• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGARUH PENGGUNAAN GLISERIN SEBAGAI HUMEKTAN TERHADAP SIFAT FISIK DAN STABILITAS VITAMIN C DALAM SABUN PADAT NASKAH PUBLIKASI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENGARUH PENGGUNAAN GLISERIN SEBAGAI HUMEKTAN TERHADAP SIFAT FISIK DAN STABILITAS VITAMIN C DALAM SABUN PADAT NASKAH PUBLIKASI"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

PENGARUH PENGGUNAAN GLISERIN SEBAGAI HUMEKTAN

TERHADAP SIFAT FISIK DAN STABILITAS VITAMIN C

DALAM SABUN PADAT

NASKAH PUBLIKASI

Oleh:

NUR AINEE LAEHA

K100100123

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA

SURAKARTA

(2)
(3)

1

PENGARUH PENGGUNAAN GLISERIN SEBAGAI HUMEKTAN

TERHADAP SIFAT FISIK DAN STABILITAS VITAMIN C

DALAM SABUN PADAT

THE EFFECT OF GLYCERIN AS HUMECTANT OF PHYSICAL PROPERTIES AND STABILITY OF VITAMIN C IN HARD SOAP

MS.Nur Ainee Laeha, Anita Sukmawati dan Suprapto Fakultas Farmasi, Universitas Muhammadiyah Surakarta Jl. A Yani Tromol Pos 1, Pabelan Kartasura Surakarta 57102

Telp.(0271)717417 ABSTRAK

Gliserin adalah suatu humektan yang sering digunakan dalam produk kosmetik terutama dalam sabun. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh gliserin terhadap sifat fisik sabun yaitu pH, kekerasan dan stabilitas busa dan juga terhadap stabilitas vitamin C dalam sabun selama 8 minggu masa penyimpanan. Vitamin C diformulasikan dalam sediaan sabun dengan variasi konsentrasi gliserin yang berbeda yaitu 5%, 10% dan 20 %. Evaluasi pada sediaan meliputi uji pH, uji kekerasan sabun, uji stabilitas busa dan uji stabilitas vitamin C selama 8 minggu dan hasil akan diuji dengan metode analisis statistik menggunakan software SPSS versi 16 for windows dengan metode

Kruskal-Wallis pada uji pH dan uji kekerasan sabun dan metode ANOVA satu jalan pada

uji stabilitas busa. Hasil penelitian menunjukkan bahwa gliserin tidak berpengaruh signifikan terhadap nilai pH sabun dengan nilai signifikasi P=0,26>0,05, sedangkan konsentrasi gliserin yang semakin meningkat menghasilkan sabun yang makin lunak. Perbedaan konsentrasi gliserin terhadap stabilitas busa sabun menunjukkan bahwa peningkatan konsentrasi gliserin tidak berpengaruh signifikan terhadap peningkatan stabilitas busa sabun vitamin C. Stabilitas busa yang paling baik terdapat pada sabun padat yang mengandung gliserin 10%. Gliserin juga berpengaruh terhadap stabilitas vitamin C dalam sediaan sabun yaitu semakin tinggi konsentrasi gliserin maka stabilitas vitamin C juga makin baik ditunjukkan pada sabun formula III yang mengadung gliserin 20 % mengalami penurunan kadar vitamin C sebanyak 96,628 %, sedangkan pada sabun yang mengandung gliserin 5% dan 10%, berturut-turut mengalami penurunan kadar vitamin C sebanyak 98,882 % dan 97,579 % selama masa penyimpanan 8 minggu.

Kata kunci: Sabun, Gliserin, Vitamin C

ABSTRACT

Glycerin is a humectant that is used frequently for cosmetics, especially in soaps. This study was conducted to determine the influence glycerin on the physical properties of glycerin soap including pH, soap hardness, foam stability, and also on the stability of vitamin C in the soap during 8 weeks storage. Vitamin C were formulated in soap with various concentrations of glycerin i.e 5%, 10% and 20%. Evaluation of the soap preparations including a pH test, soap hardness, foam stability test and evaluation on the stability of vitamin C for 8 weeks and the results obtained will be statistically analyzed using SPSS version 16 for windows by the Kruskal-Wallis method on the results test of pH and soap hardness, and using one way ANOVA method for evaluating foam stability. The results showed that glycerol did not significant influence on the pH value of soap with a

(4)

2

significance value of P = 0.26> 0.05, while increasing the concentration of glycerin in the soap increased products softness. The foam stability testing showed that the difference in the concentration of glycerin on soap had no significant effect on improving the stability of foam. The best foam stability was found in vitamin C soap containing glycerine 10%. Glycerin also affected the stability of vitamin C in the soap. The stability of vitamin C is increased related to the increasing glycerin concentration in soap as demonstrated in formula III, which contained 20% glycerin and had 96.628 %, reducing in level of vitamin C, while the soap containing glycerine 5 % and 10%, had decreased 98.882 % and 97.579% respectively in level of vitamin C during the storage period of 8 weeks.

