• Tidak ada hasil yang ditemukan

RENCANA STRATEGIS PENDIDIKAN INKLUSIF KABUPATEN NGAWI TAHUN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "RENCANA STRATEGIS PENDIDIKAN INKLUSIF KABUPATEN NGAWI TAHUN"

Copied!
46
0
0

Teks penuh

(1)

1

RENCANA STRATEGIS

PENDIDIKAN INKLUSIF KABUPATEN NGAWI

TAHUN 2016 - 2020

DINAS PENDIDIKAN

KABUPATEN NGAWI

2015

(2)

2

KATA PENGANTAR

Rencana strategis Pendidikan Inklusif Kabupaten Ngawi tahun 2015-2020 disusun merujuk pada Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Peraturan Presiden Nomor 2 Tahun 2015 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional tahun 2015 – 2019, Rencana strategis Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Tahun 2015-2019 dan Permendiknas Nomor 70 Tahun 2009 tentang Pendidikan Inklusif bagi Peserta Dididk yang Memiliki Kelainan dan Memiliki Potensi Kecerdasan dan/atau Bakat Istimewa.

Penyusunan rencana strategis Pendidikan Inklusif Kabupaten Ngawi disusun melalui berbagai tahapan mulai dari brainstorming oleh tim task force, penyusunan draft, interaksi dengan tim lintas sektoral dan mempertimbangkan capaian implementasi pendidikan inklusif Kabupaten Ngawi sampai pada validasi oleh tim internal dan eksternal.

Rencana strategis akan memberikan arah tujuan penyelenggaraan pendidikan inklusif guna pemberian pelayanan yang prima kepada anak berkebutuhan khusus, menjadikan acuan bagi keberhasilan dan kegagalan dalam menyelenggarakan pendidikan inklusif Kabupaten Ngawi, menyediakan acuan resmi bagi Dinas Pendidikan Kabupaten Ngawi dalam menyusun Rencana Kerja (tahunan) SKPD secara partisipatif, menyediakan pedoman jangka menengah untuk menentukan arah pembangunan bidang pendidikan inklusif, yang mendasarkan pada kondisi riil dan proyeksi ke masa yang akan datang, serta menyediakan kemudahan untuk memahami dan menilai arah dan strategi pembangunan empat tahun di bidang pendidikan inklusif

Rencana strategis Pendidikan Inklusif diharapkan dapat dipahami dan dimanfaatkan oleh seluruh lapisan masyarakat Kabupaten Ngawi, sehingga seluruh unsur masyarakat dapat berpartisipasi aktif dalam menyukseskan baik dalam perencanaan, proses pelaksanaan serta monitoring dan evaluasinya.

Ngawi, Nopember 2015

Kepala Dinas Pendidikan Kab. Ngawi

Drs. ABIMANYU, M.Si

Pmbina Utama Muda NIP. 196005311986031001

(3)

3 DAFTAR ISI KATA PENGANTAR ... DAFTAR ISI ... BAB I. PENDAHULUAN ... A. Latar Belakang ... B. Landasan Filosofis ... C. Landasan Hukum ... D. Maksud dan Tujuan ... E. Manfaat ……….. BAB II . GAMBARAN UMUM PENDIDIKAN INKLUSIF

………...

A. Kondisi Internal ………...

B. Kondisi Eksternal ……...

C. Pendidikan Inklusif di Indonesia ……….. D. Tantangan Pembangunan Pendidikan ……….. E. Analisis SWOT

BAB III VISI, MISI, MISI DAN TUJUAN ... A. Visi dan Misi Pendidikan Inklusif ... B. Tujuan dan Sasaran Strategis Pendidikan Inklusif …... BAB IV STRATEGI DAN ARAH KEBIJAKAN PENYELENGGARAN

PENDIDIKAN INKLUSIF... BAB V PROGRAM PENGEMBANGAN PENDIDIKAN

INKLUSIF...

BAB VI KERANGKA IMPLEMENTASI PENDIDIKAN INKLUSIF ...

A. Strategi Pendanaan Pendidikan Inklusif ………... B. Tata Kelola dan Pengawasan Internal ………. C. Pemantauan dan Evaluasi ………... BAB VII PENUTUP ………... DAFTAR PUSTAKA/RUJUKAN ………. LAMPIRAN ……… i ii 1 1 2 3 5 5 6 6 17 18 22 22 26 26 28 31 34 36 36 37 38 40 41 42

(4)

4

BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang

Merujuk Undang Undang Dasar 1945 pasal 31 ayat 1 dan Undang– Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dapat disebutkan bahwa negara memberikan jaminan sepenuhnya kepada anak berkebutuhan khusus untuk memperoleh layanan pendidikan yang bermutu. Hal ini menunjukkan bahwa anak berkebutuhan khusus berhak pula memperoleh kesempatan yang sama dengan anak lainnya dalam memperoleh layanan pendidikan.

Selama ini, layanan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus di Indonesia disediakan melalui Sekolah Luar Biasa dengan jenjang: Taman Kanak-Kanak Luar Biasa, Sekolah Dasar Luar Biasa (SDLB), Sekolah Menengah Pertama Luar Biasa (SMPLB) dan Sekolah Menengah Atas Luar Biasa (SMALB. (1) Sekolah Luar Biasa sebagai lembaga pendidikan khusus tertua, menampung anak dengan jenis kelainan yang sama, yaitu: SLB/A untuk anak dengan hambatan penglihatan (tunanetra), SLB/B untuk anak dengan hambatan pendengaran (tunarungu), SLB/C untuk anak dengan hambatan berpikir/kecerdasan (tunagrahita), SLB/D untuk anak dengan hambatan fisik dan motorik (tunadaksa), SLB/E untuk anak dengan hambatan emosi dan perilaku (tunalaras), dan SLB/G untuk anak dengan hambatan majemuk (tunaganda).

Berdasarkan kondisi aktual, pada umumnya lokasi Sekolah Luar Biasa yang meliputi jenjang TKLB, SDLB, SMPLB dan SMLB berada di Kota, sehingga anak berkebutuhan khusus (ABK) yang pada umumnya tersebar di desa maupun di daerah terpencil dan atau terisolasi tidak terlayani pendidikannya. Di samping itu juga ditemukan bahwa sebagian besar orang tua Anak Berkebutuhan Khusus secara ekonomi termasuk kategori lemah, sehingga mereka terpaksa tidak mampu menyekolahkan anaknya. Jika hal ini tidak segera diatasi, maka dikhawatirkan program wajib belajar pendidikan dasar sulit untuk dapat diwujudkan. Sejumlah ABK yang tinggal di desa-desa dan jauh dari jangkauan sekolah luar biasa, dapat kehilangan hak dasar pendidikan karena akses pendidikan yang terbatas. ABK semakin merasakan betapa pendidikan terkesan deskriminatif.

Untuk mengatasi problema tersebut, pemerintah menyediakan program pelayanan pendidikan yang mudah diakses oleh ABK di manapun mereka berada. Kebijakannya adalah setiap satuan pendidikan reguler, baik pada jenjang pendidikan dasar maupun menengah umum dan kejuruan, didorong untuk dapat menerima ABK dari lingkungan sekitar yang akan menyelesaikan pendidikannya pada satuan pendidikan tertentu sesuai dengan tingkat perkembangannya. Sistem pendidikan di sekolah reguler dirancang sedemikian rupa sehingga antara siswa reguler dan siswa ABK dapat belajar bersama-sama dalam suatu kelas yang masing-masing mendapatkan pelayanan sesuai dengan potensi dan keterbatasannya. Sistem layanan pendidikan yang memberikan ruang dan tempat bagi ABK untuk belajar bersama anak-anak reguler pada umumnya tersebut, selanjutnya disebut sebagai sistem pendidikan inklusif.

Penyelenggaraan program pendidikan inklusif merupakan implementasi dari amanat UU No. 20 Tahun 2003 khususnya sebagaimana tercantum dalam pasal 5, pasal 15 dan penjelasannya yang menegaskan bahwa pendidikan khusus dapat diselenggarakan secara inklusif dan/atau berupa satuan pendidikan khusus. Lebih lanjut permendiknas tentang pendidikan inklusif pasal 2 ayat (1) menyatakan bahwa tujuan penyelenggaraan

(5)

5

pendidikan inklusif adalah ”Memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada semua peserta didik dari berbagai kondisi dan latar belakang untuk memperoleh pendidikan yang bermutu sesuai dengan kebutuhan dan kemampuannya”; dan ayat (2) ”Menciptakan sistem pendidikan yang menghargai keanekaragaman, dan tidak diskriminatif bagi semua peserta didik”.

Pendidikan inklusif juga berfungsi menjamin semua peserta didik mendapat kesempatan dan akses yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu, sesuai dengan kebutuhan dan kemampuannya di berbagai jalur, jenis dan jenjang pendidikan, serta menciptakan lingkungan yang aman, nyaman dan ramah bagi semua peserta didik sehingga dapat mengembangkan potensinya secara optimal.

Pendidikan inklusif telah berjalan sejak satu dasawarsa yang lalu. Data direktorat PKPLK tahun 2010 menyebutkan bahwa anak berkebutuhan khusus yang memperoleh layanan pendidikan melalui pendidikan inklusif sebanyak 15.144 siswa pada 811 sekolah reguler, dengan rincian SD 13.590 siswa di 653 sekolah, SMP 1.309 siswa di 97 sekolah, dan SMA 245 siswa di 61 sekolah. jumlah tersebut belum ideal dibanding dengan jumlah siswa berkebutuhan khusus yang ada saat ini. Artinya pendidikan inklusif masih harus terus ditingkatkan supaya dapat memberi kesempatan kepada lebih banyak anak berkebutuhan khusus untuk memperoleh pendidikan. Di sisi lain, pelaksanaan pendidikan inklusif saat ini juga masih menghadapi sejumlah kendala dan tantangan, di antaranya adalah (1) pemahaman dan sikap yang belum merata di kalangan masyarakat tentang pendidikan inklusif, (2) keterbatasan pengetahuan dan keterampilan guru dalam memberi layanan pendidikan kepada anak berkebutuhan khusus, (3) sarana dan lingkungan sekolah yang belum sepenuhnya aksesable bagi disabilitas, dan lain-lain.

