• Tidak ada hasil yang ditemukan

SIKAP KASUNANAN SURAKARTA DALAM MENGATASI GERAKAN ANTI SWAPRAJA DI SURAKARTA TAHUN 1945-1946.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "SIKAP KASUNANAN SURAKARTA DALAM MENGATASI GERAKAN ANTI SWAPRAJA DI SURAKARTA TAHUN 1945-1946."

Copied!
54
0
0

Teks penuh

(1)

SIKAP KASUNANAN SURAKARTA DALAM MENGATASI GERAKAN

ANTI SWAPRAJA DI SURAKARTA TAHUN 1945-1946

Diajukan Untuk memenuhi Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

SKRIPSI

Disusun oleh

Devvi Ariyanti

0705552

JURUSAN PENDIDIKAN SEJARAH

FAKULTAS PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL

UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA

(2)

SIKAP KASUNANAN SURAKARTA DALAM MENGATASI GERAKAN ANTI SWAPRAJA DI SURAKARTA TAHUN 1945-1946

Oleh:

Devvi Ariyanti (0705552)

Sebuah skripsi yang diajukan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Pendidikan pada Fakultas Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial

© Devvi Ariyanti 2013 Universitas Pendidikan Indonesia

Januari 2013

Hak Cipta dilindungi undang-undang.

(3)
(4)

ABSTRAK

Skripsi ini berjudul “Sikap Kasunanan Surakarta Dalam Mengatasi Gerakan Anti Swapraja Di Surakarta Tahun 1945-1946 Masalah utama yang dikaji dalam skripsi ini adalah “Bagaimana sikap internal Kasunanan dalam mengatasi gerakan anti swapraja”. Metode yang digunakan dalam penelitian adalah metode historis yaitu proses menguji dan menganalisis secara kritis data-data peninggalan dan peristiwa masa lampau dengan melakukan empat langkah penelitian yang terdiri dari heuristik, kritik, interpretasi dan historiografi. Sedangkan untuk pengumpulan data penulis melakukan teknik studi literatur yaitu mengkaji sumber-sumber yang relevan dengan kajian penulis sedangkan pendekatan yang digunakan adalah pendekatan interdisipliner dengan menempatkan sejarah sebagai ilmu utama dibantu dengan ilmu sosial lainnya.

Adapun yang menjadi rumusan masalahnya yaitu 1) Bagaimana latar belakang munculnya gerakan anti swaparaja? 2) Bagaimana tindakan rakyat dalam gerakan anti swapraja? 3) Bagaimana situasi politik internal Kasunanan Surakarta? 4) Bagaimana tindakan Kasunanan Surakarta dalam penyelesaian Gerakan Anti Swapraja?.

(5)

ABSTRACT

This skripsi is titled "Kasunanan Surakarta Act Cope Anti Swapraja Movement In Surakarta 1945-1946. main problem studied in this thesis is" How Kasunanan internal attitude in dealing with anti-self-government ". The method used in this research is that the historical method to critically examine and analyze legacy data and events of the past with the four steps that comprise heuristic research, criticism, interpretation and historiography. As for the author's data collection techniques that examine literature sources relevant to the study authors, while the approach used is an interdisciplinary approach to the science of history placing

principal assisted by other social sciences.

As for the formulation of the problem: 1) What is the background appearance of the anti swaparaja? 2) How do the actions of the people in the anti-self-government? 3) What is the internal political situation in Surakarta? 4) How does

the settlement Surakarta Anti Swapradja?.

(6)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... viii

DAFTAR LAMPIRAN ... ix

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Rumusan dan Batasan Masalah ... 13

1.3 Tujuan Penelitian ... 14

1.4 Manfaat Penelitian ... 14

1.5 Metode dan Teknik Penulisan ... 14

1.7 Sistematika Penulisan ... 17

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1Tinjauan Pustaka ... 20

2.1.1 Revolusi Indonesia ... 21

2.1.2 Kasunanan Surakarta ... 32

2.1.3 Gerakan-Gerakan Sosial Di Surakarta ... 37

2.2Tinjauan Teori ... 44

2.2.1 Teori Konflik ... 44

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Persiapan Penelitian ... 51

3.1.1 Penentuan dan Pengajuan Penelitian ... 51

3.1.2 Penyusunan Rancangan Penelitian ... 51

3.1.3 Mengurus Perizinan ... 52

3.1.4 Menyiapkan Perlengkapan Penelitian ... 53

(7)

3.2 Pelaksanaan Penelitian ... 54

3.2.1 Pengumpulan Sumber (Heuristik) ... 54

3.2.1.1 Sumber Tertulis ... 55

BAB IV GERAKAN ANTI SWAPRAJA DI SURAKARTA TAHUN 1945-1946 4.1 Surakarta sebelum gerakan anti swapraja tahun 1945-1946 ... 66

4.1.1 Faktor Internal ... 66

4.1.2 Faktor Eksternal ... ... 74

4.2 Gambaran proses terjadinya gerakan anti swapraja yang terjadi tahun 1945-1946 4.2.1 Pembentukan laskar-laskar rakyat ... 86

4.2.2 Proses terjadinya gerakan anti swapraja 1945-1946 ... 91

4.2.3 Tindakan rakyat sampai kepada respon dari Kasunanan Surakarta terhadap peristiwa gerakan anti swapraja...107

4.3 Proses Penyelesaian Gerakan Anti Swapraja Tahun 1945-1946 4.3.1 Tindakan Kasunanan Surakarta ... 110

4.3.2 Tindakan penyelesaian dari kelompok gerakan anti swapraja ...114

4.3.3 Tindakan Penyelesaian dari pemerintah hingga menghilangnya Keistimewaan Surakarta ...117

BAB V KESIMPULAN ... 128

DAFTAR PUSTAKA ... 131

LAMPIRAN

(8)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang Masalah

Kasunanan Surakarta merupakan kelanjutan dari Kerajaan Mataram Islam. Pada masanya, Mataram Islam merupakan salah satu kerajaan Islam terbesar di Jawa yang pusat kekuasaannya berada di Kertosuro. Saat Mataram Islam mengalami keruntuhan, Kerajaan Mataram terbagi menjadi dua yaitu Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogjakarta dengan adanya perjanjian Giyanti. Maka sejak saat itulah Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Jogjakarta terpisah.

(9)

keluarga Sunan. Mendapat bantuan dari keluarga Sunan yang kecewa dengan Pakubuwono X, Raden Mas Said melakukan pemberontakan secara besar-besaran hingga akhirnya Pakubuwono rela membagi kekuasaan Kasunanan Surakarta menjadi dua menjadi Kasunanan Surakarta dan Puri Mangkunegara (Nurfajarini, 1993: 21).

Setelah Kasunanan Surakarta terpecah dengan Puri Mangkunegaran, wilayah kekuasaannya menjadi terbagi-bagi yakni, kekuasaan Kasunanan meliputi Sukoharjo, Boyolali, Sragen, dan Klaten sedangkan Puri Mangkunegaran wilayah kekuasaannya meliputi Wonogiri, Karanganyar dan Kadipaten Mangkunegaran. Walaupun kedua keraton yang berkuasa di Surakarta tidak pernah damai dalam

segala hal namun kedua keraton ini tetap memegang teguh adat istiadat yang telah

ada dari jaman Kerajaan Mataram Islam yang merupakan cikal bakal dari dua

Keraton tersebut (Nurhajarini, 1999: 11).

Masyarakat Kasunanan Surakarta banyak yang bekerja sebagai petani

garapan dikarenakan tanah-tanah yang berada dalam kekuasaan Kasunanan

Surakarta merupakan milik seutuhnya dari Sunan yang berkuasa. Sistem ini telah

digunakan sejak jaman Mataram Hindu hingga Mataram Islam, sehingga rakyat

hanya dapat menggarap tanah pertanian yang dikuasai oleh Kasunaan beserta

kerabat-kerabatnya secara turun temurun (Nurhajarini, 1999: 45).

(10)

pemilik tunggal dari seluruh yang ada dalam kekuasaan Kasunanan Surakarta termasuk tanah-tanah di dalam daerah kekuasaan Surakarta. Menurut Soemarsaid Moertono (1985: 34) raja mempunyai dua jenis hak atas tanah yaitu hak politik atau hak publik, yaitu hak untuk menetapkan luasnya yurisdiksi teritorialnya dan hak untuk mengatur hasil tanah sesuai dengan adat.

