49
KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN
Bab terakhir pada penelitian berisi kesimpulan dari hasil penelitian, diskusi mengenai hasil yang diperoleh dengan membandingkan dengan penelitian lain dan penjelasan mengenai kendala peneliti selama penelitian, dan yang terakhir adalah saran yang dapat diberikan peneliti untuk memperbaiki kesalahan dan kekurangan dalam penelitian ini.
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisa korelasi bivariat antara variabel asertivitas seksual dengan variabel sexual risk taking behavior menunjukkan skor spearman sebesar -0,163 dengan angka signifikansi sebesar 0,019. Hasil uji hipotesis menunjukkan bahwa Ho ditolak dan H1 diterima. Oleh karena itu maka kedua variabel mempunyai hubungan negatif yang lemah dan signifikan antara asertivitas seksual dengan sexual risk taking behavior. Hubungan negatif yang lemah dan signifikan menunjukkan bahwa semakin kuat Asertivitas Seksual, semakin lemah Sexual Risk Taking Behavior. Hubungan yang terjadi diantara keduanya dikatakan lemah yang artinya kedua variabel menunjukkan hubungan yang tidak erat namun signifikan.
5.2 Diskusi
Melihat hasil dari kesimpulan maka dapat dikatakan bahwa hasil penelitian ini sesuai dengan yang dilakukan oleh Stoner et al (2008) mengenai peran asertivitas seksual terhadap sexual risk taking behavior. Asertivitas seksual dapat menjadi membantu individu khususnya wanita untuk dapat mengutarakan hak-hak pribadi kepada pasangannya, salah satunya adalah dengan menggunakan kondom saat melakukan sexual intercourse.
Selain itu, penelitian ini juga serupa dengan penelitian yang dilakukan oleh Rickert et al (2008) mengenai rendahnya asertivitas seksual yang dimiliki wanita ketika berhadapan dengan partnernya. Wanita yang memiliki asertivitas
seksual yang rendah cenderung tidak dapat mengutarakan keputusan mengenai penggunaan alat kontrasepsi, tidak dapat mengutarakan kepada partner bahwa mereka ingin sexual intercourse apabila tidak menggunakan birth control. Hal ini menunjukkan bahwa asertivitas seksual memiliki peran penting dalam membatasi individu terutama wanita untuk tidak terlibat dalam sexual risk taking behavior.
Asertivitas seksual juga dapat mencegah individu untuk terlibat dalam sexual risk taking behavior yang berdampak pada penyebaran penyakit menular seksual seperti HIV/AIDS. Menurut Kennedy & Jenkins (2011) bahwa rendahnya asertivitas seksual diasosiasikan dengan tingginya persebaran penyakit menular seksual HIV/AIDS yang mana semakin tinggi pula keterlibatan individu untuk terlibat dalam dalam sexual risk taking behavior.
Adanya hubungan negatif yang lemah dan signifikan antara variabel asertivitas seksual dan sexual risk taking behavior bisa jadi disebabkan oleh adanya salah satu dimensi yang memiliki hubungan positif yang kuat dan signifikan yaitu dimensi intiation pada asertivitas seksual. Sesuai dengan yang dikemukakan oleh Morokoff (1997) bahwa kuatnya initiation diasosiasikan dengan kuatnya kepuasaan seksual yang dialami oleh wanita. Kepuasan seksual ini terjadi pula karena individu merasakan pengalaman seksual yang ia inginkan. Ada aspek-aspek yang melatarbelakangi individu untuk dapat merasakan pengalaman seksual yang ia inginkan seperti usia, jenis kelamin, dan tipe kepribadian Gullone et al (dalam Christia, 2001, dalam Hamzah 2010) . Usia ditemukan dalam penelitian ini tidak memiliki korelasi baik dengan asertivitas seksual maupun sexual risk taking behavior. Jenis kelamin memiliki pengaruh terhadap asertivitas seksual dan sexual risk taking behavior. Wanita dinyatakan lebih pasif jika dibandingkan dengan pria dan keterlibatan pria dalam sexual risk taking behavior lebih tinggi dibandingkan wanita (Morokoff, 1997). Faktor terakhir adalah tipe kepribadian. Tipe kepribadian yang sering kali dikaitkan dengan sexual risk taking behavior adalah sensation seeking trait (Zuckermann, 1994 dalam Coulter, A. 2007).