Menyadari bahwa sistem pendidikan inklusif mempunyai peran yang strategis dalam penuntasan wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun maka menuntut pemahaman dan perubahan cara pandang bagi semua komponen sekolah, masyarakat dan stake holder, agar kebijakan tersebut dalam implementasinya tidak kontra produktif, dipandang perlu adanya rencana strategi penyelenggaraan pendidikan inklusif kabupaten Ngawi.

B. Landasan Filosofis

Secara filosofis, penyelenggaraan pendidikan inklusif dapat dijelaskan sebagai berikut: 1. Bangsa Indonesia adalah bangsa yang berbudaya dengan lambang negara Burung

Garuda yang berarti ‟Bhineka Tunggal Ika‟. Keragaman dalam etnik, dialek, adat istiadat, keyakinan, tradisi, dan budaya merupakan kekayaan bangsa yang tetap menjunjung tinggi persatuan dan kesatuan dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

2. Pandangan Agama (khususnya Islam) antara lain ditegaskan bahwa : (1) manusia dilahirkan dalam keadaan suci, (2) kemuliaan seseorang di hadapan Tuhan (Allah) bukan karena fisik tetapi taqwanya, (3) Allah tidak akan merubah nasib suatu kaum kecuali kaum itu sendiri (4) manusia diciptakan berbeda-beda untuk saling silaturahmi („inklusif‟).

3. Pandangan universal Hak azasi manusia, menyatakan bahwa setiap manusia mempunyai hak untuk hidup layak, hak pendidikan, hak kesehatan, hak pekerjaan

(6)

6

C. Landasan Hukum

Rencana Strategis pengembangan pendidikan inklusif Kabupaten Ngawi disusun berdasarkan landasan hukum yang memberikan aspek legal; memberikan gambaran tentang komponen-komponen yang harus dipersiapkan dan dikembangkan sesuai dengan standar yang berlaku. Berikut ini landasan hukum penyusunan rencana strategi pendidikan inklusif.

1. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 47, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4286);

2. Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem PendidikanNasional 4

3. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4421);

4. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 125 Tahun 2004, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2005 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005 tentang Perubahan Undang-Undang- Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 108, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4548);

5. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen.

6. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2005-2025 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 33, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4700);

7. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 65 Tahun 2005 Tentang Pedoman Penyusunan Dan Penerapan Standar Pelayanan Minimal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 150, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4585); 8. Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 41, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4496);

9. Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Keuangan Negara/ Daerah;

10. Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 89, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4741);

11. Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan ( Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 124, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4769);

12. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2008 Tentang Pedoman Evaluasi Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 19,Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4815);

13. Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2008 tentang Tahapan, Tata Cara Penyusunan, Pengendalian dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana Pembangunan Daerah, (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 21, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4817);

(7)

7

14. Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2008 tentang Wajib Belajar (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 90, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4893); 15. Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2008 tentang Pendanaan Pendidikan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 91, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4894);

16. Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2008 tentang Guru (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 194, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4941)

17. Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 23, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5105) 18. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 50 Tahun 2007 Tentang Standar Pengelolaan Pendidikan Oleh Pemerintah Daerah

19. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 59 Tahun 2007 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah;

20. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 63 Tahun 2009 Tentang Sistem Penjaminan Mutu Pendidikan

21. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 69 Tahun 2009 Tentang Standar Biaya Operasi Nonpersonalia Tahun 2009 Untuk Sekolah Dasar/Madrasah Ibtidaiyah (SD/MI), Sekolah Menengah Pertama/Madrasah Tsanawiyah (SMP/MTS), Sekolah Menengah Atas/Madrasah Aliyah (SMA/MA), Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), Sekolah Dasar Luar Biasa (SDLB), Sekolah Menengah Pertama Luar Biasa (SMPLB), Dan Sekolah Menengah Atas Luar Biasa (SMALB)

22. Permendiknas Nomor 70 Tahun 2009 Tentang Pendidikan Inklusif bagi Peserta Dididk yang Memiliki Kelainan dan Memiliki Potensi Kecerdasan dan/atau Bakat Istimewa 23. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2010

Tentang Standar Pelayanan Minimal Pendidikan Dasar di Kabupaten/KOTA

24. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2010 Tanggal 31 Agustus 2010 Norma, Standar, Prosedur, dan Kriteria (NSPK) Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) Formal dan Pendidikan Dasar di Kabupaten/KOTA

25. Peraturan Menteri Perencanaan Pembangunan Nsional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Republik Indonesia No. 5 Tahun 2014 tentang Pedoman Penyusunan dan Penelaahan Rencana Strategi Kementerian/Lembaga (Renstra K/L) 2015-2019.

26. Peraturan Gubernur Jawa Timur Nomor 6 Tahun 2011 tentang Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif Provinsi Jawa timur

27. Peraturan Presiden Nomor 2 Tahun 2015 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional tahun 2015 – 2019.

28. Permendikbud No. 11 Tahun 2015 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

28. Rencana strategis Kementrian pendidikan dan Kebudayaan Tahun 2015-2019

29. Peraturan Bupati Ngawi No 6 tahun 2013 tentang Rintisan Penyelenggara Sekolah Inklusi.

(8)

8

D. Maksud dan Tujuan

Renstra ini merupakan dokumen induk perencanaan penyelenggaraan pendidikan inklusif bagi Dinas Pendidikan Kabupaten Ngawi yang harus dijadikan rujukan oleh pimpinan/pejabat Dinas dalam menyusun rencana kerja tahunan maupun rencana kerja unit kerja atau unit pelaksana teknis yang ada dibawah Dinas Pendidikan Kabupaten Ngawi.

Penyusunan Rencana Strategis Pendidikan Inklusif Dinas Pendidikan Kabupaten Ngawi dimaksudkan untuk memberikan arah pelaksanaan pembangunan penyelenggaraan pendidikan inklusif untuk jangka waktu lima tahun mendatang, dalam rangka kelanjutan pembangunan jangka menengah, sehingga secara bertahap dapat mewujudkan cita-cita masyarakat Kabupaten Ngawi

Tujuan penyusunan Rencana Strategis Pendidikan Inklusif Kabupaten Ngawi tahun 2016-2020 adalah:

1. Menjabarkan visi, misi, dan program pendidikan inklusif

2. Mendukung koordinasi antar pelaku pembangunan serta mewujudkan perencanaan pembangunan daerah yang sinergis dan terpadu antara perencanaan pembangunan nasional, provinsi, dan Kota

3. Menjamin keterkaitan dan konsistensi antara perencanaan, penganggaran, pelaksanaan, dan pengawasan.

4. Menjaga kesinambungan dan kesatuan arah antara Rencana Pembangunan Jangka Menengah Satuan Kerja Perangkat Daerah (Renstra-SKPD) dan Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RPKD) Kabupaten Ngawi.

E. Manfaat

Manfaat dari penyusunan Rencana Strategis Pendidikan Inklusif Kabupaten Ngawi tahun 2016-2020 adalah:

1. Memenuhi kebutuhan masyarakat akan keberlangsungan layanan prima pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus melalui pendidikan inklusif

(9)

9

BAB II

GAMBARAN UMUM PENDIDIKAN INKLUSIF KABUPATEN NGAWI A. KONDISI INTERNAL

Dalam menyusun rencana strategis pendidikan iklusif tahun 2016--2020, diperlukan analisis kondisi internal pendidikan KABUPATEN NGAWI pada periode 2014--2015 sebagai referensi untuk mengetahui capaian dan permasalahan yang terjadi. Rangkuman hasil analisis tersebut adalah sebagai berikut.

1. Pendidikan Anak Usia Dini (PAUDNI) Inklusi

Upaya penyediaan layanan pendidikan pada jenjang Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) Inklusi telah menunjukkan peningkatan. Angka partisipasi kasar (APK) pada jenjang ini telah 35% pada tahun 2015. Pada tahun 2016 diperkirakan akan terjadi peningkatan APK menjadi 50,50%. Program Pendidikan Anak Usia Dini Berkebutuhan Khusus bertujuan agar semua anak usia 2 - 6 tahun memiliki kesempatan tumbuh dan berkembang optimal sesuai dengan potensi yang dimilikinya, dan sesuai dengan tahap-tahap perkembangan atau tingkat usianya. Selain itu PAUD Inklusi merupakan pendidikan persiapan untuk mengikuti pendidikan di SD/MI Inklusi Inklusi. PAUD Inklusi dilaksanakan melalui jalur formal di Taman Kanak-kanak (TK) Inklusi, dan jalur pendidikan non formal dalam bentuk Kelompok Bermain (KB), dan Taman Penitipan Anak (TPA).

Tabel 2.1 menunjukkan bahwa jumlah yang menjadi PAUDNI Inklusi sebanyak 3 lembaga, sedangkan jumlah anak berkebutuhan khusus usia dini sejumlah18 anak.

Tabel 2.1

Jumlah Lembaga TK, RA/BA Inklusi di Kabupaten Ngawi Tahun 2015

Negeri Swasta Jumlah Siswa

TK, RA/BA - 3 18

Jumlah siswa - 3 18

2. Pendidikan Dasar

Pemerintah telah mencanangkan program wajib belajar pendidikan dasar 12 tahun dengan tujuan untuk meningkatkan pemerataan dan perluasan pelayanan pendidikan dasar inklusi, sehingga seluruh anak usia 7-15 tahun baik laki-laki maupun perempuan, dan anak-anak yang memerlukan perhatian khusus dalam memperoleh pendidikan dapat memperoleh pendidikan setidak-tidaknya sampai sekolah menengah pertama atau sederajat. Pendidikan dasar 9 tahun ditempuh melalui jalur formal maupun non formal yang mencakup SD Inklusi dan SMP Inklusi. Gambaran mengenai kondisi pendidikan dasar di Kabupaten Ngawi dapat dikemukakan sebagai berikut.

