Journal of Business and Management Review Vol. 2 No. 2 2021 Page 107-135 DOI: 10.47153/jbmr22.1032021
*Corresponding Author
Email address: [email protected]
CONCEPTUALIZATION GOOD AMIL GOVERNANCE IN ZAKAT
INSTITUTION
Fitri Laela Wijayati 1*,
1Department of Accounting Sharia Faculty of Economic and Islamic Business, IAIN Surakarta, Indonesia
ARTICLE INFO ABSTRACT
This study aims to analyze the implementation of good amil governance in the largest zakat organization in Indonesia to provide an overview of the extent of the implementation of good amil governance. OPZ performance is not only measured by the effectiveness of zakat distribution but also seen from professionalism in organizational management which is reflected in the creation of good organizational governance Professional management is an effort to create new public management and increase public trust in OPZ. Public trust in OPZ is very important because it relates to trust in the management and distribution of zakat in a professional manner which in turn can increase the potential for zakat acceptance so that it can be used to improve social welfare. This research is a qualitative study by analyzing the contents of the financial statements and websites of zakat organizations. The implementation of Good Governance (GG) is an important issue in order to improve the performance of OPZ which can be seen from the aspects of management, public services and public trust (muzakki) in the organization The implementation of GG in public organizations is inseparable from the principles of transparency, accountability, responsibility, independence, and openness / honesty which are in line with the norms and ethics principles in Islamic Sharia. The results show that most zakat organizations have implemented good amil governance, but there are some components that have not been disclosed in the financial statements or websites.
ISSN: 2723-1097 Keywords:
Good amil governance. OPZ performance, accountability, zakat distribution, amil
Pendahuluan
Zakat merupakan salah satu pilar utama dalam Islam Ahmad (2019) yang menjadi salah satu bagian dari lima Rukun Islam yang wajib dilaksanakan oleh sesorang apabila telah mampu untuk menunaikannya. Zakat dalam arti Bahasa dapat diisitilahkan dengan bersih murni, bertumbuh atau bertambah, yang memiliki dua dimensi: yang pertama dimesi peningkatan spiritual sebagai bentuk ketaatan kepada
108 | P a g e Allah SWT dan dimensi yang kedua merupakan wujud penyaluran harta atau pendapatan seseorang yang telah memenuhi nisab kepada pihak lain yang mengarah kepada kemakmuran atau kemaslahatan bersama (Wahab & Rahim Abdul Rahman, 2011).
Menurut Noor et al., (2015) zakat merupakan sarana dalam mengentaskan kemiskinan dengan membantu orang yang membutuhkan. Dengan istilah ini zakat berfungsi sebagai peningkatan kesejahteraan sosial yang merupakan gerakan atau kegiatan sosial kemasyarakatan dan kemanusiaan dalam upaya untuk meningkatkan perekonomian dan mengurangi kesenjangan sosial. Hal ini didukung dengan beberapa hasil penelitian mengenai peran zakat dalam meningkatkan kesejahteraan perekonomian seperti penelitian yang dilakukan oleh Hashim et al., (2014), yang mengemukakan bahwa zakat merupakan alat dalam mengentaskan kemiskinan, menjaga keharmonisan dan keadilan sosial yang mengarah kepada pengembangan perekonomian. Sartika (2008) menjelaskan pula bahwa dana zakat dapat digunakan untuk megentaskan kemiskinan dimana zakat merupakan salah satu dari lima nilai instrumental yang strategis dan berpengaruh terhadap perilaku ekonomi individu, masyarakat serta perekonomian ada umumnya.
Sebagaimana yang telah ditetapkan dalam syariat Islam terdapat syarat bagi penerima zakat (mustahiq) yang dapat digolongkan menjadi delapan golongan yaitu: fakir, miskin, amil, mualaf, hamba sahaya, gharimin, fisabilillah, dan ibnu sabil (muhammad, 1980) dalam (Wahab & Rahim Abdul Rahman, 2011). Untuk mempermudah dalam pendistribusian zakat kepada pihak yang berhak menerima maka dibutuhkan peran dari lembaga atau Organisasi Pengelola Zakat (OPZ). OPZ berperan dalam pengumpulan dan pendistribusian kekayaan dari muzakki ke pihak yang berhak menerima (Tahliani, 2018).
Dalam menjalankan perannya, OPZ memiliki dua fungsi yaitu yang pertama berfungsi sebagai Lembaga keuangan Syariah yang merupakan pihak yang bertugas menerima, mengumpulkan, dan mendistribusikan zakat (sebagai amil) dengan mendasarkan kegiatannya sesuai dengan kaidah Syariah yang tercermin dalam pengelolaan tata kelola lembaga dan sumber daya manusia yang memiliki karakteristik jujur, dapat dipercaya dan bertanggungjawab. Fungsi yang kedua sebagai Lembaga non profit yang berperan dalam pemberdayaan masyarakat dalam rangka peningkatan kesejahteraan sosial. Dalam menjalankan perannya ini OPZ akan berhubungan dengan masalah-masalah sosial yang dihadapi masyarakat (Chotib et al., 2018). Lebih luas lagi fungsi dari OPZ ini berkontribusi dalam indikator makro ekonomi, penyediaan lapangan pekerjaan dan penyediaan sarana pembiayaan (Amara & Atia, 2016).
Sebagai institusi Islam, dalam menjalankan fungsinya OPZ harus mematuhi nilai-nilai atau etika dan norma dalam Islam seperti prinsip amanah, transparasi, kepatuhan terhadap Syariah Islam, akuntanbilitas sehingga dapat membedakan dengan organisasi non-profit konvesional (Tahliani, 2018). Hal ini dipertegas dengan
109 | P a g e undang-undang no 23 tahun 2011 yang menyebutkan bahwa dalam pengelolaan zakat harus berasaskan pada Syariah Islam, amanah, kemanfaatan, keadilan, kepastian hukum, terintegrasi dan akuntanbilitas dan diperkuat dengan Keputusan Menteri Agama (KMA) No 333 tahun 2015 yang menyebutkan bahwa pengelolaan Lembaga Amil Zakat harus berdasarkan pada praktek pengelolaan organisasi yang professional yang mengarah kepada konsep New Public Management (NPM) (Ahim Abdurahim, Hafiez Sofyani, 2018) .
Berdasarkan penjelasan di atas maka kinerja OPZ tidak hanya diukur dari keefektifan pendistribusian zakat namun juga dilihat dari profesionalisme dalam pengelolaan organisasi yang tercermin dalam penciptaan tata kelola organisasi yang baik (good governance) (Ahim Abdurahim, Hafiez Sofyani, 2018; Amara & Atia, 2016; Mubtadi & Susilowati, 2018; Tahliani, 2018; Taisir et al., 2017; Wahab & Rahim Abdul Rahman, 2011). Pengelolaan secara professional merupakan upaya untuk menciptakan new public management dan meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap OPZ. Kepercayaan masyarakat terhadap OPZ sangatlah penting karena berhubungan dengan kepercayaan dalam pengelolaan dan pendistribusian zakat secara professional yang pada akhirnya dapat meningkatkan potensi penerimaan zakat sehingga dapat digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan sosial.
Akuntabilitas dalam perspektif Islam tidak hanya dipandang pada bentuk pertanggungjawaban terhadap manusia/sosial/stakeholders namun juga dipandang sebagai bentuk tanggungjawab atas ketaatan kepada Allah SWT (Triyuwono, 2003). Dalam rangka meningkatkan kepercayaan muzakki dan stakeholders OPZ dapat menerapkan prinsip akuntabilitas dan transparasi dalam pengelolaan zakat sebagai salah strategi untuk menciptakan “trust” pada organisasi tersebut (Nikmatuniayah & Marliyati, 2015) dan sebagai jembatan untuk mengurangi kesenjangan informasi antara agen (amil) dan principal (muzakki). Tentunya hal ini membawa tantangan baru bagi OPZ untuk meningkatkan profesionalisme dalam pengelolaan zakat (Anggara & Hastuti, 2018) sehingga dapat menciptakan “value added” bagi organisasi (Firmansyah & Devi, 2017).
