• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL DAN PEMBAHASAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "HASIL DAN PEMBAHASAN"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

2011 sampai dengan Agustus 2012 direkapitulasi. Tahap kedua adalah pemeriksaan terhadap pasien kucing yang datang menggunakan metode Wood’s

lamp screening test. Hasil pemeriksaan berupa warna fluoresen di bawah Wood’s lamp difoto menggunakan kamera digital. Karakteristik kasus berupa warna

pendar di bawah Wood’s lamp, lesio yang tampak dan gejala klinis penyakit dianalisis dan dibahas beserta cara pengobatannya berdasarkan studi literatur.

Lokasi dan Waktu Penelitian

Pengumpulan data penelitian dilakukan di Maximus Pet Care kota Bogor. Rekapitulasi rekam medik pasien yang berobat pada rentang September 2011 sampai dengan Agustus 2012 dilakukan pada tanggal 6-12 Oktober 2012. Pemeriksaan intensif menggunakan Wood’s lamp screening test dimulai pada tanggal 13 Oktober sampai 6 November 2012.

Bahan

Bahan penelitian adalah kucing yang mandi perawatan, mandi pengobatan, dan pasien kucing rawat inap di Maximus Pet Care selama masa penelitian berlangsung.

Alat

Alat yang digunakan adalah Wood’s lamp, kamar gelap dan kamera digital SLR Canon EOS 500D.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Rekapitulasi Kasus Mikosis Kutis di Maximus Pet Care

Pemilik hewan datang ke Maximus Pet Care pada umumnya membawa hewannya untuk berobat, pemeriksaan kesehatan rutin, vaksinasi, rawat jalan, mandi sehat, atau mandi pengobatan (jamur atau ektoparasit). Data pasien yang datang untuk berobat pertama di Maximus Pet Care pada rentang September 2011 sampai dengan Agustus 2012 dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1 Data pasien berobat pertama dan didiagnosis terinfeksi mikosis kutis pada kurun waktu September 2011 sampai dengan Agustus 2012 berdasarkan rekapitulasi rekam medik pasien Maximus Pet Care (n=1740 ekor)

Jenis hewan Pasien berobat pertama

Pasien didiagnosis terinfeksi mikosis kutis

n % n %

Kucing 1227 70,5 192 15,6 Anjing 441 25,3 53 12 Lain-lain* 72 4,2 5 6,9 Total 1740 100 250

*) kelinci, primata, burung, ayam, kura-kura, kambing, domba, marmut n : jumlah individu

(2)

Pasien dengan jumlah terbanyak yang tercatat di rekam medik Maximus Pet Care dalam kurun waktu September 2011 sampai dengan Agustus 2012 adalah kucing, yaitu sebanyak 70,5% dari keseluruhan pasien. Sebanyak 192 ekor (15,6%) dari populasi 1227 ekor kucing didiagnosis terinfeksi mikosis kutis. Metode yang digunakan dalam mendiagnosis adalah dengan pemeriksaan fisik. Menurut Tewari (2002), jamur yang sering menginfeksi kulit dan rambut hewan kesayangan adalah Dermatofita (Microsporum, Trichophyton, Epidermophyton),

Sporotrix, Cryptococcus, dan Malassezia. Data rekapitulasi merupakan data

pasien yang sakit dan berobat pertama, bukan merupakan ulangan dari proses rawat jalan. Data tidak termasuk pasien yang datang untuk vaksinasi dan pemeriksaan kesehatan rutin.

Berdasarkan hasil rekapitulasi data rekam medik, rata-rata kasus mikosis kutis yang terjadi pada kucing selama satu tahun adalah 16 ekor setiap bulannya. Menurut Medleau dan Hnilica (2006), kucing berambut panjang merupakan predisposisi terjadinya dermatofitosis. Jumlah pasien kucing yang terinfeksi mikosis kutis tertinggi selama satu tahun yaitu sebanyak 23 pasien dan infeksi terbanyak terjadi pada bulan Oktober 2011. Suhu rata-rata kota Bogor selama satu tahun adalah 25,8°C dengan tingkat kelembaban rata-rata 81% (Tabel 3).