(10)

10

1) Sekolah Dasar Inklusi

Layanan pemerintah Kabupaten Ngawi dalam penyelenggaraan Pendidikan SD inklusif mencakup dua aspek yaitu: a) perluasan akses dan pemerataan pendidikan, dan b) peningkatan mutu pendidikan, relevansi, dan daya saing.

Perluasan akses dan pemerataan pendidikan dapat dilihat dari aspek: (1) ketersediaan lembaga pendidikan, (2) angka partisipasi pendidikan, (3) rasio jumlah ruang kelas dan jumlah rombongan belajar, dan (4) Angka Melanjutkan dari SD/MI Inklusi ke SMP/MTs Inklusi. Gambaran mengenai ketersediaan lembaga pendidikan dan jumlah murid dapat dilihat pada Tabel 2.2 dan 2.3

Tabel 2.2

Jumlah Lembaga Pendidikan SD/MI Inklusi di KABUPATEN NGAWI Tahun 2015

Negeri Swasta Jumlah

SD 15 0 15

TOTAL 15 0 15

Tabel 2.3

Jumlah Murid SD/MI Inklusi di KABUPATEN NGAWI Tahun 2015

Satuan Pendidikan Jumlah Murid

SD 117

Jumlah semua murid 117

Partisipasi pendidikan anak usia SD/MI Inklusi dapat dilihat dari segi : (1) Angka Partisipasi Kasar (APK), dan (2) Angka Partisipasi Murni (APM). Pada tahun 2014 APK SD/MI Inklusi mencapai 81,75%, sedangkan APM SD/MI Inklusi 2015 mencapai 28,25%. Berdasarkan data tersebut menunjukkan bahwa angka partisipasi sekolah SD/MI Inklusi di Kabupaten Ngawi belum mencapai di atas standar pelayanan minimal yang ditetapkan oleh pemerintah pusat. Di dalam RPJMN 2010-2015 dikemukakan bahwa APM SD/MI minimal harus mencapai 96%. Rendahnya angka partisipasi tersebut salah satunya dipengaruhi oleh ketersediaan layanan (supply side). Ketersediaan layanan pendidikan SD/MI Inklusi dapat dilihat dari ketersediaan sekolah penyelenggara inklusi. Dari data ketersediaan layanan lembaga pendidikan SD/MI Inklusi di Kabupaten Ngawi jumlahnya belum mencukupi untuk memfasilitasi anak berkebutuhan khusus.

Jumlah anak-anak SD/MI Inklusi yang melanjutkan ke jenjang SMP/MTS Inklusi pada tahun 2015 mencapai 2,31% rendahnya angka melanjutkan ini disebabkan karena rendahnya kesadaran masyarakat akan pentingnya pendidikan SMP/MTs Inklusi dan faktor ketersediaan layanan pendidikan SMP/MTs Inklusi (supply side) yang belum memadai.

Selanjutnya layanan pendidikan di Kabupaten Ngawi dari aspek peningkatan mutu pendidikan, relevansi, dan daya saing dapat dilihat dari: mutu input, mutu proses, dan mutu output.

(11)

11 a) Mutu Input

Mutu Input mengacu pada standar sarana prasarana, standar isi, standar pendidik dan tenaga kependidikan, sebagaimana termuat pada Peraturan Pemerintah No 19 Tahun 2005, dan Standar Pelayanan Minimal (SPM) Pendidikan Dasar di Kabupaten/Kota (Permendiknas No 15 Tahun 2010). Mutu sarana dan prasarana pendidikan di Kabupaten Ngawi salah satunya dapat dilihat dari seberapa banyak sekolah inklusi yang telah mempunyai jumlah ruang kelas yang memadai. Tabel 2.4 menunjukkan bahwa SD/MI Inklusi yang mempunyai jumlah ruang kelas dengan kondisi baik sebanyak 30 (83,3%), kondisi rusak ringan sebanyak 6 (16,67%).

Tabel 2.4

Kondisi Ruang Kelas SD/MI Inklusi Tahun 2015

Satuan Pendidikan

Kondisi Ruang Kelas

Total Data Baik Rusak

Ringan Rusak Berat SD Jml R. Kelas 150 12 - 162 Persentase 92,59% 7,01% - 100% MI Jml R. Kelas 38 10 0 48 Persentase 79,17% 20,83% 0 100% Total 188 22 - 210 Persentase 85,88% 14,12% - 100%

Mutu layanan pendidikan di Kabupaten Ngawi juga dapat dilihat dari segi seberapa banyak sekolah yang telah mempunyai jumlah guru yang diperlukan. Pada tahun 2015, jumlah Guru Pembimbing Khusus SD/MI Inklusi sebanyak 60 orang.

Tabel 2.5

Jumlah Guru Pembimbing Khusus SD/MI Inklusi di Kabupaten Ngawi Tahun 2015

Lembaga Jumlah Guru Total

Negeri Swasta

SD 50 10 60

(12)

12 b) Mutu Proses

Mutu proses, berkaitan dengan efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pendidikan. Mutu proses dinilai dengan indikator angka mengulang kelas dan angka putus sekolah. Hal ini akan dilakukan dengan cara menjawab pertanyaan-pertanyaan berikut ini :

(1) Seberapa tinggikah angka mengulang kelas (AMK)? (2) Seberapa tinggikah angka putus sekolah (APTS)?

Angka Mengulang Kelas (AMK) SD dan MI Inklusi pada tahun 2014 adalah 0. Berdasarkan data AMK tersebut menunjukkan bahwa AMK SD/MI Inklusi di Kabupaten Ngawi sudah mencapai Standar Pelayananan Minimal yang ditetapkan, yaitu tidak lebih dari 1%. Namun demikian, jika dilihat dari AMK untuk tiap-tiap kelas, menunjukkan bahwa AMK SD dan MI Inklusi cenderung tinggi pada kelas rendah (kelas 1,2,3) dan lebih banyak terjadi pada siswa laki-laki. Angka Putus Sekolah (APTS) pada tahun 2015 adalah 1,58 %. Hal ini menunjukkan bahwa APTS masih lebih besar dari SPM yang ditetapkan oleh Pemerintah, yaitu tidak lebih dari 1%.

c) Mutu Output

Mutu Output SD/MI Inklusi dapat dilihat dari dua aspek yaitu: (1) rata-rata nilai ujian (Ujian Akhir Sekolah Berstandar Nasional/UAS-BN dan (2) tingkat kelulusan.

(1) Rata-Rata Ujian Sekolah

Perkembangan rata-rata nilai UASBN SD/MI Inklusif dalam dua tahun terakhir menunjukkan hasil yang sangat baik. Pada tahun 2013/2014 hasil UASBN SD/MI Inklusi di Kabupaten Ngawi dengan rata-rata nilai 7.74.

Tabel 2.6

Rata-rata Nilai UASBN SD/MI Inklusi Per Mata Pelajaran Tahun Pelajaran 2014/2015

Mata Pelajaran 2013/2014

Bahasa Indonesia 7.89

Matematika 7.37

Ilmu Pengetahuan Alam 7.96

Rata-rata 7.74

Sumber : Kuesioner pendidikan Kab. Ngawi, Tahun 2014/2015 (2) Tingkat Kelulusan

Tingkat kelulusan murid SD/MI Inklusi dalam UASBN ditahun terakhir memperoleh hasil yang sangat baik. Persentase kelulusan murid SD/MI Inklusi dalam UASBN sudah mencapai 95,82%. Hal ini menunjukkan bahwa persentase kelulusan UASBN SD/MI Inklusi sudah mencapai di atas SPM yang telah ditetapkan oleh Kemendikbud.

(13)

13

2) Sekolah Menengah Pertama/Madrasah Tsanawiyah Inklusif

Layanan Dinas Pendidikan Kabupaten Ngawi dalam penyelenggaraan Pendidikan SMP/MTs Inklusi mencakup dua aspek yaitu: a) perluasan akses dan pemerataan pendidikan, dan b) peningkatan mutu pendidikan, relevansi, dan daya saing.

Perluasan akses dan pemerataan pendidikan dapat dilihat dari aspek: (1) ketersediaan lembaga pendidikan, (2) angka partisipasi pendidikan, (3) rasio jumlah ruang kelas dan jumlah rombongan belajar, dan (4) Angka Melanjutkan (AM) dari SMP/MTs Inklusi ke SMA/MA/SMK Inklusi. Gambaran mengenai ketersediaan lembaga pendidikan dan jumlah murid dapat dilihat pada Tabel 2.7 dan 2.8

Tabel 2.7

Jumlah Lembaga Pendidikan SMP/MTs Inklusi Di Kabupaten Ngawi Tahun 2015

Lembaga Negeri Swasta Jumlah

SMP 5 1 6

TOTAL 5 1 6

Tabel 2.8

Jumlah Murid SMP/MTs Inklusi di KABUPATEN NGAWI Tahun 2015

Satuan Pendidikan Jumlah

Murid

SMP 38

Total 38

Partisipasi pendidikan anak usia SMP/MTs Inklusi dapat dilihat dari segi Angka Partisipasi Murni (APM) dan Angka Partisipasi Kasar (APK). Pada tahun 2015 APM SMP/MTs Inklusi mencapai 16,96%, sedangkan APK SMP/MTs Inklusi mencapai 83,046%. Berdasarkan data tersebut menunjukkan bahwa Angka Partisipasi Kasar (APK) sekolah SMP/MTs Inklusi di Kabupaten Ngawi belum mencapai standar yang ditetapkan oleh Kemendikbud. Tercapainya angka partisipasi tersebut salah satunya dipengaruhi oleh ketersediaan layanan (supply side) dan kesadaran masyarakat untuk menyekolahkan anaknya, serta faktor sosial ekonomi.

Jumlah anak-anak SMP/MTs Inklusi yang melanjutkan ke jenjang Sekolah Menengah Atas pada tahun 2015 mencapai 6.98%. Rendahnya angka melanjutkan ini disebabkan karena rendahnya kesadaran masyarakat akan pentingnya pendidikan Sekolah Menengah Atas dan faktor ketersediaan layanan pendidikan SMP/MTs Inklusi (supply side) yang sudah memadai.

