• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pernikahan Dini 2.1.1 Definisi Pernikahan Dini - Pernikahan Dini pada Remaja Aceh di Kota Lhokseumawe Tahun 2014

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pernikahan Dini 2.1.1 Definisi Pernikahan Dini - Pernikahan Dini pada Remaja Aceh di Kota Lhokseumawe Tahun 2014"

Copied!
46
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pernikahan Dini

2.1.1 Definisi Pernikahan Dini

Pengertian secara umum, pernikahan dini yaitu merupakan institusi agung untuk mengikat dua insan lawan jenis yang masih remaja dalam satu ikatan keluarga. Remaja itu sendiri adalah anak yang ada pada masa peralihan antara masa anak-anak ke dewasa, dimana anak-anak mengalami perubahan-perubahan cepat di segala bidang. Mereka bukan lagi anak, baik bentuk badan, sikap dan cara berpikir serta bertindak, namun bukan pula orang dewasa yang telah matang (Zakiah, 2004).

Menurut (Lutfiati, 2008; Nukman, 2009) pernikahan dini adalah institusi agung untuk mengikat dua insan lawan jenis yang masih remaja dalam satu ikatan keluarga, pernikahan di bawah usia yang seharusnya belum siap untuk melaksanakan pernikahan.

(2)

tahun karena pada umur tersebut wanita telah menyelesaikan pertumbuhannya dan rahim melakukan fungsinya secara maksimal.

2.1.2 Hukum Menikah Dini

Menikah hukum asalnya adalah sunnah (mandub). Perintah untuk menikah merupakan tuntutan untuk melakukan nikah. Namun tuntutan tersebut tidak bersifat pasti atau keharusan (ghairu jazim) karena adanya kebolehan memilih antara kawin dan pemilikan budak (milku al yamin). Maka tuntutan tersebut merupakan tuntutan yang tidak mengandung keharusan (thalab ghair jazim) atau berhukum sunnah, tidak wajib. Namun hukum asal sunnah ini dapat berubah menjadi hukum lain, tergantung keadaan orang yang melaksanakan hukum nikah.

Rasulullah SAW menyarankan kepada orang yang sudah mampu agar segera menikah, sementara kepada yang belum mampu Rasul memberi jalan keluar untuk menangguhkan pernikahan yaitu dengan melaksanakan Shaum, karena shaum merupakan benteng. Ungkapan ini merupakan isyarat bahwa kita diperbolehkan menangguhkan pernikahan untuk lebih mematangkan persiapan. Oleh karena itu, para ahli fiqih mendudukkan hukum pernikahan pada empat hukum :

(3)

2. Sunnah (thatawwu') menikah bagi orang yang sudah punya calon istri atau suami dan sudah mampu secara fisik, psikis, dan material, namun masih bisa menahan diri dari perbuatan zina.

3. Makruh (tidak dianjurkan) menikah bagi orang yang sudah punya calon istri atau suami, namun belum mampu secara fisik, psikis, atau material. Karenanya, harus dicari jalan keluar untuk menghindarkan diri dari zina, misalnya dengan shaum dan lebih meningkatkan taqarrub diri kepada Allah dengan ibadah-ibadah lainnya.

4. Haram menikah bagi mereka yang seandainya menikah akan merugikan pasangannya serta tidak menjadi kemashlahatan (kebaikan). Maupun menikah dengan tujuan menyakiti pasangannya.

(4)

Hukum umum tersebut yang terpenting adalah kewajiban memenuhi syarat-syarat sebagai persiapan sebuah pernikahan. Kesiapan nikah dalam tinjauan fiqih paling tidak diukur dengan 3 (tiga) hal :

1. Kesiapan ilmu

2.

, yaitu kesiapan pemahaman hukum-hukum fiqih yang berkaitan dengan urusan pernikahan, baik hukum sebelum menikah, pada saat nikah, maupun sesudah nikah

Kesiapan materi atau harta

3.

, yang dimaksud harta di sini ada dua macam, yaitu harta sebagai mahar (mas kawin) dan harta sebagai nafkah suami kepada isterinya untuk memenuhi kebutuhan pokok atau primer bagi istri yang berupa sandang, pangan, dan papan setelah menikah. Mengenai mahar, sebenarnya tidak mutlak harus berupa harta secara materil, namun bisa juga berupa manfaat, yang diberikan suami kepada isterinya, misalnya suami mengajarkan suatu ilmu kepada isterinya. Adapun kebutuhan primer, wajib diberikan dalam kadar yang layak yaitu setara dengan kadar nafkah yang diberikan kepada perempuan lain

(5)

2.1.3 Efek Positif Pernikahan Dini

1. Pernikahan dini akan meminimalisir terjadinya perbuatan asusila dan perilaku menyimpang di kalangan muda-mudi. Persentase hubungan di luar nikah (zina) dan perilaku homoseksual di daerah-daerah pedesaan, lebih kecil dibandingkan dengan daerah-daerah perkotaan. Ini merupakan sebuah fakta yang begitu nyata. Pernikahan dini sudah menjadi hal yang biasa di desa-desa. Anak-anak muda yang melakukan liwath (hubungan sesama jenis), kebanyakan disebabkan oleh adanya faktor yang menghalangi mereka untuk menikah secara dini, seperti nilai mahar yang tinggi dan sebagainya.

2. Dekatnya jarak usia antara orang tua dan anak sehingga perbedaan umur di antara mereka tidak terlalu jauh. Dengan begitu, orang tua masih cukup kuat memperhatikan dan merawat anak-anak, sebagaimana anak-anak itu pun nanti akan dapat mengurus dan melayani mereka.

(6)

dampak-dampak negatif itu dan memalingkan perhatian mereka kepada hal-hal yang lebih utama untuk diri mereka sendiri.

Oleh karena itu, anda dapat menemukan anak-anak muda belia dari pedesaan yang datang ke kota untuk berusaha dan bekerja keras, mereka memeras keringat dan membanting tulang agar dapat mengirimkan uang kepada istri, anak dan orang tuanya di kampung. Di samping itu, anda juga dapat menemukan anak-anak muda perkotaan yang lebih tinggi usianya, menghabiskan waktu berjam-jam di depan internet, menjalin hubungan dengan perempuan, di saat mereka sendiri masih menjadi beban tanggungan orang tua.

4. Memiliki tingkat kemungkinan hamil yang tinggi. Kehamilan pada masa menikah bagi perempuan di usia dini lebih tinggi tingkat kemungkinannya dibandingkan pada usia lain sebagaimana yang dapat dilihat nanti dari keterangan para dokter.

5. Meningkatkan jumlah populasi suatu umat. Umat yang kaum mudanya melakukan pernikahan dini, akan mengalami peningkatan jumlah populasi yang lebih besar dari umat lain.

6. Meringankan beban para ayah yang tergolong fakir, dan menyalurkan hasrat sang suami dengan cara yang syar’i.

7. Memenuhi kebutuhan sebagian keluarga, misalnya akan keberadaan seorang perempuan yang mengurus dan menangani keperluan rumah tangga mereka. 8. Kemandirian kedua suami istri dalam memikul tanggung jawab, dengan tidak

(7)

2.2 Konsep Perkawinan

Definisi perkawinan menurut undang–undang perkawinan nomor I tahun 1974 adalah ikatan lahir dan batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Berdasarkan undang-undang tersebut dapat diketahui bahwa hubungan seksual yang sah berdasarkan norma agama, masyarakat dan hukum adalah hubungan seksual yang dilakukan oleh pasangan suami isteri yang telah disahkan dalam lembaga perkawinan.

