• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dasar Hukum Perbankan Syariah di Indones

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Dasar Hukum Perbankan Syariah di Indones"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

Dasar Hukum Perbankan Syariah di

Indonesia

Perbankan Syariah - Sudah tak asing lagi kalimat "Bank Syariah bukan???. Menurut Ensiklopedi Islam, Bank Islam atau Bank Syari’ah adalah lembaga keuangan yang usaha pokoknya memberikan kredit dan jasa-jasa dalam lalu lintas pembayaran serta peredaran uang yang pengoprasianya sesuai dengan prinsip-prinsip syari’ah. Perbankan Syari’ah atau Bank Islam yang secara umum pengertian Bank Islam (Islamic Bank) adalah bank yang pengoperasiannya disesuaikan dengan prinsip syariat Islam. Saat ini banyak istilah yang diberikan untuk menyebut entitas Bank Islam selain istilah Bank Islam itu sendiri, yakni Bank Tanpa Bunga (Interest-Free Bank), Bank Tanpa Riba (Lariba Bank), dan Bank Syari’ah (Shari’a Bank). Sebagaimana akan dibahas kemudian, di Indonesia secara teknis yuridis penyebutan Bank Islam mempergunakan istilah resmi “Bank Syari’ah”, atau yang secara lengkap disebut “Bank Berdasarkan Prinsip Syari’ah”. Dalam pelaksanaannya Bank Syariah atas dasar hukum di Indonesia dan hukum Islam.

Dasar Hukum Perbankan Syariah di Indonesia

Konsep negara hukum yang tercantum dalam konstitusi Indonesia memberikan dampak terhadap subjek hukum baik warga negara atau badan hukum, sehingga setiap perbuatan yang dilakukan oleh subyek hukum wajib memiliki dasar hukum, mengikuti hukum yang berlaku, dan tidak melanggar peraturan-peraturan yang ada. Berdasarkan pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, jenis dan heirarki Peraturan Perundang-Undangan yang dijadikan sumber hukum di Indonesia, baik materiil maupun formil, adalah sebagai berikut:

1. Undang-Undang Dasar Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

2. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang

3. Peraturan Pemerintah

4. Peraturan Presiden

(2)

Pasal 33 Undang-Undang Dasar Tahun 1945

Undang-Undang Dasar (UUD) Tahun 1945 dalam ilmu hukum disebut sebagai sumber dari segala sumber hukum. UUD Tahun 1945 menempati posisi teratas dalam heirarki perundang-undangan sebagaimana yang tedapat pada pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan di atas. Peletakan UUD 1945 pada posisi ini disebabkan kedudukannya yang urgen bagi negara, yaitu sebagai salah satu syarat terbentuknya sebuah negara. Menurut Hans Kalsen Undang-Undang Dasar dikategorikan sebagai Grundnormen[3] atau norma dasar yang menjadi payung bagi peraturan-peraturan yang berada dibawahnya. Aturan dasar pada ranah perekonomian terdapat dalam Pasal 33 UUD Tahun 1945 yang berbunyi:

1. Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan.

2. Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.

3. Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

4. Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.

5. Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam undang-undang.

UU No.7 Tahun 1992

Sejak diberlakukannya UU No.7 Tahun 1992, yang memosisikan bank Syariah sebagai bank umum dan bank perkreditan rakyat, memberikan angin segar kepada sebagian umat muslim yang anti-riba, yang ditandai dengan mulai beroperasinya Bank Muamalat Indonesia (BMI) pada tanggal 1 Mei 1992 dengan

modal awal Rp.106.126.382.000,00.

Namun bukan hanya itu, Tercatat bahwa bank-bank (pedesaan) Islam pertama di Indonesia adalah BPR ”Mardatillah” (BPRMD) dan BPR “Berkah Amal Sejahtera”. Keduanya beroperasi atas dasar hukum Islam (syariah) dan terletak di Bandung. Keduanya mulai mengoprasikan usahanya pada tanggal 19 Agustus 1991.

