• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II PENGATURAN SELF DEALING DALAM HUKUM PERUSAHAAN DI INDONESIA. A. Self Dealing dalam Sejarah Hukum Perusahaan di Indonesia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II PENGATURAN SELF DEALING DALAM HUKUM PERUSAHAAN DI INDONESIA. A. Self Dealing dalam Sejarah Hukum Perusahaan di Indonesia"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

PENGATURAN SELF DEALING DALAM HUKUM PERUSAHAAN DI INDONESIA

A. Self Dealing dalam Sejarah Hukum Perusahaan di Indonesia

Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 telah menggantikan Undang-Undang No. 1 Tahun 1995, sebelum tahun 1995, pengaturan perseroan terbatas dimuat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD), yang berasal dari Belanda dan diperlakukan di Indonesia tahun 1848.53

Tanggung jawab pemegang saham dan direktur menurut Undang-Undang Perseroan Terbatas masih relevan karena bunyi ketentuannya tidak berubah sejak berlakunya Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) dan kemudian digantikan oleh Undang-Undang No. 1 Tahun 1995.54

Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Perseroan Terbatas yang baru menyatakan bahwa pemegang saham perseroan tidak bertanggung jawab secara pribadi atas perikatan yang dibuat atas nama perseroan dan tidak bertanggung jawab atas kerugian perseroan melebihi saham yang dimiliki. Ayat (2), ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku apabila :

a. Persyaratan perseroan sebagai badan hukum belum atau tidak terpenuhi; b. Pemegang saham yang bersangkutan baik langsung maupun tidak langsung

dengan itikad buruk memanfaatkan perseroan untuk kepentingan pribadi; c. Pemegang saham yang bersangkutan terlibat dalam perbuatan melawan

hukum yang dilakukan oleh perseroan; atau

53

R. Soepomo, Sistem Hukum di Indonesia Sebelum Perang Dunia Ke II, (Jakarta : Pradnya Paramita, 1972) Hal 10.

54

Erman Rajagukguk, Pengelolaan Perusahaan yang Baik : Tanggung Jawab Pemegang saham, Komisaris dan Direksi, Jurnal Hukum Bisnis, Vol 26. No 3- Tahun 2007

(2)

d. Pemegang saham yang bersangkutan baik langsung maupun tidak langsung secara melawan hukum menggunakan kekayaan perseroan, yang mengakibatkan kekayaan perseroan menjadi tidak cukup untuk melunasi hutang perseroan.

Pasal 3 ayat (2b) Undang-Undang No 40 tahun 2007 ini yang menyatakan bahwa pemegang saham yang bersangkutan baik langsung maupun tidak langsung dengan itikad buruk memanfaatkan perseroan untuk kepentingan pribadi sama dengan maksud dari Pasal 3 ayat (2b) Undang-Undang No. 1 tahun 1995. Hal ini meunjukkan telah lama ada pengaturan yang walaupun hanya tersirat mengenai transaksi yang berkaitan dengan kepentingan pribadi.

Transaksi self dealing adalah suatu transaksi yang dilakukan oleh direksi secara pribadi, baik secara langsung maupun tidak langsung dengan perusahaan yang dipimpinnya sebagai pihak lawan transaksi. Transaksi untuk pribadi ini merupakan perwujudan dari transaksi yang melekat kepentingan (interested transaction) oleh direksi suatu perseroan yang merupakan suatu transaksi yang dilakukan oleh direksi (langsung atau tidak langsung) dengan perseroan itu sendiri.

Transaksi self dealing yang tidak langsung misalnya : 55

1. Transaksi antara anggota famili dari direksi dengan perseroan. 2. Transaksi antara 2 (dua) perseroan dengan direksi yang sama.

3. Transaksi antara perseroan dengan perseroan lain di dalam perusahaan mana pihak direksi mempunyai kepentingan financial tertentu

4. Transaksi antara perusahaan holding dengan anak perusahaan.

55

(3)

