• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penyakit Paru Obstruktif kronik stabil

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Penyakit Paru Obstruktif kronik stabil "

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

TUGAS PATOLOGI

“ PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF “

OLEH :

NAMA : SAKINAH

NIM : F1F1 11 023

KELAS : FARMASI B

JURUSAN FARMASI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS HALUOLEO

(2)

Penyakit Paru Obstr uktif

A. Definisi

Penyakit paru obstruksi adalah penyakit atau gangguan paru yang memberikan kelainan ventilasi berupa gangguan obstruksi saluran napas. Penyakit dengan kelainan tersebut antara lain adalah asma bronkial, penyakit paru obstruksi kronik (PPOK) dan sindrom obstruksi pasca Tb (SOPT). Meskipun semuanya memberikan kelainan berupa obstruksi saluran napas, tetapi mekanisme terjadinya kelainan itu berbeda pada masing-masing penyakit.

Menurut The National Heart, Lung, and Blood Institute (NHLBI) dan WHO, paru obstruktif kronik atau Chronic Obstructive Pulmonary Disease (COPD) sebagai penyakit yang ditandai oleh keterbatasan jalan udara yang progresif yang sepenuhnya dapat pulih kembali. Keterbatasan jalan udara biasanya dapat progresif dan terasosiasi dengan respon inflamasi abnormal paru-paru terhadap partikel asing atau gas. Kondisi paling umum yang menyebabkan CPOD adalah broknitis kronik dan emfisema.

(3)

bulan dalam setahun dan ini berlangsung paling tidak dalam 2 tahun beturut-turut bila penyebab batuk yang lain telah dieluarkan.

Gangguan obstruksi yang terjadi menimbulkan dampak buruk terhadap penderita karena menimbulkan gangguan oksigenisasi dengan segala dampaknya. Obstruksi saluran napas yang terjadi bisa bertambah berat jika ada gangguan lain seperti infeksi saluran napas dan eksaserbasi akut penyakitnya.

B. Patofisiologi

• Etiologi yang paling umum adalah paparan terhadap asap rokok di lingkungan, tetapi

paparan kronik lain dapat pula menyebabkan COPD. Menghirup pastikel asing dan gas menstimulasi aktivasi neutrofil, makrofag, dan limfosit CD 8+, yang melepaskan sejumlah mediator kimia, termausk tumor nekrosis faktor (TNF) alfa-interleukin-8 (IL-8) dan leukotrien B4 (LTB4). Sel inflamasi dan mediator ini menyebabkan perubahan destruktif meluas pada jalan udara, pembuluh pulmonary, dan parenkim paru-paru. • Proses patofisiologik lainnya termasuk stress oksidatif dan ketidakseimbangan antara

sistem pertahanan agresif dan protektif di paru-paru (protease dan antiprotease). Peningkatan oksidator dari asap rokok bereaksi dengan dan merusak berbagai protein dan lipid, yang menyebabkan kerusakan sel dan jaringan. Oksidator juga memudahkan inflamasi secara langsung dan memperparah ketidakseimbangan protease-antiprotease dengana menghibisi aktivitas antiprotease.

Antiprotease protektif alfa1- antitrypsin (AAT) menghambat sejumlah enzim protease,

(4)

Defisiensi turunan AAT menyebabkan peningkatan resiko perkembangan emfisema prematur. Pada penyakit yang diturunkan terdapat suau defisiensi AAT absolute. Pada emfisema yang diakibatkan oleh merokok, ketidakseimbangan ini berhubungan dengan peningkatan aktivitas protease atau pengurangan aktivitas antiprotease. Sel inflamasi yang teraktivasi membebaskan protease yang lain, termasuk katepsin dan metaloproteinase (MMP). Selain itu, stress oksidatif juga mengurangi aktifitas antiprotease.

• Suatu eksudat inflamasi dering ditemui pada jalan udara yang menyebabkan suatu

peningkatan jumlah dan ukuran sel goblet dan kelenjar mucus. Sekresi mucus meningkat, dan motilitas siliar mengalami kerusakan. Terdapat penebalan otot polos dan jaringan ikat pada jalan udara. Inflamasi kronik menyebabkan pembentukan parut dan fibrosis. Penyempitan jalan udara yang meluas terjadi dan lebih parah pada jalan udara periferal yang berukuran kecil.