WHO (2010) telah menetapkan bahwa usia 10-24 tahun merupakan batasan remaja yang masih mendapat perhatian dan perlindungan oleh orang tua. Oleh karena itu perkawinan dini dan kehamilan dini merupakan praktik yang merugikan dan membahayakan perempuan dari segi medis maupun psikis. Konvensi Hak-Hak Anak menentukan 18 tahun sebagai usia minimum untuk menikah bagi laki-laki maupun perempuan. Adapun Undang-Undang Perlindungan Anak menganggap siapa saja di bawah usia 18 tahun sebagai anak dan orang tua bertanggung jawab untuk mencegah pernikahan di bawah umur (Pasal 26). Undang-Undang Perkawinan juga bertentangan dengan komitmen Internasional dan undang-undang yang menghendaki hak-hak yang sama untuk menikah dan menetapkan 18 tahun sebagai usia minimum untuk menikah baik laki-laki maupun perempuan.

(8)

yang melindungi atau lebih tepatnya mengekang perempuan untuk dapat berkembang dalam segala bentuk. Pernikahan dini dapat meningkat pada daerah-daerah krisis perang dengan alasan untuk peningkatan ekonomi dan untuk menghindari bahaya pelecehan dan perkosaan (UNICEF, 2010).

Mathur (2010) juga mengemukakan beberapa penyebab-penyebab lain yang menimbulkan pernikahan dini. Penyebab tersebut antara lain yaitu peran gender dan kurangnya alternatif (gender roles and lack ofalternatives). Hal ini menunjukkan bahwa terdapat perbedaan peran yang diharapkan pada anak laki-laki dan terhadap anak perempuan, serta kurang kesempatan-kesempatan yang diberikan pada pihak wanita seperti kesempatan pendidikan, olahraga, dan pekerjaan. Penyebab kedua adalah nilai virginitas dan ketakutan mengenai aktivitas seksual pranikah (value of virginity and fears about premarital sexual activity). Berkaitan dengan penyebab kedua, penelitian di Indonesia menunjukkan bahwa pernikahan dini terjadi sebagai solusi kehamilan di luar nikah (premarital pregnant) (Bannet, 2010).

(9)

seringkali merupakan rasa bakti dan hormat pada orangtua. Orangtua beranggapan menikahkan anak mereka berarti suatu bentuk perlindungan terhadap sang anak, namun hal ini justru menyebabkan hilangnya kesempatan anak untuk berkembang, tumbuh sehat, dan kehilangan kebebasan dalam memilih.

Pernyataan senada juga dikeluarkan oleh International Humanist and Ethical Union, bahwa pernikahan anak merupakan bentuk perlakuan salah pada anak (child abuse). Dalam hal ini, mengingat berbagai konsekuensi yang dihadapi

anak terkait dengan pernikahan dini sebagaimana telah dibahas, maka pernikahan anak tentunya menyebabkan tidak terpenuhinya prinsip “yang terbaik untuk anak”, sehingga hal ini merupakan pelanggaran terhadap hak asasi anak. Dalam UU Perlindungan Anak dengan jelas disebutkan pula mengenai kewajiban orang tua dan masyarakat untuk melindungi anak, serta kewajiban orang tua untuk mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak-anak (pasal 26). Sanksi pidana berupa hukuman kurung penjara dan denda diatur dalam pasal 77-90 bila didapatkan pelanggaran terhadap pasal-pasal perlindungan anak.

(10)

terjadinya penelantaran atau perlakuan salah pada anak, serta berpartisipasi dalam masyarakat untuk mencegah terjadinya pernikahan di usia dini.

2.3 Remaja

Masa remaja merupakan masa transisi antara masa remaja-remaja ke masa dewasa. Pada masa ini terjadi pertumbuhan dan perkembangan yang pesat dari tubuh termasuk fungsi reproduksi. Pertumbuhan dan perkembangan ini mempengaruhi perubahan fisik, mental maupun sosial, sehingga masa ini sering disebut sebagai masa-masa kritis dalam kehidupan manusia (Hurlock, 2003).

Pubertas merupakan masa peralihan antara masa kanak-kanak menuju dewasa. Tidak ada batasan tajam antara akhir masa kanak-kanak sampai masa awal pubertas pada remaja putri. Secara klinis pubertas dimulai dengan tumbuhnya ciri-ciri kelamin sekunder dan diakhiri jika sudah ada kemampuan bereproduksi. Masa pubertas diawali dengan berfungsinya ovarium yang biasanya terjadi pada umur 8-14 tahun dan berlangsung kurang lebih selama 4 tahun. (Widiyastuti dkk, 2009)

(11)

persoalan yang serius secara global. Selain menyebabkan putusnya akses pendidikan, pernikahan usia muda juga berdampak secara psikologis, ekonomis, dan juga kesehatan reproduksi.

Pernikahan dini menimbulkan dampak bagi remaja laki-laki dan remaja putri. Salah satu dampak pernikahan dini cukup signifikan adalah kesehatan reproduksi. Berdasarkan Penelitian Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan UGM pada tahun 2010 hampir di semua wilayah Indonesia, remaja putri yang menikah pada usia muda berpotensi mengalami kehamilan beresiko tinggi. Kehamilan remaja meningkatkan risiko kematian dua hingga empat kali lebih tinggi dibandingkan dengan perempuan yang hamil pada usia lebih dari 20 tahun. Demikian pula dengan risiko kematian bayi 30% lebih tinggi pada ibu yang melahirkan pada usia muda dibandingkan pada ibu yang melahirkan pada usia lebih dari 20 tahun (National Geographic, 2011).

2.4 Faktor-Faktor Penyebab Pernikahan Dini

Ada dua faktor penyebab terjadinya pernikahan dini pada kalangan remaja, yaitu sebab dari anak dan dari luar anak.

1. Sebab dari Anak a. Faktor Pendidikan

(12)

Hal yang sama juga jika anak yang putus sekolah tersebut menganggur. Dalam kekosongan waktu tanpa pekerjaan membuat mereka akhirnya melakukan hal-hal yang tidak produktif. Salah satunya adalah menjalin hubungan dengan lawan jenis, yang jika di luar kontrol membuat kehamilan di luar nikah.

b. Terlibat hubungan biologis

Ada beberapa kasus, diajukannya pernikahan karena anak-anak telah melakukan hubungan biologis layaknya suami istri. Dengan kondisi seperti ini, orang tua anak perempuan cenderung segera menikahkan anaknya, karena menurut orang tua anak gadis ini, bahwa karena sudah tidak perawan lagi, dan hal ini menjadi aib.

Purba (2012), diajukannya pernikahan karena anak-anak telah melakukan hubungan biologis layaknya suami istri. Dengan kondisi seperti ini, orang tua anak perempuan cenderung segera menikahkan anaknya, karena menurut orang tua anak gadis ini, bahwa karena sudah tidak perawan lagi, dan hal ini menjadi aib.

