PERHUBUNGAN, KOMUNIKASI DAN
INFORMATIKA
(Studi Pada Trayek Angkutan Umum Kota Serang)
SKRIPSI
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Ilmu Sosial pada Konsentrasi Kebijakan Publik
Program Studi Ilmu Administrasi Negara
Oleh
FIRSTYANA GUSTI AYU
NIM 6661110689
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS SULTAN AGENG TIRTAYASA
wus’ahaa… Allah
tidak membebani
seseorang melainkan sesuai
kesanggupannya.
”
(QS. Al-Baqarah:286)
Sebagai bentuk terima kasih, skripsi ini kupersembahkan
untuk Mama, Papa, Mbah Kakung, Mbah Uti dan kedua
adikku yang tidak pernah lelah menyemangati untuk
Perhubungan, Komunikasi dan Informatika (Studi Pada Trayek Angkutan Umum Kota Serang). Program Studi Ilmu Administrasi Negara. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Universitas Sultan Ageng Tirtayasa. Pembimbing I: Yeni Widyastuti, S.Sos., M.Si. Pembimbing II: Deden M. Haris, S.Sos., M.Si.
Penyelenggaraan pelayanan angkutan orang dengan kendaraan bermotor umum dalam trayek di Kota Serang berlandaskan pada Peraturan Daerah Kota Serang Nomor 13 Tahun 2014 Tentang Penyelenggaraan Perhubungan, Komunikasi dan Informatika. Pada pelaksanaannya, penyelenggaraan angkutan umum tersebut menemui berbagai permasalahan seperti belum tertibnya trayek angkutan umum di Kota Serang; lemahnya pengawasan dari Dishubkominfo Kota Serang; kurangnya tenaga di lapangan dan PPNS di Dishubkominfo Kota Serang; belum adanya Rencana Umum Jaringan Trayek yang disesuaikan dengan Perda serta belum tersedianya sarana dan prasarana yang memadai. Untuk mengkaji permasalahan yang muncul, peneliti menggunakan teori implementasi kebijakan publik menurut Van Meter dan Van Horn. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui pelaksanaan kebijakan tersebut dan faktor-faktor apa saja yang menghambat pelaksanaannya. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif deskriptif dan peneliti bertindak sebagai instrumen penelitian. Data diperoleh melalui wawancara, observasi, studi dokumentasi serta metode penelusuran data online. Proses analisis data menggunakan model yang dikemukakan oleh Miles and Huberman. Prosedur pengujian keabsahan data dilakukan dengan triangulasi dan mengadakan member check. Hasil penelitian menunjukkan bahwa implementasi Peraturan Daerah Kota Serang Nomor 13 Tahun 2014 Tentang Penyelenggaraan Perhubungan, Komunikasi dan Informatika belum maksimal karena kurangnya sikap empati dari para sopir, adanya tumpang tindih kewenangan antara Dishubkominfo Kota Serang dan Polres Kota Serang, serta kurangnya dukungan sosial dari sasaran kebijakan dan kurangnya dukungan dari elite politik. Rekomendasi yang peneliti berikan yaitu menambah jumlah PPNS, meningkatkan koordinasi dengan Polres Kota Serang dan Setda Kota Serang serta mengajukan kenaikan anggaran untuk kegiatan pengawasan dan pengendalian (Wasdal).
the Organization of Transportation, Communication and Informatics (Study of Serang City Public Transportation’s Route). Program Study of Public Administration. Faculty of Social and Political Science. Sultan Ageng Tirtayasa University. 1st Advisor: Yeni Widyastuti, S.Sos., M.Si. 2ndAdvisor: Deden M. Haris, S.Sos., M.Si.
The implementation of human transport service with public transportation in Serang City’s route is based on Serang City Local Regulation Number 13 Year 2014 About the Organization of Transportation, Communication and Informatics. However on the practice, the implementation of this public transportation still found some problems such as public transportation’s route in Serang City has not orderly yet; weak surveillances of Dishubkominfo Serang City; lack of personnel in the field and Civil Servants (PPNS) in Dishubkominfo Serang City; the General Plan of Network Route that are tailored to local regulation is not exist yet; and also the unavailability of adequate facilities and infrastucture. For reviewing the shown problems, writer is using theory of public policy implementation by Van Meter and Van Horn. The aims of this research are to know about implementation of the regulation and some kind of factors which detain the implementation. This research is use qualitative descriptive method and writer do act as a research instrument. Data is gained from interviews, observations, documentation studies also online data searching. Data analytic process is using model which stated by Miles and Huberman. Data validity testing procedures are do with triangulation and do member check. Results of this research shown that the implementation of Serang City Local Regulation Number 13 Year 2014 About the Organization of Transportation, Communication and Informatics is not maximal yet because the lack of empathy from drivers, there are some overlapping authority between Dishubkominfo Serang City and Serang City Police Resort, also lack of social support from the policy target and also lack of political elite support. Recommendations from writer are adding some Civil Servants (PPNS), improving coordination with Serang City Police Resort and Regional Secretariat of Serang City also rise up the budget fund for surveillances and control activities (Wasdal).
vii
ميح رلا نمح رلا الله مسب
Syukur Alhamdulillah segala puji penulis panjatkan kehadirat Allah Subhanahu Wa Ta’ala yang telah memberikan segala rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi dengan judul
“Implementasi Peraturan Daerah Kota Serang Nomor 13 Tahun 2014
Tentang Penyelenggaraan Perhubungan, Komunikasi dan Informatika di
Kota Serang (Studi Pada Trayek Angkutan Umum Kota Serang)”. Terimakasih yang teramat dalam juga penulis sampaikan kepada kedua orang tua atas dukungan, motivasi dan kasih sayang yang tidak terhingga serta doa-doa yang selalu dipanjatkan untuk penulis.
viii
dan Ilmu Politik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.
3. Yth. Ibu Rahmawati, S.Sos., M.Si., Wakil Dekan I Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.
4. Yth. Bapak Iman Mukhroman, S.Sos., M.Si., Wakil Dekan II Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.
5. Yth. Bapak Kandung Sapto Nugroho, S.Sos., M.Si., Wakil Dekan III Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.
6. Yth. Ibu Listyaningsih, S.Sos., M.Si., Ketua Program Studi Ilmu Administrasi Negara dan juga Dosen Pembimbing Akademik penulis yang telah banyak memberikan arahan dan semangat kepada penulis dari awal hingga akhir masa perkuliahan.
7. Yth. Bapak Riswanda, Ph.D., Sekretaris Program Studi Ilmu Administrasi Negara Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.
ix
10. Yth. Bapak Achmad Mujimi, S.Pd., M.Pd., Kepala Dinas Perhubungan, Komunikasi dan Informatika Kota Serang yang telah memberikan izin penelitian sehingga penulis dapat mengadakan penelitian guna tersusunnya skripsi ini.
11. Yth. Bapak H. Ikbal, M.Kes., Kepala Bidang Lalu Lintas dan Angkutan Dishubkominfo Kota Serang yang telah memberikan izin penelitian dan memberikan banyak informasi yang dibutuhkan penulis sehingga penulis dapat mengadakan penelitian guna tersusunnya skripsi ini.
12. Yth. Bapak Bambang Riyadi, SH., Kepala Seksi Pengendalian dan Operasional Dishubkominfo Kota Serang yang telah memberikan banyak informasi yang dibutuhkan penulis sehingga penulis dapat menyusun skripsi ini.
13. Yth. Bapak H. Iwan Supriadi, Wakil Ketua Organisasi Angkutan Darat (Organda) Kota Serang yang telah membantu memberikan data dan informasi sehingga dapat tersusunnya skripsi ini.
14. Yth. Bapak Dadan Salim, Bamin Lantas Polres Kota Serang yang telah memberikan banyak informasi sehingga penulis dapat menyusun skripsi ini.
x
Mustika dan Rahayu Nur Istiqomah, S.Sn., terimakasih atas dukungan, doa, dan semangat yang telah diberikan. Semoga persahabatan ini tidak akan pernah berakhir.
17. Teman-teman seperjuangan Desy Hartining, S.Sos., Dhani Chairani, Diana Pusvita, S.Sos., Elsa Suryani Padang, S.I.Kom., Gesti Resti Fitri, Muhamad Rohyadi, S.Sos., Naomi Laura, S.Sos, Nita Retnasari, S.Sos., Okeu Yudipratomo, S.I.Kom., Indri Selianawati, S.Sos., dan Lulu Meitha Damayanti, S.Sos yang tidak bosan-bosannya mengingatkan dan memberi dukungan untuk menyelesaikan skripsi ini. Terimakasih untuk semua motivasi dan semangat yang telah diberikan kepada penulis. 18. Teman-teman Ilmu Administrasi Negara khususnya Kelas C Reguler
Angkatan 2011, terimakasih untuk kebersamaannya. Semoga masih dapat berkumpul di lain kesempatan.
19. Keluarga besar UKMF FoSMaI FISIP Untirta yang menjadi tempat belajar untuk menjadi manusia lebih baik. Terimakasih untuk seluruh pelajaran berharganya.
xi
bahwa skripsi ini jauh dari sempurna sehingga penulis membutuhkan kritik dan saran yang bersifat membangun untuk perbaikan di masa yang akan datang. Semoga segala bantuan yang telah diberikan mendapatkan ridho dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Aamiin.
