• Tidak ada hasil yang ditemukan

Journal of Humanity & Social Justice

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Journal of Humanity & Social Justice"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

Journal of Humanity

& Social Justice

Volume 2 Issue 2, 2020 Journal Homepage:

http://ojs.isjn.or.id/index.php/journalhsj

Ekonomi Politik Kebijakan Pas Lintas Batas Indonesia-Republik Demokratik Timor Leste

Zakarias Dos Santos Maia1, Marianus Kleden2, Didimus Dedi Dhosa3*

1Program Studi Administrasi Publik, Unika Widya Mandira, Kupang 2,3Fakultas Ilmu Sosial dan Illmu Politik, Unika Widya Mandira, Kupang Corresponding Author: *didimusdedidhosa@gmail.com; Tel.: 081326572402

ARTICLE INFO ABSTRACT

Key words: border

pass, illegal, border crossing, military

Kata kunci: pas lintas

batas, ilegal, pelintas batas, militer

How to cite: Maia, Z. D., Kleden, M., & Dhosa, D. D. (2020). Ekonomi Politik Kebijakan Pas LIntas Batas

Indonesia-Republik Demokratik Timor Leste. Journal of

Humanity and Social Justice, 2(2), 87-98.

.

This article tries to analyze the political economy of border pass policy concerning the border between Indonesia and the Democratic Republic of East Timor. Border pass is one of the policies of the two countries to facilitate the trade activities in the traditional markets on the bordering areas and to ease the people of the two countries who want to cross the border to attend the annual celebration of customary rituals without visa and passport. This research was conducted in Silawan village of Belu regency from February through June 2019. Using political economy perspective the researchers can infer that the border pass policy has brought forth complicated politico-economic problems – despite the fact that it also contributes to alleviating the burdens of people on the border. The implementation of border pass policy that is applicable only to the villagers has raised the issue of state discrimination against citizens and as such prompts the sentiment of dissatisfaction. Further consequences are, among others, that citizens initiate illegal border crossings. State regulation to restrict the quantity of trading items due to safety reasons on the one hand brings profits to the state, but on the on the other hand has caused losses on petite traders who try to boost up their economic gain. Lastly, the border pass policy has brought about military domination through extortion that raises politico-economic advantages to the military.

Abstrak

Tulisan ini bertujuan untuk memaparkan ekonomi politik kebijakan pas lintas batas di perbatasan Indonesia-Republik Demokratik Timor Leste. Pas lintas batas merupakan suatu bentuk kebijakan kedua negara untuk memfasilitasi aktivitas perdagangan di pasar tradisional dan memudahkan mobilisasi warga lintas negara selama mengikuti rangkaian ritual sosial-budaya, tanpa menggunakan visa dan pasport. Penelitian dilakukan di Desa Silawan, Kabupaten Belu pada bulan Februari hingga Juni 2019. Dengan menggunakan perspektif ekonomi politik, tulisan ini berpendapat bahwa kebijakan pas lintas batas tidak hanya membantu meringankan beban warga, tetapi juga menimbulkan persoalan ekonomi politik yang pelik. Penerapan border pass hanya berlaku pada desa dan anggota masyarakat tertentu menimbulkan diskriminasi negara terhadap warga dan membidani lahirnya ketidakpuasan warga. Konsekuensi lanjut adalah warga melakukan perjalanan lintas batas secara ilegal. Aturan negara yang membatasi jumlah

(2)

penjualan dan pembelian barang pada satu pihak menguntungkan negara, akan tetapi di pihak lain, [ia] tidak menguntungkan para pedagang kecil yang hendak memvalorisasi nilai ekonomi. Pada akhirnya, kebijakan border pass melahirkan dominasi militer dalam melakukan pungutan liar atas pelintas batas ilegal yang mendatangkan keuntungan ekonomi politik bagi militer. 1. PENDAHULUAN

Opsi politik referendum yang diberikan B.J Habibi kepada Timor Leste pada tahun 1999 bukan sekedar momen memutus sejarah aneksasi-kolonial Indonesia sejak tahun 1975. Opsi yang ditawarkan itu membuka konflik baru dalam pelbagai bidang baik bagi pengungsi (Dhosa dan Ratumakin 2019; Damaledo 2014, 2018) maupun bagi warga yang tinggal di wilayah perbatasan kedua negara ini (Raharjo 2016).

Konflik perbatasan antara Indonesia versus Timor Leste merupakan salah satu model konflik yang terjadi pada wilayah perbatasan di pelbagai negara, khususnya negara-negara di kawasan Asia Tenggara (Wain 2010). Perbatasan Sebatik, salah satu pulau di Kalimantan dengan Malaysia, menunjukkan ketimpangan pembangunan yang relatif besar. Ghafur (2016) mencatat bahwa Sebatik memiliki potensi kekayaan alam yang sangat kaya. Tapi, hal tersebut justeru tidak didukung oleh pembangunan infrastruktur dan sumber daya manusia yang memadai untuk mengembangkan sumber daya alam, transportasi, pariwisata, dan pemerintahan. Bahkan, adanya penggunaan mata uang ringgit Malaysia dalam perdagangan melahirkan problem baru dalam relasi sosial-ekonomi (Raharjo, Setiawan, Ghafur, dan Ekawati 2017).

