BAB II
ASAS-ASAS HUKUM PERJANJIAN TERIMPLEMENTASI DALAM PERJANJIAN LEASING INDONESIA
A. Implementasi Asas Hukum Perjanjian dalam Perjanjian Leasing. 1. Leasing sebagai suatu Perikatan
Perikatan berasal dari bahasa Belanda " verbintenis" atau bahasa Inggris
"binding", yang dalam Bahasa Indonesia selain diterjemahkan sebagai 'perikatan',
juga ada yang menterjemahkan sebagai 'perutangan49. Sedangkan menurut Subekti, mendefenisikan bahwa suatu perikatan adalah suatu hubungan hukum antara dua
pihak berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut suatu hal dari pihak yang
lain, dan pihak yang lain itu berkgwajiban untuk memenuhi tuntutan tersebut50. Menurut pasal 1233 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, tiap-tiap perikatan itu
dilahirkan dari:
a. Perjanjian,
b. Undang-Undang.
Kata " Undang-undang" disini mempunyai arti baik secara formil maupun
secara materil meskipun sesungguhnya kata Undang-undang itu terjemahan dari
bahasa Belanda:wet namun dapat diartikan baik menurut peraturan (hukum) tertulis
maupun tidak tertulis.
Dari uraian tersebut jelas bahwa suatu perikatan adalah hubungan hukum
yang terjadi, baik karena perjanjian maupun karena hukum tertulis dan atau hukum
49Ny. Sri Soedewi masjhoen Sofran,
"Pengantar Hukum Perdata Internasioanal Indonesia, BinaCipta, 1987, Hal 23
tidak tertulis. Disebut sebagai "perikatan" karena hubungan hukum ini sifatnya
mengikat segala kewajiban yang muncul dari adanya perikatan itu. Serta dapat
dipaksakan secara hukum. Jadi suatu perjanjian yang tidak mengikat atau tidak dapat
dipaksakan adalah bukan perikatan.
Dalam perikatan minimal ada dua pihak, pihak kesatu sebagai pihak yang
berkewajiban sebagai pihak yang berhak. Konsekwensinya, bila suatu prestasi Dalam
perikatan tidak dilaksanakan oleh yang berkewajiban atau sebaliknya, maka secara
hukum pihak yang dirugikan dapat menuntut pemenuhan janji itu secara paksa atau
menuntut ganti rugi.51
Dengan perkataan lain, hubungan hukum telah menimbulkan akibat hukum
yaitu hak(right)dan kewajiban(duty/obligation)karena persetujuan atau kesepakatan
para pihak dan atau karena undang-undang atau hukum tidak tertulis (hukum adat)
yang menentukan demikian tanpa perlu ada persetujuan atau kesepakatan para pihak
terlebih dahulu. Perikatan lahir dari hukum tergolong Dalam dua klasiflkasi yaitu :
perikatan karena hukum saja dan perikatan karena hukum sehubungan dengan
perbuatan melawan hukum diatur Dalam pasal 1365 KUH Perdata, sedangkan
perikatan sehubungan dengan perbuatan orang yang tidak melawan hukum, misalnya
melakukan pembayaran yang tidak diwajibkan diatur Dalam pasal 1359 KUH
Perdata. Dari berbagai pembahasan diatas jelaslah bahwa leasing sebagai suatu
perikatan adalah perikatan yang lahir dari suatu perjanjian, bukan karena hukum.
Dengan demikian kesepakatan para pihak lessee dan lessor adalah syarat utama
sahnya perikatan Dalam perjanjian leasing. Leasing tidak termasuk perikatan yang
lahir atau berdasarkan hukum karena perbuatan orang yang tidak melawan hukum,
karena dalam perikatan jenis ini tidak disaratkan adanya suatu kesepakatan terlebih
dahulu. Hal ini tampak dari diktum pembukaan pada pasal 2 Perjanjian Sewa Guna
Usaha yang secara tegas menyatakan lease agreement adalah suatu "perjanjian" atas
dasar kesepakatan. Adapun isi kesepakatannya adalah pengadaan barang modal yang
pembiayaannya langsung disediakan oleh perusahaan sewa guna usaha (lessor) dan
sebagai kontra prestasi dari lessee adalah sejumlah uang yang harus dibayar kepada
lessorselama jangka waktu tertentu sesuai dengan kesepakatan yang dibuat
bersama-sama.52
Memahami isi perjanjian sewa guna usaha (lease agreement) tersebut dapat
disimpulkan bahwa prestasi (kontra prestasi) dalam perjanjian leasing adalah suatu
kewajiban dan syarat dalam(promissory condition).Dikatakan demikian karena salah
satu pihak, dalam hal ini lessor, terlebih dahulu wajib menyetujui memberikan
fasilitas kepadalessee(prestasi) Karena masing-masing pihak mempunyai kewajiban,
maka perjanjianleasing dapat juga disebut "perjanjian bilateral". Dalam Black's Law
Dictionary perjanjian bilateral diartikan sebagai: "Bilateral (or resiprocal) contracts
are those by which the parties expressly enter into mutual engangements, such as sale
of hire" (perjanjian bilateral, atau timbal balik adalah perjanjian yang para pihaknya
masing-masing berjanji, seperti misalnya dalam jual beli dan sewa). Hal ini
membedakan dari perjanjian yang unilateral dimana salah satu pihak saja yang
melakukan prestasi tanpa menerima balasan janji atau berjanji untuk melakukan
kontra prestasi dari lawannya.53
Pasal 1314 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata membagi perjanjian dalam
dua macam, yaitu: perjanjian cuma-cuma ialah perjanjian dengan mana pihak yang
satu memberikan suatu keuntungan kepada pihak lainnya tanpa menerima suatu
manfaat bagi dirinya sendiri, sedangkan perjanjian atas beban ialah suatu perjanjian
yang mewajibkan masing-masing pihak memberikan sesuatu, berbuat sesuatu atau
tidak berbuat sesuatu. Dari konstruksi pasal 1314 Kitab Undang-undang Hukum
Perdata ini, jelasleasingtermasuk "perjanjian atas beban", karena inti dari perjanjian
atas beban ini tidak lain adalah beban untuk melakukan sesuatu prestasi yang haras
dibalas dengan suatu kontra prestasi. Dengan demikian sama dengan perjanjian
bilateral sebagaimana dikemukakan sebelumnya.