Keywords: Soap, Glycerin, Vitamin C PENDAHULUAN

Sabun adalah senyawa natrium dengan asam lemak yang digunakan sebagai bahan pembersih tubuh, berbentuk padat, berbusa, dengan atau penambahan lain serta tidak menyebabkan iritasi pada kulit. Sabun merupakan pembersih yang dibuat dengan reaksi kimia antara basa natrium atau kalium dengan asam lemak dari minyak nabati atau lemak hewani (BSN, 1994). Pemilihan jenis asam lemak menentukan karakteristik sabun yang dihasilkan, kerena setiap jenis asam lemak akan memberikan sifat yang berbeda pada sabun (Corredoira dan Pandolfi, 1996)

Humektan merupakan suatu bahan yang dapat mempertahankan air pada sediaan. Humektan berfungsi untuk memperbaiki stabilitas suatu bahan dalam jangka waktu yang lama, selain itu untuk melindungi komponen-komponen yang terikat kuat di dalam bahan termasuk air, lemak, dan komponen lainnya. Humektan yang sering digunakan dalam industri kosmetik adalah gliserin (Jackson, 1995). Gliserin digunakan sebagai humektan karena gliserin merupakan komponen higroskopis yang dapat mengikat air dan mengurangi jumlah air yang meninggalkan kulit. Efektifitas gliserin tergantung pada kelembaban lingkungan di sekitarnya. Humektan dapat melembabkan kulit pada kondisi kelembaban tinggi. Gliserin dengan konsentrasi 10% dapat meningkatkan kehalusan dan kelembutan kulit (Mitsui, 1997).

Vitamin C mempunyai peranan yang penting dalam mensintesis kollagen adalah merupakan komponen penting kulit dan jaringan pengikat (Sofro et al., 1990). Fungsi dari vitamin C salah satunya adalah sebagai antioksidan yaitu substansi yang memberikan elektron kepada radikal bebas dan membantu menstabilkan radikal bebas sehingga melindungi sel dari kerusakan (Williams dan Wilkins, 2011). Vitamin C adalah suatu senyawa yang bersifat reduktor kuat yang sangat mudah terjadi reaksi oksidasi secara reversibel menjadi bentuk asam L-askorbat dan asam L-dehidroaskorbat yang mempunyai keaktifan sebagai vitamian C. Asam L-dehidroaskorbat secara kimia sangat labil dan dapat

(5)

3 mengalami perubahan lebih lanjut menjadi asam L-diketogulonat yang tidak memiliki keaktifan vitamin C lagi. Vitamin C sangat larut dalam air dan paling mudah teroksidasi secara cepat dengan adanya panas, sinar, alkali, enzim, oksidator, serta oleh katalis tembaga dan besi (Winarno, 2004).

Gliserin dapat memperbaiki stabilitas vitamin C seperti pada penelitian Eeman et

al., (2012) yang melakukan penelitian tentang stabilitas dan pelepasan vitamin C dari

sistem silikon anhidrat dengan membandingkan kestabilan vitamin C antara 3 sistem silikon anhidrat yaitu gliserin-in-silicone, (gliserin+air)-in-silicone dan air-in-silicone ternyata vitamin C lebih stabil dalam sistem gliserin-in-silicone dibandingkan denga sistem yang lain dengan hasil persentasi sisa vitamin C sampai 10 % dalam masa penyimpanan 22 hari pada suhu 50 °C, oleh karena itu, dalam penelitian ini dilakukan evaluasi mengenai pengaruh penambahan gliserin berbagai konsentrasi terhadap sifat-sifat fisik dari sabun, dan kestabilan vitamin C selama masa penyimpanan tertentu.

