PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP PRAKTIK
KEDOKTERAN ILEGAL YANG DILAKUKAN OLEH DOKTER PALSU Abdoel Haris Ngabehi, Tri Andrisman, Diah Gustiniati
Email: Abdoelhn@yahoo.co.id
Abstrak
Praktik kedokteran ilegal yang dilakukan oleh dokter palsu merupakan salah satu tindak pidana yang merugikan seluruh masyarakat, terlebih kebutuhan masyarakat akan kesehatan membuat resiko keberadaan dokter palsu ini akan semakin membahayakan keselamatan masyarakat. Dalam praktiknya dokter selaku tenaga medis secara terus menerus harus ditingkatkan mutunya melalui pendidikan dan pelatihan berkelanjutan, sertifikasi, registrasi, lisensi, serta pembinaan, pengawasan, dan pemantauan agar pelaksanaan praktik kedokteran sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, Upaya penegakan hukum terhadap praktik kedokteran ilegal yang dilakukan oleh dokter palsu ini adalah menggunakan hukum pidana (penal) dan non penal. Namun dalam praktiknya upaya-upaya menggunakan hukum pidana (penal) ini kurang dapat berjalan dikarenakan dalam menangani hal ini aparat penegak hukum lebih bersikap pasif artinya menunggu laporan dari masyarakat yang merasa dirugikan baru dapat dilakukan penyelidikan. Kemudian mengenai faktor-faktor penghambat dalam penegakan hukum terhadap praktik kedokteran ilegal yang dilakukan oleh dokter palsu yaitu faktor Undang-Undang, faktor aparat penegak hukum, faktor sarana dan fasilitas, serta faktor masyarakat sebagai faktor yang paling vital.
Berdasarkan hasil penelitian saran yang dapat diberikan penulis adalah Pihak berwenang diharapkan dapat bersifat proaktif dalam menyikapi maraknya kasus dokter palsu yang menjalankan praktik kedokteran, dan bila dimungkinkan aparat penegak hukum diharapkan dapat bekerjasama dengan Dinas Kesehatan selaku instansi yang memiliki wewenang pengawasan dan IDI (Ikatan Dokter Indonesia), serta dilakukan pengawasan dan pembinaan dalam bentuk sosialisasi kepada masyarakat terkait pengetahuan tentang dokter palsu dan bahaya dari mengunjungi praktik kedokteran ilegal yang dijalankan oleh dokter palsu.
CRIMINAL LAW ENFORCEMENT AGAINST ILLEGAL PRACTICE OF MEDICINE PERFORMED BY FAKE DOCTOR
Abdoel Haris Ngabehi, Tri Andrisman, Diah Gustiniati Email: Abdoelhn@yahoo.co.id
Abstract
Illegal medical practice carried out by fake doctor is a criminal act that harms the whole society, especially the health needs of the community will create the risk of a fake doctor's presence will further endanger public safety. In practice, doctors as medical staff constantly have to be enhanced through continuous education and training, certification, registration, licensing, and guidance, supervision, and monitoring for the implementation of medical practice in accordance with the development of science and technology. Based on the results of research and discussion, law enforcement efforts against illegal medical practice carried out by fake doctor is using the criminal law (penal) and non-penal. But in practice, efforts to use criminal law (penal) is less able to walk due to the handling of this case law enforcement officers over passivity means waiting for reports from people who feel aggrieved can only be carried out investigations. Later on inhibiting factors in law enforcement against illegal medical practice carried out by fake doctor is a factor rules and regulations, law enforcement officers factor, factor means and facilities, and community factors as the most vital factor.
Based on the research advice that can be given is the author of The authorities are expected to be proactive in addressing the rampant cases of fake doctors who run a medical practice, and where appropriate law enforcement officials are expected to cooperate with the Department of Health, agencies that have oversight authority and IDI (The Indonesian Medical Association ), as well as supervision and guidance in the form of dissemination to the public related to the knowledge of the fake doctor and the dangers of visiting illegal medical practice run by fake doctors.
I. PENDAHULUAN
Hukum kesehatan merupakan suatu bidang spesialisasi ilmu hukum yang relatif masih baru di Indonesia. Hukum kesehatan mencakup segala peraturan dan aturan yang secara langsung berkaitan dengan pemeliharaan dan perawatan kesehatan yang terancam atau kesehatan yang rusak. Hukum kesehatan mencakup penerapan hukum perdata dan hukum pidana yang berkaitan dengan hubungan hukum dalam pelayanan kesehatan.
