• Tidak ada hasil yang ditemukan

KOMPOSISI ALGA EPILITIK PADA SUMBER MATA AIR LUBUK MATA KUCING DAN ALIRAN KELUAR DI KOTA PADANG PANJANG. Oleh

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KOMPOSISI ALGA EPILITIK PADA SUMBER MATA AIR LUBUK MATA KUCING DAN ALIRAN KELUAR DI KOTA PADANG PANJANG. Oleh"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

KOMPOSISI ALGA EPILITIK PADA SUMBER MATA AIR

LUBUK MATA KUCING DAN ALIRAN KELUAR

DI KOTA PADANG PANJANG

Oleh

Metri Risma Nengsih, Abizar, Lince Meriko Program Studi Pendidikan Biologi STKIP PGRI Sumatera Barat

Email : metrirismaningsih@yahoo.co.id

ABSTRACT

Spring Water of Lubuk Mata Kucing is used to extremily daily needs, means of bathing place, washing, drink need and irigacition. The purpose of this research to know the genus of epilitic algae, composition and factor physical and chemistry of water. The research of Composition Epilitic Algae of Lubuk Mata Kucing Water Spring and continue out in Padang Panjang City done November–Desember 2015. This research has done by using a descriptive survey method with determining three station based on the ecology condition and sampling was done by purposive sampling at each station were taken three points. The concentration measuring of Dissolved Oxygen (DO) and CO2 was done in water Laboratory of UPTD Healthy in Gunung Pangilun of Padang. The sample was identified in Biology Plant Laboratory of Biology Department in STKIP PGRI West Sumatera. Parameter which was measured was Density, Relative Density, Frequency, Relative Frequency, Indeks Divercity and quality parameter of water which was measured was temperature, pH, DO and CO2. From the result of this research, it was found that the epilitic algae composition was 3 classes, 5 ordo , 8 families and 12 genus. The class Cyanophyceae found 2 genus, class Chlrophyceae 4 genus, and class Bacillariophyceae 6 genus. Total single, that highest, Density, Density Relative, Frequency, Relative Frequency genus Navicula was 241,67 ind/l, 16,42 ind/cm2 dan 27,16%. That live at temperatures of range 22–24ºC, pH 7–8, Dissolved Oxygen 5,76– 6,77mg/l. Indeks divercity epilitic algae was average 1,7510 indication of quality water being contaiminated.

Key Words : Composition, Epilitic algae and Spring Water

PENDAHULUAN

Ekosistem perairan merupakan badan perairan komponen biotik dan abiotik saling berinteraksi. Perairan lotik merupakan perairan yang mengalir, sedangkan perairan lentik merupakan perairan tergenang. Sungai dan mata air merupakan salah satu bentuk ekosistem lotik dan lentik. Sungai merupakan bentuk ekosistem aquatik yang mempunyai peran penting dalam daur hidrologi. Mata air adalah laboratorium alam dengan suhu yang tetap bagi para ahli ekologi perairan Odum, (1996)

Organisme yang melekat pada perairan lotik sebagian besar terdiri dari alga perifiton. Alga perifiton merupakan salah satu kelompok terpenting dalam ekosistem perairan sebagai organisme kunci dalam jaring makanan atau sumber makanan bagi organisme akuatik. Berdasarkan substratnya alga perifiton dibagi atas 4 kelompok yaitu epifiton, epizoon, epiliton, epixylon (Michael, 1984). Alga

merupakan tumbuhan yang belum mempunyai akar, batang, dan daun yang sebenarnya, tetapi sudah memiliki klorofil sehingga bersifat autotrof dan dapat melakukan fotosintesis. Suatu perairan yang berbatu dapat menyediakan permukaan yang cocok untuk melekat dan menempel alga epilitik. Alga epilitik adalah mikroalga yang menempel pada batu (Purba, Izmiarti dan Solfiyeni, 2015).