METODE PENELITIAN Kategori Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental murni. Adapun variabel penelitiannya sebagai berikut:

1. Variabel bebas adalah konsentrasi gliserin dalam sabun vitamin C yaitu 5%, 10% dan 20%.

2. Variabel kendali adalah suhu 60-70 °C dalam pembuatan sabun.

3. Variabel tergantung adalah sifat fisik sediaan sabun padat (pH, kekerasan sabun, stabilitas busa) dan stabilitas kadar vitamin C selama masa penyimpanan 8 minggu. Alat dan Bahan

1. Alat

Alat yang digunakan adalah alat-alat gelas, baskom, penangas air, bahan plastik keras untuk mencetak sabun, timbangan analitik, pH meter (HANNA instruments), labu takar, alat uji kekerasan tablet ( LIH-1 tablet hardness tester), alat sentrifuge (centrifuge PLC series K), climatic oven (MeMert HPP108) dan peralatan spektrofotometer UV. 2. Bahan

Minyak kelapa sawit, minyak zaitun, natrium hidroksida (NaOH), akuades, gliserin, cocamid dietanolamin, vitamin C dan kloroform.

(6)

4 Jalannya Penelitian

1. Formulasi Sabun Padat Vitamin C

Dibuat 3 formulasi sabun dengan menggunakan konsentrasi gliserin dan yang berbeda-beda yaitu : 5%, 10%, dan 20%.

Tabel 1. Formulasi sabun padat vitamin C

Bagian  Bahan  Satuan FI FII FIII 

        Minyak kelapa sawit  Minyak zaitun  NaOH  Akuades  Cocamid DEA  Gliserin  Vitamin C  Akuades  g g  g  g  g  g  g  g  30 5  8  20  27  5  2  3  30 5  8  20  22  10  2  3  30  5  8         20  12  20  2  3  Total  g 100 100 100 

2. Cara pembuatan sabun

Bagian A dicampur dan dipanaskan sampai suhu 60 – 70 °C. Bagian B dicampur dan diaduk sampai larut, dan bagian C juga dicampur dan diaduk sampai homogen. Dicampurkan bagian B ke dalam bagian A, diaduk hingga tercampur homogen disebut bagian 1, kemudian bagian C dimasukkan ke dalam bagian 1 sambil diaduk sampai larut dan tercampur campuran kemudian didinginkan sampai suhu 50 – 60 °C. Terakhir dicampurkan bagian D diaduk dan dituang ke dalam cetakan dan didiamkan hingga 24 jam kemudian sabun dikeluarkan dari cetakan.

3. Evaluasi sediaan sabun a. Derajat keasaman (pH)

Sampel dihaluskan kemudian ditimbang sebanyak satu gram dimasuk ke dalam beker glas. Akuades yang memiliki pH 7 ditambahkan sebanyak 10 mL dan diaduk sampai larut kemudian dilakukan pengukuran pH dengan cara memasukkan pH meter yang telah dikalibrasi dengan pH 4, 7, dan 9. Selanjutnya pH meter didiamkan beberapa saat hingga didapatkan pH yang tetap.

b. Uji kekerasan sabun

Pengukuran tingkat kekerasan sabun padat dilakukan dengan menggunakan alat pengukuran kekerasan tablet. Kekerasan suatu sabun yang diukur akan menunjukkan seberapa berat kekuatan alat yang dibutuhkan sehingga dapat merubahkan bentuk sabun. Hasil pengukuran kekerasan sabun diperoleh dengan membaca angka yang dinyatakan pada alat tersebut. Semakin tinggi angka yang didapat, berarti sabun tersebut semakin keras. Pengukuran tingkat kekerasan sabun dilakukan dengan cara sabun dipotong menjadi

(7)

5 segi empat dengan masing-masing dimensi 1 , dipasang pada alat uji dan diukur kekerasannya sebanyak 10 kali pada masing-masing formulasi, sabun yang lebih keras akan mempunyai hasil angka yang lebih tinggi.

c. Uji stabilitas busa

Uji stabilitas busa dilakukan dengan menggunakan metode Cylinder shake yaitu dengan mengambil sampel sabun padat satu gram dimasukkan kedalam tabung reaksi yang telah diberi skala kemudian ditambahkan akuades 5 mL kemudian tabung dikocok kuat hingga timbul busa sampai penuh tabung reaksi, kemudian diukur tinggi busa sabun pada waktu 5, 10,15, 20, 25 dan 30 menit pada masing-masing konsentrasi sabun padat selanjutnya hasil yang terdapat dihitung dengan menggunakan rumus (1) .