Serang, Desember 2016
Penulis
xii
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ... i
PERNYATAAN ORISINALITAS ... ii
LEMBAR PENGESAHAN ... iii
LEMBAR PERSETUJUAN ... iv
MOTTO DAN PERSEMBAHAN ... v
ABSTRAK ... vi
KATA PENGANTAR ... vii
DAFTAR ISI ... xii
DAFTAR TABEL ... xv
DAFTAR GAMBAR ... xvi
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah ... 1
1.2 Identifikasi Masalah ... 15
1.3 Batasan Masalah ... 16
1.4 Rumusan Masalah ... 16
1.5 Tujuan Penelitian ... 17
1.6 Manfaat Penelitian ... 17
BAB II DESKRIPSI TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN ASUMSI DASAR PENELITIAN 2.1 Deskripsi Teori ... 19
2.1.1 Pengertian Kebijakan Publik ... 20
2.1.2 Konsep Implementasi Kebijakan Publik ... 26
2.1.3 Model-model Implementasi Kebijakan Publik ... 29
xiii
2.1.5 Konsep Perhubungan dan Transportasi ... 39
2.2 Penelitian Terdahulu ... 45
2.3 Kerangka Pemikiran Penelitian ... 49
2.4 Asumsi Dasar Penelitian ... 52
BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Pendekatan dan Metode Penelitian ... 53
3.2 Ruang Lingkup/Fokus Penelitian ... 55
3.3 Lokasi Penelitian ... 55
3.4 Fenomena yang Diamati ... 56
3.4.1 Definisi Konsep ... 56
3.4.2 Definisi Operasional ... 57
3.5 Instrumen Penelitian ... 58
3.5.1 Sumber Data Penelitian ... 60
3.5.2 Teknik Pengumpulan Data ... 61
3.6 Informan Penelitian ... 66
3.7 Teknik Pengolahan dan Analisis Data ... 68
3.8 Uji Keabsahan Data ... 71
3.9 Jadwal Penelitian ... 72
BAB IV HASIL PENELITIAN 4.1 Deskripsi Objek Penelitian ... 74
4.1.1 Gambaran Umum Kota Serang ... 74
4.1.2 Gambaran Umum Dinas Perhubungan, Komunikasi dan Informatika Kota Serang ... 76
4.2 Deskripsi Data ... 89
4.2.1 Deskripsi Informan Penelitian... 91
4.2.2 Hasil Penelitian Lapangan... 93
xiv BAB V PENUTUP
5.1 Kesimpulan... 164 5.2 Saran ... 165 DAFTAR PUSTAKA ... 167
LAMPIRAN
xv
xvi
Halaman
Gambar 2.1 Model Hubungan Antar Variabel Implementasi Edwards III ... 33
Gambar 2.2 Model Implementasi Kebijakan Van Meter Van Horn ... 35
Gambar 2.3 Proses Implementasi Program Cheema dan Rondinelli ... 35
Gambar 2.4 Impelementasi Kebijakan Mazmanian dan Sabatier ... 37
Gambar 2.5 Kerangka Pemikiran Penelitian ... 51
Gambar 3.1 Langkah-langkah Analisis Data Interaktif Miles & Huberman ... 69
Gambar 4.1 Peta Administratif Kota Serang... 75
Gambar 4.2 Susunan Organisasi Dishubkominfo Kota serang 2016 ... 84
Gambar 4.3 Berita Acara Pelanggaran Lalu Lintas ... 114
1 1.1 Latar Belakang Masalah
Pertumbuhan di sektor ekonomi memberi dampak terutama dirasakan di kawasan perkotaan. Hal ini terlihat dari makin menguatnya konsentrasi penduduk di kota-kota besar dan metropolitan. Dewasa ini, tingkat pertumbuhan penduduk perkotaan di Indonesia telah mencapai kurang lebih 4 persen per tahun, lebih tinggi dari tingkat pertumbuhan penduduk rata-rata nasional yang hanya mencapai kurang lebih 1,8 persen. Bahkan menurut proyeksi Badan Pusat Statistik, pada tahun 2025 sekitar 60 persen penduduk Indonesia akan tinggal di daerah perkotaan (Draft Pedoman Kriteria Transportasi Berkelanjutan, 2005).
Ditinjau dari aspek pergerakan penduduk, kecenderungan bertambahnya penduduk perkotaan yang tinggi dan urbanisasi menyebabkan makin banyaknya jumlah pergerakan baik di dalam kota maupun ke luar kota. Penduduk akan melakukan pergerakan (transportasi) menuju daerah-daerah seperti pemukiman, daerah industri, kawasan pendidikan, dan kawasan bisnis (central business district). Waktu terjadinya pergerakan ini juga tergantung jenis kegiatan yang
tertentu di jalan akan terjadi penumpukan arus lalu lintas. Pada kondisi seperti itulah disebut jam puncak atau peak hours. Dalam satu hari biasanya terjadi 3 (tiga) kali jam puncak, yaitu pagi hari (saat orang berangkat kerja), siang hari (jam istirahat/jam pulang sekolah), dan sore hari (saat pulang kerja, dan lain-lain). Dengan kata lain, puncak pagi terjadi antara pukul 06.00-08.00, puncak siang terjadi antara pukul 12.00-14.00, dan puncak sore terjadi antara pukul 16.00-18.00 (Azis dan Asrul, 2014:9-11).
Hal ini memberi konsekuensi logis yaitu perlu adanya keseimbangan antara sarana dan prasarana khususnya di bidang transportasi. Hal ini dimaksudkan untuk menunjang mobilitas penduduk dalam melaksanakan aktivitasnya. Transportasi bukan merupakan tujuan akhir yang ingin kita capai, tetapi merupakan sarana perantara untuk memudahkan manusia mencapai tujuan akhir yang sebenarnya, seperti pergi ke sekolah, bekerja, berbelanja, dan lain sebagainya. Oleh sebab itu, kebutuhan akan jasa transportasi disebut sebagai kebutuhan turunan (derived demand).
transportasi rel (angkutan melalui rel), transportasi pipa (angkutan melalui pipa), dan transportasi gantung (angkutan melalui kabel). Kemudian moda udara biasanya digunakan pada karakteristik wilayah yang cukup bergunung, curam dan diliputi hutan sehingga akses jalan darat menjadi sulit (http://elearning.gunadarma.ac.id, diakses 21 Februari 2016).
Sarana transportasi darat dengan menggunakan jalan merupakan moda transportasi yang paling dominan digunakan dibandingkan dengan moda transportasi lainnya karena transportasi melalui jalan darat dianggap paling efektif oleh masyarakat. Oleh karena itu keterlambatan dalam penanganan masalah transportasi darat dibandingkan dengan kecepatan laju pertumbuhan penduduk dan perkembangan kota akan dapat menimbulkan berbagai masalah lalu lintas seperti kemacetan lalu lintas, pelanggaran lalu lintas, polusi udara, dan akan berdampak pula pada masalah sosial lainnya.
Peran angkutan kota sangat besar dalam menunjang mobilitas penduduk kota karena bagaimanapun masyarakat kota membutuhkan angkutan kota dan sebagian besar kelompok masyarakat tergantung pada angkutan kota untuk memenuhi kebutuhan mobilitasnya. Jumlah kelompok masyarakat yang tergantung pada angkutan umum untuk kota-kota di negara berkembang sangat signifikan jumlahnya maupun prosentasenya. Hal ini disebabkan karena kondisi perekonomian masyarakat relatif rendah yang berbanding lurus dengan tingkat kepemilikan kendaraan. Angkutan kota merupakan sarana transportasi yang dapat digunakan oleh seluruh masyarakat, karena angkutan kota merupakan salah satu transportasi yang murah sehingga dapat dijangkau oleh semua lapisan masyarakat. Maka dari itu, angkutan kota harus mampu melayani masyarakat dengan baik sebagai upaya peningkatan pelayanan publik.
Sarana transportasi umum sebagai layanan publik melibatkan negara (pemerintah), pengusaha dan masyarakat. Pemerintah mempunyai tanggung jawab dalam pembuatan kebijakan dan perundang-undangan sekaligus melakukan pengawasan dalam penerapannya di lapangan. Pengusaha mempunyai peran penting dalam menyediakan dan mengusahakan jasa transportasi kota yang layak dan memadai bagi masyarakat. Sedangkan masyarakat memiliki kapasitas sebagai pengguna layanan dan berhak menentukan pilihan terhadap moda transportasi yang akan digunakannya.
Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, pada pasal 138 dan 139 disebutkan bahwa angkutan umum diselenggarakan dalam upaya memenuhi kebutuhan angkutan yang selamat, aman, nyaman, dan terjangkau, kemudian pemerintah daerah kabupaten/kota wajib menjamin tersedianya angkutan umum untuk jasa angkutan orang dan/atau barang dalam wilayah kabupaten/kota. Dari penjelasan undang-undang tersebut, maka jelas bahwa pemerintah kabupaten/kota diharuskan untuk membangun sarana dan prasarana transportasi yang memadai serta memenuhi aspek keselamatan, keamanan, kenyamanan serta terjangkau sehingga mampu mengakomodir kebutuhan mobilitas warga kota.