Sebaliknya, dari segi hubungan antara prestasi para pihak,Vollmar
mengkualifisir perjanjian sebagai perjanjian timbal balik dan perjanjian atas beban.
Pada perjanjian timbal balik prestasi dan kontra prestasi para pihak tidak terdapat
hubungan karena kedua prestasi para pihak tersebut adalah merupakan prestasi
pokok. Selanjutnya Vollmar mencontohkan perjanjian timbal balik ini misalnya jual
beli dan atau sewa menyewa.54 Sedangkan dalam syarat potestatif perjanjian atas beban antara prestasi dengan kontra prestasinya ada hubungan, yang dalam hal ini
53
Pasal 5 perjanjian Sewa Guna Usaha ,menyiratkan kewajiban dan syarat bagi penguasaan obyek sewa guna usaha(lease agreement)
kontra prestasinya merupakan suatu syarat potestatif yaitu suatu syarat
pemenuhannya sama sekali tidak terletak dalam kekuasaan salah satu pihak yaitu
kreditur, karena bila syarat itu tergantung pada orang yang terikat debitur, maka
perikatan itu adalah batal (Pasal 1265 KUH Perdata) . Dari sudut pandang Volhnar
ini, leasing tergolong dalam "perjanjian timbal balik", karena merupakan perjanjian
atas beban bilateral. Dalam Black's Law Dictionary ini disebut dengan reciprocal
yaitu suatu perjanjian yang prestasi maupun kontra prestasinya merupakan kewajiban
atau prestasi pokok. Jadi antara keduanya tidak ada hubungan sebagaimana yang
terdapat Dalam perjaajian atas beban unilateral.
Pasal 1266 Kitab Undang-undang Hukum Perdata menyatakan bahwa "syarat
batalnya suatu perjanjian dianggap selalu dicantumkan dalam perjanjian, manakala
salah satu pihak tidak dapat memenuhi kewajibannya". Dari konstruksi pasal ini, bila
salah satu pihak tidak memenuhi prestasinya, maka perjanjian itu dapat dimintakan
pembatalan. Terdapatnya kewajiban para pihak secara timbal balik dalam perjanjian
leasing, dapat dimaknai sebagai berikut: "manakala salah satu pihak tidak memenuhi
kewajibannya", karena hanya pihak yang mempunyai kewajiban saja yang dapat
dikatakan tidak memenuhi kewajiban,
2. Asas kebebasan Berkontrak Dalam Perjanjian Leasing
Pasal 1320 Kitab Undang-undang Hukum Perdata menyatakan bahwa kepada
lessorselama jangka waktu tertentu sesuai dengan kesepakatan yang dibuat
Memahami isi perjanjian sewa guna usaha (lease agreement) tersebut dapat
disimpulkan bahwa prestasi (kontra prestasi) dalam perjanjian leasing adalah suatu
kewajiban dan syarat {promissory condition). Dikatakan demikian karena salah satu
pihak, dalam hal ini lessor, terlebih dahulu wajib menyetujui memberikan fasilitas
kepada lessee (prestasi), dengan sejumlah syarat tertentu yang pada akhirnya
merupakan suatu kewajiban maka perjanjian leasing dapat juga disebut perjanjian
bilateral". Dalam Black's Law Dicitonary perjanjian bilateral diartikan sebagai :
Bilateral (or resiprocal) contracts are those by -which the parties expressly enter into
mutual engangements, such as sale of hire (perjanjian bilateral, atau timbal balik
adalah perjanjian yang para pihaknya masing-masing berjanji, seperti misalnya dalam
jual beli dan sewa). Hal ini membedakan arti perjanjian yangunilateral dimana salah
satu pihak saja yang melakukan prestasi tanpa menerima balasan janji atau berjanji
untuk melakukan kontra prestasi dari lawannya.
Para pihak untuk melakukan perbuatan hukum, Pasal 1330 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata menegaskan bahwa orang-orang yang tidak cakap untuk
membuat perjanjian adalah:
a. Orang-orang yang belum dewasa;
b. Mereka yang ditaruh dibawah pengampuan;
c. Orang perempuan, dalam hal-hal yang ditetapkan oleh Undang-undang telah
dilarang membuat perjanjian-perjanjian tertentu.
