• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dinamika Pendidikan Agama di Sekolah Pengalaman dari Lapangan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Dinamika Pendidikan Agama di Sekolah Pengalaman dari Lapangan"

Copied!
217
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

DINAMIKA PENDIDIKAN AGAMA DI SEKOLAH Pengalaman dari Lapangan

Hak cipta dilindungi Undang-Undang All RIghts Reserved

Penulis: Qowaid

Editor: Mustofa Asrori

Desain Cover & Layout: Sugeng

Diterbitkan oleh: LITBANGDIKLAT PRESS

Jl. M.H. Thamrin No. 6 Lantai 17 Jakarta Pusat Telepon: 021-3920688

Fax: 021-3920688

Website: balitbangdiklat.kemenag.go.id Anggota IKAPI No. 545/Anggota Luar Biasa/DKI/2017

Cetakan: Pertama, November 2018 ISBN : 978-979-797-377-3

(3)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, akhirnya buku ini dapat terbit setelah melalui proses seleksi dan editing yang cukup memakan waktu. Sebagian besar isi tulisan ini merupakan hasil penelitian lapangan yang penulis lakukan di berbagai lokasi selama beberapa tahun.

Sebagian besar tulisan ini, secara substansial, telah dimuat di berbagai jurnal. Di antaranya dimuat di Jurnal

Edukasi, Jurnal Harmoni, dan Jurnal Andragogi. Namun,

terdapat sedikit perubahan secara redaksional ketika artikel dimuat di dalam buku ini. Namun secara substansial tidak mengalami perubahan.

Banyak pihak yang sangat membantu sehingga buku ini terwujud. Kepala Puslitbang Pendidikan Agama dan Keagamaan telah memberikan kesempatan penulis untuk melakukan penelitian sesuai judul di sebagian besar tulisan ini. Puslitbang Pendidikan Agama dan Keagamaan juga telah memfasilitasi proses penerbitan buku ini. Untuk itu, penulis ucapkan banyak terima kasih atas pemberian kesempatan dan fasilitas tersebut.

Kepada teman-teman peneliti dan Tim Editor juga diucapkan terima kasih atas kritik dan saran serta perbaikannya sehingga tulisan dalam buku ini lebih dimungkinkan untuk diterbitkan. Kepada penerbit

(4)

Litbangdiklat Press juga diucapkan terima kasih atas kesediaan untuk menerbitkan buku ini.

Akhirnya, penulis berharap semoga buku ini bermanfaat bagi pembaca. Amin.

(5)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... iii DAFTAR ISI ... v BAGIAN SATU

PENDAHULUAN: DINAMIKA PENDIDIKAN AGAMA DI SEKOLAH ... 1 BAGIAN DUA

IMPLEMENTASI PENDIDIKAN AGAMA DI SEKOLAH MENENGAH KEJURUAN (SMK) BAKTI

PANGKALPINANG BANGKA BELITUNG ... 17 BAGIAN TIGA

PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN KARAKTER MELALUI PENDIDIKAN AGAMA DI SMAN 2

SEMARANG ... 53 BAGIAN EMPAT

MENGGAPAI GURU PENDIDIKAN AGAMA YANG

IDEAL ... 93 BAGIAN LIMA

SERTIFIKASI DAN PENINGKATAN KINERJA

GURU PENDIDIKAN AGAMA ISLAM ... 109 BAGIAN ENAM

TOLERANSI BERAGAMA SISWA SEKOLAH

LANJUTAN TINGKAT ATAS (SLTA) ... 141 Litbangdiklat Press juga diucapkan terima kasih atas

kesediaan untuk menerbitkan buku ini.

Akhirnya, penulis berharap semoga buku ini bermanfaat bagi pembaca. Amin.

(6)

BAGIAN TUJUH

PERPUSTAKAAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

DI KOTA PADANG SUMATERA BARAT... 171 DAFTAR PUSTAKA ... 195

(7)

BAGIAN TUJUH

PERPUSTAKAAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

DI KOTA PADANG SUMATERA BARAT... 171 DAFTAR PUSTAKA ... 195

BAGIAN SATU

PENDAHULUAN:

DINAMIKA PENDIDIKAN AGAMA DI SEKOLAH Era reformasi di Indonesia merupakan tonggak sejarah yang penting untuk menuju era perubahan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Era yang puncaknya terjadi pada tahun 1998, diyakini akan semakin memantapkan kehidupan yang lebih demokratis dalam masyarakat Indonesia, yang pada akhirnya diharapkan akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Salah satu perubahan yang nyata dan fundamental terlihat adalah dalam dunia pendidikan kita.

Secara fundamental, perubahan tersebut diawali dengan perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pada Bab XIII, Pendidikan dan Kebudayaan, pasal 31 ditambah beberapa Ayat. Untuk melihat dan mewujudkan tujuan nasional dalam pendidikan tersebut, dapat dicermati Pasal 31 UUD 1945 Ayat (1), (2), (3), dan (4)1. Disebutkan dalam pasal (1): Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan, pasal (2): Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya.

Selanjutnya disebutkan pada pasal (3): Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang, pasal

1Lihat Bab XIII Bab Pendidikan, Pasal 31 Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945.

(8)

(4): Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional. Dengan demikian negara memandang bahwa pendidikan merupakan faktor yang sangat penting, di samping merupakan faktor yang menentukan.

Setelah itu, keluarlah beberapa Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, dan Peraturan di bawahnya, berkenaan dengan Pendidikan. Di antaranya adalah Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen.

Peraturan Pemerintah yang terkait dengan Pendidikan antara lain Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2008 tentang Guru, Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan (yang kemudian diperbarui dengan Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 2013 tentang Standar Nasional Pendidikan), Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Keagamaan. Berkenaan dengan guru Pendidikan Agama, maka dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional disebutkan dalam Pasal 12 Ayat 1a bahwa “Peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak mendapatkan pendidikan agama sesuai agama yang dianutnya”.

Pembangunan nasional dalam bidang pendidikan adalah upaya mencerdaskan kehidupan bangsa dan meningkatkan kualitas manusia Indonesia yang beriman, bertakwa, dan berakhlak mulia, serta menguasai ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni dalam mewujudkan

(9)

(4): Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional. Dengan demikian negara memandang bahwa pendidikan merupakan faktor yang sangat penting, di samping merupakan faktor yang menentukan.

Setelah itu, keluarlah beberapa Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, dan Peraturan di bawahnya, berkenaan dengan Pendidikan. Di antaranya adalah Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen.

Peraturan Pemerintah yang terkait dengan Pendidikan antara lain Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2008 tentang Guru, Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan (yang kemudian diperbarui dengan Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 2013 tentang Standar Nasional Pendidikan), Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Keagamaan. Berkenaan dengan guru Pendidikan Agama, maka dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional disebutkan dalam Pasal 12 Ayat 1a bahwa “Peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak mendapatkan pendidikan agama sesuai agama yang dianutnya”.

Pembangunan nasional dalam bidang pendidikan adalah upaya mencerdaskan kehidupan bangsa dan meningkatkan kualitas manusia Indonesia yang beriman, bertakwa, dan berakhlak mulia, serta menguasai ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni dalam mewujudkan

masyarakat yang maju, adil, makmur, dan beradab berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Pendidikan Nasional memiliki visi terwujudnya sistem pendidikan yang kuat dan berwibawa untuk memberdayakan semua warga negara Indonesia berkembang menjadi manusia berkualitas. Kualitas manusia Indonesia tersebut dihasilkan melalui penyelenggaraan pendidikan yang bermutu. Salah satu unsur penting dalam pembangunan nasional bidang pendidikan yang bermutu adalah guru.

Begitu penting dan strategisnya pendidikan dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara, maka perubahan dan perbaikan dengan segenap sistemnya perlu dilakukan secara terus menerus seiring kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) yang mengalami kecepatan dan percepatan luar biasa.

Pendidikan agama berfungsi membentuk manusia Indonesia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta berakhlak dan mampu menjaga kedamaian dan kerukunan hubungan inter dan antarumat beragama. Pendidikan agama mewujudkan keharmonisan, kerukunan, dan rasa hormat di antara sesama pemeluk agama yang dianut dan terhadap pemeluk agama lain.

Pendidikan agama diselenggarakan secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, mendorong kreativitas dan kemandirian, serta menumbuhkan motivasi hidup. Guru agama mestinya mampu menanamkan peserta didik untuk mengamalkan ajaran agamanya berdasarkan iman dan takwa, berkakhlak mulia, mampu mewujudkan keharmonisan, kerukunan, dan rasa hormat antar pemeluk agama.

(10)

Mantan Ketua MUI dan Rais Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), KH. Sahal Mahfudz2, menilai bahwa pendidikan agama di sekolah selama ini ternyata belum bisa memengaruhi sistem etika dan moral peserta didik. Kegagalan pendidikan agama di sekolah terjadi karena yang berlaku selama ini bukan pendidikan agama melainkan pengajaran agama. Prinsip pendidikan agama seharusnya merupakan upaya menginternalisasikan nilai agama pada peserta didik sehingga mereka dapat memahami dan menerapkan nilai agama dalam kehidupan sehari-hari.

Haidar Bagir3 –cendekiawan muslim, pendiri sekolah Lazuardi- menyatakan bahwa pendidikan agama kita telah gagal. Agama diperlakukan sebagai kumpulan simbol-simbol yang harus diajarkan kepada anak didik dan diulang-ulang, tanpa memikirkan korelasi antara simbol-simbol ini dengan kenyataan dan aktivitas kehidupan di sekeliling mereka. Dalam hal pemikiran, para peserta didik kerap dibombardir dengan serangkaian norma legalistik berdasarkan aturan-aturan fikih yang telah kehilangan ruh moralnya. Proses pendidikan yang baik harus menggarap sekaligus ketiga ranah tersebut. Haidar mengemukakan dua aspek yang menjadi sebab utama gagalnya pendidikan agama Indonesia.

Pertama, karena pendidikan agama selama ini masih

berpusat pada hal-hal yang bersifat simbolik, ritualistik dan legal-formalistik. Kedua, pendidikan agama di Indonesia dinilai gagal karena mengabaikan syarat-syarat dasar pendidikan yang mencakup tiga ranah: kognitif, afektif dan psikomotorik. Menurut Haidar, pendidikan agama selama ini

2Kompas. 2003. “Pendidikan Agama di Sekolah Dinilai Gagal”. 31 Mei 2003. 3 Haidar Bagir. 2003.“Gagalnya Pendidikan Agama”, Harian Kompas, Jum’at 28 Februari 2003.