Hampir sama dengan konflik Sebatik-Malaysia, konflik perbatasan pun terjadi antara Thailand-Malaysia, serta adanya pelintas batas ilegal (Rahman 2013). Konflik di perbatasan dan praktik ilegal warga kemudian diatasi salah satunya melalui kerjasama antara negara.

Tulisan ini bertujuan untuk menjelaskan perspektif ekonomi politik terhadap kebijakan pas lintas batas (PLB) pemerintah Indonesia dan Timor Leste terhadap warga yang tinggal di wilayah perbatasan kedua negara ini. Merujuk pada laporan Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia, PLB antara kedua negara ini ditandatangani secara resmi pada Juni 2003 (Kemenlu.go.id). PLB, oleh kesepakatan kedua negara ini, ditetapkan sebagai dokumen resmi perjalanan untuk menggantikan visa dan passport yang diberikan kepada warga di perbatasan. Masa berlaku PLB selama satu tahun, dan dapat diperbaharui. Warga negara Indonesia dapat tinggal di Timor Timur, khususnya pada kecamatan-kecamatan atau sub-distrik yang telah ditetapkan selama sepuluh hari, dan warga diperbolehkan menetap hingga tiga puluh hari (Kemenlu.go.id).

Selain oleh kerjasama dalam aspek PLB, terdapat pula kerjasama dalam bidang lain. Sejak 2002-2014 terdapat 52 kesepakatan antara Indonesia-Timor Leste. Dari dokumen-dokumen itu, paling tidak terdapat 4 bentuk kerjasama yang mencakup 1) lintas batas tradisional; 2) pasar tradisional dan pengaturan pasar; 3) pencegahan dan penghapusan kejahatan transnasional; dan 4) kerjasama patroli perbatasan (Raharjo 2016).

(3)

Dalam bidang ekonomi, pemerintah Indonesia telah membangun kerjasama dengan distrik Oekusi, Timor Leste. Penelitian Oki et al. (2017) menunjukkan bahwa modal sosial yang digunakan sebagai perekat perdagangan di enklave Oekusi dapat meningkatkan ekonomi warga. Penguatan di bidang ekonomi berdampak pada bidang sosio-politik. Kerjasama antar negara dapat membatasi dan mengurangi eskalasi konflik. Model kerjasama melalui nota kesepakatan (MoU) antara pemerintah, yang kemudian dilanjutkan dalam kerjasama pihak keamanan kedua negara dalam aspek patroli. Iklim yang kondusif yang diakibatkan oleh kerjasama ini membuka kesempatan berikutnya bagi partisipasi masyarakat dalam meminimalisir konflik (Raharjo 2016).

Oki (2019) menganalisis strategi pembangunan ekonomi komunitas di kawasan perbatasan dengan Timor Leste melalui perdagangan lintas batas sebagai salah satu alternatif untuk keluar dari tingkat kemiskinan dan membawa masyarakat menuju kesejahteraan. Dengan menggunakan analisis SWOT, Oki (2019) menemukan adanya kelemahan internal dan bersaman dengan itu hadir pula ancaman dari pihak eksternal. Baginya, aspek pendidikan warga yang sangat minim, ditunjang oleh keterbatasan modal, dan potret birokrasi yang berbelit-belit adalah problem internal yang harus diperangi berhadapan dengan ekspansi pasar.

Berbeda dengan kajian-kajian sebagaimana telah disebutkan di muka, perspektif yang digunakan dalam tulisan ini adalah ekonomi politik. Ekonomi politik merupakan suatu ranah kajian yang berusaha mencermati tujuan, aspek material dan usaha-usaha yang dapat dilakukan untuk memperoleh hasil yang diinginkan oleh pelbagai aktor dan institusi yang saling tumpang-tindih (overlapping) dan saling melengkapi (complementarities). Ekonomi politik juga berusaha untuk mencermati kondisi yang membuat tujuan politik dari aktor tertentu dianggap layak dan yang lainnya bersifat tidak layak (Cardinale dan Scazzieri 2018: 4).

Merujuk pada Cardinale dan Scazzieri (2018), ekonomi politik dapat digunakan untuk menginvestigasi aspek material dari institusi sebagai seperangkat tindakan instrumental yang terstruktur. Suatu kebijakan dibentuk dalam latar kepentingan ekonomi politik dari pelbagai aktor yang memiliki modal sosial dan modal institusional yang beragam, dan modal-modal tersebut diaktualisasikan dalam ranah. Dalam pemahaman demikian, Dubois (2018) misalnya, telah menunjukkan analisisnya terhadap ranah sebagai pembentukan kebijakan (fields as policy making). Dubois (2018) kemudian menegaskan bahwa kebijakan dan institusi berada dalam tarikan kekuatan yang berbeda. Pada satu sisi, sebagaimana ditegaskan pemikir Marxis bahwa negara dan kebijakan tidak bersifat otonom. Sebab, kebijakan dan institusi cenderung melayani kepentingan elit atau kelas dominan di dalam masyarakat. Sebaliknya, dalam perspektif neo-institusional, negara dan kebijakan instusi dalam meraih tujuan yang diinginkannya, serta legitimasi kebijakan tidak sepenuhnya dipengaruhi oleh kekuatan eksternal (Dubois 2018). Dari perbedaan pandangan ini, ranah selalu menjadi area pertautan kepentingan dan kompetisi para aktor dan institusi. Bourdieu memahami ranah sebagai arena atau sistem sosial yang terstruktur dan teroganisir baik yang dibentuk

(4)

oleh individu maupun institusi. Karena itu, karakter dasar relasi antar aktor sosial yang acapkali terjadi di dalam ranah adalah subordinatif, dominatif, dan ekuivalen yang dipengaruhi oleh akses terhadap sumber daya (Jenkins 2010).