Tabel 2 Data suhu dan kelembaban udara rata-rata kota Bogor periode September 2011 sampai dengan Oktober 2012 (BMKG, 2012)

Bulan Suhu (ºC) Kelembaban Udara (%) September-11 25.1 73 Oktober 26.3 75 November 25.3 80 Desember 26.1 84 Januari-12 25.1 86 Februari 25.6 87 Maret 26.0 80 April 26.0 86 Mei 26.1 85 Juni 26.2 81 Juli 25.8 79 Agustus 25.8 74 Rata-rata 25,8 81

Faktor lain yang mempengaruhi jumlah infeksi mikosis kutis adalah mikroklimat yang meliputi manajemen pakan (kandungan nutrisi, jenis pakan yang diberikan), imunitas masing-masing individu, frekuensi kontak dengan antigen, dan metode perawatan seperti mandi dan grooming serta obat-obatan yang dipakai. Transmisi dapat terjadi melalui kalung, sikat atau mainan yang terkontaminasi (Horzinek, 2012). Perlu dilakukan pengamatan dengan kurun waktu sekurang-kurangnya lima tahun untuk menentukan pola epidemiologi penyakit mikosis kutis dan profil cuaca yang berkorelasi dengan jumlah kejadian infeksi mikosis kutis di suatu wilayah.

(3)

Screening Test dengan Menggunakan Wood’s lamp

Pada tahap kedua, selama periode penelitian didapatkan 176 sampel kucing yang datang diantaranya untuk mandi sehat, mandi pengobatan, titip sehat dan rawat inap. Pemeriksaan menggunakan Wood’s lamp dilakukan menyeluruh pada semua sampel untuk mengetahui kasus mikosis kutis yang riil pada pasien kucing. Jumlah kasus mikosis kutis yang tercatat di rekam medik Maximus Pet Care pada periode September 2011 sampai Agustus 2012 dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 3 Pasien yang didiagnosis mengalami infeksi mikosis kutis pada periode September 2011 sampai Agustus 2012

Jumlah pasien

Total Kucing Anjing Lain-lain*

September 22 7 0 29 Oktober 23 4 1 28 November 13 7 0 20 Desember 11 3 1 15 Januari 16 3 2 21 Februari 12 2 0 14 Maret 17 4 0 21 April 20 8 0 28 Mei 14 3 0 17 Juni 16 5 0 21 Juli 16 3 1 20 Agustus 12 4 0 16 Total 192 53 5 250 Rata-rata 16,00 4,42 0,42 20,83 *) kelinci, primata, burung, ayam, kura-kura, kambing, domba, marmut

Menurut ESCCAP (2011), screening test merupakan metode yang cepat dan baik untuk menyeleksi dan mendiagnosis hewan yang keluar masuk penampungan atau penitipan hewan. Wood’s lamp sangat baik untuk mendiagnosis infeksi dermatofita dan akan menunjukkan fluoresen berwarna kuning kehijauan (hijau lemon). Fluoresen diakibatkan oleh senyawa metabolit triptofan yang dihasilkan beberapa spesies dermatofita termasuk M.canis (Horzinek, 2012). Hasil pengamatan selama pemeriksaan dengan Wood’s lamp screening test, semua pasien dengan nilai positif menunjukkan pendar berwarna hijau lemon di bawah

Wood’s lamp. Warna ini merujuk pada infeksi dermatofita. Hasil screening test

pada pasien kucing di Maximus Pet Care dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4 Hasil Wood’s lamp screening test pada sampel kucing

Hasil Pemeriksaan N % Fluoresen positif 111 63 Fluoresen negatif 65 37

Total 176 100

n : jumlah individu

Dermatofitosis adalah infeksi jamur pada rambut dan stratum korneum yang disebabkan jamur yang bersifat keratinofilik. Kejadian dermatofitosis banyak ditemukan pada anjing dan kucing muda, hewan dengan kekebalan tubuh rendah

(4)

dan kucing berambut panjang. Kucing ras Persia menjadi salah satu predisposisi penyakit ini (Horzinek, 2012).

