• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Uraian Tumbuhan - Uji Toksisitas Subkronik Ekstrak Etanol Bunga Pepaya Jantan (Carica papaya L.) Pada Mencit Jantan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Uraian Tumbuhan - Uji Toksisitas Subkronik Ekstrak Etanol Bunga Pepaya Jantan (Carica papaya L.) Pada Mencit Jantan"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA 2.1Uraian Tumbuhan

Pepaya (Carica papaya L.) termasuk famili Caricaceae yang merupakan tanaman berasal dari Amerika tropis dimana pusat penyebarannya berada di

daerah Meksiko bagian selatan dan Nikaragua (Kalie, 1996). Di Indonesia pepaya

tersebar hampir di seluruh kepulauan yang dapat tumbuh di daerah basah hingga

kering, dataran maupun pegunungan dan pada ketinggian 1-1000 meter dari

permukaan air laut (BPOM, 2010).

2.1.1Sistematika tumbuhan

Tumbuhan pepaya memilki sistematika sebagai berikut (BPOM, 2008):

Kingdom : Plantae

Divisi : Spermatophyta

Sub divisi : Angiospermae

Class : Dicotyledoneae

Ordo : Cistales

Famili : Caricaceae

Genus : Carica

Spesies : Carica papaya L. 2.1.2Morfologi tumbuhan

Pepaya (Carica papaya L.) merupakan tanaman herba dengan batang berongga, biasanya tidak bercabang dan tingginya dapat mencapai 10 meter.

Daunnya termasuk daun tunggal, berukuran besar dan bercangap menjari dengan

(2)

Secara morfologis, bunga pepaya jantan termasuk bunga majemuk yang

memiliki bentuk serupa terompet kecil warnanya kuning pucat cenderung putih

dan dilengkapi dengan tangkai yang memanjang (Anonim, 2013). Bunga pepaya

jantan adalah bunga yang hanya memiliki benang sari saja dengan panjang

kira-kira 2,5 cm. Mahkota terdiri dari lima helai dan berukuran kecil-kecil. Benang sari

berjumlah 10 yang tersusun menjadi dua lapis (Kalie, 1996).

2.1.3Nama daerah

Tanaman pepaya (Carica papaya L.) di Indonesia memiliki berbagai macam nama daerah, seperti di Sumatera, Jawa, Kalimantan, Nusa Tenggara,

Sulawesi, Maluku dan Papua (BPOM, 2010).

Sumatera : kabaelo, peute, pastelo, embetik, botik, bala, sikailo, kates,

kepaya, kustela, papaya, pepaya, singsile, batiek, kalikih,

pancene, pisang, katuka, pisang patuka, pisang pelo, gedang,

punti kayu.

Jawa : gedang, ketela gantung, kates, gedhang.

Kalimantan : bua medung, pisang malaka, buah dong, majan, pisang

mentela, gadang, bandas.

Nusa Tenggara : gedang, kates, kampaja, kalu jawa, padu, kaut panja, kalailu,

paja, kapala, hango, muu jawa, muku jawa, kasi.

Sulawesi : kapalay, papaya, pepaya, keliki, sumoyori, unti jawa,

tangan-tangan nikare, kaliki, rianre.

Maluku : tele, palaki, papae, papaino, papau, papaen, papai, papaya,

sempain, tapaya, kapaya.

(3)

2.1.4 Kandungan kimia

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, hasil skrining bunga pepaya

jantan menunjukkan adanya golongan senyawa alkaloid, flavonoid, tanin,

steroid-triterpenoid (Henova, 2012).

2.1.5 Khasiat tumbuhan

Tumbuhan pepaya hampir seluruh bagiannya memiliki khasiat (Kalie,

1996). Daunnya berkhasiat sebagai antibakteri (Kalie, 1996; Setyowati, dkk.,

2011), antimalaria (Kalie, 1996; Rehena, 2010), antijerawat (Budiman, dkk.,

2010), analgesik (Lasarus, dkk., 2013), antikanker (Sukardiman, dkk., 2006),

penambah nafsu makan (Heyne, 1987; Kalie 1996).

Bunganya berkasiat sebagai antimutagenik (Sitorus, 2012; Fransisca,

2012), antioksidan (Henova, 2012; Suwarso, dkk., 2013), antibakteri (Iman,

2009), antikanker payudara (Suwarso, dkk., 2013). Bijinya berkhasiat sebagai

antibakteri (Martiasih, dkk., 2011), mengobati cacing kremi (Kalie, 1996).