Dalam kerangka ekonomi politik inilah tulisan ini berusaha melacak kebijakan PLB oleh kedua negara: Indonesia dan Republik Democratik Timor Leste, serta implikasi yang terjadi dengan menggunakan ranah (field) baik bagi aparatur militer dan bagi warga lokal. PLB merupakan bentuk kebijakan dua negara yang memudahkan warga di perbatasan untuk beraktivitas di pasar tradisional dan kegiatan budaya. Melalui sistem PLB, para pelintas batas yang tinggal di perbatasan dapat terlibat di pasar tradisional dan berpergian ke negara tetangga untuk mengikuti upacara adat tanpa melalui pengurusan passport dan visa yang diperbarui tiap periode. Meski demikian, riset ini menemukan berbagai problem akut ekonomi politik kebijakan PLB.

2. METODE PENELITIAN

Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif kritis dengan menggunakan perspektif ekonomi politik. Perspektif ekonomi politik bertendensi melacak penguasaan alat-alat produksi, struktur hukum dan kekuasaan yang melanggengkan ketimpangan sistemik (Li 2012; Dunn 2009). Meski demikian, tulisan ini cenderung menggunakan ekonomi politik sebagai arena menurut Cardinale dan Scazzieri (2018) dimana terdapat beberapa aspek yang tumpang-tindih dan saling melengkap antara tujuan (aims), kondisi material (material condition) dan tingkat agregasi (levesl of aggregation), dan secara spesifik, tulisan ini dipengaruhi oleh Dubois (2018) yang melihat arena dalam kaitan dengan pembentukan kebijakan. Dalam kaitan dengan kebijakan PLB, pendekatan ekonomi politik berusaha membongkar ketimpangan akses dan peluang monopoli militer yang melanggengkan kekuasaan negara dan militer. Sebagai sebuah arena (field), pas lintas batas telah membuka ruang bagi pertautan berbagai kepentingan yang bahkan saling bertarung. Penelitian dilakukan di Desa Silawan, Kecamatan Tasifeto Timor, Kabupaten Belu, Provinsi Nusa Tenggara Timur pada Februari-Juni 2019. Metode yang digunakan dalam penelitian adalah wawancara mendalam (depth interview) dan observasi terlibat. Aktor-aktor yang diwawancara adalah pegawai kecamatan, aparatur desa, pegawai kantor imigrasi kelas II TPI Atambua dan PLBN Motaain, pengguna kartu PLB, dan masyarakat pelintas batas ilegal. Untuk mendukung data dan analisis atas data-data lapangan, riset ini menggunakan sumber sekunder berupa jurnal dan media massa dalam jaring (daring) yang sesuai tema penelitian..

3. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1. Meretas Batas

Negara atau birokrasi kedua negara, Indonesia-RDTL, memiliki kapital yang sangat besar untuk merancang kebijakan dan mengeksekusi kebijakan bagi masyarakat yang tinggal di perbatasan.

(5)

Sebelum referendum 1999, bahkan jauh sebelum Indonesia menganeksasi Timor Timur dan menjadikan wilayah tersebut sebagai bagian dari negara kesatuan Republik Indonesia pada tahun 1975, orang-orang yang tinggal di Pulau Timor masih memiliki ikatan kekeluargaan dan kesamaan kultural. Hal itu berubah seiring dengan kehadiran kolonialisme dan dilanjutkan oleh negara Indonesia pasca-kolonial. Kolonialisme yang dilakukan oleh Belanda dan Portugis telah melahirkan pemisahan antara Timor Timur dan Timor Barat sekitar tahun 1854 yang disahkan pada tahun 1860. Belanda menguasai Timor Barat dan Portugis menguasai Timor Timur (Neonbasu 2013). Pasca kolonial, Indonesia kemudian menguasai Timor Timur. Baik Belanda, Portugis maupun Indonesia, sama-sama berperan dalam memisahkan ikatan kekerabatan dan komunalitas kultural masyarakat Timor Timur dan Timor Barat. Kejahatan kemanusiaan terhadap orang Timor Timur yang dilakukan oleh militer Indonesia menyebabkan ribuan orang meninggal, peperangan antar saudara, kecurigaan yang tinggi satu terhadap yang lain pada awal referendum, dan penghancuran pelbagai infrastruktur hingga kesulitan akses atas tanah di Timor Barat pasca 1999 (Nichertlein 1977; Dhosa dan Ratumakin 2019). Pembelahan sosial antara pro integrasi dan pro kemerdekaan dan pemisahan secara tegas batas teritorial kedua negara pasca 1999 merongrong ikatan kekeluargaan warga. Kondisi tersebut pada akhirnya diretas, salah satunya, melalui kebijakan PLB.

