• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERAN DINAS PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DAN PELINDUNGAN ANAK (DP3A) KOTA SALATIGA DALAM MEMINIMALISIR PERKAWINAN ANAK USIA DINI TAHUN 2017 - Test Repository

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "PERAN DINAS PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DAN PELINDUNGAN ANAK (DP3A) KOTA SALATIGA DALAM MEMINIMALISIR PERKAWINAN ANAK USIA DINI TAHUN 2017 - Test Repository"

Copied!
153
0
0

Teks penuh

(1)

i

PERAN DINAS PEMBERDAYAAN PEREMPUAN

DAN PELINDUNGAN ANAK (DP3A) KOTA SALATIGA

DALAM MEMINIMALISIR PERKAWINAN ANAK USIA DINI

TAHUN 2017

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Guna Memperoleh Gelar Sarjana dalam Hukum Islam

Oleh:

Lia Wardah Nadhifah

NIM : 21113029

FAKULTAS SYARI’AH

JURUSAN HUKUM KELUARGA ISLAM

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)

(2)
(3)

i

PERAN DINAS PEMBERDAYAAN PEREMPUAN

DAN PELINDUNGAN ANAK (DP3A) KOTA SALATIGA

DALAM MEMINIMALISIR PERKAWINAN ANAK USIA DINI

TAHUN 2017

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Guna Memperoleh Gelar Sarjana dalam Hukum Islam

Oleh:

Lia Wardah Nadhifah

NIM : 21113029

FAKULTAS SYARI’AH

JURUSAN HUKUM KELUARGA ISLAM

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)

(4)
(5)
(6)
(7)

v

“Sesungguhnya Allah SWT tidak akan merubah keadaan suatu

kaum, sehingga mereka merubah keadaan yang ada

pada diri mereka sendiri”

“Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan”

(8)

vi

PERSEMBAHAN

Lia persembahkan karya kecil ini:

Untuk wonder womenku ibuku terkasih yang tak kenal lelah dan tak kenal waktu

dalam mendampingi anak-anaknya, serta orang yang tak kalah perhatian dan

senantiasa memberikan seluruh kasih sayangnya dialah bapakku tercinta.

Semoga senantiasa diberi kesehatan dan umur panjang.

Untuk Kakak-kakakku terbaik yang selalu memberikan doa, support,

dan selalu memanjakan aku.

Untuk keponakan-keponakanku yang lucu dan pintar.

Selalu berbakti kepada orang tua dan menjadi anak sholihah.

Halimatul Sabrina best friend yang selalu menemani suka dukaku selama skripsi.

Faizatin Nafiah sahabat kecilku yang nggak ngeluh ketika diajakin susah payah.

Futmasepta, Iva Farida, Lailatul Badriyah, Bening Permata, dan seluruh mahasiswa

AS/HKI angkatan 2013. Persahabatan ini akan terjalin selamanya.

Semoga sukses selalu.

Bapak dosen pembimbing skripsiku.

(9)

vii

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim

Alhamdulillahi robbil‟alamin, segala puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan taufiq serta hidayah-Nya yang tiada terhingga, sehigga tim peneliti dapat menyelesaikan penelitian ini dengan judul “Peran Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Pelindungan Anak (DP3A) Kota Salatiga Dalam Meminimalisir Perkawinan Anak Usia Dini Tahun 2017”.

Shalawat serta salam semoga selalu tercurah kepada junjungan Nabi Muhammad SAW, keluarganya, sahabat-sahabatnya, serta para pengikutnya yang setia. Beliau Rasulullah SAW sebagai pembimbing umat manusia, yang selalu diharapkan syafa‟atnya.

Peneliti menyadari bahwa tanpa adanya bantuan, dorongan, dan bimbingan dari berbagai pihak, sulit kiranya penelitian ini terselesaikan dengan baik. O leh karena itu, tim peneliti menyampaikan terima kasih dan rasa hormat kepada: 1. Bapak Dr. Rahmat Haryadi, M.Pd. selaku Rektor IAIN Salatiga.

2. Ibu Dr. Siti Zumrotun, M.Ag. selaku Dekan Fakultas Syariah.

3. Bapak Sukron Ma‟mun, M.Si. selaku Ketua Jurusan Hukum Keluarga Islam.

4. Bapak Drs. Badwan, M.Ag. selaku dosen pembimbing yang telah memberikan bantuan, arahan, dan bimbingan kepada peneliti dengan penuh kesabaran sehingga skripsi ini dapat terselesaikan.

5. Para dosen Fakultas Syari‟ah IAIN Salatiga yang telah membekali peneliti dengan berbagai ilmu pengetahuan selama menempuh pendidikan di IAIN Salatiga.

6. Seluruh staf tata usaha dan karyawan Fakultas Syari‟ah IAIN Salatiga yang membantu melancarkan penelitian.

7. Seluruh informan yang bersedia memberikan informasi kepada peneliti. 8. Ayahanda Matori Mansyur dan Ibu Siti Asiyah yang telah mengasuh,

mendidik, membimbing, serta memotivasi peneliti baik moral, materiil maupun spiritual.

Skripsi yang telah peneliti susun ini pasti jauh dari sempurna, maka peneliti mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari berbagai pihak sehingga dapat menyempurnakan skripsi ini di masa mendatang. Semoga skripsi ini berguna bagi peneliti khususnya serta para pembaca pada umumnya.

Salatiga, 5 Maret 2018

(10)

viii

ABSTRAK

Nadhifah, Lia Wardah. 2018. Peran Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Pelindungan Anak (DP3A) Kota Salatiga dalam Meminimalisir Perkawinan Anak Usia Dini Tahun 2017. Fakultas Syari‟ah. Jurusan Hukum Keluarga Islam. Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga. Pembimbing: Drs. Badwan, M.Ag.

Kata Kunci: Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Pelindungan Anak, Perkawinan Anak Usia Dini.

Perkawinan anak usia dini menimbulkan berbagai dampak negatif bagi pelakunya. Faktanya hingga kini masih banyak terjadi perkawinan anak usia dini di lingkungan kita. Tidak adanya peraturan yang jelas tentang larangan perkawinan anak usia dini menjadi salah satu faktor penyebabnya. Dibutuhkan sinergi antar pemangku peran dalam melindungi anak dari perkawinan usia dini, salah satunya adalah pemerintah Kota Salatiga melalui DP3A. Berangkat dari situlah penulis tertarik melakukan penelitian ini. Pertanyaan utama dalam penelitian ini adalah bagaimana peran DP3A Kota Salatiga dalam meminimalisir perkawinan anak usia dini dan implikasinya?

Melalui metode penelitian kualitatif dan pendekatan yuridis sosiologis, peneliti berusaha untuk mengungkap fokus masalah diatas. Data diambil melalui studi dokumen, observasi, dan wawancara. Data yang sudah terkumpul di kelompokkan sesuai dengan klasifikasinya, kemudian dilakukan analisis dan disajikan dalam bentuk deskripsi guna memperoleh kesimpulan.

(11)

ix

PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN ... iv

MOTTO ... v

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 5

C. Tujuan Penelitian ... 6

D. Kegunaan Penelitian ... 6

E. Tinjauan Pustaka ... 7

F. Penegasan Istilah ... 10

G. Metode Penelitian ... 11

1. Jenis Penelitian dan Pendekatan ... 11

2. Lokasi Penelitian ... 12

3. Sumber Data ... 12

4. Teknik Pengumpulan Data ... 13

5. Analisis Data ... 15

6. Pengecekan Keabsahan Data ... 17

(12)

x

BAB II : TINJAUAN UMUM PERLIN DUNGAN ANAK DARI

PERKAWINAN USIA DINI ... 19

A. Perlindungan Anak ... 19

1. Pengertian Perlindungan Anak ... 19

2. Hak-Hak Anak ... 21

3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Hilangnya Hak Anak . 24 4. Upaya Preventif Perkawinan Anak Usia Dini ... 26

B. Perkawinana Anak Usia Dini ... 30

1. Batas Usia Dini ... 30

2. Pengertian Perkawinan Anak Usia Dini ... 35

3. Dampak Perkawinan Anak Usia Dini ... 38

C. Peran Pemerintah Daerah dalam Perlindungan Anak ... 41

1. Peran Pemerintah Daerah Menurut Para Ahli ... 41

2. Peran Pemerintah Daerah Berdasarkan UU Pemerintahan Daerah ... 44

3. Peran Pemerintah Daerah Berdasarkan Undang-Undang Perlindungan Anak ... 47

BAB III:LAPORAN HASIL PENELITIAN... 53

A. Gambaran Umum Kasus Perkawinan Anak Usia Dini di Kota Salatiga ... 54

B. Profil Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Pelindungan Anak Kota Salatiga ... 62

1. Sejarah DP3A ... 62

2. Tugas dan Fungsi ... 64

3. Struktur Organisasi ... 65

C. Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Pelindungan Anak Kota Salatiga dalam Meminimalisir Perkawinan Anak Usia Dini... 70