Salah satu unsur penting dalam sistem pelayanan kesehatan yang berhasil guna adalah tersedianya asuhan klinis dan asuhan medis oleh dokter dan dokter gigi yang dalam sistem tersebut untuk melindungi masyarakat dengan memberikan asuhan medis yang aman. Makna diterbitkannya Undang- Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran adalah untuk mengatur praktik dokter dan dokter gigi agar kualitasnya terpelihara. Pengendalian kualitas dilakukan sejak dari pendidikan, memberi kewenangan dokter dan dokter gigi untuk berpraktik dengan prasyarat terregistrasi dan melakukan pembinaan lebih lanjut setelah berpraktik.1
Memasuki era global yang terjadi seperti saat ini, profesi kedokteran merupakan salah satu profesi yang mendapatkan sorotan masyarakat. Sorotan masyarakat terhadap profesi dokter merupakan satu pertanda
1
Konsil Kedokteran Indonesia,
Penyelenggaraan Praktik Kedokteran Yang
Baik di Indonesia, Jakarta, 2006, hlm. 3.
bahwa saat ini sebagian masyarakat belum puas terhadap pelayanan medis dan pengabdian profesi dokter di masyarakat. Pada umumnya ketidakpuasan para pasien dan keluarga pasien terhadap pelayanan dokter karena harapannya yang tidak dapat dipenuhi oleh para dokter atau dengan kata lain terdapat kesenjangan antara harapan dan kenyataan yang didapatkan oleh pasien. Masyarakat banyak yang menyoroti profesi dokter, baik sorotan yang disampaikan secara langsung ke Ikatan Dokter Indonesia (IDI) sebagai induk organisasi para dokter, maupun yang disiarkan melalui media cetak maupun media elektronik. Namun terlepas dari sorotan-sorotan tersebut, sebagian masyarakat nampaknya tidak mengetahui siapa yang dapat dikatakan sebagai dokter, dan masyarakat pun seperti tidak terlalu memusingkan hal itu, bila penyakit yang dideritanya bisa disembuhkan maka hal tersebut bukan jadi masalah. Oleh karena itu, tidak heran apabila ada orang-orang yang memanfaatkan hal tersebut, dengan hanya bermodal pengetahuan dasar tentang kesehatan orang-orang
tersebut membuka praktik
kedokteran secara ilegal, seperti Kasus yang baru saja terungkap yaitu adanya praktik kedokteran ilegal di Jalan Ikan Sepat, Gang Ekajaya, Kelurahan Kangkung, Telukbetung Selatan. Praktik ilegal yang sudah berlangsung satu tahun tersebut terungkap berkat laporan warga setempat. Diketahui bahwa tersangka yang bernama Yanto ini mengaku sebagai dokter dan membuka praktik kedokteran di rumahnya.
petugas menyita seperangkat alat kedokteran di rumah tersangka. Alat-alat medis itu seperti pengukur tekanan darah dan stetoskop dipakai tersangka untuk mengelabui korbannya. Tersangka yang merupakan lulusan Diploma 1 Asisten Kesehatan di salah satu tempat pendidikan kesehatan di Tanjung Karang diketahui dalam mengobati pasiennya terkadang memberikan cairan infus serta beberapa tindakan kedokteran sesuai kebutuhan pasien. Perbuatan Tersangka Yanto ini dijerat dengan Pasal 78 jo Pasal 73 ayat (2) Undang-undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran dengan ancaman hukuman pidana penjara paling lama lima tahun.2
Dampak yang dapat ditimbulkan apabila praktik kedokteran tanpa STR atau SIP tersebut menimbulkan akibat yang merugikan kesehatan fisik atau 10 mental atau nyawa pasien maka terjadi malpraktik kedokteran, walaupun praktik kedokteran tersebut tidak bertentangan dengan standar profesi dan prosedur dan dilakukan atas
informed consent.3
Informed Consent
adalah suatu izin atau pernyataan setuju dari pasien yang diberikan sebagai suatu izin atau pernyataan setuju dari pasien yang diberikan secara bebas, sadar dan rasional, setelah ia mendapat informasi yang dipahaminya dari dokter tentang penyakitnya.4
2
http://www.tribunnews.com/regional/2014/ 06/12/meski-gadungan-dokter-ini-telah-menangani-200-pasien, diakses pada tanggal 27 Agustus pada pukul 20. 08 WIB.