Pada prinsipnya, kebijakan PLB yang diinisiasi oleh petinggi kedua negara di tingkat pusat relatif memberi kemudahan bagi warga di perbatasan. Di tengah potret kemiskinan yang melanda, pendapatan keluarga yang minim, kehadiran kebijakan PLB meringankan mereka. Kebijakan itu membantu mobilisasi warga semakin tinggi dari Timor Timur ke Timor Barat, dan atau sebaliknya, dari Timor Barat menuju Timor Timur. Mereka tidak disibukkan dengan pengurusan teknis-administrasi yang berbelit-belit dan menelan biaya mahal yang dapat menghalangi kepergian mereka. Selama rangkaian kegiatan kultural tersebut, warga Timor Barat dapat berpergian ke Timor Timur, dan diperbolehkan memperpanjang waktu tinggal selama waktu yang ditentukan paling lama tiga puluh hari. Hal yang sama berlaku bagi warga Timor Timur yang tinggal di daerah perbatasan untuk pergi ke Timor Barat dan mengikuti rangkaian acara adat, bahkan untuk kegiatan olahraga (bdk. Kemenlu.go.id).

Dengan demikian, pada prinsipnya kebijakan PLB telah memuluskan kembali relasi persaudaraan dan membantu menghidupkan ritus-ritus budaya warga pada saat kelahiran, kematian maupun ritus di rumah adat yang terhalang, dibatasi, bahkan terputus oleh karena pemisahan administrasi legal-formal negara.

Selain oleh aktivitas kultural, pemerintah pun membangun pasar tradisional di wilayah perbatasan. Dengan pasar tersebut, masyarakat dalam mendagangkan barang-barang secara efektif. Pasar menjadi tempat pertemuan para pedagang dan pembeli, produser dan konsumen. Lebih dari itu, pada pasar pula, kohesivitas sosial warga perbatasan direkatkan secara adekuat, sejauh tidak ada monopoli dan dominasi elit ekonomi pada pasar tradisional.

(6)

Pelbagai kegiatan baik perekonomian maupun kultural dan aktivitas lainnya turut meramaikan jalur perbatasan pada kedua negara. Hal ini berdampak terhadap kunjungan yang semakin banyak baik oleh warga negara Indonesia maupun oleh warga negara asing yang melewati PLBN relatif tinggi pada Januari hingga April 2019 sebanyak 47.701 orang (Imigrasi Kelas II TPI Atambua, 2019). Pada akhirnya, PLB menjadi semacam peretas batas yang pasca referendum 1999 menyulitkan mobilisasi warga, khususnya bagi warga yang tinggal di wilayah perbatasan kedua negara.

Walau tampak memberikan sumbangan positif terhadap aktivitas sosial-kultural, kebijakan PLB justeru menyembunyikan beberapa problem krusial dalam dua hal, yakni ketimpangan akses atas PLB, pelintas batas ilegal, dan monopoli militer. Hal-hal ini hendak menegaskan bahwa arena (field) selalu menjadi tempat dimana kepentingan sebagian pihak diladeni, sementara kebutuhan pihak lain dinegasikan, sebagaimana dijelaskan berikut ini.

3.2. Ketimpangan Akses

Pada tahun 2003 pemerintah Indonesia dan Republik Demokratik Timor Leste meresmikan MoU (memorandum of Understanding) pemberlakuan kebijakan PLB sebagai pengganti visa dan pasport bagi warga perbatasan, dan pada tahun 2010 dilakukan peluncuran PLB. Meski kebijakan kedua negara tampak membantu warga dalam bidang perekonomian dan sosio-kultural, penelitian ini menemukan beberapa hal menarik yang bermuara pada ketimpangan akses untuk mendapatkan kartu lintas batas.

Kehendak negara untuk membantu warga perbatasan melalui kebijakan PLB tidak hanya memberikan pengakuan (rekognisi) terhadap warga, tetapi juga menimbulkan friksi dan diskriminasi terhadap warga melalui akses yang timpang untuk mendapatkan hak yang adil sebagai warga negara.

Yang dimaksudkan dengan ketimpangan di sini adalah pembagian kartu lintas batas yang tidak merata, dan dengan demikian, tidak bersifat adil kepada semua warga yang tinggal di area perbatasan. Sepanjang perbatasan Indonesia-Timor Leste terdapat banyak sekali wilayah dan warga, khususnya warga yang kurang mampu secara ekonomi. Pemerintah memberikan kartu PLB sebagai pengganti visa dan passport kepada anggota masyarakat tertentu dan pada daerah tertentu. Padahal, masyarakat di daearah-daerah lain di perbatasan kedua negara masih memiliki ikatan sosio-kultural yang adekuat.

Adapun syarat-syarat dokumen yang harus disiapkan oleh calon penerima kartu pos lintas batas relatif tidak rumit. Beberapa dokumen dimaksud adalah akta kelahiran atau surat baptis dari gereja, kartu tanda penduduku (KTP), SKCK, pas foto dan pengisian formulir yang kemudian dilegalisir oleh kepala desa setempat. Menyimak dokumen-dokumen tersebut sebetulnya tidak menyulitkan warga miskin yang tinggal di perbatasan. Tapi, prakondisi lapangan justeru menampilkan sesuatu yang berbeda yang bermuara pada ketimpangan akses.