(13)

Dia berencana membujuk lagi anaknya agar mau melanjutkan sekolah. Kalau

tetap tak mau, Maman hanya pasrah. ”Ikut saya ke Jakarta. Kerja sedapatnya,

mungkin ngepel dan cuci-cuci,” kata Maman yang lulusan SD.

c. Hamil sebelum menikah

Jika kondisi anak perempuan itu telah dalam keadaan hamil, maka orang tua

cenderung menikahkan anak-anak tersebut. Bahkan ada beberapa kasus, walau

pada dasarnya orang tua anak gadis ini tidak setuju dengan calon menantunya,

tapi karena kondisi kehamilan si gadis, maka dengan terpaksa orang tua

menikahkan anak gadis tersebut.

Bahkan ada kasus, justru anak gadis tersebut pada dasarnya tidak mencintai

calon suaminya, tapi karena terlanjur hamil, maka dengan sangat terpaksa

mengajukan permohonan dispensasi kawin. Ini semua tentu menjadi hal yang

sangat dilematis. Baik bagi anak gadis, orang tua bahkan hakim yang

menyidangkan. Karena dengan kondisi seperti ini, jelas-jelas perkawinan yang

akan dilaksanakan bukan lagi sebagaimana perkawinan sebagaimana yang

diamanatkan UU bahkan agama. Karena sudah terbayang di hadapan mata,

bagaimana kelak rona perkawinan anak gadis ini, perkawinan yang

dilaksanakan berdasarkan rasa cinta saja kemungkinan di kemudian hari bisa

(14)

2. Sebab dari luar Anak a. Faktor Pemahaman Agama

Ada sebagian dari masyarakat kita yang memahami bahwa jika anak menjalin hubungan dengan lawan jenis, telah terjadi pelanggaran agama. Dan sebagai orang tua wajib melindungi dan mencegahnya dengan segera menikahkan anak-anak tersebut.

Ada satu kasus, dimana orang tua anak menyatakan bahwa jika anak menjalin hubungan dengan lawan jenis merupakan satu: “perzinahan”. Oleh karena itu sebagai orang tua harus mencegah hal tersebut dengan segera menikahkan. Saat majelis hakim menanyakan anak wanita yang belum berusia 16 tahun tersebut, anak tersebut pada dasarnya tidak keberatan jika menunggu sampai usia 16 tahun yang tinggal beberapa bulan lagi. Tapi orang tua yang tetap bersikukuh bahwa pernikahan harus segera dilaksanakan. Bahwa perbuatan anak yang saling suka sama suka dengan anak laki-laki adalah merupakan “zina”. Dan sebagai orang tua sangat takut dengan azab membiarkan anak tetap berzina.

b. Faktor ekonomi

(15)

c. Kuatnya tradisi dan budaya.

Di beberapa belahan daerah di Indonesia, masih terdapat beberapa pemahaman tentang perjodohan. Dimana anak gadisnya sejak kecil telah dijodohkan orang tuanya. Dan akan segera dinikahkan sesaat setelah anak tersebut mengalami masa menstruasi. Padahal umumnya anak-anak perempuan mulai menstruasi di usia 12 tahun. Maka dapat dipastikan anak tersebut akan dinikahkan pada usia 12 tahun, jauh di bawah batas usia minimum sebuah pernikahan yang diamanatkan UU (Ahmad, 2009).

Peran orang tua dalam menentukan jodoh anaknya cukup besar. Setidak-tidaknya terdapat sebanyak 49% perkawinan wanita belia merupakan perjodohan yang diatur oleh orang tua. Campur tangan orang tua dalam mencarikan dan menentukan pasangan hidup anak perempuannya (terutama pada perkawinan pertama) umum ditemukan di kalangan masyarakat Jawa, terlebih lagi di daerah pedesaan.

(16)

usia 18 tahun. Tapi ada juga dispensasi. Jadi, Kantor Urusan Agama, KUA, masih sering memberi dispensasi untuk anak perempuan di bawah 16 tahun.

Sutik, perempuan asal Tegaldowo, Rembang, Jawa Tengah ini, pertama kali dijodohkan orang tuanya pada usia 11 tahun. Kuatnya tradisi turun temurun membuatnya tak mampu menolak. Terlebih lagi, Sutik juga belum mengerti arti sebuah pernikahan. Sutik adalah satu dari sekian banyak anak perempuan di wilayah Tegaldowo, Rembang, yang dinikahkan karena tradisi yang mengikatnya. Kuatnya tradisi memaksa anak-anak perempuan desa ini melakukan pernikahan dini. Mengakarnya tradisi pernikahan dini ini terkait dengan masih adanya kepercayaan kuat tentang mitos anak perempuan. Seperti diungkapkan Suwandi, pegawai pencacat nikah di Tegaldowo Rembang Jawa Tengah, ”Adat orang sini kalau punya anak perempuan sudah ada yang ngelamar harus diterima, kalau tidak diterima bisa sampai lama tidak laku-laku."

(17)

Hanum (2011) menyatakan bahwa nilai budaya lama yang menganggap bahwa menstruasi merupakan tanda telah dewasanya seorang anak gadis masih dipercaya oleh warga masyarakat, tidak hanya di kalangan orang tua saja melainkan juga di kalangan kaum muda. Hal ini akan membentuk sikap positif masyarakat dan kaum muda terhadap pernikahan dini. Perempuan di pedesaan di ikuti dengan pernikahan di usia muda yang mengantarkan remaja pada kehamilan dan persalinan. Hal ini dapat meningkatkan resiko kematian maternal, yang mencakup 4 terlalu yaitu terlalu muda untuk melahirkan, terlalu tua, terlalu sering dan terlalu banyak melahirkan anak. Umur ibu yang kurang dari 18 tahun meningkatkan resiko lahirnya bayi “Berat Bayi Lahir Rendah” (BBLR) dapat juga beresiko terkena kanker leher rahim, karena pada usia remaja, sel-sel rahim belum matang sehingga pertumbuhan sel akan menyimpang dan tumbuh menjadi kanker.

(18)

dampak buruk bagi psikologisnya, tapi juga kesehatannya. Ancaman depresi pun dapat menyerangnya.

Dr.Sukron Kamil melanjutkan, beberapa fakta di dapat dampak dari perjodohan di usia dini yang berujung pada pernikahan dini adalah :

1. Kekerasan terhadap anak

Terkadang anak mengalami kekerasan dari orang tua atau keluarga apabila menolak untuk dinikahkan. Bahkan ditemukan juga kasus setelah dinikahkan anak mencoba bunuh diri dengan minum cairan pestisida. Kekerasan juga bukan hanya dari lingkungan keluarga, namun juga dari pasangan yang umumnya berusia lebih tua dari mereka.