Bagian kulit atau rambut yang terdapat lesio diutamakan untuk diperiksa di bawah Wood’s lamp. Pemeriksaan dilanjutkan ke area di sekitar lesio untuk menemukan penyebaran infeksi dermatofita. Apabila tidak terdapat lesio apapun, pemeriksaan dilakukan menyeluruh mulai dari kepala hingga ekor. Sebanyak 111 kucing (63%) menampakkan pendar fluoresen di bawah Wood’s lamp dan sisanya sebanyak 65 ekor tidak menampakkan fluoresen (Tabel 4). Fluoresen dapat berasal dari kulit yang terdapat lesio maupun yang tidak terdapat lesio (Gambar 2). Bagian batang rambut sering ditemukan berpendar hijau lemon pada area yang tidak menunjukkan lesio secara klinis. Pemeriksaan dengan meggunakan Wood’s

lamp sangat bergantung pada kemampuan mengamati dan kejelian pemeriksa

dalam membedakan warna pendar.

(a) (b)

Gambar 2 Pendar fluoresen oleh dermatofita pada permukaan batang rambut yang patah (a) dan rambut normal (b) tanpa lesio pada kulit

Pada saat pemeriksaan, ditemukan pula lesio klinis seperti kolaret epidermis dan alopesia di beberapa bagian tubuh yang tidak menampakkan warna hijau lemon di bawah Wood’s lamp. Menurut Jamestown (2010), rambut yang terinfeksi dermatofita T. mentagrophytes, M. persicolor, M. gypseum tidak akan berpendar.

Wood’s lamp baik digunakan untuk memeriksa dermatofitosis yang diakibatkan

oleh spesies M. canis. Sekitar 30-50% strain M.canis memperlihatkan efek fluoresen positif di bawah Wood’s lamp (Budgin, 2011). Perlakuan mandi atau membersihkan daerah lesio dengan zat-zat antiseptik akan menghilangkan metabolit triptofan pada kulit atau rambut yang terinfeksi dan menghasilkan negatif palsu pada saat pemeriksaan dengan Wood’s lamp. Beberapa jenis obat-obatan topikal berbahan dasar etakridinlaktat (Rivanol®) juga dapat mengacaukan fluoresen (Gambar 3). Kelemahan dari metode pemeriksaan dengan Wood’s lamp adalah hasil negatif pada pemeriksaan ini tidak menyingkirkan kemungkinan adanya infeksi dermatofitosis (DJJ, 2011). Diagnosa banding untuk penyakit ini diantaranya adalah dermatitis secara umum, furunculosis, demodecosis, dan psoriasis (Angus et al. 2004).

(5)

Gambar 3 Fluoresen positif palsu yang dihasilkan akibat penggunaan etakridinlaktat (Rivanol®)

Fluoresen positif juga ditemukan pada kucing berusia muda. Sebanyak lima ekor dari keseluruhan sampel merupakan kucing berusia sekitar tiga bulan. Semuanya terinfeksi dermatofitosis yang lebih parah dari sampel lainnya. Ditemukan alopesia multifokal yang hampir menyeluruh, kerak di seluruh bagian yang mengalami kerontokan rambut dan hiperpigmentasi (Gambar 4). Kucing muda memiliki risiko jauh lebih tinggi dibandingkan kucing dewasa. Hal ini disebabkan antara lain karena sistem imunitas kucing muda masih berkembang sehingga belum mampu menghasilkan antibodi yang spesifik terhadap antigen yang masuk ke dalam tubuhnya.

(a) (b)

Gambar 4 Alopesia multifokal dan hiperpigmentasi di wajah (a) dan ekstremitas (b) pada kucing berusia tiga bulan

Dermatofita mengalami dua fase selama siklus hidupnya, yaitu anamorf dan teleomorf. Anamorf adalah fase dimana reproduksi aseksual (somatis) terjadi dan dapat dibedakan secara morfologis. Pada fase ini, dermatofita mensporulasikan mikrokonidia dan makrokonidia yang dihasilkan oleh sel-sel konidia. Teleomorf adalah fase reproduksi yang terjadi secara seksual, fase ini melalui tahap peleburan dua plasma membran (plasmogami) kemudian dilanjutkan dengan dua inti (karyogami) menghasilkan inti diploid (Simpanya, 2000). Kedua fase berlangsung pada tubuh inangnya (Gambar 5).