1. Tujuan DP3A Kota Salatiga dalam Meminimalisir Perkawinan Anak Usia Dini ... 70

(13)

xi

3. Hambatan DP3A dalam Meminimalisir Perkawinan Anak

Usia Dini ... 81

BAB IV: AN ALISIS PERAN DP3A KOTA SALATIGA DALAM MEMINIMALISIR PERKAWINAN AN AK USIA DINI ... 84

A. Peran Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Pelindungan Anak Kota Salatiga dalam Meminimalisir Perkawinan Anak Usia Dini ... 84

1. Kedudukan DP3A Kota Salatiga ... 84

2. Konsep DP3A Kota Salatiga dalam Meminimalisir Perkawinan Anak Usia Dini ... 88

B. Implikasi Peran DP3A Kota Salatiga dalam Meminimalisir Perkawinan Anak Usia Dini ... 92

C. Kerangka Solusi dalam Meminimalisir Perkawinan Anak Usia Dini Di Kota Salatiga ... 96

D. Pemerintah Kota Salatiga dalam Meminimalisir Perkawinan Anak Usia Dini Berdasarkan Hukum Islam ... 99

BAB V: KESIMPULAN DAN SARAN ... 107

A. Kesimpulan ... 107

B. Saran ... 108

DAFTAR PUSTAKA ... 110

(14)

xii

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Perbandingan Batas Usia Anak ... 34

Tabel 3.1 Jumlah Perkara Permohonan di Pengadilan Agama Salatiga ... 54

Tabel 3.2 Penetapan Permohonan Dispensasi N ikah di Pengadilan Agama Salatiga ... 55

Tabel 3.3 Jumlah Perkawinan di KUA Kota Salatiga ... 57

Tabel 3.4 Jumlah Pelaku Perkawinan Anak Usia Dini Kota Salatiga... 57

Tabel 3.5 Data Perkawinan Anak Usia Dini di KUA Kota Salatiga... 58

(15)

xiii

DAFTAR GAMBAR

Gambar 3.1 Jumlah Perkara Permohonan di Pengadilan Agama Salatiga ... 55

Gambar 3.2 Susunan Organisasi Badan Pemberdayaan Masyarakat,

Perempuan, Keluarga Berencana, dan Ketahanan Pangan... 64

Gambar 3.3 Susunan Organisasi Dinas Pemberdayaan Perempuan dan

Pelindungan Anak Kota Salatiga... 66

Gambar 4.1 Persentase Jumlah Perkawinan Anak Usia Dini dengan Jumlah

(16)

xiv

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Daftar Riwayat Hidup

Lampiran 2 Penunjukan Pembimbing Skripsi

Lampiran 3 Permohonan Izin Penelitian

Lampiran 4 Keterangan Penelitian

Lampiran 5 Daftar N ilai SKK

Lampiran 6 Lembar Konsultasi Skripsi

Lampiran 7 Pedoman Wawancara

Lampiran 8 Dokumentasi

Lampiran 9 Laporan Kegiatan Sosialisasi DP3A Kota Salatiga Tahun 2017

(17)

1 BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Penelitian

Manusia dalam proses perkembangannya membutuhkan pasangan

hidup yang dapat memberikan keturunan untuk meneruskan jenisnya.

Perkawinan sebagai jalan yang dapat ditempuh oleh manusia untuk

meneruskan keturunan sehingga dapat membentuk suatu keluarga sekaligus

sebagai sebuah ibadah yang dapat mendatangkan pahala bagi pelakunya

(Depag, 1983:55-56).Sebagaimana firman Allah SWT.





Artinya: Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan- mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki- laki dan perempuan yang banyak… (Q.S. An-Nisa‟:1).

Hukum Islam mengatur perkawinan dengan rukun dan syarat

tertentu.Berhubungan dengan syarat perkawinan adalah perempuan maupun

laki- laki yang tertentu (Ghozali, 2012:50). Dalam menjelaskan ketentuan

tersebut, Al-qur‟an secara konkrit tidak menentukannya dengan batasan usia

bagi seseorang untuk melangsungkan perkawinan. Batasan hanya diberikan

berdasarkan kualitas yang harus dinikahi oleh mereka sebagaimana dalam

(18)

2

Artinya: “dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk

kawin...”

Menurut Quraish Shihab (2012 b:420) tafsir dari potongan ayat

اىغهت

حاكُنا

yaitu mencapai umur yang menjadikan seseorang mampu memasuki

gerbang pernikahan. Hal tersebut terjadi ketika seseorang telah dewasa,

memiliki kemampuan, serta kecerdasan (Shihab, 2012 a:169). Selain ayat

Al-Qur‟an tersebut, terdapat hadits nabi yang juga secara tersirat memberikan

aturan tentang pembatasan usia nikah, yaitu hadits riwayat Imam Bukhari,

Rasulullah saw bersabda: memiliki kemampuan untuk menikah, maka menikahlah (maka ssungguhnya ia dapat menundukkan pandangan dan menjaga kemaluan). Dan barang siapa yang tidak memiliki kemampuan untuk itu, maka hendaklah ia berpuasa, karena sesungguhnya puasa adalah benteng (Hadits Nomor 2040) (Al Albani, 2013:752).

Menurut Amir Syarifuddin (2014:67) hadits di atas adalah dalil tentang

adanya persyaratan dalam melangsungkan pernikahan, yaitu kemampuan dan

persiapan untuk nikah. Sementara kemampuan dan persiapan untuk

meninikah hanya terdapat pada seseorang yang telah dewasa.

Pasal 7 ayat (1) dan (2) UU Perkawinan menyatakan bahwa

perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah berumur 19 tahun dan pihak

(19)

3

ini dapat meminta dispensasi kepada pengadilan. Penentuan usia perkawinan

tersebut bertujuan untuk menjaga kemaslahatan keluarga dan rumah tangga

mempelai (Pasal 15 KHI).

Adapun Pasal 26 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 23 Tahun

2002 Tentang Perlindungan Anak menyebutkan bahwa orang tua

berkewajiban dan bertanggung jawab untuk mencegah terjadinya perkawinan

pada usia anak-anak. Dalam hal Orang Tua tidak ada, atau tidak diketahui

keberadaannya, atau karena suatu sebab tidak dapat melaksanakan kewajiban

dan tanggung jawabnya, kewajiban dan tanggung jawab tersebut dapat beralih

kepada Keluarga (Pasal 26 ayat (2) UU Perlindungan Anak). Anak yang

dimaksud dalam Undang-Undang perlindungan anak adalah seseorang yang

belum berusia 18 Tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan (Pasal

1 ayat (1)).

Dalam Pasal 4 disebutkan bahwa ”Setiap anak berhak untuk

dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara wajar sesuai

dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari

kekerasan dan diskriminasi”. Pasal 11 juga menyebutkan bahwa “Setiap

anak berhak untuk beristirahat dan memanfaatkan waktu luang, bergaul

dengan anak yang sebaya, bermain, berekreasi, dan berkreasi sesuai dengan

minat, bakat, dan tingkat kecerdasannya demi pengembangan diri”.

Berdasarkan ketentuan undangan-undangan tersebut, maka dapat disimpulkan

(20)

4

Menurut Robert B. Seidman, untuk melihat bekerjanya hukum dalam

masyarakat dapat dilihat dari tiga elemen, yaitu lembaga pembuat peraturan,

lembaga pelaksana peraturan, dan pemangku peran. Tiga elemen tersebut,

merupakan hal yang sangat penting untuk menilai berfungsinya hukum

atau bekerjanya hukum dalam masyarakat. Hukum diharapkan dapat

berfungsi optimal, dan bekerja dengan baik dalam masyarakat, serta

harus diperhatikan secara sungguh-sungguh.

Negara melakukan berbagai upaya perlindungan hak anak, salah

satunya dengan pemberlakuan undang- undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang

Perlindungan Anak. Dirasa belum dapat berjalan secara efektif karena masih

maraknya kejahatan terhadap anak di tengah masyarakat, maka disahkan UU

Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU Nomor 23 Tahun 2002

tentang Perlindungan Anak. UU Perlindungan Anak tahun 2014 memberikan

perubahan paradigma hukum. Hal tersebut dapat dilihat secara jelas dengan

adanya penambahan ketentuan tentang tanggung jawab dan kewajiban

pemerintah daerah dalam hal penyelenggaraan perlindungan anak.

Pemerintah daerah sebagaimana tercantum pada Pasal 1 butir 19 UU

Perlindungan Anak Nomor 35 Tahun 2014 adalah Gubernur, Bupati, dan

Walikota serta perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan.

