KEMANDIRIAN PADA USIA DEWASA AWAL
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi
Program Studi Psikologi
Oleh:
R.A. Andini Avriyani
NIM : 009114102
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
KEMANDIRIAN PADA USIA DEWASA AWAL
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi
Program Studi Psikologi
Oleh:
R.A. Andini Avriyani
NIM : 009114102
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
2008
Kupersembahkan karya sederhanaku ini untuk :
ALLAH SWT…atas anugerahNya, bimbinganNya, dan setiap kesempatan untuk me mperbaiki kesalahanku
Ibu Dra. Sri Agustini tersayang yang telah sabar me mbimbingku, me mberiku pilihan untuk masa depanku,…ure truly my wonder woman
Ema R.M. Akib Rusdi Tjekyan tercinta yang selalu “ada” untukku, menjagaku dengan baik…I miss u so much….smoga slalu bahagia disisiNya
Terima kasih atas segala kasih sayang dan cinta yang tak terbatas, doa yang tak kenal waktu...tidak ada kata dan waktu yang cukup, untuk dapat
mengungkapkan rasa terima kasihku pada kedua orang tuaku….
Saudaraku tersayang, Didi, Deni, Iman yang selalu mengingatkanku dan me mbantuku…luv u all
Semedi dan orang-orang terdekatnya….makasi buat dukungan, bantuan, dan pelajaran hidup yang kita habiskan bersama…u all already be a part of my
life…and I’m greatfull to know it…luv u all…my new family
Semua Guru, dan Dosenku…terima kasih untuk semua ilmu yang berguna bagiku….semua orang yang pernah “mengajariku” untuk menjadi lebih baik dan
dewasa
Bukankah Kami telah melapangkan untukmu dadamu? Dan Kami telah
menghilangkan dari padamu bebanmu. Yang memberatkan punggungmu? Dan
Kami tinggikan bagimu sebutan (nama)mu. Karena sesungguhnya sesudah
kesulitan itu ada kemudahan. Sesumgguhnya sesudah kesulitan itu ada
kemudahan. Maka apabila kamu telah selesai (dari suatu urusan). Kerjakanlah
dengan sungguh-sungguh urusan yang lain. Dan hanya kepada Tuhanmulah
hendaknya kamu berharap (Q.S.Asy Syarh; 1-8).
…
..And sure they tell u, you’ll never pull through, don’t hestitate, stand tall and
say...I can make it through the rain, I can stand up once again, on my own, and I
know that I’m strong enough to main, everytime I feel afraid I hold tight it to my
faith and I live one more day and I make it through the rain... (Mariah Carey).
Hadapilah kesulitan saat mereka masih mudah
diatasi (Lao Tze, Tao Te Ching).
…And there’s a hero comes along, with the strenght to cary on and u cast ure
fear aside and u know u can suvive so when you feel like hope is gone, look
inside u and be strong and you’ll find and see the truth…. That a hero lies in
you… (Mariah Carey).
Puji syukur kepada Allah SWT atas berkat dan rahmat-Nya sehingga
penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Hubungan Kecerdasan
Emosional Dan Kemandirian Pada Usia Dewasa Awal. Skripsi ini disusun untuk
memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Psikologi. Penulis
menyadari adanya berbagai permasalahan dan kendala yang muncul saat
melaksanakan dan menyusun penelitian ini. Proses penulisan ini dari awal sampai
akhir sangat banyak melibatkan kerjasama dan bantuan dari berbagai pihak. Oleh
karena itu penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada :
a Bapak P. Eddy Suhartanto, S.Psi., M.Si. selaku Dekan Fakultas Psikologi
Universitas Sanata Dharma.
b Ibu Sylvia CMYM., S.Psi., M.Si. selaku Ketua Program Studi (Kaprodi)
dan dosen penguji.
c Ibu Dra. Lusia Pratidarmanastiti, MS. selaku dosen penguji.
d Ibu ML. Anantasari, S.PSi., M.Si. selaku dosen pembimbing skripsi yang
telah dengan sabar memberikan arahan, bimbingan, dan juga motivasi
selama proses penelitian dan penulisan skripsi ini….makasi banyak ya bu.
e Bapak Drs. H. Wahyudi, M.Si. yang telah menjadi dosen pembimbing
akademik penulis.
f Semua dosen di Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma atas segala
bimbingan dan bantuannya selama ini.
Gandung, Mas Muji, Mas Doni, Mbak Nanik, Pak Gik, terima kasih atas
keramahan dan kesabarannya dalam memberikan informasi, fasilitas, dan
bantuannya selama kuliah.
h Teman-teman yang telah membantuku dalam pengumpulan data
penelitian, dan mengajarkanku bersahabat dengan program statistik.
i Ibu dan Ema, terimakasih untuk segalanya yang tak terucap…I love you so
much…ure the best that I ever had….
j Didi, Deni, Iman…my bodyguard….let make our dream come true…
amien…
k Mbak Endang…dan keluarga-keluargaku yang membantuku…terima
kasih banyak.
l Teman-teman Semedi…..icha dan mas yudi, rini dan mas totox, ulin dan
wicak, ete dan mas didik, sinta dan didi, tiwuk dan dion, ellen dan
“calon-nya”, vivi dan popo, poe dan ucup, ria dan mas adi….luv u all guys…
makasi buat dukungannya yang selalu ada, buat bantuannya, buat waktu
yang telah kita habiskan bersama….makasi buat smuanya (I can’t mention
it one by one…coz it too much to say)…makasi telah menambah warna
lain dalam hidupku…
m Teman-teman kos Candi Indah dan orang-orang dekatnya…dina, anton,
vira, sonny...makasi da banyak dibantuin ya...cptn lulus sana, ka yoz,
espc.mira.…makasi ya buat bantuannya, semangatnya, waktunya, dan
n Ma best pren….indah n cuit…makasi dah disemangatin n masukannya
juga…aq tau mau kmana kalo lagi suntuk jika ada kalian ;)….
o Anca-anca…..akhirnya sampe jg awak ke titik perjuangan yang telah
kalian lewati dulu…doakan aq cepat menyusul ke tahap
selanjutnya….thanks ya guys….friendship never ending story
p O’ox…temen seperjuangan….cayo !!!! dikit lagi kelar kok ox…thanks ya
dah dibantuin kmaren, ditemenin, disupport…thanks 4 being my trully
friend…posisi kita sama sekarang ;)
q Teman-teman KKN ku, espc.tari n vica….makasi buat dukungan, masukan
selama ini…kalian membantuku melewati smuanya dengan baik.
r Vera n ike…aq pulang..tapi ga lama…thanks ya guys…buat
“peringatannya” kalo aq dah terlalu lama di jogja.
s Orang-orang yang pernah dekat denganku….terima kasih untuk
memberiku pengalaman dan dukungan.
Penulis menyadari bahwa tulisan ini masih belum sempurna, sehingga
kritik dan saran akan penulis terima dengan hati terbuka. Akhir kata, semoga
tulisan ini bermanfaat bagi pembaca.
Yogyakarta, Agustus 2008
Penulis
HUBUNGAN KECERDASAN EMOSIONAL DAN KEMANDIRIAN PADA
USIA DEWASA AWAL
R.A. Andini Avriyani
Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma
Yogyakarta
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan kecerdasan emosional dan kemandirian pada usia dewasa awal. Hipotesis yang diajukan adalah ada hubungan yang positif antara kecerdasan emosional dan kemandirian pada usia dewasa awal. Arah hubungannya adalah semakin tinggi kecerdasan emosional maka semakin tinggi kemandiriannya, sebaliknya semakin rendah kecerdasan emosional semakin rendah kemandiriannya.
Jenis penelitian ini termasuk penelitian korelasional. Subjek penelitian adalah usia dewasa awal di Yogyakarta dalam rentang usia 22-25 tahun, dan dengan tingkat pendidikan yang sama, yakni S-1 atau D-3. Metode yang digunakan untuk mengumpulkan data dalam penelitian ini adalah dengan menyebarkan skala. Skala digunakan untuk mengukur variabel kecerdasan emosi dan variabel kemandirian.
Melalui uji kesahihan, 62 aitem skala kecerdasan emosional dinyatakan 21 aitem yang gugur dan 41 aitem yang sahih, dengan koefisien reliabilitasnya sebesar 0,971. Sedangkan dari 60 aitem skala kemandirian dinyatakan 22 aitem yang gugur dan 38 aitem yang sahih dengan koefisien reliabilitas sebesar 0,950.
Hasil analisis data menyatakan bahwa sebaran data normal dan memiliki korelasi linier. Data penelitian dianalisis dengan menggunakan teknik korelasi
Product Moment dari Pearson melalui program SPSS for windows versi 12.00, dengan taraf signifikansi 0,05 (1 ekor), diperoleh koefisien korelasi (r) sebesar 0,812 dengan probabilitas 0,000 (p < 0,05). Artinya ada hubungan positif yang signifikan antara kecerdasan emosional dan kemandirian pada usia dewasa awal.
