commit to user
i
PERAN KOMITE NASIONAL INDONESIA DAERAH (KNID)
SURAKARTA DALAM PERGERAKAN POLITIK DI
SURAKARTA TAHUN 1945-1946
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan
Guna Mencapai Gelar Sarjana Jurusan Ilmu Sejarah
Fakultas Sastra dan Seni Rupa
Universitas Sebelas Maret
Disusun oleh: Aditya Wahyu Prabowo
C0506004
FAKULTAS SASTRA DAN SENI RUPA UNIVERSITAS SEBELAS MARET
commit to user
ii
HALAMAN PERSETUJUAN
PERAN KOMITE NASIONAL INDONESIA DAERAH (KNID)
SURAKARTA DALAM PERGERAKAN POLITIK DI
SURAKARTA TAHUN 1945-1946
Disusun oleh: Aditya Wahyu Prabowo
C0506004
Telah disetujui oleh Pembimbing:
Pembimbing
Drs. Tundjung W.Sutirto., M.Si.
NIP. 19611225198703 1 003
Mengetahui
Ketua Jurusan Ilmu Sejarah
Dra. Sri Wahyuningsih, M.Hum.
commit to user
iii
HALAMAN PENGESAHAN
PERAN KOMITE NASIONAL INDONESIA DAERAH (KNID) SURAKARTA DALAM PERGERAKAN POLITIK DI SURAKARTA
TAHUN 1945-1946
Disusun oleh: Aditya Wahyu Prabowo
C0506004
Telah disetujui oleh Tim Penguji Skripsi
Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret
Pada tanggal ……….
Jabatan Nama Tanda Tangan
Ketua Dra. Sri Wahyuningsih, M.Hum. ...
NIP. 19540223198601 2 001
Sekretaris M. Bagus Sekar Alam, SS., M.Si. ……….
NIP. 19770904200501 1 001
Penguji I Drs. Tundjung W.Sutirto, M.Si. ………
NIP. 19611225198703 1 003
Penguji II Tiwuk Kusuma Hastuti, SS., M.Hum. ...
NIP. 19730613200003 2 002
Dekan
Fakultas Sastra dan Seni Rupa
Universitas Sebelas Maret
Drs. Sudarno, M.A.
commit to user
iv
PERNYATAAN
Nama : Aditya Wahyu Prabowo
NIM : C0506004
Menyatakan bahwa dengan sesungguhnya skripsi berjudul Peran Komite Nasional
Indonesia Daerah (KNID) Surakarta dalam Pergerakan Politik di Surakarta Tahun 1945-1946 adalah betul-betul karya sendiri, bukan plagiat, dan tidak dibuatkan oleh orang lain. Hal-hal yang bukan karya saya, dalam skripsi ini diberi
tanda citasi (kutipan) dan ditunjukkan dalam daftar pustaka.
Apabila di kemudian hari terbukti pernyataan ini tidak benar, maka saya bersedia
menerima sanksi akademik berupa pencabutan skripsi dan gelar yang diperoleh
dari skripsi tersebut.
Surakarta, 7 Desember 2010
Yang membuat pernyataan,
commit to user
v
MOTTO
Cara memulai adalah dengan berhenti berbicara dan mulai melakukan.
(Walt Disney)
Tiada doa yg lebih indah selain doa agar skripsi ini cepat selesai.
commit to user
vi
PERSEMBAHAN
Skripsi ini penulis persembahkan untuk:
Mama dan (Alm) Papaku tercinta
commit to user
vii
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum Wr. Wb
Syukur Alhamdulillah senantiasa penulis panjatkan ke-Hadirat Allah SWT,
yang telah memberikan berbagai kemudahan dan limpahan karunia-Nya
kepada penulis, hingga akhirnya penulis dapat menyelesaikan penulisan
skripsi dengan judul Peran Komite Nasional Indonesia Daerah (KNID)
Surakarta dalam Pergerakan Politik di Surakarta Tahun 1945-1946.
Dalam kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih
yang sedalam-dalamnya kepada berbagai pihak yang telah mendukung, baik moral,
material maupun spiritual, hingga akhirnya penulisan skripsi ini dapat berjalan
dengan baik dan selesai sesuai yang penulis harapkan, yaitu kepada:
1. Drs. Sudarno, MA, selaku Dekan Fakultas Sastra dan Seni Rupa
Universitas Sebelas Maret Surakarta.
2. Dra. Sri Wahyuningsih, M.Hum, selaku Ketua Jurusan Ilmu Sejarah
Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret Surakarta, juga
sebagai Ketua Tim Penguji yang berkenan memberikan waktunya untuk
menguji.
3. Dra. Sawitri P.P, M.Pd, selaku Sekretaris Jurusan Ilmu Sejarah Fakultas
Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret Surakarta.
4. Drs. Tundjung W.Sutirto, M.Si, selaku Pembimbing skripsi, yang
memberikan banyak dorongan, masukan, dan kritik yang membangun
dalam proses penulisan skripsi ini.
5. Ibu Tiwuk Kusuma Hastuti, SS., M.Hum. selaku Penguji II yang telah
berkenan memberikan waktunya untuk menguji.
6. Bapak Bagus Sekar Alam, SS., M.Si. selaku Sekretaris Penguji yang telah
commit to user
viii
8. Segenap staf dan karyawan UPT Perpustakaan Pusat UNS, Perpustakaan
Fakultas Sastra dan Seni Rupa UNS, Perpustakaan Daerah Surakarta,
dan Perpustakaan Sonopustoko Kasunanan.
9. Ibu Darweni, Bapak Basuki dan segenap staf perpustakaan Reksopustoko
Mangkunegaran yang telah memberikan ijin dan bantuan kepada
penulis dalam penyediaan data-data yang diperlukan.
10.Orang Tua yang selalu memberikan kasih sayang dan semangat dengan
tulus ikhlas serta doa yang tak pernah putus kepada penulis.
11.Saudara-saudaraku: Mbak Wielma, Mas Deden yang selalu memberikan
dukungan baik moril maupun materiil.
12.Teman-temanku angkatan 2006, Bagus, Trisna, Lia, Memik, dan Ulwa
yang memotivasi untuk cepat lulus. Aga, Dwi, Endras, Helmy, Adi, Endah,
Embri, Dyah, Hasri, Sidik, Sunu, Jarot, Jadi, Feby, Putut, Gilang, Dhani,
Candra, Edy, Ari, dan teman-teman yang lain, tetap kompak dan cepat
menyelesaikan skripsi.