Menurut Sudikno Mertokusumo (1983: 56), tanah yang langsung dikuasai oleh Sunan dinamakan Ampilan dalem. Sebagian tanah lainnya, dinamakan tanah Kejawen atau tanah Gaduhan atau tanah lungguh atau tanah apanage dipergunakan untuk menjamin kebutuhan Sunan dan untuk menggaji para abdi dalem. Tanah-tanah ini oleh Sunan diberikan kepada kerabat-kerabat keluarga

atau para abdi dalem. Pengaturan dalam hak penguasaan tanah hanya menguntungkan bagi Sunan dan para pengikutnya saja sedangkan rakyat Surakarta hanya sebagai petani garapannya serta harus membayar pajak tanah yang tinggi untuk sewa tanah karena rakyat tidak dapat memiliki tanah-tanah yang digarapnya.

(11)

perusahaan perkebunan ini membuat rakyat pribumi sering melakukan aksi protes kepada perusahaan perkebunan serta melakukan aksi kriminalitas kepada perusahaan-perusahaan perkebunan (Suhartono, 1990: 46).

Usaha Pemerintah Belanda untuk meredam aksi protes rakyat ini pada akhirnya melakukan reorganisasi tanah di Surakarta, dimana semua tanah yang dikuasai oleh Kasunanan dialihkan kepada kabupaten-kabupaten untuk mengurus tanah-tanah yang ada dalam daerah pemerintahannya. Reorganisasi tanah ini memberikan kerugian besar bagi Kasunanan Surakarta, Kasunanan mulai mengalami inflasi karena hasil pajak tanah yang berasal dari kabupaten-kabupaten tersebut secara otomatis masuk ke dalam kas pemerintah Hindia Belanda sedangkan Kasunanan hanya mendapatkan hasil yang sedikit dari kebijakan itu. Maka Kasunanan melakukan pemotongan gaji abdi dalem untuk menekan pembiayaan-pembiayaan rumah tangga Kasunanan yang pada saat itu sering melakukan upacara-upacara adat berskala tinggi dan sebagai persaingan dengan Puri Mangkunegaran (Soeratman 1989: 181).

(12)

menyebabkan Belanda mengurangi dominasinya dalam internal Kasunanan Surakarta (Larsson, 1990: 145).

Dengan lahirnya pemikiran-pemikiran baru dalam Kasunanan Surakarta memberikan warna tersendiri dalam masa pergerakan di Surakarta maupun Indonesia. Banyak dari pendiri-pendiri organisasi pergerakan Indonesia berasal dari Surakarta. Sehingga sejak itu pula, Kasunanan Surakarta mempunyai kontribusi dalam masa pergerakan Indonesia. Hal itu berlangsung hingga berakhirnya kekuasaan Belanda di Indonesia, karena Belanda mengalami kekalahan dan Jepang pada akhirnya berkuasa di Indonesia selama 3,5 tahun Jepang pun mengalami kekalahan dalam perang pasifik. Dua kota terbesar di Jepang saat itu yaitu Nagasaki dan Hirosima dibom atom oleh Sekutu (Pusponegoro, 1976: 145).

Dengan adanya kekalahan Jepang atas sekutu terjadi vaccum of power dalam pemerintahan Indonesia. Suasana yang terjadi saat itu, tidak disia-siakan oleh orang Indonesia untuk memerdekakan diri. Pada tanggal 17 Agusutus 1945, adanya pembacaan proklamasi di Pegangsaan Timur no. 56. Sejak saat itu Indonesia telah mulai membentuk sistem pemerintahan, dasar negara beserta undang-undangnya (Pusponegoro, 1976: 146).

(13)

Pemerintah Pusat. Pemerintah Pusat pun memberikan Daerah Istimewa kepada Surakarta dikarenakan pada masa pergerakan Kasunanan Surakarta berperan aktif dengan munculnya beberapa organisasi-organisasi pergerakan yang berasal dari dalam Kasunanan Surakarta, yang pada akhirnya organisasi-organisasi tersebut menjadi organisasi pergerakan nasional. Organisasi tersebut akan menjadi merupakan titik perubahan di Indonesia (Santoso, 2002: 44).

Isi maklumat ini secara sah membuat daerah Surakarta menjadi Daerah Istimewa dan Kasunanan Surakarta dan Keraton Mangkunegaran berhak menjalankan daerahnya sesuai dengan kebijakannya sendiri. Pemberian Daerah Istimewa Surakarta oleh Presiden Soekarno disebabkan karena Kasunanan Surakarta telah berperan dalam masa pergerakan Indonesia. Setelah adanya maklumat ini semakin memperkokoh kekusaan Sunan dalam mengatur jalannya pemerintahan Surakarta sendiri. Pemerintah pusat memang telah memberikan kepercayaan kepada Kasusunanan Surakarta untuk mengatur daerahnya sendiri, namun, di sini pemerintah pusat tetap mengirimkan perwakilannya sebagai penghubung antara pemerintah pusat dengan pemerintah Daerah Istimewa Surakarta dan Jogyakarta, lembaga ini dinamakan Komisaris Tinggi yang dipimpin oleh R.P Soeroso yang berkedudukan di Surakarta (Samroni, 2010: 120).

(14)

bagi rakyat sendiri karena Kasunanan tetap memakai sistem peraturan yang sudah usang yang tidak sesuai dengan Indonesia yang sudah merdeka. Rakyat Surakarta diharuskan menghasilkan panen sebanyak 64 ribu ton per tahun, keputusan ini sangat memberatkan bagi Kasunanan (Ibrahim, 2004:110).

Setelah dikeluarkannya maklumat Keistimewaan Kasunanan Surakarta mengeluarkan peraturan yang memberatkan para petani, keadaan ekonomi Surakarta yang tidak stabil membuat rakyat tidak menyetujui dengan diberikannya Keistimewaan terhadap Surakarta karena Keistimewaan itu hanya diinginkan oleh Kasunanan Surakarta dan Puri Mangkunegaran bukan rakyat. Ketidaksetujuan ini membuat rakyat melakukan aksi protes terhadap para pejabat Kasunanan yang berada di wilayahnya. Saat keadaan ekonomi memburuk yang dialami Surakarta ditambah dengan kebijakan Kasunanan yang memberatkan para petani. Keadaan politik Surakarta pun memanas dikarenakan aksi-aksii protes yang dilakukan oleh pemuda dan bandit-bandit yang saat itu pun semakin berkembang pesat di kalangan masyarakat (Ibrahim 2004:112).

(15)

Kasunanan Surakarta pun mengalami pergesekan dengan Komisaris Tinggi. Komisaris Tinggi membuat sistem direktorium yang beranggotakan Ronomarsono, Mohammad Dasoeki dan Djoewadi yang merupakan orang-orang dari golongan kiri dan tidak menyetujui dengan adanya Keistimewaan Surakarta. Sistem direktorium dapat dikatakan pemerintahan bayangan dalam Kasunanan Surakarta sendiri. Keputusan yang dikeluarkan oleh Komisaris Tinggi membuat suatu ketakutan dalam Kasunanan Surakarta dan Puri Mangkunegaran karena dapat mengancam jalannya pemerintahan Keistimewaan Surakarta (Santoso, 2002:33).

Perlawanan yang dilakukan oleh laskar-laskar rakyat memuncak yang. Pada bulan Oktober 1945, para pemimpin kelompok anti swapraja menculik Pakubuwono XII sebagai ancaman kepada Kasunanan Surakarta. Penculikan ini terjadi beberapa kesepakatan antara kelompok gerakan anti swapraja dengan Pakubuwono XII, sehingga Pakubuwono XII dilepaskan kembali. Setelah terjadi kesepakatan-kesepakatan tersebut, aksi ini teredam kembali dan suasana panas yang terjadi di luar Kasunanan Surakarta kembali tenang kembali (Anderson, 1989: 363).

(16)

laskar-laskar yang terinspirasi dengan pemikiran Tan Malaka. Surakarta sejak masa pergerakan memiliki suatu ciri khas dalam setiap gerakan sosialis merupakan perpaduan antara sosialis dengan Islam (Larsson. 1990: 195).

Gerakan tersebut memiliki tiga tujuan yang diantaranya 1) Minta dihapuskannya Daerah Istimewa Surakarta atau Swapraja Surakarta, 2) Minta digantinya raja atau kasusunanan, 3). Minta perubahan-perubahan dalam peraturan Daerah Istimewa atau Swapraja yang tidak sesuai lagi dengan zamannya (Woerjaningrat, 1970: 2). Gerakan ini bersifat radikal yang di setiap aksinya melakukan penculikan-penculikan yang disertai pembunuhan terhadap pegawai-pegwai Kasunanan Surakarta.