(11)

Mantan Ketua MUI dan Rais Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), KH. Sahal Mahfudz2, menilai bahwa pendidikan agama di sekolah selama ini ternyata belum bisa memengaruhi sistem etika dan moral peserta didik. Kegagalan pendidikan agama di sekolah terjadi karena yang berlaku selama ini bukan pendidikan agama melainkan pengajaran agama. Prinsip pendidikan agama seharusnya merupakan upaya menginternalisasikan nilai agama pada peserta didik sehingga mereka dapat memahami dan menerapkan nilai agama dalam kehidupan sehari-hari.

Haidar Bagir3 –cendekiawan muslim, pendiri sekolah Lazuardi- menyatakan bahwa pendidikan agama kita telah gagal. Agama diperlakukan sebagai kumpulan simbol-simbol yang harus diajarkan kepada anak didik dan diulang-ulang, tanpa memikirkan korelasi antara simbol-simbol ini dengan kenyataan dan aktivitas kehidupan di sekeliling mereka. Dalam hal pemikiran, para peserta didik kerap dibombardir dengan serangkaian norma legalistik berdasarkan aturan-aturan fikih yang telah kehilangan ruh moralnya. Proses pendidikan yang baik harus menggarap sekaligus ketiga ranah tersebut. Haidar mengemukakan dua aspek yang menjadi sebab utama gagalnya pendidikan agama Indonesia.

Pertama, karena pendidikan agama selama ini masih

berpusat pada hal-hal yang bersifat simbolik, ritualistik dan legal-formalistik. Kedua, pendidikan agama di Indonesia dinilai gagal karena mengabaikan syarat-syarat dasar pendidikan yang mencakup tiga ranah: kognitif, afektif dan psikomotorik. Menurut Haidar, pendidikan agama selama ini

2Kompas. 2003. “Pendidikan Agama di Sekolah Dinilai Gagal”. 31 Mei 2003. 3 Haidar Bagir. 2003.“Gagalnya Pendidikan Agama”, Harian Kompas, Jum’at 28 Februari 2003.

cenderung bertumpu pada penggarapan ranah kognitif atau paling banter hingga ranah afektif, dan cenderung mengabaikan aras psikomotorik. Itulah sebabnya, Haidar berpendapat bahwa untuk menilai pendidikan agama di sekolah tidak boleh didasarkan melulu pada hasil tes tertulis – agar tak tinggal hanya sebagai kesadaran kognitif atau afektif saja- tetapi harus dikaitkan dengan kemajuan, disiplin, dan kontinuitas dalam menerapkan nilai-nilai etika personal dan sosial dalam praktik.

Puslitbang Pendidikan Agama dan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat telah melakukan kajian Peraturan dan Perundang-undangan Pendidikan Agama pada Sekolah. Telaah isi terhadap peraturan perundangan menyimpulkan beberapa persoalan antara lain bahwa kurikulum Pendidikan Agama terlalu menitikberatkan pada penguatan domain pengetahuan (kognitif), dan kurang pada ranah sikap (afektif) dan ketrampilan (psikomotor); dan, alokasi jumlah jam peserta didikan pada mata pelajaran pendidikan agama dan akhlak mulia kurang memadai.4

Berbagai persoalan seputar pendidikan agama tersebut bukan tidak disadari oleh Pemerintah. Direktorat Pendidikan Agama Islam pada Sekolah. Ditjen Pendidikan Islam menginventarisir sejumlah kekurangan dan telah, sedang serta terus melakukan perbaikan, baik pada tataran landasan berupa peraturan maupun operasionalnya.

Disadari bahwa rendahnya kualitas keberagamaan ini berkait erat dengan pendidikan agama di semua jenjang pendidikan yang dinilai belum optimal bagi pengembangan

4 Qowaid, Ahmad Habibullah dkk. 2008. Kajian Peraturan Dan

(12)

pribadi, watak, dan akhlak mulia peserta didik. Belum optimalnya pendidikan agama di sekolah tersebut disebabkan antara lain oleh muatan kurikulum yang kurang komprehensif (lebih menitikberatkan pada masalah-masalah keakhiratan), keterbatasan dana, sarana dan prasarana, lemahnya penguasaan materi dan metodologi pengajaran, belum optimalnya kegiatan belajar mengajar, serta belum memadainya jumlah dan mutu tenaga kependidikan.5

Direktorat PAIS sendiri telah menginventarisir sejumlah kekurangan dan telah, sedang serta terus melakukan perbaikan, baik pada tataran landasan berupa peraturan maupun lingkup operasionalnya. Di dalam Rencana Strategis Direktorat Pendidikan Agama Islam Pada Sekolah Tahun 2010 – 2014 antara lain dinyatakan bahwa selama ini pendidikan Agama Islam di sekolah masih belum mampu memperlihatkan hasil yang memuaskan dalam pencapaian pelbagai tujuan tersebut baik pada peserta didik yang masih berada pada umur interval proses pembelajaran maupun setelah menjadi alumni dan berkiprah di lapangan kerja komunitasnya. Hal ini dapat diindikasikan dari semakin maraknya konflik antar agama, gejala fundamentalisme dan radikalisme yang kian menguat, disorientasi moral relijius di masyarakat, serta konflik sosial yang melibatkan berbagai elemen agama dalam menyikapi realitas yang ada.6

5 Direktur Jenderal Kelembagaan Agama Islam. 2002. Buku Kebijakan

Direktur Jenderal Kelembagaan Agama Islam di Bidang Pendidikan Agama dan Keagamaan Islam. Jakarta: Direktur Jenderal Kelembagaan Agama Islam, h.11.

6 Imam Tholkhah. 2010. Rencana Strategis Direktorat Pendidikan Agama Islam

Pada Sekolah Tahun 2010 – 2014. Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Islam

(13)

pribadi, watak, dan akhlak mulia peserta didik. Belum optimalnya pendidikan agama di sekolah tersebut disebabkan antara lain oleh muatan kurikulum yang kurang komprehensif (lebih menitikberatkan pada masalah-masalah keakhiratan), keterbatasan dana, sarana dan prasarana, lemahnya penguasaan materi dan metodologi pengajaran, belum optimalnya kegiatan belajar mengajar, serta belum memadainya jumlah dan mutu tenaga kependidikan.5

Direktorat PAIS sendiri telah menginventarisir sejumlah kekurangan dan telah, sedang serta terus melakukan perbaikan, baik pada tataran landasan berupa peraturan maupun lingkup operasionalnya. Di dalam Rencana Strategis Direktorat Pendidikan Agama Islam Pada Sekolah Tahun 2010 – 2014 antara lain dinyatakan bahwa selama ini pendidikan Agama Islam di sekolah masih belum mampu memperlihatkan hasil yang memuaskan dalam pencapaian pelbagai tujuan tersebut baik pada peserta didik yang masih berada pada umur interval proses pembelajaran maupun setelah menjadi alumni dan berkiprah di lapangan kerja komunitasnya. Hal ini dapat diindikasikan dari semakin maraknya konflik antar agama, gejala fundamentalisme dan radikalisme yang kian menguat, disorientasi moral relijius di masyarakat, serta konflik sosial yang melibatkan berbagai elemen agama dalam menyikapi realitas yang ada.6

5 Direktur Jenderal Kelembagaan Agama Islam. 2002. Buku Kebijakan

Direktur Jenderal Kelembagaan Agama Islam di Bidang Pendidikan Agama dan Keagamaan Islam. Jakarta: Direktur Jenderal Kelembagaan Agama Islam, h.11.

6 Imam Tholkhah. 2010. Rencana Strategis Direktorat Pendidikan Agama Islam

Pada Sekolah Tahun 2010 – 2014. Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Islam

Kementerian Agama RI., h. 4-5.

TENTANG BUKU INI

Buku ini menyajikan sejumlah tulisan tentang pendidikan agama di sekolah yang pada dasarnya berasal dari hasil penelitian yang telah dipublikasikan di berbagai jurnal. Terdapat sejumlah perbaikan redaksional agar lebih sesuai dengan buku ini, namun substansinya tidak berubah. Secara umum, buku ini menyajikan tentang pertama, pelaksanaan pendidikan agama di sekolah; kedua, guru pendidikan agama di sekolah, dan ketiga tentang perpustakaan pendidikan agama di sekolah.

Pada bagian kedua dalam buku ini disajikan mengenai implementasi pendidikan agama di sekolah. Dalam hal ini implementasi Pendidikan Agama di SMK Bakti Pangkalpinang Propinsi Kepulauan Bangka Belitung. Di SMK Bakti Pangkalpinang Provinsi Kepulauan Riau terdapat sejumlah peserta didik dari berbagai agama, yang secara berurutan berdasar jumlahnya adalah pemeluk agama Budha, Konghucu, Kristen, Katolik, Islam, dan pemeluk agama Hindu. Guru pendidikan agama di sekolah ini berjumlah 11 orang, terdiri dari masing-masing 3 guru Pendidikan Agama Kristen, guru Pendidikan Agama Katolik, guru Pendidikan Agama Budha, serta 2 guru Pendidikan Agama Islam. Tidak terdapat guru pendidikan agama Konghucu dan Hindu di sekolah ini.

Pendidikan Agama Budha, Kristen, Katolik, dan

Pendidikan Agama Islam di SMK Bakti Pangkalpinang diimplementasikan secara sistematis dan terstruktur. Artinya Pendidikan Agama dilaksanakan pada jam sekolah sebanyak masing-masing dua jam satu minggu, dan diajar sesuai guru dan agama peserta didik, serta dievaluasi sesuai ketentuan yang ada. Pendidikan Agama Budha, Kristen, Katolik, dan

(14)

Islam pun juga diberikan melalui kegiatan ekstrakurikuler. Sejumlah sarana dan prasarana Pendidikan Agama Pendidikan Agama Budha, Kristen, Katolik, dan Islam telah terdapat di SMK Bakti, seperti buku pelajaran, dan perlengkapan tekonologi informasi. Khusus tempat ibadah untuk latihan praktik Pendidikan Agama Islam berupa mushala telah terdapat di Sekolah ini, sedangkan tempat ibadah agama lainnya belum tersedia. Sementara itu, Pendidikan Agama Hindu dilaksanakan di tempat ibadah agama Hindu (Pura) yang berada di luar kompleks sekolah, dan diajar oleh guru yang beragama Hindu.