THE CORRELATION BETWEEN EMOTIONAL INTELLIGENCE AND
AUTONOMY OF EARLY ADULTHOOD
R.A. Andini Avriyani
Faculty of Psychology
Sanata Dharma University
Yogyakarta
This research was aimed to find the correlation between emotional intelegence and autonomy on early adulthood. The purposed hypothesis was there is a positive correlation between emotional intelligence and autonomy of early adulthood. The higher emotional intelligence, the higher autonomy level. On the contrary, the lower emotional intelligence, the lower autonomy level.
The research type was a correlation research. The subject of this research are early adulthood which range of age between 22-25 years old, and with the same education level, that is bachelor’s degree and academician degree. The method which is used to collect data in this research by propagated the scale. The scale measure the emotional intelligence variable and the autonomy variable.
Through validity tested, 62 items of emotional intelligence scale have been explained that were 21 items lossed and 41 items were valid with reliability coefficient was 0,971. Then for autonomy scale, from 60 items have been explained that were 22 items lossed and 38 items were valid with reliability coefficient was 0,950.
The result of data analysis declared that the data distribution is normal and had a linear correlation. The research data was analysis used Pearson’s product moment through SPSS program for windows 12.00 version, with significant standard 0,05 (one-tailed). The correlation coefficient (r) was 0,812 with probability 0,000 (p<0,05). The result means that there was a positive correlation between emotional intelligence and autonomy of early adulthood.
HALAMAN JUDUL... i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii
HALAMAN PENGESAHAN ... iii
HALAMAN PERSEMBAHAN ... iv
HALAMAN MOTTO ... v
KATA PENGANTAR ... vi
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... ix
ABSTRAK ... x
ABSTRACT ... xi
DAFTAR ISI ... xii
DAFTAR TABEL ... xvi
DAFTAR LAMPIRAN ... xvii
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang ... 1
B. Rumusan Masalah ... 9
C. Tujuan Penelitian ... 9
D. Manfaat Penelitian ... 9
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 11
A. Kecerdasan Emosional ... 11
1. Pengertian Kecerdasan Emosional ... 11
2. Aspek-aspek Kecerdasan Emosional ... 13
B. Kemandirian ... 18
1. Pengertian Kemandirian ... 18
2. Aspek-aspek Kemandirian ... 21
3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kemandirian ... 22
C. Usia Dewasa Awal ... 28
1. Batasan Usia Dewasa Awal ... 28
2. Perkembangan Usia Dewasa Awal ... 29
D. Hubungan Antara Kecerdasan Emosional Dan Kemandirian Pada Usia Dewasa Awal ... 33
E. Hipotesis Penelitian... ... 36
BAB III METODOLOGI PENELITIAN ... 37
A. Jenis Penelitian ... 37
B. Identifikasi Variabel Penelitian ... 37
C. Definisi Operasional Variabel Penelitian ... 37
1. Kecerdasan Emosional ... 37
2. Kemandirian ... 39
D. Subjek Penelitian ... 41
E. Metode Dan Alat Pengumpulan Data ... 42
1. Skala Kecerdasan Emosional ... 44
2. Skala Kemandirian ... 45
F. Validitas Dan Reliabilitas ... 46
2. Analisis Aitem ... 47
3. Reliabilitas ... 47
G. Metode Analisis Data ... 48
H. Prosedur Penelitian ... 48
I. Uji Coba Alat Penelitian ... 49
1. Pelaksanaan Uji Coba Alat Penelitian ... 49
2. Hasil Uji Coba ... 50
a. Skala Kecerdasan emosional ... ... 50
1) Analisis Aitem ... 50
2) Reliabilitas ... 52
b. Skala Kemandirian ... 52
1) Analisis Aitem . ... 52
2) Reliabilitas ... 55
BAB IV PELAKSANAAN DAN HASIL PENELITIAN ... 56
A. Pelaksanaan Penelitian ... 56
B. Hasil Penelitian... 57
A Deskripsi Data Penelitian ... 57
B Hasil Uji Asumsi ... 61
1. Uji Normalitas ... 61
2. Uji Linearitas ... 62
C Hasil Uji Hipotesis ... 63
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 71
A. Kesimpulan ... 71
B. Keterbatasan Penelitian ... 71
C. Saran ... 72
DAFTAR PUSTAKA ... 73
LAMPIRAN ... 76
Tabel 1. Skor Jawaban Pada Skala Kecerdasan Emosional Dan
Skala Kemandirian ... 44
Tabel 2. Blue Print Skala Kecerdasan Emosional ... 45
Tabel 3. Blue Print Skala Kemandirian ... 46
Tabel 4. Penyebaran Aitem Skala Kecerdasan Emosional Sebelum Uji Coba ... 50
Tabel 5. Penyebaran Aitem Skala Kecerdasan Emosional Setelah Uji Coba ... 51
Tabel 6. Penyebaran Aitem Skala Kecerdasan Emosional Untuk Penelitian ... 52
Tabel 7. Penyebaran Aitem Skala Kemandirian Sebelum Uji Coba ... 53
Tabel 8. Penyebaran Aitem Skala Kemandirian Setelah Uji Coba ... 54
Tabel 9. Penyebarab Aitem Skala Kemandirian Untuk Penelitian...54
Tabel.10 Deskripsi Subjek Penelitian ... 58
Tabel 11. Deskripsi data penelitian... 58
Tabel 12. Kriteria kategorisasi tingkat kecerdasan emosional... 60
Tabel 13. Kriteria kategorisasi tingkat kemandirian...61
Tabel 14. UjiNormalitas Kolmogorov-Smirnov ...62
Tabel 15. Uji Linearitas ... 62
Lampiran A. Skala Penelitian (Sebelum Uji Coba)... 76
Lampiran B Tabulasi Uji coba ...77
Lampiran C. Uji Validitas dan Reliabilitas ...78
Lampiran D. Skala Penelitian (Setelah Uji Coba) ...79
Lampiran E. Tabulasi Penelitian ...80
Lampiran F. Uji Normalitas, Uji Linearitas, dan Uji Hipotesis ...81
PENDAHULUAN
A.Latar Belakang
Kemajuan zaman yang semakin pesat membawa dampak dalam segala
aspek kehidupan masyarakat. Nilai-nilai kehidupan yang sebelumnya dianutpun
telah mengalami pergeseran. Persaingan antar individu juga semakin ketat,
sehingga individu dituntut untuk dapat meningkatkan kualitas diri dan mampu
bersaing sesuai dengan tuntutan zaman.
Kemandirian merupakan salah satu ciri kualitas hidup manusia yang
memiliki peran penting bagi kesuksesan hidup seseorang (Nawawi, 1998). Sifat
dan sikap yang mengiringi individu yang mandiri antara lain adalah tekun, rajin,
senang bekerja, sanggup bekerja keras, berdisiplin, gigih, mampu bersaing dan
mampu pula bekerja sama, jujur, mempunyai cita-cita dan tahu apa yang harus
dilakukannya untuk mewujudkannya, tidak mudah putus asa, dan lain-lain.
Individu yang mandiri mengandalkan dirinya sendiri dalam merencanakan dan
membuat keputusan penting bagi hidupnya, serta bertanggung jawab. Tanggung
jawab yang dimaksud adalah tanggung jawab atas kehidupan pribadi, menjadi diri
sendiri, dan menentukan arah sendiri (Stein dan Book, 2004).
Endang Rukmana (24 tahun), sebagai contoh pribadi yang mandiri, yang
awalnya hidup mandiri karena keterpaksaan ekonomi. Endang, terpaksa menjadi
penulis untuk meringankan beban ibunya memenuhi kebutuhan keluarga mereka
sepeninggal ayahnya, sampai akhirnya ia menikmati dirinya yang bekerja sebagai
seorang penulis (KOMPAS, Minggu; 10 februari 2008). Endang mampu
mengenyam pendidikan sampai ke perguruan tinggi, juga karena andilnya bekerja
serabutan, mulai dari mengangkat galon air mineral, menjual nasi bungkus di
kampus, ikut berbagai lomba penulisan, dan menjadi penulis novel. Endang
memahami kemampuan keluarganya, dan ia mampu bekerja sendiri mencari uang
dengan mengandalkan kemampuan diri sendiri demi mewujudkan impiannya
untuk mengenyam pendidikan setinggi mungkin dan menjadi orang yang berhasil.
Menurut Tilaar (dalam Ali, 2006) tantangan kompleksitas kehidupan yang
sangat kompetitif memberikan dua alternatif, yaitu pasrah kepada nasib atau
mempersiapkan diri sebaik mungkin. Mengembangkan kemandirian adalah salah
satu usaha untuk mempersiapkan diri dalam menghadapi situasi kehidupan yang
semakin kompleks.