Sebagaimana dijelaskan di atas bahwa dalam menjalankan kegiatannya, OPZ harus berdasarkan norma dan etika dalam kaidah Islam yaitu amanah, transaparansi, akuntabilitas dan kepatuhan terhadap Syariah Islam yang dapat diwujudkan dengan penerapan tata kelola organisasi yang baik (good governance) sebagai bagian dari pencapaian tujuan organisasi dan penerapan stretegi manajemen. Penerapan Good
Governance (GG) merupakan isu yang penting dalam rangka meningkatkan kinerja
OPZ yang dapat dilihat dari aspek manajemen, pelayanan public serta kepercayaan
masyarakat (muzakki) terhadap organisasi tersebut (Tahliani, 2018). Penerapan GG
pada organisasi publik ini tidak terlepas dari prinsip transparansi, akuntabilitas, tanggungjawab, idependensi, dan keterbukaan/kejujuran yang sejalan dengan kaidah
norma dan etika dalam Syariah Islam. Dalam perkembangannya tata kelola OPZ
merupakan hal yang penting dengan menerapkan prinsip dan dasar tata kelola untuk meningkatkan kinerja OPZ serta dapat digunakan untuk mengembangkan metode
110 | P a g e pengawasan dan kendali atas dasar-dasar yang jelas untuk memeperkuat kerdibilitas dalam OPZ (Amara & Atia, 2016).
Di Indonesia sendiri terdapat panduan mengenai pengelolaan OPZ yang dikenal dengan Zakat Core Principal (ZCP) yang merupakan bentuk inisisasi dari Bank Indonesia (BI) dan Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) yang mencakup enam dimensi pengelolaan zakat (Mubtadi & Susilowati, 2018). 6 dimensi tersebut meliputi
landasan hukum, supervisi zakat, tata Kelola zakat, fungsi intermediasi, manajemen resiko dan kesesuaian Syariah. ZCP ini digunakan sebagai landasan dalam
peneglolaan zakat di Indonesia. Penelitian yang dilakukan oleh Hamdani et al., (2019)
menjelaskan berbagai permasalahan berkaitan dengan implementasi ZCP ini yang menjelaskan bahwa dalam sisi pengelola zakat belum menjalankan esensi ZCP secara maksimal, di sisi lain permasalahan di masyarakat berkaitan dengan ZCP ini belum adanya pemahaman mengenai ZCP ini sehingga penerapan ZCP ini dirasa belum maksimal.
Beberapa penelitian menjelaskan bagaimana penerapan mengenai Good Governance ini seperti Amalia (2018), yang meneliti penerapan GG pada institusi Islam menemukan bukti bahwa kegagalan dalam implemntasi GCG merupakan isu penting bagi Institusi keuangan Islam. Penelitian mengenai penerapan GCG pada organisasi public (non-profit) dilakukan oleh Wahab & Rahim Abdul Rahman (2011) menemukan bukti bahwa penerapan Sharia Governance merupakan aspek penting dalam rangka meningkatkan kinerja Lembaga-lembaga Islam.
Indonesia sendiri memiliki penduduk muslim yang terbesar yaitu hampir 80% penduduk Indonesia adalah muslim hal ini semestinya menjadi potensi zakat yang cukup besar dalam upaya penghimpunan zakat dari masyarakat (Fadillah et al., 2011). Indonesia memiliki ciri khas unik dalam pengelolaan zakat yang berbeda dengan negara lain. Pengelolaan zakat di Indonesia terbagi atas dua OPZ yaitu OPZ yang dikelola oleh pemerintah yang disebut dengan Badan Amil Zakat (BAZ) dan OPZ yang dikelola oleh Lembaga non pemerintah yang disebut dengan Lembaga Amil Zakat (LAZ) (Mubtadi, 2018; Kurniasari 2017). Dengan pengelolaan zakat oleh dua OPZ tersebut diharapkan dapat digunakan untuk meningkatkan potensi pendapatan zakat untuk selanjutnya disalurkan kepada pihak yang berhak menerima.
Pusat kajian strategis BAZNAS sendiri melakukan survey untuk mengukur keefektifan pengorganisasin zakat dalam upaya penyaluran dana zakat untuk mensejahterakan masyarakat. Dengan menggunakan Ideks Kesejahteraan BAZNAS
(IKB) dengan cara melakukan pembobotan dari tiga indeks penyusunnya, yaitu
indeks kesejahteraan (CIBEST), modifikasi IPM dan indeks kemandirian. Survey dilakuakn di 22 provinsi dengan total respon 3.248. diperoleh hasil nilai IKB nasional di tahun 2018 adalah sebesar 0,76 (baik), meningkat dari tahun 2017 yang sebesar 0,71 (baik). Jika dilihat dari dari masing-masing indeks penyusun-nya, nilai indeks nasional untuk CIBEST 0,73 yang mengalami penurunan dari tahun 2017 dimana nilai index tahun sebelumnya yaitu sebesar 0.79. Tentu hal tersebut perlu mendapat
111 | P a g e perhatian serius karena penurunan itu dapat diartikan bahwa mustahik belum sepenuhnya mampu memenuhi dua kebutuhan utamanya yaitu segi material maupun spiritual.
Pengelolaan OPZ ini pun tidak terlepas dari berbagai permasalahan sebagaimana dalam penelitian yang dilakukan oleh Latifah et al., (2019) menjelaskan mengenai problematika yang dihadapi di OPZ diantaranya berkaitan dengan UU No.38 tahun 1999. UU ini menjelaskan mengenai tata kelola zakat yang menyebutkan bahwa peran serta masyarakat dapat memberikan kontribusi yang diwujudkan dalam hal pemerolehan informasi mengenai tata kelola zakat oleh badan/Lembaga amil zakat untuk memberikan saran dan pertimbanagn kepada badan amil zakat dan masyarakat jika terjadi penyimpangan. Namun UU ini dianggap memiliki kelemahan yaitu tidak adanya pemisahan yang jelas mengenai fungsi regulasi, pengawasan dan pelaksanaan dalam mengelola zakat. Kemudian kelemahan kedua yang berkaitan dnegan OPZ adalah terbatasnya pengetahuan masyarakat mengenai penyaluran zakat dimana mereka lebih mengutamakan penyaluran zakat secara pribadi dibandingkan melalui Lembaga zakat. Permasalahan ketiga berkaitan dengan kepercayaan muzzaki kepada Lembaga zakat masih rendah hal ini disebabkan oleh profesionalisme dan hasil pengelolaan zakat yang tidak terpublikasikan kepada masyarakat (Huda & Sawarjuwono, 2013).
Selain permasalahan diatas terdapat permasalah lain yang dihadapi oleh OPZ
berkaitan dengan tata kelola. Permasalahan tersebut menurut (Huda & Sawarjuwono,
2013) yaitu banyak OPZ yang belum memahami dan memiliki pentingnya system
kerja yang optimal dalam organisasi. selain itu belum adanya standarisasi berkaitan dengan manajemen pengelolaan zakat yang dapat memeberikan jaminan kualitas pelayanan baik kepada muzaki, mustahik, pihak-pihak lain yang terkait maupun masyarakat umum.