Pendidikan Agama Konghucu belum diimplementasi-kan di SMK Bakti. Pada hal, jumlah peserta didik beragama Khonghucu relatif banyak yakni 130 anak, atau nomor urut dua bila dilihat dari segi jumlahnya. Hal ini dikarenakan belum adanya guru Pendidikan Agama Khonghucu yang telah memenuhi syarat untuk mengajar di sekolah ini. Karena tidak ada Pendidikan Agama Khonghucu, maka berbagai standar pendidikannya juga belum ada. Peserta didik yang beragama Konghucu mengikuti Pendidikan Agama Katolik dan Budha dengan sukarela.

Faktor pendukung terimplemetasikannya Pendidikan Agama di SMK Bakti adalah pemberian kesempatan luas pihak Yayasan dan SMK Bakti untuk melaksanakan Pendidikan Agama dengan fasilitas sesuai dengan kemampuannya. Dukungan yang sama juga diberikan oleh Kementerian Agama melalui Pengawas dan Pembimas. Faktor penghambat, antara lain masih minimnya sarana dan prasarana yang memungkinkannya implementasi Pendidikan Agama di sekolah ini secaara maksimal.

(15)

Islam pun juga diberikan melalui kegiatan ekstrakurikuler. Sejumlah sarana dan prasarana Pendidikan Agama Pendidikan Agama Budha, Kristen, Katolik, dan Islam telah terdapat di SMK Bakti, seperti buku pelajaran, dan perlengkapan tekonologi informasi. Khusus tempat ibadah untuk latihan praktik Pendidikan Agama Islam berupa mushala telah terdapat di Sekolah ini, sedangkan tempat ibadah agama lainnya belum tersedia. Sementara itu, Pendidikan Agama Hindu dilaksanakan di tempat ibadah agama Hindu (Pura) yang berada di luar kompleks sekolah, dan diajar oleh guru yang beragama Hindu.

Pendidikan Agama Konghucu belum diimplementasi-kan di SMK Bakti. Pada hal, jumlah peserta didik beragama Khonghucu relatif banyak yakni 130 anak, atau nomor urut dua bila dilihat dari segi jumlahnya. Hal ini dikarenakan belum adanya guru Pendidikan Agama Khonghucu yang telah memenuhi syarat untuk mengajar di sekolah ini. Karena tidak ada Pendidikan Agama Khonghucu, maka berbagai standar pendidikannya juga belum ada. Peserta didik yang beragama Konghucu mengikuti Pendidikan Agama Katolik dan Budha dengan sukarela.

Faktor pendukung terimplemetasikannya Pendidikan Agama di SMK Bakti adalah pemberian kesempatan luas pihak Yayasan dan SMK Bakti untuk melaksanakan Pendidikan Agama dengan fasilitas sesuai dengan kemampuannya. Dukungan yang sama juga diberikan oleh Kementerian Agama melalui Pengawas dan Pembimas. Faktor penghambat, antara lain masih minimnya sarana dan prasarana yang memungkinkannya implementasi Pendidikan Agama di sekolah ini secaara maksimal.

Pada bagian ketiga disajikan mengenai penyelengga-raan pendidikan karakter melalui pendidikan agama di sekolah. Dalam hal ini penyelenggaraan pendidikan karakater melalui pendidikan agama di SMA 2 Semarang, Jawa Tengah. Pendidikan karakter di SMAN 2 Semarang terintegrasi melalui keseluruhan pembelajaran, baik yang intrakurikuler, ekstrakurikuler, maupun bentuk-bentuk lain, termasuk diselenggarakan melalui Pendidikan Agama dan Budi Pekerti di sekolah. Pembelajaran intrakurikuler berlandaskan pada Kompetensi Inti (KI) dan Kompetensi Dasar (KD) yang difokuskan pada KI.1. (sikap spiritual) dan KI.2. (sikap sosial) Pendidikan Agama dan Budi Pekerti (Islam, Kristen, Katolik). Pada kegiatan ekstrakurikuler diwujudkan melalui berbagai organisasi kerohanian yaitu Kerohanian Islam (Rohis), Kerohanian Kristen (BeST), dan Kerohanian Katolik (PIK).

Di samping itu, dilakukan pula berbagai kegiatan lainnya seperti pembuatan tata tertib dan penciptaan lingkungan sekolah yang kondusif melalui berbagai pamflet dan suasana yang bersih, nyaman, dan hubungan yang baik antar tenaga yang ada. Nilai-nilai karakter religius, jujur, toleran, disiplin, peduli lingkungan, peduli sosial, dan tanggung jawab telah diterapkan di SMAN 2 Semarang dan telah merupakan bagian dari kebiasaan sehari-hari di sekolah.

Faktor Pendukung pendidikan ini antara lain Kurikulum 2013 yang mengamanatkan bahwa pendidikan karakter masuk dalam semua mata pelajaran dan pada setiap proses pembelajaran. Kondisi demikian, pendidikan karakter dapat diterapkan secara lebih baik, Tenaga Pendidik dan Kependidikan ikut aktif menciptakan suasana yang memungkinkan pelaksanaan pendidikan karakter dapat berjalan dengan baik, dan lingkungan fisik yang mendukung

(16)

antara lain berupa lokasi sekolah, kondisi kelas atau ruang belajar, pencahayaan dan ventilasi, tempat ibadah (masjid) dan ruang berdoa, ruang konseling, fasilitas olahraga dan kesenian, perpustakaan, ruang Unit Kesehatan Sekolah (UKS) dan lain sebagainya.

Faktor penghambat antara lain kondisi makro lingkungan di sekitar sekolah yang tidak sesuai dengan nilai-nilai karakter yang dikembangkan dapat mempengaruhi peserta didik dalam menjalankan pendidikan karakter sesuai yang diharapkan Kurikulum 2013 yang menyebabkan masih belum sempurnanya pelaksanaan pembelajaran pendidikan karakter melalui Pendidikan Agama di sekolah.

Model pendidikan karakter melalui Pendidikan Agama di berbagai sekolah menengah atas telah dilaksanakan yang umumnya berjalan baik. Oleh karena itu berbagai model tersebut dapat disebarluaskan atau disosialisasikan kepada berbagai sekolah lain yang memerlukan. Namun pendidikan karakater yang telah dilaksanakan di berbagai sekolah tersebut tidak bisa lepas dari kekurangan khususnya adanya faktor luar tidak sesuai dengan nilai-nilai karakater yang baik. Oleh karena itu, perlu diciptakan model dan mekanisme yang memungkinkan peserta didik memiliki ketahanan yang kuat terhadap berbagai godaan dari luar.

Pada bagian keempat disajikan mengenai menggapai guru pendidikan agama yang ideal. Disarankan dalam bagian ini agar ditekankan pada aspek peningkatan kompetensi guru, termasuk guru Pendidikan Agama dan materi pendidikan agama, khususnya Pendidikan Agama Islam. Untuk meningkatkan kompetensi guru dapat dilakukan berbagai cara antara lain dengan pendidikan dan pelatihan. Diklat ini difokuskan pada aspek kekurangan yang ada pada seorang

(17)

antara lain berupa lokasi sekolah, kondisi kelas atau ruang belajar, pencahayaan dan ventilasi, tempat ibadah (masjid) dan ruang berdoa, ruang konseling, fasilitas olahraga dan kesenian, perpustakaan, ruang Unit Kesehatan Sekolah (UKS) dan lain sebagainya.

Faktor penghambat antara lain kondisi makro lingkungan di sekitar sekolah yang tidak sesuai dengan nilai-nilai karakter yang dikembangkan dapat mempengaruhi peserta didik dalam menjalankan pendidikan karakter sesuai yang diharapkan Kurikulum 2013 yang menyebabkan masih belum sempurnanya pelaksanaan pembelajaran pendidikan karakter melalui Pendidikan Agama di sekolah.

Model pendidikan karakter melalui Pendidikan Agama di berbagai sekolah menengah atas telah dilaksanakan yang umumnya berjalan baik. Oleh karena itu berbagai model tersebut dapat disebarluaskan atau disosialisasikan kepada berbagai sekolah lain yang memerlukan. Namun pendidikan karakater yang telah dilaksanakan di berbagai sekolah tersebut tidak bisa lepas dari kekurangan khususnya adanya faktor luar tidak sesuai dengan nilai-nilai karakater yang baik. Oleh karena itu, perlu diciptakan model dan mekanisme yang memungkinkan peserta didik memiliki ketahanan yang kuat terhadap berbagai godaan dari luar.

Pada bagian keempat disajikan mengenai menggapai guru pendidikan agama yang ideal. Disarankan dalam bagian ini agar ditekankan pada aspek peningkatan kompetensi guru, termasuk guru Pendidikan Agama dan materi pendidikan agama, khususnya Pendidikan Agama Islam. Untuk meningkatkan kompetensi guru dapat dilakukan berbagai cara antara lain dengan pendidikan dan pelatihan. Diklat ini difokuskan pada aspek kekurangan yang ada pada seorang

guru. Oleh karena itu, data tentang hasil Uji Kompetensi Guru atau bentuk lain yang semisal dapat dijadikan bahan dasar dalam memilih jenis Diklat mereka.

Kekurangan guru Pendidikan Agama adalah, salah satunya, aspek metode pembelajaran dan evaluasinya. Maka salah satu aspek utama yang perlu ditingkatkan agar pendidikan agama Islam di sekolah lebih baik adalah dengan meningkatkan kualitas metode pembelajaran guru kepada siswanya. Dengan metodologi pembelajaran yang menarik, maka diharapkan siswa akan memperoleh pendidikan agama Islam dari guru mereka sendiri yang memang materinya telah dirancang untuk tujuan tertentu sesuai dengan kondisi dan situasi Indonesia.

Di samping itu, peningkatan kompetensi guru Pendidikan Agama Islam tersebut, khususnya pada aspek metodologi pembelajaran, bukan hanya dengan pendidikan formal ke jenjang yang lebih tinggi, akan tetapi dapat dilakukan dengan mendinamisasi Kelompok Kerja Guru maupun dengan pelatihan atau in-service training. Dinamisasi kelompok Kerja Guru (KKG) ternyata memiliki peran dalam peningkatan profesionalitas guru, walaupun hasil penelitian menujukkan bahwa tingkatnya masih rendah.

Lamanya atau jumlah pelajaran yang diberikan untuk meningkatkan kompetensi guru, termasuk guru Pendidikan Agama, tergantung kebutuhan. Mungkin hanya dilaksanakan dalam puluhan jam saja, mungkin lebih dari itu. Jadi bisa saja diklat tersebut dilaksanakan dalam dua semester, satu semester, atau lebih rendah dari itu.