Transaksi untuk pribadi (self dealing) ini dikatakan bahwa pihak direksi memiliki benturan kepentingan (conflict of interest) dengan perseroan. Transaksi self dealing, yakni transaksi antara perseroan dengan direksi yang dalam sejarah semula dilarang by

definition, kemudian dalam perkembangannya mulai dipilah-pilah. Di banyak negara,

transaksi self dealing ini dibebankan kewajiban disclosure ke pundak direksi yang berbenturan kepentingan. Karena transaksi self dealing yang tidak layak betentangan dengan kewajiban (fiduciary duty) dari direksi, maka hukum membebankan kewajiban pribadi kepada direksi yang melakukan deal tersebut. Karena itu agar diperkenankan oleh hukum, maka transaksi self dealing tersebut haruslah dilakukan secara fair bagi perseroan, tidak mengandung unsur-unsur penipuan, atau ketidakadilan dan untuk transaksi tertentu dibebankan kewajiban disclosure kepada masyarakat, bahkan bagi perusahaan terbuka, ketentuan hukum di Indonesia selangkah lebih maju, yakni dengan dibebankannya kewajiban persetujuan rapat umum pemegang independen.56

Contoh dari transaksi self dealing yang di dalamnya terdapat benturan kepentingan adalah penjualan aset perseroan kepada pribadi direksi atau kepada salah satu anggota keluarga dari direksi. Umumnya konsekuensi hukum dari transaksi self

dealing adalah berupa pertanggungjawaban pribadi dari direksi yang bersangkutan.

Karena transaksi self dealing termasuk ke dalam transaksi yang berbenturan kepentingan yakni, dalam transaksi tersebut terdapat kepentingan dari pihak direksi, padahal lawan dari transaksi tersebut adalah perseroan, maka adalah lumrah saja jika transaksi tersebut sangat rentan terhadap akibat tidak fair bagi perseroan. Karena itu, kalaupun transaksi seperti itu diperkenankan, haruslah dibuktikan secara nyata bahwa transaksi tersebut tetap layak dan dilakukan secara fair dan businesslike. Jadi jika menyangkut dengan harga

56

(4)

transaksi, harga tersebut tetap harga yang layak tanpa adanya tindakan mark up atau mark

down. Karena itu, fokus pengadilan dalam transaksi self dealing tetap kepada fair atau

tidaknya trransaksi yang dilakukan oleh direksi tersebut. Dengan demikian, khusus dalam hal transaksi self dealing tidak berlaku doktrin business judgement rule, yang ada pada prinsipnya mengajarkan bahwa pengadilan tidak ikut campur untuk menilai atau melakukan secondguess terhadap kebijaksanaan bisnis dari direksi perseroan.57

Seperti telah disebutkan bahwa pengaturan terhadap transaksi self dealing adalah dimaksudkan sebagai suatu langkah operasionalisasi dari doktrin hukum perseroan bahwa seorang direksi tidak boleh mengambil keuntungan secara pribadi dari perseroan yang belum tentu dirugikan. Namun prinsip hukum ini tidak berlaku mutlak bahkan sering kontroversial. Karena itu, mencari unsur pribadi tersebut akhirnya menimbulkan berbagai teori dan doktrin hukum yang dikaitkan dengan faktor sebagai berikut 58:

1. Pelanggaran total (flat prohibition) terhadap transaksi self dealing.

2. Transaksi self dealing pada prinsipnya dibenarkan asalkan dilakukan secara fair dan disetujui oleh mayoritas direksi independent.

3. Transaksi self dealing pada prinsipnya dibenarkan asalkan pengadilan menganggapnya bahwa transaksi tersebut telah dilakukan secara fair.

4. Transaksi self dealing pada prinsipnya dibenarkan asalkan dilakukan secara

fair atau disetujui oleh mayoritas pemegang saham independent yang telah

diinformasikan secara layak (well informed)

57

Ibid, hal 208

58

(5)

Sejarah perkembangan hukum tentang transaksi self dealing ini terefleksi dari perkembangannya dalam sejarah hukum di Amerika serikat. Di sana pengaturan hukum tentang transaksi self dealing ini berkembang dalam empat tahap sebagai berikut:59 Tahap I : sejak Tahun 1880

Dalam tahap pertama ini semua kontrak self dealing disamaratakan. Yakni semua kontrak self dealing—by defenition—dilarang atau dapat dibatalkan oleh perseroan atau oleh pemegang saham tanpa melihat apakah kontrak tersebut fair atau tidak.

Tahap II: sejak Tahun 1890

Perkembangan doktrin self dealing dalam tahap kedua ini adalah bahwa suatu kontrak self dealing dapat dibenarkan manakala memenuhi kedua syarat sebagai berikut:

1. disetujui oleh mayoritas direksi yang tidak berbenturan kepentingan, dan 2. transaksi tersebut tidak mengandung unsur-unsur ketidakadilan (unfairness)

dan penipuan (fraudlent).