Salah satu sumber mata air yang terdapat di Sumatera Barat adalah Lubuk Mata Kucing yang berada di Kota Padang Panjang. Lokasi ini dijadikan sebagai objek wisata alam. Sumber mata air yang mengairinya berasal dari Gunung Merapi dan dikelilingi oleh Bukit Surungan serta aliran keluar dialirkan ke Sungai Batang Anai.Dari hasil wawancara dengan seorang pengelola, dahulunya tempat ini merupakan suatu bendungan yang berasal dari sumber mata air dan kemudian dibentuklah suatu tempat pemandian. Sumber mata air ini dengan kondisi berbatu, berpasir, berkerikil diduga adanya

(2)

keberadaan alga epilitik. Dilihat sumber mata air ini memiliki suhu lebih kurang 20°C.

Selain sebagai objek wisata, sumber air Lubuk Mata Kucing ini juga dimanfaatkan oleh penduduk sekitar untuk kebutuhan minum, mandi, mencuci pakaian dan kakus (MCK), irigasi/pengairan sawah dan pembuangan limbah rumah tangga seperti sampah plastik. Diduga, Penggunaan limbah cair dan padat seperti sabun, detergen dan sampah plastik akan mengakibatkan perubahan kondisi fisika kimia perairan dan dapat berdampak pada perubahan komposisi organisme akuatik yang ada. Sisa limbah air pemandian tersebut pada aliran keluar (bak penampung), dialirkan ke Sungai Batang Anai.

Terjadinya perubahan faktor fisika, kimia dan biologi maka jenis biota air yang mempunyai daya toleransi tinggi akan mengalami peningkatan dan penyebaran luas. Organisme yang hidup di perairan ini dapat dijadikan pendeteksi kualitas suatu perairan atau bioindikator. Penelitian alga epilitik telah dilakukan oleh Oktaviani (2012) di Batang Kuranji Kota Padang dengan menemukan 14 genus, yang terdiri dari 3 Class yaitu : Chlorophyta, Cyanophyta dan Bacillarophyceae. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui genus alga epilitik, komposisi alga epilitik dan faktor fisika kimia Sumber Mata Air Lubuk Mata Kucing dan Aliran Keluar Di Kota Padang Panjang dijadikan sebagai indikator pencemaran limbah domestik sehingga dapat diketahui kondisi badan perairan berdasarkan genus yang ditemukan. Manfaat penelitian ini adalah dapat memberikan informasi pengetahuan, pengalaman bagi penulis pembaca, dapat memberikan informasi pemanfaatan, dan pengelolaan sumber mata air secara optimal serta sebagai pedoman untuk penelitian selanjutnya.

METODE PENELITIAN Waktu Dan Tempat

Penelitian ini telah dilakukan pada Bulan November-Desember 2015 dan pengambilan sampel di Sumber Mata Air Lubuk Mata Kucing dan Aliran Keluar di Kelurahan Pasar Usang, Kecamatan Padang Panjang Barat. Pengukuran faktor fisika air pada suhu, pH di lapangan dan pengukuran faktor kimia air pada oksigen terlarut dan karbondioksida bebas di Laboratorium UPTD Balai Kesehatan Gunung Pangilun Padang serta identifikasi sampel di Laboratorium Botani STKIP PGRI Sumatera Barat.

Alat Dan Bahan

Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah bingkai kayu berukuran 10 x 10 cm, baskom plastik, sikat kawat halus, selotip, kertas label, botol film 25 ml, baki, indikator pH, thermometer alkohol, pipet tetes, mikroskop listrik, kaca preparat, cover glass, labu erlemeyer, gelas ukur, buret, sentrifus, alat tulis dan kamera digital. Bahan yang digunakan adalah sampel alga epilitik, formalin 40 %, aquades, MnSO4, KOH/KI, H3PO4 pekat, Thiosulfat 0,023 N, asam khlorida pekat, amilum 1 %, fenolfetalen, Metilorange-xylene cyanole dan larutan 0,0454 N Na2CO3.

Metode Penelitian

Penelitian ini dilakukan menggunakan survey deskriptif dengan menetapkan tiga stasiun berdasarkan kondisi lingkungan secara purposive sampling diambil 3 ulangan yaitu : 1. Stasiun I merupakan sumber mata air yaitu

tempat mandi, mencuci, kakus dan adanya luruhan dedaunan Bukit Surungan.