2. Tingkat perceraian yang tinggi

Lebih dari 50% pernikahan tidaklah berhasil, dan akhirnya bercerai. Bahkan ada juga kasus yang menjalani pernikahan hanya dalam hitungan minggu lalu berpisah. Dan biasanya hal ini terjadi karena anak perempuan tidak mau melakukan kewajiban sebagai istri dan kurangnya kesiapan masing–masing pasangan yang mau menikah

3. Kemiskinan meningkat, karena belum siap secara ekonomi 4. Trafficking/ eksploitasi dan seks komersial anak

(19)

Penelitian selanjutnya yang dilakukan di wilayah kelurahan Pall Merah tanggal 28 Juli tahun 2012, beliau melakukan survei secara wawancara bersama ibu yang menikah di usia muda di dapatkan dari hasil wawancara terhadap ibu menikah muda mengatakan :

“Saya terpaksa menikah karena status ekonomi, dan perjodohan. Dunia saya berubah 180 derajat, dari bangun sembarangan, harus berangkat pagi untuk bekerja, belum lagi siang malam anak saya menangis. Hingga kami tidak bisa tidur sekejap pun”.

(20)

2.5 Dampak Pernikahan Dini Pada Remaja

Resiko pernikahan dini berkait erat dengan beberapa aspek, yaitu (Maroon, 2011) :

2.5.1 Segi kesehatan

Dilihat dari segi kesehatan, pasangan usia muda dapat berpengaruh pada tingginya angka kematian ibu yang melahirkan, kematian bayi serta berpengaruh pada rendahnya derajat kesehatan ibu dan anak.

Menurut ilmu kesehatan, bahwa usia yang kecil resikonya dalam melahirkan adalah antara usia 20-35 tahun, artinya melahirkan pada usia kurang dari 20 tahun dan lebih dari 35 tahun mengandung resiko tinggi. Ibu hamil usia 20 tahun ke bawah sering mengalami prematuritas (lahir sebelum waktunya) besar kemungkinan cacat bawaan, fisik maupun mental, kebutaan dan ketulian.

2.5.1.1 Kanker leher rahim

Perempuan yang menikah dibawah umur 20 tahun beresiko terkena kanker leher rahim. Pada usia remaja, sel-sel leher rahim belum matang. Jika terpapar human papiloma virus atau HPV pertumbuhan sel akan menyimpang menjadi kanker.

(21)

Gejala awal perlu diwaspadai, keputihan yang berbau, gatal serta perdarahan setelah senggama. Jika diketahui pada stadium sangat dini atau prakanker, kanker leher rahim bisa diatasi secara total. Untuk itu perempuan yang aktif secara seksual dianjurkan melakukan tes Papsmear 2-3 tahun sekali.

2.5.1.2 Neoritis depresi

Depresi berat atau neoritis depresi akibat pernikahan dini ini, bisa terjadi pada kondisi kepribadian yang berbeda. Pada pribadi introvert (tertutup) akan membuat si remaja menarik diri dari pergaulan. Dia menjadi pendiam, tidak mau bergaul, bahkan menjadi seorang yang schizophrenia atau dalam bahasa awam yang dikenal orang adalah gila. Sedang depresi berat pada pribadi ekstrovert (terbuka) sejak kecil, si remaja terdorong melakukan hal-hal aneh untuk melampiaskan amarahnya. Seperti, perang piring, anak dicekik dan sebagainya. Dengan kata lain, secara psikologis kedua bentuk depresi sama-sama berbahaya.

(22)

Usia masih terlalu muda, banyak keputusan yang diambil berdasarkan emosi atau mungkin mengatasnamakan cinta yang membuat mereka salah dalam bertindak. Meski tak terjadi Married By Accident (MBA) atau menikah karena "kecelakaan", kehidupan pernikahan pasti berpengaruh besar pada remaja. Oleh karena itu, setelah dinikahkan remaja tersebut jangan dilepas begitu saja.

2.5.2 Segi fisik

Pasangan usia muda belum mampu dibebani suatu pekerjaan yang memerlukan keterampilan fisik, untuk mendatangkan penghasilan baginya, dan mencukupi kebutuhan keluarganya. Faktor ekonomi adalah salah satu faktor yang berperan dalam mewujudkan dalam kesejahteraan dan kebahagiaan rumah tangga. Generasi muda tidak boleh berspekulasi apa kata nanti, utamanya bagi pria, rasa ketergantungan kepada orang tua harus dihindari.

2.5.3. Segi mental/jiwa

Pasangan usia muda belum siap bertanggung jawab secara moral, pada setiap apa saja yang merupakan tanggung jawabnya. Mereka sering mengalami kegoncangan mental, karena masih memiliki sikap mental yang labil dan belum matang emosinya.

(23)

tahun), hak bermain dan menikmati waktu luangnya serta hak-hak lainnya yang melekat dalam diri anak.

2.5.4. Segi pendidikan

Pendewasaan usia kawin ada kaitannya dengan usaha memperoleh tingkat pendidikan yang lebih tinggi dan persiapan yang sempurna dalam mengarungi bahtera hidup

2.5.5. Segi kependudukan

Perkawinan usia muda di tinjau dari segi kependudukan mempunyai tingkat fertilitas (kesuburan) yang tinggi, sehingga kurang mendukung pembangunan di bidang kesejahteraan.

Fenomena sosial ini berkaitan dengan faktor sosial budaya dalam masyarakat patriarki yang bias gender, yang menempatkan perempuan pada posisi yang rendah dan hanya dianggap pelengkap seks laki-laki saja. Kondisi ini sangat bertentangan dengan ajaran agama apapun termasuk agama Islam yang sangat menghormati perempuan (Rahmatan lil Alamin). Kondisi ini hanya akan melestarikan budaya patriarki yang bias gender yang akan melahirkan kekerasan terhadap perempuan. 2.5.6. Segi kelangsungan rumah tangga

(24)

hasilnya mengatakan mereka yang menikah di usia dini akan berisiko dua kali untuk mengalami keguguran secara spontan dan empat kali risiko mengalami kematian janin dan kematian bayi.

Sibuknya seorang remaja menata dunia yang baginya sangat baru dan sebenarnya ia belum siap menerima perubahan ini. Positifnya, ia mencoba bertanggung jawab atas hasil perbuatan yang dilakukan bersama pacarnya. Hanya satu persoalannya, pernikahan dini sering berbuntut perceraian. Mengapa pernikahan yang umumnya dilandasi rasa cinta bisa berdampak buruk, bila dilakukan oleh remaja?. Pernikahan dini memiliki dua dampak cukup berat. Dari segi fisik, remaja itu belum kuat, tulang panggulnya masih terlalu kecil sehingga bisa membahayakan proses persalinan. Oleh karena itu pemerintah mendorong masa hamil sebaiknya dilakukan pada usia 20-30 tahun. Dari segi mental pun, emosi remaja belum stabil.

(25)

Penelitian yang dilakukan Grogger Bronars (2010) pada masyarakat kulit hitam maupun masyarakat kulit putih didapatkan bahwa perkawinan dan kehamilan pada umur belia berkaitan dengan kondisi-kondisi yang serba merugikan. Kondisi-kondisi tersebut yaitu: rendahnya tingkat pendidikan wanita, rendahnya tingkat partisipasi kerja wanita dan pendapatan keluarga muda yang rendah. Hal ini berdampak pada taraf kesejahteraan yang kurang menguntungkan. Furstenberg (2010) menyatakan bahwa bentuk-bentuk ketidakstabilan kehidupan berumah tangga, krisis keluarga, terputusnya kelanjutan sekolah, masalah pengasuhan anak dan problema ekonomi merupakan bagian dari komplikasi yang diakibatkan dari perkawinan dan kehamilan usia muda.