Namun pada kenyataannya, pada setiap kota pasti memiliki permasalahan transportasi. Demikian juga dengan yang terjadi di Kota Serang. Kota Serang merupakan Ibukota Provinsi Banten yang terletak pada posisi sentral dan strategis karena sebagai salah satu kota jalur penghubung darat antara Pulau Jawa dan Pulau Sumatera. Kota ini terus mengalami perkembangan, sebagai indikatornya adalah jumlah penduduk Kota Serang mengalami pertumbuhan yang cukup pesat dari tahun ke tahun. Pada tahun 2013 jumlah penduduk Kota Serang sebesar 618.802 jiwa, kemudian jumlah ini meningkat pada tahun 2014 sebesar 631.101 jiwa. Terjadi peningkatan jumlah penduduk sebesar 12.299 jiwa atau sama dengan 1,9 persen dalam kurun waktu satu tahun (BPS, Kota Serang Dalam Angka 2015).
Kecenderungan pemakaian kendaraan pribadi yang tinggi dan penyediaan kapasitas jalan yang sangat terbatas akan mengakibatkan turunnya kualitas pelayanan pada jaringan jalan yang ada, sehingga akan memicu terjadinya kemacetan lalu lintas.
Salah satu cara untuk mengantisipasi terjadinya hal tersebut adalah dengan memperbaiki kualitas pelayanan angkutan umum dengan menata dan mengembangkan pola jaringan trayek kendaraan umum yang ada sekarang ini di Kota Serang. Menurut Peraturan Daerah Kota Serang Nomor 13 Tahun 2014 Tentang Penyelenggaraan Perhubungan, Komunikasi dan Informatika pengertian trayek adalah lintasan kendaraan umum untuk pelayanan jasa angkutan orang yang mempunyai asal dan tujuan perjalanan tetap, lintasan tetap dan jadwal tetap maupun tidak terjadwal. Sedangkan jaringan trayek adalah kumpulan dari trayek-trayek yang menjadi suatu kesatuan jaringan pelayanan angkutan orang.
Pelayanan angkutan umum di Kota Serang diselenggarakan dengan menggunakan mobil bus dan mobil penumpang yang dilayani dalam trayek tetap dan teratur; dan tidak dalam trayek. Yang dimaksud dengan trayek tetap dan teratur adalah angkutan kota, angkutan perbatasan, dan angkutan khusus. Sedangkan angkutan umum tidak dalam trayek yang dimaksud meliputi angkutan taksi, angkutan sewa, angkutan pariwisata, angkutan karyawan, angkutan antar jemput dan angkutan kawasan permukiman.
Serang. Jaringan trayek angkutan umum yang berlaku saat ini sebanyak 12 (dua belas) jalur trayek angkutan perkotaan di wilayah Kota Serang. Adapun jaringan trayek yang ditetapkan tersebut sesuai dengan tabel 1.1 sebagai berikut.
Tabel 1.1
Daftar Trayek Angkutan Umum Penumpang di Kota Serang
No Kode
Kepandean PP 214 Kuning Biru Metalik
2 02 Pakupatan – Ahmad Yani –
Kepandean PP 200 Putih Biru Metalik
3 03 Pakupatan – Pasar Rau –
Kepandean PP 187 Hijau Biru Metalik
4 04 Pakupatan – Cipocok –
kabupaten. Penerapan sistem jaringan trayek angkutan umum di Kota Serang setidaknya telah diberlakukan sejak tahun 2009 hingga saat ini, namun pelaksanaannya dinilai masih belum maksimal. Penerapan sistem trayek dinilai belum berhasil karena pada kenyataannya kode trayek belum mencerminkan arah atau tujuan akhir dari angkutan umum di Kota Serang. Masyarakat yang ingin menggunakan angkutan umum harus menyebutkan terlebih dahulu kemana tujuannya layaknya ketika kita akan bepergian menggunakan taksi (angkutan umum tidak dalam trayek). Hal ini cukup merepotkan, terutama untuk penduduk luar daerah yang kebetulan berkunjung ke Kota Serang. Berdasarkan pengamatan awal yang dilakukan oleh peneliti, ditemukan beberapa permasalahan yang menarik untuk dikaji lebih dalam. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat dari pemaparan berikut ini.
penumpang minoritas dengan tujuan berbeda. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Bapak Iwan Supriadi (Wakil Ketua Organda Kota Serang), “Misalnya, di dalam angkot sudah ada 2 orang penumpang mau ke arah Royal, kemudian di tengah perjalanan, ada 5 orang mau ke arah Kepandean, maka sudah pasti penumpang (2 orang) yang sebelumnya akan diturunkan dan disuruh naik angkot
yang lain” (Kutipan wawancara dengan Bapak Iwan Supriadi di Kantor Organda Kota Serang, 17 Maret 2016, pukul 14:20).
Kemudian Widyasari salah satu pengguna angkutan umum melalui media online lokal. Ia berkata sebagai berikut: “Jelas kita dirugikan, apalagi kalau kita cuma sendiri dan tiba-tiba ada rombongan lain masuk tapi dengan tujuan beda. Udah pasti kita (penumpang minoritas) yang diturunin di jalan sama sopirnya” (http://www.bantenpos.co, diakses 22 Februari 2016). Kondisi seperti ini jelas menunjukkan kurangnya rasa empati sopir terhadap penumpang serta memberikan pengalaman negatif bagi pengguna layanan (penumpang). Apabila kondisi ini dibiarkan berlangsung terus-menerus akan memicu masyarakat meninggalkan angkutan umum dan beralih menggunakan kendaraan pribadi.
(Wakil Ketua Organda Kota Serang) mengatakan bahwa hal ini sudah terjadi selama betahun-tahun dan tanpa tindakan/sanksi tegas dari Dinas Perhubungan, Komunikasi dan Informatika Kota Serang (http://satelitnews.co.id, diakses 22 Februari 2016). Pernyataan tersebut juga diperkuat oleh salah seorang sopir angkot yang peneliti wawancarai, menurutnya kesemrawutan angkutan umum di Kota Serang sudah terjadi sejak tahun 1984, ketika beliau pertama kali menjadi pendatang di Kota Serang dan bekerja sebagai sopir angkot. Menurutnya, upaya pembenahan yang dilakukan Dishubkominfo Kota Serang belum maksimal dan sanksi yang diberikan pun kurang tegas (Wawancara dengan sopir angkot trayek nomor 03, 14 Maret 2016, pukul 16:50).
Tidak hanya itu, menurut Kepala Bidang Lalu Lintas dan Angkutan juga menyebutkan bahwa pada tahun 2015 sekitar 405 dari 1.125 angkot di Kota Serang tidak melakukan perpanjangan izin trayek, atau dapat dikatakan izin
Tabel 1.2
Data Perpanjangan Izin Trayek Angkutan Kota Kota Serang Tahun 2011 s/d 2014
No. Trayek Kode
Ketiga, keterbatasan sumber daya manusia dan kurangnya jumlah pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) di lingkungan Dinas Perhubungan, Komunikasi dan Informatika Kota Serang. Pernyataan ini dikemukakan oleh Bapak Dicky (Staf Bidang Angkutan Dishubkominfo Kota Serang). Beliau menyebutkan bahwa saat ini jumlah pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) yang ada di Dishubkominfo Kota Serang hanya ada 1 (satu) orang sedangkan jumlah Pegawai Negeri Sipil yang ada adalah 45 orang. Sehubungan dengan kurangnya jumlah pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) mengakibatkan pihak dinas tidak bisa menindak pelanggaran yang dilakukan para sopir angkot karena pihak dinas hanya memiliki kewenangan untuk melakukan penindakan atas pelanggaran yang dilakukan di daerah sekitar terminal atau paling jauh 100 meter dari wilayah terminal.
Tabel 1.3
Daftar Pegawai Negeri Sipil Dishubkominfo Kota Serang 2016
No. Golongan Pangkat Jumlah
1 I/C 1
2 II/B 1
3 II/C 1
4 II/D 1
5 III/A 2
6 III/B 6
7 III/C 7
8 III/D 18
9 IV/A 6
10 IV/B 2
JUMLAH 45
(Sumber: Dishubkominfo Kota Serang, 2016)
Keempat, Peraturan Daerah Kota Serang Nomor 13 Tahun 2014 Tentang Penyelenggaraan Perhubungan, Komunikasi dan Informatika belum mengatur mengenai sanksi yang jelas atas dilakukannya pelanggaran trayek. Dalam hal pemberian sanksi, pihak Dishubkominfo Kota Serang mengacu pada UU Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Menurut pengakuan salah satu sopir angkot, sanksi yang diberikan pun tidak memberikan efek jera.
Walikota terkait Rencana Umum Jaringan Trayek yang baru, namun hingga saat ini hal tersebut belum diakomodir oleh pihak yang memiliki kewenangan. Berkaitan dengan kendala tersebut, maka hingga saat ini jaringan trayek yang berlaku masih mengacu pada Surat Keputusan Walikota Serang No. 551.23/Kep.74-Huk/2009 Tentang Penetapan Jaringan Trayek Angkutan Penumpang Umum Di Kota Serang yang dibentuk pada tahun 2009.