Stabilitas busa = ...(1) (BSN, 1994) d. Uji stabilitas vitamin C.

Uji stabilitas vitamin C dilakukan pemantauan kadar vitamin C dalam waktu penyimpanan setiap 7 hari selama 8 minggu. Kadar vitamin C ditentukan dengan menggunakan metode spektrofotometri UV dengan cara dibuatkan larutan stok dengan konsentrasi 1000 µg/mL (0,1%), dimasukkan dalam kuvet dan dicari panjang gelombang maksimal (λ max). Dibuatkan kurva baku dari larutan stok dengan seri konsentrasi 500 µg/mL, 250 µg/mL, 125 µg/mL, 62,5 µg/mL, 31,25 µg/mL, 15,625 µg/mL, 7,8125 µg/mL, 3,906 µg/mL, dan 1,953 µg/mL dibaca absorbansi pada λ max yang sudah ditentukan kemudian dibuat persamaan regresi linier, hubungan antara konsentrasi (x) vs absorbansi (y) sehingga akan dapat persamaan kurva baku y = bx + a.

Penentuan kadar vitamin C dilakukan dengan menimbang sampel sabun sebanyak 1 g dilarutkan dalam larutan akuades : kloroform sebanyak 8 : 2 mL dalam tabung sentrifuge dipasangkan pada alat sentrifuge dan diputar dengan kecepatan 1000 kali per menit selama 5 menit sehingga terbentuk dua lapisan antara cairan bening (supernatan) yaitu dari vitamin C yang larut dalam akuades dan endapan dari komponen minyak yang larut dalam kloroform, larutan bening diambil sebanyak 2 mL dan ditambahkan akuades 10 ml dalam labu takar dan dimasukkan ke dalam kuvet untuk mengukurkan absorbansi pada λ max tertentu. Dibuat replikasi sebanyak 3 kali.

Data pengukuran absorbansi sampel dimasukkan ke dalam persamaan kurva baku (sebagai faktor y), maka akan dapat x sebagai kadar sampel.

Validasi metode dilakukan untuk mengetahui seberapa valid metode yang di gunakan dengan menggunakan metode adisi standar yaitu sabun yang tidak mengandung

(8)

6 vitamin C ditambah vitamin C dari luar dengan kadar 1 mg/mL dan dilakukan seperti perlakuan pada sampel, kemudian hasil yang terdapat dimasukkan dalam perhitungan

recovery untuk mengetahui seberapapa persen akurasi yang terdapat.

ANALISIS DATA

Ada atau tidaknya perbedaan yang bermakna pada data sifat fisik sediaan sabun padat termasuk pH, kekerasan dan stabilitas busa dengan berbagai variasi konsentrasi gliserin dalam sabun padat, dilakukan analisis statistik Kruskal-Wallis, uji Post hoc dan uji ANOVA satu jalan dengan program SPSS versi 16 for Windows.

HASIL DAN PEMBAHASAN Evaluasi Sediaan Sabun Padat

Evaluasi sediaan sabun padat vitamin C pada percobaan ini dilakukan untuk mengetahui bagaimana sifat fisik sabun dan bagaimana kestabilan vitamin C setelah diformulasikan dalam sediaan sabun padat dengan menggunakan konsentrasi gliserin yang berbeda. Uji yang dilakukan meliputi pemeriksaan sifat fisik sabun padat yaitu uji pH, uji kekerasan sabun, uji stabilitas busa, dan uji stabilitas vitamin C dalam masa penyimpanan selama 8 minngu.

1. Deskripsi Hasil Sabun Padat Vitamin C

Formulasi I Formulasi II Formulasi III Gambar 1. Hasil sabun padat vitamin C

Keterangan :

Formulasi I : sabun vitamin C dengan konsentrasi gliserin 5% Formulasi II : sabun vitamin C dengan konsentrasi gliserin 10% Formulasi III : sabun vitamin C dengan konsentrasi gliserin 20%

Sabun yang dihasil dengan pemerian warna putih, keras dan permukaan halus dengan bentuk sesuai dengan bentuk cetakannya (Gambar 1) dan berat rata-rata 99,32 ± 0,17 g.

(9)

7 2. Derajat Keasaman (pH)

Produk kosmetika terutama sabun memiliki karakteristik fisik yang sangat penting, yaitu nilai pH.