Dari berbagai permasalahan di atas maka diperlukan analisis mengenai bagaimana konseptualiasi mengenai good amil governance dalam rangka menciptakan profesionalitas dan akuntabilitas organisasi pengelolaan zakat. Mengingat bahwa sebenarnya di Indonesia sudah terdapat payung hukum berkaitan dengan pengelolaan zakat dan terdapat panduan mengenai pengelolaan zakat yang dikenal dengan zakat core principle (ZCP) namun implementasiya dirasa kurang maksimal belum aanya indikator pengukuran yang jelas mengenai pengukuran good governance pada OPZ membawa peneliti untuk mencoba untuk mengkaji kembali mengenai konseptualiasi mengenai pengukuran good amil governance dalam
pengeaolaan zakat. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis mengenai
konseptualisasi berkaitan dengan good amil governance dalam rangka menciptakan akuntabilitas dan transparasi pengelolaan zakat sehingga menghasilkan alternatif penyelesaian permasalahan yang dihadapi oleh OPZ
112 | P a g e
ZAKAT
Zakat adalah ibadah dari sisi keuangan yang menunjukkan ketaatan seorang muslim untuk memenuhi kebutuhan orang miskin, dengan membantu mereka hidup dan memberi mereka keamanan ekonomi; wajib bagi orang kaya untuk membersihkan diri dari sifat egois dan pelit, murni dan memurnikan harta mereka untuk memberikan rasa aman secara psikologis dan finansial. Sebagaimana yang tertuang dalam QS Al-Baqarah (83) bahwa “Dan dirikanlah Shalat, tunaikanlah zakat, dam ruku’lah bersama orang-orang ya ruku’ yang mengandung arti bahwa perintah menunaikan zakat beriringan dengan peirntah shalat yang wajib dijalankan bagi seorang muslim (Adnan et al., 2013). Zakat pun dapat berfungsi dalam meningkatkan integrasi sosial dan menghilangkan kemiskinan di antara anggota masyarakat (Amara & Atia, 2016).
Menurut Ahmad (2019) Zakat adalah salah satu pilar utama Islam, yang merupakan nomor 5 dari prinsip Islam, dan itu wajib oleh Allah SWT untuk umat Islam. Dalam teori dan praktik ekonomi Islam, Zakat adalah sistem utama yang berbeda dengan sistem ekonomi lain di dunia. Itu karena Zakat adalah peraturan dari Al-Qur'an dan telah ditentukan sebelumnya siapa yang memiliki hak untuk menerima dana zakat (mustahik). Dalam teori ekonomi Islam, Zakat adalah lembaga yang menerapkan keadilan (Firmansyah & Devi, 2017).
Jika orang kaya menggunakan pendapatan mereka untuk konsumsi, membeli barang modal (menabung), membelanjakan untuk Allah kewajiban zakat mereka serta memberikan sumbangan amal, dan orang miskin membelanjakan penghasilan mereka termasuk yang diterima dari zakat dan amal, ini secara teoritis akan meningkat konsumsi keseluruhan dan mengurangi tabungan (Wahab & Rahim Abdul Rahman, 2011). Menurut Amara & Atia (2016) Zakat dianggap sebagai sumber daya utama untuk memenuhi kebutuhan individu yang membutuhkan dalam masyarakat Islam, hal itu juga merupakan sarana penting untuk mencapai solidaritas sosial melalui kerja lembaga zakat, karena ada banyak orang membutuhkan yang tidak diketahui jumlah maupun penerimanya.
Menurut Sartika (2008) zakat berfungsi sebagai
1. Mengangkat derajat fakir-miskin dan membantunya keluar dari kesulitan hidup serta penderitaan.
2. Membantu pemecahan permasalahan yang dihadapi oleh para gharimin, ibnussabil, dan mustahiq lainnya.
3. Membentangkan dan membina tali persaudaraan sesama umat Islam dan manusia pada umumnya.
4. Menghilangkan sifat kikir pemilik harta
5. Membersihkan sifat dengki dan iri(kecemburuan sosial) dari hati orang orang miskin.
113 | P a g e
6. Menjembatani jurang pemisah antara yang kaya dengan yang miskin dalam suatu masyarakat.
7. Mengembangkan rasa tanggung jawab sosial pada diri seseorang, terutama pada mereka yang mempunyai harta.
8. Mendidik manusia untuk berdisplin menunaikan kewajiban dan menyerahkan hak orang lain yang ada padanya.
ORGANISASI PENGELOLA ZAKAT
Menurut Undang-Undang No. 23 tahun 2011 mendefinisikan pengelolaan zakat sebagai kegiatan perencanaan, pelaksanaan, pengoordinasian, pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat (Sartika, 2008). Definisi lainLembaga amil zakat, infaq dan shadaqah atau yang dikenal sebagai Lazis atau Lagzis adalah lembaga nirlaba yang berfungsi menampung dan mengelola dana umat dalam bentuk zakat, infaq dan atau shadaqah (Riyanti & Irianto, 2011). Lembaga zakat adalah instrumen penting dalam konsep dan sistem ekonomi Islam, terutama dalam hal peran mereka mendistribusikan kembali kekayaan dari yang kaya (muzakki) ke yang miskin (dhuafa). Sebagai lembaga Islam, lembaga zakat harus mematuhi nilai-nilai etika dan moral Islam. Prinsip-prinsip amanah (kepercayaan), transparansi, akuntabilitas, dan kepatuhan syariah adalah di antara karakteristik yang membedakan lembaga zakat dari lembaga konvensional (Tahliani, 2018)
Sebagai badan hukum di bawah pengawasan Negara, organisasi pengelola zakat memiliki tugas untuk mengumpulkan Zakat dan mendistribusikan ke berbagai penerima yang berbeda sesuai dengan ketentuan dan prinsip-prinsip Syariah Islam yang disyaratkan oleh ketentuan penerapan Zakat (Shehata, 2014). OPZ adalah infrastruktur untuk sistem keuangan Islam di bawah Negara Islam yang secara global menerapkan hukum Allah (Amara & Atia, 2016). Dalam menjalankan perannya, OPZ memiliki dua fungsi yaitu yang pertama berfungsi sebagai Lembaga keuangan Syariah yang merupakan pihak yang bertugas menerima, mengumpulkan, dan mendistribusikan zakat (sebagai amil) dengan mendasarkan kegiatannya sesuai dengan kaidah Syariah yang tercermin dalam pengelolaan tata kelola lembaga dan sumber daya manusia yang memiliki karakteristik jujur, dapat dipercaya dan bertanggungjawab. Fungsi yang kedua sebagai Lembaga non profit yang berperan dalam pemberdayaan masyarakat dalam rangka peningkatan kesejahteraan sosial. Dalam menjalankan perannya ini OPZ akan berhubungan dengan masalah-masalah sosial yang dihadapi masyarakat (Chotib et al., 2018). Lebih luas lagi fungsi dari OPZ ini berkontribusi dalam indikator makro ekonomi, penyediaan lapangan pekerjaan dan penyediaan sarana pembiayaan (Amara & Atia, 2016).