Di samping meningkatkan kualitas metode pembelajaran juga perlu ditingkatkan kualitas sarana

(18)

pembelajaran agar sesuai dengan Standar Nasional Pendidikan (SNP). Hasil penelitian menunjukkan bahwa di antara Standar Nasional Pendidikan yang terasa masih kurang adalah aspek sarana, khususnya media untuk memeragakan materi pelajaran yang sesuai dengan perkembangan siswa dan situasi mutakir. Sarana tersebut bukan saja berupa perangkat keras dan lunak yang terkait dengan teknologi informasi untuk wilayah yang telah memungkinkan, akan tetapi juga berupa pemanfaatan sumber daya lokal yang bisa dijadikan sebagai sarana pembelajaran Pendidikan Agama Islam di wilayah terpencil, misalnya.

Sebab, mengutip salah satu prinsip pendidikan agama, maka hendaknya pendidikan agama Islam di sekolah hendaknya dilaksanakan secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, mendorong kreativitas dan kemandirian, serta menumbuhkan motivasi untuk sukses hidup. Dengan demikian diharapkan melalui peningkatan kompetensi guru dan sarana pembelajaran tujuan pembelajaran sebagaimana dimaksud akan semakin tercapai.

Tidak kalah pentingnya adalah menciptakan budaya sekolah mendukung ke arah meningkatnya mutu pendidikan pada umumnya dan mutu pendidikan agama pada khususnya. Budaya sekolah adalah kualitas kehidupan sekolah yang tumbuh dan berkembang berdasarkan spirit dan nilai-nilai tertentu yang dikembangkan sekolah. Masing-masing sekolah telah memiliki visi dan misi yang harus dicapai atau dikembangkan. Di samping itu, berbagai landasan pendidikan yang mengacu pada sejumlah Undang-Undang dan Peraturan, juga merupakan budaya yang mesti diberlakukan dan dicapai oleh sekolah. Hasil penelitian tentang hubungan antara budaya sekolah dengan motivasi

(19)

pembelajaran agar sesuai dengan Standar Nasional Pendidikan (SNP). Hasil penelitian menunjukkan bahwa di antara Standar Nasional Pendidikan yang terasa masih kurang adalah aspek sarana, khususnya media untuk memeragakan materi pelajaran yang sesuai dengan perkembangan siswa dan situasi mutakir. Sarana tersebut bukan saja berupa perangkat keras dan lunak yang terkait dengan teknologi informasi untuk wilayah yang telah memungkinkan, akan tetapi juga berupa pemanfaatan sumber daya lokal yang bisa dijadikan sebagai sarana pembelajaran Pendidikan Agama Islam di wilayah terpencil, misalnya.

Sebab, mengutip salah satu prinsip pendidikan agama, maka hendaknya pendidikan agama Islam di sekolah hendaknya dilaksanakan secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, mendorong kreativitas dan kemandirian, serta menumbuhkan motivasi untuk sukses hidup. Dengan demikian diharapkan melalui peningkatan kompetensi guru dan sarana pembelajaran tujuan pembelajaran sebagaimana dimaksud akan semakin tercapai.

Tidak kalah pentingnya adalah menciptakan budaya sekolah mendukung ke arah meningkatnya mutu pendidikan pada umumnya dan mutu pendidikan agama pada khususnya. Budaya sekolah adalah kualitas kehidupan sekolah yang tumbuh dan berkembang berdasarkan spirit dan nilai-nilai tertentu yang dikembangkan sekolah. Masing-masing sekolah telah memiliki visi dan misi yang harus dicapai atau dikembangkan. Di samping itu, berbagai landasan pendidikan yang mengacu pada sejumlah Undang-Undang dan Peraturan, juga merupakan budaya yang mesti diberlakukan dan dicapai oleh sekolah. Hasil penelitian tentang hubungan antara budaya sekolah dengan motivasi

dan hasil belajar Pendidikan Agama Islam siswa. Terdapat hubungan positif antara keduanya.7

Untuk meningkatkan kualitas Pendidikan Agama pada Sekolah, Menteri Agama telah mengeluarkan Keputusan Menteri Agama Nomor 211 Tahun 2011 tentang Pedoman Pengembangan Standar Nasional Pendidikan Agama Islam Pada Sekolah. Pedoman ini terdiri dari Pedoman Pengembangan Standar Isi Pendidikan Agama Islam; Pedoman Pengembangan Standar Proses Pendidikan Agama Islam; Pedoman Pengembangan Standar Kompetensi Lulusan Pendidikan Agama Islam; Pedoman Pengembangan Standar Pendidik dan Kependidikan Pendidikan Agama Islam; Pedoman Pengembangan Standar Sarana dan Prasarana Pendidikan Agama Islam; Pedoman Pengembangan Standar Pengelolalaan Pendidikan Agama Islam; Pedoman Pengembangan Standar Pembiayaan Pendidikan Agama Islam; Pedoman Pengembangan Standar Penilaian Pendidikan Agama Islam.

Pada bagian kelima disajikan mengenai sertifikasi dan peningkatan kinerja guru Pendidikan Agama Islam. Penyelenggaraan sertifikasi guru rumpun PAI dan bahasa Arab di MTs serta guru PAI di SMP telah berjalan sesuai dengan pedoman yang ada. Meskipun pada hal tertentu masih memiliki kelemahan dalam sosialisasi, penyusunan portofolio, dan penerimaan tunjangan sertifikasi yang sering terlambat. Kinerja Guru rumpun PAI dan Bahasa Arab di MTs serta guru PAI di SMP yang telah tersertifikasi sudah mendekati kesesuaian dengan standar, namun masih ada kelemahan

7 Suprapto dkk. 2008. Budaya Sekolah & Mutu Pendidikan. Jakarta: Pena Citastria, 137.

(20)

guru pada pemanfaatan IT dalam pembelajaran dan mencari bahan pengayaan dari dunia maya.

Sertifikasi guru berpengaruh pada kinerja guru meskipun besarnya pengaruh yang diukur dengan koefisien determinasi, tidak terlalu besar. Namun jika sertifikasi guru, khususnya tunjangan sertifikasi ditiadakan, maka kinerja guru akan menurun.

Faktor internal yang berkontribusi paling besar adalah latar belakang pendidikan/keilmuan yang dimiliki guru dan kesehatan fisik. Sedangkan Faktor eksternal yang dominan adalah ketersediaan buku pelajaran dan dukungan yang diberikan keluarga.

Pada bagian keenam disajikan mengenai toleransi beragama siswa sekolah lanjutan tingkat atas (SLTA). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa secara umum sikap keberagamaan siswa SLTA baik pada SMA maupun MA adalah moderat dan cukup toleran, meski juga terlihat munculnya kecenderungan sikap intoleran. Hal tersebut terlihat dari data pengelompokan distribusi skor variabel toleransi dalam kategori sedang atau cukup toleran, yaitu sejumlah 71,7%. Sementara kecenderungan yang mengarah pada sikap intoleran sejumlah 17,3%. Sebanyak 11,1% menunjukkan kecenderungan sangat toleran.

Pada bagian ketujuh disajikan mengenai perpustakaan Pendidikan Agama Islam di sekolah di Kota Padang, Sumatera Barat. Semua sekolah yang diteliti belum mempunyai perpustakaan khusus PAI sebagaimana tercantum dalam PMA Nomor 11 Tahun 2011 yang berkaitan dengan sarana prasarana berupa perpustakaan PAI di sekolah.

(21)

guru pada pemanfaatan IT dalam pembelajaran dan mencari bahan pengayaan dari dunia maya.

Sertifikasi guru berpengaruh pada kinerja guru meskipun besarnya pengaruh yang diukur dengan koefisien determinasi, tidak terlalu besar. Namun jika sertifikasi guru, khususnya tunjangan sertifikasi ditiadakan, maka kinerja guru akan menurun.

Faktor internal yang berkontribusi paling besar adalah latar belakang pendidikan/keilmuan yang dimiliki guru dan kesehatan fisik. Sedangkan Faktor eksternal yang dominan adalah ketersediaan buku pelajaran dan dukungan yang diberikan keluarga.

Pada bagian keenam disajikan mengenai toleransi beragama siswa sekolah lanjutan tingkat atas (SLTA). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa secara umum sikap keberagamaan siswa SLTA baik pada SMA maupun MA adalah moderat dan cukup toleran, meski juga terlihat munculnya kecenderungan sikap intoleran. Hal tersebut terlihat dari data pengelompokan distribusi skor variabel toleransi dalam kategori sedang atau cukup toleran, yaitu sejumlah 71,7%. Sementara kecenderungan yang mengarah pada sikap intoleran sejumlah 17,3%. Sebanyak 11,1% menunjukkan kecenderungan sangat toleran.

Pada bagian ketujuh disajikan mengenai perpustakaan Pendidikan Agama Islam di sekolah di Kota Padang, Sumatera Barat. Semua sekolah yang diteliti belum mempunyai perpustakaan khusus PAI sebagaimana tercantum dalam PMA Nomor 11 Tahun 2011 yang berkaitan dengan sarana prasarana berupa perpustakaan PAI di sekolah.

Kendala yang dihadapi adalah maslah dana, pengadaan ruang dan tenaga yang secara khusus mengelola perpustakaannya.

Oleh karena itu, kemungkinan pengembangannya paling tidak terdapat tiga alternatif, yakni membangun gedung/ruang perpustakaan PAI; atau perpustakaan PAI merupakan bagian dari perpustakaan sekolah; atau perpustakaan PAI menggunakan sebagian ruang mushala atau masjid sekolah.

(22)
(23)

BAGIAN DUA

IMPLEMENTASI PENDIDIKAN AGAMA

DI SEKOLAH MENENGAH KEJURUAN (SMK) BAKTI PANGKALPINANG BANGKA BELITUNG

PENGANTAR

Salah satu kurikulum yang wajib dimuat dalam dunia pendidikan kita, mulai dari pendidikan tingkat dasar, menengah, sampai tingkat tinggi adalah pendidikan agama. Pendidikan Agama, dalam berbagai tingkatan tersebut, termasuk Pendidikan Agama di sekolah, memiliki posisi penting dalam proses pendidikan di sekolah, baik dilihat dari landasan yuridis maupun dilihat peran strategisnya di masyarakat kita. Pendidikan Agama pada sekolah saat ini juga telah mengalami perkembangan yang pesat bila dibandingkan dengan waktu sebelumnya.