Pemerintah kota Salatiga sebagai penyelenggara urusan pemerintahan kota

Salatiga tentu memiliki kewajiban dan tanggung jawab terkait pelaksanaan

(21)

5

Faktanya, hingga saat ini perkawinan usia 18 tahun dan di bawahnya

masih terjadi di Kota Salatiga. Terbukti dengan banyaknya permohonan

dispensasi nikah yang diajukan di Pengadilan Agama Salatiga. Selama tahun

2017 PA Salatiga menerima sebanyak 70 Permohonan Dispensasi N ikah. Dari

seluruh permohonan tersebut, 1 (satu) permohonan digugurkan, 1 (satu)

permohonan dicabut oleh pemohon, sedangkan 68 (enam puluh delapan)

permohonan dikabulkan. Selain itu, data usia mempelai di Kementerian

Agama Salatiga menunjukkan bahwa pada tahun 2017 telah terjadi 60

pernikahan pada anak dengan rentang usia 14 sampai dengan 18 tahun.

Berdasarkan uraian di atas, penulis ingin melakukan penelitian lebih

lanjut tentang kewajiban dan tanggung jawab pemerintah kota Salatiga dalam

meminimalisir perkawinan anak yang belum mencapai usia 18 tahun dengan

judul “PERAN DINAS PEMBERDAYAAN PEREMPUAN DAN

PELINDUN GAN ANAK (DP3A) KOTA SALATIGA DALAM

MEMINIMALISIR PERKAWINAN AN AK USIA DINI TAHUN 2017”.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana peran DP3A Kota Salatiga dalam meminimalisir perkawinan

anak usia dini?

2. Bagaimana implikasi peran DP3A Kota Salatiga dalam meminimalisir

(22)

6 C. Tujuan Penelitian

1. Mengetahui peran DP3A Kota Salatiga dalam meminimalisir perkawinan

anak usia dini.

2. Mengetahui implikasi peran DP3A Kota Salatiga dalam meminimalisir

perkawinan anak usia dini.

D. Kegunaan Penelitian

1. Kegunaan Teoritis

a. Penelitian ini sebagai upaya perluasan wawasan hukum, khususnya

untuk mengetahui peran DP3A Kota Salatiga dalam meminimalisir

perkawinan anak sebagaimana amanat UU Perlindungan Anak.

b. Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi bagi

penelitian-penelitian sejenis pada masa mendatang.

2. Kegunaan Praktis

a. Bagi peneliti, hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah

wawasan pengetahuan dalam bidang ilmu hukum, utamanya yang

berkaitan dengan perkawinan anak.

b. Bagi masyarakat, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan

informasi tentang peran DP3A Kota Salatiga terhadap fenomena

perkawinan anak usia dini sebagaimana telah diatur dalam

(23)

7

c. Bagi instansi, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan input

yang berguna dalam memberikan pertimbangan pengambilan

kebijaksanaan, khususnya yang berkaitan dengan peran Dinas

Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak terhadap

fenomena perkawinan anak.

E. Tinjauan Pustaka

Pembahasan perkawinan anak usia dini dapat ditemukan dalam bentuk

skripsi, jurnal, maupun buku-buku. Literatur yang telah ditelusuri berkaitan

dengan upaya pencegahan terhadap perkawinan dini adalah sebagai berikut.

Kesatu, Jurnal Teguh Kurniawan berjudul Peran Parlemen dalam

Perlindungan Anak, diterbitkan pada tahun 2015 di Pusat Studi al-Qur‟an

(Pusaka) dan Kebangsaan Institut Perguruan Tinggi Ilmu al-Qur‟an (PTIQ)

Jakarta. Studi ini bertujuan untuk menjelaskan kondisi perlindungan anak,

peran pemerintah dan peran DPR dalam perlindungan anak. Hasil studi ini

menyimpulkan bahwa pemerintah telah memberikan perlindungan bagi anak

melalui instrumen hukum dan ratifikasi berbagai peraturan perundangan

tentang anak. Akan tetapi, peran pemerintah dalam perlindunga n dipandang

kurang efektif, oleh karena itu, lahir kemudian beberapa lembaga yang

bertujuan untuk melakukan perlindungan anak, yakni Komisi Nasional

Perlindungan Anak (Komnas Anak) dan Komisi Perlindungan Anak

Indonesia (KPAI). Parlemen sebagai institusi legislatif, juga berperan dalam

(24)

8

pengawasan terhadap kebijakan pemerintah, mengalokasikan anggaran bagi

terwujudnya perlindungan anak di Indonesia.

Kedua, Skripsi Mohammad Badrun Zaman berjudul Upaya

Pemerintah Desa dalam Meminimalisir Angka Nikah Dini Perspektif Hukum

Islam (Studi di Desa Krambilsawit Kecamatan Saptosari Kabupaten Gunung

Kidul Tahun 2013-2014), disusun pada tahun 2015 guna memenuhi syarat

memperoleh gelar sarjana strata satu hukum Islam di UIN Sunan Kalijaga

Yogyakarta. Hasil dari penelitian disimpulkan bahwa upaya pemerintah Desa

Krambilsawit dalam meminimalisir angka nikah dini yaitu 1) Melakukan

sosialisasi kepada masyarakat Desa Krambilsawit tentang dampak nikah dini

dengan menghadirkan orang-orang yang ahli baik dibidang kesehatan ataupun

dari orang-orang yang ditokohkan. 2) Mempersulit perizinan untuk

melakukan pernikahan dini baik dari padukuhan ataupun dari kelurahan. 3)

Melarang calon mempelai yang belum 19 tahun bagi laki- laki dan 16 tahun

bagi perempuan untuk melangsungkan pernikahan. Dilihat dari segi hukum

normatif maka upaya yang pertama dan kedua sudah sesuai dengan hukum

normatif. Namun, pada upaya yang ketiga tidak sesuai normatif, karena dalam

hukum Islam larangan pernikahan bukan terletak pada usia, melainkan dari

segi nasab. Selanjutnya jika dilihat dari segi yuridis, maka keseluruhan upaya

tersebut telah sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974

tentang Perkawinan.

Ketiga, Jurnal Martyan Mita Rumekti dan V. Indah Sri Pinasti berjudul

(25)

9

Pernikahan Dini di Desa Plosokerep Kabupaten Indramayu, disusun pada

tahun 2016 di Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Yogyakarta. Penelitian

ini menghasilkan beberapa temuan yaitu bahwa pernikahan dini yang terjadi

di Desa Plosokerep Kabupaten Indramayu disebabkan oleh beberapa faktor

baik intern maupun ekstern. Faktor Intern yang datang dari dalam yaitu

keinginan dari individu itu sendiri sedangkan faktor ekstern yaitu faktor

ekonomi orang tua, faktor pendidikan, dan faktor orang tua atau keinginan

dari orang tua. Pandangan masyarakat tentang pernikahan dini di Desa

Plosokerep adalah mempunyai pandangan positif karena hal tersebut sudah

biasa terjadi. Peran pemerintah sangat berpengaruh terhadap kesejahteraan

masyarakatnya. Pemerintah desa tentunya sangat menyayangkan anak-anak

yang masih diusia sekolah harus memilih untuk menikah karena seharusnya

anak-anak tersebut mendapatkan pendidikan yang layak dan harus

melanjutkan meminimalisir terjadinya pernikahan dengan cara, tahap awal

dinasehati oleh pegawai pencatat pernikahan, memotivasi orang tua untuk

melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi bagi anaknya, ditangguhkan buku

nikah, memperketat aturan undang- undang perkawinan beserta sanksinya.

Tiga penelitian diatas membahas peran pemerintahan terhadap

fenomena perkawinan dini. Penelitian kesatu miliki kajian peran

pemerintahan terhadap perlindungan anak dalam arti luas. Penelitian kedua

dan ketiga memiliki kajian utama peran pemerintah desa dalam mencegah

terjadinya perkawinan yang dilakukan oleh anak berusia di bawah 16 tahun

(26)

10

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan maupun hukum

Islam.

Perbedaan antara penelitian penulis dengan penelitian-penelitian di

atas terletak pada fokus penelitian yaitu peran Dinas Pemberdayaan

Perempuan dan Pelindungan Anak Kota Salatiga dalam mencegah

perkawinan anak yang berusia 18 (delapan belas) tahun atau di bawahnya baik

bagi laki- laki maupun perempuan, yang ditinjau dari perspektif

Undang-Undang Perlindungan Anak, yaitu Undang-Undang-Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002

Tentang Perindungan Anak dan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014

tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang

Perindungan Anak.

F. Penegasan Istilah

1. Perkawinan Anak Usia Dini

Perkawinan anak usia dini adalah perkawinan yang dilakukan oleh

seorang anak yang belum mencapai kedewasaan sebagaimana ditetapkan

dalam UU Perlindungan Anak yaitu seseorang yang berusia 18 (delapan

belas) tahun atau di bawahnya, termasuk anak yang masih dalam

kandungan (Pasal 1 poin 1).

2. Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Pelindungan Anak

Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Pelindungan Anak (DP3A)

(27)

11

perlindungan anak berdasarkan Perda Kota Salatiga Nomor 9 Tahun 2016

tentang Pembentukan dan Susunan Perangkat Daerah.

G. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian dan Pendekatan

Jenis penelitian yang digunakan oleh penulis adalah penelitian

kualitatif dengan pendekatan yuridis sosiologis. Penelitian kualitatif

adalah penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang

apa yang dialami oleh subjek penelitian (Moleong, 2009:6). Menurut

Bogdan dan Taylor (dalam Moleong, 2009:4) hasil dari penelitian

kualitatif adalah data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari

orang-orang dan perilaku yang dapat diamati.