2. Stasiun II merupakan aliran dari sumber mata air (bak penampung) dari pemandian digunakan penduduk untuk kebutuhan air minum, kakus, dan limbah sampah plastik. 3. Stasiun III merupakan aliran keluar air dari

(bak penampung) yang dialirkan ke Sungai Batang Anai yang digunakan penduduk untuk irigasi/pengairan sawah.

Cara Kerja

Pengukuran suhu dan pH dengan menggunakan thermometer alkohol dan indikator pH dicelupkan ke dalam air masing - masing stasiun yang telah ditetapkan selama 5 menit, kemudian angka dicatat sesuai yang ditunjukkan thermometer alkohol (Suin,2002). Pengukuran DO dan CO2 bebas menggunakan Metoda SNI 06-6989.3-2004 dan Standar Winkler serta metoda titrasi SNI 06-6989.3-2004.

Sampel alga epilitik diambil dengan menandai batu berukuran 10x10 cm yang berwarna hijau kecoklatan kemudian disikat dengan menggunakan sikat kawat halus dan dimasukkan ke botol sampel 25 ml dan diberi formalin 40 % sebanyak 4-5 tetes kemudian dilakukan pengamatan dilaboratorium. Identifikasi sampel dilakukan sampai tingkat genus dengan menggunakan buku acuan, Prescott (1961) dan Prescott (1975) serta penghitungan individu dengan menggunakan metode Direct Count.

Parameter

Parameter yang diukur adalah faktor fisika kimia perairan yaitu suhu, pH, DO dan CO2 bebas.Komposisi, yang meliputi kerapatan, kerapatan relatif, frekuensi dan frekuensi relatif dan indeks diversitas

(3)

Analisis Data Komposisi, yang meliputi kerapatan, kerapatan relatif, frekuensi dan frekuensi relatif menggunakan rumus (Suin dan Syafinah 2006)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Tabel 1. Klasifikasi Alga Epilitik Pada Sumber Mata Air Lubuk Mata Kucing Dan Aliran Keluar Di Kota Padang Panjang

Class Ordo Famili Genus

Cyanophyceae Hormogoniales Oscillatoriaceae Lyngbia

Oscillatoria

Chlorophyceae Desmidiales Desmidiaceae Closterium

Desmidium Oedogoniales Oedogoniceae Oedogonium Zygnematales Zygnemataceae Spyrogira

Bacillarophyceae Pennales Cymbellaceae Cymbella

Fragillariaceae Fragillaria Synedra Gomphonemaceae Gomphonema Naviculaceae Frustulia

Navicula

Tabel 2. Faktor Fisika Kimia Pada Sumber Mata Air Lubuk Mata Kucing Dan Aliran Keluar di Kota Padang Panjang

Berdasarkan data yang didapatkan, pada (Tabel 1) terlihat bahwa dari ketiga stasiun ditemukan tiga class yang terdiri dari class Cyanophyceae, Chlorophyceae dan Bacillarophyceae. Genus yang banyak ditemukan adalah dari class Bacillarophyceae yaitu terdiri dari 6 genus yaitu genus Synedra, Fragillaria, Navicula, Frustulia, Gomphonema, dan Cymbella. Menurut Wulandari (2009), class Bacillariophyceae mampu menyesuaikan diri dengan kondisi lingkungan sekitarnya dibandingkan dengan lainnya.

Stasiun I merupakan sumber mata air yang memiliki total individu tertinggi yaitu 241,67 ind/l, total kerapatan dan kerapatan relatif tertinggi yaitu 60,42 ind/cm2 dan 99,99%. Hal ini disebabkan oleh adanya aktivitas mandi, mencuci dan luruhan dedaunan Bukit Surungan. Hal ini sesuai dengan pendapat Odum (1996) menyatakan bahwa, organisme yang berada di dalam mata air tidak merubah lingkungan, karena air yang berubah sebagai hasil dari fotosintesa dan respirasi terbawa ke arah aliran yang lain dan diganti oleh air yang baru dari bawah tanah dengan sifat - sifat yang sama

sebel um terja di peru baha n. Oleh karena itu, limbah pemandian dan mencuci langsung mengalir ke stasiun II. Pada stasiun I genus yang paling banyak ditemukan adalah genus

Navicula yang memiliki jumlah individu, kerapatan dan kerapatan relatif tertinggi yaitu 65,67 ind/l, 16,42 ind/cm2 dan 27,16%. Hal ini sesuai dengan pendapat Andriansyah, Setyawati, R.T dan Lovadi, I (2014), menyatakan tingginya kelimpahan Navicula menunjukkan bahwa genus tersebut memiliki daya adaptasi dan rentang toleransi yang tinggi terhadap kondisi lingkungannya seperti DO, CO2, cahaya, pH.