Olly Dwi Purnamasari (24 tahun) memutuskan untuk berhenti mencari
pekerjaan dan berusaha membuka peluang kerja bagi dirinya sendiri, bahkan bagi
orang lain juga (KOMPAS, Rabu; 20 februari 2008). Langkah awal yang
dilakukannya adalah mengembangkan donat berbahan baku ketela bersama
temannya, dan dikemas secara unik, sehingga mampu menarik minat konsumen
bahkan membangkitkan kembali usaha kecil donat kentang yang telah cukup lama
hilang dari pasaran. Usaha awalnya tersebut berhasil membawa 20 orang
pengangguran untuk bekerja bersamanya, dan sekarang ia sedang
bukan hanya penyaluran hobi saja. Olly berani mengambil langkah dalam
hidupnya secara bertanggung jawab, sehingga tidak membiarkan dirinya terbawa
arus sebagai lulusan sarjana perguruan tinggi pengangguran, yang pada umumnya
hanya menunggu panggilan kerja datang.
Badan Pusat Statistik (KOMPAS, Rabu; 6 februari 2008) mengemukakan
bahwa tingkat sarjana pengangguran meningkat drastis dari 183.629 orang pada
tahun 2006, menjadi 409.890 orang pada tahun 2007. Menurut catatan BPS DIY
sendiri, tahun 2006 pengangguran berjumlah 117.024 orang, tahun 2008 ini
bertambah sekitar 27% menjadi 148.696 orang dan 21.000 diantaranya adalah S-1
(Kedaulatan Rakyat, Rabu; 9 Juli 2008). Salah satu hal yang menyebabkan
fenomena di atas adalah terbatasnya lapangan pekerjaan (Kedaulatan Rakyat,
Selasa 8 Juli 2008; hal.11). Kesenjangan antara lapangan pekerjaan yang tersedia
dan pertambahan angkatan kerja cukup besar. Namun di sisi lain, Direktur
Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional, yakni Fasli Jalal
menyatakan bahwa hal tersebut juga disebabkan kompetensi lulusan yang masih
rendah atau tidak sesuai kebutuhan dunia kerja (dalam KOMPAS, Rabu 6 Februari
2008). Hendaknya lulusan perguruan tinggi yang mandiri paham akan
kemampuan dirinya dan mampu melihat peluang yang baik bagi dirinya, sehingga
tahu dimana dan bagaimana dirinya harus bekerja.
Mendapatkan pekerjaan merupakan salah satu tugas perkembangan usia
dewasa awal, guna menjadi mandiri, terutama mandiri secara ekonomi. Santrock
pribadi yang mandiri dan menjadi terlibat secara sosial. Lebih lanjut dikatakan
bahwa salah satu kriteria yang menunjukkan permulaan status kedewasaan adalah
kemandirian ekonomi dan kemandirian dalam membuat keputusan, yang meliputi
keputusan tentang karir, nilai-nilai, keluarga, hubungan, serta gaya hidup.
Levinson (Monks et all, 1998) menyatakan bahwa memasuki masa dewasa
awal mencakup tiga periode, yakni periode pengenalan orang dewasa (22-28
tahun) dimana individu menyadari peran dan tanggung jawabnya sebagai orang
dewasa serta berusaha membentuk struktur kehidupan yang stabil dalam dunia
kerja dan hubungan sosial. Usia 28-33 tahun merupakan pemantapan dari masa
sebelumnya, begitu juga dengan usia 33-40 yang merupakan fase pemantapan,
dimana individu memantapkan diri dalam karir, kehidupan keluarga dan
tempatnya dalam masyarakat. Pada usia 40 tahun merupakan puncak masa
dewasa, sampai menuju masa dewasa madya pada usia 45 tahun.
Transisi dari masa ketergantungan dengan orang tua pada awalnya ke masa
yang hampir sepenuhnya mandiri, tidaklah mudah dan berlangsung secara
bertahap. Dewasa awal yang tidak mampu mandiri, yang terus-menerus
tergantung pada orang tua atau orang lain, akan sulit sekali untuk meraih sukses
dalam hidupnya. Hal ini salah satunya yang menjadi penyebab meningkatnya
angka kemiskinan dan menurunnya kualitas sumber daya manusia di Indonesia,
sehingga secara tidak langsung menambah beban bangsa dan negara (Nawawi,
1998).
kehidupan baru dan harapan-harapan sosial baru, sehingga sebagai individu yang
dewasa diharapkan dapat menyesuaikan diri secara mandiri (Hurlock, 1980).
Individu yang mandiri, memasuki masa dewasa awal akan mampu menyesuaikan
diri terhadap tanggung jawab barunya, serta mempunyai tujuan hidup yang jelas,
serta mampu mewujudkannya demi masa depan yang sukses, walaupun akan
menghadapi kesulitan dalam mewujudkannya. Individu dewasa awal yang tidak
mandiri, memasuki masa dewasa awal akan merasakan kesulitan, sehingga
mereka mencoba memperpanjang ketergantungan dengan mempertahankan status
mahasiswa dan tidak bekerja, padahal teman seusia mereka telah berusaha
mengakhiri ketergantungan pada orang tua. Hal tersebut banyak terjadi di
lingkungan sosial peneliti.
Ciri-ciri lain yang menonjol dalam usia dewasa awal adalah melonjaknya
persoalan hidup di bandingkan masa sebelumnya, dan juga terdapatnya
ketegangan emosi (Mappiare, 1983). Hal tersebut disebabkan karena
bertambahnya tanggung jawab serta harapan-harapan sosial, namun di sisi lain,
dewasa awal belum mampu untuk menyesuaikan diri terhadap tanggung jawab
dan harapan sosial yang baru itu, dikarenakan antara lain ; kurangnya persiapan
untuk menghadapi masalah yang perlu diatasi sebagai orang dewasa, mencoba
menguasai dua atau lebih keterampilan sekaligus yang biasanya menyebabkan
keduanya kurang berhasil, dan terakhir karena tidak lagi memperoleh bantuan dari
lingkungan sekitar karena dianggap sudah dewasa. Tanggung jawab yang
Individu dewasa awal dituntut untuk mulai sepenuhnya mandiri,
bertanggung jawab atas dirinya sendiri, pilihan hidupnya, dan masa depannya.
Namun berdasarkan pengamatan peneliti terhadap lingkungan sosial di sekitar
peneliti, masih banyak dewasa awal yang belum lepas ketergantungannya baik
pada orang tua, ataupun teman. Ketergantungan ini tidak hanya menyangkut
ekonomi, namun juga dalam membuat keputusan dan pilihan hidupnya. Salah satu
contoh dalam lingkungan sosial peneliti, seorang wanita, di usia 25 tahun ia belum
jelas menentukan pilihan karirnya, belum menyelesaikan studinya, dan belum
menentukan kapan akan mengakhiri masa lajangnya. Ia masih belum mampu
untuk membuat keputusan sendiri mengenai hidupnya, dan hanya memasrahkan
saja kepada orang tuanya, akan kerja dimana ia nanti, dan dengan siapa ia
menikah. Hal ini membuat tugas perkembangannya terhambat. Dewasa awal yang
mampu membangun pribadi yang mandiri, akan mampu menentukan keputusan
dalam hidupnya, dan bertanggung jawab atas keputusannya.
Berdasarkan fenomena di atas, menegaskan bahwa kemandirian
mempunyai peran yang cukup besar bagi kesuksesan hidup seseorang. Pribadi
yang mandiri akan mampu menentukan apa yang terbaik baginya, memahami
kemampuan dan kelemahannya, sehingga bisa melihat peluang yang baik bagi
dirinya, lalu bekerja keras untuk mewujudkannya dengan tidak tergantung pada
orang lain.
Kemandirian merupakan kemampuan individu untuk bebas, tidak
usaha mengejar prestasi, tekun, merencanakan dan mewujudkan harapan atau
keinginannya, kreatif, penuh inisiatif, mampu mengendalikan tindakannya,
mampu menghadapi masalah, mampu mempengaruhi lingkungan atas usahanya
sendiri, memiliki rasa percaya diri, memahami kemampuan dan menerima
kekurangannya (Masrun dkk, 1986).
Individu yang mandiri adalah yang berani mengambil keputusan dilandasi
oleh pemahaman akan segala konsekuensi dari tindakannya (Ali, 2006). Beberapa
definisi yang diungkapkan mengenai kemandirian melibatkan proses kognisi
seperti, kesanggupan untuk memutuskan sesuatu, kreatif, original, tendensi untuk
mencapai dan mengatasi suatu hal, proses kognisi ini sangat tergantung dengan
keadaan emosi atau suasana hati seseorang Misalnya saja kecemasan, memiliki
pengaruh negatif yang berakibat menurunkan kapasitas kognitif. Perasaan cemas
atau khawatir yang berlebihan terhadap pengerjaan suatu tugas juga dapat
memperburuk kinerja seseorang (Suharnan, 2005). Kemampuan seseorang
menangani emosi atau suasana hatinya dengan baik sehingga dapat dikelola secara
efektif merupakan bagian dari kecerdasan emosi.