Riset ini menemukan bahwa kebijakan PLB antara Republik Demokratik Timor Leste dan Republik Indonesia tidak mempertimbangkan aspek budaya dan jangkauan pemberlakuan serta pemberian PLB kepada masyarakat. Hal ini dapat

(7)

dilihat dari pemberlakuan PLB pada titik-titik perbatasan darat, salah satunya adalah perbatasan Motaain dan hanya diberikan untuk masyarakat Desa Silawan. Semenjak peristiwa jajak pendapat tahun 1999 banyak pengungsi warga Timor Timur yang tersebar diberbagai wilayah di Indonesia, khususnya Kabupaten Belu, Nusa Tenggara Timur. Bahkan, Kabupaten Belu merupakan wilayah yang berbatasan langsung dengan Timor Timur, sehingga terdapat pelbagai titik dan pintu masuk langsung ke Timor Timur. Dengan demikian, bukan hanya Motaain saja yang memiliki keluarga, budaya bahkan rumah suku yang sama di batas negara Timor Leste, tetapi juga tempat-tempat lain di luar radius pemberlakuan PLB seperti Atapupu, Haliwen, Atambua dan lain sebagainya.

Ketimpangan pembagian kartu PLB oleh negara kepada warga di perbatasan bersifat struktural. Hal ini menimbulkan ketidakpuasan warga dan memungkinkan warga melakukan paling tidak dua hal yang tidak pernah dibayangkan sebelum adanya pemberlakuan kartu lintas batas.

Pertama, adanya praktik lintas batas ilegal dan penyelundupan barang-barang secara ilegal pula. Mengingat tidak semua desa dan warga perbatasan mendapatkan kartu PLB, maka kondisi tersebut memuluskan dan membuka ruang bagi warga untuk berpergian ke Timor Leste dan ke Indonesia dengan jalur ‘tikus’ atau ilegal.

Warga lokal terlibat dalam praktik perdagangan yang ilegal ketika pasar dan kebijakan negara tidak cukup menghidupi masyarakat berpenghasilan rendah. Sebagian warga memilih ilegal dalam penyelundupan minyak ke Timor Leste dengan tujuan meraih keuntungan sebesar-besarnya di bidang ekonomi. Seorang narasumber, Roger Klau (bukan nama sebenarnya) melaporkan: “Saya adalah keluarga baru, jadi untuk memenuhi kebutuhan dalam satu rumah tangga yang baru sangatlah membutuhkan uang secukupnya. Dengan bermodalkan nelayan saja saya pikir tidak akan cukup apalagi dengan cuaca angin yang sangat buruk. Maka alternatifnya adalah menyelundup minyak masuk ke Timor Leste melalui laut dengan menggunakan perahu. Dalam sekali muatan bisa sampai satu ton bensin atau minyak tanah. Walaupun resikonya besar jika ditangkap polisi maritim. Karena keadaan menuntut untuk bekerja seperti ini, rasa takut pun tidak pernah saya hiraukan” (Wawancara pada Selasa, 14/5/2019). Hal ini menunjukkan bahwa meski kebijakan PLB telah diberlakukan bagi warga di perbatasan, akan tetapi, dalam praktiknya masih memberikan peluang dan kemungkinan bagi warga kecil untuk melakukan penyelundupan barang yang dapat menghidupi diri dan keluarga.

Kedua, pembiaran terhadap pelintas ilegal oleh aparatur negara melahirkan apatisme warga, dimana mereka tidak ingin mengurus kartu lintas batas. Kondisi lapangan menunjukkan banyaknya warga yang tidak mendapatkan kartu PLB. Hal ini, seperti sudah disampaikan di depan, membuka peluang bagi pelintas batas ilegal. Masalahnya muncul ketika kelompok ini tidak ditangkap dan diadili secara hukum normatif. Sejauh warga ini mampu membayar denda kepada aparat yang bertugas, dan bahkan sejauh mereka memiliki relasi sosial yang mumpuni dengan aparatur sipil, maka pihak yang berpergian secara ilegal ini akan dibiarkan dan

(8)

diberi kebebasan. Hal ini pada akhirnya membawa dampak baru bagi warga yang sejak awal memiliki kartu PLB.

Warga lokal meski pernah mendapatkan PLB, namun tidak semua dari mereka yang memperpanjang masa berlaku kartu tersebut. Dengan kata lain, meski negara memberikan kartu PLB, tidak semua warga tertarik untuk memiliki dokumen tersebut. Sebab, bagi kelompok ini, tidak terdapat perbedaan mendasar antara memiliki dan tidak memiliki kartu PLB. Mereka dapat berpergian secara bebas ke Timor Leste, dan dapat kembali ke Atambua, meski melewati beberapa kali penangkapan oleh militer.

Seorang narasumber, RP, menjelaskan bahwa: “Dulu saya memiliki Paspor, tapi setelah habis masa berlakunya maka saya tidak ada lagi uang untuk mengurus yang baru. Seandainya PLB dapat kami peroleh seperti pada masyarakat di Desa Silawan, maka dengan mudah akses perjalanan kunjung keluarga akan secara legal. Saya pikir alternatif lain yang paling bagus adalah melintasi batas secara ilegal baik itu urusan adat (kenduri) maupun acara perkawinan. Saya seorang pensiunan PNS di Indonesia tapi saya ada rumah juga di Timor Leste, jadi jika saya lama di sana maka tiap awal bulan rutin melintas secara ilegal untuk menerima gaji pensiunan saya di Atambua” (Wawancara pada Minggu, 12/5/2019).