3
Adami Chazawi, Malpraktik Kedokteran, Malang: Bayumedia, 2007, hal. 154 4
Guwandi J., 137 Tanya Jawab Persetujuan
Tindakan Medik ( Informed Consent ),
FKUI, Jakarta, 1990, hal. 1.
Terkait kasus-kasus di atas maka dari itu sudah seharusnya di zaman sekarang ini masyarakat bisa lebih paham dengan arti sebenarnya profesi kedokteran itu dan seseorang yang dapat dikatakan sebagai dokter, hal ini untuk menghindari adanya perbuatan-perbuatan yang justrunya akan merugikan masyarakat itu sendiri. Karena pada dasarnya para dokter-dokter gadungan ini melakukan praktik kedokterannya hanya dengan ilmu-ilmu dasar kesehatan, jelas berbeda dengan
dokter-dokter yang telah
menyelesaikan pendidikan
kedokterannya, jadi bukan tidak mungkin apabila tindakan medis dari para dokter gadungan ini dapat membahayakan si pasien.
Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka dalam penelitian ini permasalahan yang akan dibahas dirumuskan sebagai berikut:
a.) Bagaiamanakah penegakan hukum pidana terhadap praktik kedokteran ilegal yang dilakukan oleh dokter palsu?
b.) Apakah faktor-faktor
penghambat dalam penegakan pidana praktik kedokteran ilegal yang dilakukan oleh dokter palsu?
diinterpretasikan untuk dianalisis secara kualitatif, kemudian selanjutnya untuk ditarik suatu kesimpulan.
II. PEMBAHASAN
A. Penegakan Hukum Pidana Terhadap Praktik Kedokteran Ilegal yang Dilakukan oleh Dokter Palsu
Penegakan hukum pidana terhadap Praktik Kedokteran Ilegal yang dilakukan oleh Dokter Palsu merupakan suatu hal yang penting. Dalam rangka penegakan hukum yang harus dilakukan sebagaimana mestinya terlebih dalam memenuhi rasa keadilan dan kepastian hukum sendiri, maka penegakan hukum hendaknya dapat digunakan dalam rangka menyelaraskan nilai-nilai dan norma-norma yang ada dalam masyarakat, melbatkan konsep-konsep yang saling terkait dalam penegakan hukum pidana.
Penanganan kasus dokter palsu ini diperlukan peraturan perundang-undangan yang dijadikan pedoman dalam menindak para pelaku dokter palsu. Pemerintah Indonesia telah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran hal ini bertujuan untuk mengatur praktik dokter dan dokter gigi agar kualitasnya terpelihara. Pengendalian kualitas dilakukan sejak dari pendidikan, memberi kewenangan dokter dan dokter gigi untuk berpraktik dengan prasyarat terregistrasi dan melakukan pembinaan lebih lanjut setelah berpraktik. Selain itu Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran juga bertujuan agar para pelaku dokter
palsu yang membuka praktik kedokteran ilegal dapat ditindak sesuai aturan.
Jika dihubungkan dengan Undang-Undang Nomor 29 tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran, tahap perumusan dan penetapan pidana di dalam Undang-Undang tersebut dapat dilihat dalam Pasal 75 hingga pasal 80 Pidana pokok yaitu yang berisi pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 29 ayat (1), Pasal 31 ayat (1), Pasal 32 ayat (1), Pasal 36, Pasal 73 ayat (1), Pasal 73 ayat (2), Pasal 41 ayat (1), Pasal 42, Pasal 46 ayat (1), dan Pasal 51, yakni dengan ancaman pidana penjara selama-lamanya 10 (sepuluh) tahun atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).
Sedangkan terkait ketentuan-ketentuan mengenai pidana praktik kedokteran ilegal yang dilakukan oleh dokter palsu sendiri hanya berdasarkan Pasal 77 dan Pasal 78 Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran yang berisi pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 73 ayat (1) dan Pasal 73 ayat (2) dengan ancaman pidana penjara selama-lamanya 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp. 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah).