Pendekatan yuridis sosioligis adalah suatu penelitian dimana

pembahasan berupa kenyataan atau praktik yang selanjutnya dihubungkan

dengan fakta yuridis (Soekanto, 1998:80).Adapun pendekatan yuridis

sosiologis dipilih penulis, sebab selain mengkaji tentang peraturan

perundang-undangan secara yuridis juga diteliti fakta- fakta yang terjadi

dalam praktik berkaitan dengan gejala- gejala yang timbul dalam

masyarakat berkenaan dengan Undang-Undang nomor 35 tahun 2014

(28)

12 2. Lokasi Penelitian

Sesuai dengan judul skripsi yang penulis ajukan, maka lokasi

penelitian adalah Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Pelindungan Anak

(DP3A) Kota Salatiga. Lokasi dipilih dengan alasan bahwa DP3A adalah

satu-satunya unsur pelaksana urusan pemerintahan Kota Salatiga dalam

bidang perlindungan anak yang berpedoman pada UU Perlindungan

Anak.

Penelitian juga dilaksanakan di Kementerian Agama Salatiga guna

menemukan data perkawinan usia dini di Kota Salatiga serta di

Pengadilan Agama Salatiga guna menemukan data permohonan

dispensasi nikah.

3. Sumber Data

Berdasarkan sumbernya, jenis data dibagi menjadi dua yaitu data

primer dan data sekunder (Suratman, 2014:106).

a. Data Primer

Data primer atau data utama merupakan data yang diperoleh

secara langsung dari DP3A Kota Salatiga, Kemenag Kota Salatiga,

dan Pengadilan Agama Salatiga.

b. Data Sekunder

Data sekunder yaitu data yang diperoleh atau dikumpulkan

penulis dari penelitian kepustakaan. Adapun data sekunder dalam

(29)

13

Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Kota Salatiga,

arsip data Kemenag Salatiga, arsip data Pengadilan Agama Salatiga,

UU 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, UU Nomor 35

Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23

Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, Peraturan Daerah Kota

Salatiga Nomor 9 Tahun 2016 tentang Pembentukan dan Susunan

Perangkat Daerah, Perwali Kota Salatiga Nomor 34 Tahun 2016, dan

arsip-arsip lain yang berhubungan dengan pokok masalah.

4. Teknik Pengumpulan Data

Data merupakan bahan penting yang digunakan oleh peneliti untuk

menjawab pertanyaan atau menguji hipotesis dan mencapai tujuan

penelitian. O leh karena itu, data merupakan pokok penting dalam

penelitiankarena menentukan kualitas hasil penelitian (Moleong, 2009:5).

Dalam pelaksanaan penelitian ini, data diperoleh dari beberapa teknik

pengumpulan data, yaitu:

a. Studi dokumen (documentary studies)

Studi dokumentasi merupakan langkah awal dari setiap

penelitian hukum (Aminudin, 2012:68).Dokumen artinya

barang-barang tertulis seperti buku-buku, majalah, peraturan-peraturan,

notulen rapat, catatan harian dan sebagainya (Arikunto,

2010:201).Dokumen dalam hal ini bukan hanya setiap bahan tertulis,

(30)

14

penelitian sabagai bukti autentik dalam membantu penyusunan

laporan penelitian setelah purna.

Melalui studi dokumen (bahan pustaka) penulis

mengumpulkan bahan-bahan pedoman penelitian meliputi

perlindungan hak anak, perkawinan anak usia dini, dan upaya

preventif yang dilakukan pemerintah Kota Salatiga dalam

meminimalisir perkawinan anak usia dini pada tahun 2003 dan 2015.

Adapun bahan hukum lainnya seperti UU Perlindungan Anak, UU

Perkawinan, serta Perda Kota Salatiga.

b. Wawancara (interview)

Wawancara atau interview adalah situasi peran antar pribadi

bertatap muka (face to face), ketika pewawancara mengajukan

pertanyaan-pertanyaan yang dirancang untuk memperoleh

jawaban-jawaban yang relevan dengan masalah penelitian kepada informan

(Aminudin, 2012:68). Sedangkan informan adalah orang yang bisa

memberikan informasi dan keterangan tenta ng suatu fakta atau

pendapat dalam bentuk tulisan maupun lisan (Arikunto, 2010:188).

Informan dalam penelitian ini adalah para pegawai DP3A Kota

Salatiga, Hakim Pengadilan Agama Salatiga, dan Kepala KUA

se-Kota Salatiga. Informan dari DP3A terdiri dari 3 (tiga) informan yang

memiliki pengalaman kerja berbeda dalam bidang perlindungan anak.

1 (satu) informan merupakan pegawai baru sehingga informasi yang

(31)

15

(dua) informan adalah pegawai dengan masa kerja terlama, yaitu

sejak lahirnya Bapermas PKBKP Kota Salatiga.

Wawancara juga dilakukan dengan Kepala KUA Se-Kota

Salatiga guna mengetahui gambaran secara jelas perkawinan anak

usia dini di Kota Salatiga serta keterlibatannya terhadap peran

pemerintah Kota Salatiga dalam meminimalisir perkawinan anak usia

dini. Adapun wawancara dengan Hakim Pengadilan Agama Salatiga

guna mengetahui pertimbangan hakim dalam menetapkan

permohonan dispensasi nikah.

c. Observasi

Observasi atau pengamatan adalah perhatian yang terfokus

terhadap kejadian, gejala, atau sesuatu dengan maksud

menafsirkannya, mengungkapkan faktor-faktor penyebabnya dan

menemukan kaidah-kaidah yang mengaturnya.Pada penelitian ini,

peneliti menggunakan observasi non-partisipan yaitu observasi yang

menjadikan peneliti sebagai penonton atau penyaksi terhadap gejala

atau kejadian yang menjadi topik penelitian (Emzir, 2011:38).

5. Analisis Data

Analisis data adalah suatu carayang dipakai untuk menganalisa

dan mengolah data yang sudah terkumpul, sehingga dapat diambil suatu

(32)

16

(Arikunto, 2010:278). Adapun teknik analisis data yang penulis gunakan

yaitu:

a. Reduksi Data

Reduksi adalah proses identifikasi suatu unit (Moloeng,

2009:288). Peneliti melakukan reduksi data dengan cara identifikasi

setiap data-data yang didapatkan, baik melalui dokumen, wawancara,

maupun obserfasi. Identifikasi ini dilakukan peneliti untuk lebih dapat

memahami dari setiap data yang didapatkan.

b. Kategorisasi

Kategorisasi adalah upaya memilah- milah setiap satuan ke

dalam bagian-bagian yang memiiki kesamaan (Moloeng, 2009:288).

Peneliti melakukan kategorisasi dengan cara memilah setiap data-data

yang didapatkan, baik melalui dokumen, wawancara, maupun

observasi. Kategorisasi tersebut dilakukan untuk memudahkan

peneliti dalam menyatukan data-data tersebut nantinya.

c. Sintesisasi

Sintesisasi adalah mencari kaitan antara satu kategori dengan

kategori yang lainnya agar bertemu titik permasalahannya (Moloeng,

2009:289). Data yang telah dikategorikan oleh peneliti kemudian

dicari titik temu antara yang satu dengan yang lainnya dan kemudian

disatukan ke dalam satu pembahasan yang sama sehingga dapat

(33)

17 6. Pengecekan Keabsahan Data

Salah satu syarat bagi analisis data adalah dimiliknya data yang

valid dan reliable. Untuk itu, dalam penelitian kualitatif pun dilakukan

upaya validasi data. Objektivitas dan keabsahan data penelitian dilakukan

dengan melihat reliabilitas dan validitas ya ng diperoleh(Idrus, 2009:145).

Agar dapat terpenuhinya validitas data dalam penelitian ini, penulis

menggunakan cara Triangulasi.

Triangulasi adalah sebuah teknik pemeriksaan keabsahan data

yang memanfaatkan sesuatu yang lain (Moleong, 2009:330). Melalui

teknik ini, data pokok yang ada akan dibandingkan dengan data

pendukung lainnya, baik berdasarkan sumber, metode, penyidik, dan

teori. Dalam hal ini peneliti membandingkan antara data-data yang

didapatkan peneliti melalui wawancara dengan dokumentasi serta hasil

observasi.

H. Sistematika Penulisan

Secara sistematis, penulisan penelitian ini disusun menjadi tiga bagian

yaitu bagian awal, bagian inti, dan bagian akhir. Pada bagian awal terdiri dari

sampul, lembar berlogo, judul, persetujuan pembimbing, pengesahan

kelulusan, pernyataan keaslian tulisan, motto, persembahan, kata pengantar,

(34)

18 Bagian inti terdiri dari:

Bab I, adalah Pendahuluan yang menguraikan tentang latar belakang

masalah, fokus penelitian, tujuan penelitian, keguanaan penelitian, tinjauan

pustaka, penegasan istilah, metode penelitian, dan sistematika penelitian.