Meskipun UU No.7 Tahun 1992 tersebut tidak secara eksplisit menyebutkan pendirian bank syariah atau bank bagi hasil dalam pasal-pasalnya, kebebasan yang diberikan oleh pemerintah melalui deregulasi tersebut telah memberikan pilihan bebas kepada masyarakat untuk merefleksikan pemahaman mereka atas maksud dan kandungan peraturan tersebut.

UU No.10 Tahun 1998

(3)

tentang perubahan atas undang-undang No.7 Tahun 1992 hadir untuk memberikan kesempatan meningkatkan peranan bank syariah untuk menampung aspirasi dan kebutuhan masyarakat Dalam pasal 6 UU No.10 Tahun 1998 ini mempertegas bahwa:

 Pertama, Bank Umum adalah bank yang menyelesaikan kegiatan usaha secara konvensional atau berdasarkan Prinsip Syariah yang dalam kegiatan usahanya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran.

 Kedua, Bank Perkreditan Rakyat adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional atau berdasarkan Prinsip Syariah yang dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran.

Dalam UU No.10 Tahun 1998 ini pun memberi kesempatan bagi masyarakat untuk mendirikan bank yang menyelenggarakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip Syariah, termasuk pemberian kesempatan kepada BUK untuk membuka kantor cabangnya yang khusus menyelenggarakan kegiatan berdasarkan

Prinsip Syariah.

Selain itu, pemerintah juga menjabarkan apakah yang dimaksud dengan Prinsip Syariah dalam pasal ini, yaitu terdapat dalam pasal 1 ayat 13 UU No.10 Tahun 1998: Prinsip Syariah adalah aturan perjanjian berdasarkan hukum Islam antara bank dan pihak lain untuk penyimpanan dana dan atau pembiayaan kegiatan usaha, atau kegiatan lainnya yang dinyatakan sesuai dengan syariah, antara lain pembiayaan berdasarkan prinsip bagi hasil (mudharabah), pembiayaan berdasarkan prinsip penyertaan modal (musyarakah), prinsip jual beli barang dengan memperoleh keuntungan (murabahah), atau pembiayaan barang modal berdasarkan prinsip sewa murni tanpa pilihan (ijarah), atau dengan adanya pilihan pemindahan kepemilikan atas barang yang disewa dari pihak bank oleh pihak lain (ijarah wa iqtina). .

UU No.23 Tahun 2003

UU No.23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia telah menugaskan kepada BI untuk mempersiapkan perangkat aturan dan fasilitas-fasilitas penunjang lainnya yang mendukung kelancaran operasional bank berbasis Syariah serta penerapan dual bank sistem.

UU No.21 Tahun 2008

Undang-undang yang secara spesifik mengatur tentang perbankan syariah adalah Undang-undang Nomor 21 Tahun 2008. Undang-undang ini muncul setelah perkembangan perbankan syariah di Indonesia mengalami peningkatan yang signifikan. Pada bab I pasal 1 yang berisi tentang Ketentuan Umum undang-undang ini telah membedakan secara jelas antara bank kovensional beserta jenis-jenisnya dengan bank syariah beserta jenis-jenis-jenisnya pula. Perbedaan penyebutan pun telah dibedakan sebagaimana diatur dalam pasal 1 poin ke-6 yang menyebut “Bank Perkreditan Rakyat” sedangkan poin

ke-9 menyebutkan dengan “Bank Pembiayaan Rakyat”.

(4)

Beberapa Peraturan Bank Indonesia mengenai Perbankan syariah

1. PBI No.9/19/PBI/2007 tentang pelaksanaan prinsip syariah dalam kegiatan penghimpunan dana dan penyaluran dana serta pelayanan jasa bank syariah.