(6)

Gambar 5 Bagan siklus reproduksi dermatofita (Cummings, 2008)

Ciri-ciri Dermatofitosis pada Kucing

Inspeksi dan palpasi dilakukan untuk menemukan perubahan-perubahan yang terjadi pada permukaan kulit sebelum dilihat secara keseluruhan menggunakan Wood’s lamp. Pemeriksaan permukaan kulit harus dilakukan lebih teliti pada kucing berambut panjang dengan cara menyisir menggunakan telapak tangan ke arah berlawanan dengan arah tumbuhnya rambut. Lesio yang ditemukan pada sampel sangat beragam berdasarkan letaknya di permukaan tubuh. Berdasarkan pengamatan, bagian tubuh yang ditemukan sering terserang dermatofita adalah wajah, daun telinga, bagian dorsal tubuh, ekor, dan ekstremitas. Bentuk lesio yang ditemukan antara lain adalah alopesia fokal atau multifokal, kerak, follicular cast, keropeng, papula, dan kolaret epidermis (Gambar 5).

Gambar 6 Lesio kolaret epidermis pada permukaan kulit kucing yang terinfeksi dermatofita

Bentuk infeksi dermatofita pada tubuh inangnya dapat berupa lokal, multifokal dan menyeluruh. Lesio dapat berbentuk circular, irregular atau diffuse.

(7)

Gejala yang tampak pada kucing dermatofitosis antara lain erithema, papula, crust,

seborrhea dan paronychia atau onychodystrofi (Medleau dan Hnilica, 2006). Pada

hewan sakit, batang rambut menjadi mudah patah dan fragmen rambut yang mengandung arthrospora sangat efisien dalam menyebarkan infeksi.

Menurut DeBoer dan Moriello (2006), lebih dari 90% kasus dermatofitosis pada kucing di seluruh dunia disebabkan oleh M. canis. T. mentagrophytes dan M.

gypseum memiliki potensi penyebaran yang rendah dari hewan ke hewan dan

tidak dinyatakan sebagai agen zoonotik yang berpotensi tinggi (Robertson, 2009). Semua jenis Microsporum, kecuali M. gypseum menghasilkan enzim proteolitik dan keratolitik yang membuat organisme ini mampu menggunakan keratin sebagai sumber nutrisi, dan mengkeratinisasi bagian dari jaringan epidermal. Jaringan keratin yang digunakan antara lain berasal dari stratum korneum dan rambut, terkadang kuku (Horzinek, 2012).

Faktor-faktor yang menjadi predisposisi antara lain adalah umur (sampai dengan dua tahun), kondisi imunosupresi atau terapi imunosupresan, penyakit lain, defisiensi nutrisi (khususnya protein dan vitamin A), suhu dan kelembaban yang tinggi (DeBoer dan Moriello, 2006). Trauma kulit yang disebabkan oleh meningkatnya kelembaban, luka gigitan ektoparasit atau aktivitas menggaruk juga merupakan pintu gerbang terjadinya infeksi. Secara umum, higiene yang buruk merupakan faktor predisposisi. Pada kelompok hewan yang terlalu padat, tingkat stres juga merupakan faktor predisposisi (Horzinek, 2012).

Masa inkubasi dermatofita adalah satu sampai tiga minggu. Hifa tumbuh di sepanjang permukaan rambut melalui stratum korneum menuju folikel selama periode ini, yang akan membentuk spora dan membentuk lapisan tebal disekitar batang rambut (Moriello, 2004). Dermatofitosis jarang terjadi berulang pada satu individu karena dapat menggertak imunitas yang efektif dan bersifat jangka panjang. Studi eksperimental membuktikan bahwa hewan menunjukkan peningkatan resistensi pada paparan yang diulang dengan spesies jamur yang homolog. Infeksi ulang dapat terjadi, namun membutuhkan lebih banyak spora dan infeksi ulang tersebut biasanya sembuh lebih cepat (DeBoer dan Moriello, 2006).

Kultur Dermatofita pada Media sebagai Metode Diagnostik yang Spesifik untuk Dermatofitosis

Menurut Robertson (2009), kultur pada media agar adalah satu-satunya metode diagnostik terhadap dermatofita yang dapat dipercaya. Media yang biasa digunakan adalah Dermatophyte Test Media (DTM). Agar akan berubah warna dari oranye menjadi merah sebagai reaksi terhadap perubahan pH. Semua jamur patogen akan mengubah warna DTM menjadi merah, tetapi perubahan warna menjadi merah tidak selalu mengindikasi suatu spesies patogen (Newbury, 2009). Media lain yang sering digunakan adalah agar dekstrosa Saboraud atau Rapid