• Perubahan parenkimal mempengaruhi unit penukar gas paru-paru (alveoli dan kapiler

pulmonar). Penyakit yang terkait dengan merokok paling umum menyebabkan emfisema sentrilobar yang terutama mempengaruhi bronkiol respirasi. Emfisema pan-lobular dijumpai pada defisiensi AAT dan meluas sampai ke duktus dan kantung alveolus. • Perubahan vascular termasuk penebalan pembuluh pulmonar yang dapat meyebabkan

(5)

C. Manifestasi Klinik

• Gejala awal paru obstruktif kronik termasuk batuk kronik dan produksi sputum; pasien

dapat mengalami gejala ini selama beberapa tahun sebelum berkembangnya dispnea. • Pemeriksaan fisik menunjukkan hasil normal pada pasien yang berada pada tahan paru

obstruktif kronik yang lebih ringan. Bila keterbatasan aliran udara menjadi parah, pasien dapat mengalami sianosis membrane mukosa, barrel chest karena pengembangan paru-paru berlebihan, peningkatan laju respirasi istirahat, nafas dangkal, bibir monyong selama ekspirasi, dan penggunaan otot respirasi pelengkap.

• Pasien dengan paru obstruktif kronik yang memburuk dapat mengalami dispnea yang

parah, peninggkatan volume sputum, atau peningkatan kandungan nanah pada sputum. Tanda umum lain dari paru obstruktif kronik yang memburuk termasuk dada sempit, peningkatan kebutuhan brokodilator, tidak enak badan, lelah, dan penuruan toleransi latihan fisik.

(6)

D. Mekanisme Obstruksi Saluran Napas

Obstruksi saluran napas difus yang terjadi pada asma terdiri dari empat unsur, yaitu : 1. Hipertrofi otot polos bronkus

2. Peningkatan sekresi mukus ke dalam lumen bronkus 3. Edema mukosa bronkus

(7)

Partikulat dalam asap rokok dan udara terpolusi mengendap pada lapisan mukus yang melapisi mukosa bronkus, sehingga menghambat aktivitas silia. Pergerakan cairan yang melapisi mukosa berkurang, sehingga iritasi pada sel epitel mukosa meningkat. Hal ini akan lebih merangsang kelenjar mukosa. Keadaan ini ditandai dengan gangguan aktifitas silia menimbulkan gejala batuk kronik dan ekpektorasi. Produk mukus yang berlebihan memudahkan timbulnya infeksi serta menghambat proses penyembuhan, keadaan ini merupakan suatu lingkaran dengan akibat terjadi hipersekresi. Bila iritasi dan oksidasi di saluran napas terus berlangsung maka terjadi erosi epitel serta pembentukan jaringan parut. Selain itu terjadi pula metaplasi skuamosa dan penebalan lapisan skuamosa. Hal ini menimbulkan stenosis dan obstruksi saluran napas yang bersifat irreversible.

(8)

E. Pemeriksaan

Diagnosis PPOK di tegakkan berdasarkan : 1. Gambaran klinis

(9)

§ Keluhan

§ Riwayat penyakit, berupa riwayat merokok atau bekas perokok dengan atau tanpa gejala pernapasan, riwayat terpajan zat iritan yang bermakna di tempat kerja, riwayat penyakit emfisema pada keluarga.

§ Faktor predisposisi, di mana terdapat faktor predisposisi pada masa bayi/anak, mis berat badan lahir rendah (BBLR), infeksi saluran napas berulang, lingkungan asap rokok dan polusi udara, Batuk berulang dengan atau tanpa dahak, sesak dengan atau tanpa bunyi mengi.

b. Pemeriksaan fisis § Inspeksi

- Pursed - lips breathing (mulut setengah terkatup mencucu). Pursed - lips breathing adalah sikap seseorang yang bernapas dengan mulut mencucu dan ekspirasi yang memanjang. Sikap ini terjadi sebagai mekanisme tubuh untuk mengeluarkan retensi CO2 yang terjadi sebagai mekanisme tubuh untuk mengeluarkan retensi CO2 yang terjadi pada gagal napas kronik.