Menurut Shehata (2014) fungsi organisasi pengelola zakat adalah: 1. Mencatat penerimaan dan pendistribusian zakat
2. Membantu menghitung zakat
114 | P a g e 4. Menistribusikan zakat sesuai dengan ketentuan penerima zakat sesuai dengan
prioritas, keharusan dan kebutuhan
5. Memotivasi umat Islam untuk ememnuhi kewajiban dalam hal pembayaran pajak
6. Meminta badan fatwa untuk menjawab pertanyaan individu
7. Penyelesaian program dan laporan berkala untuk Zakat untuk diserahkan kepada dewan direktur untuk pengambilan keputusan yang rasional
Di Indonesia sendiir pengelolaan zakat diatur oleh Undang-Undang no 38 tahun 1999 yang menyebutkan bahwa peran serta masyarakat dapat memberikan kontribusi yang diwujudkan dalam hal pemerolehan informasi mengenai tata kelola zakat oleh badan/Lembaga amil zakat untuk memberikan saran dan pertimbangan kepada badan amil zakat dan masyarakat jika terjadi penyimpangan. Hal ini dipertegas dengan undang-undang no 23 tahun 2011 yang menyebutkan bahwa dalam pengelolaan zakat harus berasaskan pada Syariah Islam, amanah, kemanfaatan, keadilan, kepastian hukum, terintegrasi dan akuntanbilitas dan diperkuat dengan Keputusan Menteri Agama (KMA) No 333 tahun 2015 yang menyebutkan bahwa pengelolaan Lembaga Amil Zakat harus berdasarkan pada praktek pengelolaan organisasi yang professional yang mengarah kepada konsep New Public Management (NPM) (Ahim Abdurahim, Hafiez Sofyani, 2018)
AKUNTABILITAS
Menurut Riyanti & Irianto (2011) akuntabilitas dapat dipahami sebagai pertanggungjawaban agen (pengemban amanah) pada prinsipal (pemberi amanah) melalui sebuah media pertanggung- jawaban secara berkala ataupun insidental untuk melaporkan kinerjanya dalam mengemban amanah yang diberi sehingga kinerja tersebut dapat dimintai pertanggungan jawab oleh prinsipal. Akuntabilitas didefinisikan sebagai suatu cara menegnai pertanggungjawaban manajemen atau penerima amanah kepada pemberi amanah atas pengelolaan sumber daya yang dipercayakan kepada pemegang amanah. Akuntabilitas pun tersirat dalam AL Qur’an surat Al Baqarah 282 yang berkaitan dengan kewajiban pencatatan dari setiap transaksi. Pencatatan ini akan emmeberikan informasi yang dapat dipertanggungjawabkan terhadap kondisi riil kepada public sehingga akuntabilitas ini erat kaitannya dengan pengelolaan organsisasi public dan tranparansi dalam pengelolaan organisasi (Endahwati, 2003).
Menurut Triyuwono (2000), akuntabilitas terdiri dari tiga aspek yaitu yang pertama aspek fisik yang dimaksud berupa laporan keuangan dan/ atau laporan lainnya yang bersifat kuantitatif. Sedangkan yang kedua aspek mental berupa laporan pencapaian program- program kualitatif yang ditetapkan oleh Dewan Penasihat atau laporan tentang ditaati dan dipraktikkannya prinsip-prinsip etika syari’ah. Adapun aspek spiritualnya bersifat abstrak karena perwujudannya melibatkan dimensi spiritual manajemen yaitu sifat ihsan dan takwa yang diwujudkan dalam bentuk
115 | P a g e dipraktik- kannya etika syari’ah dan lebih konkrit lagi diwujudkan dalam bentuk laporan keuangan dan laporan lain pada tataran fisik
Konsep akuntabilitas yang kemudian menjadi indikator pelaksanaan akuntabilitas dalam perspektif Islam adalah (Syafiq, 2016) :
a. Segala aktivitas harus memperhatikan dan mengutamakan kesejahteraan umat sebagai perwujudan amanah yang diberikan Allah kepada manusia sebagai seorang khalifah.
b. Aktivitas organisasi dilaksanakan dengan adil.
c. Aktivitas organisasi tidak merusak lingkungan sekitar.
Secara umum, efisiensi dan tata kelola dari lembaga zakat telah dianggap sebagai cara menunjukkan akuntabilitas kepada pembayar zakat dan akhirnya kepada Allah, sambil mempertimbangkan persyaratan hukum syariah (Wahab & Rahim Abdul Rahman, 2011). Wahab & Rahim Abdul Rahman (2011) berpendapat bahwa tata kelola lembaga zakat mengacu pada struktur dan mekanisme tata kelola untuk memastikan akuntabilitas keuangan dan manajerial pengumpulan dan distribusi zakat. Mereka juga berpendapat agar dapat dipertanggungjawabkan, kepada publik serta pemangku kepentingan institusional, organisasi harus sepenuhnya transparan dengan memastikan proses, lembaga, dan informasi dapat diakses dan memadai bagi pihak terkait, terutama kepada pemangku kepentingan untuk tujuan pengawasan.
Berikut adalah kerangka akuntabilitas dalam lembaga zakat menurut Saad et al., 2014)
116 | P a g e **Garis terputus-putus di dalam gambar di atas menunjukkan hubungan tak berwujud antara manusia dan penyerahan kepada Allah, yang dapat dipertanggungjawabkan melalui tingkat keimanan dan kepercayaan Islam.
Akuntabilitas ini pun juga diatur dalam Undang-Undang no 23 tahun 2011 mengenai pengelolaan zakat yang menyebutkan bahwa BAZNAS dan LAZ wajib untuk menyampaikan laporan pelaksanaan pengelolaan zakat, infak, sedekah, dan dana sosial keagamaan lainnya kepada pemerintah, kepada BAZNAS Pusat dan laporan neraca tahunan BAZNAS diumumkan melalui media cetak maupun elektronik. Selain itu dalam UU ini diharapkan adanya peran serta masyarakat untuk melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap BAZNAS dan LAZ.
GOOD GOVERNANCE
Definisi Tata Kelola Perusahaan yang Baik adalah sistem yang mengelola dan mengendalikan organisasi atau perusahaan untuk menciptakan nilai tambah bagi semua pemangku kepentingan (Firmansyah & Devi, 2017). Menurut Forum for Corporate Governance in Indonesia (FCGI) mendefinisikan Corporate Governance sebagai seperangkat peraturan yang mengatur hubungan antara pemegang saham,pengurus (pengelola) perusahaan, pihak kreditur, pemerintah, karyawan, serta para pemegang kepentingan internal dan eksternal lainnya yang berkaitan dengan hak-hak dan kewajiban mereka. Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) mendefinisikan corporate governance sebagai struktur yang olehnya para pemegang saham, komisaaris dan manajer menyusun tujuan-tujuan dari perusahaan dan sarana untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut untuk mengawasi kinerja (Adnan et al., 2013). Hal tersebut memperjelas mekanisme tujuan organisasi berkaitandengan pencapaian tujuan dan mekanisme pengawasan organisasi. oleh sebab itu tata kelola yang baik dapat memberikan insentif kepada dewan atau manajemen untuk mencapai tujuan dan menyediakan mekanisme pengendalian dalam menggunakan sumber daya dalam raangka untuk meningkatkan efektifitas dalam kinerjanya (Amara & Atia, 2016). Ada delapan karakter- istik utama dalam good governance yaitu partisipatif, berorientasi pada konsensus, akuntabel, transparan, responsif, efektif dan efisien, adil dan inklusif, dan mengikuti aturan hukum, untuk memastikan bahwa korupsi dapat diminimalisir, pandangan minoritas dipertimbangkan. akun dan suara yang paling rentan di masyarakat didengar dalam pengambilan keputusan (Siswadi, 2002)
Menurut keputusan Menteri Badan Usaha Milik Negara Nomor : Kep-117/M-Mbu/2002 Pasal 3 Tentang Penerapan Praktek Good Corporate Governance Pada Badan Usaha Milik Negara(BUMN) menyebutkan terdapat 5 prinsip Good Corporate Governance yaitu:
1. Transparansi, yaitu keterbukaan dalam melaksanakan proses pengambilan keputusan dan keterbukaan dalam mengemukakan informasi materiil dan relevan mengenai perusahaan.
117 | P a g e 2. Akuntabilitas, yaitu kejelasan fungsi, pelaksanaan dan pertanggungjawaban
organ sehingga pengelolaan perusahaan terlaksana secara efektif.
3. Pertanggungjawaban, yaitu kesesuaian di dalam pengelolaan perusahaan terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku dan prinsip-prinsip korporasi yang sehat.