Puncak perlawanan gerakan anti swapraja ini melakukan penculikan

dengan bantuan Barisan Banteng pada Januari 1946, adanya penculikan terhadap

sunan PB XII, Kanjeng Ratu, dan Soerjohamidjojo (Ricklefs, 2008:333). Hal itu dilakukan sebagai peringatan terhadap PB XII dan kerabatnya. Tiga bulan kemudian tepatnya pada tanggal 18 April 1946, Barisan Banteng berhasil memasuki wilayah dalam keraton sehingga Barisan Banteng kembali menculik PB XII. Pada tanggal 24 April 1946 pula, yang dilakukan oleh Barisan Banteng yang diantaranya Hadisunarto, Sastronegoro dan Mulyadi Joyomartono. Di lain

tempat juga, Barisan Banteng yang diwakilkan oleh Dr. Muwardi,

Mangkusudiyono, dan Hadisunarto, untuk menekan secara paksa patih Partono

agar menyetujui hilangnya pemerintahan swapraja Mangkunegara dan bersedia

bergabung dengan Pemerintahan RI. Barisan banteng yang ekstrim dalam

bertindak dengan melakukan aksi penculikan terhadap tokoh-tokoh penting istana.

(17)

Jaksonagoro dan Mr. Suwidji, serta Kanjeng Raden Adipati Yudonegoro. Mereka

ditawa oleh Barisan Banteng dan Polisi Tentara Surakarta di Kandang Menjangan

(Ibrahim, 2004: 160).

Untuk menanggapi aksi-aksi yang dilakukan oleh Gerakan Anti Swapraja ini, Kasunanan Surakarta sering melakukan perundingan dengan kelompok anti swapraja. Tetapi Kasunanan pun tidak bisa merealisasikan keinginan dari kelompok anti swapraja tersebut sehingga Kasunanan menyatakan tidak bisa merubah status keistimewaan dengan sendirinya karena daerah istimewa ini telah dijamin keberlangsungannya dalam UUD yang diakui oleh seluruh bangsa Indonesia. Namun, Gerakan Anti Swapraja ini tetap memegang teguh dengan tujuan mereka untuk menghapuskan Daerah Istimewa Surakarta sehingga merekapun semakin menjadi dalam melakukan aksinya.

Suasana memanas Surakarta yang diakibatkan munculnya Gerakan Anti Swapraja ini, Menteri Dalam Negeri Soedarsono mengunjungi Pakubuwono XII di Keraton Surakarta. Saat kunjungan tersebut, K.R.M.H Woerjaningrat sebagai pepatih dalem mengusulkan yang juga telah disetujui oleh Pakubuwono XII agar

dalam sementara waktu hingga terselesaikan gerakan anti swapraja ini, Daerah Istimewa Surakarta dikembalikan kepada pemerintah pusat.

(18)

Surakarta. Usulan ini ditentang oleh Komisaris Tinggi yang tidak menyukai adanya Pemilihan Umum ini dengan alasan apabila dilakukannya pemilihan umum tersebut akan membuat rakyat menjadi terpecah-pecah secara otomatis membuat Surakarta menjadi daerah federal. Adanya penolakan terhadap usul Soedarsono ini, membuat hubungan antara Kasunanan dan Mangkunegaran dengan direktorium semakin menegang.

Penolakan ini semakin dianggap oleh Kasunanan semakin ikut campurnya Komisaris Tinggi dalam perpolitikan Surakarta yang seharusnya menjadi urusan Kasunanan dan Mangkunegaran. Suasana Surakarta pun semakin memanas dengan adanya penculikan dan pembunuhan terhadap pegawai Kepatihan oleh kelompok anti swapraja dan mengganti pegawai-pegawai yang telah diculik tersebut dengan orang-orang yang mendukung dihapusnya keistimewaan Surakarta.

(19)

Woerjaningrat menjelaskan kembali usul yang pernah dikatakannya saat bertemu dengan Mendagri Soedarsono untuk sementara Daerah Istimewa Surakarta untuk sementara diserahkan kembali kepada Pemerintah Pusat hingga permasalahan gerakan anti swapraja ini dapat terselesaikan dengan tuntas.

Usul itu diterima oleh PM. Sutan Sjahrir beserta para mentrinya, Sunan Pakubuwono XII, Sri Mangkunegaran beserta pepatih dalemnya. Untuk merealisasikan usulan tersebut PM. Sutan Sjahrir tanggal 1 Juni 1946 mengirim Gubernur Soerjo untuk memimpin Surakarta dan lembaga Komisaris Tinggi dihapuskan dengan adanya penyerahan sementara Daerah Istimewa Surakarta kedalam kekuasaan Pemerintah Pusat. Adanya realisasi ini posisi Kasunanan Surakarta mengalami perubahan besar dari sebagai pemerintah Daerah Istimewa Surakarta menjadi pemerintah Karesidenan saja.

Pada tanggal 15 Juli 1946. PM. Sjahrir Mengeluarkan penetapan

pemerintah yang berhubungan dengan pemerintahan daerah istimewa Surakarta

dan Yogyakarta. Penetapan pemerintah yang bernomor 16/SD tahu 1946 berisikan

enam pasal dan tentang dihapuskannya keistimewaan diatur dalam Pasal kedua,

Penetapan menyatakan sebagai berikut :

Sebelum bentuk susunan pemerintahan daerah Kasunanan dan Mangkunegaran ditetapkan dengan Undang-undang, maka daerah tersebut untuk sementara waktu dipandang merupakan Karesidenan, dikepalai oleh seorang Residen yang memimpin segenap pegawai pamong praja dan polisi serta memegang segala kekuasaan sebagai seorang Residen di Jawa dan Madura”(Santoso, 2002:34).

Dikeluarkannya Peraturan Pemerintah No 16/SD Tahun 1946, sejak

(20)

Provinsi Jawa Tengah. Sedangkan Kasunanan Surakarta hanya sebagai penjaga

budaya Jawa yang telah dianut selama ratusan tahun serta Kasunanan sudah

tidak berhak lagi mengurusi segala hal tentang Surakarta cukup denga

mengurusi rumah tangga Kasunanan.

Dalam penelitian skripsi ini, penulis menjelaskan keadaan Surakarta

sebelum munculnya gerakan anti swapraja yang dilihat dari faktor internal dan

faktor eksternal. Selanjutnya menjelaskan tentang proses terjadinya gerakan

anti swapraja, yang diawali dengan pembentukkan laskar rakyat di Surakarta,

proses terjadinya, serta tindakan rakyat dalam gerakan ini. Setalah itu

dijelaskan tindakan Kasunanan yang dengan mudahnya mengembalikan

kembali keistimewaan Surakarta kepada pemerintah pusat yang menjadi sikap

Kasunanan Surakarta dalam mengatasi gerakan ini hingga pada akhirnya

menghilangkan keistimewaan Surakarta hingga saat ini.

Hal tersebut telah menjadi ketertarikan penulis sehingga dijadikanlah ide dasar dari judul skripsi ini. Dalam skripsi ini penulis mencoba untuk mengkaji lebih dalam tentang sikap Kasunanan Surakarta dengan ideologi-ideologi yang berkembang dalam internal Kasunanan Surakarta sendiri untuk menyelesaikan gerakan sosial yang terjadi di wilayah kekusaannya dengan judul „Sikap Kasunanan Surakarta Dalam Mengatasi Gerakan Anti Swapraja Tahun

1945-1946‟

1.2Rumusan Masalah

Berdasarkan pokok-pokok pikiran di atas, terdapat beberapa permasalahan

(21)

pokoknya adalah “Bagaimana sikap internal Kasunanan Surakarta dalam

mengatasi gerakan anti swapraja tahun 1945-1946.”

Mengingat rumusan masalah tersebut begitu luas, untuk mempermudah penulis dalam menyusun skripsi ini, maka permasalahan umum diatas dibagi menjadi beberapa pembatasan masalah. Secara rinci pembatasan masalah penulisan skripsi ini, ialah :

1. Bagaimana latar belakang munculnya Gerakan Anti Swaparaja? 2. Bagaimana tindakan rakyat dalam Gerakan Anti Swapraja? 3. Bagaimana situasi politik internal Kasunanan Surakarta?

4. Bagaimana tindakan Kasunanan Surakarta dalam penyelesaian Gerakan Anti Swapraja?

1.3Tujuan Penelitian

Dengan mengkaji pembahasan mengenai “Sikap Kasunanan Surakarta

Dalam Mengatasi Gerakan Anti Swapraja Tahun 1945-1946. Terdapat beberapa

tujuan yang dapat dirasakan oleh penulis, diantaranya :

1.Mendeskripsikan munculnya Gerakan Anti Swapraja di Surakarta

tahun1945-1946.

2. Mendeskripsikan tindakan rakyat dalam membantu Gerakan Anti

Swapraja.

3. Mendeskripsikan tentang situasi politik internal Kasunanan Surakarta

(22)

4. Mendeskripsikan tindakan-tindakan yang dilakukan oleh Kasunanan

Surakarta dalam menyelesaikan permasalahan Gerakan Anti Swapraja.