Kelima, belum tersedianya prasarana yang memadai yang akan mendukung tertibnya angkutan umum di Kota Serang. Menurut Bapak Iwan Supriadi (Wakil Ketua Organda Kota Serang), setelah adanya pengaturan trayek melalui penomoran dan pengecatan kendaraan, seharusnya didukung pula dengan pembuatan rambu-rambu untuk kegiatan lalu lintas angkot. Karena dengan adanya rambu-rambu tersebut, petugas berwenang seperti Dishubkominfo Kota Serang maupun Kepolisian akan mudah dalam hal melakukan penindakan. Namun hingga saat ini hal tersebut belum dapat terealisasi. Menurutnya, hal ini disebabkan adanya keterbatasan anggaran yang disediakan oleh Dishubkominfo Kota Serang dalam hal penertiban trayek (Wawancara dengan Bapak Iwan Supriadi di Kantor Organda Kota Serang, 17 Maret 2016, pukul 14:28).
Mencermati permasalahan dan fenomena yang telah dipaparkan diatas, maka peneliti tertarik untuk mengkaji lebih dalam permasalahan tersebut dalam penelitian yang berjudul “Implementasi Peraturan Daerah Kota Serang Nomor 13 Tahun 2014 Tentang Penyelenggaraan Perhubungan, Komunikasi
1.2 Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dipaparkan, peneliti dapat mengidentifikasikan masalah sebagai berikut:
1. Belum tertibnya trayek angkutan umum di Kota Serang.
2. Lemahnya pengawasan dari Dinas Perhubungan, Komunikasi dan Informatika Kota Serang.
3. Keterbatasan sumber daya manusia dan kurangnya jumlah pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) di lingkungan Dinas Perhubungan, Komunikasi dan Informatika Kota Serang.
4. Peraturan Daerah Kota Serang Nomor 13 Tahun 2014 tentang Penyelenggaraan Perhubungan, Komunikasi dan Informatika belum mengatur mengenai sanksi yang jelas atas dilakukannya pelanggaran trayek. Selain itu peraturan daerah ini juga belum memiliki peraturan pelaksana berupa Rencana Umum Jaringan Trayek yang seharusnya diatur dengan Peraturan Walikota.
1.3 Batasan Masalah
Pembatasan masalah bertujuan untuk membatasi ruang lingkup studi dari penelitian itu sendiri. Berkaitan dengan hal itu, maka peneliti membatasi ruang lingkup studi tentang “Implementasi Peraturan Daerah Kota Serang Nomor 13 Tahun 2014 Tentang Penyelenggaraan Perhubungan, Komunikasi dan Informatika” dibatasi hanya pada masalah-masalah terkait penyelenggaraan angkutan orang dengan kendaraan bermotor umum dalam trayek di Kota Serang.
1.4 Rumusan Masalah
Masalah merupakan suatu keadaan dimana tidak sesuainya cita-cita, harapan dan keinginan dengan kenyataan yang terjadi dalam masyarakat yang dapat menyebabkan adanya kesangsian, tantangan dan ketidakpuasan. Dari latar belakang masalah diatas, maka permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut:
1. “Bagaimana implementasi Peraturan Daerah Kota Serang Nomor 13 Tahun 2014 Tentang Penyelenggaraan Perhubungan, Komunikasi dan Informatika, khususnya terkait penyelenggaraan angkutan orang dengan kendaraan bermotor umum dalam trayek di Kota Serang?”.
1.5 Tujuan Penelitian
Berkaitan dengan rumusan masalah diatas, maka tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui proses implementasi Peraturan Daerah Kota Serang Nomor 13 Tahun 2014 Tentang Penyelenggaraan Perhubungan, Komunikasi dan Informatika khususnya mengenai penyelenggaraan angkutan orang dengan kendaraan bermotor umum dalam trayek di Kota Serang;
2. Untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang menghambat proses implementasi Peraturan Daerah Kota Serang Nomor 13 Tahun 2014 Tentang Penyelenggaraan Perhubungan, Komunikasi dan Informatika, khususnya terkait penyelenggaraan angkutan orang dengan kendaraan bermotor umum dalam trayek di Kota Serang.
1.6 Manfaat Penelitian
Manfaat atau kegunaan penelitian yang diharapkan dari seluruh rangkaian kegiatan penelitian serta hasil penelitian adalah sebagai berikut:
a) Manfaaat Teoritis
b) Manfaat Praktis
1. Bagi peneliti, manfaat praktis yang diharapkan adalah bahwa seluruh tahapan penelitian serta hasil penelitian yang diperoleh dapat memperluas wawasan dan pengalaman di bidang penelitian, terutama dalam bentuk pengumpulan data maupun pengujian data secara ilmiah.
2. Bagi instansi terkait, hasil penelitian diharapkan dapat dijadikan sebagai sumbangan pemikiran terkait penyelenggaraan angkutan orang dengan kendaraan bermotor umum dalam trayek di Kota Serang dan dapat memberikan masukan bagi penerapan kebijakan selanjutnya.
19
BAB II
DESKRIPSI TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN ASUMSI
DASAR PENELITIAN
2.1 Deskripsi Teori
Deskripsi teori dalam suatu penelitian merupakan uraian sistematis tentang teori dan hasil-hasil penelitian yang relevan dengan variabel yang diteliti. Deskripsi teori paling tidak berisi tentang penjelasan terhadap variabel-variabel yang diteliti melalui pendefinisian dan uraian yang lengkap dan mendalam dari berbagai referensi, sehingga ruang lingkup, kedudukan dan prediksi terhadap hubungan antar variabel yang akan diteliti menjadi lebih jelas dan terarah (Sugiyono, 2012:89).
Taniredja dan Mustafidah (2012:20) mengatakan bahwa didalam proses penelitian, pengetahuan yang diperoleh dari kepustakaan yang relevan dengan topik sangat penting dan perlu karena dapat memberikan latar belakang informasi, memberikan arahan terhadap pendekatan teoritis yang sesuai, menunjukkan bidang-bidang topik yang harus dimasukkan ke dalam atau dikeluarkan dari fokus penelitian, dan menghindari terjadinya duplikasi penelitian yang tak perlu.
Berkaitan dengan penjelasan tersebut, maka dalam penelitian ini, peneliti menggunakan beberapa teori yang kemudian diselaraskan atau disesuaikan dengan masalah-masalah yang muncul. Teori-teori utama yang akan dipaparkan adalah tentang konsep kebijakan publik dan proses implementasinya serta konsep transportasi maupun angkutan umum. Berikut adalah paparan tentang konsep-konsep teori yang digunakan oleh peneliti.
2.1.1 Pengertian Kebijakan Publik
Kebijakan publik dalam definisi yang mashur dari Dye adalah whatever governments choose to do or not to do. Maknanya Dye hendak
ditawarkan Carl Friedrich dalam Indiahono (2009:18) yang mendefinisikan bahwa:
“Kebijakan sebagai suatu tindakan yang mengarah pada tujuan yang diusulkan oleh seseorang, kelompok atau pemerintah dalam lingkungan tertentu sehubungan dengan adanya hambatan-hambatan tertentu seraya mencari peluang-peluang untuk mencapai tujuan tertentu”.
Berdasarkan pendapat diatas, penulis dapat menganalisa bahwa kebijakan merupakan suatu upaya yang muncul dari seseorang, kelompok, atau pemerintah atas adanya hambatan atau permasalahan dalam proses pencapaian tujuan dan dalam usaha penyelesaiannya, diperlukan suatu kebijakan. Kebijakan juga dapat dijadikan sebagai dasar atau landasan bagi pemerintah untuk melakukan sesuatu. Hal ini sejalan dengan definisi yang diberikan oleh Lembaga Administrasi Negara (LAN) dalam Anggara (2012:503):
“Kebijakan sebagai ketentuan-ketentuan yang harus dijadikan pedoman, pegangan atau petunjuk bagi setiap usaha dan kegiatan aparatur pemerintah, sehingga tercapai kelancaran dan keterpaduan dalam mencapai tujuan”.
yang ada untuk memecahkan masalah publik. Jadi, orientasi utama dari kedua pendapat ini adalah bahwa kebijakan publik ditujukan untuk kepentingan masyarakat atau publik.
Definisi kebijakan publik menurut Eyestone (1971:18) dalam Wahab (2012:13) ialah “the relationship of governmental unit to its environment” (antar hubungan yang berlangsung diantara unit/satuan pemerintahan dengan lingkungannya). Demikian pula definisi menurut Wilson dalam Wahab (2012:13) yang merumuskan kebijakan sebagai berikut:
“The actions, objectives and pronouncements of governments on
particular matters, the steps they take (or fail to take) to implement them, and the explanations they give for what happens (or does not
happen)” (tindakan-tindakan, tujuan-tujuan, dan
pernyataan-pernyataan pemerintah mengenai masalah-masalah tertentu, langkah-langkah yang telah/sedang diambil (atau gagal diambil) untuk diimplementasikan dan penjelasan-penjelasan yang diberikan oleh mereka mengenai apa yang telah terjadi (atau tidak terjadi).
