dapat dilihat dalam tulisan Zommers (2010 : 438) bahwa pengembangan kegiatan pariwisata merupakan salah satu faktor yang dapat memicu terjadinya akuisisi tanah masyarakat. Dalam tulisan tersebut dijelaskan bahwa kebanyakan negara berkembang mendorong adanya investasi di bidang pariwisata karena mereka percaya bahwa pariwisata mampu memberikan pertumbuhan ekonomi secara cepat. Hal tersebut terbukti di Negara Cape Verde yang mengalami peningkatan indeks pembangunan manusianya, dari negara miskin menjadi menengah. Namun demikian, pertumbuhan indeks pembangunan manusia tersebut tidak dibarengi dengan perlindungan hak kepemilikan tanah kepada masyarakat lokal sehingga mereka terusir dari negaranya oleh kehadiran investor maupun tenaga kerja asing.

Hal tersebut seharusnya menjadi perhatian pemerintah bahwa dalam pengembangan pariwisata tidak semata-mata berorientasi pada pertumbuhan ekonomi, namun memperhatikan kesejahteraan masyarakat maupun kelestarian lingkungan. Keberadaan investor dalam kegiatan pengembangan wisata memang diperlukan, karena mereka yang memiliki modal. Namun sejalan dengan prinsip green tourism dan pro poor tourism, pengembangan pariwisata harus memberikan keuntungan langsung dan dilarang merugikan masyarakat disekitar destinasi wisata (Sunaryo, 2013:60). Green tourism dapat menjadi salah satu piranti menahan akuisisi tanah oleh investor karena menekankan pada pengurangan eksploitasi terhadap lingkungan wisata. Masyarakat harus diberdayakan dan dilibatkan dalam proses pengembangannya sehingga tidak sekedar menjadi

(9)

9

penonton. Masyarakat sebagai pemilik tanah memiliki hak untuk menentukan masa depan mereka melalui pengelolaan sumber daya agraria.

Pengembangan kawasan pariwisata juga menyebabkan kenaikan harga tanah. Potensi pariwisata yang tinggi memicu investor berebut tanah, sementara ketersediaan tanah relatif tetap sehingga memicu kenaikan harga tersebut. Hal tersebut selaras dengan pendapat Cohen (1984, dalam I Gde Pitana & Putu G. Gayatri, 2005 ), kenaikan harga tanah merupakan salah satu konsekuensi dari pengembangan kawasan pariwisata. Tingginya harga tanah dapat mendorong penjualan tanah oleh masyarakat. Ketika tanah telah terjual, masyarakat kecil tidak mampu mengaksesnya kembali karena keterbatasan kemampuan finansial sehingga tergusur ke daerah diluar kawasan wisata yang masih terjangkau (Utama, 2014:156). Sebagai bagian dari dinamika yang terjadi karena perkembangan pariwisata, sebaiknya pemerintah perlu mengendalikan harga tanah dengan mekanisme tertentu, misalkan dengan menetapkan harga pasaran tanah tertinggi yang mengacu pada peta zona nilai tanah yang ada di kantor pertanahan setempat. Terintegrasinya sektor tata ruang dan pertanahan ke dalam satu kementerian diharapkan segera ditindaklanjuti sampai tingkat daerah. Melalui dua sektor ini diharapkan mampu menjadi pengendali alih fungsi tanah melalui penataan ruang sebagai dampak praktek pengambilalihan tanah masyarakat.

Beberapa kegiatan pembangunan dengan dalih mendorong iklim investasi dan beberapa alasan pertumbuhan ekonomi berdampak pada hilangnya hak atas tanah masyarakat. Penelitian yang dilakukan oleh Dicki Dwi Ananta (2015) di Kabupaten Karawang menjelaskan bahwa akuisisi tanah masyarakat

(10)

10

petani terjadi karena kebijakan perluasan kawasan industri Jawa Barat. Kebijakan pengembangan industri membutuhkan lahan yang luas sementara ketersediaan lahan terbatas. Hal yang sangat mungkin terjadi adalah penggusuran tanah masyarakat dengan dalih kepentingan pembangunan. Peristiwa ini lebih identik dengan istilah perampasan lahan (land grabing).