Akarnya juga berkhasiat sebagai antiinflamasi (Adjirni dan saruni, 2006),

gangguan saluran kencing (Kalie, 1996), antidiuretik (BPOM, 2010).

2.2 Ekstraksi

Ekstraksi adalah kegiatan penarikan kandungan kimia yang dapat larut

sehingga terpisah dari bahan yang tidak dapat larut dengan menggunakan suatu

pelarut cair. Senyawa aktif yang terdapat dalam berbagai simplisia dapat

digolongkan kedalam golongan minyak atsiri, alkaloida, flavonoida dan lain-lain.

Dengan diketahuinya senyawa aktif yang dikandung simplisia akan

mempermudah pemilihan pelarut dengan cara ekstraksi yang tepat (Ditjen POM,

(4)

Ekstrak adalah sediaan kering, kental atau cair dibuat dengan menyari

simplisia nabati atau hewani menurut cara yang cocok, di luar pengaruh cahaya

matahari langsung (Depkes, 1979). Metode ekstraksi yang umum digunakan

dalam berbagai penelitian antara lain (Ditjen POM, 2000) yaitu:

1. Maserasi

Maserasi adalah proses penyarian simplisia menggunakan pelarut dengan

beberapa kali pengocokan atau pengadukan pada temperatur ruangan, sedangkan

remaserasi merupakan pengulangan penambahan pelarut setelah dilakukan

penyaringan maserat pertama, dan seterusnya.

2. Perkolasi

Perkolasi adalah proses penyarian simplisia dengan pelarut yang selalu

baru sampai sempurna yang umumnya dilakukan pada temperatur ruangan.

Serbuk simplisia yang akan diperkolasi tidak langsung dimasukkan kedalam

bejana perkolator, tetapi dibasahi atau dimaserasi terlebih dahulu dengan cairan

penyari sekurang-kurangnya selama 3 jam.

3. Refluks

Refluks adalah proses penyarian simplisia dengan menggunakan alat pada

temperatur titik didihnya dalam waktu tertentu dimana pelarut akan terkondensasi

menuju pendingin dan kembali ke labu.

4. Sokletasi

Sokletasi adalah proses penyarian dengan menggunakan pelarut yang

selalu baru, dilakukan dengan menggunakan alat soklet dimana pelarut akan

(5)

5. Digesti

Digesti adalah proses penyarian dengan pengadukan kontinu pada

temperatur lebih tinggi dari temperatur kamar, yaitu secara umum dilakukan pada

temperatur 40-50°C.

6. Infundasi

Infundasi adalah proses penyarian dengan menggunakan pelarut air pada

temperatur 90°C selama 15 menit.

7. Dekoktasi

Dekoktasi adalah proses penyarian dengan menggunakan pelarut air pada

temperatur 90°C selama 30 menit.

2.3 Toksisitas

Toksisitas adalah kemampuan suatu zat kimia dalam menimbulkan

kerusakan pada organisme baik saat digunakan atau saat berada dalam lingkungan

(Priyanto, 2009). Uji toksisitas adalah suatu uji untuk mendeteksi efek toksik

suatu zat pada sistem biologi dan untuk memperoleh data dosis-respon yang khas

dari sediaan uji. Data yang diperoleh dapat digunakan untuk memberi informasi

mengenai derajat bahaya sediaan uji tersebut bila terjadi pemaparan pada

manusia, sehingga dapat ditentukan dosis penggunaannya demi keamanan

manusia (OECD, 2008).

Obat sebelum dipasarkan atau digunakan harus menjalani serangkaian uji

untuk memastikan efektivitas dan keamanannya (Priyanto, 2009). Umumnya uji

toksisitas terdiri atas dua jenis, yaitu toksisitas umum (akut, subkronik dan kronik)

dan toksisitas khusus (teratogenik, mutagenik dan karsinogenik) (Dewoto, 2007;

(6)

2.3.1Toksisitas umum 2.3.1.1Toksisitas akut

Uji toksisitas akut adalah suatu pengujian untuk mendeteksi efek toksik

yang muncul dalam waktu singkat setelah pemberian sediaan uji secara oral dalam

dosis tunggal yang diberikan dalam waktu 24 jam (Lu, 1995). Tujuan

dilakukannya uji toksisitas akut adalah untuk menentukan LD50 (potensi

ketoksikan) akut dari suatu senyawa (Priyanto, 2009). Semakin kecil harga LD50

maka semakin besar potensi ketoksikannya (OECD, 2001).