Sedangkan pakar Inggris W.I. Jenkins dalam Wahab (2012:15) merumuskan kebijakan publik adalah sebagai berikut:
“A set of interrelated decisions taken by a political actor or group of
actors concerning the selection of goals and the means of achieving them within a specified situation where these decision should, in
principle, be within the power of these actors to achieve”
“Pola ketergantungan yang kompleks dari pilihan-pilihan kolektif yang saling tergantung, termasuk keputusan-keputusan untuk tidak bertindak, yang dibuat oleh badan atau kantor pemerintah”.
Kemudian Riant Nugroho dalam bukunya Public Policy (2011:110) mengatakan bahwa kebijakan publik adalah keputusan otoritas negara yang bertujuan mengatur kehidupan bersama. Nugroho menjelaskan bahwa tujuan kebijakan publik dapat dibedakan dari sisi sumber daya, yaitu antara kebijakan publik yang bertujuan mendistribusi sumber daya negara (kebijakan distributif) dan yang bertujuan menyerap sumber daya negara (kebijakan absorbtif). Kebijakan absorbtif adalah kebijakan yang menyerap sumber daya, terutama sumber daya ekonomi dalam masyarakat yang akan dijadikan modal atau biaya untuk mencapai tujuan bersama. Salah satu bentuk kebijakan absorbtif adalah kebijakan perpajakan yang menghimpun pendapatan untuk negara. Selanjutnya kebijakan distributif yaitu kebijakan yang secara langsung atau tidak langsung mengalokasikan sumber-sumber daya material ataupun nonmaterial ke seluruh masyarakat. Kebijakan distributif murni misalnya kebijakan otonomi daerah yang memberikan kewenangan dari daerah untuk meguasai dan mengelola sejumlah sumber daya.
privatisasi, kebijakan penghapusan tarif, dan kebijakan pencabutan daftar negatif investasi (Nugroho, 2011:111). Lebih lanjut, Nugroho (2011:104) juga mengelompokkan kebijakan publik kedalam tiga bagian, yaitu:
1. Kebijakan publik yang bersifat makro atau umum, atau mendasar, yaitu seperti halnya Undang-undang Dasar, Undang-undang/Perppu, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, dan Peraturan Daerah. 2. Kebijakan publik yang bersifat messo atau menengah, atau penjelas
pelaksanaan,. Kebijakan ini dapat berbentuk Peraturan Menteri, Surat Edaran Menteri, Peraturan Gubernur, Peraturan Bupati, dan Peraturan Walikota. Kebijakannya dapat pula berbentuk Surat Keputusan Bersama antar menteri, gubernur, dan bupati atau walikota.
3. Kebijakan publik yang bersifat mikro adalah kebijakan yang mengatur pelaksanaan atau implementasi kebijakan diatasnya. Bentuk kebijakannya adalah peraturan yang dikeluarkan oleh aparat publik dibawah menteri, gubernur, bupati dan walikota.
Richard Rose dalam Agustino (2014:7) pun berupaya untuk mendefinisikan kebijakan publik sebagai:
“Sebuah rangkaian panjang dari banyak atau sedikit kegiatan yang saling berhubungan dan memiliki konsekuensi bagi yang
berkepentingan sebagai keputusan yang berlainan”. Rose
memberikan catatan yang berguna pada kita bahwa kebijakan publik merupakan bagian mozaik atau pola kegiatan dan bukan hanya suatu kegiatan dalam pola regulasi.
Kemudian Agustino (2014:8) menyebutkan beberapa karakteristik utama dari kebijakan publik, yaitu:
1. Pada umumnya kebijakan publik perhatiannya ditujukan pada tindakan yang mempunyai maksud atau tujuan tertentu daripada perilaku yang berubah atau acak.
3. Kebijakan publik merupakan apa yang sesungguhnya dikerjakan oleh pemerintah dalam mengatur perdagangan, mengontrol inflasi, atau menawarkan perumahan rakyat, bukan apa maksud yang dikerjakan atau yang akan dikerjakan.
4. Kebijakan publik dapat berbentuk positif maupun negatif. Secara positif, kebijakan melibatkan beberapa tindakan pemerintah yang jelas dalam menangani suatu permasalahan; secara negatif, kebijakan publik dapat melibatkan suatu keputusan pejabat pemerintah untuk tidak melakukan suatu tindakan atau tidak mengerjakan apapun padahal dalam konteks tersebut keterlibatan pemerintah amat diperlukan.
2.1.2 Konsep Implementasi Kebijakan Publik
Rencana adalah 20 persen keberhasilan, implementasi adalah 60 persen sisanya, dan 20 persen sisanya adalah bagaimana kita mengendalikan implementasi. Implementasi kebijakan adalah hal yang paling berat, karena disini masalah-masalah yang kadang tidak dijumpai dalam konsep, dapat muncul di lapangan. Sebagaimana dikatakan oleh Nugroho (2011:618) sebagai berikut:
“Implementasi kebijakan pada prinsipnya adalah cara agar sebuah kebijakan dapat mencapai tujuannya. Tidak lebih dan tidak kurang. Untuk mengimplementasikan kebijakan publik, ada dua pilihan langkah yang ada, yaitu langsung mengimplementasikan dalam bentuk program atau melalui formulasi kebijakan derivat atau turunan dari kebijakan publik tersebut”.
Berdasarkan pendapat tersebut, dapat disimpulkan bahwa implementasi kebijakan merupakan cara yang dilakukan agar sebuah kebijakan dapat mencapai tujuan yang dikandungnya. Kemudian untuk melakukan proses implementasi tersebut, dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu langsung menerjemahkannya kedalam bentuk program maupun menerjemahkannya kedalam bentuk kebijakan turunan.
dikemukakan oleh seorang ahli studi kebijakan Eugene Bardach dalam Agustino (2014:138), yaitu:
“Adalah cukup untuk membuat sebuah program dan kebijakan umum yang kelihatannya bagus diatas kertas. Lebih sulit lagi merumuskannya dalam kata-kata dan slogan-slogan yang kedengarannya mengenakan bagi telinga para pemimpin dan para pemilih yang mendengarkannya. Dan lebih sulit lagi untuk melaksanakannya dalam bentuk cara yang memuaskan semua orang termasuk mereka anggap klien”.
Pernyataan diatas dipertegas oleh Chief J.O. Udoji yang dikutip dalam Agustino (2014:140) dengan mengatakan bahwa:
“Pelaksanaan kebijakan adalah sesuatu yang penting bahkan mungkin jauh lebih penting daripada pembuatan kebijakan. Kebijakan-kebijakan hanya akan sekadar berupa impian atau rencana bagus yang tersimpan rapi dalam arsip kalau tidak diimplementasikan”.
Dari pendapat diatas, kita dapat menyimpulkan bahwa membuat sebuah kebijakan dan menuangkannya dalam tulisan sehingga terbentuk suatu aturan yang terkodifikasi (undang-undang, peraturan, dan lain-lain) merupakan sesuatu yang sulit. Namun yang tersulit tetaplah pada saat proses pelaksanaan kebijakan tersebut. Karena dalam proses pelaksanaan, kita harus mampu memuaskan semua orang, baik itu para pembuat kebijakan maupun masyarakat. Dan jika suatu kebijakan yang telah dibuat tidak mampu untuk diimplementasikan, maka kebijakan tersebut hanya akan tersimpan rapi sebagai kumpulan arsip.
“Pelaksanaan keputusan kebijaksanaan dasar, biasanya dalam bentuk undang-undang, namun dapat pula berbentuk perintah-perintah atau keputusan-keputusan eksekutif yang penting atau keputusan badan peradilan. Lazimnya, keputusan tersebut mengidentifikasikan masalah yang ingin diatasi, menyebutkan secara tegas tujuan atau sasaran yang ingin dicapai, dan berbagai cara untuk menstrukturkan atau mengatur proses implementasinya”.
Penjelasan diatas memberikan makna bahwa implementasi kebijakan merupakan pelaksanaan kebijakan dasar seperti undang-undang, perintah-perintah, atau keputusan-keputusan eksekutif yang mana dalam kebijakan tersebut biasanya sudah teridentifikasi masalah-masalah yang ingin diatasi, tujuan dan sasaran yang ingin dicapai oleh kebijakan tersebut, serta cara yang mengatur proses implementasinya.
Implementasi kebijakan menurut Dunn (2013:132) adalah pelaksanaan pengendalian aksi-aksi kebijakan di dalam kurun waktu tertentu. Sedangkan Van Meter dan Van Horn dalam Agustino (2014:139) mendefinisikan implementasi kebijakan sebagai:
“Tindakan-tindakan yang dilakukan baik oleh individu-individu atau pejabat-pejabat atau kelompok-kelompok pemerintah atau swasta yang diarahkan pada tercapainya tujuan-tujuan yang telah digariskan dalam keputusan kebijaksanaan”.