Bab II mengemukakan tentang teori tentang peran pemerintah daerah

dalam perlindungan anak berdasarkan UU Pemerintahan Daerah dan UU

Perlindungan Anak, perlindungan hak anak, serta perkawinan anak usia dini.

Bab III menjelaskan tentang hasil penelitian pelaksanaan kebijakan

DP3A Kota Salatiga dalam meminimalisir perkawinan anak usia dini. Adapun

pembahasan bab ini meliputi gambaran kasus perkawinan anak usia dini di

Kota Salatiga, peran DP3A Kota Salatiga dalam meminimalisir perkawinan

anak usia dini, serta implikasi peran DP3A dalam meminimalisir perkawinan

anak usia dini.

Bab IV adalah analisis yang terdiri dari perlindungan anak dari

perkawinan usia dini, kerangka solusi dalam meminimalisir perkawinan anak

usia dini, peran pemerintah kota Salatiga dalam meminimalisir perkawinan

anak usia dini berdasarkan hukum Islam.

Bab lima yaitu Penutup, yang berisi kesimpulan dan saran.

Selanjutnya pada bagian akhir memuat daftar pustaka,

(35)

19 BAB II

TINJAUAN UMUM PERLINDUNGAN ANAK

DARI PERKAWINAN USIA DINI

A. Perlindungan Anak

1. Pengertian Pe rlindungan Anak

Kisah tentang anak-anak dapat ditemui di dalam Al-Qur‟an,

khususnya kisah anak saleh keturunan para Nabi, seperti kisah Nabi

Ismail kecil dalam surat Asshoffat, kisah Nabi Yusuf kecil pada surat

Yusuf, dan kisah nasihat Luqman untuk anaknya dalam surat Luq man.

Al-qur‟an memberikan beberapa definisi mengenai anak. Anak adalah

perhiasan di dunia, anak adalah penyejuk hati bagi orangtuanya, anak

adalah ujian dan musuh bagi orang tuanya. Dari beberapa definisi

tersebut, dapat diketahui bahwa anak merupakan amanah dari Allah SWT

bagi orang tua yang mendapatkannya. Sebagai amanah, anak harus

mendapatkan pemeliharaan dan penjagaan baik dari kedua orang tuanya

maupun masyarakat umum (Anshori, 2006:10).

Perlindungan anak dalam Islam adalah penampakan kasih sayang

yang diwujudkan dalam pemenuhan hak dasar anak dan perlindungan

dari perilaku kekerasan dan diskriminasi. Hal tersebut bertujuan agar

anak dapat hidup, tumbuh dan berkembang secara optimal serta

(36)

20

perilaku ketidakadilan kepada anak sebagai amanah dari Allah (Anshor,

2007:13).

Berhubungan dengan perlindungan anak, ditemui dalam Al-Qur‟an

Surat An-Nisa‟ ayat 9.

Artinya: dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan Perkataan yang benar.

Ayat di atas memerintahkan agar kita memiliki rasa khawatir

meninggalkan anak keturunan yang lemah. Lemah dalam hal fisik, psikis,

ekonomi, kesehatan, intelektual, moral dan lain sebagainya. Ayat tersebut

juga mengandung pesan untuk melindungi anak dan cucu bahkan anak

yang belum lahir sekalipun jauh-jauh hari jangan sampai nanti ia lahir

dalam keadaan tidak sehat, tidak cerdas, kurang gizi, dan ter lantar tidak

terpelihara (Zaki, 2014:9).

Menurut Maidin Gultom (2014:70), perlindungan anak yaitu

segala upaya yang ditujukan untuk mencegah, rehabilitasi dan

memberdayakan anak yang mengalami tindak perlakuan salah, eksploitasi

dan penelantaran, agar dapat menjamin kelangsungan hidup dan tumbuh

(37)

21

(2) Undang- Undang No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak

menentukan bahwa yang dimaksud dengan perlindungan anak adalah:

Segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusian, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.

Berdasarkan beberapa pengertian maka dapat dikatakan bahwa

perlindungan anak adalah segala kegiatan yang berupaya menjamin dan

melindungi hak anak dari perilaku ketidakadilan, sebagai amanah dari

Allah SWT, guna kelangsungan hidup dan tumbuh kembang yang wajar,

baik fisik, mental, maupun sosialnya.

2. Hak-Hak Anak

Anak sebagai sebuah pribadi yang sangat unik dan memiliki ciri

yang khas. Walaupun anak dapat bertindak berdasarkan perasaan, pikiran

dan kehendaknya sendiri, namun lingkungan sekitarnya mempunyai

pengaruh yang cukup besar dalam membentuk perilaku seorang anak.

Oleh karena itu, memperlakukan anak dengan cara yang baik adalah

kewajiban bersama, agar anak dapat tumbuh dan berkembang dengan

baik. Berkaitan dengan perlakuan terhadap anak, maka penting untuk

mengetahui hak-hak anak, sebagaimana amanah UU Perlindungan Anak

yang menentukan dalam Pasal 3 bahwa:

(38)

22

diskriminasi, demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia, dan sejahtera.

Disebutkan pada Pasal 1 ayat (12) UU Perlindungan Anak bahwa,

“hak anak adalah bagian dari hak asasi manusia yang wajib dijamin,

dilindungi dan dipenuhi oleh orang tua, keluarga, masyarakat,

pemerintah dan negara”. Selanjutnya Undang-Undang No. 35 Tahun

2014 tentang Perlindungan Anak, merumuskan hak- hak anak sebagai

berikut:

a. Setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi (Pasal 4).

b. Setiap anak berhak atas suatu nama sebagai identitas diri dan status kewarganegaraan (Pasal 5).

c. Setiap anak berhak untuk beribadah menurut agamanya, berfikir, dan berekspresi sesuai dengan tingkah kecerdasan dan usianya, dalam bimbingan orang tua (Pasal 6).

d. Setiap anak berhak untuk mengetahui orang tuanya, dibesarkan, dan diasuh oleh orang tuanya sendiri (Pasal 7 ayat (1)).

e. Setiap anak berhak untuk memperoleh pelayanan kesehatan dan jaminan sosial sesuai dengan kebutuhan fisik, mental spiritual dan sosial (Pasal 8).

f. Setiap anak mempunyai hak memperoleh penidikan dan pengajaran dalam rangka mengembangkan pribadinya di tingkat kecerdasannya sesuai dengan minat dan bakatnya, termasuk anak cacat dan anak dengan keunggulan (Pasal 9 ayat (1) dan (2)). g. Setiap anak berhak mendapatkan perlindungan di satuan

pendidikan dari kejahatan seksual dan kekerasan yang dilakukan oleh pendidik, tenaga kependidikan, sesama peserta didik, dan/atau pihak lain (Pasal 9 ayat (1a)).

h. Setiap anak memiliki hak untuk menyatakan dan didengar pendapatnya, serta menerima, mencari, dan memberikan informasi demi pengembangan diri sesuai nilai- nilai kesusilaan dan kepatutan (Pasal 10).

i. Setiap anak mempunyai hak untuk istirahat dan memanfaatkan waktu luang, bergaul, bermain, dan berkreasi (Pasal 11).

(39)

23

k. Setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua, wali, atau pihak lain mana pun yang bertanggung jawab atas pengasuhan, berhak mendapat perlindungan dari perlakuan diskriminasi, eksploitasi baik ekonomi maupun seksual, penelantaran, kekejaman, kekerasan, penganiayaan, ketidakadilan, dan perlakuan salah lainnya (Pasal 13 ayat (1)).

l. Setiap anak berhak untuk diasuh oleh orang tuanya sendiri (Pasal 14).

m. Setiap anak berhak untuk memperoleh perlindungan dari penyalahgunaan dalam kegiatan politik, pelibatan dalam sengketa bersenjata, pelibatan dalam kerusuhan sosial, pelibatan dalam peristiwa yang mengandung unsur kekerasan, pelibatan dalam peperangan, dan kejahatan seksual (Pasal 15).

n. Setiap anak berhak memperoleh perlindungan dari sasaran penganiayaan, penyiksaan, atau penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi. Setiap anak berhak untuk memperoleh kebebasan sesuai dengan hukum (Pasal 16 ayat (1) dan (2)).

o. Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak untuk mendapatkan perlakuan secara manusiawi dan penempatannya dipisahkan dari orang dewasa; memperoleh bantuan hukum atau bantuan lainnya secara efektif dalam setiap tahapan upaya hukum yang berlaku; danmembela diri dan memperoleh keadilan di depan pengadilan anak yang objektif dan tidak memihak dalam sidang tertutup untuk umum. Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku kekerasan seksual atau yang berhadapan dengan hukum berhak dirahasiakan (Pasal 17 ayat (1) dan (2)).

p. Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku tindak pidana berhak mendapatkan bantuan hukum dan bantuan lainnya (Pasal 18).