Penegakan hukum pidana yang
merupakan kebijakan
penanggulangan kejahatan
dikatakan dikatakan bahwa usaha
penanggulangan kejahatan
merupakan penegakan hukum pidana yang menajdi bagian penting dari pembangunan nasional. 5
Penegakan hukum pidana terhadap Praktik Kedokteran Ilegal yang dilakukan oleh Dokter Palsu merupakan suatu hal yang penting. Dalam rangka penegakan hukum yang harus dilakukan sebagaimana mestinya terlebih dalam memenuhi rasa keadilan dan kepastian hukum sendiri, maka penegakan hukum hendaknya dapat digunakan dalam rangka menyelaraskan nilai-nilai dan norma-norma yang ada dalam masyarakat, melbatkan konsep-konsep yang saling terkait dalam penegakan hukum pidana. Oleh karena itu upaya penegakan hukum terhadap praktik kedokteran ilegal yang dilakukan oleh dokter palsu ini adalah menggunakan hukum pidana (penal) dan non-penal.
Dalam penegakan hukum pidana terhadap praktik kedokteran ilegal yang dilakukan oleh dokter palsu ini dapat menggunakan dua metode, yaitu secara preventif yang lebih menekankan pada pencegahan sebelum terjadinya tindak pidana dan
represif yang lebih pada
pemberantasan setelah terjadinya tindak pidana.
Upaya represif adalah satu upaya
penegakan hukum yang
menitikberatkan kepada
pemberantasan setelah terjadinya kejahatan yang dilakukan dengan hukum pidana yaitu penerapan sanksi yang merupakan ancaman bagi pelakunya. Tindakan represif yang
5
Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, Bandung: Alumni, 1986, hlm. 111.
dimaksudkan dalam kasus praktik kedokteran ilegal oleh dokter palsu ini adalah setiap proses peradilan hukum pidana mulai dari kepolisian hingga lembaga pemasyarakatan. Namun dalam praktiknya upaya-upaya represif ini kurang dapat berjalan dikarenakan dalam menangani hal ini aparat penegak hukum lebih bersikap pasif artinya menunggu laporan dari masyarakat yang merasa dirugikan baru dapat dilakukan penyelidikan. Dalam kenyataannya masyarakat justru enggan untuk melaporkan hal-hal seperti ini, karena untuk praktik kedokteran ilegal ini tidak
berdampak langsung pada
masyarakat. Oleh karena itu sebagai lembaga yang berwenang mengawasi Dinas Kesehetan seharusnya dapat melakukan tindakan seperti razia atau pembinaan terhadap dokter palsu yang menjalankan praktik kedokteran ilegal. Kemudian dalam menjalankan tindakan represif tersebut Dinas Kesehatan juga harus berkoordinasi dengan aparat penegak hukum. Sehingga aparat penegak hukum dapat proaktif dalam
menyikapi adanya praktik
kedokteran ilegal yang dilakukan oleh dokter palsu, dalam hal ini diharapkan aparat penegakan hukum serta instansi terkait dapat meningkatkan penanganan dan pengembangan terhadap setiap laporan tentang dokter palsu yang menjalankan praktik kedokteran ilegal sehingga masyarakat terlindungi.
syarat-syarat membuka memperoleh izin praktik kedokteran ataupun ketentuan-ketentuan pidana terkait hal-hal kedokteran dan praktiknya, ini merupakan salah satu upaya pemerintah untuk mencegah kasus-kasus dokter palsu yang menjalankan praktik kedokteran ilegal. Selain itu juga upaya preventif dapat berupa pelaksanaan kegiatan penyuluhan/ sosialisasi kepada masyarakat dengan tujuan agar masyarakat mendapat wawasan dan mengetahui hal-hal mengenai ciri-ciri dokter yang asli atau dokter yang palsu, atau praktik kedokteran yang memiliki izin atau tidak. Mengetahui dan mengenal ciri-ciri dokter asli atau palsu serta praktik kedokteran yang memiliki izin atau tidak diharapkan dapat membuat masyarakat ikut berpartisipasi dalam upaya penegakan hukumnya, sehingga nantinya akan memudahkan aparat
penegak hukum dalam
menanggulangi kasus-kasus dokter palsu ini.