Akan tetapi manakala dalam kontrak tersebut mayoritas direksi memiliki kepentingan, maka kontrak self dealing tersebut—by defenition—dilarang atau dapat dibatalkan oleh perseroan atau oleh pemegang saham tanpa melihat apakah kontrakn tersebut fair atau tidak.

Tahap III: sejak Tahun 1960

Dalam tahap ini suatu kontrak self dealing oleh hukum umumnya dianggap sah kecuali di dalamnya mengandung unsur ketidakadilan.

Tahap IV: sejak Tahun 1975

Dalam tahap ini suatu kontrak self dealing dianggap sah manakala terpenuhi salah satu di antara 3 (tiga) unsur sebagai berikut:

59

(6)

1. Transaksi tersebut adil dan layak (just dan reasonable), atau

2. disetujui oleh mayoritas direksi yang tidak berbenturan kepentingan, atau 3. diratifikasi oleh pemegang saham yang tidak berbenturan kepentingan.

Pengaturan seperti yang dikembangkan di tahap keempat ini misalnya diberlakukan oleh Undang-undang Perseroan (corporate act) California Tahun 1975, melalui Pasal 310.

Dengan demikian, dalam sejarah hukum perseroan terjadi perkembangan dari prinsip hukum tentang self dealing yang tegas bahkan kaku, yakni yang melarang atau dapat dibatalkan terhadap semua transaksi self dealing, berkembang kepada ketentuan yang lebih relaks. Perkembangan dalam sejarah seperti ini terjadi karena berkembangnya beberapa teori hukum perseroan sebagai berikut:60

1. Teori Pengaruh manajerial

Menurut teori manajerial(managerial influence theory), maka perkembangan sejarah tentang pengaturan self dealing ini adalah sebagai akibat dari berkembangnya pemikiran-pemikiran yang lebih memihak kepada manajemen perseroan yang merupakan pelaku self dealing tersebut. Menurut teori ini, pihak-pihak pengadilan dan legislatif terpesona dalam cengkraman pihak manajer perseroan.

2. Teori Perubahan Sistem Hukum dan Perilaku Sosial

Teori kedua ini menjelaskan adanya perubahan aturan hukum dalam sejarah dari larangan secara mutlak dan rigid terhadap transaksi self dealing kepada aturan hukum dan sejarah yang menjurus kepada sistem hukum dan perilaku sosial yang lebih mengarah kepada adanya sistem hukum yang lebih permisif dan fleksibel untuk disesuaikan dengan keadaan, situasi dan kondisi kasus per kasus.

60

(7)

3. Teori Pengaruh lawyer

Teori ketiga ini menjelaskan tentang aturan main untuk self dealing dalam sejarah hukum perseroan berkembang dari sistem larangan secara kaku kepada sistem yang lebih relaks dan fleksibel adalah karena adanya pengaruh dari pihak lawyer yang menyerukan agar kasus-kasus self dealing diuji di pengadilan yang tentu diajukan oleh lawyer, sehingga dengan aturan yang fleksibel, menyebabkan lebih banyak pekerjaan bagi pengadilan yang tentunya bertambah banyaknya pekerjaan dari lawyer.

4. Teori Pengaruh hakim /Pengadilan

Teori ini berasal dari pengadilan yang mulai menyadari bahwa adakalanya transaksi self dealing bukan berbahaya melainkan jutru diperlukan oleh perseroan. Mengakui transaksi self dealing secara selektif ini jauh lebih sesuai dengan kebutuhan daripada melarangnya secara mutlak dengan berpegang secara kaku kepada posisi trustee dengan hubungan fiduciary dari direksi perseroan.

B. Pengaturan Self Dealing di Amerika

Direksi dalam menjalankan tugasnya bertindak untuk dan atas nama perseroan terbatas, maka konsekuensi (baik atau buruk) sebagai akibat perbuatannya itu pada prinsipnya dipikul oleh perseroan terbatas sendiri. Prinsip ini berlaku baik dalam sistem hukum Common Law (Amerika Serikat) maupun dalam sistem Civil Law (hukum Indonesia). Namun demikian prinsip tanggung jawab terpisah ini bukanlah prinsip yang steril, sehingga dalam hal-hal tertentu konsekuensi dan tindakan direktur tersebut harus

(8)

dipikul secara pribadi oleh direktur sendiri, sungguhpun dia bertindak untuk dan atas nama perusahaan.61