(14)

14

Selanjutnya, di lihat dari segi layanan peningkatan mutu pendidikan, kondisi pendidikan pada jenjang pendidikan SMP/MTs Inklusi di Kabupaten Ngawi dapat dikemukakan sebagai berikut.

a. Mutu Input

Mutu Input mengacu pada standar sarana prasarana, standar isi, standar pendidik dan tenaga kependidikan dan Standar Pelayanan Minimal (SPM). Mutu sarana dan prasarana pendidikan SMP/MTs Inklusi dapat dilihat dari seberapa banyak sekolah yang telah mempunyai jumlah ruang kelas yang memadai. Tabel 2.9 menunjukkan bahwa SMP yang mempunyai jumlah ruang kelas dengan kondisi baik sebanyak 173 (87,37%), kondisi rusak ringan sebanyak 25 (12,63%), dan rusak berat tidak ada.

Tabel 2.9

Kondisi Ruang Kelas SMP/MTs Inklusi KABUPATEN NGAWI Tahun 2015

Satuan Pendidikan

Kondisi Ruang Kelas

Total Data Baik Rusak

Ringan Rusak Berat SMP Jml R. Kelas 152 17 - 169 Persen 89,94 % 10,06 % - 100 % MTs Jml R. Kelas 21 8 - 29 Persen 72,41 % 27,59 % - 100 % Total 173 25 - 251 Persentase 87,37 % 12,63 - 100 %

Mutu layanan pendidikan SMP/MTs Inklusi di Kabupaten Ngawi juga dapat dilihat dari segi seberapa banyak sekolah yang telah mempunyai jumlah guru pembimbing khusus yang diperlukan. Pada tahun 2015, jumlah guru pembimbing khusus SMP/MTs sebanyak 24 orang.

Tabel 2.10

Jumlah Guru Pembimbing Khusus SMP/MTs Inklusi di Kabupaten Ngawi Tahun 2015

Lembaga Jumlah Guru Total

Negeri Swasta

SMP 20 4 24

(15)

15 b. Mutu Proses

Mutu proses dapat dilihat dari indikator angka mengulang kelas dan angka putus sekolah. Angka Mengulang Kelas (AMK) SMP/MTs Inklusi pada tahun 2015 sebesar 0%. Berdasarkan data AMK tersebut menunjukkan bahwa AMK SMP/MTs Inklusi di Kabupaten Ngawi sudah mencapai Standar Pelayanan Minimal yang ditetapkan Kemendikbud, yaitu tidak lebih dari 1%.

Angka Putus Sekolah (APTS) SMP/MTs pada tahun 2015 sebesar 23,84 %. Angka ini belum mencapai SPM yang ditetapkan oleh Pemerintah, yaitu tidak lebih dari 1%.

c. Mutu Output

Mutu Output SMP/MTs antara lain dapat dilihat dari: (1) rata-rata nilai ujian (UN) dan (2) tingkat kelulusan.

(1) Rata-Rata Ujian Nasional

Perkembangan rata-rata nilai UN SMP/MTs Inklusi dalam satu tahun terakhir sudah sangat baik. Pada tahun pelajaran 2014/2015 nilai rata-rata UN

8.38.

Gambaran mengenai hasil UN SMP/MTs Inklusi ini dapat dilihat pada Tabel 2.11

Tabel 2.11

Rata-rata Nilai Ujian Nasional SMP/MTs Per Mata Pelajaran Kabupaten Ngawi Tahun 2014/2015

No Mata Pelajaran 2014/2015

1 Bhs Indonesia 8.19

2 Bahasa Inggris 8.7

3 Matematika 9

4 Ilmu Pengetahuan Alam 8.53

Rata-rata 8.61

(2) Tingkat Kelulusan

Tingkat kelulusan murid SMP/MTs Inklusi dalam UN dalam dua tahun terakhir memperoleh hasil yang baik. Pada tahun 2014/2015 persentase kelulusan SMP/MTs mencapai 93.71%, Hal ini menunjukkan bahwa persentase kelulusan UN tersebut sudah mencapai di atas SPM yang telah ditetapkan oleh Kemendikbud.

3) Pendidikan Menengah

Tingkat layanan Dinas Pendidikan Kabupaten Ngawi dalam penyediaan lembaga pendidikan SMA/MA/SMK Inklusi dapat dilihat dari dua aspek, yaitu: (a) pemerataan dan perluasan pendidikan menengah, dan (b) peningkatan mutu, relevansi dan daya saing pendidikan menengah.

Perluasan akses dan pemerataan pendidikan dapat dilihat dari aspek: (1) ketersediaan lembaga pendidikan, (2) angka partisipasi pendidikan, (3) rasio jumlah ruang kelas dan jumlah rombongan belajar. Gambaran mengenai ketersediaan lembaga pendidikan dan jumlah murid dapat dilihat pada Tabel 2.12 dan 2.13.

(16)

16 Tabel 2.12

Jumlah Lembaga Pendidikan Menengah Inklusi di Kabupaten Ngawi Tahun 2015

Lembaga Negeri Swasta Jumlah

SMK 1 1 2

Jumlah 1 1 2

Tabel 2.13

Jumlah Murid ABK Pendidikan Menengah di Kabupaten Ngawi Tahun 2015

Satuan Pendidikan Jumlah

Murid

SMK 9

Total 9

Partisipasi sekolah anak usia SMA/MA/SMK Inklusi dapat dilihat dari angka partisipasi kasar (APK). APK SMA/MA/SMK pada tahun 2015 mencapai 26,63 %. Berdasarkan data tersebut menunjukkan bahwa APK SMA/MA/SMK Inklusi di Kabupaten Ngawi belum mencapai standar yang ditetapkan oleh Kemendikbud.

Selanjutnya, di lihat dari segi layanan peningkatan mutu pendidikan, kondisi pendidikan pada jenjang pendidikan menengah di Kabupaten Ngawi dapat dikemukakan sebagai berikut.

a) Mutu Input

Mutu sarana dan prasarana pendidikan menengah dapat dilihat dari seberapa banyak sekolah yang telah mempunyai jumlah ruang kelas yang memadai. Tabel 2.14 menunjukkan bahwa SMA/MA/SMK Inklusi yang mempunyai jumlah ruang kelas dengan kondisi baik sebanyak 153 (91.01%), dan kondisi rusak ringan sebanyak 15 (8,99%).

Tabel 2.14

Kondisi Ruang Kelas Pendidikan Menengah Kabupaten Ngawi Tahun 2015

Satuan Pendidikan

Kondisi Ruang Kelas

Total Data Baik Rusak

Ringan Rusak Berat SMK Jml R. Kelas 280 8 288 Persentase 97,22 2,78 100 Total Persentase 489 15 504 97,02 2,98 100

Mutu layanan pendidikan SMA/MA/SMK Inklusi di Kabupaten Ngawi juga dapat dilihat dari segi seberapa banyak sekolah yang telah mempunyai jumlah guru

(17)

17

pembimbing khusus yang diperlukan. Pada tahun 2015, jumlah guru pembimbing khusus SMA/MA/SMK sudah ada.

b) Mutu Proses

Mutu proses dapat dilihat dari indikator angka mengulang kelas dan angka putus sekolah. Angka Mengulang Kelas (AMK) SMA/MA/SMK Inklusi pada tahun 2015 sebesar 0%. Angka Putus Sekolah (APTS) SMA/MA/SMK Inklusi pada tahun 2015 sebesar 0,44 %.

c) Mutu Output

Ada dua indikator kinerja yang dapat dijadikan tolok ukur untuk melihat mutu pendidikan menengah di Kabupaten Ngawi Pertama, rata-rata nilai ujian (UN) SMA/MA/SMK Inklusi . Perkembangan rata-rata nilai UN SMA/MA dalam dua tahun terakhir sudah baik. Pada tahun pelajaran 2014/2015 hasil UN SMA/MA untuk kelompok IPA memperoleh nilai rata-rata 7.55, kelompok IPS nilai rata-ratanya 6,91, dan kelompok bahasa belum meluluskan.

Tabel 2.16

Rata-rata Nilai Ujian Nasional SMA/MA Per Mata Pelajaran Tahun Pelajaran 2014/2015 No Mata Pelajaran 2013/2014 Kelompok IPA 1 Bahasa Indonesia 7.14 2 Bahasa Inggris 7.78 3 Matematika 7.04 4 Fisika 8.34 5 Kimia 8.66 6 Biologi 6.35 Rata-rata 7.55 Kelompok IPS 1 Bahasa Indonesia 6.72 2 Bahasa Inggris 7.48 3 Matematika 6.22 4 Ekonomi 7.52 5 Sosiologi 7.42 6 Geografi 6.12 Rata-rata 6.91

(18)

18

(1) Rata-rata ujian nasional

Sementara itu, rata-rata nilai UN SMK Inklusi dalam dua tahun terakhir mengalami fluktuasi. Pada tahun pelajaran 2014/2015 hasil UN SMK sangat baik, yaitu memperoleh nilai rata-rata 7.51, pada tahun pelajaran 2014/2015 rata-rata hasil UN mengalami penurunan menjadi 6.62. Dari lima mata pelajaran yang diujikan, terdapat tiga mata pelajaran yang mengalami penurunan nilai rata-rata, yaitu: Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, dan Matematika.

Tabel 2.17

Rata-rata Nilai Ujian Nasional SMK Per Mata Pelajaran Tahun Pelajaran 2014/2015 No Mata Pelajaran 2014/2015 1 Bahasa Indonesia 6.21 2 Bahasa Inggris 6.77 3 Matematika 7.09 4 PRO 7.91 5 TEO 5.12 Rata-rata 6,62 (2) Tingkat Kelulusan

Tingkat kelulusan murid SMK Inklusi dalam satu tahun terakhir memperoleh hasil yang sangat baik. Pada tahun 2014/2015 persentase kelulusan SMA/MA mencapai 99,20%.