Pengambilalihan tanah masyarakat sebagai dampak industri wisata juga terjadi di Provinsi Bali. Penelitian yang dilakukan oleh IGN Oka Sandika P.P. (2013) di Provinsi Bali menjelaskan bahwa pengembangan wisata di Provinsi Bali menciptakan pengambilalihan lahan masyarakat lokal oleh orang asing melalui jual beli. Wisatawan yang datang terdiri dari dua jenis, yaitu wisatawan yang datang sekedar berwisata dan wisatawan yang datang sekaligus untuk berbisnis. Wisatawan kategori kedua tersebut yang mendorong terciptanya akuisisi tanah masyarakat. Kemudahan berinvestasi di Indonesia dengan harga relatif murah merupakan salah satu faktor pendorong masuknya investor asing sebagai aktor akuisisi tanah. Salah satu petimbangan pembelian tanah masyarakat bagi orang asing adalah jaminan keamanan aset. Tanah sebagai aset harus dilengkapi dengan suatu hak atas tanah untuk memberikan jaminan kepastian hukum. Sebagaimana diatur dalam pasal 16 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA), hak atas tanah terkuat dan terpenuh yang dapat dimiliki seseorang atas tanah adalah hak milik. Namun pemberian hak milik atas tanah bagi orang asing terbentur oleh pasal 21 undang-undang tersebut. Oleh sebab itu terjadilah praktek penyelundupan hukum dalam jual beli tanah di Bali yang disebut dengan istilah nomine. Istilah tersebut berarti bahwa orang asing

(11)

11

memiliki tanah dengan meminjam nama warga pribumi dengan sebuah perjanjian. Dengan meminjam nama warga pribumi, aset orang asing atas tanah dapat diberikan dengan sebuah hak milik.

Dalam konteks pengembangan pariwisata di Kabupaten Gunungkidul, saat ini telah terjadi praktek jual beli tanah pada beberapa lokasi disekitar kawasan pariwisata, khususnya wisata pantai (Damayanti, 2015:85). Disepanjang kanan kiri jalan yang menghubungkan antar objek wisata pantai Kabupaten Gunungkidul banyak ditemukan papan iklan penjualan tanah oleh para pemiliknya. Dalam beberapa tahun kedepan, praktek akuisisi tanah sangat mungkin terjadi dalam jumlah yang lebih besar. Hal tersebut didorong oleh proses pembangunan jalur jalan lintas selatan yang sedang dilaksanakan oleh pemerintah sebagai bagian integral dari pembangunan bandar udara baru di Kulon Progo.

Praktek jual beli tanah masyarakat akan menciptakan penumpukan penguasaan tanah pada kelompok tertentu yang memiliki modal. Akumulasi kapital khususnya tanah, akan menempatkan masyarakat dalam posisi lemah. Dampak ketimpangan struktur penguasaan tanah pada kawasan wisata akan terasa ketika objek-objek wisata tersebut telah berkembang dan dikuasai oleh pemilik modal. Masyarakat hanya dapat bekerja sebagai karyawan, namun tidak punya kekuasaan atas tanah yang telah dijual. Akan lebih berbahaya jika tanah yang telah dibeli oleh investor tidak dapat memberikan kesejahteraan kepada masyarakat. Tanah yang tidak segera dimanfaatkan sebagai unsur penunjang pengembangan kawasan wisata akan menjadikan tanah terlantar yang berpotensi menimbulkan konflik penguasaan tanah. Penerlantaran tanah terjadi ketika

(12)

12

investor menjadikan tanah sebagai barang komoditi (Wiradi, 2009:33) dengan maksud mencari untung ketika ada investor lain akan membeli dengan harga lebih tinggi. Tanah sebagai barang komoditas merupakan bentuk dari akumulasi kapital (Luthfi, 2012 : x) oleh para pemilik modal yang berdampak pada terbatasnya akses masyarakat dalam memiliki tanah.