Menurut Hukum Common Law direktur akan bertanggung jawab secara pribadi jika dia menjalankan tugasnya tidak sesuai dengan standar tertentu. misalnya: Direktur dengan sengaja menyalahgunakan wewenang atau menyalahgunakan dana perusahaan, juga akan bertanggung jawab secara pribadi jika dia mengisukan sebagai saham yang disetor penuh padahal secara faktual saham tersebut belum disetor sama sekali, disamping itu menurut hukum Common Law (di Amerika Serikat) tanggung jawab direktur secara pribadi tidaklah terjadi hanya karena kedudukannya sebagai direktur, akan tetapi untuk dibebankan tanggung jawab direktur tersebut harus telah melakukan hal-hal berikut ini terhadap perusahaannya,yakni62:

a. direktur mengizinkan perbuatan tersebut, atau b. direktur meratifikasi perbuatan tersebut, atau

c. ikut dalam berpartisipasi dengan cara apapun dalam perbuatan tersebut

Terhadap transaksi yang di lakukan atas nama dewan direksi, dalam keadaan tertentu di Amerika Serikat seseorang direktur bahkan bertanggung jawab secara pribadi sungguhpun dia berkeberatan dengan voting untuk menolaknya. menurut RMBCA

(Revised Model Business Coorporation Act) Pasal 8.24(d), seorang direktur dipresumsi

menyetujui terhadap perbuatan dewan direksi dan karenanya harus bertanggung jawab secara hukum,kecuali dia voting untuk menolaknya dan penolakannya dicatat menurut cara-cara yang tertentu.

61

Munir Fuady I,Op.Cit, hal 59.

62

(9)

Selanjutnya menurut RMBCA Pasal 8.30 (b dan c) kecuali jika seorang direktur mempunyai pengalaman atau expertise terhadap perbuatan tersebut, maka seoarang direktur lepas dari tanggung jawab pribadi jika tindakannya itu di dasari atas :

a. Pendapat tertulis dari legal counsel untuk perusahaan tersebut ; b. Financial reports yang disiapkan oleh auditor atau accountant;

c. Penyataan oleh pegawai perusahaan dalam hubungan dengan masalah dalam lingkup tugasnya ;

d. Reports dari committee tertentu dalam perusahaan tersebut.63

Sistem Hukum Civil Law (Indonesia) tidak mengenal pranata “fiduciary relation”, sehingga hubungan antara direktur dengan perusahaan tidak merupakan hubungan antara “trustee” dengan “beneficiary” seperti dalam sistem Common Law, dalam sistem hukm

Civil Law seperti di indonesia, hubungan tersebut hanya merupakan hubungan antara

pemberi kuasa (perusahaan) dengan penerima kuasa (direktur) atau jika direktur diberi upah, maka secara legal hubungan tersebut merupakan juga hubungan perburuhan.64 Karena hubungannya adalah pemberi kuasa maka direktur sebagai penerima kuasa hanya akan bertanggung jawab secara pribadi jika dia menjalankan tugasnya melebihi kuasa yang yang diberikan kepadanya. Hal tersebut dapat dilihat dalam anggaran dasar perusahaan. karena itu, secara konkrit dapat dikatakan jika dalam sistem hukum Common

Law direktur bertindak menurut standar tertentu sebagai trustee, maka menurut sistem Civil Law direktur pada prinsipnya bertindak hanya dengan memperhatikan anggaran

dasar perusahaan.

63

Yahya A.Z., "Perbandingan Hukum Tanggung Jawab Direktur (PT) antara Sistem Hukum Civil Law dengan Common Law", http://yahyazein.blogspot.com/2009/07/perbandingan-hukum-tanggung-jawab.html., diakses pada 27 Juli 2010.