Trussel (2010) juga mengemukakan bahwa kehamilan di kalangan remaja berimplikasi negatif terhadap tingkat pendidikan yang dicapai oleh wanita, posisi ekonomi di kemudian hari dan partisipasi angkatan kerja. Hal senada disampaikan UNICEF (2011), tentang konsekuensi yang diakibatkan oleh pernikahan usia dini pada anak perempuan adalah penolakan terhadap pendidikan, anak perempuan cenderung tidak melanjutkan sekolah setelah menikah sehingga mendorong terjadinya kemiskinan, mengalami masalah kesehatan termasuk kehamilan usia remaja (adolescent pregnancy), terisolasi secara sosial. Adhikari (2011) menyatakan bahwa konsekuensi dari pernikahan dini dan melahirkan di usia remaja adalah berisiko untuk melahirkan prematur dan berat badan lahir rendah.

(26)

keluarga, baik ditinjau dari segi ketidaksiapan secara psikis dalam menghadapi persoalan sosial maupun ekonomi rumah tangga. Risiko lain adalah ketidaksiapan mental untuk membina perkawinan dan menjadi orang tua yang bertanggung jawab. Dampak lain dari perkawinan dini adalah kehamilan usia muda yang berisiko terhadap kematian ibu dan bayinya karena ketidaksiapan calon ibu dalam mengandung dan melahirkan bayinya (Wilopo, 2005).

2.6 Macam-macam Perspektif Pernikahan Dini 2.6.1 Pernikahan Dini dalam Perspektif Psikologi

Sebenarnya kekhawatiran dan kecemasan timbulnya persoalan-persoalan psikis dan sosial: bahwa pernikahan dini dan masih di bangku sekolah bukan sebuah penghalang untuk meraih prestasi yang lebih baik, bahwa usia bukan ukuran utama untuk menentukan kesiapan mental dan kedewasaan seseorang, bahwa menikah bisa menjadi solusi alternatif untuk mengatasi kenakalan kaum remaja yang kian tak terkendali.

(27)

kebutuhan-kebutuhan psikologis manusia, yang pada gilirannya akan menjadikan manusia mampu mencapai puncak pertumbuhan kepribadian yang mengesankan.

Rosa (2011) menemukan ternyata setelah diteliti pernikahan dini yang rentan perceraian itu adalah pernikahan yang diakibatkan kecelakaan (yang disengaja). Hal ini bisa dimaklumi, sebab pernikahan karena kecelakaan lebih karena keterpaksaan, bukan kesadaran dan kesiapan serta orientasi nikah yang kuat. Dari kacamata psikologi, pernikahan dini lebih dari sekedar alternatif dari sebuah musibah yang sedang mengancam kaum remaja, tapi ia adalah motivator untuk melejitkan potensi diri dalam segala aspek positif.

2.6.2 Pernikahan Dini dalam Perspektif Agama

Jika menurut psikologis, usia terbaik untuk menikah adalah usia antara 19 sampai 25, maka bagaimana dengan agama?

Rasulullah saw. Bersabda :

"Wahai para pemuda, barang siapa di antara kalian telah mencapai baah, maka kawinlah. Karena sesungguhnya kawin lebih bisa menjaga pada pandangan mata dan lebih menjaga kemaluan. Bila tidak mampu melaksanakannya maka berpuasalah karena puasa baginya adalah kendali (dari gairah seksual)

(HR. Imam yang lima).

(28)

baligh bisa ditandai dengan mimpi basah (ihtilam) atau masturbasi (haid bagi wanita) atau telah mencapai usia lima belas tahun.

Sekarang dengan kemajuan teknologi yang kian canggih, media informasi (baik cetak atau elektronik) yang terus menyajikan tantangan seksual bagi kaum remaja, maka tak heran apabila sering terjadi pelecehan seksual yang dilakukan oleh anak ingusan yang masih di bangku sekolah dasar. Karenanya, Sahabat Abdullah bin Mas'ud ra. selalu membangun orientasi menikah kepada para pemuda yang masih single, dengan mengajak mereka berdoa agar segera diberi isteri yang shalihah.

Salah satu faktor dominan yang sering membuat kita terkadang takut melangkah adalah kesiapan dari sisi ekonomi. Ini memang wajar. Tapi sebagai hamba yang beriman, sebenarnya, kita tak perlu risih dengan yang urusan yang begitu krusial dalam sebuah rumah tangga ini.

2.7 Status Sosial Ekonomi

(29)

adalah suatu kebutuhan ataupun yang meliputi: pendidikan, pekerjaan, pendapatan dan pengeluaran, status pelayanan kesehatan, serta terjaminnya kebutuhan makanan. 2.7.1 Tingkat Pendapatan Keluarga

Di Indonesia besarnya pengeluaran perkapita diukur dari pengeluaran setiap bulan untuk memenuhi kebutuhan dasar minimal makanan dan bukan makanan yang dibutuhkan oleh seorang individu untuk tetap berada pada kehidupan yang layak. Garis kemiskinan dinilai dari ekiuvalen nilai tukar beras (kg/org/bulan) yang dinyatakan dalam bentuk rupiah sesuai dengan nilai tukar rupiah pada saat itu. Keluarga dikategorikan miskin bila pengeluaran atau pendapatan per keluarga kurang dari Rp.640.000,- dan dikatakan tidak miskin bila pengeluaran atau pendapatan Rp.640.000,- atau lebih per bulan per keluarga (Susenas, 2010).

Status sosial ekonomi keluarga di Indonesia diukur berdasarkan antara lain:

Tingkat Pendapatan Keluarga Berdasarkan Pengeluaran Rumah Tangga ”Ekiuvalen Nilai Tukar Beras”.

(30)

non bahan makanan dan dikalikan dengan jumlah anggota keluarga yang tinggal bersama.

Pengukuran indikator kemiskinan dihitung dengan berdasarkan pengeluaran rumah tangga/orang/tahun yang di bedakan berdasarkan tempat tinggal. Untuk daerah pedesaan 180 kg beras dan perkotaan 270 kg beras. Tingkat kemiskinan di perkirakan pengeluaran perbulan, termasuk makanan, rokok dan lainnya dalam hitungan rupiah. Kemudian seluruh pengeluaran dihitung dalam 1 tahun dan diubah dalam nilai tukar beras pada saat itu. Klasifikasi dari level kemiskinan dalam kriteria menurut Sajogya (2010) sesuai untuk pendapatan minimum yaitu:

1. Kategori bawah: pengeluaran ≤180 kg beras/orang/tahun untuk daerah pedesaan dan ≤ 270 kg beras/orang/tahun di daerah perkotaan.