- Barrel chest (diameter antero - posterior dan transversal sebanding) - Penggunaan otot bantu napas

- Hipertropi otot bantu napas - Pelebaran sela iga

(10)

- Penampilan pink puffer atau blue bloater. Pink puffer adalah gambaran yang khas pada emfisema, penderita kurus, kulit kemerahan dan pernapasan pursed - lips breathing, sedangkan blue bloater adalah gambaran khas pada bronkitis kronik, penderita gemuk sianosis, terdapat edema tungkai dan ronki basah di basal paru, sianosis sentral dan perifer.

§ Palpasi, pada emfisema fremitus melemah, sela iga melebar.

§ Perkusi, pada emfisema hipersonor dan batas jantung mengecil, letak diafragma rendah, hepar terdorong ke bawah.

- Obstruksi ditentukan oleh nilai VEP1 prediksi (%) dan atau VEP1/KVP (%). Obstruksi : % VEP1(VEP1/VEP1 pred) < 80% VEP1% (VEP1/KVP) < 75 %. - VEP1 merupakan parameter yang paling umum dipakai untuk menilai

beratnya PPOK dan memantau perjalanan penyakit.

(11)

§ Uji Bronkodilator

- Dilakukan dengan menggunakan spirometri, bila tidak ada gunakan APE meter.

- Setelah pemberian bronkodilator inhalasi sebanyak 8 hisapan, 15 - 20 menit kemudian dilihat perubahan nilai VEP1 atau APE, perubahan VEP1 atau APE < 20% nilai awaldan < 200 ml.

- Uji bronkodilator dilakukan pada PPOK stabil. § Darah rutin, yaitu pemeriksaan pada Hb, Ht, leukosit.

§ Radiologi. Foto toraks PA dan lateral berguna untuk menyingkirkan penyakit paru

lain. Pada emfisema terlihat gambaran : Hiperinflasi, Hiperlusen, ruang retrosternal melebar, diafragma mendatar, jantung menggantung (jantung pendulum/ tear drop/ eye drop appearance). Pada bronkitis kronik : normal, corakan bronkovaskuler bertambah pada 21 % kasus.

b. Pemeriksaan khusus (tidak rutin) § Faal Paru

- Volume Residu (VR), Kapasiti Residu Fungsional (KRF), Kapasiti Paru Total (KPT), VR/KRF, VR/KPT meningkat.

- DLCO menurun pada emfisema. - Raw meningkat pada bronkitis kronik. - Sgaw meningkat.

- Variabiliti Harian APE kurang dari 20 % § Uji Latih Kardiopulmoner

(12)

- Jentera (treadmill)

- Jalan 6 menit, lebih rendah dari normal

§ Uji provokasi bronkus, untuk ntuk menilai derajat hipereaktiviti bronkus, pada sebagian kecil PPOK terdapat hipereaktiviti bronkus derajat ringan.

§ Uji coba kortikosteroid, menilai perbaikan faal paru setelah pemberian kortikosteroid oral (prednison atau metilprednisolon) sebanyak 30 - 50 mg per hari selama 2 minggu yaitu peningkatan VEP1 pascabronkodilator >20 % dan minimal 250 ml. Pada PPOK umumnya tidak terdapat kenaikan faal paru setelah pemberian kortikosteroid.

§ Analisis gas darah, terutama untuk menilai gagal napas kronik stabil dan gagal napas akut pada gagal napas kronik

§ Radiologi

- CT Scan resolusi tinggi

- Mendeteksi emfisema dini dan menilai jenis serta derajat emfisema atau bula yang tidak terdeteksi oleh foto toraks polos.

- Scan ventilasi perfusi Mengetahui fungsi respirasi paru.

§ Elektrokardiografi, mengetahui komplikasi pada jantung yang ditandai oleh Pulmonal dan hipertrofi ventrikel kanan.

§ Ekokardiografi, menilai fungsi jantung kanan.

(13)

§ Pemeriksaan kadar alfa-1 antitripsin. Kadar antitripsin alfa-1 rendah pada emfisema herediter (emfisema pada usia muda), defisiensi antitripsin alfa-1 jarang ditemukan di Indonesia.

Asma dan PPOK adalah penyakit obstruksi saluran napas yang sering ditemukan di Indonesia, karena itu diagnosis yang tepat harus ditegakkan karena terapi dan prognosisnya berbeda.