64

(10)

Menurut Sistem Civil Law apabila setelah berdiri terjadi pengisuan saham baru yang disebutkan disetor penuh, padahal sebenarnya tidak disetor penuh, maka direktur tidaklah dapat dimintakan tanggung jawab pribadi karena biasanya ditentukan dalam anggaran dasar bahwa saham baru tersebut akan diisukan setelah adanya rapat umum pemegang saham (RUPS), dan ketika anggaran dasar dibuat/diubah karena pengisuan saham, siapa saja (direktur,pemegang saham atau komisaris) yang memberikan keterangan tidak benar kepada notaris ketika anggaran dasar dibuat/dirubah padahal dia mengetahuinya atau patut mengetahuinya bahwa keterangan tersebut tidak benar maka dia akan bertanggung jawab terhadap tindak pidana pemalsuan surat sebagaimana ketentuan Pasal 163, Pasal 264 atau Pasal 266 KUHPidana, selanjutnya menurut hukum Indonesia seoarang direktur akan bertanggung jawab secara hukum atas tindakan yang dilakukan oleh dewan direksi atau oleh perusahaan. Tidak ada ketentuan dalam sistem hukum Civil Law (Indonesia) yang melepaskan tanggung jawab hukum seoarang direktur hanya karena alasan bahwa terhadap perbuatan tersebut tidak setuju, tidak telah mengizinkan, menyetujui, berpartisipasi, atau mendasari tindakannya atas pendapat prosfesional lainnya. Sungguhpun terhadap yang disebut terakhir tadi, para profesional tersebut dapat pula dimintakan tanggung jawabnya secara hukum karena malpraktek apabila dia telah memberikan keterangan secara salah. Maka usaha untuk mengelak dari tanggung jawab tersebut menurut sistem hukum Indonesia hanya mungkin dilakukan apabila direktur yang tidak setuju tersebut berhenti dari direktur sebelum tindakan tersebut direalisasi.65

65

Yahya A.Z. Op. Cit http://yahyazein.blogspot.com/2009/07/perbandingan-hukum-tanggung-jawab.html., diakses pada 27 Juli 2010.

(11)

Karena dalam sistem hukum Common Law, terdapat hubungan fiduciary antara direktur dengan perusahaan, seperti ditentutan dalam kasus Mardel Securities, Inc v.

Alexandaria Gazette Corp, dengan demikian perusahaan dianggap cestui que trust (beneficiary), sedangkan direktur menjadi trustee-nya. maka dalam mejalankan tugasnya

direktur harus bersandar pada standard of care tertentu. Namun demikian kedudukan direktur agak unik dalam sistem hukum Amerika Serikat, mereka bukan trustee dalam arti biasa dan mempunyai kekuasaan lebih dari sekedar agen biasa dalam hukum agency mereka. sementara itu dalam sistem hukum Civil Law, tanggung jawab tidak terlalu di dasarkan pada standard of care tertentu, tetapi semata-mata di dasari atas hubungan pemberian kuasa, yakni seberapa jauh kekuasaan diberikan oleh anggaran dasarnya. dapat dikatakan juga, jika dalam hukum Common Law basis tanggung jawabnya merupakan “kaidah hukum” sedangkan menurut sistem hukum Civil Law basisnya adalah “perjanjian” di antara para pihak.66

Di Amerika Serikat kriteria standard bagi direktur yaitu melakukan “duty of

care” terhadap perusahaan dapat dilihat klarifikasinya misalnya dalam Pasal 8 (3c) dari

RMBCA di mana tugas-tugas direktur harus dilakukan : a. Dengan itikad baik.

b. Dengan kehati-hatian dengan mana manusia biasa yang berhati-hati

(ordinarily prudent person) pada posisi yang sama akan melakukannya pada

situasi yang sama.

c. Dengan cara-cara yang diyakininya merupakan kepentingan terbaik (best

intrest) bagi perusahaan.

66

Ibid, http://yahyazein.blogspot.com/2009/07/perbandingan-hukum-tanggung-jawab.html., diakses pada 27 Juli 2010.

(12)

Berkaitan dengan hal tersebut, sering juga dipakai standar yang mirip dengan itu terhadap tingkatan deligence care and skill yaitu “ which ordinary prudent person would

exercise under similar circumtances in their personal business affairs” Secara Klasik

prinsip “duty of care” dari direktur dapat dijelaskan sebagai berikut :

a. a concious exercise of judgement. b. an informal decision.

c. a rational basis.

Dalam kasus Prancis V.united Yersey Bank, dalam penetapan prinsip “duty of

care” mengharuskan direktur :

a. get a redimentary understanding of the business b. keep informed about the corporations activities.