Dalam perspektif Islam hak anak merupakan pemberian Allah

yang harus dijamin, dilindungi, dan dipenuhi oleh orang tua, keluarga,

masyarakat, pemerintah, dan negara (Anshori, 2006:45). Hukum Islam

mengenal lima macam hak asasi yang dikenal dengan sebutan

maqasid al-syari„ah, yaitu:

a. Pemeliharaan atas hak beragama (hifz al-din),

b. Pemeliharaan atas jiwa (hifz al-nafs),

(40)

24

d. Pemeliharaan atas akal (hifz al-„aql), dan

e. Pemeliharaan atas harta (hifz al-mal).

3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Hilangnya Hak Anak

Ada banyak faktor yang menyebabkan hilangnya hak anak

diantaranya yaitu (Tanaya: 2016):

a. Kekerasan Fisik

Sejumlah kejahatan yang terjadi pada Anak terutama

kekerasan fisik dan seksual, sangat rentan terjadi kepada anak-anak

karena mereka tidak dilindungi oleh keluarga maupun masyarakat.

Sulitnya ketahanan keluarga dengan tekanan ekonomi menjadi salah

satu penyebabnya. Keluarga yang memiliki tekanan ekonomi

cenderung mudah menyerah dengan keadaan, sehingga tidak

mempedulikan anak-anaknya, terlebih pada pendidikannya.

b. Eksploitasi Ekonomi

Masih banyak dijumpai anak-anak yang digunakan atau

dimanfaatkan keluarga untuk mencari penghasilan menjadi tukang

parkir, tukang cuci, bahkan menjadi pengemis. Gaji yang dihasilkan

dari kerja itu sebagian besar diberikan kepada orang tua dan sebagian

lagi digunakan untuk mengisap ganja, minuman keras, maupun

hal-hal lain yang merusak hidupnya. Kegiatan tersebut tanpa disadari

(41)

25

diketahui, bahwa anak adalah objek yang pasif dari struktur sosial

sehingga mudah dieksploitasi.

c. Pengabaian Orang Tua

Orang tua mengabaikan tumbuh kembang anak sejak anak itu

dilahirkan. Hal tersebut dapat diketahui dengan banyaknya kasus

pembuangan bayi yang terjadi dalam kurun waktu 2016 hingga 2017

ini. Menurutnya, anak bukanlah sesuatu yang berharga, tetapi sesuatu

yang tidak dikehendaki oleh calon ayah atau ibu. Ketika mereka lahir

sering ditinggal oleh orang tuanya bekerja di luar negeri sebagai TKI,

sehingga anak dititipkan kepada nenek atau kakeknya. Orang tua

tidak menyadari bahwa pola pengasuhan yang diberikan diluar pola

pengasuhan standar. Mereka tidak lagi mengasihi tetapi justru tidak

bisa mendampingi anak sehingga menjerumuskan anak ke dunia yang

salah, seperti prostitusi dan narkoba.

d. Pernikahan Anak Usia Dini

Pelaksanaan pernikahan anak usia dini adalah salah satu faktor

hilangnya hak seseorang. Persentase pernikahan usia dini menurut

statistik BPS 2015 terhadap 300.000 rumah tangga di 500 kabupaten

se-Indonesia menunjukkan anak perempuan usia 20-24 tahun

menikah prausia 18 tahun sebesar 23%. Pelaksanaan perkawinan anak

usia dini merenggut berbagai hak seorang anak untuk tumbuh

(42)

26

Menurut Mayadina Rohmi Musfiroh (2016:72), dalam kasus

pernikahan usia dini terdapat benturan antara pemeliharaan atas

jiwa (hifz al-nafs), pemeliharaan atas akal (hifz al-„aql), dan

pemeliharaan atas kehormatan dan nasab/keturunan (hifz al-nasl).

Dimana usia anak masih sangat beresiko untuk melakukan

hubungan seksual apalagi kesiapan organ reproduksinya. Selain itu

usia anak lebih tepat dipergunakan untuk masa pengembangan fungsi

akal dan pendidikan daripada untuk reproduksi dengan menikah dan

memiliki keturunan. Sehingga mendahulukan keselamatan jiwa anak

dari resiko yang ditimbulkan akibat pernikahan dan pengembangan

fungsi akal lebih didahulukan daripada hifdz al-nasl.

Pernikahan dini juga dianggap tidak sejalan dengan salah satu

maqasid al-nikah (tujuan nikah) yaitu membangun keluarga sakinah,

mawaddah dan rahmah dari suami istri, dimana psikologi anak

belum memahami semua itu kecuali kasih sayang dari kedua orang

tuanya.

4. Upaya Preventif Pe rkawinan Anak Usia Dini

Menurut Lenteraim (dalam Husna, 2013:23) hal yang harus

dilakukan dalam mencegah pernikahan usia dini yaitu :

a. Undang-undang perkawinan

b. Bimbingan kepada remaja dan menjelaskan tentang seks education

(43)

27

d. Bekerja sama dengan tokoh agama dan masyarakat

e. Model desa percontohan pendewasaan usia perkawinan

Sedangkan menurut Ahmad (dalam Husna, 2013:23-24) ada

beberapa alternatif yang dapat dilakukan untuk mencegah pernikahan

anak usia dini, yaitu:

a. Penyuluhan Hukum

Penyuluhan hukum utamanya ditujukan kepada orang tua

dan anak-anak. Dan kepada anak-anak bentuknya bukan seperti

seminar yang membosankan, tetapi melalui permainan yang lebih

kreatif dan kominikatif, sehingga pesan dari penyuluhan hukum ini

bisa sampai. Dalam penyuluhan hukum, juga menggabungkan

dengan aspekaspek kesehatan dan psikologis jika terjadi

pernikahan dini. Dengan penyuluhan maka, akan tumbuh kesadaran

masyarakat untuk menikah di usia matang.

b. Pemanfaatan Lembaga-Lembaga Kemasyarakatan

Berkembangnya lembaga kemasyarakat sebagai kader dan

corong pembangunan, tentu bisa juga turut mengembangkan

kesadaran hukum khusunya kesadaran masyarakat untuk menikah

di usia matang. Lembaga- lembaga yang selama ini telah berhasil

menggiatkan masyarakat dalam berbagai sektor, juga bisa kita minta

peran sertanya untuk membangun kesadaran akan pent ingnya

menikah di usia matang. Model peran serta lembaga

(44)

28

semacam pelajaran dikelas, yang kurang bisa berdampak. Tetapi

mungkin berbentuk “simulasi” sehingga memudahkan masyarakat

memahami dari program tersebut.

Menurut Dr. Yusuf Hanafi, M.Fil.I. (2011:135-141) program

strategis yang dapat dilakukan oleh pemerintah daerah dalam

meminimalisir perkawinan anak usia dini adalah sebgai berikut.

a. Pengubahan Perilaku Hukum Masyarakat Melalui Program Sadar

Hukum

Kaidah hukum perundang- undangan sebagai alat dapat

dijadikan sebagai salah satu penunjang dalam upaya pengubahan

perilaku hukum masyarakat. Adapun langkah-langkah dapat

diupayakan dengan:

1) Peningkatan taraf pengetahuan dan wawasan warga masyarakat

pedesaan yang berekonomi lemah melalui program “kejar”

(Bekerja sambil Belajar) yang disajikan dalam betuk paket-paket.

2) Program “Wajar” (Wajib Belajar) bagi anak-anak usia sekolah

lebih diperketat.

3) Program penyuluhan hukum dibidang perkawinan.

b. Sosialisasi Program Pendidikan Seks dan Kesehatan

Sosialisasi dilakukan dengan mengangkat berbagai topik-topik

yang berkaitan dengan dampak perkawinan usia dini. Adapun

(45)

29

1) Pendidikan seks dan kesehatan reproduksi perlu dimasukkan

kedalam kurikulum sekolah untuk menciptidakan kesadaran

diantara anak muda tentang bahaya dan resiko dari perkawinan

dibawah umur.

2) Program audiovisual seperti sandirawa dan paket pendidikan

tentang praktik-praktik tradisi berbahaya yang mempengaruhi

kesehatan perempuan dan anak, khususnya materi perkawinan

anak di bawah umur, harus pula digarap dan dipersiapkan.

3) Media massa perlu dimobilisasi untuk meningkatkan kesadaran

masyarakat mengenai bahaya dan resiko perkawinan anak usia

dini menuju prakarsa “safe motherhood” .

4) Pemerintah harus mengakui dan memajukan hak reproduktif

perempuan, termasuk hak mereka untuk menentukan jumlah dan

jarak usia anak-anak mereka.

c. Perluasan Akses Pendidikan yang Terjangkau

1) Penyediaan layanan pelatihan kejuruan dan program magang bagi

gadis-gadis belia dari keluarga-keluarga miskin untuk

memberdayakan mereka secara ekonomi.