Dua problem yang dipaparkan di atas bukan semata-mata kesalahan warga melainkan terlebih merupakan akibat lanjut dari pengabaian yang bersifat struktural oleh negara dan direproduksi oleh para aparatur negara. Kegagalan kebijakan tersebut berlanjut pada kebijakan tentang pasar tradisional di wilayah perbatasan.

Pasar tradisional kedua negara belum memberikan keuntungan signifikan bagi kehidupan ekonomi masyarakat. Meski Oki et al. (2017) menemukan bahwa kerjasama dalam bidang ekonomi antara masyarakat Timor Timur dan Indonesia memberikan keuntungan bagi pedagang, akan tetapi riset ini menemukan sebaliknya, dimana warga lokal yang terlibat dalam perdagangan di pasar tradisional mengeluhkan sulitnya menjual dan membeli barang dalam jumlah relatif besar. Patut diakui bahwa tulisan ini tidak menggunakan perhitungan ekonomi-statistikal untuk menghitung kerugian yang dialami oleh para petani dan pedagang kecil di sejumlah pasar tradisional. Akan tetapi, dengan menggunakan pendekatan observasi terlibat di pasar tradisional, ditemukan adanya sejumlah keluhan dan kesulitan masyarakat lokal, para petani dan pedagang kecil untuk meningkatkan ekonomi bagi keluarga melalui pasar tradisional. Hal ini terjadi karena adanya kebijakan negara yang membatasi jumlah barang yang diperdagangkan.

Negara membatasi penjualan dan atau membawa barang-barang yang berlebihan dari pasar tradisional. Masyarakat dilarang berbelanja di atas Rp 500.000, dan dilarang membawa kacang-kacangan, beras, dan tumbuh-tumbuhan. Pembatasan oleh negara menyebabkan warga menyelundup minyak dari Kabupaten Belu ke Timor Leste baik lewat darat maupun melalui laut. Nilai tukar dolar yang besar dari rupiah merupakan salah satu hal yang menguntungkan bagi warga perbatasan yang hidup dalam kondisi kemiskinan untuk menjual barang secara ilegal. Sejumlah narasumber mengaku bahwa meski upaya penyelundupan minyak

(9)

ke Timor Leste sangat berisiko, akan tetapi mereka tidak pernah takut untuk menjualnya secara ilegal sebagaimana ditegaskan sebelumnya.

Sebagai sebuah ranah atau arena, PLB telah digunakan oleh masyarakat kecil di perbatasan untuk menunjang kepentingan ekonomi. Pembatasan akses terhadap pasar yang dilegalkan oleh negara memberi keuntungan bagi negara, akan tetapi ia dialami oleh masyarakat kecil sebagai yang bersifat merugikan. Atas dasar itulah, arena PLB membuka ruang baru bagi praktik penyelundupan barang dagangan secara ilegal.

3.3. Peluang Monopoli Militer

Selain oleh ketimpangan akses atas kartu lintas batas yang kemudian melahirkan problem krusial yakni pelintas batas ilegal, apatisme warga mengurus kartu pas lintas batas, dan pembatasan pada pasar tradisional, ada pula problem ekonomi politik lain dari kebijakan PLB yakni praktik monopoli militer. Dengan kata lain, kebijakan PLB yang timpang justeru semakin diperparah oleh rezim lokal militer. Arena PLB justru digunakan secara berbeda oleh militer.

Sejarah Indonesia pernah mencatat peran penting militer selama era Orde Baru (1966-1998). Dwi fungsi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) telah menempatkan militer menempati posisi penting dalam pelbagai bidang mulai dari militer, pemerintahan hingga jabatan sipil.

Pasca kejatuhan rezim Soeharto pada 1998, publik menaruh harapan yang besar agar reformasi terjadi pada tubuh militer. Jika ditelisik sepintas, harapan publik tersebut seolah-olah terpenuhi. Sebab, ruang politik dan pemerintahan mulai dipenuhi oleh sipil. Kebebasan pers dan kebebasan berpendapat mulai dirasakan oleh warga. Akan tetapi bila melacak lebih jauh, pasca Orde Baru, yang muncul adalah reorganisasi kekuatan oligarki warisan Orde Baru (Bdk. Robison dan Hadiz 2004).

Di tingkat lokal, reformasi militer tidak mampu mengubah watak kekerasan yang dilakukan melalui pemungutan liar terhadap warga pelintas batas ilegal. Senada dengan Arti dan Cahyati (2018), riset ini menemukan adanya dominasi rezim militer dan kemunculan ruang negosiasi sipil-militer di perbatasan. Dominasi militer tampak pada pungutan liar kepada pelintas batas ilegal, dengan harga yang fluktuatif antara Rp 50.000 hingga Rp 100.000 per orang. Perlakuan militer terhadap warga bersifat tebang pilih dan diskiminatif. Jika militer mengenal dengan baik pelintas batas ilegal, tidak akan ada pembayaran. Sebaliknya, jika pelintas batas tidak memiliki ikatan emosional, maka militer akan menagih ‘jatah’ berupa uang. Militer memberi ruang negosiasi bagi sekelompok orang yang memiliki kedekatan relasi sosial-ekonomi.