Pengadilan-Pengadilan Amerika Serikat cukup berhati-hati dalam mencari keseimbangan, dimana salah satu pihak menyalahkan direktur yang berbuat tidak layak untuk perusahaannya yakni bertentangan dengan prinsip “duty of care” tetapi di lain pihak pengadilan tidak layak jika tidak terlalu jauh mencampuri dan/atau menilai kebijaksanaan yang telah di lakukan oleh direktur. Dengan perkataan lain pengadilan tidak akan second guess terhadap keputusan bisnis yang telah diambil oleh direktur, sungguhpun keputusan direktur tersebut jelas-jelas tidak tepat (clear mistakes) yang lebih sering disebut (honest mistakes) kecuali terhadap beberapa pengecualiannya. inilah yang sering disebut dengan sebutan “Business Judgement Rule”.67

Business Judgement Rule ini sering juga diterapkan terhadap kasus-kasus yang

berhubungan dengan kebijaksanaan dan pembagian deviden, berarti umumnya pengadilan

67

Ibid, http://yahyazein.blogspot.com/2009/07/perbandingan-hukum-tanggung-jawab.html., diakses pada 27 Juli 2010.

(13)

dalam hal ini tidak akan meninjau kembali segala keputusan direktur terhadap hal tersebut. Business Judgement Rule disini mengandung unsur “reasonable deligence”

Pengadilan di Amerika Serikat juga tidak menerapkan Business Judgement rule terhadap kasus-kasus transaksi self dealing, yakni transaksi yang di lakukan antara direktur pribadi dengan perusahaan, yang menurut hukum Amerika Serikat, dalam batas-batas tertentu di larang. untuk kasus-kasus yang tidak termasuk dalam disinterested

decision seperti ini, dianggap terdapat pelanggaran terhadap fiduciary duty of loyality,

sehingga di pakai standar yang lebih berat, misalnya mengharuskan pelaksanaan transaksi terebut secara “fairness” atau “intrinsic fairness”.

Transaksi self dealing dikatakan mengandung unsur conflict of interest karena keterlibatan kepentingan pribadi direktur dan sekaligus juga kepentingan perusahaan. contoh lain dari transaksi conflict of interest ini adalah apa yang di cover oleh doktrin

Corporate Opportunity, menurut doktrin ini seorang direktur demikian juga organ

perusahaan lainnya, tidak diperbolehkan mengambil kesempatan/keuntungan untuk dirinya sendiri jika kesempatan/keuntungan tersebut seyogianya dapat diberikan untuk perusahaannya.

Direktur tidak dibenarkan mengambil profit yang tersembunyi dalam hubungan transaksi perusahaan atau bersaing secara tidak fair dengan perusahaan atau mengambil sendiri apportunity yang seyogianya dapat diambil untuk kepentingan perusahaan. Standar yang digunakan untuk kasus-kasus corporate opportunity ini sangat bervariasi bergantung kepada sifat atau seberapa lama kasus tersebut telah diputuskan, bahkan tergantung pengadilan di negara bagian mana yang memutuskan.

(14)

C. Pengaturan Self Dealing dalam UU No. 40 tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas

Sebagaimana yang telah dikemukakan terlebih dahulu bahwa ciri khas suatu perseroan adalah pertanggungjawabannya yang terbatas, pada prinsipnya apabila terjadi kerugian terhadap pihak ketiga, maka pemegang saham bertanggung jawab terbatas sebesar nilai saham yang dimiliki.

Setelah diperoleh pengesahan atas akta pendirian, perseroan adalah badan hukum dan selanjutnya para pemegang sahamnya tidak bertanggung jawab secara pribadi atas perikatan yang dibuat atas nama perseroan dan bertanggung jawab atas kerugian perseroan melebihi nilai saham yang diambilnya. Dan untuk selanjutnya yang bertanggung jawab atas segala kepengurusan adalah direksi.

Keberadaan direksi adalah untuk mengurus perseroan sesuai maksud dan tujuan perseroan dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab. Mengurus perseroan bukanlah hal yang mudah, oleh karena itu agar perseroan tersebut terurus sesuai dengan maksud didirikannya perseroan, diperlukan seorang direksi yang memenuhi persyaratan dan memiliki keahlian. Direksi hanya berhak dan berwenang untuk bertindak atas nama danuntuk kepentingan perseroan dalam batas-batas yang diizinkan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku dan anggaran dasar perseroan. Setiap tindakan yang dilakukan oleh direksi di luar kewenangan yang diberikan tersebut tidak mengikat perseroan, kecuali dalam hal diatur lain oleh undang-undang. Ini berarti direksi memiliki limitasi dalam bertindak atas nama dan untuk kepentingan perseroan.68