Sporulating Media. Kelompok jamur dermatofita juga akan mengubah warna

kedua media menjadi merah. Koloni M. canis dapat diamati setelah enam sampai sepuluh hari kultur. Koloni yang tampak datar, menyebar, berwarna putih sampai krem, memiliki tekstur seperti katun yang padat, permukaannya bergranul kasar seperti helai-helai rambut dan memiliki alur melingkar. Koloni biasanya memiliki pigmen kuning emas sampai kecoklatan atau tidak berpigmen. Pemeriksaan mikroskopis dilakukan untuk mengidentifikasi spesies dermatofita setelah kultur

(8)

dilakukan. M. canis menghasilkan hifa bersepta, makrokonidia dan mikrokonidia yang jumlahnya lebih sedikit atau jarang (CMPT, 2007).

Pengobatan pada Kucing Dermatofitosis dan Vaksin untuk Dermatofita Pengobatan untuk dermatofitosis adalah kombinasi antara topikal dan sistemik (Westhoff et al., 2010). Hewan yang terinfeksi dermatofita harus dikarantina atau dipisahkan dari hewan lainnya karena penyakit ini menular. Semua hewan yang terinfeksi dan yang tidak menimbulkan gejala klinis (asimptomatis) dalam satu lingkungan harus diberikan terapi topikal, termasuk pemberian salep, sampo atau dipping dengan obat-obatan antifungal. Obat-obatan yang bekerja sebagai antijamur sebagian besar bekerja menghambat pembentukan senyawa sterol yang terdapat pada dinding sel jamur. Pengobatan topikal dilakukan sampai didapatkan hasil negatif pada media kultur (Jamestown, 2010).

Rambut kucing dengan jumlah lesio yang sedikit harus dicukur dari batas lesio sampai ke area sekitarnya. Pencukuran bertujuan untuk mencegah penyebaran infeksi. Prosedur terapi topikal yang paling efektif adalah pengobatan dengan larutan enilconazole 0,2% di seluruh tubuh sebanyak dua kali seminggu (DeBoer dan Moriello, 2006). Terapi yang efektif lainnya adalah mandi dengan miconazole 2% ditambah atau tanpa chlorhexidine 2% dua kali seminggu. Larutan kalsium polisulfida (lime sulphur) menjadi pilihan terapi yang baik dan sering digunakan di Amerika (Vlaminck dan Engelen, 2004).

Hewan yang tidak memberikan respon terhadap pengobatan topikal selama dua sampai empat minggu dapat diberikan tambahan obat-obatan oral untuk memutus rantai infeksi dengan lebih cepat. Obat-obatan sistemik oral yang umum digunakan adalah griseofulvin, namun beberapa spesies telah resisten. Disamping itu, beberapa hewan khususnya kucing tidak dapat mentoleransi griseofulvin dan dapat menimbulkan efek samping yang serius bahkan fatal karena sumsum tulang yang terbebani (bone marrow suppression). Menurut Taylor (2010), gejala pada

bone marrow suppression antara lain penurunan jumlah eritrosit, leukosit dan

platelet. Perlu dilakukan pemeriksaan darah rutin (CBC) untuk mengantisipasi efek samping ini. Kucing dalam kondisi imunodefisiensi merupakan kontraindikasi dari pemakaian griseofulvin. Itraconazole dan ketoconazole adalah alternatif yang efektif untuk pengobatan dermatofitosis (Jamestown, 2010).

Dinding sel jamur merupakan organela yang unik yang memenuhi kriteria toksikan yang selektif. Dinding sel jamur sangat berbeda dengan dinding sel bakteri dan tidak terpengaruh oleh zat-zat antibakteri penghambat dinding sel seperti golongan β-laktam atau vancomycin. Susunan komponen biomolekuler yang terdapat dalam dinding sel pada setiap individu membedakan antara spesies jamur satu dengan yang lain. Meskipun memiliki susunan biomolekuler yang berbeda, secara umum struktur dinding sel jamur adalah mirip (Westhoff et al., 2010). Ada tiga mekanisme kerja yang dimiliki oleh obat-obatan antijamur: merusak membran sel, menghambat pembelahan sel dan menghambat pembentukan dinding sel. Antijamur golongan polyene bekerja dengan cara merusak membran sel jamur. Obat-obatan azole adalah kelas terbesar dalam kelompok antimikotik polyene sintesis. Ketokonazole merupakan kelas imidazole yang pertama kali ditemukan efektif bekerja pada rute pemberian per oral. Itraconazole termasuk dalam kelas triazole yang merupakan perkembangan dari