Sebagai tindak lanjutnya, dikeluarkanlah Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Keagamaan. Dalam Pasal 3 PP tersebut, antara lain disebutkan bahwa setiap satuan pendidikan pada semua jalur, jenjang, dan jenis pendidikan wajib menyelenggarakan pendidikan agama. Setiap peserta didik pada satuan pendidikan di semua jalur, jenjang, dan jenis pendidikan berhak mendapat pendidikan agama sesuai agama yang dianutnya dan diajar oleh pendidik yang seagama. Pengelolaan pendidikan agama dilaksanakan oleh Menteri Agama.

Oleh karena itu, adalah wajar apabila posisi Pendidikan Agama di Sekolah saat ini, khususnya Agama

(24)

Islam, telah mengalami kemajuan yang signifikan bila dibandingkan dengan masa-masa sebelumnya, mulai dari masa penjajahan Belanda, penjajahan Jepang, awal kemerdekaan, masa orde lama, orde baru, dan orde reformasi ini. Urusan Pendidikan Agama pada sekolah, sejak awal Kementerian Agama berdiri pada tanggal 3 Januari 1946 sampai saat ini, selalu di bawah urusan Kementerian Agama Republik Indonesia.8

Terlihat betapa secara juridis formal, pendidikan agama secara bertahap semakin mendapatkan posisi yang kuat dalam lanskap sistem pendidikan nasional kita. Namun demikian, secara faktual, implementasi dan hasil pendidikan agama yang telah dilakukan di sekolah dianggap belum optimal atau belum mencapai tujuan seperti yang diharapkan. Walaupun posisi Pendidikan Agama pada Sekolah demikian kuat, masih terdengar adanya sorotan atau kritikan masyarakat terhadap implementasi dan implikasinya pada kehidupan sosial di sekitarnya.

Secara sosiologis, tuntutan untuk terlaksananya pendidikan pada umumnya dan pendidikan agama pada khususnya sangat realistis. Masyarakat Indonesia dikenal sebagai masyarakat yang beragama (religious). Berbagai agama dianut dan dikembangkan dengan antusias oleh masyarakat.

Sebagai implementasinya, sampai saat ini, Pemerintah beserta masyarakat telah banyak berupaya agar Pendidikan Agama di sekolah terlaksana dengan baik. Berbagai capaian positif telah dirasakan, walaupun harus diakui bahwa

8 Lihat antara lain: Tim Penyusun. 1996. Departemen Agama Dari Masa Ke

Masa Dalam Kurun Setengah Abad. Jakarta: Badan Litbang Agama. h. 33 – 34.

Abdurrahman Shaleh. 1999. Aktualisasi Politik Pendidikan di Lingkungan Departemen

(25)

Islam, telah mengalami kemajuan yang signifikan bila dibandingkan dengan masa-masa sebelumnya, mulai dari masa penjajahan Belanda, penjajahan Jepang, awal kemerdekaan, masa orde lama, orde baru, dan orde reformasi ini. Urusan Pendidikan Agama pada sekolah, sejak awal Kementerian Agama berdiri pada tanggal 3 Januari 1946 sampai saat ini, selalu di bawah urusan Kementerian Agama Republik Indonesia.8

Terlihat betapa secara juridis formal, pendidikan agama secara bertahap semakin mendapatkan posisi yang kuat dalam lanskap sistem pendidikan nasional kita. Namun demikian, secara faktual, implementasi dan hasil pendidikan agama yang telah dilakukan di sekolah dianggap belum optimal atau belum mencapai tujuan seperti yang diharapkan. Walaupun posisi Pendidikan Agama pada Sekolah demikian kuat, masih terdengar adanya sorotan atau kritikan masyarakat terhadap implementasi dan implikasinya pada kehidupan sosial di sekitarnya.

Secara sosiologis, tuntutan untuk terlaksananya pendidikan pada umumnya dan pendidikan agama pada khususnya sangat realistis. Masyarakat Indonesia dikenal sebagai masyarakat yang beragama (religious). Berbagai agama dianut dan dikembangkan dengan antusias oleh masyarakat.

Sebagai implementasinya, sampai saat ini, Pemerintah beserta masyarakat telah banyak berupaya agar Pendidikan Agama di sekolah terlaksana dengan baik. Berbagai capaian positif telah dirasakan, walaupun harus diakui bahwa

8 Lihat antara lain: Tim Penyusun. 1996. Departemen Agama Dari Masa Ke

Masa Dalam Kurun Setengah Abad. Jakarta: Badan Litbang Agama. h. 33 – 34.

Abdurrahman Shaleh. 1999. Aktualisasi Politik Pendidikan di Lingkungan Departemen

Agama. Jakarta: Badan Litbang Agama, h. 11-12.

pelaksanaan Pendidikan Agama di Sekolah belum mencapai kualitas yang diharapkan.

Sebagaimana disajikan di muka, sampai saat ini, masih terdapat sejumlah kritik terhadap pembelajaran Pendidikan Agama, termasuk Pendidikan Agama Islam. Berbagai kelompok masyarakat menyoroti atau mengkritik implementasi pendidikan agama di sekolah dan implikasinya pada kehidupan sosial di sekitarnya. Pendidikan agama di sekolah-sekolah masih belum berhasil secara maksimal, kalau tidak dikatakan telah gagal mencapai tujuan pendidikan agama.9 Rendahnya kualitas keberagamaan tersebut berkait erat dengan pendidikan agama di semua jenjang yang dinilai belum optimal bagi pengembangan pribadi, watak, dan akhlak mulia peserta didik. Dalam hal Pendidikan Agama Islam misalnya, Direktorat PAIS sendiri telah menginventarisasi sejumlah kekurangan dan telah, sedang serta terus melakukan perbaikan, baik pada tataran landasan berupa peraturan maupun lingkup operasionalnya.

Di sejumlah daerah Pendidikan Agama di Sekolah telah dilaksanakan sesuai dengan peraturan atau ketentuan yang ada, khususnya pada berbagai jenjang dan jenis sekolah negeri. Akan tetapi di sejumlah sekolah swasta, pendidikan agama belum dilaksanakan atau diterapkan sesuai dengan ketentuan atau peraturan yang ada, dengan alasan yang beraneka ragam. Oleh karena itu perlu dilakukan yang lebih banyak lagi penelitian untuk mengetahui implementasi pendidikan agama di sekolah dengan berbagai alasan yang ada.

9 Lihat antara lain: pendapat K.H. Sahal Mahfudz dan Haidar Baqir, dan Imam Tholkhah pada Bab I.

(26)

Salah satunya adalah implementasi Pendidikan Agama di salah satu sekolah swasta, dalam hal ini di Sekolah Menengah Kejuruan Bakti di Pangkalpinang Bangka Belitung. Di samping itu perlu diketahui pula sebaran peserta didik dan guru berdasar agama pada SMK Bakti Pangkalpinang tersebut serta untuk mengetahui faktor pendukung dan penghambat implementasi Pendidikan Agama di SMK Bakti Kota Pangkalpinang.

Sebagai pembanding, sesungguhnya sampai saat ini telah beberapa kali dilakukan penelitian dan pengkajian terhadap pelaksanaan Pendidikan Agama di sekolah, khususnya swasta. Berikut disajikan sebagian hasil penelitian mengenai Pendidikan Agama di sekolah. Nurudin menulis bahwa terdapat sekolah Katolik di Blitar yang belum melaksanakan amanat Undang-Undang Sisdiknas Pasal 12 Ayat 1 poin a dan PP No. 55 Tahun 2007, di mana peserta didik pada lembaga pendidikan tersebut belum mendapatkan pendidikan agama sesuai agama yang dianutnya. Walaupun Pemerintah Kota Blitar telah mendistribusikan guru-guru beragama Kristen, Islam, Hindu, dan Budha kepada sekolah yang bersangkutan untuk menjalankan agama pendidikan agama sesuai dengan agama siswa, para Kapala Sekolah Katolik tersebut menangguhkan pelaksanaan pendidikan agama sebagaimana amanat Undang-Undang.10

Iman Tholkhah juga menulis tentang sekolah swasta, yakni SMA Muhammadiyah di Kupang Nusa Tenggara Timur. Kebijakan SMA Muhammadiyah berbeda dengan kebijakan di sekolah Katolik Blitar. Apabila para siswa non

10 Nurudin. 2013. “Implementasi Kebijakan Pendidikan Agama Di Sekolah-Sekolah Katolik. Studi Kasus Kota Blitar Provinsi Jawa Timur”. Edukasi. Jurnal

(27)

Salah satunya adalah implementasi Pendidikan Agama di salah satu sekolah swasta, dalam hal ini di Sekolah Menengah Kejuruan Bakti di Pangkalpinang Bangka Belitung. Di samping itu perlu diketahui pula sebaran peserta didik dan guru berdasar agama pada SMK Bakti Pangkalpinang tersebut serta untuk mengetahui faktor pendukung dan penghambat implementasi Pendidikan Agama di SMK Bakti Kota Pangkalpinang.

Sebagai pembanding, sesungguhnya sampai saat ini telah beberapa kali dilakukan penelitian dan pengkajian terhadap pelaksanaan Pendidikan Agama di sekolah, khususnya swasta. Berikut disajikan sebagian hasil penelitian mengenai Pendidikan Agama di sekolah. Nurudin menulis bahwa terdapat sekolah Katolik di Blitar yang belum melaksanakan amanat Undang-Undang Sisdiknas Pasal 12 Ayat 1 poin a dan PP No. 55 Tahun 2007, di mana peserta didik pada lembaga pendidikan tersebut belum mendapatkan pendidikan agama sesuai agama yang dianutnya. Walaupun Pemerintah Kota Blitar telah mendistribusikan guru-guru beragama Kristen, Islam, Hindu, dan Budha kepada sekolah yang bersangkutan untuk menjalankan agama pendidikan agama sesuai dengan agama siswa, para Kapala Sekolah Katolik tersebut menangguhkan pelaksanaan pendidikan agama sebagaimana amanat Undang-Undang.10

Iman Tholkhah juga menulis tentang sekolah swasta, yakni SMA Muhammadiyah di Kupang Nusa Tenggara Timur. Kebijakan SMA Muhammadiyah berbeda dengan kebijakan di sekolah Katolik Blitar. Apabila para siswa non

10 Nurudin. 2013. “Implementasi Kebijakan Pendidikan Agama Di Sekolah-Sekolah Katolik. Studi Kasus Kota Blitar Provinsi Jawa Timur”. Edukasi. Jurnal

Pendidikan Agama dan Keagamaan, 2013 (3), h. 189.