Prinsip uji toksisitas akut oral yaitu, sediaan uji dalam beberapa tingkat

dosis yang diberikan pada beberapa kelompok hewan uji dengan satu dosis per

kelompok, kemudian dilakukan pengamatan terhadap adanya efek toksik dan

kematian (OECD, 2001).

2.3.1.2Toksisitas subkronik

Uji toksisitas subkronik merupakan suatu pengujian untuk mendeteksi efek

toksik yang muncul setelah pemberian sediaan uji dengan dosis berulang yang

diberikan secara oral pada hewan uji (OECD, 2008).

Tujuan toksisitas subkronik oral adalah untuk memperoleh informasi

adanya efek toksik zat yang tidak terdeteksi pada uji toksisitas akut, informasi

kemungkinan adanya efek toksik setelah pemaparan sediaan uji secara berulang

dalam jangka waktu tertentu, informasi dosis yang tidak menimbulkan efek toksik

dan mempelajari adanya efek kumulatif dan efek reversibilitas zat tersebut

(OECD, 2008). Serta bertujuan untuk menentukan organ sasaran (organ yang

rentan) (Priyanto, 2009).

Prinsip uji toksisitas subkronik oral adalah sediaan uji dalam beberapa

(7)

dosis per kelompok selama 28 atau 90 hari. Selama pemberian sediaan uji, hewan

harus diamati setiap hari untuk menentukan adanya toksisitas. Selama waktu dan

pada akhir periode pemberian sediaan uji, hewan yang mati dan masih hidup

diotopsi selanjutnya dilakukan pengamatan secara makropatologi pada setiap

organ dan jaringan. Selain itu juga dilakukan pemeriksaan hematologi, biokimia

klinis dan histopatologi (OECD, 2008).

2.3.1.3Toksisitas kronik

Uji toksisitas kronis dilakukan dengan memberikan senyawa uji

berulang-ulang selama masa hidup hewan uji atau sebagian besar masa hidupnya (Priyanto,

2009). Prinsip toksisitas kronik oral pada umumnya sama dengan uji toksisitas

subkronik, hanya sediaan uji yang diberikan lebih lama tidak kurang dari 12

bulan. Pengamatan juga dilakukan secara lengkap seperti gejala toksik,

monitoring berat badan dan konsumsi makanan, pemeriksaan hematologi,

biokimia klinis, makropatologi, penimbangan organ dan histopatologi (OECD,

2008).

2.3.2Toksisitas khusus 2.3.2.1Uji teratogenik

Uji teratogenik adalah suatu pengujian untuk memperoleh informasi

adanya abnormalitas fetus yang terjadi karena pemberian suatu zat dalam masa

perkembangan embrio (Priyanto, 2009).

Prinsip pengujian ini senyawa uji dalam beberapa tingkat dosis diberikan

kepada beberapa kelompok hewan hamil selama paling sedikit masa

organogenesis dari kehamilan, satu dosis untuk satu kelompok. Sesaat sebelum

waktu melahirkan, uterus diambil dan dilakukan evaluasi terhadap fetus (OECD,

(8)

2.3.2.2Uji mutagenik

Uji mutagenik adalah uji yang dilakukan untuk memperoleh informasi

mengenai kemungkinan terjadinya efek mutagenik suatu senyawa. Efek

mutagenik merupakan efek yang menyebabkan terjadinya perubahan pada sifat

genetika sel tubuh makhluk hidup (Loomis, 1978).

2.3.2.3Uji karsinogenik

Uji karsinogenik adalah uji yang dilakukan untuk memperoleh informasi

mengenai efek korsinogenik suatu senyawa pada hewan percobaan (Lu, 1995) dan

untuk mengetahui apakah zat jika dipakai dalam jangka panjang akan dapat

menimbulkan kanker . Uji ini dilakukan jika nantinya obat akan digunakan dalam

jangka panjang selama 2 tahun (Priyanto, 2009).

2.4Hati

Salah satu organ yang sering menderita karena adanya zat-zat toksik adalah

hati. Bahan kimia kebanyakan mengalami metabolisme dalam hati oleh karenanya

berpotensi merusak sel-sel hati. Bahan kimia yang dapat mempengaruhi hati

disebut hepatotoksik (Wisaksono, 2002).

2.4.1Anatomi hati

Hati merupakan organ tubuh terbesar kedua di dalam tubuh, dengan berat

rata-rata sekitar 1,5 kg. Organ ini terletak dalam rongga perut sebelah kanan di

bawah diafragma (Junqueira and Carneiro, 2007). Hati terbagi dalam dua belahan

utama kanan dan kiri yang dipisahkan oleh fisura longitudinal (Irianto, 2004).