(9)

kelas imidazole. Itraconazole lebih poten, lebih tidak toksik dan secara oral terbukti lebih efektif terhadap berbagai jenis jamur (DeBoer dan Moriello, 2006). Mekanisme kerja keduanya adalah dengan menghambat sitokrom P450 (CYP P450) 14 α-demethylase pada jamur. Enzim ini berperan dalam mengubah lanosterol menjadi ergosterol. Nitrogen dalam struktur azole membentuk ikatan kuat dengan Fe pada jamur sehingga mencegah jamur berikatan dengan substrat dan oksigen. Penghambatan C14 α-demethylase akan mengubah struktur membran dan mengubah permeabilitas serta susunan protein di dalamnnya (Myers, 2006). Efek dari obat golongan ini adalah fungistatik, namun dapat menjadi fungisida dalam konsentrasi yang lebih tinggi (MIMS, 2012). Beberapa jenis obat antijamur yang biasa digunakan pada hewan kecil dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5 Berbagai obat antijamur pada kucing dan dosisnya untuk dermatofitosis (MIMS, 2012; Plumb, 2005)

Obat

antijamur Golongan obat

Rute pemberian Dosis (mg/kg BB) untuk kucing Efek samping

Itraconazole Triazole PO 10 Anoreksia,

hepatotoksik,

Ketoconazole Imidazole PO 10 Anoreksia, diare,

hepatotoksik, trombositopenia

Miconazole Imidazole Topikal,

supositorial

Warna kehitaman

pada kulit, iritasi

Griseofulvin Polyene PO 10-15 Anoreksia, diare,

anemia, neutropenia, depresi, ataksia, dermatitis fotosensitivitas

Terbinafine Allylamine PO 30-40 Relatif aman dan

dapat ditoleransi oleh tubuh

Lufenuron Benzoylphenylurea PO 50-100 Depresi,

pruritus/urticaria, diare, dyspnea,

anoreksia, skin rash.

KMnO4 Topikal Diencerkan

1:100 dengan air

Iritasi, kemerahan pada kulit, penebalan lapisan luar kulit, rasa nyeri

Asam salisilat

Topikal Iritasi, sensitivitas,

kulit menjadi kering Itraconazole adalah atau obat pilihan terhadap infeksi dermatofita. Kontraindikasinya adalah hewan yang sedang bunting. Penggunaan obat ini pada kucing berusia enam minggu dapat dilakukan (DeBoer dan Moriello, 2006). Dermatolog menggunakan itraconazole sebagai pulse terapi (intravena), dengan dosis 5 mg/kg/hari selama satu minggu kemudian diulang setelah dua minggu.

(10)

itraconazole atau metabolit hydroxitraconazole dalam plasma dan rambut hewan yang telah diberikan selama tiga kali ulangan selama satu minggu dengan dosis 5 mg/kg dan satu minggu tanpa pemberian berada pada level yang sama terhadap

ringworm. Pengurangan konsentrasi sebanyak 25-30% ditemukan setelah satu

minggu tanpa terapi, tetapi konsentrasi obat masih cukup tinggi bahkan dua minggu setelah pemberian terakhir (Vlaminck dan Engelen, 2004).

Terbinafine merupakan antijamur kelompok allylamine. Obat-obatan kelompok ini memiliki aktivitas terhadap spektrum yang lebih terbatas daripada kelompok azole dan efektif terhadap dermatofita. Kelompok allylamine banyak digunakan untuk mengobati infeksi pada kulit dan kuku. Mekanisme kerjanya adalah dengan mengubah squalene menjadi squalene-2,3-epoxide menggunakan squalene epoxidase. Perubahan ini menyebabkan ketidaksetimbangan pH dan hilangnya fungsi membran dalam mengikat protein. Secara umum kerja dari terbinafine adalah mengacaukan proses biosintesis ergosterol di dinding sel (Myers, 2006).

Menurut Bombeli (2012), asam salisilat juga telah dibuktikan memiliki aktivitas antijamur, yaitu bersifat fungistatik. Bahan ini sering digunakan sebagai penguat obat-obatan antijamur lainnya karena efek antijamurnya sendiri termasuk lemah. Asam salisilat juga sering digunakan dalam obat luar karena merupakan agen yang bersifat keratolitik dan antipruritik. Zat ini bekerja sebagai keratolitik dengan mengangkat sel-sel kulit yang berada di lapisan teratas, yaitu stratum korneum.