Gambar 2. Hubungan antara kadar gliserin dan nilai pH sabun vitamin C, bar menunjukkan nilai SD dari 3 kali replikasi

Jumlah alkali yang ada dalam sabun mempengaruhi besarnya nilai pH (Jellinek,1970). Pembuatan sabun dalam penelitian ini juga melibatkan pemakaian sejumlah besar natrium hidroksida sebagai sumber alkali. Umumnya pH sabun berkisar antara 8-11 (BSN, 1994) sedangkan nilai pH sabun setelah dilakukan formulasi didapatkan pH rata-rata pada sabun yang mengandung gliserin 5% sebesar 10,50 ± 0,02 sabun yang mengandung gliserin 10 % sebesar 10,41 ± 0,023 dan pada sabun yang mengandung gliserin 20 % sebesar 10,63 ± 0,0115 (Gambar 2), sehingga dengan nilai pH sabun tersebut memenuhi syaratnya. Berdasarkan hasil uji statistik Kruskal-Wallis menunjukan bahwa perbedaan konsentrasi gliserin tidak pengaruh signifikan terhadap nilai pH sabun vitamin C dengan nilai signifikasi P=0,26>0,05.

3. Uji Kekerasan Sabun

Hasil penelitian menunjukkan nilai rata-rata kekerasan sabun padat berkisar antara 0,498 kg hingga 0,872 kg. Nilai tertinggi diperoleh dari sabun yang mengandung gliserin 5 % dengan nilai 0,872±0,081 kg, sedangkan yang paling lunak adalah sabun yang mengandung gliserin 20 % dengan nilai 0,498±0,057 kg. Hubungan antara kadar gliserin yang digunakan dan nilai kekerasan sabun dapat dilihat pada Gambar 3.

(10)

8

Gambar 3. Hubungan antara kadar gliserin dan kekerasan sabun vitamin C, bar menunjukkan nilai SD dari 10 kali replikasi

Dari hasil yang didapat maka sabun yang memiliki kekerasan paling tinggi adalah sabun yang menggandung gliserin 5% sedangkan sabun yang paling lunak adalah sabun yang menggandung gliserin paling tinggi yaitu 20%. Nilai kekerasan sabun pada produk sabun yang sudah dipasaran sebagai sabun pembanding menghasilkan nilai kekerasannya sekitar 6,399 ± 1,113 kg (Chairul, 2008), sedangkan hasil kekerasan pada sabun yang dapat jauh lebih lunak daripada sabun pembanding dan tidak berada dalam kisaran sabun pembanding, maka sabun yang dihasilkan ini tidak memenuhi syarat kekerasan sabun yang sebenarnya. Hasil uji statistik Kruskal-Wallis dengan nilai Sig. 0,00 (Sig.< 0,05), menunjukan bahwa tidak dapat memperbedakan hubungan antara peningkatan konsentrasi gliserin terhadap kekerasan sabun vitamin C secara signifikan, sehingga dilakukan uji Post

hoc yang menunjukan bahawa kekerasan sabun dengan gliserin 5% berbeda nyata dengan

sabun dengan gliserin 10% dan 20%. Oleh karena itu dapat disimpul bahawa dengan semakin tinggi konsentrasi gliserin maka akan menghasilkan sabun yang semakin lunak. 4. Uji Stabilitas Busa

Busa adalah dispersi gas dalam cairan yang distabilkan oleh suatu zat pembusa, merupakan struktur yang relatif stabil dan terdiri atas kantong-kantong udara yang terbungkus dalam lapisan tipis. Busa yang banyak dan stabil lebih disukai daripada busa yang sedikit atau tidak stabil.

Gambar 4. Hubungan antara kadar gliserin dan stabilitas busa sabun vitamin C, bar menunjukkan nilai SD dari 3 kali replikasi

(11)

9 Pengukuran terhadap kestabilan busa pada sabun yang diteliti menunjukkan nilai tertinggi diperoleh dari sabun yang mengandung gliserin 10 % yaitu 90,32 % ± 4,95, sementara nilai terendah diperoleh dari sabun yang mengandung gliserin 5 % yaitu 80,99 % ± 1,58. Hasil uji statistik dengan metode ANOVA satu jalan menunjukkan bahwa peningkatan konsentrasi gliserin tidak berpengaruh secara signifikan terhadap peningkatan stabilitas busa sabun vitamin C dengan hasil nilai signifikasi P = 0,89>0,05. Penggunaan konsentrasi gliserin yang berbeda akan menghasilkan tingkat stabilitas busa yang tidak berbeda secara bermakna. Stabilitas busa yang paling tinggi diperoleh pada formula II yaitu dengan nilai sebesar 90,32 %. Hubungan antara kadar gliserin yang digunakan dan nilai stabilitas busa sabun dapat dilihat pada Gambar 4.