13.Kawan-kawan Goggle.net Slamet Riyadi, Gito, Anita, Fajar, Farid, Ernand,
Andri selalu ramah dan bekerja keras.
14.Novita Wisma Saputri, yang selalu mendengar keluh kesahku.
15.Segenap pihak yang telah mendukung dan membantu terlaksananya
penulisan skripsi ini, yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Oleh
karena itu, penulis berharap akan adanya kritik dan saran yang bersifat
membangun, agar skripsi ini menjadi lebih baik.
Wassalamualaikum Wr. Wb.
Surakarta, 7 Desember 2010
commit to user
BAB II AKAR-AKAR RADIKALISME SURAKARTA SEBELUM REVOLUSI 1945 ... 18
commit to user
x
C. Radikalisme di Surakarta pada masa Jepang... 30
1. Terbentuknya Laskar-laskar Perjuangan ... 30
2. Munculnya Hizbullah di Surakarta ... 34
BAB III KONDISI SOSIAL POLITIK SURAKARTA PADA MASA REVOLUSI FISIK 1945 ... 38
A. Surakarta sebagai kota Oposisi ... 38
B. Kelompok Oposisi di Surakarta ... 40
a. Persatuan Perjuangan ... 40
b. Barisan Banteng ... 46
C. Keberadaan Daerah Istimewa Surakarta ... 48
D. Konflik Sosial Politik Masa Revolusi Fisik 1945 ... 51
BAB IV PEMBENTUKAN KNID SURAKARTA DAN PERANNYA DALAM PERGERAKAN POLITIK DI SURAKARTA ... 59
A. Terbentuknya Komite Nasional Indonesia Daerah (KNID) Surakarta ... 59
B. Peran KNID Surakarta ... 63
1. Penyerahan Kekuasaan Jepang ke tangan KNID Surakarta ... 63
2. KNID Surakarta sebagai Lembaga Perwakilan Rakyat Daerah ... 73
3. Peran KNID Surakarta dalam Gerakan Anti Swapraja .... 76
C. Hubungan antara Kekuatan Pergerakan Politik dengan KNID Surakarta ... 86
BAB V PENUTUP ... 90
DAFTAR PUSTAKA... 94
commit to user
Butai Masse Markas militer Jepang di Surakarta
double bestuur pemerintahan ganda
Gakuttotai Barisan anak-anak sekolah
kawula-gusti pola hubungan raja-rakyat atau juga
manusia-Tuhan
Kenpeitai polisi militer Jepang
Kompleit Perubahan status tanah apanage yang
dipegang para abdi dalem kepada rakyat
Kooti Jimmu Kyoku Kekuatan sipil bentukan Jepang
manunggaling kawula lan gusti persatuan rakyat dan raja atau persatuan manusia dan Tuhan
Multipunctie mengambil sampel dari limpa yang
diteliti
Narpawandawa Perkumpulan Darah Dalem
oposisi kekuatan politik dan massa yang
berlawanan dengan pemerintah yang
berkuasa
Panatagama Kepala Agama Islam
patron-client pola hubungan bapak-anak buah
Patuh tuan
Priyayi masih berhubungan dengan eratin;
bangsawan
Reh Kasentanan Dewan Pertimbangan Raja
commit to user
xii
Romusha buruh atau kuli yang dimobilisasi
dengan paksa untuk suatu pekerjaan
AMRI Angkatan Muda Republik Indonesia
BKR Badan Keamanan Rakyat
BLB Barisan Laskar Banteng
BP KNIP Badan Pekerja Komite Nasional
Indonesia Pusat
BPRI Badan Pemberontak Republik
Indonesia
BPU Badan Pengawas dan Penyelidik
Umum
KNID Komite Nasional Indonesia Daerah
KNIP Komite Nasional Indonesia Pusat
KPPRI Kantor Daerah Pemerintah Republik
Indonesia
M.Ng. Mas Ngabehi
NICA Netherlands Indies Civil
commit to user
xiii
Pesindo Pemuda Sosialis Indonesia
PETA Pembela Tanah Air
PKS Pakempalan Kawula Surakarta
PPKI Panitia Persiapan Kemerdekaan
Indonesia
SDI Sarekat Dagang Islam
SI Sarekat Islam
TP Tentara Pelajar
VOC Vereeniging Oost-Indische
commit to user
xiv
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1. Undang-undang No.1 tahun 1945 Tentang Peraturan Mengenai
Kedudukan Komite Nasional Daerah ………. 100
2. Arsip Penyerahan pemerintahan Kooti Jimu Kyoku Tyokan kepada KNIDS. 1945 ... 107
3. Piagam penetapan Presiden RI kepada Pakubuwono XII pada kedudukan sebagai kepala Daerah Istimewa. 1945... 108
4. Maklumat Presiden kepada Mangkunegoro VIII pada kedudukan sebagai kepala Daerah Istimewa. 1945... 109
5. Penyerahan Kekuasaan Kooti Jimu Kyoku Tyokan kepada Mangkunegaran ... 110
6. Peta Wilayah Surakarta tahun 1945-1946... 111
7. Selebaran dari Komite Nasional Indonesia Daerah Surakarta, 1945... 114
8. Penetapan Pemerintah tentang keamanan di Daerah Istimewa, 1946... 116
9. Pembentukan Badan Keamanan Rakyat, 1946... 117
10.Surat dari Wakil Presiden kepada Presiden dan Menteri Pertahanan tentang kedudukan keistimewaan daerah Surakarta dan Mangkunegaran... 118
11.Penetapan Pemerintah RI Jogjakarta no. 16/S.D tanggal 15 Juli 1946 tentang perubahan sementara bentuk dan susunan Pemerintah di Daerah Istimewa Surakarta ... 119
12.Susunan Panitia Anti Swapraja………... 120
13.Maklumat Menteri Dalam Negeri tentang penunjukan Gubernur Jawa Tengah R. Soerjo, sebagai wakil Pemerintahan Pusat di daerah Surakarta……... 121
14. Maklumat Mangkunegoro VIII, 1 September 1945……… 122
15. Maklumat Menteri Dalam Negeri tentang Daerah Istimewa Surakarta … 123
16. Maklumat Sri Paduka Pakubuwono XII tentang Daerah Istimewa Surakarta ... 124
17. Pernyataan Bersama KNID Kab. Klaten dalam gerakan Anti Swapraja .... 125
commit to user
xv
ABSTRAK
Aditya Wahyu Prabowo. C0506004. 2010. Peran Komite Nasional Indonesia
Daerah (KNID) Surakarta dalam Pergerakan Politik di Surakarta tahun 1945-1946. Sripsi Jurusan Ilmu Sejarah Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret.
Permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini yaitu (1) Bagaimana hubungan antara Komite Nasional Indonesia Daerah (KNID) Surakarta dengan kekuatan pergerakan politik di Surakarta tahun 1945-1946? (2) Bagaimana peran Komite Nasional Indonesia Daerah (KNID) Surakarta dalam pergerakan politik di Surakarta tahun 1945-1946?
Penelitian ini merupakan penelitian historis, sehingga langkah-langkah
yang dilakukan dalam penelitian ini meliputi heuristik, kritik sumber baik intern
maupun ekstern, interpretasi, dan historiografi. Teknik pengumpulan data yang
digunakan adalah studi dokumen dan studi pustaka. Dari pengumpulan data, kemudian data dianalisa dan diinterpretasikan berdasarkan kronologisnya. Untuk menganalisis data, digunakan pendekatan ilmu sosial yang lain sebagai ilmu bantu ilmu sejarah. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan sosial, dan politik.
Setelah Pemerintah Pusat RI membentuk Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP), secara berlanjut di daerah-daerah dibentuk juga Komite Nasional Indonesia Daerah (KNID). Tujuan KNID dibentuk adalah untuk melucuti tentara Jepang dan memindahkan kekuasaan pemerintah Jepang ke tangan KNID. Keberadaan KNID Surakarta mendapat dukungan dari segenap potensi perjuangan rakyat. KNID sebagai pimpinan gerakan revolusi di Surakarta harus menghadapi
kekuatan Jepang yang terbagi dalam Kooti Jimmu Kyoku (kekuatan sipil), Butai
Masse yang bersenjatakan lengkap, dan Kenpetai. Sejak awal pembentukannya, KNID Surakarta mampu menjalankan tugasnya dan mendapat keberhasilan secara gemilang dengan melucuti kekuasaan Jepang di Surakarta. Terjadinya krisis kekuasaan awal kemerdekaan langsung dapat dipecahkan melalui komite tersebut sebagai semacam lembaga perwakilan rakyat daerah. Awal tahun 1946, muncul gerakan revolusioner menentang adanya status daerah istimewa di Surakarta. Gerakan tersebut banyak dimotori anggota KNID Surakarta beserta organisasi pergerakan politik lainnya.
commit to user
1
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Genderang Revolusi Indonesia dibunyikan saat rakyat Indonesia
memproklamasikan kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945. Kemerdekaan
Indonesia merupakan klimaks dari proses panjang suatu perjuangan dari rangkaian
pergerakan nasional hingga runtuhnya Hindia Belanda. Oleh karena itu tidak aneh
apabila dianggap sebagai “jembatan emas” yang harus dipelihara maupun
dipertahankan walaupun tidak sedikit dilaksanakan dengan caranya
sendiri-sendiri. Proses awal yang lazim adalah melembagakan Negara sehari setelah
proklamasi yaitu tanggal 18 Agustus 1945. Pelembagaan dari hasil
tawar-menawar dengan Jepang ini diupayakan oleh PPKI yang oleh pemuda, dianggap
sebagai kolabolator-kolabolator Jepang. Hasil dari sidang PPKI ini adalah
menetapkan UUD 1945, memilih Soekarno sebagai Presiden dan Hatta sebagai
Wakil Presiden, serta membentuk KNIP.1
Proklamasi kemerdekaan RI mempunyai pengaruh luas bagi bangsa dan
Negara. Proklamasi merupakan momentum dalam sejarah Republik Indonesia.
Perubahan-perubahan yang menyangkut masalah politik, pemerintahan dsb, pasti
terjadi setelah merdeka, baik untuk pusat maupun daerah-daerah.
1
commit to user
Setelah proklamasi, terjadi reorganisasi dalam berbagai aspek, terutama
politik pemerintahan. Berkaitan dengan hal ini, maka daerah Surakarta setelah
Proklamasi langsung mendapat keputusan dari pusat. Presiden RI pada waktu itu
mengeluarkan piagam berkenaan dengan kedudukan daerah Surakarta. Piagam
tanggal 19 Agustus 1945 tersebut ditujukan kepada Susuhunan Paku Buwono XII
dan Mangkunegara VIII yang mendapat kepercayaan dari pemerintah pusat untuk
mencurahkan segala tenaga, pikiran, dan jiwa raga bagi keselamatan daerahnya
yang merupakan bagian wilayah Republik Indonesia sebagai Daerah Istimewa.
Kedua penguasa tradisional ini juga tetap mempunyai kedudukan otonom
sebagaimana tercermin dari keputusan Presiden tersebut.
Bersamaan itu pula pada 19 Agustus 1945, Pemerintah Pusat RI juga
berhasil melengkapi perangkat pemerintahan dengan kabinet pertamanya dan
Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) dibentuk. Komite ini berfungsi sebagai
Parlemen sementara yang dilengkapi juga suatu Badan Pekerja (BP-KNIP).
Adanya Komite Nasional ini tidak hanya terbatas di lingkungan pemerintah pusat,
tapi secara berlanjut di daerah-daerah dibentuk juga Komite Nasional Indonesia
Daerah (KNID). Komite di daerah-daerah terbentuk dalam waktu tidak lama
sesudah KNIP. Komite di daerah juga dilengkapi dengan Badan Pekerja yang
menjalankan tugas sebagai pelaksana secara riil dalam pemerintahan. Tujuan
KNID dibentuk adalah untuk melucuti tentara Jepang dan memindahkan
kekuasaan pemerintah Jepang ke tangan KNID.
Berdasarkan hal tersebut pembentukan Komite Nasional diharapkan agar
secepat mungkin melakukan tugasnya dalam rangka penegakan kedaulatan
commit to user
keberadaan tentara Jepang yang memang diserahi urusan penjagaan keamanan dan
status quo oleh sekutu. Tentara Jepang tersebut merupakan kekuatan tempur yang
sangat kuat mengingat lengkapnya persenjataan yang dimiliki oleh mereka2.