Pada stasiun I genus yang memiliki jumlah individu terendah adalah genus Closterium adalah 0,33 ind/l dari class Chlorophyceae karena pada stasiun I, II dan III memiliki suhu

Parameter Stasiun

1 2 3

Suhu air (0C) 24 22 23

pH air 8 7 7

Oksigen terlarut (DO) (mg/l) 5,76 5,76 6,77

(4)

kurang dari 300C. Suhu pada stasiun I adalah 240C. Menurut Effendi (2003), Chlorophyceae membutuhkan perairan dengan suhu berkisar antara 30-35°C dan derajat keasaman berkisar antara 7-8,5 untuk tumbuh dengan baik.

Ketika fotosintesis terjadi pada siang hari, CO2 banyak terpakai dalam proses tersebut. Turunnya konsentrasi CO2 akan menurunkan konsentrasi H+ sehingga menaikkan pH air.Tingginya pH stasiun I yaitu 8 dibandingkan stasiun II dan III karena, karbondioksida bebasnya rendah yaitu 12,1 mg/l dan karbondioksidanya tidak lebih dari 20 ppm. Hal ini didukung oleh pendapat Effendi (2003), menyatakan semakin tinggi nilai pH maka, semakin rendah karbondioksida bebas. Stasiun I memiliki DO rendah yaitu 5,76 mg/l. Hal ini sesuai dengan pendapat Kordi (1996) dalam Nursyahra dan Abizar (2009), menyatakan kisaran oksigen ideal untuk kehidupan organisme perairan adalah 5-7 mg/l.

Frekuensi dan frekuensi relatif stasiun I yang tertinggi terdapat pada genus Oedogonium, Desmidium, Oscillatoria, Lyngbia, Fragillaria, Navicula, Frustulia dan Cymbella. Menurut Michael (1984), menyatakan bahwa frekuensi kehadiran tinggi berarti sering ditemukan di habitat tersebut.

Stasiun II merupakan bak penampung air dari stasiun I. Stasiun II memiliki total individu, kerapatan dan kerapatan relatif tertinggi yang kedua yaitu 171,67 ind/l, 42,91 ind/cm2 dan 99,99% (Tabel 2). Jumlah individu, kerapatan dan kerapatan relatif tertinggi terdapat pada genus Cymbella yaitu 45 ind/l, 11,25 ind/cm2 dan 11,11 % (Tabel 2). Hal ini disebabkan karena adanya luruhan dedaunan Bukit Surungan, limbah pemandian masyarakat, mencuci, kakus, dan sampah plastik, sehingga memungkinkan masuknya limbah sabun, detergen, kotoran dan bahan organik lain. Hal ini sesuai dengan pendapat Sachlan (1974), menyatakan zat - zat hara yang berasal dari limbah domestik seperti detergen dapat digunakan oleh fitoplankton/alga karena detergen mengandung fosfat yang sangat dibutuhkan untuk pertumbuhan alga.

Genus yang terendah pada stasiun II adalah genus Closterium yang memiliki jumlah individu, kerapatan dan kerapatan relatif yaitu 0,33 ind/l, 0,08 ind/cm2 dan 0,18%. Menurut Tjitrosoepomo (1986), genus Closterium merupakan alga hias yang hidup pada air yang bereaksi asam sedangkan pH pada stasiun II adalah 7 (netral).

Menurut Effendi (2003), nilai rata-rata suhu masih baik untuk pertumbuhan alga terutama jenis diatom berkisar antara 20-300C

dan menyukai pH 7-8,5. Suhu dan pH pada stasiun II adalah 220C dan 7 adalah normal, sehingga mendukung kehidupan alga epilitik. Oksigen terlarut pada stasiun II yaitu 5,76mg/l Angka DO ini masih memenuhi syarat minimum DO untuk kehidupan dalam air, yaitu 5 ppm (Sastrawijaya, 2000). Karbondioksida bebas stasiun ini adalah 14,3 mg/l. Kadar karbondioksida (CO2) yang baik bagi organisme perairan yaitu kurang lebih 15 ppm (Anonimus, 2012).