Berdasarkan berbagai definisi yang telah dipaparkan diatas, dapat disimpulkan bahwa implementasi menyangkut tiga hal, yaitu: (1) adanya tujuan atau sasaran kebijakan; (2) adanya aktivitas atau kegiatan pencapaian tujuan; dan (3) adanya hasil kegiatan. Implementasi merupakan suatu proses yang dinamis, dimana pelaksana kebijakan melakukan suatu aktivitas atau kegiatan, sehingga pada akhirnya akan mendapatkan suatu hasil yang sesuai dengan tujuan atau sasaran kebijakan itu sendiri. Hal ini sesuai pula dengan apa yang diungkapkan oleh Lester dan Stewart Jr. dalam Agustino (2014:139) dimana mereka mengatakan bahwa implementasi sebagai suatu proses dan suatu hasil (output). Keberhasilan suatu implementasi kebijakan dapat diukur atau dilihat dari proses dan pencapaian tujuan hasil akhir, yaitu: tercapai atau tidaknya tujuan-tujuan yang ingin diraih.
2.1.3 Model-model Implementasi Kebijakan Publik
Implementasi kebijakan sesungguhnya sejak awal melibatkan sebuah proses rasional dan emosional yang teramat kompleks. Kompleksitas implementasi bukan saja ditunjukkan oleh banyaknya aktor atau unit organisasi yang terlibat, tetapi juga dikarenakan proses implementasi dipengaruhi oleh berbagai variabel yang kompleks, baik variabel yang individual maupun variabel organisasional, dan masing-masing variabel pengaruh tersebut juga saling berinteraksi satu sama lain sebagaimana diuraikan berikut ini.
2.1.3.1 Model George Charles Edwards III
Dalam pendekatan yang diteoremakan oleh Edward III, terdapat empat variabel yang sangat menentukan keberhasilan implementasi suatu kebijakan, yaitu: komunikasi, sumber daya, disposisi, dan struktur birokrasi (Agustino, 2014:149).
1. Komunikasi
konsisten. Terdapat tiga indikator yang dapat digunakan dalam mengukur keberhasilan variabel komunikasi tersebut, yaitu:
a. Transmisi, penyaluran komunikasi yang baik akan dapat menghasilkan suatu implementasi yang baik pula. Seringkali yang terjadi dalam penyaluran komunikasi adalah adanya salah pengertian (miskomunikasi), hal tersebut disebabkan karena komunikasi telah melalui beberapa tingkatan birokrasi sehingga apa yang diharapkan terdistorsi ditengah jalan.
b. Kejelasan, komunikasi yang diterima oleh para pelaksana kebijakan (street-level-bureuacrats) haruslah jelas dan tidak membingungkan (tidak ambigu).
c. Konsistensi, perintah yang diberikan dalam pelaksanaan suatu komunikasi haruslah konsisten dan jelas untuk dijalankan. Karena jika perintah yang diberikan sering berubah-ubah dapat menimbulkan kebingungan bagi pelaksana di lapangan.
2. Sumber Daya
Menurut George C. Edward III (Agustino, 2014:151-152), sumber daya merupakan hal penting lainnya dalam mengimplementasikan kebijakan. Indikator sumber daya terdiri dari beberapa elemen, yaitu:
a. Staf; sumber daya utama dalam implementasi kebijakan adalah staf. Kegagalan yang sering terjadi dalam implementasi kebijakan salah satunya disebabkan karena staf yang tidak memadai ataupun tidak kompeten di bidangnya. Penambahan jumlah staf dan implementor saja tidak mencukupi, tetapi diperlukan pula kecukupan staf dengan keahlian dan kemampuan yang diperlukan (kompeten dan kapabel) dalam mengimplementasikan kebijakan atau melaksanakan tugas yang diinginkan oleh kebijakan itu sendiri.
c. Wewenang; kewenangan merupakan otoritas atau legitimasi bagi para pelaksana dalam melaksanakan kebijakan yang ditetapkan secara politik.
d. Fasilitas; fasilitas fisik juga merupakan faktor penting dalam implementasi kebijakan. Implementor mungkin memiliki staf yang mencukupi, mengerti apa yang harus dilakukannya, dan memiliki wewenang untuk melaksanakan tugasnya, tetapi tanpa adanya fasilitas pendukung (saranan dan prasarana) maka implementasi kebijakan tersebut tidak akan berhasil.
3. Disposisi
Variabel selanjutnya yang memengaruhi tingkat keberhasilan implementasi kebijakan publik bagi George C. Edward III adalah disposisi. Disposisi atau sikap dari pelaksana kebijakan adalah faktor penting ketiga dalam pendekatan mengenai pelaksanaan suatu kebijakan publik. Jika pelaksanaan suatu kebijakan ingin efektif, maka para pelaksana kebijakan tidak hanya harus mengetahui apa yang akan dilakukan tetapi juga harus memiliki kemampuan untuk melaksanakannya sehingga dalam pelaksanaannya tidak terjadi bias (Agustino, 2014:152).
Hal-hal penting yang perlu dicermati pada variabel disposisi menurut George C. Edward III adalah:
a. Pengangkatan birokrat; disposisi atau sikap para pelaksana akan menimbulkan hambatan-hambatan yang nyata terhadap implementasi kebijakan bila personil yang ada tidak melaksanakan kebijakan yang diinginkan oleh pejabat-pejabat yang lebih atas. Karena itu pengangkatan dan pemilihan personel pelaksana kebijakan haruslah orang-orang yang memiliki dedikasi pada kebijakan yang telah ditetapkan, lebih khusus lagi pada kepentingan warga masyarakat.
para pembuat kebijakan memengaruhi tindakan para pelaksana kebijakan. Dengan cara menambah keuntungan atau biaya tertentu mungkin akan menjadi faktor pendorong yang membuat para pelaksana menjalankan perintah dengan baik. Hal ini dilakukan sebagai upaya memenuhi kepentingan pribadi atau organisasi.
4. Struktur Birokrasi
Struktur birokrasi berkenaan dengan kesesuaian organisasi birokrasi yang menjadi penyelenggara implementasi kebijakan publik. Tantangannya adalah bagaimana agar tidak terjadi Bureaucratic Fragmentation karena struktur itu menjadikan proses implementasi menjadi jauh dari efektif (Nugroho, 2011:636).
Implementasi kebijakan yang bersifat kompleks menuntut adanya kerjasama banyak pihak. Ketika struktur birokrasi tidak kondusif terhadap implementasi suatu kebijakan, maka hal ini akan menyebabkan ketidakefektivan dan menghambat jalannya pelaksanaan kebijakan publik. Berdasarkan penjelasan diatas, maka memahami struktur birokrasi merupakan faktor yang fundamental untuk mengkaji implementasi kebijakan publik.
Gambar 2.1
2.1.3.2 Model Donald S. Van Meter dan Carl E. Van Horn
Dikutip dari Agustino (2014:141) model pendekatan yang dirumuskan oleh Donald Van Meter dan Carl Van Horn bersifat top-down dan disebut dengan A Model of The Policy Implementations. Menurut Meter dan Horn ada enam variabel yang harus diperhatikan karena dapat memengaruhi keberhasilan implementasi, antara lain sebagai berikut.
1. Standar dan sasaran kebijakan. Yaitu perincian mengenai sasaran yang ingin dicapai melalui kebijakan beserta standar untuk mengukur pencapaiannya.
2. Sumber daya. Implementasi kebijakan perlu dukungan sumber daya, baik sumber daya manusia (human resources) maupun sumber daya non-manusia (dana, waktu dan berbagai insentif lainnya).
3. Hubungan antar organisasi. Dalam banyak program, implementasi sebuah program perlu dukungan dan koordinasi dengan instansi lain. Untuk itu, diperlukan koordinasi dan kerjasama antar instansi bagi keberhasilan suatu program.
4. Karakteristik agen pelaksana. Yang dimaksud karakteristik agen pelaksana adalah mencakup struktur birokrasi, norma-norma, dan pola-pola hubungan yang terjadi dalam birokrasi yang semuanya itu akan memengaruhi implementasi suatu program.
5. Kondisi sosial, politik dan ekonomi. Variabel ini mencakup sumber daya ekonomi lingkungan yang dapat mendukung keberhasilan implementasi kebijakan; sejauhmana kelompok-kelompok kepentingan memberikan dukungan bagi implementasi kebijakan; karakteristik para partisipan, yakni mendukung atau menolak; bagaimana sifat opini publik yang ada di lingkungan; dan apakah elite politik mendukung implementasi kebijakan. 6. Disposisi implementor. Disposisi implementor ini mencakup 3 hal
Gambar 2.2
Model Implementasi Kebijakan menurut Van Meter dan Van Horn
2.1.3.3 Model G. Shabbir Cheema dan Dennis A. Rondinelli
Dalam pandangan Cheema dan Rondinelli, ada 4 (empat) kelompok variabel yang dapat memengaruhi keberhasilan kinerja dan dampak suatu program, yakni: (1) kondisi lingkungan; (2) hubungan antar organisasi; (3) sumber daya organisasi untuk implementasi program; (4) karakteristik dan kemampuan agen pelaksana.