Kepribadian merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi asertivitas dan risk taking behavior. Kepribadian dalam penelitian ini merupakan
variabel yang tidak diukur dan diasosiasikan dengan asertivitas dan risk taking behavior. Seperti yang dikatakan oleh Zuckermann (dalam Couter, 2007) sensation seeking adalah konstruk multi dimensional yang terdiri dari empat komponen, yaitu thrill and adventure seeking, experience seeking, disinhibition, and boredom susceptibility (Zuckerman, 1994 dalam Couter, 2007). Sensation seeking telah diasosiasikan dengan banyak aktivitas beresiko seperti olahraga ekstrim, perilaku menegbut dijalan, perilaku menyetir dibawah pengaruh obat-obatan, judi, penggunaan narkoba, dan sexual risk taking behavior (Zuckerman & Kuhlman, 2000 dalam Coulter, A. 2007). Individu yang memiliki kepribadian sensation seeking yang tinggi cenderung untuk terlibat dalam berbagai aktivitas seksual dengan banyak partner dibandingkan dengan individu dengan trait sensation seeking yang rendah. Individu dengan sensation seeking trait yang tinggi cenderung untuk terlibat dalam sexual risk taking behavior karena individu tersebut ingin mencari kesenangan atau kepuasan secara seksual (Cooper, Shapiro &Powers, 1998; Coulter, 2007).
Status pernikahan orang tua yang didalam teori disebutkan memiliki hubungan dengan asertivitas seksual maupun sexual risk taking behavior menunjukkan adanya hubungan pada penelitian ini. Karakteristik lingkungan keluarga khususnya status pernikahan orang tua memainkan peran yang penting dalam komunikasi antara anak dan orang tua dalam komunikasi orang tua dengan anak dan sexual risk taking behavior. Komunikasi disini mencakup keterlibatan orang tua dalam pola pengasuhan dan masing-masing peran orang tua dalam mendidik anak (Wang, 2009). Komunikasi yang tercipta antara orang tua dengan anak memiliki hubungan negatif yang signifikan dengan sexual risk taking behavior. Pola pengasuhan orang tua dan keterlibatan orang tua yang berperan aktif keduanya diasosiasikan dengan penundaan anak dalam melakukan hubungan intim dengan partnernya, memiliki partner seksual yang sedikit, dan menggunakan kontrasepsi secara konsisten (DiIorio et al. 2003; Markham et al. 2010; Miller et al. 2001; Jerman & Constantine, 2010). Asertivitas seksual menunjukkan adanya hubungan dengan status pernikahan orang tua pada penelitian ini. Menurut Rathus & Nevid (Anniza, 2010), dalam berperilaku seseorang akan melihat kondisi dan situasi dalam artian luas. Lingkungan sekitar
yang mempengaruhi perilaku asertif seperti keluarga, sekolah, dan tempat kerja (Alberti & Emmons, 2002). Lingkungan keluarga yang utuh akan memberikan dampak positif bagi anak khususnya keterlibatan orang tua yang secara utuh dalam keluarga. Haris (dalam Natallita, 2005 dalam Sari, 2007) menyatakan bahwa perilaku asertif seseorang dapat terbentuk melalui interaksi. Pola interaksi yang cukup akrab antar sesama anggota keluarga baik itu antara anak dengan orangtua ataupun anggota keluarga lain akan berpengaruh terhadap perilaku asertif anak
Status perekonomian pada penelitian ini menunjukkan hubungan signifikan. Status perekonomian seperti pendapatan orang tua perbulan serta uang saku perbulan memiliki hubungan yang signifikan dengan asertivitas seksual. Hal ini sesuai dengan teori Schwantz dan Gottman (dalam Wardhani, 2004, dalam Sari, 2007) menyatakan bahwa status ekonomi berpengaruh pada perilaku asertif dimana status sosial yang tinggi maka perilaku asertifnya juga tinggi pula.