Warnanya dalam keadaan segar merah kecoklatan, warna tersebut

(9)

Gambar 2.1 Anatomi hati

Secara anatomi hati terdiri dari beberapa lobus tergantung pada

spesiesnya, untuk mencit terdapat empat lobus (lobus medial, kaudal, lateral kiri

dan lateral kanan) (Harada, et al., 1999). Setiap lobus hati terdiri dari beberapa lobulus yang terdiri dari berbagai komponen, yaitu sel-sel hati (hepatosit), vena

sentralis, sinusoid, cabang-cabang vena porta, cabang-cabang arteri hepatika, sel

kupffer dan kanalikuli biliaris (Junqueira and Carneiro, 2007).

2.4.2Fisiologi hati

Organ hati terlibat dalam metabolisme zat makanan serta sebagian besar

obat dan toksikan (Lu, 1994). Hati mempunyai fungsi yang sangat banyak dan

kompleks yang penting untuk mempertahankan hidup (Husadha, 1996) yaitu :

a. Fungsi pembentukan dan ekskresi empedu

Hal ini merupakan fungsi utama hati yaitu mengekskresikan sekitar satu

liter empedu setiap hari. Garam empedu penting untuk pencernaan dan absorbsi

(10)

b. Fungsi metabolik

Hati berperaan penting dalam metabolisme karbohidrat, lemak, protein,

vitamin dan juga memproduksi energi. Hati mengubah ammonia menjadi urea,

untuk dikeluarkan melalui ginjal dan usus.

c. Fungsi pertahanan tubuh

Hati mempunyai fungsi detoksifikasi dan perlindungan yang dilakukan

oleh enzim-enzim hati untuk melakukan oksidasi, reduksi, hidrolisis, atau

konjugasi zat yang kemungkinan membahayakan dan mengubahnya menjadi zat

yang secara fisiologis tidak aktif. Fungsi perlindungan dilakukan oleh sel kupffer

yang terdapat di dinding sinusoid hati.

2.4.3Histologi hati

Hati terdiri atas unit-unit heksagonal yaitu lobulus hati. Di bagian tengah

setiap lobulus hati terdapat sebuah vena sentralis yang dikelilingi secara radial

oleh sel-sel hati (hepatosit) (Junqueira dan Corneiro, 2007). Gambar histologi hati

dapat dilihat pada Gambar 2.2 berikut (Eroschenko, 2010).

(11)

Sel hati bebentuk polihedral dengan inti bulat yang terletak di tengah dan

kadang tampak lebih dari satu inti akibat pembelahan sitoplasma yang tidak

sempurna (Dellman and Brown 1992). Sel tersebut terletak di antara sinusoid

yang berisi darah dan saluran empedu (Lu, 1995). Darah yang mengandung toksin

dibawa dari usus kemudian masuk ke hati melalui vena porta kemudian melewati

sinusoid menuju vena sentralis (Macfarlane, et al., 2000).

Hati menerima darah dari dua sumber yaitu darah arteri dari arteri hepatika

kiri dan kanan, dan darah vena dari vena porta hepatika yang mengalir dari

saluran pencernaan dan limpa (Underwood, 1994). Sebanyak 80% dari aliran

darahnya berasal dari vena porta yang mengangkut darah rendah oksigen. Sisanya

(20%) berasal dari arteri hepatika yang memasok darah kaya oksigen. Darah

meninggalkan hati melalui vena hepatika yang mengalir menuju vena kava

inferior (Underwood, 1994).

2.4.4Intoksikasi hati

Metabolisme umumnya berlangsung di hati karena di hati banyak terdapat

enzim pemetabolisme. Tujuannya adalah membuat senyawa menjadi lebih polar

sehingga mudah dieksresikan dan menjadi kurang toksik, namun ada senyawa

tertentu yang setelah mengalami metabolisme menjadi lebih toksik (Priyanto,

2009).

Kerusakan pada hati dapat terjadi oleh beberapa faktor yaitu onset

pemaparan yang terlalu lama, durasi pemaparan, dosis dan sel inang yang rentan

(Jubb, 1993). Kerusakan yang terjadi pada sel hati dapat bersifat sementara

(reversible) dan tetap (irreversible) (Wisaksono, 2002). Sel akan mengalami

(12)

disebabkan oleh iskemia, anemia, metabolisme abnormal dan zat kimia yang

bersifat toksik (Cheville, 1999).