Sedangkan subyek hukum yang cakap untuk membuat perjanjian-perjanjian,
a. Orang-orang pribadi
b. Badan Hukum(legal entity)55
Pasal 1654 Kitab Undang-undang Hukum Perdata adalah dasar hukum yang
menyatakan badan apa saja yang dapat melakukan perbuatan hukum atau menjadi
pihak/subyek dalam suatu hubungan hukum. Ketentuan ini menegaskan bahwa
"semua perkumpulan yang sah, berkuasa melakukan tindakan-tindakan perdata"
selanjutnya tidak ada penjelasan dalam kitab Undang-undang hukum perdata tentang
apa yang merupakan badan yang sah itu, tetapi mengkualifisir perkumpulan atau
badan yang sah itu dalam dua golongan yaitu:
a. Perseroan sejati (badan usaha);
b. Perhimpunan orang (badan/organisasi sosial) atau perkumpulan dalam arti
sempit.
Keberadaan perkumpulan-perkumpulan ini harus diakui oleh kekuasaan
umum dan dibolehkan atau didirikan untuk suatu maksud tertentu yang tidak
bertentangan dengan undang-undang/kesusilaan (Pasal 1653 KUH Perdata).
Dihadapkan dengan leasing, maka Surat Keputusan Menteri Keuangan R.I.
No. Kep-448/KMK.017/2000 tentang perizinan usaha leasing menetapkan bahwa
usaha leasing hanya dapat dilakukan oleh lembaga keuangan dan badan usaha baik
yang untuk perusahaan nasional maupun perusahaan campuran, yang sebelumnya
harus mendapat izin usaha dari Menteri Keuangan didirikan berdasarkan hukum
Indonesia khusus untuk usaha sebagai agen tunggal harus mendapat Izin Departemen
Perdagangan dan atau Departemen Perindustrian (Pasal 2 ayat 1 dan 2; pasal 4 ayat
2). Sedangkan pihak lainnya (lessee) adalah orang-orang tertentu yang bertindak
untuk dan atas nama badan usaha yang dipimpinnya, yang tentu pula didirikan atas
hukum Indonesia. Oleh sebab itu pada pembukaan perjanjian sewa guna usaha pada
PT ASSA telah disebutkan siapa saja yang menjadi subyek perjanjian yaitu,
perusahaan sebagai pihaklesseedan orang- perorangan sebagai pihaklessor.
Kemudian tentang syarat-syarat "hal yang tertentu" atau "sebab yang halal"
disini diartikan bahwa dalam suatu perjanjian harus mempunyai pokok (obyek)
sesuatu barang, jumlahnya dapat ditentukan pada waktu dibuatnya perjanjian (Pasal
1333 KUH Perdata). Bila dilihat dari bahasa belanda, maka terjemahan kata "Barang"
dalam pasal 1333 tersebut berasal dari kata "zaak" , yang menurut kamus Umum
Indonesia:
1) Benda (barang);
2) Usaha (Perusahaan);
3) Sengketa (perkara);
4) Pokok persoalan;
5) Sesuatu yang diharuskan56;
Sedangkan perihal "sebab yang halal" dijelaskan sebagai sebab yang tidak
terlarang atau tidak bertentangan dengan undang-undang, sebab yang sesuai dengan
kesusilaan, sebab yang sesuai dengan ketertiban umum (Pasal 1337 KUH Perdata).
Dengan demikian, maka sebab yang bertentangan dengan undang-undang akan
menyebabkan perjanjian menjadi batal, bila ternyata perjanjian itu menimbulkan
akibat yang bertentangan dengan undang-undang atau membahayakan kepentingan
umum(publik interest).
Hal tertentu dalam perjanjian leasing lebih tepat kita sebut sebagai pokok
persoalan, hal mana antara lainnya dapat kita temukan dalam pasal 2, pasal 5 dan
pasal 6 perjanjian sewa guna usaha (lease agreement). Sedangkan perihal "sebab
yang halal" dapat disimpulkan dari amar menimbang S.K. bersama tiga Menteri yang
mengatur tentang perizinan usahaleasing,yang antara lain dikemukakan:
a. Bahwa leasing merupakan suatu bentuk usaha di bidang pembiayaan yang
dianggap penting peranannya dalam peningkatan pembangunan perekonomian
Nasional;
b. Bahwa usaha leasing termaksud memerlukan pengaturan dan pengawasan
untuk dapat mengarahkan perkembangannya sesuai dengan pola umum
kebijaksanaan pemerintah di bidang pembangunan.
Dari ketentuan pasal 2, pasal 5 dan pasal 6 perjanjian sewa guna usaha
tersebut diatas diketahui bahwa "hal tertentu" dalam perjanjian leasing adalah
pengadaan barang modal oleh lessor yang kemudian diserahkan kepada lessee
sebagai angsuran. Sedangkan "sebab yang halal" tidak lain daripada upaya
pembangunan perekonomian nasional. Dengan demikian, leasing dari segi syarat
obyektif memenuhi kriteria atau syarat sahnya perjanjian.