Praktik pendapatan ilegal seperti ini mirip terjadi pada perbatasan antara Thailand dan Malaysia. Warga pejalan kaki yang acapkali masuk ke dan keluar dari Thailand mengurus passport diminta untuk membayar uang kepada petugas. Praktik ini adalah bentuk ilegal yang pernah dilakukan petugas imigrasi, yang disebut sebagai ‘pendapatan liar’ bagi para petugas imigrasi (Rahman 2013). Meski demikian, ada perbedaan antara kedua temuan ini, dimana praktik penarikan uang ilegal di Thailand dilakukan oleh warga sipil yang bekerja pada kantor imigrasi,

(10)

sementara itu di Kabupaten Belu, praktik penarikan uang dilakukan oleh militer Indonesia.

Selanjutnya, dalam kaitan dengan negosiasi sipil-militer, masyarakat sipil menggunakan kedekatan relasi dengan militer untuk mengantar atau mengawal pelintas batas ilegal baik melalui jalur pantai maupun jalur darat. Faktor kemiskinan telah mendorong warga di perbatasan berperan sebagai pengawal para pelintas batas ilegal. Dari pekerjaan seperti ini, mereka dibayar 100 ribu per orang. Praktik ini dilakoni selama bertahun-tahun secara bergantian dengan pekerjaan sebagai petani dan nelayan. Mereka tidak ditangkap pihak keamanan karena diantara pengawal dan anggota militer saling mengenal. Keakraban antara warga dengan militer membawa dampak buruk bagi masyarakat. Salah satu dampak buruk adalah sebagian warga perbatasan tidak mengurusi kartu PLB, karena mereka dapat berpergian secara bebas dan leluasa lintas batas. Konsekuensi lanjut dari praktik tersebut adalah pada satu sisi, warga melanggar aturan keimigrasian, akan tetapi pada sisi lain, militer membiarkan terjadinya pelanggaran oleh warga. Dengan data ini, tersingkap potret tidak adanya korelasi kerjasama antara kantor imigrasi dan militer.

4. KESIMPULAN

Tulisan ini telah menunjukkan bahwa kebijakan pas lintas batas antara pemerintah Indonesia-Republik Democratik Timor Leste mengalami problem kronis. Kesepakatan kedua negara tersebut pada satu sisi memberi keuntungan bagi sebagian warga di perbatasan. Tapi di sisi lain, jika dilacak lebih jauh, kebijakan tersebut justeru berpotensi diskriminasi terhadap warga yang masih memiliki ikatan sosio-kultural yang kuat. Kartu PLB tidak diberikan kepada semua orang yang tinggal di perbatasan kedua negara.

Kebijakan border pass juga mengatur jumlah barang yang harus diperjual-belikan seturut ketetapan negara. Alih-alih membantu meningkatkan perekonomian warga, kebijakan tersebut malah melahirkan ketidakpuasan warga miskin.

Pada akhirnya, kehendak politik elit negara menetapkan PLB menimbulkan dominasi rezim militer dan penguatan ruang negosiasi sipil-militer yang melakukan pungutan liar demi kepentingan ekonomi politik pribadi. Relasi kuasa yang timpang ini sebagaimana ditilik dari perspektif ekonomi politik menumbuhkan gap antara kaum yang berkuasa dan kaum yang dikuasai.

Dalam perspektif ekonomi politik, tulisan ini menegaskan bahwa kebijakan PLB telah menjadi arena yang digunakan secara berbeda oleh aktor-aktor sosial dan institusi. Negara mengatur PLB, sebuah ranah yang menghasilkan implikasi berbeda bagi pelbagai aktor sosial. Aktor sosial penerima PLM mendapat kemudahan akses mobilitas. Akan tetapi, bagi akor sosial yang tidak mendapatkan kartu PLB, bahkan para penerima PLB pun, melakukan perjalanan secara ilegal, termasuk untuk menunjang kepentingan bisnis. Ironisnya, praktik ini justru mendapat dukungan militer yang mendapatkan keuntungan ekonomi dari pemberlakuan PLB.

(11)

Berpijak pada uraian di atas, penulis mengajukan dua rekomendasi. Pertama, menata ulang pembagian kartu PLB yang semula hanya diberikan kepada desa tertentu dan pihak tertentu, kepada semua desa yang berbatasan langsung dengan Timor Leste. Proyek ini harus diawali dengan riset serius tentang hambatan dan peluang penerapan PLB yang adil. Kedua, membongkar rezim lokal militer yang menggunakan kewenangan militer untuk mendapatkan keuntungan ekonomi politik pribadi. Ketiga, membuka akses warga lokal yang adil terhadap pasar tradisional, dan dengan demikian, dapat mendatangkan keuntungan ekonomi politik bagi masyarakat kecil di perbatasan Indonesia-Timor Leste.

DAFTAR PUSTAKA

Arti, Wigke Capri dan Cahyati, Devy Dhian. 2018. “Dominasi Pasar dalam Rezim Perbatasan di Belu”, dalam Longgina Novadona Bayo, Purwo Santoso dan Willy Purna Samadhi (ed.), Rezim Lokal di Indonesia: Memaknai Ulang Demokrasi Kita. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor.

Cardinale, Ivano dan Scazzieri, Roberto (ed.). 2018. The Palgrave Handbook of Political Economy. United Kingdom: Palgrave Macmillan.