Frekuensi dan frekuensi relatif tertinggi pada stasiun II terdapat pada genus Oedogonim, Desmidium, Oscillatoria, Lyngbia, Fragillaria, Navicula, Gomphonema dan Cymbella. Hal ini disebabkan adanya penyebaran dari jumlah individu dan diduga adanya variasi kemampuan adaptasi masing - masing genus dalam perairan yang ditempati. Hal ini sesuai dengan pendapat Michael (1984), menyatakan bahwa penyebaran suatu organisme dapat dilihat dari frekuensi keberadaan suatu organisme tersebut. Stasiun III memiliki total individu, kerapatan dan kerapatan relatif terendah yaitu 132,67 ind/l, 33,16 ind/cm2 dan 99,98%. Hal ini diduga aliran dari stasiun II (bak penampung) yang dialirkan ke Sungai Batang Anai karena pengaruh dari penggunaan sabun, detergen, kakus, luruhan dedaunan dan sampah plastik. Hal ini mengindikasikan kualitas perairan pada stasiun ini tercemar sedang dan adanya peningkatan kadar karbondioksida terlarut sehingga sangat mempengaruhi aktivitas organisme yang ada di dalam utamanya persaingan dalam proses respirasi (Anonimus, 2012). Selain itu, disebabkan juga oleh adanya aktivitas pemangsaan dari zooplankton karena makanan utamanya adalah alga atau fitoplankton (Pamukas, 2011).

Pada stasiun III genus yang memiliki jumlah individu, kerapatan dan kerapatan relatif tertinggi adalah genus Oscillatoria yaitu 41 ind/l, 10,25 ind/cm2 dan 30,91%. Menurut Indrawati (2010), menyatakan kuatnya adaptasi Oscillatoria terhadap kondisi perairan tercemar, maka potensial untuk dijadikan sebagai indikator biologi untuk perairan yang tercemar limbah domestik dan Oscillatoria sering ditemukan pada lingkungan dengan kandungan nutrisi organik yang tinggi.

Oscillatoria merupakan class dari Cyanophyceae. Cyanophyceae lebih menyukai pH netral sampai basa dan respon pertumbuhan negatif terhadap pH<6 (Arinardi dkk dalam Sukmiawati 2010). Suhu dan pH pada stasiun III yaitu 230C dan 7 (netral) sehingga angka ini sudah mendukung kehidupan alga.

(5)

Pada stasiun III genus yang memilki jumlah individu, kerapatan, kerapatan relatif terendah adalah genus Desmidium yaitu 0,33 ind/l, 0,33 ind/l, 0,08 ind/cm2 dan 0,24%. Hal ini sesuai dengan pendapat Tjitrosoepomo (1986), genus Desmidium dari ordo Desmidiales terutama hidup dalam rawa - rawa (gambut) yang airnya bereaksi asam sedangkan lokasi penelitian ini merupakan aliran dari sumber mata air.

Oksigen terlarut pada stasiun III memiliki oksigen terlarut tertinggi yaitu 6,75 mg/l (Tabel 2). Hal ini disebabkan karena turbulensi air (pergerakkan air) sehingga adanya sirkulasi air dan batu yang terbentur pada aliran keluar. Kadar oksigen terlarut juga berfluktuasi secara harian dan musiman, tergantung turbulence (pergerakkan) massa air, aktiftas fotosintesis, respirasi dan limbah yang masuk ke badan air (Hanifah, 2011)