Memenuhi syarat sahnya suatu perjanjian baik syarat subyektif maupun syarat
obyektif berarti pula suatu perjanjian yang telah dibuat berlaku sebagai
undang-undang bagi pihak-pihak yang telah membuatnya. Dengan kata lain, memenuhi unsur
tertentu pasal 1338 KUH Perdata yang mengandung asas kebebasan berkontrak.
Adapun yang dimaksud syarat subyektif disini ialah para pihak dalam perjanjian
leasing sekurang-kurangnya ada dua pihak yaitu lessor yang melakukan kegiatan
pembiayaan dalam bentuk menyediakan barang modal, dan pihak lessee yang
menggunakan barang modai dengan pembayaran harga sewa guna secara berkala
sebagai imbalannya.57
Di negara-negara common law system asas kebebasan berkontrak atau
freedom of contract dikenal dengan istilah Laissez Fairs yang pengertiannya secara
garis besar adalah sebagai berikut: “...men of full age and understanding shall have
the utmost liberty of contracting and that contracts which are freely and voluntary
entered into shall be held sacred and enforced by the courts...you are notlightly to
interfere with this freedom of contract”(setiap orang dewasa yang waras mempunyai
hak kebebasan berkontrak sepenuhnya dan kontrak-kontrak yang dibuat secara bebas
dan atas kemauan sendiri dianggap mulia dan harus dilaksanakan oleh pengadilan dan
kebebasan berkontrak ini tidak boleh dicampuri).58
57Abdulkadir Muhammad,
perjanjian Buku Dalam Praktek Perusdhaan Perdagangan, Citra Adytia Bakti, Bandung, 1992 Halaman 145
Berdasarkan praktek di negara-negara common law system, indikasi dari
ketiadaan asas kebebasan berkontrak dalam suatu perjanjian dapat dilihat pada ada
tidaknya menyebutkan jangka waktu tertentu untuk pokok permasalahan (obyek)
yang diperjanjiakan dan atau disebut tidaknya besar/ jenis prestasi/kontra prestasi dari
pihak-pihak dalam perjanjian. Kedua hal ini dipandang penting karena jika tidak
secara tegas disebutkan jangka waktu dan besar / jenis prestasi (kontra prestasi)
dalam suatu perjanjian, dianggap bertentangan dengan asas kebebasan berkontrak
karena membatasi usaha/perdagangan tanpa batas waktu serta besar jenis prestasinya.
Kriteria tersebut diatas bila dihadapkan dengan perjanjian leasing kedua hal
yang dipersoalkan ini sekiranya telah terakomodir dalam perjanjian sewa guna usaha
(lease agreement). Masa sewa guna usaha dalam perjanjian biasanya dihitung sejak
ditanda tanganinya perjanjian dan berakhir pada waktu lessee menyelesaikan secara
tuntas seluruh kewajibannya kepadalessorsesuai dengan perjanjian yang dibuat.pada
Pasal 13. Dalam Pasai 3 S.K. Menteri Keuangan Nomor 1169/ KMK.01/ 1991
dinyatakan kegiatan sewa guna(leasing)digolongkan sebagai sewa guna dengan hak
opsi apabila memenuhi kriteria sebagai berikut:
a. Jumlah pembayaran sewa guna selama masa sewa guna pertama di tambah
dengan nilai sisa barang modal harus dapat menutup harga perolehan barang
modal dan keuntungan yang menyewa gunakan;
b. Masa sewa guna ditetapkan sekurang-kurangnya dua tahun untuk barang
modal golongan satu, tiga tahun untuk barang golongan dua dan tiga, dan
c. Perjanjian sewa guna usaha memuat ketentuan mengenai opsi bagi penyewa
gunaan.
Adapun mengenai penggolongan barang modal yang disewa-guna usaha
diatur dalam pasal 5 Keputusan menteri Keuangan Nomor 1169/ KMK. 01/1991
tentang kegiatan Sewa Guna Usaha (Leasing) dengan berlandasakan pada pasal 11
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 Tentang pajak penghasiian.
Perihal prestasi dan kontra prestasi pun jelas dalam perjanjian leasing, yaitu
lessor memberi prestasi berupa barang modal kepada lessee dan sebaliknya lessee
memberi kontra prestasi fcepada lessor berupa pembayaran secara berkala selama
jangka waktu yang telah disepakati bersama.
Hal menarik dalam perjanjian leasing (perjanjian sewa guna usaha /lease
agreement) adalah kedudukan lessee yang boleh dikatakan cukup lemah jika
dibandingkan dengan lessor. Pasal 18 tentang simpanan jaminan, pasal 10 tentang
asuransi atas barang modal, dan pasal 12 tentang pernyataan-pernyataan dan
janji-janji dalam perjanji-janjian sewa guna usaha, merupakan bukti bahwa kedudukan lessee
sebagai pihak yang membutuhkan barang modal, ditempatkan pada posisi yang
sangat tidak menguntungkan. Pasal 18 menentukan bahwa lessee wajib membayar
sejumlah uang simpanan kepada lessorpada permulaan masa sewa untuk menjamin
kelancaran pembayaranleasedan hak untuk menggunakan uang jaminan itu ada pada
lessorbaik untuk pembayaran yang menurut pertimbangan lessorwajib dibayar oleh
Pasal 10 menentukan bahwa lessee sebagai pemakai barang modal wajib
mengasuransikan obyeklease atas biaya sendiri, tetapi dalam polis asuransi tersebut
harus ditegaskan antara lain bahwa:
a. Secara eksplisit menetapkan bahwa obyekleaseadalah miliklessor;
b. Polis dikeluarkan atas tanggunganlessordanlessee;
c. Melepaskan setiap hak atas ganti rugi perusahaan asuransi terhadap lessor,
sekalipun kerusakan diakibatkan oleh cacat konstruksi atauforce majeureatau
disebabkan oleh mala petaka;
d. Menetapkan bahwa bagi hak lessor untuk menggantikan dirinya terhadap
lesseebagi pembayaran premi selamalessormenganggap perlu.