Katolik di sekolah Katolik Blitar tidak diajarkan pendidikan agama sesuai dengan agama siswanya, dan seluruh siswa diberikan pendidikan agama Katolik, maka SMA Muhammadiyah Kupang memberikan Pendidikan Agama sesuai dengan agama yang dipeluk oleh siswa dan diajarkan oleh guru yang segama dengan siswa.11

Sementara itu, Center for Religious & Cross-cultural

Studies (CRCS) mengkritisi mengenai pendidikan agama di

sekolah. Dalam dunia pendidikan, “agama” telah menjadi “index siswa”. Indek di sini diartikan sebagai “penunjuk” yang turut melekat pada identitas siswa. Siswa harus mengidentifikasi agama dirinya dengan jelas. Pendidikan agama yang mengasumsikan adanya identitas tegas yang memisahkan siswa berdasarkan agama-agama akan menimbulkan masalah karena tidak bisa mengakomodasi keragaman keagamaan siswa secara memadai, termasuk keragaman di dalam setiap agama itu sendiri.12

Secara metodologis, penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan studi dokumen, wawancara, dan observasi. Lokasi penelitian ini adalah SMK Bakti Kota Pangkalpinang Provinsi Bangka Belitung. Pemilihan lokasi tersebut adalah dengan mempertimbangkan keberadaan siswa berdasar agama yang cukup variatif.

11 Imam Tholkhah. 2013. “Pendidikan Toleransi Keagamaan: Studi Kasus SMA Muhammadiyah Kupang Nusa Tenggara Timur”. Edukasi. Jurnal Pendidikan

Agama dan Keagamaan, 2013 (3), h. 174.

12 Suhadi dkk. 2014. Politik Pendidikan Agama, Kurikulum 2013, dan ruang Publik Sekolah. Yogyakarta: Center for Religious & Cross-cultural Studies (CRCS). Sekolah Pascasarjana, Universitas Gadjah Mada, h. 15.

(28)

PENDIDIKAN AGAMA DAN HAK ASASI MANUSIA Sebagaimana diuraikan di muka, Pendidikan Agama di sekolah merupakan bagian dari sistem pendidikan nasional yang telah dibuat sejumlah aturan mulai dari Undang-undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri, sampai Peraturan di bawahnya. Pada dasarnya pendidikan adalah usaha untuk merubah orang melalui pengajaran atau pelatihan agar menjadi manusia yang lebih sempurna/baik.

Secara lebih jelas disebutkan dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003, Pasal 1 Ayat 1 bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.

Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Keagamaan, Pasal 1 Ayat 1, Pendidikan Agama di Sekolah adalah pendidikan yang memberikan pengetahuan dan membentuk sikap, kepribadian dan keterampilan peserta didik dalam mengamalkan ajaran agama, yang dilaksanakan sekurang-kurangnya melalui mata pelajaran pada semua jalur, jenjang, dan jenis pendidikan.

Pendidikan Agama di SMK berbentuk proses pembelajaran di sekolah baik yang intra maupun yang ekstrakurikuler. Keberhasilan pembelajaran dapat diartikan sebagai suatu hasil yang dicapai setelah melakukan proses atau aktivitas belajar. Menurut Sudjana, keberhasilan belajar

(29)

PENDIDIKAN AGAMA DAN HAK ASASI MANUSIA Sebagaimana diuraikan di muka, Pendidikan Agama di sekolah merupakan bagian dari sistem pendidikan nasional yang telah dibuat sejumlah aturan mulai dari Undang-undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri, sampai Peraturan di bawahnya. Pada dasarnya pendidikan adalah usaha untuk merubah orang melalui pengajaran atau pelatihan agar menjadi manusia yang lebih sempurna/baik.

Secara lebih jelas disebutkan dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003, Pasal 1 Ayat 1 bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.

Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Keagamaan, Pasal 1 Ayat 1, Pendidikan Agama di Sekolah adalah pendidikan yang memberikan pengetahuan dan membentuk sikap, kepribadian dan keterampilan peserta didik dalam mengamalkan ajaran agama, yang dilaksanakan sekurang-kurangnya melalui mata pelajaran pada semua jalur, jenjang, dan jenis pendidikan.

Pendidikan Agama di SMK berbentuk proses pembelajaran di sekolah baik yang intra maupun yang ekstrakurikuler. Keberhasilan pembelajaran dapat diartikan sebagai suatu hasil yang dicapai setelah melakukan proses atau aktivitas belajar. Menurut Sudjana, keberhasilan belajar

adalah perubahan tingkah laku sebagai hasil belajar yang mencakup bidang kognitif, afektif, dan psikomotorik.13

Secara lebih sepesifik, pembelajaran dikatakan berhasil apabila tujuan khusus pembelajaran tercapai. Dikaitkan dengan topik ini, maka yang dimaksud dengan pelaksanaan keberhasilan Pendidikan Agama di SMK adalah adanya pembelajaran Pendidikan Agama di SMK pada aspek pengetahuan, sikap dan keterampilan ( kognitif, afektif, dan psikomotorik).

Untuk mempertegas aturan tersebut, maka Kementerian Agama RI mengeluarkan Keputusan Menteri Agama Nomor 6 Tahun 2010 tentang Pengelolalaan Pendidikan Agama pada Sekolah. Pada Pasal 3, secara eksplisit dinyatakan bahwa setiap sekolah berkewajiban menyediakan pelajaran agama kepada siswa, dan diajarkan oleh guru yang seagama dengan siswa. Selanjutnya dalam Pasal 4 dinyatakan ketentuan teknis tentang pelajaran agama di kelas atau sekolah, sebagai berikut:

1. Dalam hal jumlah peserta didik yang seagama dalam satu kelas paling sedikit 15 (lima belas) orang wajib diberikan pendidikan agama kepada peserta didik di kelas.

2. Dalam hal jumlah peserta didik yang seagama dalam satu kelas kurang dari 15 (lima belas) orang, tetapi dengan cara penggabungan beberapa kelas paralel mencapai paling sedikit 15 (lima belas) orang, maka pendidikan agama pada sekolah dilaksanakan dengan mengatur jadwal tersendiri yang tidak merugikan siswa untuk mengikuti mata pelajaran lain.

13 Nan Sudjana. 1989. Penilaian Hasil Proses Belajar Mengajar. Bandung. Remaja Rosdakarya, h. 4.

(30)

3. Dalam hal jumlah peserta didik yang seagama pada sekolah paling sedikit 15 (lima belas) orang, maka pendidikan agama wajib dilaksanakan di sekolah tersebut; 4. Dalam jumlah peserta didik yang seagama pada satu

sekolah kurang dari 15 (lima belas) orang, maka pendidikan agama dilaksanakan bekerja sama dengan sekolah lain, atau lembaga keagamaan yang ada di wilayahnya.14

Untuk memperkuat pentingnya pendidikan agama sesuai agama peserta didik atau siswa, penting disajikan pula posisi pendidikan agama dalam konteks hak asasi manusia. Pendidikan agama yang wajib diberikan kepada peserta didik sesuai agamanya juga tidak bertentangan dengan hak asasi manusia dalam beragama. Kebebasan beragama merupakan salah satu hak dasar yang melekat pada setiap orang. Dalam deklarasi Universal tentang HAM yang diadopsi PBB Tahun 1948, pasal 18, 26, dan 29 disebutkan mengenai pokok-pokok kebebasan beragama itu. Pasal 18 misalnya mengatakan bahwa setiap orang mempunyai hak kebebasan berpikir, berkesadaran, dan beragama, termasuk kebebasan memilih dan memeluk agama, dan menyatakan agamanya itu dalam pengajaran, pengamalan, dan beribadatnya, baik secara sendiri-sendiri maupun dalam kelompok.15

Kemudian dalam Kovenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya yang disahkan PBB tanggal 16 Desember 1966, pada pasal 13 Ayat 3 antara lain dinyatakan bahwa bahwa semua negara yang meratifikasi

14 Lihat: Keputusan Menteri Agama Nomor 6 Tahun 2010 tentang Pengelolalaan Pendidikan Agama pada Sekolah. Pada Pasal 3 dan 4.

15 Lihat: Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia. Diterima dan diumumkan oleh Majlis Umum PBB, tanggal 10 Desember 1948.

(31)

3. Dalam hal jumlah peserta didik yang seagama pada sekolah paling sedikit 15 (lima belas) orang, maka pendidikan agama wajib dilaksanakan di sekolah tersebut; 4. Dalam jumlah peserta didik yang seagama pada satu

sekolah kurang dari 15 (lima belas) orang, maka pendidikan agama dilaksanakan bekerja sama dengan sekolah lain, atau lembaga keagamaan yang ada di wilayahnya.14

Untuk memperkuat pentingnya pendidikan agama sesuai agama peserta didik atau siswa, penting disajikan pula posisi pendidikan agama dalam konteks hak asasi manusia. Pendidikan agama yang wajib diberikan kepada peserta didik sesuai agamanya juga tidak bertentangan dengan hak asasi manusia dalam beragama. Kebebasan beragama merupakan salah satu hak dasar yang melekat pada setiap orang. Dalam deklarasi Universal tentang HAM yang diadopsi PBB Tahun 1948, pasal 18, 26, dan 29 disebutkan mengenai pokok-pokok kebebasan beragama itu. Pasal 18 misalnya mengatakan bahwa setiap orang mempunyai hak kebebasan berpikir, berkesadaran, dan beragama, termasuk kebebasan memilih dan memeluk agama, dan menyatakan agamanya itu dalam pengajaran, pengamalan, dan beribadatnya, baik secara sendiri-sendiri maupun dalam kelompok.15

Kemudian dalam Kovenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya yang disahkan PBB tanggal 16 Desember 1966, pada pasal 13 Ayat 3 antara lain dinyatakan bahwa bahwa semua negara yang meratifikasi

14 Lihat: Keputusan Menteri Agama Nomor 6 Tahun 2010 tentang Pengelolalaan Pendidikan Agama pada Sekolah. Pada Pasal 3 dan 4.