4. Kemandirian, yaitu suatu keadaan di mana perusahaan dikelola secara profesional tanpa benturan kepentingan dan pengaruh/tekanan dari pihak manapun yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan prinsip-prinsip korporasi yang sehat.
5. Kewajaran (Fairness), yaitu keadilan dan kesetaraan di dalam memenuhi hak-hak stakeholder yang timbul berdasarkan perjanjian dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Sedangkan menurut Al-Ghazali dalam (Gufron, 2015) mengenai konsep layanan publik yaitu dalam menjalankan organisasi nilai-nilai Tuhan dan hukum moral harus menjadi dasar dan dilaksanakan secara partisipatif, efektif, adil, transparan, dan bertanggung jawab pada semua tingkatan pemangku kepentingan, serta dicirikan oleh kepatuhan terhadap hukum. Indikator-indikator ini memiliki kesamaan dengan prinsip-prinsip good governance yang dicetuskan Charless H. Lenvene yaitu akuntabilitas, tanggung jawab, daya tanggap (Gufron, 2015). Sementara menurut (Fawaid, 2010), setidaknya ada tiga pilar dalam good governance yaitu transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi.
Sesuai Syari'ah Enterprise Theory (SET) pemikiran dalam penelitian ini digunakan untuk memahami perspektif organisasi pemangku kepentingan dalam agama Islam, dimana para pemangku kepentingan organisasi tidak hanya manusia dan alam sekitarnya, tetapi juga Tuhan sebagai final pusat tanggung jawab semua aktivitas di dunia (Triyuwono, 2007). Tuhan adalah yang tertinggi dan menjadi satu-satunya tujuan hidup manusia. Konsekuensi menetapkan Tuhan sebagai pemangku kepentingan tertinggi adalah penggunaan Sunatullah sebagai dasar untuk pembangunan Syariah akuntansi dan akuntansi secara umum.
Dalam pandangan para ahli hukum Islam mengklaim bahwa Islam sebagai agama adalah kode lengkap kehidupan itu mencakup semua bidang sosial, ekonomi dan struktur hukum termasuk perdagangan. Hukum Islam (Syariah) menyediakan sistem yang komprehensif untuk dicakup tidak hanya ritual keagamaan, tetapi juga banyak aspek kehidupan sosial dan ekonomi, politik, bisnis dan hukum kontrak. Dalam prinsip bisnis syariah mensyaratkan bahwa bisnis harus sesuai dengan Syariah aturan perdagangan yang adil, kejujuran dan keadilan terhadap orang lain serta kebermanfaatanya bagi masyarakat (Firmansyah & Devi, 2017).
The Islamic Financial Services Council mendefinisikan tata kelola sebagai standar mengenai prinsip panduan untuk tata kelola organisasi berkaitan dengan
118 | P a g e pengaturan dan memastikan adanya pengawasan yang efektif dan independent. Menurut Tahliani (2018) menjelaskan bahwa dalam hal tata kelola lembaga/institusi silam memiliki fitur unik dan khas dengan adanya penggabungan eleme prinsip-prinsip Tauhid, Syura, dan Syariah dan berusaha mencapai tujuan pribadi tanpa mengabaikan kewajiban kesejahteraan sosial. Oleh karena itu tata kelola OPZ dapat didefinisikan sebagai determinan hubungan antara pengelola zakat dengan yang memberikan zakat melalui peningkatan fungsi organisasi, pendistribusian secara adil dan efektif kepada yang berhak menerima dan dapat digunakan untuk mengurangi kemiskinan dan pengangguran. Dengan demikian tata kelola OPZ mencakup seperangkat hukum, administrasi dan persyaratan ekonomi yang diatur oleh mekanisme yang menghubungkan tujuan ekonomi yang sosial, berkontribusi pada tata kelola OPZ dalam penggunaan sumber daya secara rasional, akuntabilitas, dan mengintegrasikan kepentingan individu, OPZ dan masyarakat secara umum. (Amara & Atia, 2016)
Berikut merupakan kontribusi Good Governance OPZ menurut (Alasraj, 2011) yaitu:
1. Memperkuat transparansi dalam semua transaksi dan prosedur akuntansi dan keuangan Adanya proses audit untuk mengurangi korupsi keuangan dan administrasi.
2. Memastikan adnya audit operasional, keuangan pada OPZ
3. Meletakkan kendali dan pengawasan yang efektif pada kinerja dan penguatan fondasi OPZ pada aspek akuntabilitas dan kepercayaan;
4. Meningkatkan kepercayaan pada donatur saat ini maupun donatur potensial pada OPZ
5. Mempertimbangkan kepentingan berbagai pihak dan membangun komunikasi dengan mereka.
Prinsip-prinsip good governance pada OPZ yaitu:
1. Membantu OPZ untuk melaksanakan tugas secara efisiensi untuk mencapai tujuan ekonomi dan persyaratan yang sah (menurut Syariah Islam) untuk berinvestasi sumber daya Zakat;
2. Memisahkan kekuatan dan mengurangi konflik kepentingan untuk memastikan adanya mekanisme yang jelas berkaitan dengan tanggung jawab dan akuntabilitas saat mengumpulkan dan endistribusikan Zakat;
3. Memberikan pendapat netral tentang transaksi OPZ 4. Melengkapi kerangka kelembagaan dan Syariah OPZ.
Menurut Zaenal et al., (2017) dimensi dari Good Amil Governance ada 13 yaitu: 1. Definisi Amil sebagaimana disebutkan dalam Undang-Undang Zakat atau
119 | P a g e 2. Hak dan Kewajiban Amil
3. Panduan Tata Kelola Good Amil
4. Penilaian Reguler terhadap Kebijakan Good Amil Governance
5. Struktur Organisasi Khusus yang bertanggung jawab atas Good Amil Governance
6. Peran Dewan dan Manajemen Lembaga Zakat 7. Evaluasi Kinerja Dewan Lembaga Zakat 8. Evaluasi Kinerja Manajemen lembaga Zakat 9. Sertifikasi dan Pengembangan Amil
10. Standar Operasional Prosedur (SOP) Lembaga Zakat 11. Mitigasi Risiko Good Amil Governance
12. Pengungkapan dan Transparansi 13. Kepatuhan dan Peraturan Syariah
Sedangkan menurut Zakat Core Principal (ZCP) yang dikembangkan oleh Bank Indonesia yang bekerjasama dengan BAZNAS, dan IRTI-IDB (Islamic Research and Training Institute-Islamic Development Bank) dan telah digunakan oleh 150
negara termasuk di Indonesia menyatakan bahwa terdapat 6 dimensi pengelolaan
zakat (Mubtadi & Susilowati, 2018). 6 dimensi tersebut meliputi landasan hukum, supervisi zakat, tata Kelola zakat, fungsi intermediasi, manajemen resiko dan kesesuaian Syariah yang diturunkan ke dalam 18 indikator ZCP yaitu
No Kode Aspek yang diatur Kata kunci 1 ZCP 1 Top of firm, tujuan,
independensi, otoritas bottom of form
Hokum peraturan atau kerangka hukum lainnya untuk pengawasan zakat harus jelas dan didefiniskan guna memberikan kewenangan masing-masing dan
bertanggungjawab dengan
kekuatan hukum yang diperlukan dan independensi
120 | P a g e 2 ZCP 2 Kegiatan amil zakat
yang diizinkan
Hukum, regulasi atau aturan lain harus secara jelas emndefiniskan kegiatan-kegatan yang diizinkan dilakukan oleh organisasi
pengelolaa zakat sesuai dengan prinsip Syariah, termasuk dalam hal peghimpunan zakat,
pengelolaan keuangan,
epnistribusian zakat dan aktivitas lainnya