Salah satu faktor yang mempemgaruhi kecepatan pembentukan busa dan stabilitas busa adalah konsentrasi keberadaan ion-ion logm seperti Ca2+ dan Mg2+ dalam air dapat menurunkan stabilitas busa (Piyali et al.,1999). Jenis asam lemak yang digunakan juga berpengaruh terhadap stabilitas busa, asam laurat dan miristat dapat menghasilkan busa yang lembut, sementara asam palmitat dan stearat memiliki sifat menstabilkan busa. Asam oleat dan risinoleat dapat menghasilkan busa yang stabil dan lembut (Cavitch, 2001). Menurut Williams dan Schmitt (2002) dietanolamida berfungsi sebagai surfaktan dan penstabil busa dan dapat membuat sabun menjadi lebih lembut sehingga dengan adanya dietanolamida dapat berpengaruh terhadap stabilitas busa sabun yang dihasilkan.

5. Uji validasi metode dengan parameter % recovery

Uji validasi metode analisis dilakukan untuk melihat seberapa valid metode yang digunakan. Parameter yang digunakan adalah persen recovery dengan cara dibuatkan larutan standar vitamin C 10,8 mg /10 mL akuades, diambil 0,2 mL dari larutan tersebut kemudian dimasukkan ke dalam 1 g sampel sabun yang tanpa vitamin C dan ditambahkan 10 mL akuades sehingga terdapat kadar sebenarnya adalah 21,6 µg/mL. Pengujian yang dilakukan sama seperti uji pada sampel sebelumnya sehingganya dapat dilihat pada tabel 2.

Tabel 2. Hasil uji validasi metode penentuan kadar vitamin C dalam sabun dengan spektrofotometri UV dengan parameter % recovery

Repl ikasi Absor bansi Y=0,046x+0,287 Kadar terukur (µg/mL) Kadar sebenarnya (µg/mL) % recovery x 100% xҧ±SD 1 1,280 1,280=0,046x+0,287 21,58 21,6 99,90 % 97,21% ±2,61 2 1,228 1,228=0,046x+0,287 20,45 21,6 94,67 % 3 1,252 1,252=0,046x+0,287 20,97 21,6 97,08 %

(12)

10 Hasil persen recovery yang didapat adalah 97,22 % sedangkan nilai persen

recovery yang baik adalah sekitar 97 – 103 % sehingga dapat disimpulkan bahwa metode

penetapan kadar vitamin C secara spektrofotometri UV yang digunakan adalah valid. 6. Uji stabilitas vitamin C

Uji stabilitas vitamin C dilakukan untuk mengetahui bagaimana pengaruh perbedaan konsentrasi gliserin dalam sediaan sabun terhadap stabilitas vitamin C selama penyimpanan 8 minggu. Kadar vitamin C dipantau setiap minggu selama 8 minggu dengan metode spektrofotometri UV dan sampel sabun disimpan dalam alat climatic chamber dengan suhu terjaga 25 °C pada tekanan 1 atm. Pembacaan absorbansi dilakukan pada panjang gelombang 261 nm. Hasil penetapan kadar vitamin C pada masing-masing minggu dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Hasil uji stabilitas kadar vitamin C dalam sabun dengan spektrofotometri UV Sampel 

sabun 

Konsentrasi vitamin C (µg/g) yang terukur pada minggu yang ke Total vitamin C yang hilang (µg/g) 4 5 6 7 8 F I  1014,4   793,2  779,6 599 513,3 472,7 336,1 223,5 19776,5 µg/g F II  1231,4  927,5  897,4 841,2 734,1 670,6 608,8 484,2 19515,8 µg/g FIII  1334,8  1176,1  1056,4 922,4 903,4 763,8 748,1 674,4 19325,6 µg/g Keterangan:

F I : sabun vitamin C dengan konsentrasi gliserin 5% F II : sabun vitamin C dengan konsentrasi gliserin 10% F III : sabun vitamin C dengan konsentrasi gliserin 20%

Hasil yang terdapat pada sabun dengan gliserin 5% kadar vitamin C yang hilang adalah sekitar 98,882 % atau sekitar 19776,5 µg/g dari kadar awal 20000 µg/g, sedangkan sabun yang mengandung gliserin 10% kadar vitamin C yang hilang adalah 97,579 % yaitu 19515,8 µg/g dari kadar awal 20000 µg/g dan pada sabun dengan gliserin 20 % kadar vitamin C yang hilang sekitar 96,628 % atau sekitar 19325,6 µg/g dari kadar awal 20000 µg/g selama masa penyimpanan dari minggu pertama hingga minggu ke 8. Persen vitamin C yang hilang pada masing-masing minggu dapat dilihat pada Gambar 10. Karena kadar vitamin C dalam sabun pada minng ke 0 tidak diukur, maka diasumsikan kadar vitamin C pada minngu ke 0 adalah sebesar 2 g/100 g sabun (sesuai formula).

(13)

11

Gambar 5. Hubungan antara lama penyimpanan sabun selama 8 minggu pada suhu 25 °C dengan persentasi vitamin C yang hilang dalam sabun dengan bervariasi konsentrasi gliserin yaitu 5%, 10% dan 20%, bar menunjukkan nilai SD dari 3 kali replikasi

Hasil yang didapat menunjukkan bahwa sabun yang paling stabil adalah sabun yang mengandung gliserin 20% karena mengalami penurunan kadar vitamin C yang paling sedikit dibandingkan dengan sabun yang lain yaitu sebesar 19325,6 µg/g atau sekitar 96,628% dari kadar awal.

Jackson (1995), mengatakan bahwa gliserin dapat digunakan untuk menjaga dan memperbaiki stabilitas suatu bahan dalam jangka waktu yang lama. Hasil percobaan ini menunjukkan bahwa dengan peningkatan konsentrasi gliserin maka kestabilan vitamin C makin terjaga sehingga pada sabun yang mengandung gliserin dengan konsentrasi tertinggi mendapatkan kadar vitamin C yang lebih tinggi dibandingkan dengan sabun yang konsentrasi gliserin lebih rendah.

Gliserin dapat menstabilkan vitamin C dengan cara membentukan ikatan hidrogen dengan molekul air sehingga terjadi reaksi 2-hidroksi yang akan mencegah terjadinya ionisasi dan dengan demikian dapat mencegah pemempatan dua muatan negative pada cincin vitamin C sehingga vitamin C dapat distabilkan dengan mekanisme ini dapat mengurangi terjadinya regenerasi oksidatif yang biasanya terjadi pada kerusakan vitamin C (Gamay dan Lean, 2009).

(14)

12 KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan maka dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Perbedaan konsentrasi gliserin dalam sabun padat vitamin C tidak berpengaruh terhadap nilai pH sabun, sedangkan kekerasan sabun semakin menurun pada konsentrasi gliserin yang makin meningkat dan menghasilkan stabilitas busa yang tidak berbeda secara bermakna. Stabilitas busa yang paling tinggi terdapat pada sabun yang mengadung gliserin 10% sebesar 90,32% ± 4,95.

2. Stabilitas vitamin C paling baik terdapat pada sabun yang mengandung gliserin 20% yaitu mengalami penurunan kadar vitamin C sekitar 96,628%, sedangkan pada sabun yang mengandung gliserin 5% dan 10% mengalami penurunan kadar vitamin C sebesar berturut-turut 98,882% dan 97,579%, sehingga dapat disimpulkan bahwa semakin tinggi konsentrasi gliserin dalam sabun maka stabilitas vitamin C dalam sabun juga semakin baik.

Saran

1. Pada uji stabilitas vitamin C sebaiknya diukur kadar vitamin C dalam sabun mulai dari minggu ke 0.

2. Dilakukan optimasi formulasi sehingga terdapat sabun yang lebih keras. UCAPAN TERIMA KASIH

Terima kasih kepada ibu bapak saya yang membantu dalam pendanaan dan kepada pihak-pihak yang telah membantu penulis dalam penyelesaian skripsi ini.

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Salam M.Sofro, Wiryatun L. & Haryadi ,1990, Protein Vitamin dan Bahan Ikutan

Pangan, Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi. Universitas Gajah Mada

Yogyakarta.