Stasiun III memiliki karbondioksida bebas tertinggi yaitu 15,4 mg/l (Tabel 2) dan oksigen terlarut tertinggi dari pada stasiun II dan stasiun III. Menurut Sastrawiyaja (2000) menyatakan karbondioksida dalam air terbentuk sebagai hasil metabolisme. Tingginya karbondioksida bebas pada stasiun III karena adanya aliran air yang berasal dari stasiun I dan stasiun II yaitu masuk limbah pemandian, cuci, kakus dan sampah organik sehingga adanya proses dekomposisi (oksidasi) zat organik oleh mikroorganisme.Semakintinggi karbondioksida, maka oksigen yang dibutuhkan bertambah. Suhu dan pH pada stasiun ini adalah 230C dan 7. Angka ini menunjukkan angka normal bagi kehidupan alga. Pada stasiun II dan stasiun III, tidak ditempati oleh genus Spyrogira dan Synedra karena genus ini dianggap memiliki batas toleransi yang sempit terhadap perubahan kondisi parameter fisika kimia perairan.

Frekuensi dan frekuensi tertinggi pada stasiun III adalah genus Oscillatoria, Lyngbia, Fragillaria, Navicula dan Cymbella. Hal ini sesuai dengan pendapat Wiryanto, Susilowati dan Sietyawan (2003), menyatakan kernunculan suatu spesies menunjukkan adanya kemarnpuan adaptasi yang tinggi dan memiliki kode genetik dan sistem enzim yang beragam (isozim) untuk menjaga tetap berlangsungnya aktivitas metabolisme pada lokasi yang berbeda - beda Indeks diversitas tertinggi ditemukan pada stasiun I yaitu 1,7816. Hal ini disebabkan karena jumlah individunya tinggi dan adanya luruhan dedaunan Bukit Surungan, limbah sabun dan detergen yang mengandung fosfor sehingga menjadi nutrien bagi alga. Indeks diversitas terendah pada stasiun III yaitu 1,7251 karena jumlah individunya rendah. Dari hasil

penelitian, Indeks Keanekaragaman Shanoon-Wiener yaitu 1,7251 - 1,7816. Hal ini menunjukkan bahwa besarnya derajat pencemaran pada sumber mata air adalah sedang,

KESIMPULAN

Dari penelitian yang telah dilakukan dapat diambil kesimpulan bahwa adanya kegiatan manusia yang menyebabkan faktor fisika kimia air tidak terlalu berbeda disetiap stasiun pengamatan. Adanya tekanan ekologis menyebabkan beberapa genus saja yang dapat hidup dan berkembang menyesuaikan diri. Sebaliknya ada suatu pencemar justru dapat mendukung perkembangan spesies tertentu. Hal ini terlihat pada hubungan komposisi alga epilitik dengan uji faktor fisika kimia air masih berada dalam kisaran normal sehingga mendukung kehidupan alga epilitik.

SARAN

Diharapkan untuk penelitian selanjutnya

agar meneliti tentang Struktur Komunitas Alga Epilitik dan masyarakat lebih memperhatikan kondisi perairan Sumber Mata Air Lubuk Mata Kucing Dan Aliran Keluar Di Kota Padang Panjang secara optimal.

DAFTAR PUSTAKA

Andriansyah, Setyawati, R. T dan Lovadi, I. 2014. Kualitas Perairan Kanal Sungai Jawi dan Sungai Raya Dalam Kota Pontianak Ditinjau dari Struktur. Komunitas Mikroalga Perifitik. Jurnal Protobiont Vol 3 (1) Hal : 61 – 70.

Anonimus, 2012. Laporan Praktikum Karbondioksida (CO2). Diakses pada tanggal 30 Desember 2015 Badan Standar Nasional 2004. SNI

06-6989.3-2004. Cara Uji Oksigen Terlarut Secara Yodometri (Modifikasi Azida).

Effendi, H. 2003. Telaah Kualitas Air Bagi Pengelolaan Sumber Daya Dan Lingkungan Perairan. Kanisius : Yogyakarta.

Indrawati, I., Sunardi dan Fitriyyah, I. 2010. Perifiton Sebagai Indikator Biologi Pada Pencemaran Limbah

(6)

Domestik Di Sungai Cikuda Sumedang Prosiding Seminar Nasional Limnologi V Tahun 2010. Hal 1-11.

Michael, P. 1984. Metode Ekologi untuk Penyelidikan Ladang Dan Laboratorium. Universitas

Indonesia : Jakarta .