Kemudian dalam pasal 5 ditegaskan bahwa pemeliharaan obyek lease,
pemberian label pada obyek lease sebagai milik lessor, larangan melakukan
perubahan pada obyek lease, larangan menjual /menggadaikan atau menawarkan
kredit obyek lease, larangan mempercayakan obyek lease kepada pihak ketiga
memberikan laporan kepadalessorjika terjadi sesuatu kejadian atau kelalaian,lessee
harus melakukan usahanya dengan wajar dan lain-lain59 mengindikasikan betapa lemahnya kedudukan lesseesebagaimana telah dikemukakan diatas. Hal ini terkesan
terpaksa harus diterima oleh lessee karena sangat membutuhkan barang modal Dan
kondisi inilah yang dimanfaatkan olehlessoruntuk mengikatlesseedengan ketentuan
dan kewajiban yang mau tidak mau menguntungkan pada posisilessor.
Dari perspektif “Unjust Enrichment Doctrine" dalam common law system
(suatu prinsip umum bahwa seseorang tidak boleh memperkaya diri sendiri secara
tidak adil dari biaya pihak lain). Padaleasingposisilesseetersebut khususnya dengan
kewajiban membayar semua beban yang timbul dalam perjanjian yang seyogyanya
ditanggung bersama lessor dapat dikualifikasikan sebagai upaya lessor untuk
memperkaya diri sendiri secara tidak adil.
Kriteria yang diajukan untuk rnenentukan apakah seseorang telah memperkaya diri
sendiri menurut doktrin ini adalah:
a. Ada sesuatu manfaat atau keuntungan yang diperbuat salah satu pihak kepada
pihak lain;
b. Manfaat atau keuntungan ini berharga atau dimengerti oleh pihak lain;
c. Pihak lain menahan manfaat itu adalah merupakan hal yang tidak patut bila
tidak disertai dengan pembayaran.
3. Asas Kepribadian(Privity of contract)dalam Perjanjian Leasing
Asas kepribadian dalam suatu perjanjian berintikan pada ruang lingkup
berlakunya perjanjian yang hanya terbatas pada pihak dalam perjanjian itu saja.
Pengecualian terhadap asas ini terdapat dalam pasal 1317 KUH Perdata yang
memperbolehkan untuk meminta ditetapkannya suatu janji guna kepentingan
seseorang (pihak ketiga). Ketentuan untuk meminta ditetapkannya suatu janji guna
kepentingan pihak ketiga tidak dapat ditarik kembali bila pihak ketiga itu telah
Satu-satunya ketentuan dalam perjanjian sewa guna usaha (lease agreement)
yang menyebut-nyebut janji terhadap pihak ketiga termuat dalam pasal 10 ayat (1):
"...pelanggan bersedia menanggung seluruh biaya/ kerugian yang timbul..". Lessee
sebagai pemakai bertanggung jawab untuk lessor". Lessee sebagai pemakai
bertanggung jawab untuk mengasuransikan kendaraan/ peralatan atas biaya sendiri.
Sedangkanlessor sebagai pemilik bertanggungjawab untuk hal-hal cacat pada orang
atau badan yang disebabkan oleh kendaraan/ peralatan terhadap pegawai-pegawai
dari lesseeatau dari pihak ketiga. Dengan demikian pihak ketiga yang dimaksudkan
disini adalah pihak perusahaan(asuransi dalam kaitannya dengan polis asuransi antara
lessee dan pihak ketiga lainnya, karena hal-hal atau kerugian-kerugian yang
disebabkan oleh kendaraan/ peralatan dalam hubungannnya dengan lessor,
pertanggung jawaban lessor terhadap pihak ketiga lainnya, sebagaimana tersebut
diatas adalah karena kepatutan atau kepantasan. Kepatutan oleh banyak ahli hukum
menduduki tata urutan terakhir setelah undang-undang dan kebiasaan60. Wirjono61 . Namun, demikian kepatutan adalah hal yang sangat penting dan dibutuhkan sebelum
pelaksanaan perjanjian itu, hal ini untuk menghindari ketidakpatutan dan ketidak
adilan dalam perjanjian. Sedangkan suatu peijanjian yang tidak patut atau tidak adil
dapat dipahami dari adanya hubungan atau keadaan yang tidak seimbang.