F. Penanganan

Penatalaksanaan pada penyakit paru obstruksi bertujuan untuk menghilangkan atau mengurangi obstruksi yang terjadi seminimal mungkin dan secepatnya agar oksigenisasi dapat kembali normal; keadaan ini dipertahankan dan diusahakan menghindari perburukan penyakit atau timbulnya obstruksi kembali pada kasus dengan obstruksi yang reversibel. Dasardasar penatalaksanaan ini pada PPOK adalah :

(14)

3) Mengatasi bronkospasme 4) Memberantas infeksi

5) Penanganan terhadap komplikasi

6) Fisioterapi, terapi inhalasi dan rehabilitasi.

Pada asma dan PPOK, suatu serangan akut atau eksaserbasi akut memerlukan penatalaksanaan yang tepat agar obstruksi yang terjadi dapat diatasi seoptimal mungkin sehingga risiko komplikasi dan perburukan penyakit dapat dihindari sedapat mungkin. Pada obstruksi kronik yang terdapat pada PPOK dan SOPT penatalaksanaan bertujuan untuk memperlambat proses perburukan faal paru dengan menghindari eksaserbasi akut dan faktor-faktor yang memperburuk penyakit. Pada penderita PPOK penurunan faal paru lebih besar dibandingkan orang normal. Penelitian di RSUP Persahabatan menunjukkan bahwa nilai volume ekspirasi paksa detik pertama (VEP1) pada penderita PPOK menurun sebesar 52 ml setiap tahunnya. Penatalaksanaan penyakit paru obstruksi secara umum terdiri dari:

I. Penatalaksanaan umum

1) Pendidikan terhadap penderita dan keluarga. Mereka hendaklah mengetahui penyakitnya, yang meliputi berat penyakit, faktor-faktor yang dapat mencetuskan eksaserbasi serta faktor yang bisa memperburuk penyakit. Perlu peranan aktif penderita untuk usaha pencegahan dan pengobatan.

(15)

3) Menghindari infeksi. Infeksi saluran napas sedapat mungkin dihindan oleh karena dapat menimbulkan suatu eksaserbasi akut penyakit.

4) Lingkungan sehat. Perubahan cuaca yang mendadak, udara terlalu panas atau dingin dapat meningkatkan produksi sputum dan obstruksi saluran napas. Tempat ketinggian dengan kadar oksigen rendah dapat menurunkan tekanan oksigen dalam arteri. Pada penderita PPOK terjadinya hipertensi pulmonal dan kor pulmonale dapat diperlambat bila penderita pindah dari dataran tinggi ke tempat di permukaan laut.

5) Mencukupkan kebutuhan cairan. Hal ini penting untuk mengencerkan sputum sehingga mudah dikeluarkan. Pada keadaan dekompesasi kordis, pemakaian kortikosteroid dan hiponatremi memperbesar kemungkinan terjadinya kelebihan cairan.

6) Nutrien yang cukup. Pemberian makanan yang cukup perlu dipertahankan oleh karena penderita sering mengalami anoreksia oleh karena sesak napas, dan pemakaian obat-obatan yang menimbulkan rasa mual.

II. Pemberian obat-obatan 1) Bronkodilator

Bronkodilator merupakan obat utama untuk mengatasi atau mengurangi obstruksi saluran napas yang terdapat pada penyakit paru obstruksi. Ada 3 golongan bronkodilator utama yaitu golongan simpatomimetik, golongan antikolinergik dan golongan xanthin; ke tiga obat ini mempunyai cara kerja yang berbeda dalam mengatasi obstruksi saluran napas.

(16)

terutama adalah beta-2. Pemberian beta agonis menimbulkan bronkodilatasi. Reseptor beta berhubungan erat dengan adenilsiklase, yaitu substansi penting yang menghasilkan siklik AMP yang menyebabkan bronkodilatasi.

Golongan antikolinergik digunakan pada derajat ringan sampai berat, disamping sebagai bronkodilator juga mengurangi sekresi lendir ( maksimal 4 kali perhari ). Golongan agonis beta -2. Bentuk inhaler digunakan untuk mengatasi sesak, peningkatan jumlah penggunaan dapat sebagai monitor timbulnya eksaserbasi. Sebagai obat pemeliharaan sebaiknya digunakan bentuk tablet yang berefek panjang. Bentuk nebuliser dapat digunakan untuk mengatasi eksaserbasi akut, tidak dianjurkan untuk penggunaan jangka panjang. Bentuk injeksi subkutan atau drip untuk mengatasi eksaserbasi berat. Kombinasi antikolinergik dan agonis beta–2. Kombinasi kedua golongan obat ini akan memperkuat efek bronkodilatasi, karena keduanya mempunyai tempat kerja yang berbeda. Disamping itu penggunaan obat kombinasi lebih sederhana dan mempermudah penderita.