Dalam penelitian ini terdapat beberapa kendala yang ditemukan oleh peneliti, meliputi:
1. Penelitian ini mengukur seksualitas seseorang, sesuatu yang berkaitan dengan seksualitas terkesan sangat rahasia. Kuesioner yang dipakai di penelitian ini dapat dikatakan cukup ekstrim dalam menanyakan preferensi seseorang terkait perilaku seksual mereka sehingga dapat dikatakan untuk mencari responden yang bersedia bekerjasama dan mau berpartisipasi dalam penelitian ini terbilang tidak mudah dan membutuhkan waktu cukup lama untuk mendapatkan data yang sesuai dengan penelitian ini
2. Mencari alat ukur yang representatif dengan penelitian dan subjek penelitian membutuhkan waktu yang cukup lama sehingga dalam memakan waktu dalam proses penyebaran data
3. Keterbatasan peneliti dalam pengolahan data menggunakan SPSS sehingga membutuhkan waktu yang cukup lama dalam mengolah data penelitian ini.
4. Penelitian ini dapat dikatakan cukup kontroversi. Di budaya Indonesia seks bebas merupakan suatu hal yang tabu untuk dilakukan bahkan apabila korbannya sampai mengalami dampak negatif dari seks bebas tersebut. Namun jaman berbeda, kemajuan teknologi yang didukung pula oleh besarnya pengaruh budaya asing membuat perilaku seksual bukan lagi hal yang tabu untuk dilakukan. Dengan adanya penelitian ini dapat menjawab seberapa besar sejauh mana perilaku seksual yang dilakukan di Indonesia khususnya wilayah DKI Jakarta
5.3 Saran
Berdasarkan hasil penelitian maka dapat disarankan beberapa hal yang mencakup:
1. Hasil penelitian yang menunjukan bahwa tedapat hubungan antara Asertivitas Seksual dengan Sexual Risk Taking Behavior pada Mahasiswi di Jakarta, maka diharapkan agar kelompok pelajar khususnya mahasiswi tetap menjaga Asertivitas dalam hal seksual agar mereka tidak melakukan Sexual Risk Taking Behavior sehingga tidak akan ada dampak negatif seperti kehamilan yang tidak diinginkan dan penyebaran penyakit menular seksual. Cara agar mahasiswi dapat terhindar dari sexual risk taking behavior adalah dengan meningkatkan kembali skill asertivitas. Skill asertivitas ini dapat dimiliki dengan cara terus melatih dan mulai untuk berani dalam bersuara. Adanya sarana seperti seminar mengenai pelatihan asertivitas dan dampak buruk dari perilaku seksual beresiko perlu diadakan agar individu dapat mengerti apa dampak yang dihasilkan bila mereka tidak menerapkan hal-hal tersebut. Saran bagi para mahasiswi sebaiknya untuk tidak melakukan hubungan seksual apalagi sebelum meresmikan ke hubungan pernikahan dengan partnernya karena kembali lagi kita sebagai warga Negara Indonesia masih terikat dengan adat ketimuran yang sangat menolak perilaku seks bebas untuk dilakukan.
2. Untuk penelitian selanjutnya agar lebih baik, diharapkan tidak hanya melibatkan wanita, namun pria juga harus dilibatkan dalam penelitian yang berkaitan dengan semacam ini. Manfaatnya agar dapat mengetahui sejauh mana perbedaan antara pria dan wanita dalam melakukan perilaku asertif dan sexual risk taking behavior. Selain itu, lebih baik pula untuk dapat menggunakan data demografi lainnya seperti usia saat pertama kali melakukan hubungan seksual. Hal itu guna memperkaya pengetahuan lebih detil lagi mengenai variabel asertivitas seksual dengan sexual risk taking behavior