Pengalaman pada beberapa wilayah di Indonesia, konflik penguasaan tanah terjadi ketika para pemiliknya menerlantarkan tanah sehingga diokupasi oleh masyarakat secara ilegal. Pada suatu saat ketika tanah diambil oleh pemiliknya untuk pembangunan infrastruktur atau digunakan dalam bentuk apapun akan menimbulkan benturan dengan para pelaku okupasi tanah. Penerlantaran tanah tersebut saat ini sedang terjadi pada beberapa lahan masyarakat yang telah dijual kepada investor, meskipun dibeberapa lokasi seperti kawasan Pantai Baron dan Wediombo (http://news.merahputih.com, 06/1/2015) telah mulai dibangun beberapa infrastruktur akomodasi seperti perhotelan dan kuliner.

Berkaitan dengan hal tersebut seharusnya pemerintah sudah membuat regulasi untuk mengatur bagaimana transaksi peralihan hak atas tanah dibatasi. Kebijakan pengembangan kawasan wisata sebagai salah satu sumber pendapatan asli daerah dapat dilakukan tanpa harus mengesampingkan kepentingan masyarakat. Pemanfaatan sumber daya agraria sebagai bagian dari pengembangan kawasan wisata harus melibatkan masyarakat lokal dan memberikan manfaat yang optimal kepada mereka (Damanik dan Weber, 2006:25).

(13)

13

Melihat penguasaan kepemilikan tanah disepanjang jalan kawasan pantai Kabupaten Gunungkidul cukup dinamis karena transaksi jual beli dan lain sebagainya, penulis tertarik untuk meneliti tentang dinamika penguasaan kepemilikan tanah terkait dengan perkembangan pariwisata di Kabupaten Gunungkidul.

1.2Rumusan masalah

Berdasarkan pada uraian diatas, penelitian ini merumuskan permasalahan sebagai berikut :

1. Bagaimana dinamika penguasaan dan kepemilikan tanah dalam

perkembangan pariwisata di Kabupaten GunungKidul ?

2. Bagaimana peran pemerintah dalam menyikapi maraknya praktek jual beli

tanah pada kawasan pesisir Kabupaten Gunungkidul ? 1.3 Tujuan Penelitian

Terkait dengan perumusan masalah diatas, penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui :

1. Dampak perkembangan wisata terhadap dinamika penguasaan dan

kepemilikan pertanahan di sekitar kawasan wisata pantai

2. Peran pemerintah dalam menyikapi maraknya jual beli tanah pada

kawasan pesisir 1.4 Manfaat Penelitian

1. Manfaat akademis

Secara akademis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan wawasan bahwa perkembangan pariwisata memiliki sektor terdampak yang ikut

(14)

14

berkembang, salah satunya adalah sektor pertanahan. Sektor pertanahan

menjadi dinamis karena peningkatan kebutuhan tanah untuk

pengembangan usaha pariwisata sehingga menyebabkan peningkatan praktek jual beli tanah.

2. Manfaat praktis

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan bagi pemerintah daerah maupun instansi lain yang berkompeten dalam pengelolaan pariwisata maupun pertanahan. Bahwa perkembangan pariwisata beriringan dengan peralihan kepemilikan tanah sebaiknya segera perlu diatur agar tidak menghilangkan penguasaan tanah masyarakat.

1.5 Sistematika Penulisan

Tulisan ini disusun menjadi tujuh bab, yang menjelaskan tentang hal-hal sebagai berikut :

Bab I berisi tentang alasan pentingnya penelitian mengenai dinamika penguasaan kepemilikan tanah terkait dengan perkembangan pariwisata. Penelitian ini diawali oleh pemikiran bahwa perkembangan pariwisata disuatu wilayah akan menimbulkan akuisisi tanah masyarakat bila tidak diatur dengan kebijakan yang berpihak pada masyarakat lokal. Pada bab ini juga disampaikan contoh penelitian yang menjelaskan proses akuisisi tanah masyarakat yang disebabkan karena pertumbuhan pusat perekonomian, salah satunya adalah pariwisata.

(15)

15

Bab II memuat kajian pustaka yang menjelaskan beberapa hasil penelitian, pendapat ahli yang memiliki keterkaitan dengan penelitian ini yang akan digunakan dalam menjawab rumusan masalah. Pada bab ini juga dijelaskan beberapa penelitian akademis yang pernah dilakukan yang ada keterkaitannya dengan tema penelitian yang dilakukan. Beberapa penelitian yang pernah dilakukan disajikan untuk menunjukkan keaslian atau perbedaan tema dengan penelitian yang akan dilakukan. Untuk menjelaskan motivasi penelitian ini, dapat dilihat pada kerangka berpikir dibagian akhir bab ini.