Salovey dan Mayer mendefinisikan bahwa kecerdasan emosi merupakan
himpunan bagian dari kecerdasan sosial yang melibatkan kemampuan memantau
perasaan dan emosi baik pada diri sendiri maupun pada orang lain, memilah milah
semuanya, dan menggunakan informasi ini untuk membimbing pikiran dan
tindakan. Goleman (1999) mengatakan bahwa tanpa kecerdasan emosi, orang
potensi yang maksimum.
Individu yang memiliki kecerdasan emosional yang tinggi, akan mampu
mengambil keputusan untuk dirinya sendiri, mampu mengelola emosinya
sehingga mampu untuk menunda kepuasan atau kenikmatan sebelum tercapainya
suatu tujuan, mampu bertahan menghadapi kegagalan dan berusaha bangkit,
memiliki rasa percaya diri, sadar akan kemampuan diri, mampu menggerakkan
hasrat menuju sasaran, cermat membaca situasi sosial, serta memiliki
keterampilan untuk bekerja sama (Hariwijaya, 2005).
Dari uraian di atas secara ringkas dapat dikatakan bahwa dengan
kecerdasan emosional yang tinggi, individu dewasa awal dapat menjadi mandiri
dan diharapkan mampu memenuhi tanggung jawab dan harapan-harapan sosial
baru. dan tercapainya tujuan hidup yang lebih baik serta meraih kesuksesan. Hal
ini juga didukung penelitian sebelumnya oleh Suyatini (2004) yang
mendeskripsikan tingkat kecerdasan intrapersonal, kemandirian dan prestasi
belajar pada siswa kelas III SMP susteran Purwokerto tahun ajaran 2003/2004,
dimana kecerdasan intrapersonal dan kemandirian secara simultan berkorelasi
dengan prestasi belajar pada siswa. Lebih lanjut dijelaskan dalam pembahasan
mengenai kajian teoritisnya, bahwa orang yang berkecerdasan intrapersonal tinggi
mampu untuk memahami diri, merencanakan dan memecahkan masalah
kehidupannya, dan meraih sasaran yang dimiliki. Karakteristik-karakteristik
tersebut merupakan ciri yang dimiliki oleh orang yang mandiri. Penelitian lain
panti asuhan yatim Islam ditinjau dari konsep diri dan kompetensi interpersonal,
dimana terdapat hubungan positif yang signifikan antara kompetensi interpersonal
dan kemandirian. Oleh sebab itu, peneliti ingin melihat lebih lanjut apakah ada
hubungan yang positif antara kecerdasan emosional dan kemandirian, apakah
individu dewasa awal yang mandiri memiliki tingkat kecerdasan emosi yang
tinggi pula.
B.Rumusan Masalah
Berdasarkan pembahasan di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian
ini adalah apakah ada hubungan yang positif antara kecerdasan emosional dan
kemandirian pada usia dewasa awal?
C.Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan yang positif antara
kecerdasan emosional dan kemandirian pada usia dewasa awal.
D.Manfaat penelitian
1.Secara Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat memberi sumbangan bagi pengembangan teori
di bidang psikologi khususnya psikologi perkembangan pada usia dewasa
2.Secara Praktis
Penelitian ini secara praktis diharapkan dapat memberikan pemahaman dan
informasi bagi usia dewasa awal tentang kecerdasan emosi dan hubungannya
TINJAUAN PUSTAKA
A Kecerdasan Emosional
1. Pengertian kecerdasan emosional
Goleman mengungkapkan, bahwa kecerdasan intelektual itu sesungguhnya
pembawaan sejak lahir (Hariwijaya, 2005). Kecerdasan emosional tidak demikian.
Sedangkan kecerdasan emosional merupakan jembatan antar yang kita ketahui
dan lakukan. Dengan semakin tinggi kecerdasan emosional, akan semakin
terampil melakukan apapun yang kita ketahui benar.
Kecerdasan emosional merujuk kepada kemampuan mengenali perasaan
kita sendiri dan perasaan orang lain, kemampuan memotivasi diri sendiri, dan
kemampuan mengelola emosi dengan baik pada diri sendiri dan dalam
berhubungan dengan orang lain (Goleman, 1999). Pengendalian emosi oleh diri
sendiri tidak hanya berarti meredam rasa tertekan atau menahan gejolak emosi, ini
juga bisa berarti dengan sengaja menghayati suatu emosi, termasuk yang tidak
menyenangkan. Goleman (Zainun Mu’tadin, 2002) mengatakan bahwa koordinasi
suasana hati adalah inti dari hubungan sosial yang baik. Apabila seseorang pandai
menyesuaikan diri dengan suasana hati individu yang lain atau dapat berempati,
orang tersebut akan memiliki tingkat emosional yang baik dan akan lebih mudah
menyesuaikan diri dalam pergaulan sosial serta lingkungannya. Lebih lanjut
Goleman mengatakan bahwa kecerdasan emosional adalah kemampuan lebih
yang dimiliki individu dalam memotivasi diri, ketahanan dalam menghadapi
kegagalan, mengendalikan emosi dan menunda kepuasan, serta mengatur keadaan
jiwa. Dengan kecerdasan emosional tersebut seseorang dapat menempatkan
emosinya pada porsi yang tepat, memilah kepuasan dan mengatur suasana hati.
Sementara Howes dan Herald (Zainun Mu’tadin, 2002) mengatakan pada
intinya, kecerdasan emosional merupakan komponen yang membuat seseorang
menjadi pintar menggunakan emosi.
Hal tersebut sesuai dengan pendapat Salovey dan Mayer (Hariwijaya,
2005 ; Stein dan Book, 2004) yang mendefinisikan kecerdasan emosi sebagai
kemampuan memantau, mengenali emosi, dan mengendalikan emosi sendiri dan
orang lain, serta menggunakan emosi-emosi itu untuk memandu pikiran dan
tindakan, sehingga membantu perkembangan emosi dan intelektual.
Reuven Bar-On (Stein dan Book, 2004) mendefinisikan kecerdasan emosi
sebagai serangkaian kemampuan, kompetensi, dan kecakapan non-kognitif, yang
mempengaruhi kemampuan seseorang untuk berhasil mengatasi tuntutan dan
tekanan lingkungan.
Selanjutnya Cooper dan Sawaf (Mu’tadin, 2002) mengatakan bahwa
kecerdasan emosional adalah kemampuan merasakan, memahami, dan secara
selektif menerapkan daya dan kepekaan emosi sebagai sumber energi dan
pengaruh yang manusiawi. Kecerdasan emosi menuntut penilikan perasaan, untuk
belajar mengakui, menghargai perasaan pada diri dan orang lain serta
kehidupan sehari-hari.
Dari pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa kecerdasan emosi
adalah kemampuan atau kecakapan non-kognitif seseorang yang meliputi
pengendalian suasana hati atau perasaannya dan orang lain baik emosi yang
negatif ataupun positif, seperti halnya memotivasi dirinya dan sanggup
menghadapi kegagalan, menempatkan emosinya pada porsi yang tepat, sehingga
membantu individu dalam bersosialisasi dengan lingkungan sekitar dan menyikapi
masalah hidup.
2. Aspek-aspek kecerdasan emosional
Dari sekian banyak pakar yang mengajukan teori, peneliti mengacu pada
teori Daniel Goleman, karena dirasa cukup jelas, singkat dan padat makna
mengenai aspek-aspek kecerdasan emosi, sehingga dapat digunakan untuk
mengukur kecerdasan emosi dalam penelitian ini. Namun tidak menutup
kemungkinan adanya tambahan pemaknaan dari pakar-pakar lainnya dalam setiap
aspek yang dikemukakan oleh Goleman.
Daniel Goleman (1999) mengungkapkan bahwa kecerdasan emosi terdiri
dari lima komponen atau aspek-aspek, antara lain :
a. Mengenali emosi diri
Kesadaran diri dalam mengenali perasaan sewaktu perasaan itu terjadi.