2. PBI No.7/35/PBI/2005 tentang perubahan atas peraturan bank Indonesia No. 6/24/PBI/2004 tentang bank umum yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah

3. PBI No.6/24/PBI/2004 tentang bank umum yang melaksnakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah

Fatwa Majelis Ulama Indonesia

Selain dasar hukum yang telah disebutkan di atas, landasan hukum Islam yang dimaksud dalam perbankan syariah adalah fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga tertentu yang berwenang sebagaimana yang diatur pada pasal 1 poin ke-12 Undang-undang Nomor 21 Tahun 2008: Prinsip Syariah adalah prinsip hukum Islam dalam kegiatan perbankan berdasarkan fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan dalam penetapan fatwa di bidang syariah. Meskipun tidak disebutkan secara langsung, undang-undang memberikan Dewan Syariah Nasional MUI sebagai lembaga yang berwenang mengeluarkan fatwa sekaligus berwenang merekomendasikan Dewan Pengawas Syariah yang ditempatkan pada bank-bank syariah dan unit usaha syariah. Dan fatwa MUI belum memiliki kekuatan hukum yang cukup jika tidak dikonversi ke dalam peraturan yang termasuk dalam heirarki perundang-undangan. Akan tetapi fatwa tersebut termasuk dalam doktrin hukum yang bisa dipakai jika pencari fatwa sepakat dengan pendapat mufti. MUI sebagai salah satu lembaga yang dipercaya oleh Undang-Undang maupun Peraturan Pemerintah unruk mengeluarkan acuan berupa fatwa, telah mengeluarkan kurang lebih 43 fatwa terkait dengan perbankan syariah. Di antaranya adalah fatwa tentang giro dengan menggunakan sistem wadhi’ah, yaitu pada fatwa DSN No.01/DSN-MUI/IV/2000. Pada fatwa ini, giro yang berdasarkan Wadhi’ah ditentukan bahwa:

1. Dana yang disimpan pada bank adalah bersifat titipan

2. Titipan (dana) ini bias diambil kapan saja (on call)

3. Tidak ada imbalan yang disyaratkan kecuali dalam bentuk pemberian yang bersifat sukarela dari pihak bank

(5)

Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2008 tentang Kompilasi Hukum

Ekonomi Syariah

Lahirnya Undang-Undang Nomor 3 tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama telah membawa beberapa perubahan yang signifikan terhadap kedudukan dan eksistensi peradilan agama di Indonesia. Kewenangan absolut dari peradilan agama mengalami perluasan, yakni pengadilan agama berwenang menangani permasalahan ekonomi syariah yang meliputi perbankan syariah, lembaga keuangan mikro syariah, asuransi syariah, reasuransi syariah, reksadana syariah, dan beberapa masalah ekonomi Islam lainnya. Perkembangan ini menuntut Mahkamah Agung mengeluarkan peraturan yang terkait dengan permasalahan ekonomi Islam. Pada tanggal 10 September 2008 Mahkamah Agung mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2008 tentang Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah. PERMA ini adalah sarana memperlancar dalam pemeriksaan dan penyelesasian sengketa ekonomi syariah sekaligus pedoman bagi hakim mengenai hukum ekonomi berdasarkan prinsip Islam, sebagaimana terdapat di dalam konsiderannya.Penyusunan KOHES ini tidak bisa terlepas dari sejumlah rujukan baik dari beberapa kitab fiqh, fatwa-fatwa DSN MUI, dan peraturan BI tentang Perbankan Syariah.

Dasar Hukum

Islam (Rujukan)

Al-baqarah ayat 275

275. Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang kembali (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.

Ar-Rum ayat 39

Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang melipat gandakan (pahalanya).

HUKUM PERBANKAN SYARIAH DI

INDONESIA

Oleh ABDUL RASYID (Juni 2015)

(6)

dan motivasi umat Islam di Indonesia, sebagai umat mayoritas, untuk melakukan hal yang

serupa. Sebenarnya, keinginan untuk mendirikan bank berdasarkan prinsip syariah di Indonesia

sudah ada sejak tahun 70-an, namun karenakebijakan pemerintah dan regulasi yang tidak

mendukung pada saat itu, keinginan tersebut sulit terealisasikan. Keinginan tersebut baru bisa

terwujud dengan didirikannya Bank Muamalat Indonesia (BMI) pada tahun 1991 yang

diprakasai oleh Majelis Ulama Indonesia dan Pemerintah. Bank ini mulai efektif beroperasi pada

tahun 1992.