Degenerasi hidropik merupakan peristiwa meningkatnya kadar air di

intraseluler yang menyebabkan sitoplasma dan organel-organel membengkak dan

membentuk vakuola-vakuola. Rusaknya permeabilitas membran sel menyebabkan

terhambatnya aliran Na+ keluar dari sel sehingga menyebabkan ion-ion dan air

masuk secara berlebihan kedalam sel. Degenerasi hidropik merupakan respon

awal sel terhadap bahan-bahan yang bersifat toksik, serta merupakan proses awal

dari kematian sel (Jones, et al., 1997; Cheville, 1999). Kadar Na+ intrasel diatur oleh pompa Na+ yang memerlukan ATP, jika ATP berkurang maka akan

mengakibatkan masuknya Na+ ke intrasel melebihi jumlah normalnya (Priyanto,

2009).

Kerusakan sel secara terus-menerus akan mencapai suatu titik sehingga

terjadi kematian sel (Lu, 1995). Paparan zat toksik pada sel apabila cukup hebat

atau berlangsung cukup lama, maka sel tidak dapat lagi mengkompensasi dan

tidak dapat melanjutkan metabolisme (Priyanto, 2009). Inti sel yang mati dapat

terlihat lebih kecil dan menjadi lebih padat (kariopiknosis), hancur

bersegmen-segmen (karioreksis) dan kemudian inti sel menghilang (kariolisis) (Underwood,

1994). Nekrosis hati adalah kematian hepatosit yang umumnya merupakan

kerusakan akut (Lu, 1995).

2.5ALT (Alanine Aminotransferase)

Tes fungsi hati yang umum untuk mengetahui adanya gangguan dalam

(13)

dkk., 2005). ALT memindahkan satu gugus amino antara alanin dan asam alfa

keto-glutamat, fungsi ini penting untuk pembentukan asam-asam amino yang

dibutuhkan untuk menyusun protein di hati (Sacher dan Richard, 2004).

ALT merupakan enzim aminotransferase yang dibuat dalam sel hati

(hepatosit), jadi lebih spesifik untuk penyakit hati dibandingkan dengan enzim

lain. ALT sering dijumpai dalam hati, sedangkan AST terdapat lebih banyak di

jantung, otot rangka, otak dan ginjal dibandingkan di hati (Sagita, dkk., 2012).

ALT memberikan hasil yang lebih spesifik dari pada AST (Sherlock, 1981; Bauer,

1982; Murray, et al., 1995). Kadarnya dalam serum meningkat terutama pada kerusakan dalam hati dibandingkan dengan AST (Hadi, 1995).

Hepatosit apabila mengalami cedera enzim yang secara normal tersebut

berada di dalam sel yaitu sitoplasma akan masuk ke dalam aliran darah (Sacher

dan Richard, 2004). Kerusakan pada sel hati yang sedang berlangsung dapat

diketahui dengan mengukur parameter fungsi hati berupa zat dalam peredaran

darah yang dibentuk oleh sel hati yang rusak atau mengalami nekrosis.

Pemeriksaan enzim seringkali menjadi satu-satunya petunjuk adanya penyakit hati

Gambar

Gambar 2.1 Anatomi hati
Gambar 2.2 Histologi hati

Referensi

Dokumen terkait

Pajak yang terutang adalah pajak yang harus dibayar pada suatu saat, dalam masa pajak, dalam tahun pajak atau dalam bagian tahun pajak sesuai dengan ketentuan

Bagi Peserta yang dinyatakan lulus tahap administrasi dapat segera mengambil Nomor Ujian Tahap-II di RSUD Bagas Waras Kab. Klaten mulai sejak diumumkan sampai dengan hari Jum'at

Demikian atas perhatian dan partisipasinya diucapkan terima kasih. Pahlawan No.12

[r]

Bagaimana cara mendapatkan data atau menjawab pertanyaan-pertanyaan yang sudah diuraikan dalam rumusan masalah.. Metode yang digunakan apakah kualitatif atau

Dengan mengidentifikasikan barang-barang ekspor yang berasal dari tumbuhan, siswa mampu menunjukkan manfaat adanya pertukaran barang antara Indonesia dan luar negeri dengan

h dir, nral(a RIJITS clipirnpirr olelr salah.seorang dari peserta yang hadir; dar r1lr:rrrlukrla l)erseTC)an, (lala,n hLll scrnrra Dewan Direksi ciiberhentikan

Jika kredit yang disalurkan mengalami kemacetan, langah yang harus dilakukan oleh bank adalah berupaya menyelamatkan kredit tersebut dengan berbagai macam cara tergantung