Aly Gamay Dan Mc Lean, 2009, Stabilized Vitamin Solution Use Thereof Process For

Teeir Production And Formulations Comprising The Same, Patent Application

Publication, United States

Badan Standarisasi Nasional, 1994, Standar Mutu Sabun Mandi, SNI 06-3532-1994, Dewan Standarisasi Nasional, Jakarta.

Cavitch, S.M., 2001, Choosing Your Oils, Oil Properties of Fatty Acid, Http://user.siloverlink.net/~timer/soapdesign.html.

(15)

13 Chairul F, 2008, Pengaruh Penambahan Gliserin Dan Sukrosa Terhadap Mutu Sabun

Transparan, Skripsi, Fakultas Teknologi Pertanian Institute Pertanian Bogor.

Corredoira R.A. dan Pandolfi A.R., 1996, Raw Materials And Their Pretreatment For Soap Production. Di dalam Spitz, L. (ed)., 1996, Soaps and Detergents, A Theoretical and Practical Review. AOCS Press, Illinois.

Eeman Marc, Rose B. & Isabella V.R.,2012, Stabilization And Release Of Vitamin C

From Anhydrous Silicone Systems, http://www.tukad.org.tr/tr/ pdf/143%

20Eeman.pdf.

Jackson, E.B., 1995, Sugar Confectionery Manufacture, Second Edition, 89, Cambridge University Press, Cambridge.

Jellinek JS., 1970, Formulation and Function of Cosmetics. New York: Wiley-Interscience.

Mitsui T., 1997, New Cosmetic Science. Elseveir Science, B.V. Amsterdam, Netherlands. Piyali G, Bhirud R.G., dan Kumar V.V., 1999, Detergency and form studies on linear alkil

benzene sulfonat and secondary alkil sulfonat. J Surfac Deterg, 2(4):489-493

Williams D.F. dan Schmitt, W. H., 2002, Kimia dan Teknologi Industri Kosmetika dan

Produk-produk Perawatan Diri. Terjemahan. FATETA, IPB, Bogor.

Williams & Wilkins, 2011, Ilmu Gizi Menjadi Sangat Mudah Edisi Kedua, Diterjemah Oleh Linda, Aryandhito Widhi Nugroho & Niko Santoso, EGC, Jakarta.

Gambar

Tabel 1. Formulasi sabun padat vitamin C
Gambar 2. Hubungan antara kadar gliserin dan nilai pH sabun vitamin C, bar menunjukkan nilai SD  dari 3 kali replikasi
Gambar 4. Hubungan antara kadar gliserin dan stabilitas busa sabun vitamin C, bar menunjukkan  nilai SD dari 3 kali replikasi
Tabel 2. Hasil uji validasi metode penentuan kadar vitamin C dalam sabun dengan  spektrofotometri  UV dengan parameter % recovery
+2

Referensi

Dokumen terkait

Kelompok mencit yang diinfeksi MRSA ATCC 43300 dengan dosis 0,2 ml (10 7 cfu/ml) secara intraperitoneal dan diberi seftriakson dengan dosis 0,03 ml secara intraperitoneal.. sativa

Hasil penelitian sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Angling dan Mahatma (2010) dan Rustiarini (2011) yang menyatakan bahwa kepemilikan asing mempunyai

Perlakuan pembuatan telur asin pada penelitian ini menunjukan bahwa konsumen lebih menyukai kemasiran kuning telur yang berasal dari telur dengan umur tiga

KESATU : Menghapus dari daftar Inventaris Barang Milik Daerah Berupa Bangunan/Gedung, Ruang Kelas, Ruang BP dan Perpustakaan SMK I Sanden yang sudah

Hasil proyeksi Dana Moneter Internasional (IMF) pada April lalu menunjukkan bahwa Australia, Jepang, Norwegia, Inggris, dan Zona Euro masih akan memiliki kesenjangan

Uterine bacteriology, prostaglandin F 2 a metabolite and progesterone profiles, blood granulocyte function and uterine cytology in postpartum cows after

• Netron yang dihasilkan dapat digunakan untuk menembak inti lain sehingga terjadi. pembelahan inti

pembelajaran satu arah (interaksi guru-peserta didik) menjadi pembelajaran interaktif (guru-peserta didik-masyarakat-lingkungan alam, sumber/media lainnya), (3) pembelajaran