Beroperasinya BMI berdasarkan UU No. 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan. UU ini lalu

diamandemen dengan UU No. 10 Tahun 1998. Pada tahun 2008, UU No. 21 Tahun 2008 tentang

Perbankan Syariah diberlakukan. UU No. 21 ini adalah UU khusus yang mengatur perbankan

Syariah. Tulisan ini akan menjelaskan secara singkat periodisasi perkembangan UU yang

mengatur perbankan syariah di Indonesia berdasarkan kepada UU yang telah disebutkan di atas.

UU No. 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan

Sebagaimana yang telah dijelaskan di atas bahwa BMI adalah bank pertama di Indonesia yang

beroperasi berdasarkan pada prinsip syariah. Dasar hukum berdirinya BMI adalah UU No. 7

Tahun 1992 tentang Perbankan. Secara substansi, UU ini merupakan peraturan perbankan

nasional yang muatannya lebih banyak mengatur bank konvesional dibandingkan bank syariah.

Tidak banyak pasal yang mengatur tentang bank syariah dalam UU ini. Kata ‘bank syariah’ juga

tidak disebutkan secara eksplisit. UU ini hanya menyatakan bahwa bank boleh beroperasi

berdasarkan prinsip pembagian hasil keuntungan atau prinsip bagi hasil (

profit sharing

) (lihat

Pasal 1 butir 12 & Pasal 6 huruf m). Tidak disebutkannya kata ‘syariah’ atau ‘Islam’ secara

eksplisit dalam UU ini disebabkan, menurut Sutan Remy Sjahdeini, masih tidak kondusifnya

situasi politik pada saat itu. Pemerintah masih ‘alergi’ dengan penggunaan kata ‘syariah’ atau

‘Islam’.

Meskipun UU No. 7 Tahun 1992 mengizinkan bank beroperasi berdasarkan prinsip bagi hasil,

tidak ada petunjuk lebih lanjut bagaimana bank tersebut mesti dijalankan. Oleh karena itu, untuk

memberikan pemahaman dan petunjuk yang jelas, maka pemerintah mengeluarkan Peraturan

Pemerintah (PP) No. 72 Tahun 1992 tentang Bank Berdasarkan Prinsip Bagi Hasil. Menurut

Pasal 1 butir 1 PP No. 72, yang dimaksud dengan bank berdasarkan prinsip bagi hasil adalah

Bank Umum atau Bank Prekreditan Rakyat yang melakukan kegiatan usaha semata-mata

berdasarkan prinsip bagi hasil. Adapun yang dimaksud dengan prinsip bagi hasil sebagaimana

yang dimaksud Pasal 1 ayat (1) adalah prinsip bagi hasil yang berdasarkan Syari’at.

Berdasarkan pasal-pasal ini dapat dipahami bahwa ungkapan

bank bagi hasil

secara prinsip

merupakan terminologi yang digunakan untuk bank Islam atau bank Syariah. Artinya yang

dimaksud dengan prinsip bagi hasil adalah prinsip muamalah yang berdasarkan pada syariah.

Kata syariah secara jelas merujuk pada hukum Islam. Maka, prinsip dasar bank syariah dalam

menjalankan aktivitasnya adalah hukum Islam atau syariah.

(7)

prinsip bagi hasil. (lihat Pasal 6). Kemudian, untuk memastikan aktivitas bank bagi hasil tidak

bertentangan dengan prinsip syariah, maka PP No. 72 juga mengatur bahwa bank bagi hasil

harus mendirikan Badan Pengawas Syariah (BPS). Fungsi utama BPS ini adalah untuk

mengawasi dan memastikan bahwa produk-produk yang ditawarkan oleh bank ini betul-betul

sesuai dengan prinsip syariah. Adapun secara struktural, posisi BPS di dalam bank bersifat

independen, terpisah dari menajemen bank dan tidak mempunyai peran dalam operasional bank.