Tugas-tugas direksi dalam mengurus perseroan terkadang akan menemui transaksi yang menyangkut dirinya sendiri (self dealing transaction). Transaksi ini antara lain

68

(15)

transaksi yang dilakukan oleh dua perseroan yang mempunyai direksi yang sama, juga transaksi antara perusahaan holding dengan anak perusahaannya. Dalam perkembangannya, model transaksi yang dikualifikasikan sebagai self dealing transaction dapat berkembang sesuai dengan perkembangan zaman.69

Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya sejarah perkembangan hukum tentang transaksi self dealing ini terefleksi dari perkembangannya dalam sejarah hukum di Amerika serikat. Di sana pengaturan hukum tentang transaksi self dealing ini berkembang dalam empat tahap yakni ;

Tahap I : sejak Tahun 1880 Tahap II: sejak Tahun 1890 Tahap III: sejak Tahun 1960 Tahap IV: sejak Tahun 1975

Dengan demikian, dalam sejarah hukum perseroan terjadi perkembangan dari prinsip hukum tentang self dealing yang tegas bahkan kaku, yakni yang melarang atau dapat dibatalkan terhadap semua transaksi self dealing, berkembang kepada ketentuan yang lebih relaks.70 Di Indonesia, tidak ada secara khusus mengatur tentang transaksi self

dealing ini namun dalam beberapa Pasal dalam Undang-Undang No 40 Tahun 2007

Tentang Perseroan Terbatas terdapat pengaturan yang relevan terhadap masalah transaksi

self dealing ini. Perbuatan Self Dealing yang dilakukan bukan untuk kepentingan

perusahaan. merupakan perbuatan melawan hukum, biasanya melibatkan satu atau beberapa orang anggota direksi yang melakukan transaksi yang dilarang, self dealing dapat pula dilakukan dalam bentuk transaksi antara anggota direksi dengan perseroan,

69

Ibid, hal 93

70

(16)

transaksi antara dua perseroan dengan yang sama, transaksi antara perseroan dengan perseroan lain yang mana direksi mempunyai kepentingan finansial ataupun kehendak tertentu didalam transaksi tersebut.

Direksi dengan perseroan sebagai badan hukum terdapat hubungan fiduciary sehingga pihak direksi hanya bertindak seperti seorang trustee atau agen semata yang mempunyai kewajiban mengabdi sepenuhnya dan dengan sebaik-baiknya kepada perseroan. Dalam UUPT hal ini diatur dalam Pasal 97 ayat (2) yakni “Pengurusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib dilaksanakan setiap anggota Direksi dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab”. Dengan demikian tugas utama dari direksi adalah mengurus perseroan. Fungsi direksi demikian sekaligus telah memberikan gambaran fungsi keberadaan direksi dalam suatu perseroan terbatas. Keberadaan direksi diperlukan oleh perseroan sebagai salah satu pilar utama dalam mengurus perseroan. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa direksi dapat diibaratkan sebagai nahkoda perseroan, pusat energi (central energi) perseroan, mesin perseroan (corporate engineering), semangat perseroan (spirit of corporations), corporate image yang utama dari perseroan, simbol perseroan (imagine corporations), aura perseroan, dan lain sebagainya.71

Seseorang dikatakan mempunyai tugas fiduciary manakala ia dipercayakan untuk berbuat sesuatu untuk kepentingan orang lain, seolah-olah berbuat untuk kepentingan dirinya sendiri, atau seperti yang disebutkan oleh Benyamin N Cardozo dalam kasus People V. Mancuse (1931 di Amerika Serikat) suatu derajat kepedulian dan kehati-hatian yang sama jika seseorang karena kepentingan sendiri umumnya melakukan tindakan terhadap masalahnya sendiri (the same degree of care and prudence that men prompted

71

(17)

by self interest generallyexercise in their own affairs).72 Dalam hal ini kriteria tugas direksi perseroan dapat dibedakan sebagai berikut:73

a) Fiduciary Duty

Dalam hal ini yang dimaksudkan adalah tugas yang terjadi dari suatu hubungan

fiduciary antara direksi dengan perusahaan yang dipimpinnya yang menyebabkan direksi

berkedudukan sebagai trustee dalam pengertian hukum trust. Maka seorang direksi haruslah mempunyai kepedulian dan kemampuan (duty of care and skill), itikad baik, loyalitas dan kejujuran terhadap perusahaannya dengan derajat yang tinggi

b) Duty of Care

Duty of Care yang diharapkan dari direksi adalah sebagaimana yang dimaksud

dalam hukum tentang perbuatan melawan hukum, dalam arti direksi diharapkan untuk berbuat secara hati-hati sehingga tehindar dari perbuatan kelalaian (negligence) yang merugikan pihak lain.