Odum, E. P.1996. Dasar – Dasar Ekologi. Gajah Mada University : Yogyakarta. Oktaviani, 2012. Komposisi Alga Epilitik Di

Batang Kuranji Kota Padang. Skripsi (tidak dipublikasikan).

Pamukas, A. N. 2011. Perkembangan Kelimpahan Fitoplankton Dengan Pemberian Pupuk Organik C air. Jurnal Berkala PerikananTerubuk, Hlm 79-90 Vol 39 No.1

Prescott, G. W. 1975. Algae Of The Western Great Lakes Area. W.M.C Brown Co. Publisher Duduque Iowa. Ruttner,F.1974. Fundamental Lymnology. 3rd ED. University Toronto Press Toronto 107 p.

, G. W. 1978. How to Know Algae. Re-vised Editrion. W. M.C Brown Co. Publisher. Dubuque Iowa.

Purba, S, Y, I., Izmiarti dan Solfiyeni. 2015 Komunitas Algae Epilitik Sebagai Indikator Biologis Di Sungai Batang Ombilin, Sumatera Barat. Jurnal Biologi Universitas Andalas (J.Bio.UA.) 4(2) Hal : 138 – 144.

Sachlan, M. 1974. Planktologi. Corespondensi Cour Center. Jakarta

Sastrawijaya, A.T. 2000. Pencemaran Lingkungan. Rineka Cipta. Jakarta. Suin, 2002. Metode Ekologi. Universitas

Andalas: Padang

Suin dan Syafinah, R. 2006. Ekologi. Universitas Andalas :Padang.

Sukmiwati, M. 2012. Komposisi Makanan Alami Berbagai Jenis Teripang Dari Perairan Natuna Kepulauan Riau.

Jurnal Perikanan Dan Kelautan 17,1 (2012) : Hal 75-87.

Tjitrosoepomo, G. 1986. Taksonomi Tumbuhan Khusus. Gadjah Mada University : Yogyakarta.

Wiryanto, Susilowati, A dan Sietyawan, O,

A. 2003. Keanekaragaman Jenis

Plankton Sebagai Indikator Kualltas Air Limbah Berbagai Industri Di Kota Surakarta Dan Sekitarnya. Jurnal Biodiversitas Volume 4, Nomor 1 Hal

: 24·29.

Wulandari, D. 2009. Keterikatan Antara Kelimpahan Fitoplankton Dengan Parameter Fisika Kimia Di Estuari Sungai Brantas (Porong),JawaTimur. Skripsi (dipublikasikan).

Gambar

Tabel  1.  Klasifikasi  Alga  Epilitik  Pada  Sumber  Mata  Air  Lubuk  Mata  Kucing  Dan  Aliran  Keluar  Di         Kota Padang Panjang

Referensi

Dokumen terkait

Dari hasil analisis di atas dapat disimpulkan bahwa terdapat sepuluh jenis literatur yang disitir dalam penulisan tesis mahasiswa Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga

Setelah dilakukan beberapa pengujian statistik pada pola asuh orangtua dan tingkat kecerdasan emosional anak usia prasekolah dapat diperoleh kesimpulan bahwa sebagian besar

Oleh karena itu, penerapan pendekatan saintifik melalui model discovery learning dengan permainan dapat meningkatkan kemampuan berpikir siswa, dan bersifat menyenangkan

[r]

) اهيدل وأ ليروك. هيدل رشع ةعست مقرلا لاؤ ىوتسم ةيفاك ةبعصلا .ةبوعصلا ب. ةجرد وأ لليرسيب ةرشن ةجيتن بستكت دونبلا ذ ىوتسم زييمتلا 0200. ةجرد هيدل رشع ةعست مقرلا

Berdasarkan analisis antrhopometri diperoleh rancangan alat pengupas kulit lunak melinjo dengan tinggi 140 cm, lebar 50 cm dan panjang 70 cm.Dari hasil pengolahan data menggunakan

B agi para guru SMPN “X” kota Cimahi disarankan untuk dapat memelihara iklim dimensi engaged teacher behavior yang tinggi dan intimate teacher behavior yang

Karena langkah 3 melibatkan semua edge yang ada dalam menghitung kondisi optimal yang dituliskan pada rumus (2.1), maka semua vertex dalam set p merupakan shortest path tree dimana s