Ruang Hngkup berlakunya perjanjian dalam sewa guna usaha adalah
terdapatnya kondisi "Unconscionability" atau keadaan yang berat sebelah. Kondisi
tersebut dalam perjanjian sewa guna usaha dapat dilihat dari perlakuan pihak yang
60Volmar
Op.CitHal. 168
61Wiryono Prodjokodikoro, Azas-azasHukum-Hukum Perjanjian,Cet. ke 2,Penerbit PT
mempunyai kedudukan yang kuat dalam usahanya memaksakan atau memanfaatkan
transaksinya terhadap pihak lain yang lemah kedudukannya. Fullagar J. menjelaskan
kedudukan yang lemah atau orang lemah (under a special disability) dapat
disebabkan oleh kemiskinan, sedang membutuhkan, sakit, usia, ketidak stabilan
jasmani dan rohani, mabuk, kurang mendapat bantuan atau penjelasan yang mana
bantuan atau penjelasan itu sekarang setelah keluarnya undang-undanR No. 4 Tahun
1996, pembebanannya dilakukan dengan surat kuasa memasang hak tanggungan.
Dari kedua pendapat di atas hal yang penting adalah memberikan
perlindungan yang kuat terhadap debitur sebagai pemilik kredit dengan cara mengikat
obyek leasing melalui pembebanan lembaga jaminan yang sesuai dengan sistem
hukum jaminan.
B. Karakter Keperdataan Leasing dalam Pengaturan Sistem Hukum Perjanjian Menurut KUH Perdata
Dalam sistem hukum perjanjian menurut KUH Perdata, dikenal perjanjian
bernama dan perjanjian tidak bernama. Yang termasuk dalam perjanjian bernama
antara lain: iual beli, sewa menyewa pinjam pakai, pinjam meminjam dan lain-lain;
sedangkan yang termasuk dalam perjanjian yang muncul di dalam masyarakat yang
belum ada pengaturannya di dalam perjanjian bernama. Perjanjian ini timbul dengan
landasan asas kebebasan berkontrak dan sifat mengatur (optional law) dari hukum
perjanjian itu sendiri.
Salah satu perjanjian yang timbul dan berkembang di luar sistem KUH
perjanjian tidak bernama. Perjanjian leasing ini harus tunduk pada ketentuan umum
mengenai hukum perjanjian, misalnya syarat-syarat membuat perjanjian harus
dipenuhi unsur-unsur dari pasal 1320 KUH Perdata. Namun secara historis, leasing
adalah lembaga hukum yang berasal dari negera Amerika Serikat, yang secara
etimologi kataleasingberasal dari bahasa to lease berarti sewa menyewa. Selain itu
sistem pembayaran dalam perjanjian leasing pada mulanya adalah mencicil sesuai
dengan jangka waktu yang ditentukan. Berdasarkan alasan tersebut ada para sarjana
yang menatakanleasingmemiliki sifat keperdataan dari perjanjian sewa-menyewa.
Sebaliknya sebagian dari sarjana melihat leasing ini dari tujuan perjanjian
leasing yaitu untuk mengaiihkan hak kepemilikan dari obyekleasingitu. Di lihat dari
sisi ini, para sarjana berpendapat bahwaleasingmemiliki identitas yang sama dengan
perjanjian beli sewa(huurkoop).Ada pula yang berpendapatleasingadalah perjanjian
hak pakai barang untuk jangka waktu tertentu. Demikian juga muncul pendapat pada
hakekatnyaleasingadalah perjanjian kredit(Loan agreement).
Melihat dari keanekaragaman pendapat di atas, sifat keperdataan leasing itu
ternyata belum mendapat kejelasan. Hal ini sangat penting untuk diketahui karena
masalahnya berkaitan dengan penentuan hukum mana yang dijadikan pedoman jika
terhadap perjanjianleasingtimbul perselisihan(conflict)diantara para pihak.
Di dalam praktek, juga masih terdapat kesimpangsiuran terhadap pemahaman
lembagaleasing. Ada pihak yang mengatakan leasingidentik dengan beli sewa atau
identik dengan perjanjian kredit. Sementara itu pihak lessor yang diwawancarai
menyewa, bukan pula perjanjian beli sewa, juga bukan perjanjian kredit seperti yang
berlaku di bank, melainkan perjanjian leasing memiliki karakter tersendiri yang
berbeda dengan jenis perjanjian lainnya tidak bernama.62
Berikut ini dipaparkan 2 (dua) contoh model perjanjian leasing yang dibuat
olehlessorsebagai berikut: contoh pertama dengan judul perjanjian sewa guna usaha
(Finance Lease)dan contoh kedua dengan judul perjanjian guna usaha(Leasing).
Dalam kontrak Finance lease, istilah untuk para pihak dipergunakan istilah
pihak yang menyewakan dan pihak penyewa,
Demikian seterusnya istilah-istilah tersebut dipakai dalam pasal-pasal dari
syarat-syarat perjanjian dapat diambil kesimpulan bahwa masih adalessoryang tidak
konsisten dalam penggunaan konsep-konsep dalam leasing, sehingga dapat
ditafsirkanleasingitu merupakan perjanjian sewa menyewa.
Pihak lessor seharusnya dalam setiap kontrak leasing menggunakan istilah
lessordanlesseebukan pihak yang menyewakan dan pihak penyewa. Demikian juga
istilahlessordanlesseeharus dipakai dalam syarat-syarat perjanjianleasing.