4) Pendidik dan Tenaga Kependidikan

Dengan diberlakukannya Undang-Undang RI No. 14/2005 tentang Guru dan Dosen, maka guru harus memenuhi kualifikasi pendidikan minimal S-1/D-4 dan bersertifikat pendidik. Oleh karena itu pemerintah harus menyelesaikan peningkatan kualifikasi dan sertifikasi pendidik selambat-lambatnya pada akhir tahun 2015

Tenaga pendidik dan kependidikan di sekolah inklusif Kabupaten Ngawi:

a) Guru Pembimbing Khusus

Guru pembimbing khusus di Sekolah inklusif di Kabupaten Ngawi bervariasi dari mulai guru kelas, guru mata pelajaran, guru pembimbing khusus dan guru bimbingan konseling. Dilihat dari urgensinya untuk guru pembimbing khusus yang berlatar belakang S-1 Pendidikan Luar Biasa masih belum mencukupi hal ini nampak dari 23 sekolah inklusi, baru ada Guru Pembimbing Khusus nya 23 orang yang berstatus mayoritas PNS.

(19)

19

b) Tenaga Kependidikan dan Profesional lainnya

Penyelenggaraan pendidikan inklusif membutuhkan dukungan profesional dari tenaga kependidikan lain dan tenaga profesional lain. Tenaga kependidikan mencakup pengelola satuan pendidikan, penilik, pengawas, peneliti, pengembang, tenaga perpustakaan, tenaga laboratorium, teknisi sumber belajar, tenaga administrasi, psikolog, pekerja sosial, terapis, tenaga kebersihan dan keamanan, serta tenaga dengan sebutan lain yang bekerja pada satuan pendidikan.

Kondisi saat ini di Kabupaten Ngawi, tenaga kependidikan belum sepenuhnya memahami konsep dan penyelenggaraan pendidikan inklusif. Sehingga masih muncul kendala dalam mencapai layanan pendidikan inklusif yang bermutu.

Tenaga profesional lain yang terkait dalam pendidikan inklusif antara lain :

1. Psikolog memberikan pelayanan bantuan psikologis-pedagogis kepada peserta didik dan pendidik sebagai konsultan terutama pada kegiatan asesmen formal peserta didik berkebutuhan khusus.

2. Pekerja sosial pendidikan memberikan layanan bantuan sosiologis-pedagogis kepada peserta didik dan pendidik.

3. Terapis memberikan pelayanan bantuan fisiologis-kinesiologis kepada peserta didik.

4. Tenaga medis/ paramedis memberikan layanan bantuan medis.

Keterlibatan tenaga kependidikan dan profesional lain dibutuhkan sesuai kondisi peserta didik berkebutuhan khusus. Sampai dengan saat ini Dinas Pendidikan Kabupaten Ngawi masih belum terbangun jejaring dan kerjasama dalam penyediaan tenaga professional yang dibutuhkan sesuai dengan kebutuhan khusus peserta didik.

5) Manajemen dan Tata Kelola Pendidikan

Manajemen dan tata kelola pendidikan ditujukan untuk mendorong kebijakan sektor pendidikan agar mampu memberikan arah reformasi pendidikan secara efektif, efisien dan akuntabel. Kebijakan ini diarahkan pada pembenahan perencanaan jangka menengah dengan menetapkan kebijakan strategis serta program-program yang didasarkan pada urutan prioritas. Pemerintah Kabupaten Ngawi melaksanakan pengembangan kapasitas institusi pendidikan secara sistemik dan terencana. Strategi pengembangan kapasitas lebih diarahkan pada proses manajemen perubahan yang didorong secara internal. Perubahan yang didorong secara internal akan lebih menjamin terjadinya perubahan secara berkelanjutan, menumbuhkan rasa kepemilikan, kepemimpinan, serta komitmen bersama.

Kebijakan dalam bidang manajemen dan tata kelola pendidikan antara lain dalam bentuk manajemen berbasis sekolah (MBS) untuk untuk membantu pemerintah dan pemerintah daerah dalam mengalokasikan sumberdaya serta memonitor kinerja pendidikan secara keseluruhan. Di samping itu, peran serta masyarakat dalam perencanaan, pengelolaan, dan pengawasan kinerja pendidikan ditingkatkan melalui peran komite sekolah/satuan pendidikan dan dewan pendidikan.

(20)

20

B. Kondisi Eksternal Lingkungan Pendidikan

Pembangunan pendidikan sangat dipengaruhi oleh kondisi eksternal seperti sosial budaya, ekonomi, teknologi, dan politik. Kondisi sosial, budaya, dan lingkungan yang mempengaruhi pembangunan pendidikan dalam kurun waktu lima tahun mendatang antara lain adalah (1) jumlah penduduk yang makin tinggi menempatkan Indonesia dalam posisi yang makin penting dalam percaturan global, (2) angka HDI Indonesia meningkat dari tahun ke tahun tetapi masih di bawah mayoritas negara di Asia Tenggara, (3) masih tingginya kesenjangan antar gender, antara penduduk kaya dan miskin, antara perKabupatenan dan perdesaan, antara wilayah maju dan wilayah tertinggal, dan antarjenis kelamin, (4) masih rendahnya peringkat Indeks Pembangunan Gender Indonesia yang menduduki urutan ke-93 dari 177 negara (UNDP 2007/2008), (5) perubahan gaya hidup yang konsumtif dan rendahnya kesadaran masyarakat yang berpotensi menurunkan kualitas lingkungan, (6) adanya ketidakseimbangan sistem lingkungan akibat pencemaran oleh industri, pertanian, dan rumah tangga, (7) masih rendahnya pemanfaatan keanekaragaman hayati yang dapat menjadi alternatif sumber daya termasuk penelitian-penelitian yang dapat berpotensi menghasilkan Hak atas Kekayaan Intelektual (HAKI), (8) masih rendahnya kualitas SDM Indonesia untuk bersaing di era ekonomi berbasis pengetahuan (Knowledge-Based Economy).

Kondisi ekonomi yang mempengaruhi pembangunan pendidikan dalam kurun waktu lima tahun mendatang antara lain adalah (1) tingginya angka kemiskinan dan pengangguran, (2) masih adanya kesenjangan pertumbuhan ekonomi antarwilayah, (3) basis kekuatan ekonomi yang masih banyak mengandalkan upah tenaga kerja yang murah dan ekspor bahan mentah dari eksploitasi sumber daya alam tak terbarukan, (4) makin meningkatnya daya saing Indonesia yang perlu diikuti dengan peningkatan kemampuan tenaga kerja, (5) munculnya ancaman raksasa ekonomi global seperti Cina dan India dan semakin luasnya perdagangan bebas yang mengancam daya saing perekonomian nasional, (6) masih rendahnya optimalisasi pendayagunaan sumber daya ekonomi yang berasal dari sumber daya alam, (7) pertumbuhan ekonomi Indonesia yang relatif tinggi, baik yang sudah berjalan maupun yang direncanakan, perlu didukung dengan penyiapan tenaga kerja yang memadai, dan (8) ancaman masuknya tenaga terampil menengah dan tenaga ahli dari negara lain.

Kondisi teknologi yang mempengaruhi pembangunan pendidikan dalam kurun waktu lima tahun mendatang antara lain adalah (1) kesenjangan literasi TIK antarwilayah, (2) kebutuhan akan penguasaan dan penerapan iptek dalam rangka menghadapi tuntutan global, (3) terjadinya kesenjangan antara perkembangan teknologi dan penguasaan iptek di lembaga pendidikan, (4) semakin meningkatnya peranan TIK dalam berbagai aspek kehidupan termasuk dalam bidang pendidikan, (5) semakin meningkatnya kebutuhan untuk melakukan berbagi pengetahuan dengan memanfaatkan TIK, (6) perkembangan internet yang menghilangkan batas wilayah dan waktu untuk melakukan komunikasi dan akses terhadap informasi, dan (7) perkembangan internet yang juga membawa dampak negatif terhadap nilai dan norma masyarakat serta memberikan peluang munculnya plagiarisme dan pelanggaran HAKI.

Kondisi politik, pertahanan dan keamanan yang mempengaruhi pembangunan pendidikan dalam kurun waktu lima tahun mendatang antara lain adalah (1) ketidakstabilan politik serta pertahanan dan keamanan yang mengancam kehidupan bermasyarakat dan bernegara, (2) ketidakselarasan peraturan perundangan yang berdampak pada penyelenggaraan pendidikan, (3) kebutuhan pendidikan politik untuk mendorong kesadaran masyarakat dalam berdemokrasi, (4) implementasi otonomi daerah yang mendorong kemandirian dan berkembangnya kearifan lokal,

(21)

21

(5) terjadinya penyimpangan-penyimpangan dalam implementasi otonomi daerah, (6) keterlambatan penerbitan turunan peraturan perundangan yang berdampak pada bidang pendidikan, (7) ancaman disintegrasi bangsa akibat dari ketidakdewasaan dalam berdemokrasi, (8) ideologi negara sebagai pemersatu bangsa dan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan, dan (9) komitmen pemenuhan pendanaan pendidikan minimal 20% dari APBN dan APBD sesuai dengan UUD 1945 Pasal 31 ayat (4) (Kemendikbud, 2010).

C. Pendidikan Inklusif di Indonesia

Konvensi PBB atas Hak-hak orang dengan kecacatan tubuh (Covention on the Right of Persons with Disabilities) yang ditandatangani oleh 147 negara termasuk Indonesia dan telah diratifikasi melalui sidang paripurna DPR-RI tanggal 18 Oktober 2011, adalah alat hukum terbaru mendukung hak anak berkebutuhan khusus terhadap pendidikan. Pada pasal 24 Convention tersebut menyebutkan bahwa: “Negara-negara pihak mengakui hak penyandang disabilitas atas pendidikan. Dalam rangka memenuhi hak ini tanpa diskriminasi dan berdasarkan kesempatan yang sama, Negara-negara Pihak harus menjamin sistem pendidikan yang bersifat inklusif pada setiap tingkatan dan pembelajaran seumur hidup yang terarah”. Jauh sebelum dokumen yang sudah diratifikasi oleh 99 negara tersebut keluar, Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 mengamanatkan bahwa pemerintah Republik Indonesia harus dapat memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Proses mencerdaskan kehidupan bangsa dilakukan melalui pendidikan. Karenanya, pendidikan merupakan hak setiap warga Negera (UUD 1945 pasal 31 ayat 1). Pemerintah Indonesia melalui Kementerian pendidikan dan kebudayaan telah mengembangkan sistem pendidikan yang dapat memberikan pelayanan dan akses yang sama bagi setiap warga Negara, tanpa kecuali.

Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003, layanan pendidikan dilakukan melalui tiga jalur yaitu: (1) Pendidikan Formal melalui sistem persekolahan dan perguruan tinggi, dan (2) Pendidikan Non Formal yang berbasis pada lembaga atau organisasi yang tumbuh di masyarakat, dan (3) Pendidikan Informal yang berbasis pada keluarga. Adanya tiga jalur ini mengindikasikan bahwa akses dan pelayanan pendidikan tidak hanya bisa dilakukan melalui jalur formal yang merupakan jalur “utama” pelayanan pendidikan yang memiliki standar yang baku dalam pelayanan pendidikan. Sebab, tidak semua penduduk dapat mengakses dan memperoleh pelayanan program dan kegiatan pendidikan formal karena berbagai alasan. Banyak faktor yang menjadi penyebab seseorang atau kelompok masyarakat tertentu tidak dapat memiliki akses dan pelayanan pendidikan, baik teknis maupun nonteknis, antara lain: (1) geografis, (2) ekonomi, kemiskinan, (3) budaya, (4) disabilitas, (5) tuntutan pekerjaan, (6) bencana, (7) konflik, dan (8) bias gender, (9) dan lain-lain. Meskipun demikian, dalam rangka pemenuhan program wajib belajar 9 tahun (tamat SD dan SMP), Pemerintah sedapat mungkin memberikan layanan pendidikan formal dengan menambah sejumlah gedung sekolah baru di wilayah yang bisa dijangkau, membuka program “Sekolah Satu Atap” (One Roof Schools) dan membuka “sekolah terbuka” (Open Junior Secondary Schools) yang dapat menjangkau yang belum terlayani (Reaching The un-Reached).

(22)

22

Indonesia is truly “Unity in diversity”, selaras dengan prinsip dan nilai sosial “Bhineka Tunggal Ika” dan ideology Pancasila. Sesuai dengan kategori the un-reach yang telah ditentukan oleh SEAMEO-UNESCO yang dalam hal ini termasuk dalam ranah “Anak Berkebutuhan Khusus (ABK)”, terdapat 11 kategori yaitu: 1. Peserta didik yang berada di daerah terpencil/terisolasi;

2. Peserta didik dari kelompok minoritas agama/suku, dll. 3. Anak yang rentan Drop Out (DO).

4. Anak-anak dari keluarga migran, pengungsian, tidak memiliki indentitas kewarganegaraan, penduduk nomaden,

5. Peserta didik penyandang cacat/berkebutuhan khusus

6. Pekerja anak/anak jalanan/anak yang diperdagangkan, anak korban kekerasan; 7. Anak di lingkungan bermasalah (daerah konflik, bencana, penjara, dll);

8. Anak yatim/anak terlantar

9. Peserta didik dari keluarga miskin 10. Anak-anak yang terkena HIV/AIDS

11. Anak dan/atau penduduk di daerah perbatasan dan para buruh migran Indonesia (TKI) di sejumlah negara.

Kelompok the unreached yang dapat diidentifikasi di Indonesia yaitu: peserta didik yang berada di daerah terpencil, baik di pegunungan dan di daerah kepulauan serta penduduk di daerah daratan namun tersebar dalam bentuk kelompok-kelompok kecil. Misalnya, di Provinsi Papua, terdapat kelompok masyarakat di daerah Yahukimo yang memiliki penduduk 110.080 jiwa belum terlayani pendidikan. Sekitar 70-80% penduduknya masih buta aksara (Directorate Educational Equivalency, MoNE, 2006). Di pulau Sulawesi, terdapat suku Bajo, merupakan suku nelayan yang hidup di atas di lepas pantai terdapat 17.000 lulusan SD tidak dapat melanjutkan ke jenjang SMP karena belum ada sekolah. Untuk mengatasinya, diselenggarakan program SMP Terbuka, dan Program Paket A, dan B melalui penyelenggaraan “Mobile learning Services” yaitu “Kapal Pembelajaran” (Boat Schools), Motorcycle Learning Services, Mobile Classes Room atau “Smart Cars”, etc.

Layanan pendidikan bagi kelompok agama dan suku asli (terasing) diberikan untuk menjangkau peserta didik yang ada di pesantren tradisional (pesantren salafiyah) yang hanya mengajarkan pelajaran agama dan menolak pendidikan “sekuler” sistem formal sekolahan. Terdapat 3.991 pesantren tradisional yang tersebar di Pulau Jawa, Pulau Sumatera, Pulau Kalimantan, kawasan Nusa Tenggara Barat, dan Pulau Sulawesi. Untuk itu, dilaksanakan program kerja sama antara Kementerian pendidikan dan kebudayaan dengan Kementerian Agama untuk menyelenggarakan program “SMP terbuka” dan Program Kejar Paket A, dan B dalam rangka Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 tahun. Sehingga, lulusan pesantren dapat memiliki pendidikan formal dan memiliki keterampilan tertentu sesuai dengan potensi diri dan lingkungannya.

Indonesia memiliki sejumlah suku terasing yang terdapat pada 28 Kabupaten di 12 provinsi di seluruh Indonesia. Suku asli tersebut antara lain: Suku Baduy (Banten), Suku Anak Dalam (Jambi), Suku Dayak Punak (Kalimantan), Suku Bajo (Sulawesi Tenggara), dan sekitar 200 lebih suku-suku asli (terasing) di provinsi Papua dan Papua Barat. Bagi kelompok suku-suku asli (terasing) diberikan pula pelayanan pendidikan agar mampu menyelesaikan pendidikan

(23)

23

hingga tingkat SMP. Tentu saja tidak mudah bagi mereka untuk menerima pendidikan karena hambatan nilai dan budaya yang dianut dan dipercayainya sebagai warisan leluhurnya.

Dalam UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan disebutkan, bahwa pekerja anak adalah anak-anak yang berusia di bawah 18 tahun. Namun, karena alasan ekonomi anak-anak tersebut menjadi pekerja anak di sejumlah pabrik, pengamen di bis Kabupaten, menjadi peminta-minta di perempatan lampu merah. Kondisi ini banyak ditemui di daerah urban (perKabupatenan). Sedangkan di daerah pedesaan, banyak anak-anak yang terpaksa meninggalkan sekolah untuk membantu orang tua mereka di sawah, ladang, menjadi anak buah kapal nelayan, menetap di pagan tempat jaring ikan, dll. Menurut data dari organisasi buruh internasional (ILO), jumlah pekerja anak di Indonesia usia 10-14 tahun mencapai 10,4 juta orang. Jumlah ini meningkat pada tahun 2007, menjadi 2,6 juta anak. Berdasarkan studi antara ILO dan Universitas Indonesia pada tahun 2003, jumlah pekerja anak domestik mencapai 700 ribu, sebanyak 90 persen adalah anak perempuan. Angka dari sensus kesejahteraan nasional (Susenas: 2003), di Indonesia terdapat 1.502.600 anak berusia 10 hingga 14 tahun yang bekerja dan tidak bersekolah. Sekitar 1.621.400 anak tidak bersekolah serta membantu di rumah atau melakukan hal lainnya. Sebanyak 4.180.000 anak usia sekolah lanjutan pertama (13-15) atau 19 persen dari anak usia itu, tidak bersekolah. Menurut data yang sama para pekerja anak di desa lebih banyak daripada di Kabupaten, yakni sebesar 79 persen untuk di desa dan 21 persen di Kabupaten. 62 persen bekerja di sektor pertanian, 19 persen di industeri dan, dan 19 persen di sektor jasa.

Sejumlah anak tertentu, terutama anak perempuan terpaksa mencari peruntungan ke Kabupaten besar untuk bekerja sebagai pembantu rumah tangga, tetapi malah menjadi pekerja seks komersial dan bahkan ada yang sengaja dijual oleh majikannya. kementerian pendidikan dan kebudayaan bekerja sama dengan Kementerian Sosial serta sejumlah LSM untuk mengatasi kelompok miskin Kabupaten dengan mendirikan tempat penampungan “Rumah Singgah” sebagai tempat menampung dan tempat belajar bagi anak-anak jalanan tersebut. Di Kabupaten-Kabupaten besar seperti Jakarta, Medan, Bandung, Surabaya, dan Makassar dan Kabupaten-Kabupaten lainnya disediakan sejumlah “Rumah Singgah”. Selain itu, disediakan “mobil pintar” di dekat lampu merah dan tempat aktivitas anak jalanan untuk dapat belajar. Selain itu, pemerintah menyediakan beasiswa bagi kaum miskin dan menyediakan bantuan operasional sekolah (BOS) sehingga anak-anak kelompok miskin ini tidak lagi dikenakan biaya sekolah. Selain itu, terdapat anak-anak yang tidak bisa masuk ke sekolah normal (biasa) karena menyandang “ketunaan” (disabilitas). Anak-anak disabilitas ini terkadang “disembunyikan” oleh orang tuanya sehingga tidak dapat mengikuti proses pendidikan. Anak-anak dengan cacat tubuh masih termasuk yang paling termarjinalkan dan paling kecil kemungkinannya bersekolah. Perbedaan tingkat kehadiran sekolah antara anak-anak berusia 8-11 tahun yang memiliki ketunaan dengan mereka yang normal berkisar enam puluh di Indonesia. Bagi anak-anak cacat, jarak fisik ke sekolah, tata letak dan desain fasilitas sekolah, dan kurangnya guru terlatih dapat menjadi rintangan untuk menghadiri sekolah. Perlakuan negatif kepada anak berkebutuhan khusus juga merupakan rintangan serius. Komitmen pemerintah, pemerintah daerah dan kepala sekolah sangat dibutuhkan

(24)

24

untuk membuat fasilitas lebih terakses dan mengubah perlakuan publik bagi para penyandang cacat. Salah satu contoh yang positif adalah di Uganda, di mana hak azasi manusia penyandang cacat dijamin oleh Konstitusi dan bahasa Isyarat “leakui” sebagai bahasa resmi. Anak-anak tuli menghadiri sekolah lokal, dengan dukungan yang tepat yang memungkinkan mereka untuk belajar.