Permasalahan lainnya dalam mendirikan komite di daerah ialah masih
berkuasanya para birokrasi pribumi yang sebagian besar merupakan abdi setia
kekuasaan. Fenomena tersebut terjadi pula di Surakarta yaitu dengan adanya
kekuasaan pribumi yang direpresentasikan oleh Raja-raja yang secara otomatis
menjadi pemegang kekuasaan tertinggi di Surakarta mencoba untuk mengukuhkan
kekuasaannya. Mereka telah terbiasa sebagai hamba kekuasaan apapun juga
selama kekuasaan dan jabatan mereka dapat dipertahankan. Selain itu kaum
birokrasi pribumi yang terbiasa dengan kesadaran politik yang tinggi menyadari
bahwa proklamasi kemerdekaan tidak memiliki landasan hukum apapun juga dari
sistem hukum internasional yang berlaku dan menyebabkan mereka untuk
memposisikan diri kepada para pemenang Perang Dunia II. Hal ini menjadi salah
satu penyebab dari meningkatnya kekerasan di daerah-daerah yang ditujukan
untuk penggulingan tatanan lama pemerintahan pribumi.3
Hal ini bertentangan dengan keinginan para politisi dan pejuang di
Surakarta yang menginginkan agar mobilitas politik di Surakarta bersifat secara
terbuka dan oportunisme kekuasaan dari para politisi tersebut. Namun, pihak
kerajaan melakukan sebuah kesalahan pada masa tersebut dengan tidak
menganggap penting radikalisasi di Surakarta dan menganggap bahwa kekuasaan
di Surakarta dengan sah masih berada di tangan para raja yang bekerjasama
2
George Mc Turnan Kahin, 1995, Nasionalisme dan Revolusi di Indonesia, Surakarta: UNS Press hal. 178
3
Ben Anderson, 1988, Revoloesi Pemoeda. Pendudukan Jepang dan Perlawanan di Jawa,
commit to user
dengan tentara Jepang untuk membangun keamanan yang bersifat sementara.4
Lambannya kerajaan dalam menanggapi tuntutan dari para pejuang dan
pemerintah Republik menyebabkan Surakarta sangat lambat dalam pendirian
pemerintahan di bawah Republik daripada tetangganya di Yogyakarta. Walaupun
pihak kerajaan telah diberi pengakuan kedaulatan kekuasaan raja oleh pemerintah
RI namun pihak kerajaan terkesan sangat berhati-hati dalam menghadapi
kekuasaan Jepang. Lambannya usaha pihak kerajaan di Surakarta dalam
menegakkan kekuasaan republik dan perebutan senjata dari Jepang menyebabkan
pemerintah pusat RI campur tangan untuk membentuk Komite Nasional di
Surakarta.
Pada tanggal 11 September 1945 dibentuklah KNID Surakarta yang
diketuai oleh Mr. Soemodiningrat melalui sidang di Pendopo Woerjoningratan.
Soemodiningrat yang merupakan ipar Susuhunan dan bekas opsir PETA ini
dibantu oleh 9 orang dari elite agama, elite tradisional berpendidikan Barat dan
elite politik, dengan program melucuti senjata Jepang dan memindahkan
kekuasaan pemerintah Jepang ke tangan KNID.
Keberadaan KNID Surakarta mendapat dukungan dari segenap potensi
perjuangan rakyat, seperti Badan Keamanan Rakyat (BKR), Angkatan Muda
Tentara, Kelompok Delapan, Badan Pengawas dan Penyelidik Umum (BPU),
Hizbullah dan Gerakan Rakyat Indonesia (GRI). KNID sebagai pimpinan gerakan
revolusi di Surakarta harus menghadapi kekuatan Jepang yang terbagi dalam
Kooti Jimmu Kyoku (kekuatan sipil), Butai yang bersenjatakan lengkap, dan
Kenpetai.
4
Anthony Reid, 1987, Perjuangan Rakyat, Revolusi dan Hancurnya Kerajaan di Sumatera.
commit to user
Pada tanggal 30 September 1945, Soemodiningrat beserta wakilnya
Suprapto disertai Barisan Rakyat menemui H. Watanabe sebagai Kepala Koti
Jimmu Kyoku Chukan di gedung Balaikota. Pada pertemuan tersebut,
Soemodiningrat berhasil meyakinkan Watanabe agar bersedia menyerahkan
kekuasaan sipilnya kepada KNID Surakarta. Penyerahan kekuasaan ini
mengandung arti bahwa pemerintahan di Surakarta dikendalikan oleh KNID. Oleh
karena itu, pada tanggal 1 Oktober 1945 dibentuk Kantor Pusat Pemerintahan
Republik Indonesia (KPPRI) yang kemudian berubah menjadi Kantor Daerah
Pemerintah Republik Indonesia (KDPRI) sebagai nama baru dari Koti Jimmu
Kyoku. Pelaksanaan tugas sehari-hari di KDPRI diserahkan kepada Soeripto,
Soetopo, dan Soemantri.5
Pembentukan KDPRI sebagai pemegang kendali pemerintahan di
Surakarta telah menimbulkan perselisihan dengan pemerintah Swapraja. Pada
waktu itu di Surakarta terdapat dua pemerintahan double bestuur yaitu dari pihak
kraton dan pihak KNID Surakarta melalui KDPRI.