1.4Manfaat Penelitian

Adapun manfaat dari penyusunan skripsi ini adalah untuk :

1. Menambah literatur penulisan sejarah politik di Indonesia khususnya sejarah yang ada kaitannya dengan daerah Surakarta.

2. Memberikan pemahaman umum kepada penulis dan pembaca latar belakang hilangnya keistimewaan Surakarta.

3. Memberikan kontribusi terhadap perkembangan penulisan sejarah masa revolusi.

1.5Metodologi dan Teknik Penelitian

Untuk mengkaji pembahasan ini, penulis menggunakan beberapa

metode penelitian Sejarah yaitu suatu metode penelitian untuk memperoleh

gambaran rekonstruksi imajinatif mengenai peristiwa Sejarah pada masa lampau

secara kritis dan analitis berdasarkan bukti-bukti dan data peninggalan masa

lampau yang disebut sumber sejarah (Ismaun, 2005:34). Terdapat empat tahap

metode sejarah yakni sebagai berikut:

a) Heuristik, merupakan upaya mencari dan mengumpulkan sumber-sumber

yang berkaitan dengan permasalahan yang dikaji. Dalam proses mencari

sumber-sumber ini, penulis mendatangi berbagai perpustakaan, seperti

(23)

Rekso Pustoko Mangkunegaran, perpustakaan Nasional. Selain itu penulis

pun mencari beberapa artikel yang berhubungan dengan masalah dikaji,

seperti mengunjungi Monumen Pers Surakarta guna mencari beberapa

artikel koran yang membantu dalam penelitian.

b) Kritik, yaitu dengan melakukan penelitian terhadap sumber-sumber

Sejarah, baik isi maupun bentuknya (eksternal dan internal). Kritik

eksternal dilakukan oleh penulis untuk melihat bentuk dari sumber

tersebut. Dalam tahap ini, penulis berusaha melakukan penelitian terhadap

sumber-sumber yang berkaitan dengan topik penelitian ini. Sedangkan

kritik internal dilakukan oleh penulis untuk melihat layak tidaknya isi

(content) dari sumber-sumber yang telah diperoleh tersebut untuk

selanjutnya dijadikan bahan penelitian dan penulisan.

c) Interpretasi, dalam hal ini penulis memberikan penafsiran terhadap

sumber-sumber yang telah dikumpulkan selama penelitian berlangsung.

Kegiatan penafisran ini dilakukan dengan jalan menafsirkan fakta dan data

dengan konsep-konsep dan teori-teori yang telah diteliti oleh penulis

sebelumnya. Penulis juga melakukan pemberian makna terhadap fakta dan

data yang kemudian disusun, ditafsirkan, dan dihubungkan satu sama lain.

Fakta dan data yang telah diseleksi dan ditafsirkan selanjutnya dijadikan

pokok pikiran sebagai kerangka dasar penyusunan proposal ini.

d) Historiografi, merupakan langkah terakhir dalam penulisan ini. Dalam hal

ini penulis menyajikan hasil temuannya pada tiga tahap yang dilakukan

(24)

dengan bahasa yang sederhana dan menggunakan tata bahasa penulisan

yang baik dan benar.

Teknik-teknik pengumpulan data yang dipergunakan dalam penelitian ini, adalah sebagai berikut:

1. Studi kepustakaan. Sebagai langkah awal penulis mengumpulkan sumber-sumber yang sesuai dengan fokus kajian penelitian yang diperoleh dari berbagai sumber atau literatur. Setelah itu penulis menganalisis setiap sumber yang diperoleh dengan membandingkan antara sumber yang satu dengan sumber yang lain, sehingga diperolehlah data-data yang penulis anggap otentik, kemudian data-data tersebut penulis paparkan dalam bentuk karangan naratif yaitu skripsi.

Dalam penyusunan skripsi ini, penulis menggunakan teknik studi literatur

baik berupa buku yang relevan dengan pembahasan yang akan penulis angkat dan

sumber internet sebagai penunjang sumber yang didapat oleh penulis.

1.6. Sistematika Penulisan Skripsi

Sistematika dari penulisan skripsi ini adalah :

BAB I PENDAHULUAN

(25)

tujuan dari penelitian yang dilakukan, metode serta sistematika penulisan dalam penyusunan skripsi.

BAB II Tinjauan Pustaka

Pada bagian bab kedua ini, berisi mengenai suatu pengarahan dan penjelasan topik permasalahan yang penulis teliti dengan mengacu pada tinjauan pustaka melalui suatu metode studi kepustakaan, sehingga penulis mengharapkan tinjauan pustaka ini bisa menjadi bahan acuan dalam penelitian yang penulis lakukan serta dapat memperjelas isi pembahasan yang diuraikan berdasarkan dat – data temuan dilapangan.

BAB III Metodologi Penelitian.

Pada bab ini, penulis memaparkan metode yang digunakan untuk merampungkan rumusan penelitian, metode penelitian ini harus mampu menjelaskan langkah – langkah serta tahapan – tahapan apa saja yang digunakan dalam penelitian yang dilakukan. Semua prosedur serta tahapan – tahapan penelitian mulai dari persiapan hingga penelitian berakhir harus diuraikan secara rinci dalam bab ini. Hal ini dilakukan untuk memudahkan penulis dalam memberikan arahan dalam pemecahan masalah yang akan dikaji.

BAB IV Gerakan Anti Swapraja di Surakarta Tahun 1945-1946

(26)

Dinamika yang terjadi dalam internal kasunanan Surakarta, serta tindakan Kasunanan Surakarta dalam penyelesaian gerakan anti swapraja.

BAB V Kesimpulan.

(27)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

Pada bab ini penulis akan memaparkan tentang metodologi penelitian yang dilakukan dalam mengkaji berbagai permasalahan yang berkaitan dengan skripsi yang berjudul Sikap Kasunanan Surakarta Dalam Mengatasi Gerakan Anti Swapraja di Surakarta Tahun 1945-1946. Metode yang digunakan dalam penulisan skripsi ini

adalah metode historis atau metode sejarah dengan menggunakan studi literatur dan wawancara sebagai teknik penelitiannya.

(28)

Dari beberapa pengertian di atas, dapat dikatakan bahwa metode sejarah digunakan berdasarkan pertimbangan bahwa data-data yang digunakan berasal dari masa lampau sehingga perlu dianalisis terhadap tingkat kebenarannya agar kondisi pada masa lampau dapat digambarkan dengan baik. Penulisan sejarah tidak hanya mengungkapkan suatu peristiwa secara kronologis, melainkan dilakukan dengan ditunjang kajian atau analisis dengan penggunaan teori.

Metodologi dalam penelitian sejarah memiliki tahapan-tahapan dalam proses penelitiannya. Ismaun (2005: 34), mengungkapkan beberapa langkah yang harus dilakukan dalam melakukan metode sejarah yaitu:

1) Heuristik

Heuristik, yaitu pencarian dan pengumpulan sumber sejarah yang relevan (Ismaun, 2005: 49). Heuristik merupakan upaya menemukan jejak-jejak atau sumber-sumber dari sejarah suatu peristiwa. Pada dasarnya, sumber-sumber sejarah itu dapat berupa: sumber benda, sumber tertulis dan sumber lisan. Dalam tahapan ini, penulis mengumpulkan data-data baik dari buku, arsip, artikel, foto, internet tentang sejarah dan perkembangan Kasunanan Surakarta. 2) Kritik atau Analisis Sumber

(29)

diperoleh itu relevan atau tidak dengan permasalahan yang dikaji. Tahap kritik ini meliputi:

a. Kritik eksternal ialah cara melakukan verifikasi atau pengujian terhadap aspek-aspek “luar” dari sumber sejarah (Sjamsuddin, 2007: 132). Adapun yang dimaksud kritik eksternal ialah suatu penelitian atas asal-usul dari sumber, suatu pemeriksaan atas catatan atau peninggalan itu sendiri untuk mendapatkan semua informasi yang mungkin, dan untuk mengetahui apakah pada suatu waktu asal mulanya sumber itu telah diubah oleh orang-orang tertentu atau tidak (Sjamsuddin, 2007: 133-134). Pada tahap ini dilakukan penyeleksian secara ketat, karena setiap sumber harus dinyatakan otentik dan integral. Saksi mata yang dijadikan sumber harus diketahui sebagai orang yang dapat dipercaya (credible).

b. Kritik internal ialah kritik yang dimaksudkan untuk menilai kredibilitas sumber berkaitan dengan aspek “dalam”. Disini, dilakukan evaluasi

(30)

3) Interpretasi

Interpretasi adalah menafsirkan keterangan dari sumber sejarah berupa data dan fakta yang terkumpul. Tahap ini adalah upaya untuk memahami dan mencari hubungan antar fakta sejarah sehingga menjadi kesatuan yang utuh dan rasional. Adapun pendekatan yang digunakan penulis untuk mengkaji permasalahan dalam skripsi ini yaitu pendekatan interdisipliner.