Individu dengan kesadaran diri yang baik akan mampu mengenali emosi mana
perasaan mereka dengan yang mereka pikirkan, perbuat dan katakan,
mengetahui bagaimana perasaan mereka mempengaruhi kinerja, serta
mempunyai kesadaran yang menjadi pedoman untuk nilai-nilai dan
sasaran-sasaran mereka.
b. Mengelola emosi
Mengelola emosi berarti menangani perasaan agar perasaan dapat terungkap
dengan tepat. Emosi dikatakan berhasil dikelola apabila ; mampu menghibur
diri ketika ditimpa kesedihan, dapat melepas kecemasan, kemurungan, atau
ketersinggungan dan bangkit kembali dengan cepat dari semua itu. Sebaliknya
orang yang buruk kemampuannya dalam mengelola emosi akan terus menerus
bertarung melawan perasaan murung atau melarikan diri pada hal-hal negatif
yang merugikan dirinya sendiri.
c. Memotivasi diri
Kemampuan seseorang memotivasi diri dapat ditelusuri melalui hal-hal
sebagai berikut :
1) Cara mengendalikan dorongan hati agar tidak menghambat pemikiran
2) Derajat kecemasan yang berpengaruh terhadap unjuk kerja seseorang
3) Kekuatan berpikir positif
4) Optimisme, dan
5) Keadaan ketika perhatian seseorang sepenuhnya tercurah ke dalam apa
yang sedang terjadi, pekerjaannya hanya terfokus pada satu objek.
seseorang.
d. Mengenali emosi orang lain
Empati atau mengenal emosi orang lain dibangun berdasarkan pada kesadaran
diri. Jika seseorang terbuka pada emosi sendiri, maka dapat dipastikan bahwa
ia akan terampil membaca perasaan orang lain. Sebaliknya orang yang tidak
mampu menyesuaikan diri dengan emosinya sendiri dapat dipastikan tidak
akan mampu menghormati perasaan orang lain. Mengenali emosi orang lain
berarti memahami orang lain, mengindra perasaan dan perspektif orang lain
serta secara aktif menunjukkan minat terhadap kepentingan-kepentingan
mereka (Goleman, 1999). Individu yang mampu berempati dengan baik, akan
memperhatikan isyarat-isyarat emosi dan mendengarkannya dengan baik,
menunjukkan kepekaan dan pemahaman terhadap perspektif orang lain, serta
membantu berdasarkan pemahaman terhadap kebutuhan dan perasaan orang
lain.
e. Membina hubungan dengan orang lain
Seni dalam membina hubungan dengan orang lain merupakan keterampilan
sosial yang mendukung keberhasilan dalam pergaulan dengan orang lain.
Tanpa memiliki keterampilan seseorang akan mengalami kesulitan dalam
pergaulan sosial. Sesungguhnya karena tidak dimilikinya
keterampilan-keterampilan semacam inilah yang menyebabkan seseorang seringkali
dianggap angkuh, mengganggu, atau tidak berperasaan. Individu yang
berhubungan dengan orang lain, cermat membaca situasi, berinteraksi dengan
lancar, mampu memimpin dan mengorganisir orang lain, serta pintar
menangani perselisihan yang muncul dalam setiap interaksi.
3. Faktor-faktor yang mempengaruhi kecerdasan emosi
Kecerdasan emosi berbeda dengan kecerdasan intelektual. Seperti yang
telah dijelaskan pada sub-bab sebelumnya, bahwa kecerdasan intelektual
merupakan pembawaan sejak lahir, dan cenderung tetap atau sulit untuk diubah
(Goleman, 1999). Tidak demikian halnya dengan kecerdasan emosi, kecerdasan
emosi bisa terus dilatih menjadi semakin baik seiring bertambahnya umur. Hal-hal
yang mempengaruhi kecerdasan emosi secara garis besar terbagi dua, yakni :
a. Faktor yang berasal dari dalam diri individu.
Faktor yang bersumber dari dalam individu, seperti susunan saraf pusat atau
otak. Susunan saraf yang terdapat di otak mempengaruhi kualitas atau
kecakapan emosi seseorang, misalnya seperti keadaan amigdala, lobus
prefrontal, neokorteks, dan sistem limbik. Sinyal-sinyal dari organ
pengindra (seperti mata, telinga, dan organ pengindra lainnya) dikirimkan ke
talamus, kemudian ke wilayah-wilayah neokorteks yang memproses
pengindraan, di sana sinyal-sinyal tadi disusun menjadi benda-benda yang
kita pahami. Sinyal-sinyal itu dipilah-pilah menurut maknanya sehingga
otak mengenali masing-masing objek dan arti kehadirannya. Informasi
prefrontal, tempat tindakan perencanaan dan pengorganisasian menuju
sasaran, termasuk sasaran emosional. Apabila dalam proses itu dibutuhkan
respon emosional, lobus-lobus prefrontal akan memerintahkannya, bekerja
sama dengan amigdala dan sirkuit-sirkuit lainnya dalam otak emosional.
Sambungan antara amigdala (dan struktur-struktur limbik yang berkaitan)
dan neokorteks merupakan proses yang melibatkan nalar dan perasaan.
Hubungan antarsirkuit ini menjelaskan mengapa emosi demikian penting
bagi nalar yang afektif, baik dalam membuat keputusan-keputusan yang
bijaksana maupun sekadar dalam memungkinkan kita berpikir dengan
jernih. Interaksi yang baik atau tidak terhambatnya sirkuit antara amigdala
dengan lobus-lobus prefrontal dan sistem limbik dengan neokorteks, maka
kecakapan atau kecerdasan emosional individu akan bertambah pula.
b. Faktor yang berasal dari luar diri individu.
Faktor dari luar individu diantaranya adalah pengalaman, proses belajar,
perlakuan orang sekitar, serta hal lain yang dapat mempengaruhi individu
untuk mengubah sikap, baik dari lingkungan langsung, maupun media lain
seperti buku dan lain sebagainya. Dijelaskan lebih lanjut, seperti faktor
pengalaman, misalnya reaksi individu terhadap suatu peristiwa di masa lalu
yang memiliki muatan emosi (seperti peristiwa traumatis) akan muncul
kembali di masa sekarang, jika individu dihadapkan pada hal yang dapat
mengingatkannya kembali pada peristiwa di masa lalu, walaupun
turut berpengaruh terhadap kualitas kecerdasan emosi adalah perlakuan
orang sekitar terhadap individu yang bersangkutan, seperti keluarga sebagai
lingkungan terdekat, perlakuan orang-orang di lingkungan tempat individu
mengenyam pendidikan, dan perlakuan dari lingkungan masyarakat sekitar.
Individu yang mendapat perlakuan baik dari lingkungannya, akan semakin
baik pula perkembangan kecerdasan emosinya.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang
mempengaruhi kecerdasan emosi terbagi menjadi dua, yakni ; berasal dari dalam
dan dari luar individu. Faktor yang berasal dari dalam diri individu meliputi
susunan syaraf pusat, sedangkan faktor yang berasal dari luar diri individu atau
lingkungan, yakni ; pengalaman pribadi, perlakuan orang-orang sekitar terhadap
dirinya, proses belajar individu semasa hidupnya, dan hal lain yang dapat
mempengaruhi individu untuk mengubah sikapnya, baik lingkungan langsung
maupun tidak, seperti media cetak, dan lain sebagainya.
B Kemandirian
1. Pengertian kemandirian
Kemandirian berasal dari kata mandiri, yang dalam bahasa Jawa berarti
berdiri sendiri. Kemandirian dalam arti psikologis (Hasan Basri, 2004) merupakan
kemampuan seseorang untuk membuat keputusan dalam hidupnya, bertindak
tanpa tergantung dengan bantuan orang lain, dan memahami segala dampak yang
Kartini dan Dali (http://www.e-psikologi.com/epsi/search.asp) mengatakan
bahwa kemandirian adalah hasrat untuk mengerjakan segala sesuatu bagi diri
sendiri. Individu yang mandiri dapat memilih jalan hidupnya untuk dapat
berkembang dengan lebih mantap.
Kemandirian menurut Masrun dkk (1986) tercermin dalam tindakan yang
dilakukan atas kehendak sendiri, adanya usaha untuk mengejar prestasi, tekun,
merencanakan dan mewujudkan harapan atau keinginannya, kreatif, penuh
inisiatif, mampu mengendalikan tindakannya, mampu mempengaruhi lingkungan
atas usaha sendiri, memiliki rasa percaya diri, memahami kemampuan dan
menerima kekurangannya.
Nawawi (1998) mengemukakan bahwa kemandirian disebut juga
individualitas, bukan individualistis atau individualisme atau egoisme. lebih lanjut
dikemukakannya bahwa kemandirian adalah kemampuan mengakomodasikan
sifat-sifat baik manusia, untuk ditampilkan di dalam sikap dan perilaku yang tepat
berdasarkan situasi dan kondisi yang dihadapi oleh seorang individu. Individu
yang mandiri adalah individu yang memiliki sifat dan sikap rajin, senang bekerja,
sanggup bekerja keras, tekun, gigih, berdisiplin, berani merebut kesempatan, jujur,
mampu bersaing sekaligus bekerja sama, dapat dipercaya dan mempercayai orang
lain, mempunyai cita-cita dan memahami cara mewujudkannya, terbuka pada
kritik dan saran, tidak mudah putus asa, dan tidak tergantung pada orang lain.