Persarafan bronkus berasal dan sistem parasimpatis melalui nervus vagus Pada asma aktifitas refleks vagal dianggap sebagai komponen utama bronkokonstriksi; tetapi peranan vagus yang pasti tidak diketahui. Substansi penghantar saraf tersebut adalah asetilkolin yang dapat menimbulkan bronkokonstniksi. Atropin adalah zat antagonis kompetitif dan asetilkolin dan dapat menimbulkan relaksasi otot polos bronkus sehingga timbul bronkodilatasi.

(17)

Bentuk tablet biasa atau puyer untuk mengatasi sesak (pelega napas) bentuk suntikan bolus atau drip untuk mengatasi eksaserbasi akut. Penggunaan jangka panjang diperlukan pemeriksaan kadar aminofilin darah. Beberapa mekanisme yang diduga menyebabkan terjadinya bronkodilator, adalah :

• Blokade reseptor adenosine

• Rangsangan pelepasan katekolamin endogen

• Meningkatkan jumlah dan efektivitas sel T supresor

• Meningkatkan ambilan kalsium ke dalam sel otot polos dan penghambatan

penglepasan mediator dan sel mast.

Obat golongan simpatomimetik seperti adrenalin dan efedrin selain memberikan efek bronkodilatasi juga menimbulkan takikardi dan palpitasi; pemakaian obat-obat yang selektif terhadap reseptor beta mengurangi efek samping ini. Golongan agonis beta-2 yang dianggap selektif antara lain adalah terbutalin, feneterol, salbutamol, orsiprenalin dan salmeterol. Di samping bersifat sebagai bronkodilator, bila diberikan secara inhalasi dapat memobilisasi lendir. Pemberian beta-2 dapat menimbulkan tremor tetapi bila terus diberikan maka gejala akan berkurang.

(18)

beta-2 dan xanthin memberikan efek bronkodilatasi yang lebih baik, sehingga dosis dapat diturunkan sehingga efek samping juga menjadi sedikit.

Pada penderita asma akut pemberian antikolinergik tidak direkomendasikan oleh karena efeknya lebih rendah dibandingkan golongan agonis beta-2; tetapi penambahan obat antikolinergik dapat meningkatkan efek bronkodilatasi. Pada asma kronik antikolinergik cukup aman,bronkodilatasi terjadi melalui blockade reseptor muskaninik non spesifik. Meskipun efeknya kurang dari gonis beta-2 tapi penambahan obat ini memberikan efek tambahan terutama pada penderita asma yang lebih tua. Ketika diberikan secara inhalasi, agen antikolinergik memproduksi mronkodilatasi dengan mengihibisi reseptor kolinergik secara kompetiitk pada otot polos bronkial. Aktivitas ini memblok asetiklokin, yang efek selanjutnya adalah pengurangan guanosin monofosfat siklik (cGMP) yang umumnya mengkonstriksi otot polos bronkial.-

Golongan xanthin mempunyai efek bronkodilator yang lebih rendah, selain bersifat bronkodilator obat ini juga berperan dalam meningkatkan kekuatan otot diafragma. Pada penderita emfisema dan bronkitis kronik metabolisme obat golongan xanthin ini dipengaruhi oleh faktor uimur, merokok, gagal jantung, infeksi bakteri dan penggunaan obat simetidin dan eitromisin. Oleh karena itu penggunaan obat xanthin pada PPOK membutuhkan pemantauan yang ketat. Pemberian bronkodilator secara inhalasi sangat dianjurkan oleh kanena cara ini memberikan berbagai keuntungan yaitu:

(19)

Dosis obat yang kecil

Efek samping yang minimal karena kadar obat dalam darah rendah. Membantu mobilisasi lendir.