2. Tingkat menengah: pengeluaran perorang/tahun 240 untuk di pedesaan dan 319 kg beras untuk daerah perkotaan.

3. Kategori atas : pengeluaran/orang/tahun > 240 kg beras untuk pedesaan dan ≥ 480 kg beras daerah perkotaan

2.7.2 Upah Minimum

(31)

Pasal 1 pada peraturan menteri tenaga kerja dijelaskan juga mengenai Upah Minimum Regional yang berlaku di satu propinsi. Upah Minimum Sektoral Regional Tingkat I untuk selanjutnya disebut Upah Minimum Sektoral Regional (UMSR). UMSR Tingkat 1 adalah upah minimum yang berlaku secara sektoral di satu propinsi. UMSR Tingkat II adalah upah minimum yang berlaku di daerah Kabupaten/ Kotamadya atau menurut wilayah pembangunan ekonomi daerah atau karena kekhususan wilayah tertentu. Menurut peraturan Gubernur No. 76 tahun 2011 tentang upah minimum Provinsi (UMP) Aceh tahun 2012 yang telah ditetapkan yaitu sebesar Rp. 1.400.000.-.

2.7.3 Pengeluaran Konsumsi Rumah Tangga

Secara keseluruhan data konsumsi rumah tangga bertujuan untuk menilai taraf hidup penduduk Indonesia. Penilaian meliputi: tingkat kecukupan gizi, khususnya tingkat kecukupan kalori, dan protein, juga untuk mengukur tingkat kemiskinan penduduk serta pengukuran ini dapat dilihat juga bagaimana penduduk mengalokasikan sumber daya yang dimiliki untuk memenuhi kebutuhan rumah tangganya. Untuk data pengeluaran dibedakan atas kelompok bahan makanan dan bukan bahan makanan yang diukur dengan nilai tukar beras.

(32)

Semakin rendah persentase pengeluaran untuk makanan terhadap total pengeluaran makin membaik tingkat perekonomian penduduk. Pola konsumsi penduduk berubah dari waktu ke waktu dan berbeda antara daerah satu dengan lainnya tergantung kepada selera, pendapatan dan lingkungannya (Susenas, 2011).

2.8 Faktor-Faktor Status Sosial Ekonomi Keluarga 2.8.1 Pendapatan

Ohara (2010) menyatakan bahwa pendapatan adalah penghasilan kepala keluarga untuk memenuhi kebutuhan diri dan kehidupan keluarganya sehingga terpenuhi kebutuhan sandang, pangan, perumahan, dan biaya pendidikan. Keseimbangan pendapatan dipengaruhi oleh banyaknya jumlah anggota rumah tangga. Semakin banyak anggota rumah tangga dan dengan pendapatan keluarga yang rendah mempengaruhi kesejahteraan rumah tangga tersebut. Pendapatan ini berhubungan dengan pendidikan yang berkualitas sehingga dapat menghidupi keluarga tersebut dengan layak. Pengukuran pendapatan yang digunakan di Indonesia antara lain dengan mengukur pengeluaran per kapita/orang/bulan berdasarkan ekiuvalen nilai tukar beras dan UMR berdasarkan Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor : PER-01/MEN/1999).

2.8.2 Pendidikan

(33)

pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara (Undang-Undang RI, 2003). Menurut Departemen Pendidikan Nasional (2008) bahwa jalur pendidikan di Indonesia terdiri atas: pendidikan formal, dan informal. Jenjang pendidikan formal terdiri atas: 1. Pendidikan dasar: yaitu merupakan jenjang pendidikan yang melandasi jenjang pendidikan menengah, 2. Pendidikan dasar seperti : Sekolah Dasar (SD) dan Madrasah Ibtidaiyah (MI) atau bentuk lain yang sederajat sampai dengan Sekolah Menengah Pertama (SMP), termasuk Madrasah Tsanawiyah (MTs), atau bentuk lain yang sederajat. 2). Pendidikan Menengah: pendidikan menengah merupakan lanjutan pendidikan dasar. Pendidikan menengah terdiri atas : pendidikan menengah umum, dan pendidikan menengah kejuruan. Pendidikan menengah berbentuk: Sekolah Menengah Atas (SMA), Madrasah Aliyah (MA), Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), dan Madrasah Aliyah Kejuruan (MAK), atau bentuk lain yang sederajat. 3).Pendidikan Tinggi: Pendidikan tinggi merupakan jenjang pendidikan setelah pendidikan menengah yang mencakup program pendidikan Diploma, Sarjana, Magister, Spesialis, dan Doktor yang diselenggarakan oleh Perguruan Tinggi. Perguruan Tinggi (PT) dapat berbentuk: Akademi, Politeknik, Sekolah Tinggi, Institut, atau Universitas.

(34)

(Undang-Undang Sistem Pendidikan, 2010). Tujuan pendidikan yang tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945 antara lain bahwa pendidikan merupakan salah satu sarana untuk meningkatkan kecerdasan dan keterampilan manusia, sehingga kualitas sumber daya manusia sangat tergantung dari kualitas pendidikan. Pendidikan juga mempengaruhi kemajuan penduduk dan status sosial ekonomi keluarga dan bangsa.

Survei Status Sosial Ekonomi Keluarga Nasional (SUSENAS) di Indonesia penduduk yang tidak sekolah/tidak pernah sekolah berumur 10 tahun ke atas dan tinggal di pedesaan sebesar 10,56%, yang tinggal di perkotaan 4,52%. Bila dibandingkan menurut jenis kelamin, penduduk perempuan yang tidak/belum pernah sekolah 10,90% besarnya dua kali lipat 4,92% penduduk laki-laki.

Rendahnya pendidikan perempuan berkaitan dengan kemiskinan dan budaya gender. Tingkat pendidikan rendah pada perempuan mempengaruhi pendapatan keluarga dan kesejahteraan status sosial ekonomi keluarga. Kualitas pendidikan dan pendapatan keluarga juga mempengaruhi keberlangsungan hidup anak. Kualitas pendidikan orang tua juga dapat dihubungkan dengan pengetahuan dan keterampilan untuk mendapatkan pendapatan yang lebih layak untuk kehidupan keluarga (Mozalik, 2011)

2.8.3 Pekerjaan

(35)

keterampilan memadai lebih berpeluang mempunyai pendapatan yang cukup untuk keluarganya. Sebaliknya keluarga yang berpendidikan rendah dan tidak mempunyai keterampilan akan sulit untuk mencari pekerjaan dengan upah yang layak (Bradbury, 2011).

2.10 Aspek Sosial Budaya Pada Setiap Perkawinan

Berdasarkan pada aspek sosial budaya pola penyesuaian perkawinan dilakukan secara bertahap. Disadari atau tidak, faktor-faktor kepercayaan dan pengetahuan budaya seperti konsepsi-konsepsi mengenai berbagai pantangan, hubungan sebab akibat antara makanan dan kondisi sehat-sakit, kebiasaan dan ketidaktahuan, seringkali membawa dampak baik positif maupun negatif terhadap kesehatan ibu dan anak. Pola makan misalnya, pada dasarnya adalah merupakan salah satu selera manusia dimana peran kebudayaan cukup besar. Hal ini terlihat bahwa setiap daerah mempunyai pola makan tertentu, termasuk pola makan ibu hamil dan anak yang disertai dengan kepercayaan akan pantangan, tabu, dan anjuran terhadap beberapa makanan tertentu.