Penjelasan tersebut didukung oleh pernyataan Stein dan Book (2004) yang
bahwa kemandirian adalah kemampuan untuk mengarahkan dan mengendalikan
diri sendiri dalam berpikir dan bertindak, serta tidak merasa bergantung pada
orang lain. Menjadi mandiri, berarti individu bertanggung jawab atas dirinya, apa
yang dilakukannya, dan tidak tergantung dengan orang lain (Zainun Mu’tadin,
2002). Kemandirian dalam konteks individu memiliki aspek yang lebih luas dari
sekedar aspek fisik.
Reber (http://www.e-psikologi.com/epsi/search.asp) mengemukakan
bahwa kemandirian merupakan suatu sikap otonomi dimana seseorang secara
relatif bebas dari pengaruh penilaian, pendapat dan keyakinan orang lain.
Berdasarkan pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa kemandirian
merupakan kemampuan individu untuk bebas, tidak tergantung dengan orang lain
dalam bertindak dan menentukan keputusan dalam hidupnya, serta mampu
bertanggung jawab dalam setiap tindakan dan keputusan yang telah dibuatnya.
Selain itu, individu juga mempunyai keinginan atau cita-cita yang ingin diraih,
mengerti cara mewujudkannya, berusaha untuk mewujudkannya dengan
mempertimbangkan segala kelebihan dan kekurangan yang dimilikinya, tekun,
kreatif, memiliki inisiatif, mampu mengendalikan tindakannya, mampu
mempengaruhi lingkungan dan bekerja sama dengan lingkungan sekitar, serta
memiliki rasa percaya diri, menerima diri apa adanya dan berusaha memperbaiki
2. Aspek-aspek kemandirian
Aspek-aspek kemandirian pada penelitian ini mengacu pada aspek
kemandirian yang disusun oleh Masrun (1986), berdasarkan dari makna
kemandirian itu sendiri, antara lain :
a. Bebas
Ditunjukkan dengan tindakan yang dilakukan atas kehendaknya sendiri, bukan
karena orang lain, serta tidak tergantung kepada orang lain.
b. Progresif dan ulet
Ditunjukkan dengan adanya usaha untuk mengejar prestasi, penuh ketekunan,
merencanakan serta mewujudkan harapan-harapannya dengan tidak mudah
menyerah pada rintangan atau halangan yang menghambat terwujudnya
keinginannya itu.
c. Inisiatif
Meliputi kemampuan untuk berfikir dan bertindak secara original, kreatif, dan
penuh inisiatif.
d. Pengendalian dari dalam (Internal Locus of Control)
Meliputi adanya perasaan mampu untuk mengatasi masalah yang dihadapi,
mampu untuk mengendalikan tindakan, menyadari bahwa peristiwa-peristiwa
yang terjadi menyangkut dirinya adalah akibat perilaku atau sifat-sifat yang
melekat pada dirinya sendiri, mampu untuk mempengaruhi lingkungannya,
e. Kemantapan diri (Self-Esteem, Self-Confidence)
Rasa percaya terhadap kemampuan diri sendiri, menerima diri apa adanya,
memahami kelemahan dan kelebihan diri, serta memperoleh kepuasan dari
usahanya.
Masing-masing aspek di atas mempunyai kedudukan yang sama
pentingnya, saling menunjang, dan bersifat tidak saling tergantung. Apabila salah
satu aspek ada yang menonjol, bukan berarti aspek yang lain akan ada yang lebih
rendah, melainkan hanya akan mempengaruhi manifestasi perilaku mandiri.
Berdasarkan uraian di atas, secara garis besar aspek-aspek kemandirian meliputi ;
bebas, progresif dan ulet, inisiatif, pengendalian dari dalam, serta kemantapan diri.
Kelima aspek tersebut akan digunakan sebagai acuan pembuatan instrumen
penelitian.
3. Faktor-faktor yang mempengaruhi kemandirian
Faktor-faktor yang mempengaruhi kemandirian secara garis besar terbagi
menjadi dua (Basri, 2004), yakni :
a. Faktor endogen (faktor yang berasal dari dalam diri individu).
Semua faktor yang bersumber dari dalam diri individu sendiri, seperti sifat
dasar dari orang tua atau generasi sebelumnya yang terlihat dari bakat, potensi
intelektual, dan potensi pertumbuhan tubuh atau keadaan fisiknya. Taraf
kesehatan fisik mempengaruhi kualitas kemandirian seseorang. Mengacu pada
dan berusaha sebisa mungkin untuk mewujudkannya dengan mengandalkan
dirinya sendiri, sehingga bila tidak ditunjang dengan keadaan fisik yang
prima, maka hal tersebut bisa terhambat. Segala sesuatu yang dibawa anak
sejak lahir juga menentukan kualitas kemandirian seseorang, karena hal
tersebut merupakan bekal dasar bagi pertumbuhan dan perkembangan anak
selanjutnya.
b. Faktor eksogen (faktor yang berasal dari luar individu).
Semua pengaruh yang berasal dari luar diri individu, seperti halnya
lingkungan keluarga dan masyarakat tempat tinggal, lingkungan sosial
ekonomi, serta pola pendidikan. Kebiasaan atau pola hidup yang berlaku di
keluarga dan masyarakat, akan membentuk pribadi yang bersangkutan.
Apabila pola yang diterapkan cenderung menempatkan individu di posisi yang
selalu nyaman, semua yang diinginkan ada tanpa harus berusaha dengan giat,
dimanjakan, jelas sekali nantinya akan sulit untuk tidak tergantung dengan
orang lain, individu akan sulit untuk menjadi mandiri, mewujudkan
keinginannya tanpa bantuan orang lain. Sama halnya dengan lingkungan
sosial ekonomi dan pendidikan. Keadaan ekonomi yang pas-pasan, ditunjang
dengan penanaman taraf kesadaran yang baik, terutama mengenai nilai luhur
kehidupan dan keinginan serta usaha untuk meraih kehidupan yang lebih baik,
akan meningkatkan kualitas kemandirian seseorang. Pola pendidikan yang
baik, seringkali ditegakkan dengan pola reward dan punishment, dengan
memiliki taraf kesadaran dan pengalaman nilai kehidupan yang lebih baik.
Lingkungan keluarga yang normatif juga memungkinkan individu untuk
melakukan pilihan terhadap sesuatu secara baik.
Pendapat lain yang mengemukakan tentang faktor-faktor yang
mempengaruhi kemandirian adalah Mohamad Ali (2006), yang mengatakan
bahwa selain merupakan potensi yang dimiliki sejak lahir, kemandirian juga
dipengaruhi oleh berbagai stimulasi dari lingkungan. Faktor-faktor tersebut antara
lain:
a Pola asuh orang tua.
Bagaimana anak diasuh dan diperlakukan oleh orang tua, akan mempengaruhi
kualitas kemandiriannya. Orang tua yang sering melarang anaknya melakukan
sesuatu tanpa ada alasan yang jelas dan yang rasional, dapat menghambat
perkembangan kemandirian anak. Anak bisa saja nantinya akan menjadi takut
untuk mencoba hal baru, memiliki rasa cemas yang berlebihan, sehingga tidak
berani mengambil resiko dalam hidupnya walaupun mungkin hal tersebut baik
untuk dirinya demi terwujud tujuan hidupnya.
b. Gen atau keturunan orang tua.
Orang tua yang memiliki sifat kemandirian yang tinggi akan menurun ke
anaknya juga. Namun, faktor ini masih menjadi perdebatan, karena ada pula
yang berpendapat bahwa kemandirian bukanlah diturunkan dari orang tua
melainkan terbentuk dari bagaimana cara orang tua mendidik anaknya.
yang mandiri pula, apalagi cara didik yang diterapkan orang tua tidak
mendukung perkembangan kemandirian seseorang.
c. Sistem pendidikan.
Meliputi cara didik atau proses didik yang diperoleh individu dimanapun ia
mengenyam pendidikan. Apabila prosesnya lebih banyak menekankan
punishment daripada reward, dapat menghambat perkembangan kemandirian
seseorang, karena dengan pola seperti itu dapat membuat individu yang
bersangkutan selalu merasa salah dalam setiap perilakunya.
d. Sistem kehidupan di masyarakat.
Lingkungan dimana individu merasa dihargai akan potensinya yang berwujud
diselenggarakannya berbagai kegiatan yang mendukung atau tidak terlalu
hirarkis akan merangsang dan mendorong perkembangan kemandirian.
Masrun dkk (1986) mengemukakan faktor-faktor yang mempengaruhi
kemandirian terdiri dari :
a. Umur
Perkembangan kemandirian meningkat seiring dengan perkembanagn umur.