4) Historiografi

Historiografi merupakan tahap akhir dalam langkah penelitian sejarah. Historiografi ialah penulisan sejarah. Di sini, penulis berusaha mengerahkan seluruh daya pikiran, seperti penggunaan keterampilan teknis kutipan-kutipan dan catatan-catatan dan penggunaan pikiran-pikiran kritis dan analisis agar didapatkan suatu sintesis dari seluruh hasil penelitian dalam suatu penulisan yang utuh. Tulisan ilmiah ini dituangkan ke dalam karya ilmiah berbentuk skripsi yang

berjudul “Sikap Kasunanan Surakarta dalam Gerakan Anti Swapradja tahun

1945-1946 ”. Penulisan skripsi ini disesuaikan dengan ketentuan penulisan karya ilmiah yang berlaku di Universitas Pendidikan Indonesia (UPI).

(31)

masalah dapat dilihat dari berbagai sudut pandang, sehingga pemahaman tentang masalah yang akan dibahas baik keluasan maupun kedalamannya semakin jelas. Pendekatan interdisipliner merupakan pendekatan dengan meminjam konsep pada ilmu-ilmu sosial lain. Pendekatan ilmu sosial yang digunakan penulis di sini adalah Sosiologi dan Antropologi.

Kuntowijoyo (2003: 89) juga mengemukakan lima tahapan dalam penelitian sejarah, yaitu:

1. Pemilihan topik. 2. Pengumpulan sumber.

3. Verifikasi (kritik sejarah, keabsahan sumber). 4. Menginterpretasi.

5. Penulisan.

(32)

3.1 Persiapan Penelitian.

Tahapan ini merupakan kegiatan yang dilakukan penulis sebelum melakukan penelitian. Adapun beberapa langkah yang dilakukan penulis, diantaranya adalah:

3.1.1 Penentuan dan Pengajuan Tema Penelitian.

Tahap ini merupakan langkah awal dari suatu penelitian, setelah peneliti memilih dan menetapkan tema yang sesuai maka kemudian peneliti menentukan tema. Dengan tema yang dipilih serta diajukan oleh peneliti, yakni mengkaji tentang Gerakan Anti Swapraja tahun 1945-1946, didasarkan pada keinginan untuk mengkaji

upaya yang dilakukan oleh pihak Kasunanan Surakarta dalam mengatasi gerakan anti Swapraja di Surakarta berdasarkan pada kajian sosial politik.

Proses dari pemilihan tema ini awalnya dilakukan dengan cara studi literatur dan wawancara dengan pihak Kasunanan Surakarta mencari mengenai masalah yang dikaji. Pada tahap ini penulis melakukan wawancara dengan beberapa orang pegawai kearsipan Kasunanan dan Mangkunegaran untuk mendapatkan informasi awal tentang gerakan ini. Langkah tersebut sebagai bentuk upaya untuk mencari dan memperoleh sumber-sumber dan data-data yang berhubungan dengan peneliti kaji.

(33)

peneliti mulai menyusun langkah berikutnya yakni membuat suatu rancangan penelitian yang dituangkan dalam bentuk Proposal Skripsi.

3.1.2 Penyusunan Rancangan Penelitian.

Dalam tahapan ini peneliti melakukan pencarian sumber-sumber yang berhubungan dengan permasalahan yang dikaji. Peneliti membaca berbagai sumber literatur yang relevan mengenai permasalahan yang dikaji. Setelah mendapatkan data, rancangan penelitian ini dijabarkan dalam bentuk proposal oleh peneliti. Setelah proposal selesai, peneliti mengajukannya kembali ke Tim Pertimbangan Penulisan Skripsi dengan judul yang diajukan adalah Gerakan Anti Swapradja di Surakarta tahun 1945-1946 dan disetujui dengan surat ketetapan dari ketua jurusan Pendidikan

Sejarah dengan No: 009 / TPPS/ JPS/ 2011. Setelah proposal disetujui maka ditetapkan calon Pembimbing I dan calon Pembimbing II dan peneliti mempresentasikan proposal skripsi yang dilaksanakan pada hari Rabu tanggal 26 Januari 2011 bertempat di Lab Jurusan Pendidikan Sejarah FPIPS UPI. Adapun rancangan penelitian tersebut meliputi: (1) judul penelitian, (2) latar belakang, (3) rumusan masalah, (4) tujuan penelitian, (5) tinjauan kepustakaan, (6) metode dan teknik penelitian, (7) sistematika penelitian, (8) daftar pustaka.

3.1.3 Mengurus perizinan.

(34)

penelitian dalam rangka memenuhi tugas akhir perkuliahan, yang kemudian diajukan kembali ke bagian Sub Bagian Mahasiswa FPIPS yang kemudian ditandatangani oleh Pembantu Dekan bidang pendidikan dan kemahasiswaan. Surat itu ditujukan kepada:

a. Perpustakaan Rekso Pustoko Mangkunegaran. b. Perpustakaan Rono Pustoko Kasunanan Surakarta

3.1.4 Menyiapkan Perlengkapan Penelitian.

Untuk memperoleh data yang diperlukan, maka terlebih dahulu harus direncanakan dalam rancangan yang dapat berguna bagi kelancaran penelitian. Adapun perlengkapan penelitian ini antara lain:

a. Surat izin dari Dekan FPIPS UPI. b. Alat Tulis.

c. Kamera.

3.1.5 Proses Bimbingan.

(35)

dan mendapat petunjuk untuk menghadapi segala kendala yang ditemukan dalam penyusunan skripsi ini.

Dalam proses bimbingan penulis mendapatkan beberapa masukan dari Pembimbing I dan Pembimbing II diantaranya mengenai redaksional judul skripsi, penajaman latar belakang masalah, pengarahan fokus masalah yang lebih spesifik serta masukan untuk membaca beberapa sumber literatur yang beliau sarankan berkenaan dengan penulisan skripsi ini. Dan proses bimbingan, penulis mengganti judul dikarenakan judul yang diajukan pada saat seminar proposal ternyata judul tersebut sudah pernah dipakai oleh mahasiswa Universitas Negeri Yogyakarta sebagai judul skripsinya sehingga penulis berdiskusi dengan pembimbing dengan adanya permasalahan kesamaan judul tersebut. Karena ditakutkan terjadi masalah di kemudian hari sehingga penulis sepakat untuk mengganti judul baru yang masih tetap bertemakan gerakan anti swapraja tersebut namun lebih difokuskan dengan sikap Kasunanan Surakarta dalam mengatasi gerakan sosial tersebut.

(36)

3.2 Pelaksanaan Penelitian.

Pelaksanaan penelitian dilakukan melalui tahapan sesuai dengan metode penelitian yang digunakan yaitu metode historis. Agar penelitian yang akan dilaksanakan lebih sistematis, penulis menggunakan metode penelitian sejarah dengan tahapan-tahapan sebagai berikut ini:

3.2.1 Pengumpulan Sumber (Heuristik).

Tahap ini merupakan langkah awal bagi penulis dalam proses mencari dan mengumpulkan sumber-sumber sejarah yang diperlukan dan berhubungan dengan masalah yang akan dibahas dalam penyusunan skripsi ini. Sumber sejarah merupakan segala sesuatu yang langsung maupun tidak langsung menceritakan atau memberikan gambaran kepada kita tentang suatu kenyataan atau kegiatan manusia pada masa lampau (Sjamsuddin, 2007:73). Untuk mempermudah dalam pengumpulan sumber

yang berkaitan dengan “Sikap Kasunanan Surakarta Dalam Mengatasi Gerakan Anti

Swapradja tahun 1945-1946”, maka pengumpulan sumber tersebut dilakukan melalui dua tahapan yaitu mencari dan mengumpulkan sumber tertulis dan sumber lisan.

3.2.1.1. Sumber Tertulis.

(37)

1. Perpustakaan Nasional, Penulis mendapatkan buku-buku yang mengkaji tentang keadaan Indonesia pada masa awal kemerdekaan dan keadaan sosial ekonomi Jawa pada masa awal kemerdekaan.

2. Perpustakaan Universitas Gadjah Mada, penulis mendapatkan buku yang mengkaji tentang Kasunanan Surakarta dalam berpolitik pada masa kebangkitan nasional dan memasuki pendudukan Jepang beserta buku yang membahas tentang keadaan Surakarta pasca kemerdekaan.