B. Faktor Penghambat dalam Penegakan Hukum Terhadap Praktik Kedokteran Ilegal yang Dilakukan oleh Dokter Palsu
Dalam pelaksanaan penegakan hukum terdapat kendala-kendala yang menyebabkan terhambatnya pelaksanaan penegakan hukum, diantaranya faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum adalah:6
1) Faktor hukumnya sendiri (Perundang-Undangan)
Praktek penyelenggaran hukum di lapangan sering kali terjadi
6
Soerjono Soekanto, Op.cit., 1983, hlm. 8
kontradiksi antara hukum dan keadilan, hal ini dikarenakan konsepsi keadilan merupakan rumusan yang bersifat abstrak, sedangkan kepastian keadilan merupakan prosedur yang telah ditentukan secara normatif. Oleh karena itu, suatu kebijakan atau tindakan yang tidak sepenuhnya berdasar hukum merupakan suatu yang dapat dibenarkan sepanjang kebijakan atau tindakan itu tidak bertentangan dengan hukum.
2) Faktor Penegak Hukum
Penegak hukum adalah mereka yang secara langsung dan secara tidak langsung berkecimpung dibidang penegakan hukum yang tidak hanya mencakup law enforcement, akan tetapi juga
peace maintenance.
3) Faktor Sarana atau Fasilitas Sarana atau fasilitas mempunyai peranan yang sangat penting di dalam penegakan hukum. Tanpa adanya sarana atau fasilitas tersebut, maka tidak mungkin
penegakan hukum akan
berlangsung dengan lancar dan menyerasikan peranan yang seharusnya dengan peran yang aktual.
4) Faktor Masyarakat
Penegakan hukum berasal dari masyarakat dan bertujuan untuk mencapai kedamaian di dalam masyarakat. Oleh karena itu, masyarakat dapat mempengaruhi penegakan hukum di mana peraturan hukum berlaku atau diterapkan. Bagian terpenting
dari masyarakat yang
menentukan penegakan hukum adalah kesadaran hukum masyarakat.
Faktor kebudayaan yang sebenarnya bersatu padu dengan faktor masyarakat sengaja dibedakan, karena di dalam pembahasannya diketengahkan masalah sistem nilai-nilai yang menjadi inti dari kebudayaan spiritual atau nonmaterial. Beragam kebudayaan yang
demikian banyak dapat
menimbulkan persepsi-persepsi tertentu terhadap penegakan hukum.
Berdasarkan hasil penelitian di lapangan dapat dianalisis hal-hal yang menjadi penghambat dalam proses penerapan sanksi terhadap pelaku kasus dokter palsu dalah dari berbagai faktor, pertama dari faktor hukumnya sendiri (perundang-undangan), dalam faktor ini masyarakat awam akan sulit untuk membedakan praktik kedokteran yang legal dan ilegal dikarenakan Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran ini belum menjelaskan definisi dari praktik kedokteran dengan jelas.
Faktor penegak hukum juga dianggap menghambat proses penegakan hukum terhadap pelaku dokter palsu karena dianggap masih adanya aparat penegak hukum yang kurang profesional dan kurang memiliki pengetahuan tntang hal-hal yang berkaitan dengan praktik kedokteran, selain itu juga beberapa instansi berwenang juga masih belum bisa bertindak kooperatif dengan para aparat penegak hukum. Faktor lainnya juga yaitu faktor sarana atau fasilitas juga mutlak diperlukan
untuk memperlancar dan
menciptakan hukum dalam proses penegakan hukum. Tanpa adanya sarana dan prasarana proses
penegakan hukum akan menghambat proses penegakan hukumnya.
Selanjutnya faktor yang paling mempengaruhi dalam kasus dokter palsu ini yaitu faktor masyarakat. Masyarakat dianggap masih kurang memiliki kesadaran hukum terhadap kasus dokter palsu ini, dapat dilihat dari masih adanya rasa enggan warga masyarakat untuk meyampaikan laporan atau menjadi saksi atas terjadinya suatu proses penegakan hukum. Laporan dari masyarakat inilah yang sangat penting, sebab tanpa adanya laporan dari masyarakat penegakan hukum terhadap dokter palsu tidak dapat terlaksana.
III. SIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan sebagaimana diuraikan dalam bab-bab terdahulu maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1. Upaya penegakan hukum
terhadap praktik kedokteran ilegal yang dilakukan oleh dokter palsu ini adalah menggunakan hukum pidana (penal) dan non penal. Non penal artinya secara preventif
yaitu pencegahan sebelum terjadinya kejahatan yang lebih ditekankan dengan mengadakan sosialisasi atau pelatihan di bidang kesehatan khususnya praktik kedokteran dan dokter palsu terhadap masyarakat. Sedangkan non penal artinya
secara represif yaitu
keterbatasan yang dialami oleh aparat penegak hukum. Hal ini dibuktikan dengan sulitnya pembuktian karena dampak yang ditimbulkan dari praktik kedokteran dokter palsu terhadap pasien tidak secara langsung. Akibatnya aparat penegak hukum tidak dapat menjalankan tugasnya dengan
baik sehingga dalam
melaksanakan tugasnya bersifat pasif yaitu menunggu laporan dari masyarakat yang dirugikan secara langsung.
2. Penegakan hukum dapat
dipengaruhi oleh beberapa faktor, adapun faktor-faktor penghambat penegakan hukum terhadap praktik kedokteran ilegal yang dilakukan oleh dokter palsu adalah, faktor hukumnya sendiri (perundang-undangan), Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran ini belum menjelaskan definisi dari praktik kedokteran dengan jelas. Faktor penegakan hukum, aparat penegak hukum yang kurang profesional dan kurang memiliki pengetahuan tntang hal-hal yang berkaitan dengan praktik kedokteran, selain itu juga beberapa instansi berwenang juga masih belum bisa bertindak kooperatif dengan para aparat penegak hukum. Faktor lainnya juga yaitu faktor sarana atau fasilitas, tanpa adanya sarana dan prasarana proses penegakan hukum akan menghambat proses
penegakan hukumnya.
Selanjutnya faktor yang paling mempengaruhi dalam kasus dokter palsu ini yaitu faktor
masyarakat. Masyarakat
dianggap masih kurang memiliki kesadaran hukum terhadap kasus dokter palsu ini.
Selain kesimpulan yang telah dirumuskan di atas, penulis akan memberikan beberapa saran berkaitan dengan penelitian ini, yaitu sebagai berikut:
1. Pihak berwenang diharapkan dapat bersifat proaktif dalam menyikapi maraknya kasus dokter palsu yang menjalankan praktik kedokteran serta meningkatkan pemahaman dan kinerja dalam mencegah pendirian praktik kedokteran ilegal oleh dokter palsu. Peran pengawasan pemerintah terkait praktik kedokteran ilegal tersebut harus terlebih dahulu ditingkatkan untuk menghindari
terjadinya
pelanggaran-pelanggaran.
2. Aparat penegak hukum
diharapkan dapat bekerjasama dengan Dinas Kesehatan selaku instansi yang memiliki wewenang pengawasan dan IDI (Ikatan Dokter Indonesia) sebagai organisasi profesi. Hal ini diharapkan dapat menutupi kelemahan aparat penegak hukum yang kurang memahami wawasan terkait hal-hal yang
berhubungan dengan
dokter palsu, sehingga kesadaran hukum masyarakat juga dapat lebih baik. Sehingga masyarakat juga dapat menjadi pasien yang lebih pintar dan dapat memahami betul akan masalah kesehatan serta memiliki pengetahuan dasar tentang kesehatan yang memadai agar dapat terjamin keselamatannya.
DAFTAR PUSTAKA
Adami Chazawi, 2007, Malpraktik Kedokteran, Bayumedia, Malang.
Guwandi J., 1990, 137 Tanya Jawab Persetujuan Tindakan Medik ( Informed Consent ), FKUI, Jakarta.
Konsil Kedokteran Indonesia, 2006,
Penyelenggaraan Praktik
Kedokteran Yang Baik di Indonesia, Jakarta.
Soekanto, Soerjono, 1995, Kejahatan dan Penegakan Hukum, Rineka Cipta, Jakarta.
Sudarto, 1986, Kapita Selekta
Hukum Pidana, Alumni,
Bandung.
TribunNews.com.
Undang-Undang Nomor 29 Tahun
2004 tentang Praktik