Undang-undang Pendidikan No. 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional pada pasal 32 ayat 1 memberikan jaminan bahwasannya anak-anak yang memiliki kebutuhan khusus memiliki hak pendidikan yang sama sebagaimana anak yang lainnya, yaitu melalui pendidikan khusus. Di Indonesia, pendidikan khusus dilaksanakan melalui dua jalur yaitu pada satuan pendidikan khusus (sekolah luar biasa) dan pada sekolah reguler (program pendidikan inklusif). Anak berkebutuhan khusus Indonesia dan orang tua memiliki kebebasan untuk menentukan sendiri jalur pendidikan yang dipilihnya dengan mempertimbangkan peluang mengembangkan potensi anak secara maksimal dan kemudahan menjangkaunya. Kewajiban Pemerintah, Pemerintah Daerah dan masyarakat swasta adalah menyediakan layanan dan sistem dukungan yang dibutuhkan. Kementerian pendidikan dan kebudayaan terus mengupayakan pengembangan dan pelaksanaan program “Pendidikan Inklusif” di daerah-daerah tertentu yang banyak memiliki jumlah anak disabilitas. Untuk itulah, pada tanggal 5 Oktober 2009 telah diterbitkan Permendiknas tentang penyelenggaraan pendidikan inklusif No. 70 Tahun 2009.

Selanjutnya, selama kurun waktu 2005-2009, Indonesia mengalami banyak bencana alam. Pada tahun 2005, terjadi bencana paling besar dalam sejarah Indonesia yaitu Tsunami di Aceh dan Nias. Ratusan ribu penduduk meninggal dan hilang. Ratusan sekolah rusak berat. Pasca bencana telah didirikan 2.500 sekolah tenda. Rehabilitasi sarana pendidikan pada 65 TK, 250 SD, 156 SMP, 167 SMA, 14 SMK, dan 1 perguruan tinggi. Mengangkat 1.110 guru dan membangun 290 perumahan bagi guru. Melakukan pelatihan keterampilan untuk 5.600 orang dan 227 orang master trainer di Pulau Jawa. Selanjutnya, bencana di Yogyakarta dan Jawa Tengah, bencana Tsunami di Pangandaran, Tasikmalaya, dan Cilacap di pantai selatan Pulau Jawa. Dengan modus yang hampir sama didirikan sekolah tenda dan memperbaiki fasilitas pendidikan.

Disengaja ataupun tidak, terdapat 3,26% kasus HIV/AIDS dari 17.998 kasus HIV/AIDS di Indonesia. Mereka berusia 13-19 tahun (usia sekolah) yang tentunya berkeinginan untuk tetap sekolah. Namun, belum ada penanganan yang komprehensif bagi anak penyandang HIV/AIDS (ODHA) tersebut. Hal itu, terjadi karena masih adanya persepsi dan penyikapan yang keliru dari masyarakat, termasuk para pendidik di sekolah. Oleh karena itu, perlu ada kemauan politik dari para penentu kebijakan di pusat dan daerah. Untuk itu, perlu ada proses penjaminan bagi keberlanjutan pendidikan bagi anak yang terkena HIV/AIDS. Perlu juga dilakukan capacity building bagi para volunteer pencegahan HIV/AIDS

Untuk bidang pendidikan.

Dalam konteks Indonesia yang dimaksudkan dengan ABK adalah selain kelompok yang sudah dijelaskan di muka juga termasuk anak-anak yang

memiliki kecerdasan istimewa dan bakat istimewa (CIBI). Upaya pemerintah untuk memberikan pelayanan pendidikan bagi peserta didik yang memiliki

(25)

25

potensi kecerdasan istimewa adalah dengan menyelenggarakan program

percepatan belajar (akselerasi) dan pengayaan (enrichment). Program akselerasi adalah layanan belajar yang memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk menyelesaikan pendidikan lebih cepat dari waktu biasa, yaitu SD dari 6 tahun menjadi 5 tahun dan SMP dari 3 tahun menjadi 2 tahun. Sedangkan program pengayaan dimaksudkan untuk memberikan kesempatan belajar kepada peserta didik dalam kurun waktu yang sama dengan siswa reguler tetapi materi yang diajarkan lebih luas dan mendalam. Sementara itu, layanan pendidikan bagi anak berbakat istimewa untuk sementara ini difokuskan pada pembinaan bakat musik dan olahraga.

D. Tantangan Pembangunan Pendidikan

Dalam melaksanakan pembangunan pendidikan nasional, dapat diidentifikasi berbagai tantangan yang dihadapi dalam waktu lima tahun ke depan. Tantangan-tantangan tersebut antara lain:

(1) Memenuhi komitmen global untuk pencapaian sasaran-sasaran Millenium Development Goals (MDGs), Education For All (EFA), dan Education for Sustainable Development (EfSD); (2) Menjamin tingkat kesejahteraan tenaga pendidik dan kependidikan di daerah terdepan, terpencil, dan rawan bencana; (3) Menjamin keberpihakan terhadap masyarakat miskin untuk memperoleh akses pendidikan bermutu seluas-luasnya pada semua satuan pendidikan; (4) Menerapkan Standar Nasional Pendidikan dengan menekankan keseimbangan antara olah pikir, olah rasa, olah hati, dan olahraga; (5) Mengembangkan kebijakan pemberdayaan tenaga pendidik dan kependidikan dengan memperhatikan profesionalisme; (6) Mempertahankan peningkatan kualitas pendidikan dalam upaya pemenuhan Standar Pelayanan Minimal (SPM) antargender dan antarwilayah; (7) Meningkatkan kualitas dan kuantitas pendidikan kejuruan/vokasi untuk memenuhi kebutuhan lokal dan nasional serta mampu bersaing secara global; (8) Menghasilkan SDM kreatif melalui pendidikan yang diperlukan dalam pengembangan ekonomi kreatif; (9) Meningkatkan kemitraan yang sinergis dengan dunia usaha dan industri, organisasi masyarakat, dan organisasi profesi; (10) Meningkatkan koordinasi yang efektif dengan kementerian/lembaga lain dan pemerintah daerah; (11) Mengembangkan kebijakan yang mengintegrasikan muatan budi pekerti, kebanggaan warga negara, peduli kebersihan, peduli lingkungan, dan peduli ketertiban dalam penyelenggaraan pendidikan; (12) Memperbaiki dan meningkatkan kredibilitas sistem Ujian Nasional; (13) Mengembangkan kebijakan dalam penyelenggaraan parenting education dan homeschooling; (14) Mengembangkan kebijakan dalam penyelenggaraan PAUD; (15) Mengembangkan kebijakan-kebijakan untuk memperkuat dan memperluas pemanfaatan TIK di bidang pendidikan (Kemendikbud, 2010).

E. Analisis SWOT

1. Analisis Lingkungan Internal

Pemilihan dan penetapan strategi merupakan salah satu faktor penting bagi Dinas Pendidikan Kabupaten Ngawi untuk melaksanakan fungsi dan mengemban tugas untuk mencapai misi pendidikan inklusif yang diembannya. Pemilihan dan penetapan tersebut, tentu sangat bergantung pada hasil analisis kondisi Dinas Pendidikan Kabupaten Ngawi saat ini dan arah (rencana) pengembangannya, yakni akan seperti apa

(26)

26

pendidikan inklusif pada periode lima tahun tahun ke depan. Dalam pendekatan analisis, menggunakan strength-weakness-opportunity-threats (SWOT).

Dinas Pendidikan Kabupaten Ngawi menggunakan pendekatan SWOT untuk mengidentifikasi kekuatan dan kelebihan yang dimiliki, keterbatasan dan kelemahan faktor internal, peluang dan kesempatan yang muncul dari faktor eksternal, serta tantangan dan persaingan dari lingkungan eksternal. Analisis kekuatan (strength), kelemahan (weakness), peluang (opportunity), dan tantangan (threat) disajikan berikut ini.

a. Kekuatan

1) Memiliki Grand design Pengembangan PendidikanKabupaten Ngawi 2) Memiliki Renstra Pendidikan 2011 - 2015

3) Komitmen Pemerintah Daerah, telah siap mendeklarasikan Kabupaten Ngawi sebagai Pelopor Pendidikan Inklusif.

4) Telah dibentuknya Kelompok Kerja Pendidikan Inklusif di Kabupaten Ngawi. 5) Telah ditunjuk 15 SD 6 SMP dan 3 SMK sebagai sekolah penyelenggara

pendidikan inklusi.

6) Telah dimiliki sejumlah sekolah khusus yang siap sebagai sekolah sumber untuk mensukseskan penyelenggaraan pendidikan inklusif.

7) Telah terbentuknya dan terlaksananya kegiatan di Forum Kepala Sekolah Penyelenggara Pendidikan Inklusif.

8) Telah terbentuk dan telaksananya kegiatan Forum KKG Guru Pembimbing Khusus

9) secara kuantitatif ketersediaan sarana prasarana pendidikan yang cukup memadai

10) kuantitas dan kualitas tenaga kependidikan relatif cukup memadai berdasarkan besarnya rasio guru terhadap peserta didik

b. Kelemahan

1. Belum memiliki Peraturan Daerah yang berkaitan dengan pendidikan ABK umumnya maupun pendidikan inklusif.

2. Belum dimilikinya data akurat tentang jumlah ABK dan karakteristiknya.

3. Lokasi geografis Kabupaten Ngawi yang luas dan berbukit-bukit menjadi kendala tersediri dalam implementasi pendidikan inklusif.