Revolusi sosial dan aksi-aksi kekerasan di Surakarta yang terjadi pada
masa revolusi merupakan bagian yang tidak bisa dielakkan dari kekacauan di
hampir semua kehidupan masyarakat. Kekerasan seperti itu merupakan bagian
dari konflik politik yang mewarnai hampir setiap waktu dalam perjalanan revolusi
Indonesia. Kekerasan yang muncul merupakan bagian dari pertentangan
kepentingan dari kekuatan-kekuatan politik yang semula ditandai dengan
pertentangan di antara idiologi kiri kemudian bergeser antara kekuatan kiri dengan
kekuatan kanan. Konflik ditandai pula dengan perebutan kekuasaan diantara
5
commit to user
kekuatan oposisi dengan kekuatan republik atau kompetisi diantara
kelompok-kelompok yang sedang beroposisi.6
Pada masa awal revolusi, konflik yang berkembang merupakan bentuk
perbedaan pendapat antara golongan muda yang radikal dengan golongan tua
yang moderat. Konflik itu memuncak pada peristiwa Rengasdengklok yang
merupakan sebuah bentuk tekanan dari golongan muda terhadap golongan tua
untuk memproklamasikan kemerdekaan Indonesia.7 Konflik pun masih berlanjut
ketika lembaga-lembaga negara mulai terbentuk. Isu-isu tentang kolabolator yang
diperankan sebagian nasionalis tua yang dituduhkan golongan muda terutama
Syahrir merupakan isu utama pada waktu itu. Syahrir menginginkan perubahan
pemerintahan presidensil menjadi setengah parlementer dengan indikasi kabinet
bertanggung jawab kepada parlemen. Setelah melalui sidang BP-KNIP dan
disetujui Presiden Soekarno, akhirnya pada 14 Oktober 1945 kabinet Syahrir
terbentuk yang kemudian dikenal dengan pemerintahan sayap kiri.8
Selama menjadi perdana menteri, Syahrir menghendaki arah revolusi
ditentukan dengan cara diplomasi yang luwes dan pintar untuk menghindarkan
Inggris dan Amerika memberikan dukungan penuh kepada Belanda. Visi Syahrir
ini secara cepat menimbulkan kekecewaan di kalangan pemuda. Dalam beberapa
minggu saja, kabinet Syahrir kehilangan dukungan pemuda. Arah serta gaya
politik Syahrir bertentangan dengan psikologi dari gerakan pemuda. Kekecewaan
dari para pemuda dan sebagian besar badan perjuangan kemudian dimanfaatkan
oleh seorang tokoh, yaitu Tan Malaka. Sejak awal revolusi, Tan Malaka sudah
6
Julianto Ibrahim, 2004, Bandit dan Pejuang di Simpang Bengawan, Wonogiri: Bina Citra Pustaka, hal. 154.
7
Sidik Kertapati, 1961, Sekitar Proklamasi 17 Agustus 1945, Jakarta: Pembaharuan, ha. 83.
8
commit to user
berambisi mengendalikan jalannya revolusi. Tokoh ini menawarkan suatu
kemerdekaan yang dekat dengan hati pemuda, yaitu revolusi total dengan
pengakuan kemerdekaan seratus persen. Ia kemudian berhasil membentuk
organisasi bernama ”Persatuan Perjuangan” yang menggambarkan tekad
perjuangan yang anti diplomasi dalam revolusi Indonesia. Dalam kongresnya
yang pertama di Solo, 14-15 Januari 1946, organisasi ini menetapkan kota
Surakarta sebagai pusat kegiatannya.9
Keberadaan Tan Malaka dan Persatuan Perjuangan telah menjadikan
revolusi sosial berupa gerakan anti swapraja yang radikal di Surakarta sebagai
bagian dari strategi untuk menggoyang pemerintahan Syahrir di Yogyakarta.
Gerakan-gerakan anti swapraja ini menyebabkan kedudukan keraton menjadi
sangat lemah dan sulit, sehingga status swapraja Surakarta dapat dengan mudah
diruntuhkan.
Penelitian dengan tema mengenai Komite Nasional Indonesia Daerah di
Surakarta menjadi hal yang menarik. Pada periode tahun 1945-1946 banyak terjadi
peristiwa penting antara lain adanya revolusi sosial di beberapa daerah termasuk di
Surakarta pada tahun 1946 serta mempertahankan kemerdekaan dari penjajahan
Belanda. Terbentuknya Komite ini mendapat dukungan dari berbagai badan
perjuangan rakyat sehingga setelah KNID Surakarta dibentuk, perpolitikan di
Surakarta memasuki masa baru dimana mulai muncul pergerakan politik yang
radikal. Selama awal kemerdekaan, KNID Surakarta harus melaksanakan tugas
penting yaitu melucuti dan memindahkan kekuasaan pemerintah Jepang ke tangan
pemerintah Indonesia melalui Komite ini. Program yang juga menjadi tujuan
9
commit to user
lembaga ini dibentuk tidaklah mudah untuk dijalankan mengingat situasi sosial dan
politik di Surakarta pada masa revolusi fisik cukup menegangkan, maka
bentuk-bentuk eksistensi dan peran dari lembaga ini dalam pergerakan politik di Surakarta
yang ditulis sebagai judul skripsi.
B.
Perumusan Masalah
Atas dasar Latar Belakang Masalah diatas, maka dapat dirumuskan
permasalahan sebagai berikut:
1. Bagaimana hubungan antara Komite Nasional Indonesia (KNID) Surakarta
dengan kekuatan pergerakan politik di Surakarta tahun 1945-1946?
2. Bagaimana peran Komite Nasional Indonesia Daerah (KNID) Surakarta
dalam pergerakan politik di Surakarta tahun 1945-1946?
C.
Tujuan Penelitian
Sesuai dengan perumusan masalah tersebut, adapun tujuan dari penelitian
adalah sebagai berikut.
1. Mengetahui hubungan antara Komite Nasional Indonesia (KNID) Surakarta
dengan kekuatan pergerakan politik di Surakarta tahun 1945-1946.
2. Mengetahui peran Komite Nasional Indonesia Daerah (KNID) Surakarta
dalam pergerakan politik di Surakarta tahun 1945-1946.
D.
Manfaat Penelitian
1. Memberikan pengetahuan tentang sejarah Surakarta pada awal
commit to user
Surakarta dalam pergerakan politik di Surakarta.
2. Dengan mengkaji Komite Nasional Indonesia Daerah (KNID) Surakarta,
maka dapat direkonstruksi Sejarah Revolusi yang terkait dengan kota
Surakarta.
E.
Kajian Pustaka
Dalam buku karya Julianto Ibrahim yang berjudul Bandit & Pejuang di
Simpang Bengawan, Kriminalitas dan Kekerasan Masa Revolusi di Surakarta
dengan penerbit Bina Citra Pustaka Wonogiri, banyak menggambarkan tindak
kekerasan di Surakarta yang diwarnai dengan peristiwa penggedoran, pencurian,
hingga penculikan yang terjadi di Surakarta. Kekacauan di Surakarta yang
menjadi wilayah anarki tidak terlepas dari peran serta badan-badan perjuangan
yang menginterpretasikan makna daulat dalam khasanahnya masing-masing
sehingga terjadi perubahan makna dari kedaulatan menjadi mendaulat.
Sejarah Revolusi Indonesia sering kali ditulis dan hanya berisikan kisah
tentang perjuangan bersenjata ataupun perjuangan diplomasi saja. Sementara
gejolak yang terjadi di kalangan para pejuang atau di antara laskar dalam masa
yang penuh heroik itu tak banyak diceritakan dalam buku-buku sejarah. Salah satu
soal dalam revolusi Indonesia dan berlanjut pada masa berikutnya adalah
keberadaan dan aktivitas para bandit, yang sebagian di antaranya pejuang dan
tergabung dalam beberapa kesatuan laskar. Dalam zaman yang terkadang disebut
zaman gegeran, serobotan, gedoran ataupun pendaulatan itu, para bandit justru
harus berhadap-hadapan dengan bangsa sendiri atau dengan para pejuang yang
commit to user
kriminal pun sering kali tidak dapat dihindari oleh mereka.