Gambar 2.3
2.1.3.4 Model Daniel A. Mazmanian dan Paul A. Sabatier
Menurut Mazmanian dan Sabatier ada 3 (tiga) kelompok variabel yang memengaruhi keberhasilan implementasi, yakni: (1) karakteristik dari masalah (tractability of the problems); (2) karakteristik kebijakan/undang-undang (ability of the statue to structure implementation); (3) variabel lingkungan (nonstatutory
variables affecting implementation).
a) Karakteristik Masalah
1. Tingkat kesulitan teknis dari masalah yang bersangkutan. Sifat masalah akan memengaruhi mudah tidaknya suatu program diimplementasikan.
2. Tingkat kemajemukan dari kelompok sasaran. Apabila kelompok sasarannya homogen, suatu program akan relatif mudah diimplementasikan. Sebaliknya, apabila kelompok sasarannya heterogen, maka implementasi program akan relatif lebih sulit, karena tingkat pemahaman setiap anggota kelompok sasaran terhadap program relatif berbeda.
3. Proporsi kelompok sasaran terhadap total populasi. Sebuah program akan relatif sulit diimplementasikan apabila sasarannya mencakup semua populasi. Sebaliknya, akan relatif mudah apabila kelompok sasarannya tidak terlalu besar.
4. Cakupan perubahan perilaku yang diharapkan. Sebuah program yang bertujuan memberikan pengetahuan atau bersifat kognitif akan relatif mudah diimplementasikan daripada program yang bertujuan untuk mengubah sikap dan perilaku masyarakat.
b)Karakteristik Kebijakan
1. Kejelasan isi kebijakan. Semakin jelas dan rinci isi sebuah kebijakan, maka kan mudah diimplementasikan karena implementor mudah memahami dan menerjemahkan dalam tindakan nyata. Sebaliknya ketidakjelasan isi kebijakan memiliki potensi lahirnya distosi dalam implementasi kebijakan.
2. Seberapa jauh kebijakan tersebut memiliki dukungan teoretis. 3. Besarnya alokasi sumber daya finansial serta
dukungan-dukungan staf terhadap kebijakan tersebut.
5. Kejelasan dan konsistensi aturan yang ada pada badan pelaksana.
6. Tingkat komitmen aparat terhadap tujuan kebijakan.
7. Seberapa luas akses kelompok luar untuk berpartisipasi dalam implementasi kebijakan.
c) Lingkungan Kebijakan
1. Kondisi sosial ekonomi masyarakat dan tingkat kemajuan teknologi. Masyarakat yang sudah terbuka dan terdidik akan relatif mudah menerima program-program pembaruan dibanding dengan masyarakat yang masih tertutup dan tradisional. Demikian juga kemajuan teknologi akan membantu dalam proses keberhasilan implementasi karena program tersebut dapat disosialisasikan dan diimplementasikan dengan bantuan teknologi modern.
2. Dukungan publik terhadap sebuah kebijakan.
3. Sikap dari kelompok pemilih (constituency groups). Kelompok pemilih yang ada dalam masyarakat dapat memengaruhi implementasi kebijakan melalui intevensi terhadap keputusan-keputusan yang dibuat, memengaruhi badan pelaksana secara tidak langsung melalui kritik yang dipublikasikan, dan membuat pernyataan yang ditujukan kepada badan legislatif. 4. Tingkat komitmen dan keterampilan dari aparat dan
implementor.
Gambar 2.4
2.1.4 Deskripsi Kebijakan
Transportasi merupakan industri jasa yang mengemban fungsi pelayanan publik dan misi pembangunan nasional yang secara umum menjalankan fungsi untuk mendukung perwujudan kesejahteraan masyarakat. Penyelenggaraan transportasi berperan mendorong pemerataan pembangunan dan melayani kebutuhan masyarakat luas baik di perkotaan maupun di perdesaan. Mengingat pentingnya transportasi, maka sangat perlu dibuat aturan/kebijakan mengenai transportasi baik di tingkat pusat maupun daerah.
Berkaitan dengan penjelasan tersebut, maka penyelenggaraan kegiatan transportasi/perhubungan di Kota Serang diatur melalui Peraturan Daerah Kota Serang Nomor 13 Tahun 2014 Tentang
Penyelenggaraan Perhubungan, Komunikasi dan Informatika. Secara umum, peraturan daerah ini berisi tentang segala hal yang berkaitan dengan proses penyelenggaraan bidang perhubungan, komunikasi dan informatika di Kota Serang. Peraturan daerah ini terdiri atas 10 (sepuluh) bab dimana setiap bab mengatur hal-hal sebagai berikut:
1. BAB I Ketentuan Umum
2. BAB II mengenai Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan 3. BAB III mengenai Penyelenggaraan Perhubungan Laut 4. BAB IV mengenai Penyelenggaraan Perhubungan Udara 5. BAB V mengenai Penyelenggaraan Perkeretaapian
6. BAB VI mengenai Penyelenggaraan Komunikasi dan Informatika
9. BAB IX mengenai Ketentuan Pidana 10. BAB X mengenai Ketentuan Penutup.
Peraturan daerah ini merupakan sebagai pedoman dan landasan serta memberikan arahan yang jelas pada sektor perhubungan, komunikasi dan informatika di Kota Serang mengingat Kota Serang telah mengalami banyak perkembangan dengan mobilitas yang tinggi dan tentunya berdampak pada peningkatan aktivitas pada sektor perhubungan, komunikasi dan informatika.
2.1.5 Konsep Perhubungan dan Transportasi
Menurut Peraturan Daerah Kota Serang Nomor 13 Tahun 2014 Tentang Penyelenggaraan Perhubungan, Komunikasi dan Informatika, pengertian perhubungan adalah kegiatan yang menghubungkan dari satu tempat ke tempat yang lain dalam satu wilayah yang meliputi bidang darat, laut dan udara. Menurut peraturan daerah ini, pengertian perhubungan darat, laut, dan udara secara lebih lanjut adalah sebagai berikut:
(1) Perhubungan darat adalah segala bentuk transportasi menggunakan jalan untuk mengangkut penumpang atau barang. (2) Perhubungan laut adalah segala bentuk transportasi
menggunakan laut untuk mengangkut penumpang atau berang. (3) Perhubungan udara adalah segala bentuk transportasi
untuk tujuan-tujuan tertentu. Dari kedua pengertian tersebut, penulis dapat menyimpulkan bahwa terdapat kesamaan makna antara perhubungan dan transportasi, yaitu bertalian dengan kegiatan menghubungkan, memindahkan, menggerakkan, mengangkut atau mengalihkan suatu objek dari satu tempat lain baik melalui bidang darat, laut maupun udara.
Sementara Munawar (2005:1) menjelaskan bahwa sistem transportasi memiliki satu kesatuan definisi yang terdiri atas:
a. Sistem, yakni bentuk keterikatan dan keterkaitan antara satu variabel dengan variabel lain dalam tatanan yang terstruktur; serta b. Transportasi, yakni kegiatan pemindahan penumpang dan barang
dari satu tempat ke tempat lain.
Dari dua pengertian tersebut, sistem transportasi dapat diartikan sebagai bentuk keterkaitan dan keterikatan yang integral antara berbagai variabel dalam suatu kegiatan pemindahan penumpang dan barang dari satu tempat ke tempat lain. Maksud adanya sistem transportasi adalah untuk mengatur dan mengkoordinasikan pergerakan penumpang dan barang yang bertujuan untuk memberikan optimalisasi proses pergerakan tersebut (Miro, 2005:1).
1) Moda Transportasi Darat
Awalnya manusia memindahkan barang dengan tangan dan punggungnya, tapi kemampuannya sangat terbatas. Kemudian mulai menggunakan hewan (kuda, keledai, unta dan lain-lain) sehingga produktivitas, jarak tempuh, dan kecepatan perpindahan meningkat. Selanjutnya sejalan dengan kemajuan teknologi dan perkembangan teknologi otomotif, maka manusia mulai mampu membuat bermacam-macam kendaraan bermotor dan lokomotif yang cukup berhasil memenuhi kebutuhan pergerakan penumpang dan barang. Lebih jauh, moda transportasi darat dapat dibedakan menjadi moda jalan dan moda kereta api. (Azis dan Asrul, 2014:15).
2) Moda Transportasi Laut/Air
Sebelum mampu memanfaatkan tenaga angin, menusia menggunakan rakit dan sampan sebagai sarana pengangkutan penumpang dan barang melalui laut/air. Namun seiring dengan perkembangan teknologi, maka dibuatlah perahu motor, kapal laut berbagai jenis, fungsi dan ukuran, dan moda angkutan laut/air lainnya sehingga keterbatasan kapasitas, jarak tempuh, kecepatan dan lain-lain dapat diatasi (Azis dan Asrul, 2014:25).
3) Moda Transportasi Udara
udara lainnya dalam rangka melawan keterbatasan angkutan udara, sehingga saat ini transportasi udara mampu mengangkut penumpang dan barang dalam jumlah yang lebih banyak dengan aman, cepat, dan nyaman ke tempat-tempat yang jauh (Azis dan Asrul, 2014:26).