Pada Bab III menjelaskan metode penelitian yang digunakan. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif karena dirasa lebih tepat utuk menjelaskan fenomena sosial. Permasalahan agraria khususnya urusan pertanahan berkaitan erat dengan permasalahan sosial.

Bab IV akan menjelaskan diskripsi lokasi penelitian. Pada bab ini juga dibahas mengenai kondisi umum wilayah Kabupaten Gunung Kidul, potensi wilayah dan perkembangan pariwisatanya, serta secara spesifik akan menjelaskan lokasi penelitian menurut wilayah administrasi. Potensi wisata dan jumlah kunjungan wisatawan di lokasi penelitian juga akan dicoba disajikan dalam bentuk daftar pada bagian Bab IV. Jumlah kunjungan wisatawan dan maraknya praktek jual beli tanah di kawasan pesisir yang berada di Desa Kemadang, Banjarejo, Ngestirejo, Sidoharjo, dan Tepus menjadi alasan pemilihan lokasi penelitian

Pada Bab V terdiri dari 3 Subbab yang menjelaskan hasil analisis tentang perkembangan pariwisata Kabupaten Gunungkidul, dinamika penguasaan

(16)

16

kepemilikan tanah terkait perkembangan pariwisata di Kabupaten Gunungkidul. Subbab terakhir dalam bab ini menjelaskan tentang konflik penguasaan tanah pada salah satu objek wisata pantai.

Bab VI menjelaskan tentang peran pemerintah dalam menyikapi maraknya jual beli tanah pada kawasan pesisir Kabupaten Gunungkidul. Bagian ini menjelaskan tentang tindakan pemerintah yang telah dilakukan untuk mengantisipasi atau setidaknya meminimalisir praktek jual beli tanah.

Bab VII berisi tentang kesimpulan dan saran. Kesimpulan akan menjelaskan secara ringkas hasil analisis data dan informasi yang telah dibahas pada Bab V dan VI. Sedangkan rekomendasi akan diusulkan kebijakan untuk otoritas yang berwenang terkait bagaimana meminimalisir transaksi jual beli tanah, pengendalian harga tanah, dan menciptakan tertib adminisrasi pertanahan sebagai salah satu kontrol kepemilikan tanah sekaligus mengantisipasi konflik pertanahan.

Gambar

Tabel 1.2 Jumlah wisatawan per-daerah/tahun tingkat II di Provinsi D.I.

Referensi

Dokumen terkait

Data menunjukkan bahwa pengaruh orientasi instrinsik terhadap daya pikir mencapai 5,1%. Walau terkesan sangat sedikit, dimana 94,9% lainnya dipengaruhi oleh faktor

Penelitian yang telah dilakukan pada siswa kelas V SDN 2 Mundar ini dapat disimpulkan (1) Pelaksanaan pembelajaran melalui penerapan metode eksperimen pada materi

يلوصألا ثحبلاو ةغللا ملع تايرظن ءاقتلا نإ لوقن نأ نكمي قبس امم رصانع يف عقي امنإو هقفلا لوصأ ملع ةينب بلص سمت ال نييلوصألا تاباتك يف طبتري تاهج كانه نأ الإ

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah dilakukan secara umum dapat diambil kesimpulan bahwa tindak tutur ilokusi pada aktor dalam pementasan drama

Hal ini ditunjukkan dengan nilai signifikansi sebesar 0.031< 0.05 adanya perbedaan signifikan ini menunjukan bahwa Bank Asing memiliki kemampuan yang lebih baik

Hubungan antara Kecerdasan Emosi dengan Kecerdasan Menghadapi Pensiun pada Pegawai Bank BRI.. Jurnal Studi Manajemen &

Ikan yang diberi pakan dengan tambahan Cr*3 1.5 ppm memberikan laju pertumbuhan harian lebih besar dibandingkan dengan kontrol meskipun ikan mengonsumsi sejumlah pakan dengan

Untuk memudahkan dalam menganalisis data, maka variabel yang digunakan diukur dengan mempergunakan model skala 5 tingkat (likert) yang memungkinkan pemegang polis dapat