Membaca karya ini, dalam usaha membangun sejarah dari bawah
(grassroots history), kian bermakna terutama jika kita melihat revolusi Indonesia
dari sisi yang lain. Bandit yang menjadi pejuang atau pejuang yang menjadi bandit
adalah bagian dari dinamika revolusi itu sendiri dan seharusnya tidak diabaikan
begitu saja dalam sejarah Indonesia. Buku ini menunjukkan bahwa para bandit,
orang-orang yang tersingkirkan, dan orang-orang biasa lainnya ternyata bukan
hanya ikut menentukan arah dan jalannya revolusi Indonesia, mereka juga
sekaligus memberi watak pada revolusi itu sendiri. Penulisan ini lebih
menekankan terhadap gerakan rakyat dan pemuda dalam badan-badan perjuangan
sehingga mengabaikan peran bangsawan dan kerajaan yang pada masa sebelum
kemerdekaan merupakan kelompok politik terkuat.
Sebuah buku yang berjudul Dasar-dasar Teori Sosial karya James S.
Coleman dijelaskan bahwa dalam menyelidiki persoalan revolusi, para ilmuwan
sosial memusatkan perhatian pada masyarakat tempat revolusi benar-benar terjadi
dan memeriksa periode di masyarakat itu sebelum konflik. Tidak seperti biasanya,
jawaban-jawaban disusun dalam hubungannya dengan kondisi-kondisi struktural
stabil yang mengawali sistem-sistem sosial tertentu, bukan sistem-sistem sosial
yang lain, yang akan mengalami perubahan wewenang lewat revolusi atau
pemberontakan. Banyak teori revolusi memandang titik kritis dalam sebuah
perjuangan revolusioner sebagai titik ketika sistem-sistem wewenang yang ada
kehilangan legitimasi di mata rakyat atau segmen-segmen penting rakyat.
Ben Anderson dalam karyanya, Revolusi Pemoeda: Pendudukan Jepang
commit to user
Surakarta terjadi karena adanya perpaduan antara konflik politik nasional dan
konflik politik lokal yang ditandai dengan peningkatan kegiatan sosialis, komunis
hingga sindikalisme di Surakarta yang berujung pada perang antar kelas. Selain
itu Ben Anderson menggambarkan dengan baik situasi revolusioner yang melanda
kaum pemuda.
Nasionalisme dan Revolusi di Indonesia karya George Mc.T. Kahin juga
banyak menjadi referensi dalam penulisan penelitian ini. Dalam karyanya, di Bab
IV Kahin mengutarakan bagaimana dalam masa pendudukan Jepang (1942-1945),
suatu kesadaran politik yang kuat berkembang dalam masyarakat, dan terutama di
antara pemuda dan pelajar yang sebelumnya banyak yang bersifat apolitis. Sebelas
bab berikutnya secara rinci membahas revolusi Indonesia sampai dengan saat
kedaulatan Indonesia diakui pada bulan Desember 1949 dan terbentuknya Negara
Kesatuan pada 17 Agustus 1950.
Bab tentang Revolusi, Kahin menulis bahwa Soekarno memilih seorang
Gubernur untuk masing-masing Provinsi dari kalangan penduduk setempat, dan
KNIP memberi mandat kepada salah seorang anggota dari masing-masing daerah
untuk membentuk KNI (Komite Nasional Indonesia) di setiap provinsi guna
membantu para gubernur menjalankan pemerintahan. Terbentuklah KNI setempat
secara spontan di tingkat distrik maupu kotapraja. Selama suatu periode yang
lama, komite-komite setempat yang revolusioner bekerja menurut kekuatan
pemerintah yang sebenarnya di daerah masing-masing. Semula daerah-daerah itu
diatur menurut kehendak pemimpin setempat yang diakui, tetapi kemudian sejak
akhir bulan November diatur menurut suatu pola peraturan yang seragam.
commit to user
berdasarkan pemilihan setempat.
F.
Metode Penelitian
1. Metode
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode Sejarah.
Metode Sejarah merupakan proses mengumpulkan, menguji dan menganalisis
secara kritis rekaman-rekaman peninggalan pada masa lampau dan usaha-usaha
melakukan sintesa dari data-data masa lampau menandai kajian yang dapat
dipercaya. Penelitian ini adalah penelitian sejarah yang meliputi 4 tahapan10:
a. Heuristik
Adalah proses mencari dan mengumpulkan sumber-sumber sebagai data
yang relevan dengan masalah yang diteliti. Pencarian dan pengumpulan
sumber yang dilakukan yaitu sumber primer yang berupa
dokumen-dokumen arsip baik itu arsip lokal atau surat kabar yang sejaman. Selain itu
juga data-data yang diperoleh berasal dari arsip koleksi Perpustakaan Rekso
Pustaka Mangkunegaran.
b. Kritik Sumber, terdiri dari kritik Intern dan ekstern
Kritik Intern merupakan kritik yang meliputi tulisan, kata-kata, bahasa dan
analisa verbal serta tentang kalimat yang berguna sebagai validitas sumber
atau untuk membuktikan bahwa sumber tersebut dapat dipercaya.
Sedangkan kritik ekstern meliputi material yang digunakan guna mencapai
kredibilitas sumber atau keaslian sumber tersebut. Dari hasil-hasil sumber
yang berhasil dikumpulkan adalah dokumen asli bahwasanya
10
commit to user
sumber itu sebagian berbahasa Indonesia lama. Kondisi dari data yang
mudah rusak karena bahan kertasnya sudah berusia sangat tua sehingga
mudah rapuh dan sobek. Terkadang tulisan yang berupa tulisan tangan
sebagian ada tinta yang luntur sehingga susah untuk dibaca. Memilih dan
memilah sumber-sumber yang akan dijadikan data, karena tidak semua arsip
yang ditemukan dapat dijadikan sebagai data.
c. Interpretasi/ penafsiran
Yaitu menafsirkan keterangan-keterangan yang saling berhubungan dengan
fakta-fakta yang diperoleh. Setelah melakukan kritik baik itu kritik intern
maupun ekstern, maka usaha yang dilakukan adalah menjelaskan apa yang
telah diperoleh dari data dokumen itu dengan pemikiran dan analisa.
d. Historiografi
Historiografi atau penulisan sejarah, yaitu menyampaikan sumber yang
diperoleh dalam bentuk kisah sejarah atau penulisan sejarah. Kemudian
menceritakan apa yang telah ditafsirkan dalam penyusunan kisah sehingga
menarik untuk dibaca. Penulisan dan penyusunan kisah dengan kata-kata
dan gaya bahasa yang baik bertujuan supaya pembaca mudah memahami
maksudnya dan tidak membosankan.
2. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data merupakan suatu langkah yang harus
digunakan dalam mengadakan sutu penelitian. Adapun teknik yang digunakan
dalam penelitian ini adalah:
a. Studi Dokumen
commit to user
berupa sumber tertulis dan sejaman. Dari dokumen terdapat fakta-fakta sejarah
serta bahan yang akan ditulis. Dokumen mempunyai nilai otentik dan dapat
dipercaya.11 Dokumen sebagai sumber utama dalam penelitian. Untuk
memantapkan nilai suatu dokumen terhadap pengguanannya dalam ilmu
sejarah, perlu diadakan langkah-langkah sebagai berikut: pengumpulan objek
yang berasal dari jaman itu, pengumpulan bahan-bahan tercetak, tertulis
misalnya surat kabar terbitan sejaman, dokumen tertulis, peraturan-peraturan,
surat keputusan, laporan-laporan pemerintah, arsip pribadi yang belum
diterbitkan, surat-surat keluarga dan catatan perjalanan.
Adapun data yang digunakan dalam penelitian ini antara lain data
berupa Arsip dan Koran, antara lain Arsip Penyerahan pemerintahan Kooti
Jimu Kyoku Tyokan kepada KNIDS, Solo, Mangkunegaran: Arsip berupa
berkas masalah Jepang tahun 1945; Piagam Penetapan Presiden RI, Solo,
Mangkunegaran: Arsip Rekso Pustoko tahun 1946; Kutipan koran
“Kedaulatan Rakyat”, 4 Juni 1946: Masalah kedudukan KNI Surakarta (Arsip
Rekso Pustaka).
b. Studi Pustaka
Studi pustaka dilakukan di Perpustakaan Pusat UNS, perpustakaan
Fakultas Sastra dan Seni Rupa UNS, Reksa Pustaka Mangkunegaran,
Monumen Pers, dan Perpustakaan Daerah. Dalam studi pustaka ini berhasil
dihimpun buku-buku, artikel-artikel serta terbitan-terbitan lain yang secara
langsung menulis tentang masalah yang sesuai dengan topik permasalahan.
11
commit to user
3. Teknik Analisa Data
Teknik analisis data sangat terkait dengan metode dan pendekatan.
Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan sosial & politik sehingga dapat
memisahkan proses-proses politik yang terjadi dan berkaitan dengan situasi sosial
di Surakarta. Studi ini bukan hanya menggambarkan apa dan kapan peristiwa
Sejarah itu terjadi, tapi juga mengidentifikasi masalah bagaimana dan
faktor-faktor apa yang menyebabkan peristiwa itu terjadi. Penggunaan pendekatan sosial
dimaksudkan untuk mengungkap kualitas terhadap data-data dan fakta-fakta yang
ada, sebab peristiwa yang satu mempunyai keterkaitan dengan peristiwa yang lain.
Analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif analitis.
Deskriptif analitis artinya menggambarkan suatu fenomena beserta ciri-cirinya
yang terdapat dalam fenomena tersebut berdasarkan fakta-fakta yang tersedia.
Setelah itu dari sumber bahan dokumen dan studi kepustakaan, tahap selanjutnya
adalah diadakan analitis, diinterpretasikan, dan ditafsirkan isinya. Data-data yang
telah diseleksi dan diuji kebenarannya itu adalah fakta-fakta yang akan diuraikan
dan dihubungkan sehingga menjadi kesatuan yang harmonis, berupa kisah sejarah
yang dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya.12
Selain itu teknik yang digunakan untuk menganalisa data penelitian ini
adalah analisa historis. Analisa untuk mencari hubungan sebab akibat dari suatu
fenomena historis pada ruang dan waktu tertentu. Tujuan dari teknik ini adalah
agar penelitian ini tidak hanya menjawab apa, kapan, dan di mana peristiwa ini
12
Nugroho Notosusanto, Masalah Penelitian Sejarah Kontemporer, Jakarta: Yayasan Indayu,
commit to user
terjadi namun juga menjelaskan gejala sejarah sebagai kausalitas. Analisa ini
kemudian disajikan dalam bentuk penulisan diskriptif.
G.
Sistematika Skripsi
Skripsi ini disusun bab demi bab untuk memberikan gambaran yang
terperinci. Penyusunan ini dilandasi keinginan agar skripsi ini dapat menyajikan
gambaran yang menunjukkan suatu kontinuitas perkembangan kejadian yang
berurutan.
Bab I merupakan bab Pendahuluan yang berisi tentang latar belakang
masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, kajian
pustaka, metode penelitian, teknik pengumpulan data, teknik analisa data dan
sistematika skripsi.
Bab II berisi tentang akar-akar gerakan radikal di Surakarta sebelum
Revolusi 1945. Terbagi dalam tiga masa yaitu masa pergerakan dengan
munculnya Boedi Oetomo dan Sarekat Islam. Masa aksi dimulai banyaknya
gerakan radikal komunisme kemudian munculnya Insulinde. Masa pendudukan
Jepang dengan terbentuknya laskar perjuangan salah satunya gerakan Hizbullah.
Bab III membahas kondisi sosial politik Surakarta pada masa Revolusi
Fisik 1945. Berpindahnya ibukota dari Jakarta ke Yogyakarta menyebabkan ikut
berpindah pula kekuatan-kekuatan oposisi dari Jakarta ke daerah pedalaman. Kota
yang dianggap tepat untuk basis oposisi adalah kota “saingan” Yogyakarta, yaitu
Surakarta. Kota Surakarta juga menjadi basis kelompok oposisi seperti Persatuan
Perjuangan dan Barisan Banteng. Setelah adanya Maklumat dari Pakubuwono XII
commit to user
istimewa dari pemerintah pusat RI. Status sebagai daerah istimewa tersebut
kemudian mengundang berbagai konflik sosial politik di Surakarta.