3 ZCP 3 Kriteria perijinan Otoritas perijinan harus memiliki kewenangan regulasi untuk emnentukan kriteria perizinan organisasi pengelola zakat dan menolak aplikasi yang tidak memenuhi kriteria
4 ZCP 4 Pendekatan
pengawasan
Pengawasan zakat memiliki skema pengawasan yang terintegrasi yang mencakup semua aspek dari
pengumpulan zakat dan penyaluran zakat
5 ZCP 5 Teknik dan
instrument pengawasan
Pengawasan zakat menggunakan Teknik dan isntrumen pengawasan yang emmedai untuk menerapkan melakukan pengwasan dan
emperkerjakan sumber dyaa pengawasan yang telah divalidasi dan diverivikasi
6 ZCP 6 Pelaporan
pengawasan
Supervisor zakat mengumpulkan informasi dan mereview dan menganalisis kinerja organisasi pengelola zakat
121 | P a g e
7 ZCP 7 Kekuatan
pengawasan dalam koreksi dan sanksi
Supervisor zakat memiliki berbagai instrument pengawasan yang emmadai untuk melakukan
tindakan korektif yang tepat waktu kemampuan untuk mencabut izin organisasi pengelola zakat dan merekomendasikan izin
pencabutan 8 ZCP 8 Tata kelola amil
(good amil governance)
Pengawas zakat emenntukan bahwa OPZ memiliki kebijakan dan proses amil governance yang kuat yang meliputi kepatuhan Syariah, instrument strategis, lingkungan pengendalian, penegtahuan manajemen,
tanggungjawab dewan Lembaga zakat
9 ZCP 9 Manajemne
penghimpunan
Pengawasan zakat menentukan bahwa organisasi peneglola zakat memiliki kebijakan dan proses yang emmandai untuk penilaian nisab dan asset yang dizakati
10 ZCP 10 Manajemen
pemberdayaan
Supervisor zakat menentukan bahwa OPZ memiliki keijakan dan proses yang memadai untuk mengelola dana zakat dan system distribusinya
11 ZCP 11 Risiko negara dan transfer
Pengawas zakat menentukan bahwa OPZ memiliki kebijakan dan proses yang emmadai untuk mengendalikan risiko negara dan risiko transfer zakat dalam
kegiatan transfer zakat internasional mereka
122 | P a g e 12 ZCP 12 Risiko reputasi dan
kerugian muzaki
Pengawas zakat menentukan bahwa OPZ memiliki kerangka kerja manajemn yang memadai untuk menangani risiko system, reputasi dan risiko kerugian muzakki
13 ZCP 13 Risiko
pendistribusian
Lembaga zakat harus dapat harus dapat mengurangi risiko
endistribusian speerti posisi keuangan yang sehat dan misalokasi kegiatan pendayagunaan 14 ZCP 14 Risiko operasional
dan kepatuhan Syariah
pengawsan zakat menentukan bahwa organisasi pengeloala zakat harus memiliki manajmen risiko dan operasional yang tepat untuk meminimalkan potensi praktek penipuan antisipasi terhadap kerusakan system dan potensi gangguan lainnya
15 ZCP 15 Pengawasan Syariah dan audit internal
Pengawas zakat menentukan bahwa organisasi pengelola zakat untuk emiliki pengawasan Syariah dan kerangka kerja audit internal yang sesuai untuk membangun dan memelihara lingkungan oerasi yang terkontrol dengan baik sesuai dengan hukum Syariah
16 ZCP 16 Laporan ekuangan dan audit eksternal
Supervisor zakat menentukan bahwa OPZ memiliki cacatan laporan ekuangan publikasi
tahunan dan fungsi audit eksternal yang terpercaya
123 | P a g e 17 ZCP 17 Pengungkapan dan
transparansi
Pengawas zakat menentukan bahwa OPZ secara teratur mempublikasikan informasi konsolidasi yang mudah diakses dan cukup mencerminkan kondisi keuangan dan kinerja
18 ZCP 18 Penyalahgunaan layanan zakat
Pengawas zakat menentukan bahwa OPZ memiliki kebiajkan dan proses yang tepat untuk mereview, mempromosikan etika Islam, dan standar professional serta untuk mencegah tindakan criminal
Method
Penelitian ini merupakan penelitian kualitiatif yang mencoba untuk membandingkan menegnai penerapan good amil governance pada organisasi pengelola zakat (OPZ) terbesar di Indonesia. Teknik analisisi yang digunakan dengan menggunakan analisis content melalui laporan tahunan yang diterbitkan dan publikasi melalui website OPZ. Sampel dalam penelitian ini terdiri atas 4 OPZ terbesar di Indonesia yaitu: BAZNAS, DOMPET DHUAFA, LAZISNU dan LAZIZMU.
Indikator pertanyaan untuk good amil governance
Aspek Good Amil
Governance Definisi
Transparansi Organisasi Pengelola Zakat menyediakan informasi yang jelas dan benar serta dapat dipertanggungjawabkan terkait pengelolaan ZIS yang dilakukan 1. Organisasi Mempublikasi laporan keuangan agar terwujudnya pengelolaan organisasi yang transparan sebagai wujud tanggungjawab 2. Mengembangkan sistem akuntansi yang berbasis
124 | P a g e
Aspek Good Amil
Governance Definisi standar akuntansi yang menjamin adanya laporan keuangan dan pengungkapan yang berkualitas 3. Mengembangkan Information Tecnology
(IT) dan Management
Information System
sebagai jaminan adanya kinerja yang memadai dan proses pengambilan
keputusan yang efektif
Akuntabilitas kejelasan fungsi, pelaksanaan dan pertanggungjawaban organ sehingga pengelolaan perusahaan terlaksana secara efektif
1. organisasi harus menetapkan rincian tugas dan tanggungjawab organ masing-masing perusahaan dan semua karyawan secara jelas, dan selaras dengan visi, misi, nilai-nilai perusahaan (corporate
value), dan strategi
perusahaan.
2. Perusahaan harus meyakini bahwa semua organ dan karyawan mempunyai kemampuan sesuai tugas, tanggungjawab, dan perannya dalam pelaksanaan GCG. 3. Dalam melaksanakan tugas
125 | P a g e
Aspek Good Amil
Governance Definisi dan wewenangnya, setiap organ perusahaan dan semua karyawan harus berpegang pada etika dan perilaku (code of
conduct) yang telah
disepakati 4. Adanya mekanisme pengawasan yang dilakukan baik internal maupun eksternal 5. Adanya pertanggungajwaban mengenai program yang dilakukan dan penyaluran dana kepada masyarakat (mustahik)
Responsibility Organisasi Pengelola Zakat harus mampu bertanggungjawab atas segala bentuk kinerjanya
baik kepada lingkungan, karyawan, maupun kepada masyarakat 1. Adanya kesadaran untuk bersikap tangungjawab
sebagai salah satu kosekuensi yang melekat pada jabatan. 2. Kesadaran akan adanya tanggungjawab sosial. 3. Bekerja secara profesional dan menjunjung etika dan kode etik organisasi
4. Memelihara
lingkungan kerja yang sehat dan kondusif
126 | P a g e
Aspek Good Amil
Governance Definisi
Independent Organisasi Pengelola Zakat bersifat otonom dan bebas dari pengaruh dan kepentingan
pemerintah, partai politik, donor/lembaga penyandang dana, dan siapapun yang dapat menghilangkan
independensi organisasi dalam bertindak bagi kepentingan umum 1. Adanya kebijakan mengenai pelanggaran rangkap jabatan pengambil keputusan dan/atau kepentingan ejenis antara pengelola dengan jajaran pemerintah, perusahaan swasta, pengurus dan anggota partai politik, atau pun organisasi lain yang berafiliasi
dengan partai politik 2. Program dan
aktivitas organisasi bersifat independen dan bebas.