15 Lihat: Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia. Diterima dan diumumkan oleh Majlis Umum PBB, tanggal 10 Desember 1948.

konvenan tersebut harus menghormati kebebasan orang tua dan wali untuk memastikan bahwa pendidikan agama dan moral anak-anak sesuai dengan keyakinan mereka.16

Pemerintah Indonesia Indonesia telah meratifikasi lewat UU No. 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan Konvenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik. Itu berarti bahwa ketentuan dalam deklarasi tersebut diakui dan berlaku secara mengikat di wilayah NKRI.

Selanjutnya ketentuan tersebut diperkuat melalui Undang-Undang Perlindungan Anak Nomor 23 Tahun 2002 yang menyatakan : (1) setiap anak mendapat perlindungan untuk beribadah menurut agamanya, (2) Sebelum anak dapat menentukan pilihannya, agama yang dipeluk anak mengikuti agama orang tuanya. Negara, pemerintah, masyarakat, keluarga, orang tua, wali, dan lembaga sosial menjamin perlindungan anak dalam memeluk agamanya, perlindungan anak dalam memeluk agamanya sebagaimana dimaksud meliputi pembinaan, pembimbingan, dan pengamalan ajaran agama bagi anak.17

PROFIL SMK BAKTI KOTA PANGKALPINANG

Sekolah Menengah Kejuruan Bakti beralamat di Jalan Bintang No. 10, Kelurahan Bintang, Kecamatan Rangkui, Kota Pangkalpinang, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Lokasi ini termasuk wilayah “pecinan”, sekeliling kompleks sekolah dihuni umumnya berasal dari etnis Tionghoa. Di samping tempat hunian, di daerah ini terdapat banyak bangunan untuk

16 Lihat: Kovenan Internasional Hak-hak Ekonomi, Sosial, Budaya. Ditetapkan oleh Resolusi Majlis Umum PBB tertanggal 16 Desember 1966.

(32)

pertokoan yang digunakan untuk usaha dagang. Banyak pula gedung berlantai, umumnya lantai tiga atau empat, yang dimanfaatkan untuk memelihara sarang bulung walet.

SMK Bakti merupakan sekolah swasta berada di bawah naungan Yayasan Bakti Bangka. Yayasan ini berdiri pada tanggal 28 Oktober 1995. Pendirinya adalah Totong Siabini dan isterinya Melvina Rusli. Susunan pengurus Yayasan ada yang sudah terisi dan ada yang belum terisi. Susunan yang telah terisi adalah Ketua Yayasan bernama Totong Siabini SE, Sekretaris Yayasan bernama Semijati Siabini, dan bendaharanya adalah Melvina Rusli SE. Semuanya adalah keluarga pengusaha terutama usaha air minum dalam botol, lada, kelapa sawit dan lain sebagainya. Adapun Pembina, wakil ketua dan berbagai bidang belum terisi.

Tahun berikutnya, yakni pertengahan tahun 1996, didirikanlah Sekolah Menengah Kejuruan Bakti. Jurusannya difokuskan pada hal yang terkait dengan ekonomi. Atau dengan isitilah yang dulu sering dipakai adalah Sekolah Menengah Ekonomi Atas. Alasan pendiriannya antara lain dimaksudkan untuk menampung siswa lulusan SMP sederajat yang ingin melanjutkan ke sekolah kejuruan, bukan ke menengah umum seperti SMA. Saat itu peminat yang ingin masuk SMK cukup banyak, antara lain ditandai oleh membludaknya calon peserta didik yang ingin masuk ke berbagai SMK, baik SMK Negeri maupun swasta. Banyak mereka yang tidak dapat tertampung, khususnya dari etnis Tionghoa yang tingkat ekonominya tergolong menengah ke bawah. Akhirnya didirikanlah SMK Bakti untuk menampung calon peserta didik yang cukup banyak, di samping juga untuk mewujudkan cita-citanya.

(33)

pertokoan yang digunakan untuk usaha dagang. Banyak pula gedung berlantai, umumnya lantai tiga atau empat, yang dimanfaatkan untuk memelihara sarang bulung walet.

SMK Bakti merupakan sekolah swasta berada di bawah naungan Yayasan Bakti Bangka. Yayasan ini berdiri pada tanggal 28 Oktober 1995. Pendirinya adalah Totong Siabini dan isterinya Melvina Rusli. Susunan pengurus Yayasan ada yang sudah terisi dan ada yang belum terisi. Susunan yang telah terisi adalah Ketua Yayasan bernama Totong Siabini SE, Sekretaris Yayasan bernama Semijati Siabini, dan bendaharanya adalah Melvina Rusli SE. Semuanya adalah keluarga pengusaha terutama usaha air minum dalam botol, lada, kelapa sawit dan lain sebagainya. Adapun Pembina, wakil ketua dan berbagai bidang belum terisi.

Tahun berikutnya, yakni pertengahan tahun 1996, didirikanlah Sekolah Menengah Kejuruan Bakti. Jurusannya difokuskan pada hal yang terkait dengan ekonomi. Atau dengan isitilah yang dulu sering dipakai adalah Sekolah Menengah Ekonomi Atas. Alasan pendiriannya antara lain dimaksudkan untuk menampung siswa lulusan SMP sederajat yang ingin melanjutkan ke sekolah kejuruan, bukan ke menengah umum seperti SMA. Saat itu peminat yang ingin masuk SMK cukup banyak, antara lain ditandai oleh membludaknya calon peserta didik yang ingin masuk ke berbagai SMK, baik SMK Negeri maupun swasta. Banyak mereka yang tidak dapat tertampung, khususnya dari etnis Tionghoa yang tingkat ekonominya tergolong menengah ke bawah. Akhirnya didirikanlah SMK Bakti untuk menampung calon peserta didik yang cukup banyak, di samping juga untuk mewujudkan cita-citanya.

Pemilihan jurusan yang terkait dengan ekonomi tersebut tidak terlepas dari aktivitas pengelola Yayasan sebelumnya. Para pengelola Yayasan ini sudah lama bergerak di bidang pendidikan nonformal berupa menyelenggarakan kursus akuntasi dan Bahasa Inggris. Sebelum didirikankan SMK ini, Pimpinan Yayasan sering bertemu dengan Pimpinan SMKN 1 Pangkalpinang dan para pengajar kursus tersebut seperti Yanuar Teriman B. Sc. Dalam pertemuan tersebut dibahas pentingnya mendirikan SMK sebagai pengembangan dari kursus yang sudah ada, di samping untuk menampung calon siswa yang ingin belajar di SMK. Akhirnya disepakati pendirian SMK Bakti.

Sebelum didirikan, terlebih dahulu disiapkan sejumlah pendukungnya. Di antaranya pendirian Akta Yayasan, Tim Pendiri, biaya awal, pembuatan ruang kelas dan lain sebagainya. Setelah dianggap cukup, maka didirikanlah sekolah ini pada tahun 1996, dengan membuka tiga ruang kelas. Dengan demikian, pendidirian SMK ini sesungguhnya telah dilatarbelakangi oleh bentuk kegiatan dan keterlibatan yang tidak jauh beda dengan SMK tersebut.

Ditunjuk sebagai Kepala sekolah pertama kali adalah Bapak Humaidi, yang saat itu masih menjabat sebagai Wakil Kepala Sekolah SMKN 1 Pangkalpinang. Humaidi menjabat selama 8 tahun yakni mulai tahun 1996 sampai 2003. Setelah itu, Kepala Sekolah dijabat oleh Yanuar Teriman B. Sc, mulai 2003 sampai 2013. Kepala Sekolah selanjutnya dijabat oleh Hastin Lusiana Todhasi SE. yang dijabat sejak tahu 2013 sampai sekarang. Hastin adalah wanita kelahiran Wonosobo tahun 1973, dan tamat S1 Jurusan Ekonomi Studi Pembangunan salah satu perguruan tinggi di Yogyakarta.

(34)

Adapun program keahliannya yang dibuka saat ini ada tiga yakni Akuntasi (AK), Penjualan (PJ), dan Multimedia (MM).

Dalam struktur organisasi SMK Bakti ini, Kepala Sekolah dibantu oleh Wakasek Bidang Humas/Sarpras yakni Izwar Ramadhan, SE; Wakasek Bidang Kurikulum yakni Empi Natal Adha, S. Ag; Wakasek Bidang Kesiswaan Erma Susanti. S. Si; Para Kajur, dan Kasubag TU. Saat ini, SMK Bakti mengembangkan bidang keahlian bisnis dan manajemen. SMK Bakti merupakan satu dari 9 SMK yang ada di Kota Pangkalpinang. Delapan SMK lainnya adalah SMKN 1, SMKN 2,SMKN 3, SMKN 4, SMKN 5, SMK PGRI, SMK SORE, dan SMK TUNAS KARYA. Dengan demikian, SMK Bakti merupakan salah satu dari 4 SMK swasta.

Visi sekolah ini adalah: menjadikan lembaga pendidikan dan pelatihan yang menghasilkan sumber daya manusia yang handal dan berwawasan luas.

Adapun misinya adalah:

1. Mengembangkan mutu dan kualitas pendidikan dengan melibatkan dunia usaha/industri, instansi terkait dan masyarakat;

2. Mengoptimalkan sumber daya sekolah untuk memberikan layanan kepada dunia usaha,dunia industri, instansi terkait dan masyarakat;

3. Meningkatkan kemampuan berkomunikasi global seluruh elemen sekolah dengan tetap menjunjung tinggi norma dan nilai budaya Bangsa Indonesia;

4. Menghasilkan tamatan yang memiliki kompetensi sesuai dengan bidang keahliannya, memiliki daya adaptasi dan daya saing tinggi.

(35)

Adapun program keahliannya yang dibuka saat ini ada tiga yakni Akuntasi (AK), Penjualan (PJ), dan Multimedia (MM).

Dalam struktur organisasi SMK Bakti ini, Kepala Sekolah dibantu oleh Wakasek Bidang Humas/Sarpras yakni Izwar Ramadhan, SE; Wakasek Bidang Kurikulum yakni Empi Natal Adha, S. Ag; Wakasek Bidang Kesiswaan Erma Susanti. S. Si; Para Kajur, dan Kasubag TU. Saat ini, SMK Bakti mengembangkan bidang keahlian bisnis dan manajemen. SMK Bakti merupakan satu dari 9 SMK yang ada di Kota Pangkalpinang. Delapan SMK lainnya adalah SMKN 1, SMKN 2,SMKN 3, SMKN 4, SMKN 5, SMK PGRI, SMK SORE, dan SMK TUNAS KARYA. Dengan demikian, SMK Bakti merupakan salah satu dari 4 SMK swasta.