Pada aspek sosial budaya pola penyesuaian perkawinan dilakukan secara bertahap, yakni di antaranya :

(36)

2. Pada fase kedua mulai terjadi krisis perkawinan terjadi proses penyesuaian akan adanya perbedaan yang terjadi. Apabila sukses dalam menerima kenyataan maka akan dilanjutkan dengan suksesnya fase menerima kenyataan. Apabila pasangan sukses mengatasi problema keluarga dengan beradaptasi dan membuat aturan dan kesepakatan dalam rumah tangga maka fase kebahagiaan sejati akan diperolehnya.

Menurut faktor pendukung keberhasilan penyesuaian perkawinan mayoritas subjek terletak dalam hal saling memberi dan menerima cinta, ekspresi afeksi, saling menghormati dan menghargai, saling terbuka antara suami istri. Hal tersebut tercermin pada bagaimana pasangan suami istri menjaga kualitas hubungan antar pribadi dan pola-pola perilaku yang dimainkan oleh suami maupun istri, serta kemampuan menghadapi dan menyikapi perbedaan yang muncul, sehingga kebahagiaan dalam hidup berumah tangga akan tercapai.

(37)

Sedangkan menurut aspek sosial budaya faktor penghambat yang mempersulit penyesuaian perkawinan mayoritas subjek terletak dalam hal baik suami maupun istri tidak bisa menerima perubahan sifat dan kebiasaan di awal pernikahan, suami maupun istri tidak berinisiatif menyelesaikan masalah, perbedaan budaya dan agama diantara suami dan istri, suami maupun istri tidak tahu peran dan tugasnya dalam rumah tangga. Hal tersebut tercermin pada bagaimana pasangan suami istri menyikapi perubahan, perbedaan, pola penyesuaian yang dimainkan dan munculnya hal-hal baru dalam perkawinan, yang kesemuanya itu dirasa kurang membawa kebahagiaan hidup berumah tangga, sehingga masing- masing pasangan gagal dalam menyesuaikan diri satu sama lain.

2.11. Delapan Fungsi Keluarga

Memasuki kehidupan berkeluarga tentunya memerlukan persiapan yang matang dari setiap pasangan dalam membangun keluarga yang harmonis dengan menggunakan 8 fungsi keluarga. Dalam setiap fungsi keluarga terdapat nilai-nilai moral yang harus di terapkan dalam keluarga.

1. Fungsi Agama

(38)

Dalam Fungsi agama, terdapat 12 nilai dasar diantaranya:

a. Iman, yaitu mempercayai akan adanya Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa, mengamalkan segala ajarannya.

b. Taqwa, mengamalkan segala sesuatu yang diperintahkan dan menghindari segala yang dilarang Allah SWT.

c. Kejujuran, menyampaikan apa adanya.

d. Tenggang rasa ditandai dengan adanya kesadaran bahwa setiap orang berbeda dalam sifat dan karakternya.

e. Rajin, menyediakan waktu dan tenaga dengan berusaha untuk mendapatkan hasil yang terbaik.

f. Kesalehan, maksudnya adalah memiliki nilai moral yang tinggi dengan melakukan sesuatu yang benar secara konsisten.

g. Ketaatan, Melaksanakan apa yang menjadi tugas dan tanggung jawabnya dengan segera dan senang hati.

h. suka membantu, memiliki kebiasaan menolong dan membantu orang lain tanpa mengharapkan imbalan.

i. Disiplin, menepati waktu, mematuhi aturan yang telah disepakati.

j. Sopan santun, berperilaku sesuai dengan norma-norma dan nilai-nilai agama. k. Sabar dan Ikhlas, menahan diri dalam menginginkan sesuatu serta dalam

menghadapi kesulitan.

(39)

2. Fungsi sosial budaya

Keluarga dalam bagian dari masyarakat diharapkan mampu mempertahankan dan mengembangkan sosial budaya setempat. Dalam fungsi budaya, terdapat 7 (tujuh) nilai dasar yang mesti di pahami dan ditanamkan dalam keluarga diantaranya. a. Gotong royong, melakukan pekerjaan secara bersama-sama yang dilandasi

oleh suka rela dan kekeluargaan.

b. Sopan santun, perilaku seseorang yang sesuai dengan norma-norma sosial budaya setempat.

c. Kerukunan, hidup berdampingan dalam keberagaman secara damai dan harmonis.

d. Peduli, mendalami perasaan dan pengalaman orang lain.

e. Kebersamaan, adanya perasaan bersatu, sependapat, dan sekepentingan. 3. Fungsi cinta dan kasih sayang

Mendapatkan cinta kasih adalah hak anak dan kewajiban orang tua untuk memenuhinya. Dengan kasih sayang orang tuanya, anak belajar bukan hanya menyayangi tetapi juga belajar menghargai orang lain. Dalam fungsi cinta dan kasih sayang terdapat 8 (delapan) nilai dasar yang mesti dipahami dalam keluarga biasanya adalah:

a. Empati, memahami dan mengerti akan perasaan orang lain.

b. Akrab, hubungan yang dilandasi oleh rasa kebersamaan dan kedekatan perasaan.

(40)

d. Pemaaf, dapat menerima kesalahan orang lain tanpa perasaan dendam. e. Setia, maksudnya adalah setia terhadap kesepakatan.

f. Suka menolong, ditandai dengan tindakan suka menolong dan suka membantu orang lain.

g. Pengorbanan, kerelaan memberikan sebagian haknya untuk membantu orang lain.

h. Tanggung jawab, mengetahui serta melakukan apa yang menjadi tugasnya. 4. Fungsi perlindungan

Keluarga mempunyai fungsi sebagai tempat berlindung bagi anggota keluarga. Dalam hal ini dimaksudkan bahwa keluarga harus memberikan rasa aman, tenang dan tenteram bagi anggota keluarganya. Dalam fungsi perlindungan terdapat 5 (lima) nilai dasar yang mesti dipahami dan di tanamkan dalam keluarga diantaranya.

a. Aman, dimaksudkan suatu perasaan yang terbatas dari ketakutan dan kekhawatiran.

b. Pemaaf, memberitahukan atau menunjukkan kesalahan.

c. Tanggap, maksudnya mengetahui dan menyadari sesuatu yang dapat membahayakan/mengkhawatirkan.

d. Tabah, mampu menahan diri ketika menghadapi situasi yang tidak diharapkan.

(41)

5. Fungsi reproduksi

Salah satu tujuan dari perkawinan adalah memperoleh keturunan sebagai pengembangan dari tuntutan fitrah manusia. Dalam hal ini keturunan diperoleh dengan bereproduksi oleh pasangan suami istri yang sah. Pada umumnya berbagai data menunjukkan bahwa penerapan pemenuhan hak reproduksi bagi remaja belum sepenuhnya mereka dapatkan, antara lain dalam hal pemberian informasi mengenai pentingnya fungsi reproduksi bagi remaja.

Untuk mengatasi hal tersebut di atas perlu adanya penanaman 3 nilai dasar yang harus dipahami dalam fungsi reproduksi diantaranya:

a. Tanggungjawab, mengetahui apa yang menjadi tugasnya.

b. Sehat, secara fisik, fungsi dan sistem reproduksi serta rohani/emosional, orang yang sehat dalam fungsi reproduksi dicirikan dengan kemampuan seseorang menjaga kebersihan dan kesehatan reproduksinya.

c. Teguh, kemampuan seseorang mampu menjaga kesucian organ reproduksinya sebelum menikah.