BPS dalam menjalankan aktivitasnya selalu berkonsultasi dengan Majelis Ulama Indonesia.

Dari penjelasan di atas, dapat dicatat bahwa sejak diberlakukanya UU No. 7 Tahun 1992 tentang

Perbankan dan Peraturan Pemerintahnya, maka bank syariah di Indonesia telah menjadi

kenyataan. Hal ini dianggap sebagai

front gate

beroperasinya bank syariah di Indonesia. Namun,

peraturan-peraturan tersebut masih dianggap belum memadai untuk mendorong perkembangan

bank syariah, karena sekedar mengatur bank yang beroperasi berdasarkan prinsip bagi hasil,

namun tidak secara definitif dan komprehensif mengatur akitifitas bank berdasarkan prinsip

syariah.

UU No. 10 Tahun 1998

Pada tahun 1998, UU Perbankan (UU No. 7 Tahun 1992) diamandemen dengan UU No. 10 Tahun 1998. Berbeda dengan UU No. 7 Tahun 1992 yang tidak mengatur secara pasti perbankan syariah, ketentuan-ketentuan mengenai perbankan syariah dalam UU No. 10 Tahun 1998 lebih lengkap (exhaustive) dan sangat membantu perkembangan perbankan syariah di Indonesia. UU No. 10 Tahun 1998 secara tegas menggunakan kata bank syariah dan mengatur secara jelas bahwa bank, baik bank umum dan BPR, dapat beroperasi dan melakukan pembiayaan berdasarkan pada prinsip syariah. (lihat Pasal 1 butir 12, Pasal 7 huruf c, Pasal 8 ayat (1 & 2), Pasal 11 ayat (1) & (4a), Pasal 13, Pasal 29 ayat (3) dan Pasal 37 ayat (1) huruf c).

Adapun yang dimaksud dengan prinsip syariah, menurut Pasal 1 butir 13, adalah aturan perjanjian berdasarkan hukum Islam antara bank dan pihak lain untuk penyimpanan dana dan atau pembiyaan kegiatan usaha, atau kegiatan lainnya yang dinyatakan sesuai dengan syariah, antara lain pembiayaan berdasarkan prinsip bagi hasil (mudharabah), pembiayaan berdasarkan prinsip pernyertaan modal (musharakah), prinsip jual beli barang dengan memperoleh keuntungan (murabah), atau pembiayaan barang modal berdasarkan prinsip sewa murni tanpa pilihan (ijarah), atau dengan adanya pilihan pemindahan kepemilikan atas barang yang disewa dari pihak bank oleh pihak lain (ijarah wa iqtina). Ketentuan di atas menunjukkan perluasanan eksistensi bank syariah dalam melaksanakan kegiatannya, di mana dalam UU sebelumnya hal tersebut tidak diatur secara jelas.

Selanjutnya, UU No. 10 Tahun 1998 ini juga membolehkan bank konvensional untuk menjalankan aktifitasnya berdasarkan prinsip syariah sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan Bank Indonesia.(Pasal 6 huruf m). Dalam hal ini, bank konvensional yang hendak menjalankan kegiatan syariah harus mendirikan kantor cabang atau sub kantor cabang. Adapun untuk BPR tetap tidak dibolehkan untuk menjalankan aktifitas secara konvensional dan syariah secara bersamaan. Perbedaan lainnya adalah diberikannya wewenang kepada Bank Indonesia untuk mengawasi dan mengeluarkan peraturan mengenai bank syariah. Sebelumnya kewenangan tersebut diberikan kepada kementrian keuangan. Sejarah mencatat, bagaimana Bank Indonesia sangat aktif dalam mengembangan perbankan syariah. Banyak Peraturan Bank Indonesia yang telah dikeluarkan demi menunjang kelancaran operasional bank syariah.