Ada berbagai cara pemberian obat inhalasi yaitu dengan inhalasi dosis terukur, alat bantu spacer, nebuhaler, turbuhaler, dischaler, rotahaler dan nebuliser. Hal yang perlu diperhatikan adalah cara pemakaian yang tepat dan benar sehingga obat dapat mencapai saluran napas dengan dosis yang cukup.Pada orang tua dan anak-anak serta pada suatu serangan akut yang berat mungkin obat tidak bisa dihisap dengan baik sehingga sukar mendapatkan bronkodilatasi yang optimal pada pemakaian inhalasi dosis terukur. Pemberian inhalasi fenoterol 1 ml konsentrasi 0,1% dengan nebuliser pada serangan asma memberikan perbaikan faal paru yang sangat bermakna pada 32 penderita asma yang berobat ke poli Asma RSUP Persahabatan; tetapi pada 19 orang penderita PPOK dengan eksaserbasi akut, inhalasi ini memberikan perbaikan subjektif sedangkan peningkatan faal paru tidak bermakna.

(20)

2) Ekspektoran dan mukolitik

(21)

3) Antibiotika

Infeksi sangat berperan pada perjalanan penyakit paru obstruksi, terutama pada keadaan eksaserbasi., Infeksi virus paling sering menimbulkan eksaserbasi diikuti oleh infeksi bakteri. Bila infeksi berlanjut maka perjalanan penyakit akan makin memburuk.Penanganan infeksi yang cepat dan tepat sangat perlu dalam penatalaksanaan penyakit. Pemberian antibiotika dapat mengurangi lama dan beratnya eksaserbasi.Perubahan warna sputum dapat merupakan indikasi infeksi bakteri. Antibiotika yang biasanya bermanfaat adalah golongan penisilin, eritromisin dan kotrimoksasol, biasanya diberikan selama 7–10 hari. Apabila antibiotika tidak memberikan perbaikan maka perlu dilakukan pemeriksaan mikroorganisme.

Antibiotika, hanya diberikan bila terdapat infeksi. Antibiotik yang digunakan : - Lini I : amoksisilin, makrolid

- Lini II : amoksisilin dan asam klavulanat(sefalosporin, kuinolon, makrolid baru). 4) Kortikosteroid

(22)

III. Terapi oksigen

Pada penderita dengan hipoksemi, yaitu Pa 02 < 55 mmHg pemberian oksigen konsentrasi rendah 1–3 liter/menit secara terus menerus memberikan perbaikan psikis, koordinasi otot, toleransi beban kerja dan pola tidur. Hipoksemi dapat mencetuskan dekompensatio kordis pada penderita PPOK terutama pada saat adanya infeksi saluran napas. Gejala gangguan tidur, gelisah dan sakit kepala mungkin merupakan petunjuk perlunya oksigen tambahan. Pada penderita dengan infeksi saluran napas akut dan dekompensasi kordis pemberian Inspiratory Positive Pressure Breathing (IPPB) bermanfaat untuk mencegah dan menyembuhkan atelektasis.

IV. Rehabilitasi

(23)

Daftar Pustaka

Irwanto, 2010, Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK), http://dr-irwanto.blogspot.com, diakses tanggal 11 Mei 2013.

Yuliana, Prof. Dr. Elin, dkk, 2008, ISO Farmakoterapi, PT. ISFI, Jakarta.

Referensi

Dokumen terkait

The issue here is whether the internet fits in with the traditional purpose and direction of diplomatic reporting - focussed as this has been on the provision of information

Diagram Perhitungan Beban Sandar 1 Pendahuluan Identifikasi Jenis Kapal dan Kondisi Perairan Perhitungan Kecepatan Sandar dan Koefisien Beban Sandar Penentuan faktor keamanan

Hal penting yang harus diperhatikan adalah bila suatu balok hanya mengalami satu beban terpusat gaya geser bernilai konstan di antara beban dan momen lentur

[r]

Hikmah iman kepada Malaikat : Bertindak hati-hati dalam berperilaku keseharian, Memiliki kepedulian sosial dalam hidup dengan masyarakat sekitar, Perilaku

Sehubungan dengan itu, Lembaga Penelitian Universitas Negeri Padang bekerjasama dengan Pimpinan Universitas, telah memfasilitasi peneliti untuk melaksanakan penelitian

Apa saja yang menjadi kendala penegakan hukum terhadap pelaku usaha. tambang timah yang tidak memiliki IUP, IPR, dan IUPK di

Puji dan syukur kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan ridlo-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skri psi ini dengan judul “Sistem