6. Fungsi sosialisasi dan pendidikan

(42)

a. Percaya diri, kebebasan berbuat secara mandiri dengan mempertimbangkan serta memutuskan sendiri tanpa bergantung pada orang lain.

b. Luwes, mudah menyesuaikan diri dengan situasi dan kondisi misalnya dengan mudah menerima pendapat orang lain serta dapat bergaul dengan siapa saja. c. Bangga, perasaan senang yang dimiliki, ketika selesai melaksanakan

tugas/pekerjaan yang menantang atau berhasil meraih sesuatu yang diinginkan.

d. Rajin, menyediakan waktu dan tenaga untuk menyelesaikan tugasnya dengan berusaha untuk mendapatkan hasil yang maksimal. Orang rajin dicirikan dengan selalu menyediakan waktu tanpa mengenal menyerah serta mempunyai cita-cita.

e. Kreatif, mendapatkan banyak cara untuk melakukan sesuatu. Orang kreatif dapat dicirikan dengan selalu banyak ide/gagasan dalam melakukan sesuatu, tidak pernah berhenti.

f. Kerjasama, melakukan sesuatu pekerjaan secara bersama-sama. Kerjasama dapat dicirikan dengan kemampuan seseorang untuk saling menolong, suka kerja kelompok, setia kawan dan ada pembagian tugas dengan orang lain. 7. Fungsi ekonomi

(43)

a. Ilmu ekonomi makro, kegiatan perekonomian secara keseluruhan, seperti pendapatan nasional, kesempatan kerja, dan tingkat harga pada umumnya. b. Ilmu ekonomi mikro, mempelajari dan menganalisis bagian-bagian tertentu

dari keseluruhan kegiatan perekonomian seperti tingkah laku konsumen dan tingkah laku produsen.

Dalam menjalani kehidupan, manusia membutuhkan berbagai jenis dan macam barang-barang maupun jasa untuk memenuhi kebutuhan diantaranya adalah: a. Kebutuhan primer

Kebutuhan primer adalah kebutuhan pokok yang benar-benar sangat dibutuhkan oleh keluarga dan sifatnya wajib untuk dipenuhi, contohnya kebutuhan sandang, pangan dan papan.

b. Kebutuhan sekunder

Kebutuhan sekunder keluarga adalah kebutuhan yang diperlukan setelah semua kebutuhan pokok terpenuhi, contohnya kebutuhan rekreasi, kebutuhan transportasi, kesehatan, dan pendidikan.

c. Kebutuhan tersier

(44)

8. Fungsi lingkungan

Kemampuan keluarga dalam pelestarian lingkungan merupakan langkah yang positif. Penempatan diri untuk keluarga sejahtera dalam lingkungan sosial budaya dan lingkungan alam yang dinamis secara serasi, selaras dan seimbang. Upaya pengembangan fungsi lingkungan ini dimaksud sebagai wahana bagi keluarga agar dapat mengaktualisasikan diri dalam membangun dirinya menjadi keluarga sejahtera dengan difasilitasi oleh institusi masyarakat sebagai lingkungan sosialnya dan dukungan kemudahan dari pemerintah.

Dalam fungsi lingkungan terdapat 2 (dua) nilai dasar yang mesti dipahami dan ditanamkan dalam keluarga. Kedua nilai dasar tersebut diantaranya:

a. Bersih, maksudnya suatu keadaan lingkungan yang bebas dari kotoran, sampah dan polusi.

b. Disiplin, maksudnya mematuhi aturan dan kesepakatan yang berlaku. (BkkbN, 2013).

2.12 Landasan Teori

(45)

berumur 25 tahun karena pada umur tersebut pria dipandang cukup dewasa secara jasmani dan rohani. Wanita dianjurkan menikah setelah berumur 20 tahun karena pada umur tersebut wanita telah menyelesaikan pertumbuhannya dan rahim melakukan fungsinya secara maksimal.

Pernikahan dini banyak terjadi pada masyarakat miskin yang erat kaitannya dengan pendapatan yang rendah, kurangnya pendidikan, kurangnya kesehatan, dan kurangnya aset. Bahwa pernikahan dini terjadi pada masyarakat yang memiliki pendapatan yang minim dan berada di bawah tingkat kemiskinan. Tingkat ekonomi orang tua berpengaruh pada usia anak untuk menikah. Semakin tinggi tingkat ekonomi orang tua memperlambat mereka untuk menikahkan anak perempuannya pada usia dini.

Grogger Bronars (2010) mengungkapkan bahwa tingkat pendidikan berkaitan dengan usia kawin yang pertama. Di Indonesia dan Nepal menyatakan bahwa pendidikan orang tua berpengaruh pada pernikahan dini. Lebih lanjut dijelaskan bahwa tingkat pendidikan orang tua yang tinggi akan menunda perkawinan anak perempuannya sampai mereka menyelesaikan pendidikan yang lebih tinggi. Orang tua yang lebih berpendidikan lebih dapat menerima nilai-nilai modern dan memberikan kebebasan kepada anak mereka untuk menentukan jodohnya sendiri.

(46)

kepercayaan dan lingkungan alam. Perkawinan usia muda masih banyak ditemukan di berbagai wilayah pedesaan karena pengaruh karakteristik lingkungan fisik, ekonomi dan sosial budaya masyarakat. Ketiga factor yang mendasari dinamika kehidupan manusia dalam masyarakat inilah yang membentuk perbedaan sikap antar komunitas dalam menyikapi persoalan yang dihadapi.

Referensi

Dokumen terkait

Maka jikalau yang dikebumikan adalah orang mukmin kuburan akan menyambutnya "Marhaban ahlan wa sahlan, engkau adalah salah satu orang yang kucinta dari sekian orang yang berjalan

PT. POS INDONESIA memberikan hadiah undian pada konsumennya dengan mengacak nomer resi setiap pengiriman yang dilakukan konsumen. Hadiah undian dilakukan pada saat My

Buku ajar pembelajaran matematika yang sesuai dengan kebutuhan siswa meliputi beberapa hal, yaitu tingkat berfikir matematika siswa, materi,. karakteristik

[r]

a. Kemampuan motorik halus. a) Stimulasi yang perlu di lanjutkan. 1) Memasukan benda kedalam wadah. 2) Bermain dengan mainan yang mengapung di air. 3) Menggambar, menyusun kubus

bahwa banyaknya zeolit yang ditambahkan berpengaruh terhadap luas permukaan adsorben yang dihasilkan, hal ini menunjukkan bahwa proses sintesis adsorben dari arang

Berbeda dengan pendidikan berbasis masyarakat, dimana model seperti ini akan lebih banyak menimbulkan friksi-friksi dalam masyarakat karena yang ditonjolkan justru ciri kedaerahan

puskesmas pustu dan jaringannya Dinas Kesehatan Kabupaten Bengkulu Utara Tahun Anggaran. 2013, dengan ini mengumumkan Pemenang Pemilihan Langsung dengan Pasca