2) Perlunya program pelatihan yang efektif bagi pembantu kelahiran

tradisional (bidan) dan paramedis untuk membekali mereka

dengan keahlian dan pengetahuan baru yang dibutuhkan. Hal ini

perlu untuk mengurangi angka kematian ibu yang hingga kini

(46)

30

d. Perbaikan Manajemen Administrasi Perkawinan

1) Pendaftaran dan pencatatan perkawinan harus diwajbkan demi

mengantisipasi praktik perkawinan di bawah umur secara sirri,

pemalsuan umur, dan identitas-identitas lainnya.

2) Sinergi pihak-pihak berwenang yang terkait dengan administrasi

perkawinan, seperti kelurahan/desa, kecamatan, dan Kantor

Urusan Agama (KUA) sangat diperlukan. Dengan terumuskannya

sinergi kolektif ini, setiap permohonan perkawinan yang tidak

prosedural dan cacat hukum kepada instansi pemerintahan,

semisal usia calon pengantin perempuan masih di bawah 18

tahun, dapat dibatalkan dan ditolak.

B. Perkawinan Anak Usia Dini

1. Batas Usia Dini

Mengenai batas usia perkawinan terjadi perbedaan pendapat antara

para ahli. Hal tersebut terjadi karena tidak ditemukannya hukum yang

secara pasti membatasi perkawinan dengan usia, melainkan dengan sifat

kedewasaan seseorang. Penentuan kedewasaan terjadi secara variatif

karena terdapat perbedaan sudut pandang hukum terhadap problema

masyarakat dalam semua tingkatan sosial.

Secara tersurat, dalam Al-Qur‟an tidak ditemukan ayat yang

(47)

31

Artinya: “dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha mengetahui.”(QS. An-Nur ayat 32)

Dalam tafsir Al-Maraghi (1993:186), kata washshalihin (ٍَْي ِذِهّصنا َو)

dimaknai sebagai laki- laki atau perempuan yang mampu untuk menikah

danmelakukan hak-hak suami istri, seperti berbadan sehat, memiliki harta,

dan lain- lain. Sedangkan menurut Q uraish Shihab dalam tafsir Al-Misbah

(2012 c:536) menafsirkan washshalihin sebagai seseorang yang mampu

secara mental dan spiritual untuk membina rumah tangga. Menurutnya,

kata tersebut bukan dalam arti yang taat beragama, karena fungsi

perkawinan memerlukan persiapan, tidak hanya materi, tetapi juga

kesiapan mental maupun spiritual, baik bagi calon suami maupun calon

istri. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa indikator kesehatan mental

seseorang itu sangat berkaitan dengan usia seseorang. Hal tersebut

dikuatkan dengan pandangan Dedi Supriyadi (2011:60), bahwa secara

(48)

32

lebih dari anak-anak, atau dapat dikatidakan matang secara kejiwaan dan

pemikiran.

Kata shalihin sebagaimana tersebut di atas merupakan cikal bakal

dalam proses penetapan usia baligh pada sebuah pernikahan. Kata

tersebut memberikan petunjuk bahwa pernikahan dalam Islam memiliki

syarat, meskipun masih bersifat umum. Adapun syarat yang ditonjolkan

dalam hal ini adalah kedewasaan dan kematangan yang identik dengan

usia seseorang. Dalam hadits dijelaskan:

َلاَق َىَّهَس َو ِّْيَهَع ُالله ًَّهَص ِّيِثَُّنا ٍَِع َحَشِئاَع ٍَْع

Artinya: “dari Aisyah r.a. dari Nabi SAW, bersabda: Terangkat qalam (pertanggungjawabanmu) dari tiga hal, orang yang tidur hingga ia bangun, anak kecil hingga ia mimpi, dan orang gila hingga ia siuman (sembuh) dan sadar. (H.R. Ahmad dan empat imam, kecuali Tirmidzi).

Makna esensial hadits di atas secara tersurat tidak mengisyaratkan

usia baligh, namun menjelaskan tanda-tanda baligh. Fuqaha tidak sepakat

terhadap batas usia minimal perkawinan, akan tetapi mereka

berpandangan bahwa baligh bagi seseorang itu belum tentu menunjukkan

kedewasaannya, dengan alasan sebagai berikut (Supriyadi, 2011:62-63):

a. Ketentuan baligh maupun dewasa bukan persoalan yang dijadikan

pertimbangan boleh tidaknya seseorang melaksanakan perkawinan,

sebagaimana Imam Maliki, Imam Syafi‟I, dan Imam Hambali yang

(49)

33

yang masih perawan (belum baligh), demikian juga kakeknya apabila

ayah tersebut tidak ada.

b. Adanya fakta sejarah yang menyatakan bahwa batasan usia

perkawinan sebagaimana dicontohkan Nabi SAW dengan Aisyah

yang berusia 9 tahun. Selain itu, Rasul SAW membolehkan Ibnu

Umar mengikuti perang Khandaq ketika ia sudah berusia 15 tahun.

Batasan usia kedewasaan seorang anak di Indonesia dapat

ditemukan pada beberapa Undang-Undang. Adapun Undang-Undang

Nomor 1 tahun 1974 mengatur ketentuan usia kedewasaan seseorang

untuk dapat melangsungkan perkawinan sebagaimana berikut.

a. Izin orang tua bagi orang yang akan melangsungkan perkawinan

apabila belum mencapai umur 21 tahun (pasal 6 ayat 2).

b. Umur minimal untuk diizinkan melangsungkan perkawinan, yaitu

pria 19 tahun dan wanita 16 tahun (pasal 7 ayat 1).

c. Anak yang belum mencapai umur 18 tahun atau belum pernah kawin,

berada di dalam kekuasaan orang tua (pasal 47 ayat 1).

d. Anak yang belum mencapai umur 18 tahun atau belum pernah

kawin, yang tidak berada di bawah kekuasaan orang tuanya,

berada di bawah kekuasaan wali (pasal 50 ayat 1).

Isi pasal 50 ayat (1) UU Perkawinan secara jelas menunjukkan

ketentuan usia perkawinan yang belum mencerminkan kedewasaan

seseorang. Menaggapi berbagai ketentuan batas usia kedewasaan yang

(50)

34

Rofiq (dalam Supriyadi, 2011:94) yang menyatakan bahwa batasan usia

perkawinan dalam UU Perkawinan tidak konsisten.

Undang-undang lain juga mengatur batas usia kedewasaan anak

secara berbeda. Perbedaan batasan yang diberikan berkaitan erat dengan

pokok persoalan yang diatur. Pembatasan usia anak-anak merupakan cara

negara melindungi warganya yang belum mampu mengemukakan

pendapat dengan benar dan belum menyadari konsekuensi dari

perbuatannya (Musfiroh, 2016:66-67). Tabel 2.1 merupakan

perbandingan batas usia anak dalam beberapa peraturan

perundang-undangan di Indonesia.

Tabel 2.1 Perbandingan Batas Usia Anak

No Undang-Undang Batas Usia Anak

1 KUH Perdata Janin dalam kandungan sampai usia 21 tahun atau pernah kawin (Pasal 330) tentang Pengesahan Konvensi Hak Anak

18 tahun (Pasal 1)

4 UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia

Usia 18 Tahun atau pernah menikah (pasal 1 huruf 5)

5 UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan

18 tahun (Pasal 1 huruf 26)

6 UU Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional

(51)

35 Lanjutan Tabel 2.1

No Undang-Undang Batas Usia Anak

11 UU Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang

Janin dalam kandungan sampai usia 18 tahun (Pasal 1 huruf 5)

12 UU Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan DP, DPD, dan DPRD

17 tahun atau pernah kawin (Pasal 1 huruf 22)

13 UU Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden

17 tahun atau pernah kawin

Minimal 12 tahun dan maksimal 18 tahun (Pasal 1 huruf 3) 18 UU Nomor 35 tahun 2014

tentang Perlindungan Anak

Janin dalam kandungan sampai usia 18 tahun (pasal 1 huruf 1)

Secara yuridis, pengaturan yang berbeda dalam berbagai

undang-undang tentang batas usia seseorang disebut sebagai anak-anak juga

menambah polemik pernikahan dini di Indonesia. Undang-Undang

Nomor 35 tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang

Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menyebutkan bahwa

anak adalah individu dengan usia dibawah 18 tahun dan orang tua

wajib untuk mencegah terjadinya pernikahan usia dini. Sementera itu,

Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyatakan

bahwa batas usia perkawinan adalah 16 tahun untuk perempuan dan 19

tahun untuk laki- laki. Hal ini menunjukkan bahwa belum ada sinkronisasi

(52)

36 2. Pengertian Pe rkawinan Usai Dini

Perkawinan atau nikah menurut bahasa berarti berkumpul menjadi

satu. Menurut syara‟ nikah adalah suatu aqad yang berisi pembolehan

melakukan persetubuhan dengan menggunakan lafadh

ٍحاَكَِْإ

(menikahkan)

atau

جْيِو ْزَت

(mengawinkan) (Al-Asqolani, 1980:1).

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dalam Pasal 1

mendefinisikan perkawinan adalah ikatan lahir batin atara seorang pria

dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk

keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan

Yang Maha Esa (2015:2). Sedangkan KHI mendefinisikan pernikahan

sebagai sebuah akad atau ikatan yang kuat atau miitsaaqan gholiidhan

untuk menaati perintah Allah SWT dan melaksanakannya merupakan

ibadah (2015:324).