Direksi tidak boleh mengambil kesempatan menguntungkan yang seharusnya dimiliki oleh perusahaan dan mengambil tindakan yang mengakibatkan benturan kepentingan dengan membuat tindakan sepihak (self dealing). Jika hal tersebut terjadi maka kerugian yang timbul dalam keputusan atau tindakan tersebut merupakan tanggung jawab pribadi direksi. Dalam UUPT No 40 tahun 2007, tidak ada secara khusus mengenai pengaturan hal tersebut diatas namun secara tersirat terdapat dalam Pasal 97 ayat (3) yaitu;

72

Munir fuady II,Op. Cit, hal 34

73

(18)

“Setiap anggota Direksi bertanggung jawab penuh secara pribadi atas kerugian perseroan apabila yang bersangkutan bersalah atau lalai menjalankan tugasnya sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)”

Selanjutnya yang dimaksudkan pada ayat (2) Pasal 97 ayat (3) UUPT tersebut yakni berisi tentang kewajiban direksi yang harus melaksanakan pengurusan dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab. Dengan kata lain jika direksi melakukan sesuatu yang tidak beritikad baik yakni dengan melakukan self dealing maka ia bisa dikatakan bersalah dan lalai dalam menjalankan tugasnya maka kerugian yang timbul ditanggung secara pribadi oleh direksi.

Sekalipun secara tegas tidak terdapat larangan terhadap transaksi yang demikian, tetapi mengingat fungsi dan tugas direksi sebagaimana diamanatkan dalam UUPT, maka transaksi tersebut menimbulkan benturan kepentingan (conflict of interest) yang oleh karenannya bertentangan dengan prinsip fiduciary duty dan duty of care and loyality. Dengan tindakan self dealing ini berarti ia telah melakukan perbuatan melawan hukum yang mengakibatkan ia bertanggungjawab secara pribadi.

Kegagalan melaksanakan duty of care dengan sendirinya merupakan pelanggaran terhadap fiduciary duty tanpa memperhatikan apa yang sebenarnya menimbulkan kerugian pada pemberi fiducia. Penyebabnya ialah direksi merupakan pemegang kepercayaan (trustee) diharuskan untuk menerapkan standar perilaku yang lebih tinggi dan dapat diminta pertanggungjawabannya untuk pelanggaran fiduciary duty.

Sehubungan dengan hubungan perwakilan antara direksi dan perseroan, perbuatan direksi dalam rangka prinsip fiduciary duty akan mengikat perseroan saja dan tidak

(19)

mengikat direksi secara pribadi akan tetapi apabila direksi melanggar kewajiban tersebut maka dapat dibebankan pertanggungjawaban pribadi

Referensi

Dokumen terkait

Bagi Perusahaan Tercatat yang pada saat berlakunya Peraturan tersebut di atas telah memiliki komisaris yang memenuhi kualifikasi sebagai Komisaris Independen sebagaimana dimaksud

Komitmen yang signifikasi dari Garuda Indonesia untuk mendukung dan mengembangkan bisnis Citilink di Indonesia, dimulai dengan pembelian 50 pesawat baru, seragam baru,

b) Direktur Komputer bertanggung jawab penuh terhadap program-program pendidikan komputer yang akan digunakan untuk diajarkan kepada seluruh siswa LPIA seluruh Indonesia,

Nilai tersebut merupakan nilai definitif penambahan penyertaan modal Negara Republik Indonesia ke dalam modal saham PT Perkebunan Nusantara III (Persero) sesuai

1) Kekhilafan terjadi jika salah satu pihak keliru tentang apa yang diperjanjikan, namun pihak lain membiarkan pihak tersebut dalam keadaan keliru. 2) Paksaan

- Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji padahal diketahui atau patut diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji

Kepailitan perorangan dan kepailitan Perseroan Terbatas sama-sama merupakan sita umum atas kekayaan debitor pailit, namun hal yang menjadikan kepailitan Perseroan

Yang dimaksud dengan pihak yang dirugikan disini adalah para Stakeholders, termasuk kreditor dan para pemegang saham yang secara individual merasa dirugikan oleh tindakan,