Selain itu, terdapat ciri khas dalam perjanjian leasing yang tidak dimiliki oleh jenis
perjanjian lainnya yaitu adanya pencantuman hak opsi (opticrecht) yaitu hak yang
diberikan lessor kepada lessee untuk memperpaniang jangka waktu leasing atau
memutuskan perjanjianleasingatau membeli barang modal dengan harga yang sudah
ditentukan. Di kontrakfinance lease, hak opsi ditentukan dengan dua alternatif yaitu
Berikut ini dikutip pasal yang mengatur tentang hak opsi dalam jenis kontrak
finance leasesebagai berikut:
1. Selambat-lambatnya 2 (dua) bulan sebelum berakhirnya masa sewa guna usaha,
lessee harus mengajukan permohonan tertulis kepada lessor bahwa lessee akan
melaksanakan opsi untuk membeli peralatan sewa guna dimaksud. Setelah
pelunasan yang tepat dan sebagaimana mestinya oleh lessee atas semua jumlah
uang yang terhutang oleh lessee kepada lessor berdasarkan serta syarat-syarat
dan ketentuan-ketentuan ini, dan setelah berakhimya masa sewa guna usaha,
lessee berhak untuk melaksanakan opsi untuk membeli peralatan dengan
pembayaran tunai dengan harga yang sekurang-kurangnya jaminan dan/atau nilai
sisa.
2. Setelah pembayaran sejumlah uang yang dimaksud pada angka 1, lessee
memperoleh hak milik atas peralatan.
3. Dalam hal sebelum berakhirya jangka waktu sewa guna usaha, lessee
mengajukan permintaan tertulis kepada lessoruntuk memperpanjang masa sewa
guna usaha, dan dengan ketentuan bahwa tidak ada dan tidak akan ada kejadian
kelalaian.lessordapat menyetujui perpanjangan tersebut. Jikalessorsetuju untuk
memperpanjang masa sewa guna usaha, maka lessor akan melanjutkan sewa
guna usaha peralatan kepadalessee dan lessee harus tetap menyewa guna usaha
peralatan dari lessor dengan syarat dan ketentuan yang sama seperti termaktub
dalam perjanjian serta syarat-syarat dan ketentuan-ketentuan mi, namun dengan
a. Perpanjangan masa sewa guna usaha yang telah diperbaharui harus
sebagaimana disetujui olehlessordan
b. Angsuran pembiayaan yang wajib dibayar harus sebagaimana disetujui
kembali olehlessordanlessee.
Selain itu, juga dikutipkan hak opsi dari kontrak leasing, sebagai bahan
perbandingan. Hak opsi dalam kontrak ini berbunyi:
Dengan dibayarnya tepat pada waktunya jumlah uang sewa guna usaha dan
pembayaran kewajiban lainnya oleh penyewa selama jangka waktu sewa guna usaha
dan dengan telah ditaatinya dan dilaksanakannya semua janji pengikatan diri dan
ketentuan-ketentuann dari perjanjian ini pada akhir jangka waktu sewa guna usaha,
penyewa mempunyai opsi untuk membeli barang modal tersebut berada pada waktu
itu dengan harga pembelian yang sama dengan nilai sisa ditambah dengan setiap
pajak yang dikenakan atasnya. Penyewa berhak untuk tidak melakukan pilihan untuk
membeli dan sebaliknya dapat meminta untuk memperpanjang/memperbaharui masa
sewa guna usaha.
Kalau diperhatikan pengaturan hak opsi yang dibuat olehlessoryang berbeda
PT Adi Sarana Armada (ASSA) ,dan dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Hak opsi adalah hak dari seseoranglesseebukanlessor.
2. Hak opsi tidak otomatis terjadi pada saat akhir kontrak leasing,melainkan harus
dimohonkan kembali dan mendapat persetujuanlessor.
3. Hak opsi harus diajukan secara tertulis bukan lisan.
a. Memperpanjang kontrak1 b. Membeli barang modal
5. Kalau terjadi pembelian barang modal, harga pembelian dihitung sebesar nilai
sisa yang ada.
6. Melalui hak opsi, lessee dapat menjadi pemilik dari barang modal dengan cara
seperti nomor 5.
Hak opsi ini berdasarkan SK Menteri Keuangan No. 1169/KMK.01/1991,
Pasal 1 huruf a jo. Pasal 2 hanya dapat dilaksanakan oleh perusahaan lessor dengan
jenisleasingberupafinance lease,sedangkan terhadap jenis leasing berupaoperating
leasetidak terdapat hak opsi.
Kriteria bisnis leasinguntuk dapat digolongkan sebagaifinance leaseyang memiliki
hak opsi, berdasarkan pasai 3 SK Menteri Keuangan No. 1169/KMK.01/1991 adalah:
a. Jumlah pembayaran leasing selama masa leasing pertama ditambah dengan
nilai sisa barang modal, harus dapat menutup harga perolehan barang modal
dan keuntunganlessor.
b. Masa leasing ditetapkan sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun untuk barang
modal golongan I, dan 3 (tiga) tahun untuk barang modal golongan II dan III
serta 7 (tujuh) tahun untuk golongan bangunan.