Visi sekolah ini adalah: menjadikan lembaga pendidikan dan pelatihan yang menghasilkan sumber daya manusia yang handal dan berwawasan luas.

Adapun misinya adalah:

1. Mengembangkan mutu dan kualitas pendidikan dengan melibatkan dunia usaha/industri, instansi terkait dan masyarakat;

2. Mengoptimalkan sumber daya sekolah untuk memberikan layanan kepada dunia usaha,dunia industri, instansi terkait dan masyarakat;

3. Meningkatkan kemampuan berkomunikasi global seluruh elemen sekolah dengan tetap menjunjung tinggi norma dan nilai budaya Bangsa Indonesia;

4. Menghasilkan tamatan yang memiliki kompetensi sesuai dengan bidang keahliannya, memiliki daya adaptasi dan daya saing tinggi.

Berkaitan dengan siswa atau peserta didik, berikut ini disajikan jumlah siswa dan jumlah rombongan belajarnya, serta ujian sekolah dan tingkat kelulusannya. Di samping itu disajikan ringkas mengenai sarana parsarana.

Seluruh siswa saat ini berjumlah 657 orang, terdiri dari 299 laki-laki dan 358 perempuan. Jumlah murid SMK Bakti sebanyak itu ternyata menempati posisi murid paling banyak di antara sesama SMK swasta dan menempati urutan ketiga dari segi jumlah murid di antara seluruh SMK negeri dan Swasta di Pangkalpinang. Sejak tahun 2008, jumlah siswa SMK Bakti selalu lebih dari 600 orang. Bahkan pada tahun 2007 siswanya mencapai lebih dari 700 orang. Hal ini menunjukkan bahwa jumlah siswa SMK Bakti dalam beberapa tahun ini tergolong banyak dan stabil. Dari segi jenis kelamin, jumlah peserta didik perempuan selalu lebih banyak dari yang laki-laki. Namun jaraknya dalam beberapa tahun tersebut tidak terlalu banyak, tidak lebih dari 50 peserta didik. Dengan demikian, sekolah ini selalu banyak diminati oleh masyarakat Pangkalpinang baik yang laki-laki maupun perempuan.

Rombongan belajar masing-masing kelas dari tahun ke tahun jumlahnya juga stabil. Sejak tahun 2007 sampai 2015 ini jumlah rombongan belajar SMK Bakti selalu 15 rombongan belajar, terdiri dari 5 rombongan belajar untuk masing-masing kelas X, XI, dan XII. Jumlah rombongan belajar sangat terkait dengan ketersediaan ruang dan jumlah peserta didik. Memang sudah lebih dari 5 tahun sekolah ini tidak mengalami penambahan ruang kelas. Perubahannya hanya merehabilitasi kelas dan fasilitas yang ada. Walaupun peminat selalu melebihi rencana penerimaan peserta didik, pihak sekolah tidak dapat menambah jumlahnya secara signifikan karena keterbatasan ruang kelas.

(36)

Peserta ujian dalam beberapa tahun jumlahnya selalu di atas 200 siswa. Hal itu berkaitan dengan jumlah peserta didik di kelas XII pada masing-masing jurusan. Tingkat kelulusannyapun tergolong sangat tinggi, selalu di atas 95 %. Bahkan pada tahun 2013 yang lulu tingkat kelulusannya mencapai 100%. Dari tahun ke tahun, sejalan dengan jumlah peserta didik dari segi jenis kelamin, maka peserta didik perempuan yang mengikuti ujian juga lebih banyak dari pada laki-laki.

Nilai ujian yang ada mencakup nilai ujian mata pelajaran Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Matematika dan Kompetensi Kejuruan. Sejak tahun 2007, ternyata nilai rata-rata Kompetensi Kejuruan umumnya berada di posisi paling tinggi dibandingkan dengan nilai yang lainnya. Sementara itu, nilai Bahasa Inggris berada di posisi paling rendah.

SMK Bakti Pangkalpinang saat ini telah memiliki sejumlah fasilitas berupa ruangan untuk berbagai keperluan. Kondisi ruangan umumnya baik. Hanya sedikit yang tergolong rusak ringan. Yang tergolong kondisinya masih baik antara lain ruang kelas, ruang Kepala Sekolah, ruang Perpustakaan, Ruang UKS, ruang BK, ruang laboratorium komputer, akuntasi, unit produksi, dan ruang ibadah. Yang tergolong kuang baik (rusak ringan) antara lain ruang guru, gudang dan WC. Lapangan Olahraga seluas 90 m2.

IMPLEMENTASI PENDIDIKAN AGAMA

Implemetansi menurut menurut A.S. Hornby dkk. Berasal dari kata implement yakni carry (undertaking, agreement,

(37)

Peserta ujian dalam beberapa tahun jumlahnya selalu di atas 200 siswa. Hal itu berkaitan dengan jumlah peserta didik di kelas XII pada masing-masing jurusan. Tingkat kelulusannyapun tergolong sangat tinggi, selalu di atas 95 %. Bahkan pada tahun 2013 yang lulu tingkat kelulusannya mencapai 100%. Dari tahun ke tahun, sejalan dengan jumlah peserta didik dari segi jenis kelamin, maka peserta didik perempuan yang mengikuti ujian juga lebih banyak dari pada laki-laki.

Nilai ujian yang ada mencakup nilai ujian mata pelajaran Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Matematika dan Kompetensi Kejuruan. Sejak tahun 2007, ternyata nilai rata-rata Kompetensi Kejuruan umumnya berada di posisi paling tinggi dibandingkan dengan nilai yang lainnya. Sementara itu, nilai Bahasa Inggris berada di posisi paling rendah.

SMK Bakti Pangkalpinang saat ini telah memiliki sejumlah fasilitas berupa ruangan untuk berbagai keperluan. Kondisi ruangan umumnya baik. Hanya sedikit yang tergolong rusak ringan. Yang tergolong kondisinya masih baik antara lain ruang kelas, ruang Kepala Sekolah, ruang Perpustakaan, Ruang UKS, ruang BK, ruang laboratorium komputer, akuntasi, unit produksi, dan ruang ibadah. Yang tergolong kuang baik (rusak ringan) antara lain ruang guru, gudang dan WC. Lapangan Olahraga seluas 90 m2.

IMPLEMENTASI PENDIDIKAN AGAMA

Implemetansi menurut menurut A.S. Hornby dkk. Berasal dari kata implement yakni carry (undertaking, agreement,

promise) into effect,18 yang dapat diartikan sebagai usaha untuk memberlakukan atau melaksanakan. Kebijakan pendidikan merupakan bagian dari kebijakan publik, yakni kebijakan di bidang pendidikan, untuk mencapai tujuan pembangunan negara-bangsa di bidang pendidikan, sebagai salah satu bagian dari tujuan pembangunan negara bangsa secara keseluruhan.19 Tolok ukur keberhasilan kebijakan pendidikan dapat dilihat pada bagaimana implementasinya. Rumusan kebijakan yang dibuat bukan hanya sekedar berhenti pada tataran rumusan, melainkan secara fungsional dilaksanakan. Sebaik apapun rumusan kebijakan yang dibuat, jika tidak diimplementasikan, tidak akan dapat dirasakan manfaatnya. Sebaliknya, sesederhana apa pun rumusan kebijakan, jika sudah diimplementasikan, akan lebih bermanfaat, apa pun hasilnya.20

Implementasi biasanya dikaitkan dengan kebijakan tertentu, dalam hal ini adalah kebijakan dalam Pendidikan Agama. Oleh karena itu, dalam kaitan ini adalah pelaksanaan atau penerapan kebijakan pendidikan agama di SMK Bakti. Metodologi analisis kebijakan dipandang sebagai proses pengkajian yang dirancang untuk menemukan solusi secara praktis,21 yang mengacu pada suatu proses penyelidikan untuk mencari solusi yang tepat.

18 A.S. Horby, dkk. 1972. The Advance Learner’s Dictionary of Current English. London: Oxford University Press. Seventh Impression, h. 492.

19 Riant Nugroho, 2013. Kebijakan Pendidikan Yang Unggul. Cetakan ke II. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, h. 37.

20 M. Hasbullah, 2015. Kebijakan Pendidikan Dalam Perspektif Teori, Aplikasi,

dan Kondisi Objektif Pendidikan di Inndonesia. Jakarta: PT Rajagrafindo, h. 91.

21 Nanang Fatah. 2014. Analisis Kebijakan Pendidikan. Bandung: PT Remaja Rosdakarya, h. 5.

Gambar

Tabel  di atas memperlihatkan bahwa peserta didik   tahun 2015 yang berjumlah  657 orang, (terdiri dari 299  laki-laki dan 358 perempuan)
Grafik Skor Toleransi Beragama
Grafik Toleransi Beragama Peserta Didik Muslim Berdasarkan   Kategori Sekolah (%)

Referensi

Dokumen terkait

Artinya modeling partisipan juga dapat dipergunakan untuk mengurangi perasaan dan perilaku menghindar pada diri seseorang yang dikaitkan dengan aktivitas atau

Untuk itu perlu dilakukan penelitian pengaruh pemberian ekstrak teh hijau (sebagai antioksidan) terhadap potensial membran sel telur ikan nila ( Oreochromis Niloticus ) yang

Dalam hal ini yang dimaksud adalah “hak-hak istimewa ekstrateritorial”, yakni suatu istilah yang dipakai untuk melukiskan suatu keadaan dimana status seseorang atau

Dari segi kesehatan fisik, mereka yang telah terpapar alkohol juga memiliki risiko tinggi terserang kerusakan hati, ginjal, kemampatan paru-paru, hingga kerusakan syaraf

Pemberian ransum dengan ekstrak daun murbei yang difermentasi dengan cairan rumen (0,06% dan 0,12%) mampu mengurangi pengaruh negatif senyawa DNJ dalam menghambat

Gambar 14 Tampilan Hasil kompresi Mp3 Keterangan: Setelah proses dekompresi selesai, maka akan muncul pesan konfirmasi bahwa proses kompresi telah selesai dengan

Berdasarkan hal terebut diatas dapat dikatakan bahwa Pemalsuan Kartu ATM ataupun Kartu Kredit dari Bank tertentu dapat digolongkan sebagai suatu bentuk tindak

Hasil pengujian model regresi linier berganda yang menguji pengaruh harga batubara dan harga minyak dunia terhadap return saham disajikan pada tabel 4.7 diatas dapat