UU N. 21 Tahun 2008

Berdasarkan UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas UU No. 7 Tahun 1992 tentang

Perbankan dan berbagai peraturan yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia, dasar hukum

perbankan syariah di Indonesia semakin kuat dan jumlah bank syariah semakin meningkat secara

signifikan. Akan tetapi, beberapa praktisi dan pakar perbankan syariah berpendapat bahwa

peraturan yang ada masih tidak cukup untuk mendukung operasional perbankan syariah di

Indonesia. Sebagai contoh, bank syariah beroperasi hanya berdasarkan pada fatwa Dewan

Syariah Nasional yang kemudian diadopsi Bank Indonesia dalam bentuk Peraturan Bank

Indonesia. Peraturan Bank Indonesia yang tersebar dalam berbagai bentuk kadangkala

(8)

yang mengatur bisnis perbankan syariah secara konfrehensif merupakan suatu kebutuhan yang

sangat mendesak untuk diwujudkan.

Pada tahun 2008, Dewan Perwakilan Rakyat dengan dukungan pemerintah, mengesahkan UU

No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. UU ini terdiri dari 70 pasal dan dibagi menjadi

13 bab. Secara umum struktur Hukum Perbankan Syariah ini sama dengan Hukum Perbankan

Nasional. Aspek baru yang diatur dalam UU ini adalah terkait dengan tata kelola (

corporate

governance

), prinsip kehati-hatian (

prudential principles

), menajemen resiko (

risk menagement

),

penyelesaian sengketa, otoritas fatwa dan komite perbankan syariah serta pembinaan dan

pengawasan perbankan syariah. Bank Indonesia tetap mempunyai peran dalam mengawasi dan

mengatur perbankan syariah di Indonesia, namun saat ini pengaturan dan pengawasan

perbankan, termasuk perbankan syariah di bawah Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sesuai dengan

amanah UU No. 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan. Dengan adanya UU khusus

yang mengatur perbankan Syariah serta instrumen hukum lainnya , diharapkan eksistensi

perbankan syariah semakin kokoh, para investor semakin tertarik untuk melakukan bisnis di

bank syariah sehingga perbankan syariah di Indonesia semakin lebih baik lagi.

Wallahu’alam.

Referensi

Dokumen terkait

Predictors: (Constant), Personalitas, Gender, Lingkungan Kerja, Penghargaan Financial, Nilai-Nilai Sosial, Pertimbangan Pasar, Pelatihan Profesional, Pengakuan Profesional.

Penyusunan RPPS dan RPF diwajibkan untuk semua program studi S2, S1, DIII dan DIV serta fakultas untuk periode 4 tahun, dari tahun ajaran 2010/2011 – 2013/2014 berdasar Hasil

Asam humat berstruktur amorf, setelah proses adsorpsi ion Au(III) muncul puncak karakteristik dari logam emas di daerah 2 q 38, 44, dan 64 pada difraktogram sinar X menunjukkan

Adalah bagian yang bertanggung jawab mencatat persediaan barang dagang sesuai faktur seperti nama barang, kode barang, harga barang, dan jumlah barang1. Dokumen yang digunakan

Namun, kedua pita serapan yang dimiliki senyawa dengan kode noda 6 ini menunjukkan pergeseran hipsokrom yang tidak lazim untuk senyawa flavonoid.. Selain itu, harga

Judul : Perbandingan Kepercayaan Diri dan Motivasi Berprestasi Mahasiswa yang Berlatar Belakang orang tua PNS dan non PNS pada Jurusan Pendidikan Fisika Fakultas

Eztabaida politikoan gogorra, oso gogorra izan daiteke —hala entzun diet Herri Gaztedin, LAIAn, Herri Batasunan, Eusko Alkartasunan nahiz Bildun ezagutu dutenei—,

Status kesehatan ibu hamil akan menunjukkan baik buruknya kondisi ibu dan juga terhadap perkembangan janin yang sedang dikandung, bagi ibu sendiri kesehatan yang