c. Perjanjianleasingmemuat ketentuan mengenai opsi bagilessee,
Selain ciri khas hak opsi yang melekat pada perjanjian leasing(finance lease),
dipaparkan perbedaan perjanjian leasing dengan perjanjian lainnya seperti
sewa-menyewa, milik sewa dan perjanjian kredit
1. Perjanjianleasingperbedaannya dengan perjanjian sewa menyewa
a) Dilihat dari sistem hukum perjanjian menurut KUH Perdata, leasing
merupakan perjanjian tidak bernama, sedang sewa menyewa merupakan
perjanjian bernama.
b) Istilah komparisasi, dalamleasingdipakai istilahlessor dan lessee,sedangkan
dalam sewa menyewa dipergunakan istilah pifaak yang menyewakan dan
pihak penyewa.
c) Subyek, dalam bisnis leasing pihak lessor harus merupakan lembaga
pembiayaan, sedangkan dalam sewa menyewa tidak ada peneaturannva secara
khusus.
d) Jangka waktu, dalamleasingjangka waktu sangat diperhatikan sesuai dengan
umur pemakaian barang modal sedangkan jangka waktu dalam perjanjian
sewa menyewa tidak menjadi fokus utama karena tidak dikaitkan dengan
obyek sewa.
e) Obyek leasing, dalam leasing yang menjadi obyek umumnva peralatan
produksi (barang modal), sedangkan dalam sewa menyewa tidak ditentukan
hal yang demikian.
f) Resiko, dalam leasing resiko teihadap obyek perjanjian berada dipundak
lessee,sedangkan resiko sewa menyewa berada ditangan yang menyewakan.
g) Simpanan jaminan (Security deposit) dalam leasing sangat diperlukan
h) Dokumen, dalam leasing dokumen lebih komplit dibandingkan dokumen
dalam sewa menyewa.
2. Perbedaanleasingdengan perjanjian sewa beli
a) Dilihat dari SK Presiden No. 61 Tahun 1988 tentang lembaga pemblayaan,
leasing merupakan lembaga pembiayaan sedangkan beli sewa tidak termasuk
didalamnya. Dilihat dari SK Menteri Keuangan No. 1169/KMK.01/1991,
masaleasingditentukan sesuai dengan barang modal yang menjadi obyeknya
sehingga masa leasing mendapat perhatian khusus, sedangkan dalam beli
sewa jangka waktu tergantung dari kemampuan si pemheli sewa bukan umur
objek beli sewa.
b) Kepemilikan, dalamleasinghak milik baru berpindah kepadalesseepada saat
lessee mengumumpkan hak opsi untuk membeli barang modal sedangkan
dalam beli sewa bak milik secara otomatis beralih kepada si pembeli sewa
pada saat angsuran di bayar lunas.
c) Simpanan jaminan, dalam beli sewa tidak diperlukan simpanan jaminan
sedangkan dalam perjanjianleasingsangat dibutubkan olehlessor.
3. Perjanjianleasingperbedaannya dengan kredit bank
(1)Dalam perjanjian ini,leasing,pihaklessorhanya menyediakan barang modal,
sedangkan dalam perjanjian kredit bank pihakkrediturmenyediakan uang.
(2)Istilah subjek dalam perjanjian leasing adalah lessor dan lessee sedangkan
perjanjian kredit bank adalah kreditur (pemberi kredit) dan debitur penerima
(3)Resiko, dalam perjanjian leasing resiko itu bisa berupa uang dan barang
sedangkan dalam perjanjian kredit bank risiko adalah uang.
(4)Lembaga leasing merupakan lembaga pembiayaan, sedangkan perjanjian
kredit bank merupakan lembaga keuangan.
(5)Ingkar janji, dalam perjanjian leasing apabilalessee ingkar janji makalessor
mengambil kembali barang modal tanpa harus memperhitungkan kelcbihan
harga, sedangkan pada perjanjian kredit bank apabila kreditur ingkar janji
maka barang jaminan dilelang dan kelebihan harganya dikembaiikan kepada
debitur.
(6)Jaminan pembayaran, dalam leasing jaminan pembayaran ini dapat berupa
simpanan jaminan dan barang modal yang menjadi objek leasing sedangkan
dalam perjanjian kredit jaminan pembayaran dicoveroleh benda jaminan baik
bergerak maupun tidak bergerak yang tidak mempunyai hubungan dengan
penyediaan uang.
(7)Obyek perjanjian, dalam leasing yang menjadi obyek adalah barang-barang
modal (alat-alat produksi) dan tanah berikut bangunan yang merupakan satu
kesatuan sedangkan dalam perjanjian kredit bank pengaturan obyek jaminan
itu adalah lebih luas.
Berdasarkan hal-hal yang telah diuraikan tersebut, perjanjian leasing jelas
tidak identik dengan perjanjian lainnya sebab leasing memiliki karakter perjanjian
sendiri dengan ciri-ciri sebagai berikut:
2. Perjanjian leasing termasuk dalam jenis perjanjian tidak bernama
(onbenoemed overeenkomst).
3. Perjanjianleasingbersifat konsensuil obligatoir.
4. Perjanjian penyerahan barang modal dalamleasingbersifat rill.
5. Perjanjianleasing (finance lease)haras berisikan hak opsi.
6. Perjanjianleasingmemuat simpanan jaminan(security deposit).
7. Perjanjianleasingmemiliki objek yang sudah ditentukan.