Dubois, Vincent. 2018. “The Fields of Policy-Making”, dalam Cardinale, Ivano dan Scazzieri, Roberto (ed.), The Palgrave Handbook of Political Economy. United Kingdom: Palgrave Macmillan.

Damaledo, Andrey. 2014. ‘We are not new citizens; we are East Timorese’: displacement and labelling in West Timor”. Review of Indonesian and Malaysian Affairs, vol. 48, No. 1, 159-81.

---. (2018), “To Separete is to Sustain: Sacrifice and national belonging among East Timorese in West Timor”. The Australian Journal of Anthropolgy, 29, 19-34. Dhosa, Didimus Dedi dan Ratumaking, Paulus AKL. (2019), “Ekonomi Politik

Redistribusi Tanah, Dinamika Kelas dan Perjuangan Pengungsi Timor Timur di Timor Barat, Indonesia”, Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan MISSIO, Vol. 11, No. 1, 1-17.

Dunn, Bill. (2009), Global Political Economy: A Marxist Critique, London: Pluto Press.

Ghafur, Muhammad Fakhry. 2016. Ketahanan Sosial di Perbatasan: Studi Kasus Pulau Sebatik. Masyarakat Indonesia, Vol. 42, No. 2.

Jenkins, Chris. 2010. Membaca Pemikiran Bourdieu. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Li, Tania Muray. 2007. The Will to Improve, Durham & London: Duke University

Press.

Nichertlein, Sue. 1999. The Struggle for East Timor – Prelude to Invasion, Journal of Contemporary Asia, 7:4, 486-496.

Neonbasu, Gregor (Penyunting). 2013. Kebudayaan: Sebuah Agenda Dalam Bingkai Pulau Timor dan Sekitarnya. Jakarta: Gramedia.

(12)

Oki, Kamilaus Konstanse, et al. 2017. “Analysis of Cross Border Trade between Regency of North Central Timor and Enclave District of Oekusi (Timor Leste)”, IOSR Journal of Economics and Finance (IOSR-JEF), Vol. 8, Issue 3. Oki, Kamilus Konstante. 2019. “Strategi of Community Economic Development in

Border Area with Timor Leste through Cross Border Trade”. International Journal of Business and Manajement Invention, Vol. 8, No. 3, 24-30.

Raharjo, Sandy Nur Ikfal. (2016), “Research Summary, Managing Conflict Through Cross-Border Cooperation. A Study at the Indonesia-Timor Leste Border”, Journal of Indonesian Social Sciences and Humanities, Vol. 6, No. 1.

Raharjo, Sandi Nur Okfal, Bayu Setiawan, Muhammad Fakhry Ghafur, Esty Ekawati. 2017. Strategi Peningkatan Kerjasama Lintas batas (Border Crossing Egreement) Indonesia-Malaysia: Upaya Mendukung Ketahanan Sosial Masyarakat PPKT. Policy Paper. Jakarta: Pusat Penelitian Politik dan Pusat Penelitian Kependudukan LIPI.

Rahman, Agus R. 2013. Hubungan Perbatasan antara Thailand dan Malaysia: Kerjasama Perbatasan dan Lintas Batas Ilegal. Jurnal Penelitian Politik, Vol. 10, No. 2.

Robison, Richar dan Hadiz, Vedi R. 2004. Reorganising Power in Indonesia: The Politics of Oligarchy in an Age of Market. London and New York: RoutledgeCurzon.

Wain, Barry. 2012. Latent Danger: Boundary Disputed and Border Issues in Southeast Asia. Southeast Asian Affairs.

https://kemlu.go.id/dili/id/pages/kekonsuleran-pas_lintas_batas_/1762/etc-menu, diakses pada 22 Mei 2020.

Referensi

Dokumen terkait

Ini adalah wilayah yang memuat faktor-faktor yang dianggap penting oleh pelanggan dan faktor-faktor yang dianggap oleh pelanggan sudah sesuai dengan yang

Dari hasil penelitian dapat dsimpulan bahwa efikasi diri pada penderita TB Paru lebih dari setengah dari responden dalam kategori baik, kualitas hidup pada penderita TB Paru

Untuk tahun 2009-2013, karena telah ada data asli maka data asli kasus DBD tersebut dapat dibandingkan dengan data hasil prediksi, data asli dan data prediksi tersebut juga

Pasar Senen atau yang lebih dikenal dengan Proyek Pasar Senen merupakan salah satu dari beberapa pasar tradisional yang telah mengalami perkembangan menjadi pasar modern..

(5) The existence of significant influence on the industry changes in the social structure of society through corporate social responsibility (CSR) as an

[ 1 markah] Crucible lid Penutup mangkuk pijar Chemical substance Bahan kimia Dry hydrogen gas Gas hidrogen ker ing Heat Panaskan Heat Panaskan Chemical substance Bahan kimia M ethod

karena dalam mempelajari bahasa Arab akan mengalami berbagai problematika yang harus.. dihadapi, baik dari segi linguistiknya (tata bunyi, kosa kata,

Pengumpulan data untuk penelitian ini dilakukan pada kapal penumpang KM Kelud yang merupakan salah satu armada pelayaran PT PELNI untuk rute Jakarta-Batam-Tanjung Balai-Medan,