Berdasarkan beberapa pengertian diatas, maka dapat disimpulkan

bahwa perkawinan adalah suatu perikatan untuk menghalalkan hubungan

kelamin antara laki- laki dan perempuan dalam rangka mewujudkan

kebahagiaan hidup berkeluarga sehingga diliputi rasa tentram dan kasih

sayang dengan cara yang di-ridloi Allah SWT.

Adapun pengertian dari perkawinan anak usia dini atau sering

disebut sebagai perkawinan anak di bawah umur dapat kita ambil dari

berbagai sumber. UU Perlindungan Anak menentukan bahwa orang tua

(53)

37

perkawinan pada usia anak-anak (Pasal 26 ayat (1) huruf c). Anak dalam

UU Perlindungan Anak adalah seseorang yang belum mencapai usia 18

tahun maupun yang berada dalam kandungan. Ketentuan tersebut dapat

dijadikan pengertian perkawinan anak usia dini yaitu perkawinan yang

dilakukan oleh seseorang yang belum mencapai batas umur tersebut.

Menurut Husein Muhammad (2007:90) perkawinan anak usia dini adalah

perkawinan usia muda (belia) atau perkawinan yang dilakukan oleh

laki-laki atau perempuan yang belum baligh.

Menurut Yusuf Hanafi (2012:74), pada prinsipnya agama Islam

membenarkan perkawinan yang dilakukan oleh orang dewasa. Anak-anak

di bawah umur tidak dapat melakukan suatu ikatan. Kementrian Agama

juga sudah melarang perawinan anak usia dini. Hal tersebut tertuang

dalam Surat Edaran tanggal 21 Oktober 2009 No. A/VII/142 yang

memberikan intruksi supaya pegawai Kemenag jangan memberikan

bantuan untuk perkawinan anak-anak.

Berdasarkan beberapa ketentuan di atas, perkawinan anak usia dini

perspektif UU Perlindungan Anak adalah suatu akad perkawinan yang

terjadi antara calon mempelai yang masih tergolong pada usia anak-anak

yaitu seseorang yang belum mencapai usia 18 tahun sebagaimana

(54)

38 3. Dampak Pe rkawinan Anak Usia Dini

Perkawinan anak usia dini disebabkan oleh berbagai faktor, seperti

hamil diluar nikah, adanya beban ekomoni, desakan budaya, pendidikan

rendah dan sebagainya (Surbakti, 2008:316). Terlepas dari faktor tersebut,

perkawinan anak usia dini menimbulkan berbagai dampak. Dampak dari

perkawinan anak usia dini dibagi menjadi dua macam, yaitu dampak

positif dan negatif.

a. Dampak Positif

1) Perkawinan anak usia dini dapat menjaga norma- norma

menyangkut kesucian anak perempuan maupun laki- laki dari

dosa perzinahan.

2) Perkawinan anak usia dini dapat menghindari kelahiran

anak-anak diluar perkawinan, yang mana mendapat stigmatisasi

sebagai anak yang tidak diharapkan atau pembawa aib (Munti,

2005:55).

b. Dampak Negatif

1) Dampak Psikologis

Dampak psikologis pernikahan dini berupa

ketidakmampuan mengemban fungsi- fungsi reproduksi dengan

baik. Menurut para psikolog, ditinjau dari sisi sosial pernikahan

dini dapat mengurangi harmonisasi keluarga. Hal ini disebabkan

oleh emosi yang masih labil, gejolak darah muda dan cara pikir

(55)

39

Pendapat serupa dikatakan oleh Abdi Koro (2012:181)

bahwa perkawinan anak usia dini lebih banyak menimbulkan

hal-hal yang tidak sejalan dengan misi tujuan perkawinan, yaitu

terwujudnya ketentraman rumah tangga berdasarkan kasih

sayang. Tujuan ini tentu akan sulit terwujud, apabila suami istri

belum memiliki kematangan jiwa dan pemikiran dewasa.

Menurut Ahmad Rofiq (dalam Koro, 2012:181) kematangan dan

integritas pribadi yang stabil akan sangat berpengaruh dalam

penyelesaian setiap problem yang muncul dalam menghadap

badai rumah tangga.

Menurut Yusuf Hanafi (2012:88), gadis- gadis muda yang

dikawinkan pada usia dini lazimnya bersuami pria yang berusia

jauh lebih tua darinya. Akibatnya, margin usia yang sangat lebar

inilah hampir selalu muncul problem komunikasi keluarga

maupun seksual diantara keduanya.

2) Dampak Biologis

Pernikahan dini menimbulkan dampak biologis seperti,

kerusakan organ-organ reproduksi dan kehamilan prematur. Anak

dibawah umur 20 tahun secara biologis alat-alat reproduksinya

masih dalam proses menuju kematangan sehingga belum siap

untuk melakukan hubungan seks dengan lawan jenisnya, apalagi

jika sampai hamil kemudian melahirkan. Perempuan tersebut

(56)

40

leher rahim belum matang (Irianto, 2008:158). Selain itu, resiko

infeksi HIV pada seks yang tidak terlindungi dua sampai

empat kali lebih tinggi pada perempuan di banding pada

laki-laki. Resikonya bahkan lebih besar pada gadis yang sedang

tumbuh menuju kematangan fisiknya, karena luka akibat

penetrasi mempermudah terjadinya infeksi (O‟Donnell,

2006:89). Menurut Yusuf Hanafi (2012:80-86) perkawinan anak

usia dini menyebabkan kematian ibu karena berdasarkan

penelitian, ibu kecil yang berusia 10-14 tahun memiliki resiko

meninggal 5 kali lebih besar dalam proses persalinan dari wanita

dewasa.

3) Dampak Pendidikan

Pernikahan dini akan menghilangkan berbagai hak anak,

seperti hak untuk memperoleh pendidikan (wajib belajar 12

tahun), hak bermain dan menikmati waktu luangnya, serta

hak-hak lainnya yang melekat dalam diri anak.

Akibat lain dari perkawinan usia muda umumnya

pasangan suami istri tersebut memiliki tingkat pendidikan rendah,

termasuk tingkat pengetahuan agamanya. Bahkan dapat diduga

pengalaman ajaran agamanya rendah pula. Jika hal itu terjadi,

maka tujuan perkawinan sebagaimana disebutkan dalam UU

(57)

41

semakin sulit untuk diwujudkan dalam kehidupan berumah

tangga (Koro, 2012:179).

4) Dampak Ekonomi

Anak-anak perempuan yang menikah atau menjadi hamil

pada umumnya keluar dari sekolah. Potensi pendapatan mereka

juga terpengaruh, menjadikan mereka lebih tergantung kepad a

pasangannya atau laki- laki lain, dan mereka cenderung memiliki

keluarga dengan jumlah yang lebih besar. Data Kependudukan

Perserikatan Bangsa-Bangsa menyatakan bahwa “Memiliki anak

pada usia dini dalam keluarga miskin melangggengkan siklus

kemiskinan antar generasi” (O‟Donnell, 2006:89).

C. Peran Pemerintah Daerah dalam Perlindungan Anak

1. Peran Pemerintah Daerah Menurut Para Ahli

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, peran berarti perangkat

tingkah yang diharapkan dimiliki oleh orang yang berked udukan dalam

masyarakat. Adapun peranan adalah tindakan yang dilakukan oleh

seseorang dalam suatu peristiwa. Menurut Soerjono Soekanto (2004:243)

peran adalah aspek dinamis dari kedudukan atau status seseorang dan

terjadi apabila seseorang melaksanakan hak dan kewajibannya sesuai

dengan kedudukannya. Hal demikian menunjukkan bahwa peran

dikatakan telah dilaksanakan apabila seseorang dengan kedudukan atau

Gambar

Tabel 2.1
Tabel 3.1 Jumlah Perkara Permohonan di Pengadilan Agama Salatiga
Tabel 3.2 Penetapan Permohonan Dispensasi Nikah
Tabel 3.4 Jumlah Pelaku Perkawinan Anak Usia Dini di Kota Salatiga
+5

Referensi

Dokumen terkait

Segala puji dan syukur peneliti panjatkan kepada Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, taufiq, serta hidayah-Nya kepada kami di dalam menyusun skripsi yang berjudul

KATA PENGANTAR ‫بِس ِْم ه‬ ‫اَّللِ الرّ حْ َم ِن الره ِحيْم‬ Alhamdulillahi robbil „alamin, puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan hidayah, sehingga penulis dapat menyelesaikan Karya Tulis Ilmiah yang berjudul “

Alhamdulillahi Robbil Alamiin, segala puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan

Alhamdulillahi Rabbil’alamin, segala puji dan syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, taufiq, hidayah serta ianyah-

Bahwa terdapat 3 program pada Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Kota Pekanbaru dalam mencegah pernikahan anak usia dini, yang pertama yaitu edukasi, ini dilakukan