Katkosky dkk (dalam Masrun, 1986) mengemukakan bahwa internal locus of
control terbentuk pada masa kanak-kanak dan meningkat sedikit demi sedikit
ketika memasuki usia remaja. Hal ini mungkin disebabkan karena anak-anak
yang lebih muda tunduk kepada pengawasan orang tuanya, akan tetapi
pengawasan ini berangsur-angsur berkurang sejalan bertambahnya umur.
mengendalikan tindakannya sendiri, membuat keputusan sendiri dalam
hidupnya, serta mempengaruhi lingkungannya. Lebih lanjut Sutton (dalam
Masrun dkk, 1986) menyatakan bahwa dengan bertambahnya umur serta
melalui proses belajar akan membuat seseorang semakin tidak tergantung dan
mampu secara mandiri menentukan hidupnya sendiri.
b. Jenis Kelamin
Anak laki-laki biasanya lebih banyak diberi kesempatan untuk berdiri sendiri
dan menanggung resiko, serta banyak dituntut untuk menunjukkan inisiatif
dan originalitasnya daripada anak perempuan. Sesuai dengan perannya pria
diharapkan menjadi kuat, mandiri, agresif, dan mampu memanipulasi
lingkungannya, berprestasi, dan mampu membuat keputusan. Dalam
kehidupan sosial mereka diharapkan mampu berkompetisi, tegas, dan
dominan. Wanita diharapkan lebih bergantung, sensitif, dan keibuan.
Perbedaan sifat-sifat yang dimiliki oleh pria dan wanita ini, antara lain
disebabkan oleh perbedaan perlakuan yang diberikan pada pria dan wanita.
Lebih lanjut dikemukakan Conger (dalam Masrun dkk, 1986) bahwa pria lebih
mandiri daripada wanita.
c. Faktor Lingkungan
Faktor lingkungan terbagi lagi menjadi dua, yakni :
1) Lingkungan permanen, meliputi pendidikan dan pekerjaan. Pendidikan
yang dimaksud, tidak harus di sekolah atau lembaga pendidikan formal
kesempatan untuk mengembangkan diri melalui keikutsertaan di dalam
berbagai kegiatan. Pendidikan adalah usaha manusia dengan penuh
tanggung jawab membimbing anak didik ke kedewasaan. Sebagai manusia
yang belum dewasa, anak didik belum dapat mandiri secara pribadi dia
masih heteronom, masih membutuhkan pendapat orang lain yang lebih
dewasa sebagai pedoman bagi sikap dan tingkah lakunya. Berdasarkan
penelitian longitudinal (Masrun, 1986) diperoleh hasil bahwa setelah
melalui proses belajar di Perguruan Tinggi selama empat tahun, subjek
penelitian menunjukkan peningkatan kemandirian dan perkembangan
kesadaran diri. Pekerjaan juga mempengaruhi kemandirian seseorang.
Bekerja bukan semata-mata sebagai mata pencaharian tetapi juga sebagai
pengisi waktu dan status bagi seseorang. Oleh karena pekerjaan menuntut
pemanfaatan waktu yang khusus dan tertentu yang relatif lama, maka
interaksi yang terjadi dalam pekerjaan akan ikut mempengaruhi diri
seseorang. Implikasi psikologis yang dimaksud adalah bahwa status
pekerjaan dan pendapatan berkaitan erat dengan harga diri.
3) Lingkungan tidak permanen
Meliputi peristiwa-peristiwa penting dalam hidup seseorang yang
mengakibatkan terganggunya untuk sementara waktu integritas
kepribadian seseorang, seperti kematian orang yang dicintai, bencana
alam, dan lain-lain (Robinson dan Shaver dalam Masrun dkk, 1986).
faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas kemandirian seseorang adalah
faktor dari dalam diri individu dan faktor dari luar individu. Faktor dari
dalam diri individu, yakni ; pertumbuhan tubuh atau keadaan fisik, bakat,
umur, serta potensi intelektual. Faktor dari luar diri individu meliputi ; pola
asuh orang tua, perlakuan yang diterima berdasarkan jenis kelamin
tertentu, sistem pendidikan, pekerjaan, peristiwa penting dalam hidup,
serta sistem kehidupan di masyarakat sekitar.
C Usia Dewasa Awal
1. Batasan usia dewasa awal
Hurlock (1980) mengemukakan bahwa masa dewasa awal dimulai pada
umur 18 – 40 tahun, saat perubahan fisik dan psikologis yang menyertai
berkurangnya kemampuan reproduktif.
Di Indonesia batas kedewasaan adalah 21 tahun, karena pada usia itu
seseorang sudah dianggap dewasa dan selanjutnya dianggap sudah mempunyai
tanggung jawab terhadap perbuatan-perbuatannya (Monks et all, 2004). Hal ini
didukung pendapat Mappiare (1983) yang mengemukakan bahwa usia dewasa
awal dimulai dalam usia 21/22 tahun. Sedangkan, Levinson (dalam Monks et all,
1998) menyatakan bahwa memasuki masa dewasa awal mencakup tiga periode,
yakni periode pengenalan orang dewasa (22-28 tahun) dimana individu menyadari
peran dan tanggung jawabnya sebagai orang dewasa serta berusaha membentuk
tahun merupakan pemantapan dari masa sebelumnya, begitu juga dengan usia
33-40 yang merupakan fase pemantapan, dimana individu memantapkan diri
dalam karir, kehidupan keluarga dan tempatnya dalam masyarakat. Pada usia 40
tahun merupakan puncak masa dewasa, sampai menuju masa dewasa madya pada
usia 45 tahun. Pada penelitian ini batasan usia dewasa awal mengacu pada teori
Levinson.
2. Perkembangan usia dewasa awal
Dewasa awal merupakan individu yang telah menyelesaikan
pertumbuhannya dan siap menerima kedudukan dalam masyarakat bersama
dengan orang dewasa lainnya (Hurlock, 1980). Masa dewasa awal merupakan
periode penyesuaian diri terhadap pola-pola kehidupan baru dan harapan-harapan
sosial baru, dan sebagai orang dewasa mereka diharapkan dapat menyesuaikan
diri secara mandiri. Dua kriteria yang diajukan untuk menunjukkan akhir masa
muda dan permulaan dari masa dewasa awal adalah kemandirian ekonomi dan
kemandirian dalam membuat keputusan. Pembuatan keputusan yang dimaksud
adalah secara luas, yakni meliputi tentang karir, nila-nilai, keluarga, hubungan,
dan gaya hidup (Santrock, 2002).
Dewasa awal yang memiliki sikap bergantung, akan sangat sukar
mengambil keputusan sendiri ; apakah akan menikah atau tidak; akan bekerja
dimana, dan sebagainya (Mappiare, 1983). Individu dewasa awal yang mandiri,
Sedangkan individu yang tidak mandiri, semua keputusan yang harus dibuatnya
tidak akan jadi-jadi, karena ketidakmampuan mengambil keputusan dengan
mempertimbangkan segala konsekuensinya. Hal tersebut akan menghambat
individu yang bersangkutan untuk melaksanakan tugas-tugas perkembangannya.
Havighurst (dalam Monks ea all, 2004) mengemukakan bahwa perjalanan
hidup seseorang ditandai oleh adanya tugas-tugas yang harus dapat dipenuhi.
Konsep diri dan harga diri akan turun bila seseorang tidak dapat melaksanakan
tugas perkembangan dengan baik. Lebih lanjut dikatakannya bahwa tugas
perkembangan dewasa awal adalah mulai bekerja yang menandai kemampuannya
untuk mandiri secara ekonomi, menerima tanggung jawab sebagai warga negara,
memilih jodoh, belajar hidup berkeluarga, dan menemukan kelompok sosialnya.
Individu dewasa awal, sebagai orang yang dewasa diharapkan dapat
menyesuaikan diri secara mandiri terhadap harapan sosial barunya (Hurlock,
1980).
Perkembangan pada usia dewasa awal dapat dilihat dalam berbagai aspek
(Santrock, 2002), antara lain :
a) Kondisi fisik
Kondisi fisik pada usia dewasa awal tidak hanya mencapai puncaknya saja,
tetapi juga mulai menurun selama periode ini. Perhatian pada kesehatan
meningkat di antara orang dewasa awal. Kondisi fisik menggapai
puncaknya antara usia 18-30 tahun, terutama usia 19-26 tahun. Menuju
tampak. Kondisi fisik merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi
kemandirian seseorang (Basri, 2004). Individu dewasa awal yang mandiri
berusaha sebisa mungkin untuk mewujudkan keinginan dan cita-citanya
dengan mengandalkan dirinya sendiri, sehingga bila tidak ditunjang
dengan kondisi fisik yang prima, maka hal tersebut bisa terhambat.
b) Kognitif
Integrasi baru dari pikiran terjadi pada masa dewasa awal. Pemikiran pada
usia dewasa awal akan menghasilkan pembatasan-pembatasan pragmatis
yang memerlukan strategi penyesuaian diri yang sedikit mengandalkan
analisis logis dalam memecahkan masalah (Labouvie-Vief dalam Santrock,
2002). Perry (dalam Santrock, 2002) mengemukakan bahwa pola pikir usia
dewasa awal menuju pada pola pikir yang beragam, dan semakin relatif.