Keterbukaan (fairness) Keadilan dan kesetaraan di dalam memenuhi hak-hak stakeholder yang timbul berdasarkan perjanjian dan peraturan perundang-undangan, melalui perlakuan amil yang setara terhadap
muzakki seperti
kesetaraan sistem
pembayaran zakat yang sederhana dan perlindungan kepentingan muzakki 1. Kemudahan dalam pembayaran zakat 2. Keterbukaan dalam
menerima kritik dan saran
3. Pemanfaatan fintect dalam pembayran zakat
Sumber: Kurniasari (2017)
Result and Discussion
Pengelolaan zakat di Indonesia diatur dalam Undang Undang No 23 tahun 2011 yang meneybutkan bahwa pengelolaan zakat di Indonesia dilakukan oleh Badan
127 | P a g e Zakat Nasional (BAZNAS) dan Lembaga Amil Zakat (LAZ). BAZNAS merupakan lembaga lembaga pemerintahyang melakukan pengelolaan zakat secara nasional. Lembaga ini dapat bekerjasam dengan pihak pihak lain dalam pengumpulan dan pendistribusian zakat yaitu dengan LAZ. LAZ didefinisikan sebagai lembaga yang dibentuk masyarakat yang memiliki tugas membantu pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat. LAZ membantu BAZNAS dalam pelaksanaan pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat kepada masyarakat. Berikut ini merupakan perbandingan mengenai tata kelola organisasi pengelola zakat dari 4 organisasi terbesesar di Indonesia
BAZNAS DOMPET
DHUAFA LAZISMU LAZISNU Struktur
organisasi Terdiri dari anggota dan direksi Dewan Pembina yang menaungi dewan pengawas, dewan pengurus dan dewan Syariah. Dewan pengurus terdiri dari dompet dhuafa social enterprise, Lembaga smi otonom dan dompet dhuafa filantropi Dewan Syariah Badan pengawas Badan pengurus Badan eksekutif Dewan pengawas syariah Auditor internal Manajer PBNU Direktur Mekanisme pengawasan internal Dewan direksi Dewan pengawas Dewan Syariah Dewan Syariah Badan pengawas Dewan Syariah dan auditor internal Mekanisme pengawasan eksternal Auditor
independen Auditor eksternal/ independent Auditor eksternal/ independent Auditor independen
128 | P a g e BAZNAS DOMPET DHUAFA LAZISMU LAZISNU Penerbitan laporan tahunan
Ada ada ada ada
Penerbitan laporan keuangan
Ada tanpa
CALK Ada CALK tanpa Ada CALK tanpa Da CALK dengan Publikasi
program
Ada di web Ada di web
dan di laporan tahunan Ada di web dan laporan tahunan Ada di web dan di laporan tahunan
Adapun hasil analisis mengenai indkator dalam good amil governance yang telah diterapkan sebagai berikut:
Indik
ator BAZNAS DOMPET DHUAFA LAZISMU LAZIZNU
Trans paran si 4. Organisasi Mempublikasi laporan keuangan agar terwujudnya pengelolaan organisasi yang transparan sebagai wujud tanggungjawab
Ada ada ada Ada
5. Mengembangka n sistem akuntansi yang berbasis standar akuntansi yang menjamin adanya laporan keuangan dan pengungkapan yang berkualitas Belum diungkapkan dalam laporan keuangan dan web Belum diungkapkan dalam laporan keuangan dan web Belum diungkapkan dalam laporan keuangan dan web Belum diungkapkan dalam laporan keuangan dan web 6. Mengembangka n Information Tecnology (IT) dan Management Information Belum diungkapkan dalam lapkeu dab web Belum diungkapkan dalam lapkeu dab web Belum diungkapkan dalam lapkeu dab web Belum diungkapkan dalam lapkeu dab web
129 | P a g e Indik ator BAZNAS DOMPET DHUAFA LAZISMU LAZIZNU System sebagai jaminan adanya kinerja yang memadai dan proses pengambilan keputusan yang efektif Akun tabilit as 6. organisasi harus menetapkan rincian tugas dan tanggungjawab organ masing-masing perusahaan dan semua karyawan secara jelas, dan selaras dengan visi, misi, nilai-nilai
perusahaan
(corporate value),
dan strategi perusahaan.
ada ada ada ada
7. Perusahaan harus meyakini bahwa semua organ dan karyawan mempunyai kemampuan sesuai tugas, tanggungjawab, dan perannya dalam pelaksanaan GCG.
ada ada ada ada
8. Dalam
melaksanakan
130 | P a g e Indik ator BAZNAS DOMPET DHUAFA LAZISMU LAZIZNU tugas dan wewenangnya, setiap organ perusahaan dan semua karyawan harus berpegang pada etika dan perilaku (code of conduct) yang telah disepakati 9. Adanya mekanisme pengawasan yang dilakukan baik internal maupun eksternal
ada ada ada ada
10. Adanya pertanggungaj waban mengenai program yang dilakukan dan penyaluran dana kepada masyarakat (mustahik) Ada melalui laporan keuangan dan web Ada melalui laporan keuangan dan web Ada melalui laporan ekuangan dan web Ada melalui laporan ekuangan dan web Resp onsib ility 5. Adanya kesadaran untuk bersikap tangungjawab sebagai salah satu kosekuensi yang melekat pada jabatan. Belum diungkapkan dalam laporan keuangan dan web Belum diungkapkan dalam laporan ekuangan dan web Belum diungkapkan dalam laporan keuangan dan web Belum diungkapkan dalam laporan ekuangan dan web
131 | P a g e Indik ator BAZNAS DOMPET DHUAFA LAZISMU LAZIZNU 6. Kesadaran akan adanya tanggungjawab sosial.
ada ada ada ada
7. Bekerja secara profesional dan menjunjung etika dan kode etik organisasi
ada ada ada Ada
8. Memelihara lingkungan kerja yang sehat dan kondusif Belum diungkapkan dalam laporan keuangan dan web Belum diungkapkan dalam laporan keuangan dan web Belum diungkapkan dalam laporan keuangan dan web Belum diungkapkan dalam laporan keuangan dan web Indep ende nt 3. Adanya kebijakan mengenai pelanggaran rangkap jabatan pengambil keputusan dan/atau kepentingan ejenis antara pengelola dengan jajaran pemerintah, perusahaan swasta, pengurus dan anggota partai politik, atau pun organisasi lain yang berafiliasi dengan partai politik Belum diungkapkan dalam laporan keuangan dan web Belum diungkapkan dalam laporan keuangan dan web Belum diungkapkan dalam laporan keuangan dan web Belum diungkapkan dalam laporan keuangan dan web 4. Program dan aktivitas organisasi bersifat
132 | P a g e Indik ator BAZNAS DOMPET DHUAFA LAZISMU LAZIZNU independen dan bebas Keter buka an (fairn ess) 4. Kemudahan dalam pembayaran zakat
ada ada ada ada
5. Keterbukaan dalam menerima kritik dan saran
ada ada ada ada
6. Pemanfaatan fintect dalam pembayran zakat
ada ada ada ada
Secara garis besar OPZ di Indoensia telah menerapkan prinsip good amil governance walaupun terdapat ebebrapa aspek yang belum diungkapkan dalam laporan keuangan maupun website perushaan. Komitnen organisasi untuk meningkatkan akuntabilitas dan tranparansi dalam pengelolaan organisasi dapat tergambar dari adanya mekanisme struktur organisasi serta pengawasan baik secara internal maupun eksternal dimana terdapat dewan pengawas dan auditor eksternal yang mengawasi kinerja organisasi. Untuk meningkatkan potensi zakat pun keempat organsiasi ini telah memanfaatkan fintek dan teknologi untuk meningkatkan kontribusi zakat. Dalam hal pendistribusian zakat pun terlihat bahwa sejumlah program telah disuusn untuk pendistribusian zakat dan dilaporkan dalam laporan ekuangan maupun website perusahaan. Sebagaimana diatur oleh Undang-Undang no 38 tahun 1999 yang menyebutkan bahwa peran serta masyarakat dapat memberikan kontribusi yang diwujudkan dalam hal pemerolehan informasi mengenai tata kelola zakat oleh badan/Lembaga amil zakat untuk memberikan saran dan pertimbangan kepada badan amil zakat dan masyarakat jika terjadi penyimpangan. Hal ini dipertegas dengan undang-undang no 23 tahun 2011 yang menyebutkan bahwa dalam pengelolaan zakat harus berasaskan pada Syariah Islam, amanah, kemanfaatan, keadilan, kepastian hukum, terintegrasi dan akuntanbilitas dan diperkuat dengan Keputusan Menteri Agama (KMA) No 333 tahun 2015 yang menyebutkan bahwa pengelolaan Lembaga Amil Zakat harus berdasarkan pada praktek pengelolaan organisasi yang professional yang mengarah kepada konsep New Public Management (NPM) (Ahim Abdurahim , Hafiez Sofyani, 2018)
Daftar Pustaka
Adnan, N. S., Kamaluddi, A., & Kasim, N. (2013). Intellectual capital in religious organisations: Malaysian zakat institutions perspective. Middle East Journal of
Scientific Research, 16(3), 368–377.