3. Perpustakaan Rekso Pustoko Mangkunegaran, penulis memperoleh buku-buku tentang sepak terjang dua Keraton yang ada di Surakarta.

4. Kantor Kearsipan Mangkunegaran, penulis memperoleh arsip-arsip yang berhubungan dengan diberikannya hak Keistimewaan terhadap kedua Keraton di Surakarta hingga surat keputusan pemerintah untuk mengambil alih keistimewaan Surakarta.

5. Perpustakaan Daerah Surakarta, penulis mendapatkan buku tentang masa awal kemerdekaan serta buku-buku yang berhubungan dengan sejarah lahirnya Surakarta.

3.2.2 Kritik Sumber.

(38)

1) Siapa yang mengatakan itu?

2) Apakah dengan satu atau cara lain kesaksian itu telah diubah?

3) Apakah sebenarnya yang dimaksud oleh orang itu dengan kesaksiannya? 4) Apakah orang yang memberikan kesaksian itu seorang saksi mata yang

kompeten, apakah ia mengetahui fakta itu?

5) Apakah saksi itu mengatakan yang sebenarnya dan memberikan kepada kita fakta yang diketahui itu? (Sjamsuddin, 2007:13).

Kritik sumber dilakukan karena tidak semua sumber terkumpul merupakan data yang sesuai dengan kebutuhan penulisan skripsi, dan yang terpenting adalah dapat dipertanggungjawabkan. Kritik sumber menyangkut verivikasi sumber yaitu pengajian mengenai kebenaran atau ketepatan dari sumber tersebut, dalam metode sejarah dikenal dengan kritik eksternal dan internal.

Dengan demikian dapat dibedakan yang benar dan tidak benar, serta yang mungkin dan yang meragukan. Berikut adalah penjelasan dari kritik eksternal dan internal dalam penulisan skripsi oleh penulis :

3.2.2.1 Kritik Eksternal.

Kritik eksternal ialah suatu penelitian atas asal-usul dari sumber, suatu pemeriksaan atas catatan atau peninggalan itu sendiri. Hal itu untuk mendapatkan semua informasi yang mungkin, dan untuk mengetahui apakah pada suatu waktu sejak asal mulanya sumber itu telah diubah oleh orang-orang tertentu atau tidak (Sjamsuddin, 2007:134). Sumber kritik eksternal harus menerangkan fakta dan kesaksian bahwa,

(39)

2. Kesaksian yang telah diberikan itu telah bertahan tanpa ada perubahan,atau penambahan dan penghilangan fakta-fakta yang substansial.

Kritik eksternal dilakukan guna menilai kelayakan sumber tersebut sebelum mengkaji isi sumber. Peneliti melakukan kritik eksternal dalam sumber tertulis, seperti dengan cara melakukan penelusuran dan pengumpulan informasi diantaranya memuat nama penulis buku, tahun terbit, judul buku, tempat diterbitkannya dan penerbit. Kritik eksternal terhadap sumber tertulis bertujuan untuk melakukan penelitian asal-usul sumber, terutama yang berbentuk dokumen seperti buku, artikel surat kabar dan sebagainya.

(40)

seorang sejarahwan yang memfokuskan kepada sejarah Asia Tenggara dan Jawa. Begitu juga dengan George D Larsson dengan bukunya yang berjudul Masa Menjelang Revolusi : Kraton dan kehidupan politik di Surakarta tahun 1920-1942. redibilitas George D Larsson dalam membahas ini semua tidak perlu ditanyakan kembali karena buku tersebut merupakan disertasi beliau. Namun satu kelemahan dari buku-buku tersebut adalah sulit ditemukan dipasaran karena kedua buku ini merupakan buku yang dicetak diatas tahun 1990an sehingga mencari kedua buku tersebut harus teliti dan menyambangi beberapa perpustakaan.

3.2.2.2 Kritik Internal.

Kritik internal menekankan kegiatannya pada pengujian terhadap aspek-aspek dalam dari setiap sumber. Kritik internal dilakukan untuk mengetahui isi sumber sejarah tersebut atau tingkat kredibilitas isi informasi dari narasumber. Kritik internal dilakukan pada sumber tertulis atau lisan. Dalam sumber tertulis kritik internal dilakukan dengan cara membandingkan antara sumber-sumber yang telah terkumpul dengan sumber lainnya. Hal lainnya dengan menentukan sumber yang relevan dan akurat dengan permasalahan yang dikaji. Kritik intern atau kritik “dalam” bertujuan

(41)

perumusan data yang di dapat, setelah diadakan penelitian terhadap evidensi-evidensi dalam sumber (Ismaun, 2005: 50).

Contoh kritik yang dilakukan oleh penulis terhadap buku sumber rujukan adalah pada buku yang ditulis oleh Dwi Ratna Nurhajarini dalam bukunya yang berjudul Sejarah Kerajaan Tradisonal Surakarta (1999). Buku ini menuliskan sejarah nama Surakarta yang merupakan nama lain dari jakarta, pada saat Demak menguasai jakarta dinamakan Jayakarta dan Jayakarta pada saat itu menjadi salah satu kota yang ramai dikunjungi oleh para pedagang yang singgah, sehingga PB II menamainya Surakarta yang diharapkan bisa sebesar Jayakarta. Namun, menurut penulis merupakan sebuah harapan agar Surakarta bisa sebesar Jayakarta dahulu. Sebagaimana yang dinyatakan oleh Brandes yang dikutip oleh Kastoyo Ramelan (2010: 44), menyatakan nama Surakarta merupakan desa Solo yang bisa diubah menjadi Sula, Sola, Sura dihubungkan dengan Karta menjadi Sulakarta. Selain itu nama Surakarta merupakan pemecahan sekaligus pembalikan kata dari nama Kartasura. Dalam buku Kastoyo Ramelan ini bersifat umum sehingga penulis harus lebih teliti dalam menggunakan buku ini sebagai sumber rujukan karena sifat keumumannya ini juga penulis merasa untuk lebih teliti lagi dalam mengkritisi substansi dari buku ini karena pembahasanya mencakup seluruh elemen Kasunanan Surakarta yang tidak hanya bersifat kesejarahan saja.

(42)

3.2.3 Interpretasi (Penafsiran Sumber).

Tahap ini merupakan tahap penafsiran terhadap sumber-sumber yang telah disaring dan diidentifikasikan melalui proses kritik ekstern dan intern yaitu berupa fakta. Fakta yang telah didapatkan tersebut kemudian ditafsirkan oleh peneliti sehingga peneliti dapat menguji kebenarannya. Peneliti melakukan penafsiran terhadap data-data yang telah dikritik dan menetapkan makna dan fakta-fakta dari data-data yang saling berhubungan dari sumber-sumber sejarah yang didapat. Setelah kebenaran didapatkan, maka peneliti menggabungkan atau merekonstruksi fakta

tersebut menjadi sebuah satu kesatuan yang dibantu dengan “historical thingking”,

hal tersebut dilakukan dengan memikirkan kembali masa lalu seolah-olah peneliti mengalami dan menjadi pelaku pada peristiwa yang terjadi pada masa lalu, sehingga penulis dapat memperoleh gambaran tentang permasalahan yang dikaji.

(43)

Penulis melakukan salah satu interpretasi berdasarkan informasi yang didapat dari sumber-sumber rujukan menyatakan bahwa pada masa awal kemerdekaan, Kasunanan Surakarta bersifat tidak tegas dalam menanggapi segala aksi protes yang dilakukan oleh rakyat Surakarta,. Hal ini dikarenakan Sinuhun PB XII saat diangkat menjadi Susuhunan masih amat muda sehingga belum dapat mengatasi permasalahan yang terjadi dalam Kasunanan maka dari itu pada saat penyelesaian masalah gerakan Anti Swapraja ini lebih berperan Wuryaningrat yang saat itu menjadi pepatih dalem menjadi penasehat Sunan dalam pengambilan keputusan untuk mengatasi Gerakan Anti Swapraja ini. Selain ketidak tegasan Pakubuwono XII, adanya hubungan tidak harmonis antara Kasunanan Surakarta dan Puri Mangkunegara yang membuat penyelesaian Gerakan Anti Swapraja ini terpecah. Penulis memberikan penafsiran seperti ini dengan membandingkan berbagai sumber ini berguna untuk mengantisipasi penyimpangan informasi yang berasal dari pelaku sejarah. Dari hubungan antara berbagai sumber dan fakta inilah yang kemudian dijadikan sebagai dasar untuk membuat penafsiran.

3.3 Penulisan Laporan Penelitian (Historiografi)

(44)

berbagai fakta yang telah ditemukan dan yang telah dipahami serta dimengerti secara mendalam sehingga sehingga penulis dapat menjawab segala permasalahan yang ada dalam penelitian yang telah dilakukan.