Mekanisme utama yang digunakan kalium permanganat (KMnO4) dalam membunuh patogen adalah oksidasi langsung terhadap sel atau penghancuran enzim-enzim spesifik. Namun dalam menggunakan KMnO4 perlu berhati-hati, karena zat ini merupakan oksidatif kuat dan bersifat toksik sehingga dapat menyebabkan iritasi pada kulit dan membran mukosa (MIMS, 2012).

Vaksin terhadap jamur telah diproduksi sejak 1996 di republik Ceko. Dinding sel M.canis yang telah dimatikan menginduksi imunitas humoral dan sel perantara membentuk antibodi. Vaksinasi sebagai tindakan profilaksis terhadap dermatofitosis telah dikembangkan pada ternak, kuda, anjing, dan kucing. Pembuktian terhadap efikasi vaksin jamur masih menjadi kontroversi. Menurut Westhoff et al. (2010), tidak satupun vaksin yang diteliti menunjukkan perlindungan yang cukup terhadap paparan antigen.

Kurtdede et al. (2007) menyatakan bahwa vaksinasi merupakan metode yang baik untuk membentuk antibodi spesifik terhadap infeksi jamur. Studi eksperimental dilakukan pada kucing sehat berusia tiga sampai delapan bulan, jentan dan betina, diinjeksi 1 ml vaksin subkutan (n=9) dan intramuskular (n=4). Keseluruhannya divaksin ulang pada hari ke-14. Lima minggu setelah vaksinasi ulang, semua kucing yang telah divaksin dan delapan kucing yang tidak divaksin dipapar dengan virulen strain M. canis. Semua kucing diamati secara klinis terhadap perubahan patologis kulitnya dan dievaluasi secara mikroskopis hasil kultur jaringannya. Pada akhir eksperimen, semua kucing yang telah divaksinasi menunjukkan hasil negatif terhadap infeksi M. canis.

Gambar

Tabel 2  Data suhu dan kelembaban udara rata-rata kota Bogor periode September  2011 sampai dengan Oktober 2012 (BMKG, 2012)
Tabel  3    Pasien  yang  didiagnosis  mengalami  infeksi  mikosis  kutis  pada  periode  September 2011 sampai Agustus 2012
Gambar 2  Pendar fluoresen oleh dermatofita pada permukaan batang rambut yang  patah (a) dan rambut normal (b) tanpa lesio pada kulit
Gambar  3    Fluoresen  positif  palsu  yang  dihasilkan  akibat  penggunaan      etakridinlaktat (Rivanol ® )
+3

Referensi

Dokumen terkait

TA mendorong Wajib Pajak yang sebelumnya tidak terdaftar untuk masuk ke system perpajakan. Sebagai wadah filosofi, prinsip, dan tujuan sistem perpajakan, UU KUP harus

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat ditarik perumusan masalah yaitu, “Ápakah ada hubungan antara asertivitas dengan intensi komplain konsumen?” Berdasarkan

Pada Pendokumentasian tacit knowledge yaitu sharing knowledge guru SMP Negeri 46 Palembang belum dilakukan secara efektif sehingga pengetahuan yang ada dapat

wawancara tersebut terlihat bahwa subjek menjelaskan dengan baik terhadap soal yang subjek baca dengan baik. Menghubungkan identifikasi fakta, identifikasi pertanyaan, dan

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada pemeriksaan ultrasonografi kebuntingan kambing kacang memperlihatkan perkembangan vesikel embrionik (V) berwarna hitam (hypoechogenic)

Penelitian mengenai pola penggunaan ruang bertengger kelelawar di Gua Putih Hutan Pendidikan Gunung Walat perlu dilakukan untuk menjadikan HPGW sebagai salah satu

Pengalaman Kesenangan (X4.3) ‘Pengalaman kesenangan’ konsumen sebagai salah satu indikator dari dimensi ‘motivasi’ memberikan kontribusi terbesar yaitu sebesar 0,3667

Pembuatan bioinsektisida dengan bakteri Bacillus thuringiensis memiliki  parameter7parameter (ang *arus diper*atikan agar produktiitas bioinsektisida tersebut maksimal,