2.1.5.1 Angkutan Umum
Angkutan umum merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari sistem transportasi kota dan merupakan komponen yang perannya sangat penting karena angkutan umum adalah sarana yang dibutuhkan oleh sebagian besar masyarakat kota untuk memenuhi kebutuhan mobilitasnya. Menurut Undang-Undang No. 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (UU LLAJ), pengertian angkutan adalah perpindahan orang dan/atau barang dari satu tempat ke tempat lain dengan menggunakan kendaraan di ruang lalu lintas jalan. Penyelenggaraan angkutan biasanya dilakukan dengan menggunakan kendaraan umum.
dipungut bayaran baik langsung maupun tidak langsung. Jadi dapat disimpulkan bahwa angkutan umum sejatinya adalah kegiatan perpindahan orang dan/atau barang dengan mnggunakan kendaraan umum yang kepadanya dibebankan biaya sewa atau sistem bayar.
Dalam hal penggunaan angkutan umum yang bersifat massal, perlu ada kesamaan diantara para penumpang, antara lain kesamaan asal dan kesamaan tujuan. Oleh karena itu, maka menurut UU LLAJ pasal 140 disebutkan bahwa pelayanan angkutan dengan kendaraan bermotor umum terdiri atas pelayanan angkutan orang dengan kendaraan bermotor umum dalam trayek; dan pelayanan angkutan orang dengan kendaraan bermotor umum tidak dalam trayek. Menurut Keputusan Menteri Perhubungan No. KM. 35 Tahun 2003 Tentang Penyelenggaraan Angkutan Orang di Jalan Dengan Kendaraan Umum, trayek adalah lintasan kendaraan umum untuk pelayanan jasa angkutan orang dengan mobil bus, yang mempunyai asal dan tujuan perjalanan tetap, lintasan tetap dan jadwal tetap maupun tidak terjadwal.
Termasuk jenis pelayanan angkutan orang dengan kendaraan bermotor umum dalam trayek menurut pasal 142 UU LLAJ adalah sebagai berikut:
5. Angkutan perdesaan.
Selanjutnya termasuk jenis pelayanan angkutan orang dengan kendaraan umum tidak dalam trayek menurut pasal 28 Kepmenhub No. KM. 35 Tahun 2003 Tentang Penyelenggaraan Angkutan Orang di Jalan Dengan Kendaraan Umum adalah sebgai berikut:
1. Angkutan taksi; 2. Angkutan sewa; 3. Angkutan pariwisata; 4. Angkutan lingkungan.
Angkutan umum diselenggarakan dalam upaya memenuhi kebutuhan angkutan yang selamat, aman, nyaman, dan terjangkau. Pemerintah bertanggung jawab atas penyelenggaraan angkutan umum tersebut. Hal ini sebagaimana diatur pada pasal 139 UU LLAJ berikut:
Pasal 139:
(1) Pemerintah wajib menjamin tersedianya angkutan umum untuk jasa angkutan orang dan/atau barang antarkota antarprovinsi serta lintas batas negara.
(2) Pemerintah Daerah provinsi wajib menjamin tersedianya angkutan umum untuk jasa angkutan orang dan/atau barang antarkota dalam provinsi.
(3) Pemerintah Daerah kabupaten/kota wajib menjamin tersedianya angkutan umum untuk jasa angkutan orang dan/atau barang dalam wilayah kabupaten/kota.
(4) Penyediaan jasa angkutan umum dilaksanakan oleh badan usah milik negara, badan usaha milik daerah, dan/atau badan hukum lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
minimal yang meliputi keamanan, keselamatan, kenyamanan, keterjangkauan, kesetaraan, dan keteraturan.
2.2 Penelitian Terdahulu
Penelitian terdahulu adalah kajian penelitian yang pernah dilakukan oleh peneliti sebelumnya yang dapat diambil dari berbagai sumber ilmiah, baik skripsi, tesis, disertasi atau jurnal penelitian. Penelitian terdahulu merupakan salah satu acuan yang dianggap relevan dengan fokus penelitian yang bisa dijadikan sebagai data pendukung oleh peneliti. Beberapa hasil penelitian sebelumnya yang dianggap relevan dengan fokus penelitian ini adalah sebagai berikut.
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, didapatkan hasil bahwa penerapan program kebijakan dapat dikategorikan baik. Hal ini terbukti dari tingkat efektivitas implementasi yang mencapai 74% yang artinya pemberlakuan trayek yang diamanatkan oleh Surat Keputusan tersebut sudah berhasil. Dengan demikian, maka hipotesis yang diajukan oleh peneliti ditolak karena hasil penelitian menunjukkan tingkat efektivitas implementasi kebijakan tersebut lebih besar dari 60%.
Persamaan antara penelitian tersebut dengan penelitian ini adalah kedua penelitian ini dilakukan di Kota Serang dengan latar belakang penelitian yang serupa, yakni mengenai belum teraturnya trayek angkutan umum di Kota Serang. Peneliti saat ini tertarik untuk mengkaji topik ini kembali dikarenakan hasil penelitian sebelumnya mengatakan bahwa efektivitas implementasi Surat Keputusan Walikota Serang No. 551.23/Kep.74-Huk/2009 Tentang Penetapan Jaringan Trayek Angkutan Penumpang Umum di Kota Serang dikatakan berhasil, namun pada kenyataannya saat ini trayek angkutan umum di Kota Serang masih saja belum teratur dan tentunya hal ini menimbulkan ketidaknyamanan bagi para pengguna/penumpang angkutan umum yang disinyalir dapat membawa kerugian ekonomis bagi para pengguna/penumpang angkutan umum.
Kota Serang, sedangkan peneliti saat ini berusaha menggambarkan seberapa baik pelaksanaan kebijakan penetapan trayek yang telah ditentukan dengan berpedoman pada Peraturan Daerah Kota Serang Nomor 13 Tahun 2014 Tentang Penyelenggaraan Perhubungan, Komunikasi dan Informatika yang merupakan pengganti atas Peraturan Daerah Kota Serang Nomor 7 Tahun 2008 Tentang Penyelenggaraan Bidang Perhubungan, Pariwisata, Komunikasi dan Informatika di Kota Serang.
Berdasarkan hasil penelitian dapat diketahui bahwa peran Dishubkominfo Kota Serang dalam hal pengaturan, pengendalian dan pengawasan yang dilakukan masih kurang optimal, karena dengan adanya jaringan trayek yang jelas melalui Surat Keputusan Walikota yang sudah ditetapkan, seharusnya Dishubkominfo Kota Serang dapat mengatur dan mengendalikan dengan baik setiap angkutan umum yang ada di Kota Serang. Tetapi kenyataannya, pengaturan, pengendalian, dan pengawasan memang dilakukan tetapi tidak kontinyu dan kurang adanya tindakan yang tegas atas pelanggaran trayek dan syarat-syarat administrasi lainnya.
2.3 Kerangka Pemikiran Penelitian
Kerangka pemikiran ini merupakan penjelasan sementara terhadap gejala-gejala yang menjadi objek permasalahan. Jadi, kerangka berpikir merupakan sintesa tentang hubungan antar variabel yang disusun dari berbagai teori yang telah dideskripsikan.
Pertumbuhan dan perkembangan Kota Serang disertai dengan jumlah penduduk yang semakin meningkat berdampak pula pada semakin meningkatnya tuntutan akan tersedianya sistem dan moda transportasi yang baik. Akan terjadi peningkatan kebutuhan terhadap sarana transportasi seperti angkutan umum perkotaan (angkot) karena pada dasarnya penduduk kota akan membutuhkan angkutan umum dalam beraktivitas. Namun sayangnya, sesuai kondisi di lapangan diketahui bahwa pelayanan angkutan kota di Kota Serang masih kurang memadai. Adapun masalah-masalah yang peneliti temui adalah belum tertibnya trayek angkutan umum di Kota Serang; lemahnya pengawasan dari Dinas Perhubungan, Komunikasi dan Informatika Kota Serang; keterbatasan SDM dan kurangnya PPNS di Dishubkominfo Kota Serang; peraturan yang ada belum mengatur secara tegas mengenai sanksi pelanggaran trayek dan juga belum ada peraturan pelaksananya; serta belum tersedianya prasarana yang memadai, seperti rambu-rambu petunjuk untuk angkot.
Komunikasi dan Informatika dengan menggunakan model implementasi kebijakan yang dikemukakan oleh Van Meter dan Van Horn. Model yang dirumuskan Van Meter dan Van Horn ini disebut dengan A Model of The Policy Implementation. Proses implementasi ini merupakan sebuah abstraksi atau performansi suatu implementasi kebijakan yang pada dasarnya secara sengaja dilakukan untuk meraih kinerja implementasi kebijakan publik yang tinggi yang berlangsung dalam hubungan berbagai variabel. Van Meter dan Van Horn menyatakan bahwa ada 6 (enam) variabel yang harus diperhatikan karena dapat memengaruhi keberhasilan implementasi yaitu:
(1) Standar dan sasaran kebijakan; (2) Sumber daya;
(3) Hubungan antar organisasi; (4) Karakteristik agen pelaksana
(5) Kondisi sosial, politik dan ekonomi; (6) Disposisi/sikap implementor.
Gambar 2.5
Kerangka Pemikiran Penelitian