Berbagai penafsiran yang telah didapatkan dikaitkan menjadi beberapa fakta, disusun ke dalam sebuah skripsi. Di dalam skripsi ini tertuang berbagai hal yang telah dilakukan dan dihadapi oleh peneliti dalam melakukan penelitian. Selain itu, dituangkan pula berbagai informasi yang berkaitan dengan permasalahan penelitian.

Fakta yang didapat oleh penulis tidak hanya ketika melakukan penelitian saja, namun peneliti juga mendapatkannya ketika penulisan laporan ini sedang disusun. Fakta baru ini memberikan informasi dan kontribusi yang penting sehingga penulisan laporan ini menjadi lebih baik lagi. Fakta baru juga dicari oleh penulis ketika merasa ada yang kurang dalam penelitian ini.

Skripsi ini ditulis dengan menggunakan sistematika yang berlaku dalam jurusan Pendidikan Sejarah dengan menggunakan ejaan yang disempurnakan. Penulisan skripsi ini mengacu pada buku pedoman karya ilmiah yang dikeluarkan oleh Universitas Pendidikan Indonesia. Penulisan ini ditujukan sebagai salah satu tugas akhir akademis yang harus ditempuh oleh mahasiswa dalam jurusan Pendidikan Sejarah untuk menyelesaikan pendidikan tingkat sarjana.

(45)

Bab I Pendahuluan. Dalam bab ini berisi mengenai latar belakang masalah yang menjelaskan kerangka pemikiran mengenai pentingnya penelitian terhadap Sikap Kasunanan Surakarta Dalam Mengatasi Gerakan Anti Swapraja di Surakarta tahun 1945-1946. Untuk memfokuskan penelitian maka bab ini dilengkapi pula dengan rumusan masalah dan pembatasan masalah. Bab ini juga memuat mengenai metode penelitian yang digunakan serta dilengkapi dengan uraian sistematika penulisan.

Bab II Tinjauan Pustaka. Dalam bab ini dipaparkan mengenai sumber-sumber buku dan sumber lain yang digunakan oleh penulis sebagai sumber rujukan yang dianggap relevan dalam proses penelitian terhadap judul penelitian Sikap Kasunanan Surakarta Dalam Gerakan Anti Swapraja Di Surakarta Tahun 1945-1946. Dijelaskan pula tentang beberapa kajian dan materi yang berkaitan dengan konsep Revolusi Indonesia, Kasunanan Surakarta secara umum dan Gerakan-gerakan sosial di Surakarta.

(46)

pemahaman dan pemikiran yang dilakukan terhadap permasalahan yang diteliti, serta historiografi yaitu tahapan terakhir dalam sebuah penelitian sejarah yang merupakan suatu kegiatan penulisan dan proses penyusunan hasil penelitian.

BAB IV Sikap Kasunanan Surakarta Dalam Gerakan Anti Swapraja Di Surakarta Tahun 1945-1946. Bab ini merupakan pembahasan atas jawaban pertanyaan-pertanyaan yang terdapat dalam rumusan masalah diantaranya: Pertama, latar belakang munculnya Gerakan Anti Swaparaja. Kedua, tindakan rakyat dalam Gerakan Anti Swapraja. Ketiga, dinamika politik yang terjadi dalam internal Kasunanan Surakarta. Keempat, tindakan Kasunanan Surakarta dalam penyelesaian Gerakan Anti Swapraja. Pada bab ini juga berisi tentang seluruh jawaban-jawaban atas rumusan masalah yang telah dibuat. Jadi pada umumnya dalam bab ini penulis memaparkan seluruh data-data yang telah diperoleh dari hasil penelitian yang telah dilakukan.

(47)

BAB V

KESIMPULAN

Pada bab ini penulis mendeskripsikan jawaban dari rumusan masalah penelitian yang berjudul ‘Sikap Kasunanan Surakarta Dalam Mengatasi Gerakan Anti Swapraja Tahun 1945-1946’. Gerakan anti swapraja ini merupakan salah satu gerakan sosial yang terjadi pada masa revolusi nasional, adanya gerakan ini mengakibatkan adanya perubahan besar di Surakarta dan menjadi salah satu yang sedang dipermasalahkan kembali oleh rakyat Surakarta saat ini yang menginginkan dikembalikannya keistimewaan Surakarta kepada Kasunanan Surakarta kepada pemerintah pusat. Latar belakang adanya gerakan ini pun mengalami permasalahan yang sangat kompleks menyebabkan gerakan ini bukan hanya memperjuangkan tujuan awalnya saja melainkan adanya beberapa kepentingan di dalamnya. Maka dari itu penulis membaginya dalam beberapa kesimpulan yang mendasar dari penelitian ini diantaranya sebagai berikut :

Pertama, apabila Kasunanan Surakarta bersikap menerima secara 100%

(48)

pun masih tetap melakukan hubungan dengan Belanda bahkan ada kesan membantu Belanda untuk kembali masuk kedalam Surakarta.

Kedua, persaingan antara Kasunanan dan Mangkunegaran. Persaingan selama ratusan tahun antara dua keraton di Surakarta ini pun ikut memperlemah posisi kedua keraton tersebut dalam pandangan rakyat. Kasunanan dan Mangkunegaran ini selalu melakukan persaingan dalam segala hal terutama dalam upacara-upacara keagamaan maupun upacara adat istiadat, dua keraton ini bersaing dengan kemewahannya dan kemerihannya sedangkan rakyat Kasunanan dan Mangkunegaran mengalami kemiskinan dan tingkat kesehatan yang rendah menyebabkan benih-benih kebencian tersebut pun semakin berkembang.

Ketiga, terbukanya rakyat Surakarta dengan paham-paham baru. Surakarta

sejak masa pergerakan selalu terbuka dengan paham-paham baru ini pun sehingga tidak heran apabila di Surakarta selalu terjadi aksi-aksi protes rakyat terhadap Kasunanan. Maka tidak aneh apabila rakyat Surakarta sangat terbuka dengan paham-paham baru yang muncul dan berkembang di Surakarta, hal ini juga dilatar belakangi oleh konflik sosial yang terjadi antara Kasunanan dengan rakyatnya dimana Kasunanan sebagai penguasa Surakarta memberikan jarak yang sangat jauh dengan rakyat bahkan ada kesan seolah Kasunanan tidak dapat tersentuh oleh rakyat jelata. Sehingga menyebabkan rakyat mendukung adanya revolusi di Surakarta.

Keempat, perkembangan laskar rakyat di Surakarta. lahirnya

(49)

kemerdekaan anggota BKR sangat sedikit, akhirnya terbentuklah laskar-lasakr rakyat di Surakarta. Keterbukannya Surakarta dengan paham-paham baru ini yang menyebabkan laskar-laskar rakyat ini mulai memiliki ideologi dalam perjuangannya hingga pada akhirnya laskar-laskar rakyat inilah yang menjadi motor adanya revolusi di Surakarta.

Kelima, keadaan politik nasional Indonesia. Seandainya para elit politik

saat itu tidak terjadi konflik internal yang menyebabkan stabilitas nasional terganggu tidak akan adanya revolusi di Indonesia. Setelah adanya konflik yang terjadi dalam tubuh pemerintah pusat, pemerintah pusat pun mendapatkan rongrongan dari Belanda yang ingin menduduki Indonesia kembali. Banyaknya sikap yang berbeda dalam menanggapi rencana Belanda ini membuat suara terpecah antara pemerintah pusat dengan sebagian kelompok yang menyebabkan kelompok-kelompok yang tidak meyukai cara pemerintaha dalam menyelesaikan masalahnya ini maka terciptalah kelompok oposisi yang bertujuan untuk menjatuhkan kabinet saat itu.

Keenam, adanya krisis kekuasaan dalam tubuh Kasunanan. Kasunanan

(50)

REKOMENDASI

Penelitian ini yang berjudul ‘Sikap Kasunanan Surakarta Dalam Mengatasi Gerakan Anti Swapraja Di Surakarta Tahun 1945-1946. Dapat membantu untuk menjelaskan materi pembelajaran sejarah kelas XII IPS dengan menggunakan Standar Kompetensi:Menganalisis Perjuangan Bangsa Indonesia sejak Proklamasi hingga lahirnya Orde Baru dengan Kompetensi Dasar : Menganalisis perjuangan Bangsa Indonesia dalam mempertahankan kemeredekaan dari ancaman disintegrasi bangsa terutama dalam bentuk pergolakan dan pemberontakan (antara lain: PKI Madiun 1948, DI/TII, Andi Azis, RMS, PRRI, Permesta dan G30S). Penelitian ini dapat membantu dalam menjelaskan tentang masa revolusi Indonesia yang begitu banyaknya konflik internal yang menciptakan keadaan tidak kondusif Indonesa pasca kemerdekaan.