133 | P a g e Ahim Abdurahim, Hafiez Sofyani, S. A. W. (2018). Membangun Good Governance Di
Lembaga Amil Zakat , Infaq dan Sadaqah ( LAZ ): Pengalaman Dua LAZ Besar di Indonesia. Inferensi, Jurnal Penelitian Sosial Keagamaan, 12(1), 45–64.
Ahmad, S. (2019). Developing and Proposing Zakat Management System: A Case of the
Malakand District, Pakistan. 4(1), 25–33.
Amalia, E. (2018). The Shariah Governance Framework For Strengthening Zakat
Management in Indonesia: a Critical Review of Zakat Regulations. May.
https://doi.org/10.2991/iclj-17.2018.28
Amara, N. Ben, & Atia, L. (2016). Toward the Adoption of a Governance Model in Zakat. International Journal of Business and Management Review, 4(2), 104–118. Anggara, F. S. A., & Hastuti, E. W. (2018). Performance comparison Amil Zakat
Institutions on Ponorogo towards good Amil governance. Al Tijarah, 4(2), 67. https://doi.org/10.21111/tijarah.v4i2.2829
Chotib, M., Yuswadi, H., Toha, A., & Wahyudi, E. (2018). Implementation of Good Amil Governance At Amil Zakat. International Journal of Humanities and Social
Science Invention (IJHSSI), 7(01), 93–100.
Endahwati, yosi dian. (2003). AKUNTABILITAS PENGELOLAAN ZAKAT, INFAQ, DAN SHADAQAH (ZIS). Jurnal Ilmiah Akuntansi Dan Humaniah, 1, 6–8.
https://doi.org/10.16309/j.cnki.issn.1007-1776.2003.03.004
Fadillah, S., Lestari, R., & Nurcholisah, K. (2011). Analisis Pengelolaan Zakat Dengan
Penerapan Good Corporate Goverance Dilihat Dri Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Sebagai Upaya Untuk Meningkatkan Daya Saing Lembaga Amil Zakat. 23.
Firmansyah, I., & Devi, A. (2017). The Implementation Strategies of Good Corporate Governance for Zakat Institutions in Indonesia. International Journal of Zakat, 2(2), 85–97.
Hamdani, L., Nasution, M. Y., & Marpaung, M. (2019). Solusi Permasalahan
Perzakatan di BAZNAS dengan Metode ANP: Studi tentang Implementasi Zakat Core Principles. Muqtasid: Jurnal Ekonomi Dan Perbankan Syariah, 10(1), 40.
https://doi.org/10.18326/muqtasid.v10i1.40-56
Hashim, Md, A., & Hasan, shabana M. (2014). prospect and outlook of islamic wealth
management: post global crisis.
Huda, N., & Sawarjuwono, T. (2013). Akuntabilitas Pengelolaan Zakat melalui Pendekatan Modifikasi Action Research. Jurnal Akuntansi Multiparadigma, 4. https://doi.org/10.18202/jamal.2013.12.7204
134 | P a g e Governance Baznas Dan Laznas. Jurnal Akuntansi, 9(2), 97–110.
https://doi.org/10.33369/j.akuntansi.9.2.97-110
Mubtadi, N. A., & Susilowati, D. (2018). Analysis of Governance and Efficiency on Zakat Distribution: Evidence From Indonesia. International Journal of Zakat, 3(2), 1–15.
Noor, A. H. M., Rasool, M. S. A., Ali, R. M. Y. S. M., & Rahman, R. A. (2015). Efficiency of Islamic Institutions: Empirical Evidence of Zakat Organizations’ Performance in Malaysia. Journal of Economics, Business and Management, 3(2), 282–286. https://doi.org/10.7763/joebm.2015.v3.195
Riyanti, Y. R., & Irianto, G. (2011). Akuntabilitas Pada Lembaga Amil Zakat, Infaq Dan Shadaqah (Studi Kasus Pada Yayasan Dana Sosial Al-Falah (Ydsf) Malang).
Jurnal Ekonomi & Keuangan Islam, 1(2), 169–180.
Saad, R. A. J., Aziz, N. M. A., & Sawandi, N. (2014). Islamic Accountability Framework in the Zakat Funds Management. Procedia - Social and Behavioral
Sciences, 164(August), 508–515. https://doi.org/10.1016/j.sbspro.2014.11.139
Sartika, M. (2008). Pengaruh Pendayagunaan Zakat Produktif terhadap
Pemberdayaan Mustahiq pada LAZ Yayasan Solo Peduli Surakarta. La_Riba,
2(1), 75–89. https://doi.org/10.20885/lariba.vol2.iss1.art6
Shehata, N. F. (2014). Theories and Determinants of Voluntary Disclosure. Accounting
and Finance Research, 3(1). https://doi.org/10.5430/afr.v3n1p18
Syafiq, A. (2016). Urgensi Peningkatan Akuntabilitas Lembaga Pengelola Zakat.
Zizwaf, 3(Juni), ,.
Tahliani, H. (2018). Contribution of Good Governance Principles to Strengthening Zakat Management in Indonesia : Confirmatory Factor Analysis. International
Journal of Zakat, 3(3), 39–54.
Taisir, M., Irwan, M., & Busaini. (2017). Zakat Governance and Muzakki Trust : Between Zakat With Heart and Zakat Due Regulation. International Conference
and Call for Papers, Jember, 23, 1753–1773.
Triyuwono, I. (2000). Roekhuddin.(2000). Konsistensi Praktik Sistem Pengendalian Intern dan Akuntabilitas pada LAZIS (Studi kasus di Lazis X Jakarta). Jurnal
Riset Akuntansi Indonesia, 3(2), 151–167.
Wahab, N. A., & Rahim Abdul Rahman, A. (2011). A framework to analyse the efficiency and governance of zakat institutions. Journal of Islamic Accounting and
Business Research, 2(1), 43–62. https://doi.org/10.1108/17590811111129508
135 | P a g e Principles of Amil Zakat and Best Practice Recommendations for Zakat
Institutions. Baznas Working Paper Series, December, 1–16.
http://www.puskasbaznas.com/publication/index.php/workingpaper/article /view/19%0Ahttp://www.puskasbaznas.com/publication/index.php/workin gpaper/article/download/19/15