4. Keberadaan sekolah luar biasa sebagai sekolah sumber bagi sekolah inklusi letaknya belum menyebar di semua kecamatan yang ada di Kabupaten Ngawi 5. Kompetensi guru di sekolah inklusi belum sesuai kebutuhan

6. Sumberdana terbatas

7. Guru Pembimbing Khusus sekolah regular terbatas. 8. Jumlah Guru di SLB terbatas

9. sistem pengelolaan internal yang kurang terpadu untuk menunjang penyelenggaraan pendidikan inklusif;

10. Sumber belajar yang berbasis multimedia masih jauh dari yang diharapkan dan belum adanya model pembelajaran yang menggunakan e-learning dan distance learning;

11. Koleksi pustaka atau referensi dan jurnal-jurnal terkait pendidikan inklusif yang dimiliki Dinas Pendidikan Kabupaten Ngawi belum maksimal;

12. Manajemen internal, khususnya layanan kepada anak berkebutuhan khusus yang berupa layanan administrasi umum dan akademik belum sepenuhnya memanfaatan teknologi informasi komunikasi elektronik;

(27)

27

13. Sistem data dan mekanisme evaluasi diri belum ideal karena koordinasi dan sharing data yang belum berjalan baik;

14. Pengelolaan sistem informasi data dan evaluasi diri masih lemah;

15. Budaya pengembangan pendidikan inklusif masih kurang menunjang terbentuknya rasa kebersamaan yang diperlukan untuk kesadaran yang masif dalam mengembangkan pendidikan inklusif.

16. Resource sharing dengan stake holder dalam pengembangan pendidikan inklusif masih lemah, baik dalam pemanfaatan sumber daya manusia, sarana, maupun prasarana sehingga belum terbangun sinergi yang baik;

17. Potensi-potensi sumber dana dan sumber daya lainnya belum mampu dieksplorasi secara optimal untuk pengembangan pendidikan inklusif;

18. Penataan dan pengembangan ruang kelas belum aksesibel; 2. Analisis Lingkungan Eksternal

Hasil kajian lingkungan eksternal yang telah dilakukan didapatkan beberapa faktor yang merupakan peluang dan ancaman Dinas Pendidikan Kabupaten Ngawi. a. Peluang

1) pemenuhan kebutuhan sumber daya manusia profesional yang berkualitas dan bermoral dalam rangka mengembangkan pendidikan inklusif baik lokal maupun nasional;

2) kebijakan Ditjen Pembinaan Pendidikan Khusus-Layanan Khusus yang memberlakukan hibah bantuan sosial memberikan peluang bagi Dinas Pendidikan Kabupaten Ngawi untuk mengembangan pendidikan inklusif;

3) Ada kerjasama dan pendampingan dari perguruan tinggi

4) potensi untuk implementasi hasil-hasil penelitian dan kajian ilmiah di bidang pendidikan inklusif yang bersifat terapan yang diperlukan bagi pengembangan pendidikan inklusif;

5) terbitnya Permendiknas No Nomor 70 Tahun 2009 Tentang Pendidikan Inklusif Bagi Peserta Didik Yang Memiliki Kelainan Dan Memiliki Potensi Kecerdasan Dan/Atau Bakat Istimewa memberikan peluang untuk menerbitkan berbagai kebijakan Kabupaten Ngawi dalam pengembangan pendidikan inklusif.

6) terbukanya peluang untuk bekerja sama dengan berbagai stake holder dalam pengembangan pendidikan inklusif;

7) semakin meningkatnya kepercayaan masyarakat terhadap Dinas Pendidikan Kabupaten Ngawi memberikan peluang untuk memantapkan dalam pengembangan pendidikan inklusif;

8) kebutuhan masyarakat akan pendidikan inklusif yang semakin meningkat memberikan peluang bagi Dinas Pendidikan Kabupaten Ngawi untuk memenuhinya;

9) diberlakunya program-program pelatihan bagi guru tentang pendidikan inklusif di tingkat pendidikan dasar dan menengah memberikan peluang bagi Dinas Pendidikan Kabupaten Ngawi untuk berperan aktif untuk meningkatkan kompetensinya di bidang pendidikan inklusif.

10) Dinas Pendidikan Kabupaten Ngawi berpeluang menjadi daerah yang unggul dalam pengembangan pendidikan inklusif khususnya di wilayah Indonesia bagian Timur;

11) Terbukanya peluang mendapatkan pendanaan dari berbagai institusi, baik nasional maupun internasional, swasta maupun negeri.

(28)

28 b. Ancaman

1. persaingan dari daerah lain yang makin tinggi baik dari dalam maupun dari luar negeri;

2. perkembangan teknologi informasi yang makin pesat dapat mengubah pola pendidikan inklusif dan kompetensi kualitas lulusannya

3. globalisasi dan otonomi daerah yang berdampak terhadap kebutuhan tuntutan profesionalisme dan peningkatan kompetensi lulusan sekolah inklusif;

4. perkembangan kebutuhan masyarakat, tentang layanan anak berkebutuhan khusus yang begitu cepat dan pesat;

5. perkembangan yang begitu cepat dari multi media pembelajaran yang inovatif, misalnya e-learning;

6. status daerah ramah pendidikan inklusif akan diberlakukan;

7. terdapat persepsi umum tentang rendahnya kualitas layanan anak berkebutuhan khusus;

(29)

29 BAB III

VISI, MISI DAN TUJUAN PENDIDIKAN INKLUSIF A. Visi dan Misi Pendidikan Inklusif Kabupaten Ngawi

Visi merupakan panduan ke arah masa depan bagi suatu organisasi yang menjelaskan kemana organisasi akan berjalan dalam bentuk konseptual dan sangat umum, menyediakan arahan emosional, dapat memberdayakan dan memberikan motivasi. Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif Kabupaten Ngawi mempunyai visi 2020:

“TERWUJUDNYA KABUPATEN NGAWI YANG INKLUSIF”

Yang dimaksud dengan Kabupaten Inklusif adalah Kabupaten yang mewujudkan masyarakat ramah terhadap anak, lingkungan serta bisa menerima perbedaan sosial ekonomi, agama, suku, golongan, warna kulit, fisik dan psikis.

B. Misi Pendidikan Inklusif KABUPATEN NGAWI

Berdasarkan Visi Pendidikan Inklusif KABUPATEN NGAWI 2020, Misi Pendidikan Inkluisf Kabupaten Ngawi 2016--2020 dikemas dalam ”Misi 5 M” sebagai berikut.

KODE MISI

M 1 Meningkatkan Pemerataan dan Perluasan Akses Layanan Pendidikan Inklusif yang Bermutu.

M 2 Meningkatkan Mutu dan Relevansi Layanan Pendidikan Inklusif M 3 Meningkatkan Kompetensi Tenaga Pendidik dan Kependidikan.

M 4 Mengembangkan pendidikan Inklusif yang berwawasan budaya dan berkarakter.

M 5 Mewujudkan manajemen dan tata kelola pendidikan Inklusif dalam menjamin terselenggaranya layanan yang prima.

Dinas Pendidikan Kabupaten Ngawi menyadari bahwa visi dan misi dapat terwujud jika didukung dengan penerapan tata nilai yang sesuai dan mendukung usaha-usaha pelaksanaan misi dan pencapaian visi tersebut. Tata nilai merupakan dasar sekaligus arah bagi sikap dan perilaku seluruh pegawai dalam menjalankan tugas. Tata nilai juga akan menyatukan hati dan pikiran seluruh pegawai dalam usaha mewujudkan layanan prima pendidikan. Tata nilai yang dimaksud adalah amanah, profesional, visioner,

demokratis, inklusif, disiplin, peduli pada orang lain dan berkeadilan.

Nilai-nilai masukan (input values), yakni nilai-nilai yang dibutuhkan dalam diri setiap pegawai dinas Pendidikan Kabupaten Ngawi dalam rangka mencapai visi pendidikan Inklusif, yang meliputi:

1. Amanah

Gambar

Tabel 2.1 menunjukkan bahwa jumlah yang menjadi PAUDNI Inklusi  sebanyak   3 lembaga, sedangkan jumlah anak berkebutuhan khusus usia dini sejumlah 18 anak
Tabel 5.1 Indikator Kinerja Utama Pendidikan Inklusif KABUPATEN NGAWI Tahun  2016-2020
Tabel 6.2  Jenis belanja  dan Proyeksi Pengeluaran  5 Tahun ke Depan

Referensi

Dokumen terkait

Dalam penyelenggaraan pendidikan inklusif di SDN Sumbersari 3 Malang kurikulumnya menyesuaikan dari pemerintah, akan tetapi untuk siswa berkebutuhan khusus yang memang benar-benar

Proses tersebut telah menghasilkan Rencana Strategis (Renstra) Inspektorat Kabupaten Gresik yang memuat visi, misi, tujuan sasaran, arah kebijakan dan strategis

Tujuan penyusunan Rencana Strategis ini adalah sebagai acuan dalam memberikan arahan mengenai srategi pembangunan, sasaran-sasaran strategis, kebijakan umum, program dan

Maksud disusunnya Rencana Strategis Kantor Kecamatan Sawahan ini adalah memberikan arah penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan dan pembinaan kehidupan kemasyarakatan

Rencana Strategis (RENSTRA) Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kabupaten Lumajang Tahun 2015 – 2019 merupakan pedoman, arah kebijakan dan strategi dalam penyelenggaraan

Rencana Strategis (Renstra) Sekretariat Utama Tahun 2015 - 2019 memuat visi, misi, tujuan, sasaran strategis, arah kebijakan, target kinerja dan pendanaan yang merupakan acuan

Keberhasilan penyelenggaraan Lomba Literasi Dalam Jaringan bagi peserta didik berkebutuhan khusus pada satuan pendidikan/program paket penyelenggara pendidikan

Rencana Strategis Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Daerah Kota Blitar dimaksud sebagai arah dan pedoman penyelenggaraan pelayanan kesejahteraan sosial, ketenagakerjaan