(51)

DAFTAR PUSTAKA

Abdurahman, Dudung. (1999), Metodologi Penelitian Sejarah. Jakarta : Logos. Anderson, Ben. (1988), Revoloesi Pemoeda : Pendudukan Jepang dan

Perlawanan di Jawa Tahun 1944-1946. Surakarta : Pelita Harapan

Gottschalk, Louis. (1985), Mengerti Sejarah. Jakarta : UI Press.

Ibrahim, Julianto. (2004). Bandit dan pejuang disamping bengawan : krimanalitas dan kekerasan masa revolusi di Surakarta. Wonogiri : Bina Cipta Pustaka.

Ismaun. (2005). Pengantar Sejarah Sebagai Ilmu Dan Wahana Pendidikan. Bandung: Historia Utama Press.

Kahin, George Mc Turnan, (1995). Refleksi Pergumulan Lahirnya Republik : Nasionalisme dan Revolusi Indonesia. Surakarta : Sebelas Maret

University Press.

Kuntowijoyo. (2003). Metodologi Sejarah. Yogyakarta: Tiara wacana Yogya. Kurosawa, Aiko (1993). Mobilisasi dan Kontrol : Studi tentang pedesaan Jawa

1942-1945. Jakarta : Grasindo

Kusumasumantri, Iwa. (1969). Sedjarah Revolusi Indonesia : masa revolusi bersendjata. Jakarta : Grafiti

Larsson, George D. (1990). Masa Menjelang Revolusi : Kraton dan kehidupan politik di Surakarta. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press.

Malaka, Tan. (2009). Gerpolek : Gerakan Politik Ekonomi. Jogjakarta : Shaida. __________, (2010). Massa Aksi. Bandung : Sega Arsy.

Mertokusumo, Sudikno. (1983). Sejarah Dan Perundang-undangannya Di Indonesia Sejak 1942 : Dan Kemanfaatannya Bagi Kita Bangsa Indonesia.

(52)

Metz, T.H. terj : R.Tg Muhammad Husodo Pringgokusumo (1939). Mangkunegaran Analisis Sebuah Kerajaan Jawa. Rotterdam: NV Nijgh &

Van Ditmar.

Moertono, Soemarsaid (1985). Negara dan Usaha Bina Negara di Jawa Masa Lampau : Studi Tentang Masa Mataram II Abad XVI Sampai XIX. Jakarta:

Yayasan Obor Indonesia.

Nasution, A.H (1977). Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia (Diplomasi sambil Bertempur) jilid 3. Bandung : Disjarah AD dan Angkasa.

Nurhajarini, Dwi Ratna (1999). Sejarah Kerajaan Tradisonal Surakarta. Jakarta : Depdikbud.

Panitia Penjusunan Kerabat Mangkunegaran (1970). Mangkunegaran Selajang Pandang. Surakarta : Mangkunegaran

Pedoman Penulisan Karya Ilmiah. (2009). Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia.

Pusponegoro, Marwati Djoened dan Nugroho Notosusanto. (1974). Sejarah Indonesia VI. Jakarta : Balai Pustaka.

Ramelan, Kastoyo. (2004). Sinuhun Paku Buwono X : Pejuang dari Surakarta Hadiningrat. Bandung : Jeihan Institute.

Ranawidjaja, Uneh. (1958). SWAPRADJA : Sekarang dan Dihari kemudian. Jakarta : Djambatan.

Ricklefs, M.C. (2008). Sejarah Indonesia Modern 1200-2004. Jakarta: Serambi Reid, Anthony. (1989). Sejarah Revolusi Nasional Indonesia. Jakarta: Gramedia

Pustaka Utama

Samroni, Iman dkk. (2010), Daerah Istimewa Surakarta : wacana pembentukan, propinsi Daerah Istimewa Surakarta ditinjau dari Perspektif Historis,

(53)

Santoso, Sri Juari. (2002). Suara Nurani Keraton Surakarta. Yogyakarta : Komunitas Studi Didaktika.

Suhartono, (1991). Apanage dan Bekel : Perubahan Sosial di Pedesaan Surakarta 1830-1920). Yogyakarta : PT. Tiara Wacana Yogya.

Supardan, Dadang. (2008). Pengantar Ilmu Sosial-Sebuah Kajian Pendekatan Struktural. Jakarta: PT Bumi Aksara.

Surbakti, Ramlan. (1992). Memahami Ilmu Politik. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.

Suwirta, Andi (2004). Suara dua Kota Revolusi Indonesia dalam pandangan Surat Kabar Merdeka (Jakarta) dan Kedaulatan Rakyat (Jogyakarta).

Jakarta : Grafindo.

Setiadi, Bram dan Qomarul hadi. (2001). Raja di Alam Republik : Keraton Surakarta dan Pakubuwono XII. Yogyakarta : Ombak.

Soeratman, Darsiti. (1989). Kehidupan Dunia Kraton Surakarta 1830-1839. Jogjakarta: Tamansiswa Jogjakarta.

Sjamsudin, Helius. (2007). Metodologi Sejarah. Jogjakarta: Ombak.

Tirtoprodjo, Susanto (1966). Sedjarah Revolusi Nasional Indonesia. Jakarta : Pembangunan.

Toer, Pramoedya Ananta. (1999). Kronik Revolusi Indonesia. Jakarta : Balai Pustaka.

William, Frederick H (1989). Pandangan dan Gejolak, Masyarakat kota suatu Revolusi : Studi Kasus Surabaya tahun 1942-1945. Jakarta : Grasindo

Sumber Lain

Manuskrip

(54)

K.R.T Kusumotanoyo (1989). Hitam Dan Putihnya Feodalisme. Surakarta: Tidak diterbitkan.

Mawardi dan Yuliani S.W (1995). Dinamika Revolusi Sosial di Surakarta. Sukoharjo : Tidak diterbitkan.

Skripsi dan Disertasi

Soeyatno (1982). Revolusi Di Surakarta Tahun 1945-1950 (Abstrak). Disertasi: Tidak diterbitkan.

Utami, Indah Wahyu Puji (2009). Pakempalan Kawulo Surokarto (PKS) 1932-1943: Gerakan Sosial dan Partisipasi Politik Kawulo di Surakarta serta

Keterkaitannya dengan Pendidikan Sejarah (Abstrak). Skripsi: Tidak

diterbitkan.

Surat Kabar :

Antara, 27 April 1946 Jaya Baya, 24 April 1986 Jaya Baya, 5 Februari 1983

Kedaulatan Rakyat, 17 Januari 1946 Suara Merdeka, 20 Februari 1983 Majalah Prisma No. 7 tahun 1978

Sumber Internet :

Gambar

gambaran rekonstruksi imajinatif mengenai peristiwa Sejarah pada masa lampau
gambaran kepada kita tentang suatu kenyataan atau kegiatan manusia pada masa
gambaran sejarah tentang peristiwa yang terjadi pada waktu yang telah lalu yang

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian ini adalah usaha yang dilakukan GERPI (Gerakan Puteri Indonesia) dalam mengisi kemerdekaan di Lampung selama periode tahun 1945- 1949 yaitu dengan

Penelitian yang mengulas mengenai peran abdi dalem keraton Kasunanan Surakarta dalam melakukan sosialisasi nilai-nilai Jawa kepada keluarga ini merupakan penelitian asli dan

KAIN DODOT PADA BUSANA TARI BEDHAYA KETAWANG DALAM UPACARA PENOBATAN RAJA PB XIII DI KERATON KASUNANAN SURAKARTA.. Surakarta : Falkultas Keguruan dan Ilmu

Dalam penelitian ini, teknik pengumpulan data dilakukan dengan (1) Observasi dokumentasi, yaitu mencermati pemberitaan tentang konflik Keraton Kasunanan Surakarta di SKH SOLOPOS

Skripsi, Surakarta: Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sebelas Maret Surakarta, Maret.. Penelitian ini menggunakan metode

Gerakan anti pembakaran timah pada penelitian ini merupakan gerakan sosial yang dilakukan kelompok gerakan sosial masyarakat Kecamatan Sekaran dalam menentang aktivitas

Tujuan penelitian ini ialah untuk mengetahui kondisi perusahaan perkebunan teh Kemuning pada masa revolusi sosial di Surakarta tahun 1945-1946.. Penelitian ini menggunakan

Jauhari, 2007 Pada warangka keris Canthang Balung yang digunakan di Keraton Kasunanan Surakarta selain dari segi ragam hiasnya yang berbeda, terdapat pula ciri lainnya yang membedakan