Lebih lanjut dijelaskannya bahwa memasuki usia dewasa awal, mereka
mulai menyadari perbedaan pendapat dan berbagai perspektif yang ada,
percaya bahwa setiap orang memiliki pandangan pribadi serta setiap
pendapat yang ada sebaik pendapat orang lainnya. Sehingga menjadikan
orang dewasa memahami bahwa kebenaran adalah relatif.
Pandangan lain yang mengemukakan tentang perubahan kognitif pada usia
dewasa awal adalah Schaie, yang mengajukan urutan fase-fase kognitif,
terdiri dari :
1) Fase mencapai prestasi (achieving stage)
situasi yang memiliki konsekuensi besar dalam mencapai tujuan
jangka panjang, seperti pencapaian karir dan pengetahuan.
2) Fase tanggung jawab (the responsibility stage)
Fase yang terjadi ketika keluarga terbentuk dan perhatian diberikan
pada keperluan-keperluan pasangan dan keturunan. Perluasan
kemampun kognitif yang sama diperlukan saat karir individu
meningkat dan tanggung jawab kepada orang lain muncul dalam
pekerjaan dan komunitas.
3) Fase eksekutif (the executive stage)
Fase dimana individu bertanggung jawab pada sistem kemasyarakatan
dan organisasi sosial (pemerintahan atau perusahaan, misalnya). Selain
itu individu juga mulai membangun pemahaman tentang bagaimana
organisasi sosial bekerja dan berbagai hubungan kompleks yang
terlibat di dalamnya. Fase ini terjadi di masa dewasa tengah.
4) Fase reintegratif (the reintegrative stage)
Fase dimana individu memilih untuk memfokuskan tenaga pada tugas
dan kegiatan yang bermakna bagi mereka. Fase ini terjadi pada akhir
masa dewasa.
c) Sosio-emosional
Memasuki masa dewasa awal, individu mengalami ketegangan emosional
yang nampak dalam bentuk keresahan (Hurlock, 1980). Keresahan yang
dihadapi saat itu dan berhasil tidaknya dalam upaya penyelesaiannya.
Salah satunya adalah penyesuaian terhadap kehidupan sosial yang baru,
dimana individu menentukan pola hidup baru, memikul tanggung jawab
baru, dan komitmen baru yang menjadi landasan dikemudian hari. Dengan
berakhirnya pendidikan formal dan memasuki ke dalam pola kehidupan
orang dewasa, yaitu karir, perkawinan dan rumah tangga, keterlibatan
dalam kegiatan kelompok di luar rumah akan terus berkurang sebagai
akibatnya akan mengalami keterpencilan sosial atau krisis keterasingan.
Keterasingan diintensifkan dengan adanya semangat bersaing dan hasrat
kuat untuk maju dalam karir. Dengan demikian keramah-tamahan masa
remaja diganti persaingan pada masa dewasa. Banyk waktu dicurahkan
untuk pekerjaan, sehingga hanya terdapat sedikit waktu untuk sosialisasi
yang diperlukan untuk membina hubungan yang akrab. Akibatnya
menimbulkan sikap egosentris dan menambah keterasingan. Lama
tidaknya perasaan keterasingan ini tergantung dari kemampuan individu
untuk membina hubungan sosial yang baru, guna menggantikan hubungan
sosial yang berukurang sebelumnya.
D Hubungan Antara Kecerdasan Emosional dan Kemandirian Pada
Usia dewasa Awal
Dalam rentang kehidupan seseorang, pasti mengalami perubahan dalam
fungsi dalam diri individu secara bertahap untuk memasuki masa perkembangan
selanjutnya, dan juga perubahan tanggung jawab serta tugas perkembangan,
memasuki tahapan usia yang baru, seperti halnya memasuki usia dewasa awal.
Memasuki usia dewasa awal, individu dituntut untuk mampu
menyesuaikan diri secara mandiri terhadap pola-pola kehidupan baru (Hurlock,
1980). Hal tesebut yang membuat periode ini menjadi periode yang sulit dalam
rentang kehidupan seseorang, karena semakin besar tuntutan terhadap diri
sehingga secara otomatis menyebabkan melonjaknya persoalan hidup (Mappiare,
1983).
Levinson (Monks et all, 1998) menyatakan bahwa memasuki masa dewasa
awal mencakup tiga periode, yakni periode pengenalan orang dewasa (22-28
tahun) dimana individu menyadari peran dan tanggung jawabnya sebagai orang
dewasa serta berusaha membentuk struktur kehidupan yang stabil dalam dunia
kerja dan hubungan sosial. Usia 28-33 tahun merupakan pemantapan dari masa
sebelumnya, begitu juga dengan usia 33-40 yang merupakan fase pemantapan,
dimana individu memantapkan diri dalam karir, kehidupan keluarga dan
tempatnya dalam masyarakat. Pada usia 40 tahun merupakan puncak masa
dewasa, sampai menuju masa dewasa madya pada usia 45 tahun.
Individu dewasa awal yang memiliki kualitas kemandirian diharapkan
dapat memahami kemampuan dan kekurangan dirinya, serta melihat peluang yang
baik demi mewujudkan cita-citanya dengan mempertimbangkan segala kelebihan
bertanggung jawab terhadap masa depannya. Sehingga ia mampu mempersiapkan
diri sebaik-baiknya dalam persaingan yang semakin tinggi di dunia kerja sebagai
bentuk pemenuhan harapan sosial baru bagi usia dewasa awal yakni, kemandirian
secara ekonomi, dan membuat komitmen baru dalam hidupnya seperti mulai
berumah tangga.
Kemandirian merupakan kemampuan individu untuk bebas, tidak
tergantung dengan orang lain, mampu bertindak atas kehendak sendiri, adanya
usaha mengejar prestasi, tekun, merencanakan dan mewujudkan harapan atau
keinginannya, kreatif, penuh inisiatif, mampu mengendalikan tindakannya,
mampu menghadapi masalah, mampu mempengaruhi lingkungan atas usahanya
sendiri, memiliki rasa percaya diri, memahami kemampuan dan menerima
kekurangannya (Masrun dkk, 1986).
Individu yang mandiri adalah yang berani mengambil keputusan dilandasi
oleh pemahaman akan segala konsekuensi dari tindakannya (Ali, 2006). Beberapa
definisi yang diungkapkan mengenai kemandirian melibatkan proses kognisi
seperti, kesanggupan untuk memutuskan sesuatu, kreatif, original, tendensi untuk
mencapai dan mengatasi suatu hal, proses kognisi ini sangat tergantung dengan
keadaan emosi atau suasana hati seseorang Misalnya saja kecemasan, memiliki
pengaruh negatif yang berakibat menurunkan kapasitas kognitif seseorang,
sehingga memperburuk kinerjanya (Suharnan, 2005). Apabila kinerja seseorang
menurun, bagaimana ia berusaha meraih sesuatu hal atau keinginannya, yang
menangani emosi atau suasana hatinya dengan baik sehingga dapat dikelola secara
efektif merupakan bagian dari kecerdasan emosi.
Kecerdasan emosional sendiri memiliki pengertian sebagai kecakapan
emosi yang dimiliki individu untuk dapat memotivasi diri, memiliki ketahanan
dalam menghadapi kegagalan, mengendalikan emosi dan menunda kepuasan,
mengatur keadaan jiwa, kemampuan memantau, mengenali emosi, serta
menggunakan emosi-emosi itu untuk memandu pikiran dan tindakan, sehingga
membantu perkembangan emosi dan intelektual.
Dengan demikian, individu dewasa awal yang memiliki kecerdasan
emosional yang tinggi, diharapkan akan memiliki kemampuan untuk mandiri,
sehingga dapat memenuhi tanggung jawab serta harapan-harapan sosial yang
baru.
E Hipotesis Penelitian
Hipotesis penelitian ini adalah ada hubungan yang positif antara
kecerdasan emosional dan kemandirian pada usia dewasa awal. Semakin tinggi
kecerdasan emosional yang dimiliki maka akan semakin tinggi pula
METODOLOGI PENELITIAN
A.Jenis Penelitian
Penelitian ini termasuk jenis penelitian korelasional. Jenis penelitian korelasi
merupakan jenis penelitian yang berbentuk hubungan antara dua variabel.
Penelitian korelasional bertujuan untuk menyelidiki variasi pada satu variabel
berkaitan dengan variabel pada satu atau lebih variabel lain, berdasarkan koefisien
korelasi (Azwar, 1999). Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui hubungan
antara dua variabel yaitu kecerdasan emosional dan kemandirian.
B.Identifikasi Variabel Penelitian
Variabel dalam penelitian ini adalah :
1. Variabel bebas : Kecerdasan Emosional
2. Variabel tergantung : Kemandirian
C.Definisi Operasional Variabel Penelitian
1. Kecerdasan Emosional
Kecerdasan emosional adalah kemampuan individu mengenali perasaan diri
sendiri dan perasaan orang lain, memahami diri sendiri, kemampuan memotivasi
diri sendiri,