Bab IV akan menguraikan tentang pembentukan Komite Nasional
Indonesia Daerah (KNID) Surakarta. Berbagai peranan KNID Surakarta juga
tampak dalam pergerakan politik di Surakarta pada tahun 1945-1946. Di awal
pembentukannya, KNID Surakarta mampu menjalankan tugasnya dan mendapat
keberhasilan secara gemilang dengan melucuti kekuasaan Jepang di Surakarta.
Terjadinya krisis kekuasaan awal kemerdekaan langsung dapat dipecahkan
melalui komite tersebut sebagai semacam lembaga perwakilan rakyat daerah.
Awal tahun 1946, muncul gerakan revolusioner menentang adanya status daerah
istimewa di Surakarta. Gerakan tersebut banyak dimotori anggota KNID
Surakarta beserta organisasi pergerakan politik lainnya. Hubungan antara
kekuatan pergerakan politik dengan KNID Surakarta juga dibahas dalam bab ini.
Bab V merupakan kesimpulan dari semua isi dan penjelasan dalam
commit to user
18
BAB II
AKAR-AKAR RADIKALISME SURAKARTA SEBELUM
REVOLUSI 1945
A. Radikalisme Surakarta dalam masa Pergerakan 1908-1911
1. Terbentuknya Organisasi Boedi Oetomo
Periode akhir abad XIX dan awal abad XX merupakan periode awal
pertumbuhan modernisasi masyarakat bumi putera. Modernisasi dalam hal ini
diartikan sebagai hasrat untuk mencapai kemajuan dengan menuntut pelajaran dan
pendidikan, terutama pendidikan model Barat. Dalam tubuh masyarakat bumi
putera mulai saat itu telah tumbuh kesadaran diri akan ketertinggalan kebudayaan
jika dibandingkan dengan bangsa Belanda yang ketika itu sebagai penjajah.
Buktinya adalah semakin banyak anak yang mengunjungi sekolah untuk menuntut
ilmu pengetahuan dan teknik, makin banyak penduduk pribumi yang mencari
kesempatan untuk mendapatkan pendidikan modern. Hal itu semakin meningkat
setelah digelindingkannya politik etis di Hindia Belanda yang salah satu
programnya adalah pengembangan pendidikan bagi kalangan bumi putera. Gejala
itu menjadi tanda bahwa masyarakat berkembang ke arah kesadaran nasional.
Paham-paham baru mulai berlaku, timbul keberanian meninggalkan tradisi kuno,
dan adanya dorongan yang semakin kuat untuk memperoleh kemajuan.1
Boedi Oetomo sebagai suatu organisasi pergerakan nasional pertama
didirikan atas dasar tuntutan kemajuan itu. Tuntutan kemajuan yang direfleksikan
1
commit to user
dalam bentuk suatu organisasi itu sebenarnya sebagai suatu jawaban terhadap
penetrasi Barat dengan imperialisme dan kapitalismenya. Aspirasi nasional itu
tidak hanya timbul sebagai reaksi terhadap isolasi ekonomis dan sosio-kultural
yang diciptakan oleh politik kolonial Barat, tetapi juga karena dorongan kuat
untuk menjunjung tinggi derajat bangsa.
Gagasan untuk mendirikan suatu perkumpulan yang sifatnya umum di
Jawa ini mendapat persetujuan dan pengikut dari kalangan pelajar sekolah-sekolah
menengah, yaitu sekolah pertanian dan sekolah kehewanan di Bogor, sekolah
Menak di Magelang, dan Probolinggo, Burgeravondschool di Surabaya dan
sekolah-sekolah guru di Bandung dan Jogjakarta. Penerimaan anggota dibatasi
dan yang diterima hanya mereka yang mempunyai keinsyafan dan antusiasme
untuk mendukung dan memencarkan ide itu. Walaupun tidak dilakukan
propaganda secara besar-besaran dalam satu triwulan jumlah anggota sudah
mencapai 650 orang, diantaranya yang paling banyak kaum terpelajar, pamong
praja, dan wiraswasta.2
Pada awal aktivitasnya Boedi Oetomo merumuskan tujuannya secara
samar-samar, yaitu kemajuan bagi Hindia. Anggotanya juga masih terbatas.
Tetapi munculnya organisasi ini telah menarik khalayak ramai, karena itu dalam
waktu singkat antara bulan Mei sampai Oktober 1908 cabang-cabang Boedi
Oetomo telah berdiri di Jakarta, Bogor, Bandung, Magelang, Surabaya,
Probolinggo, dan Yogyakarta.
Sesudah pengunduran diri Soerjosoeparto sebagai ketua umum Boedi
Oetomo, maka seorang guru dari Yogyakarta, M.Ng. Dwidjosewojo, dipilih
2Ibid,
commit to user
sebagai pejabat ketua selama beberapa bulan sampai kongres tanggal 8-9 Juli
1916 di Surabaya ketika R.M. Woerjaningrat, rekan terpimpin sebuah kelompok
anti-Belanda yang kuat dalam keraton Susuhunan, terpilih sebagai ketua.
Woerjaningrat adalah Bupati Nayaka atau Bupati Pertama di Surakarta dan anak
tiri Susuhunan Paku Buwono X. Di bawah pimpinan Woerjaningrat pemindahan
kepemimpinan pengurus pusat Boedi Oetomo dari Yogyakarta, yang telah dimulai
sejak pengunduran diri Notodirodjo pada tahun 1914, menjadi mantap. Sekitar
tahun 1918 Surakarta juga berada di garis depan pada tingkat cabang. Secara
nasional jumlah cabang telah meningkat dari 40 pada akhir 1909 menjadi 51 pada
tahun 1918, sedangkan jumlah anggotanya telah menurun dari sekitar 10.000
menjadi 3.914. Hal ini mencerminkan kenyataan bahwa Boedi Oetomo adalah
partai elite yang kecil dan berpengaruh, dan bukan partai massa.
Boedi Oetomo juga menciptakan dan menyebarkan pengaruhnya di
Surakarta. Organisasi ini berhasil menarik simpati para priyayi dan berusaha
mencari kemajuan-kemajuan lewat pengajaran, tapi sayangnya sentuhan Boedi
Oetomo hanya terbatas lapisan atas, sehingga tidak populer di kalangan
masyarakat bawah terutama petani.
2. Terbentuknya Organisasi Sarekat Islam
Organisasi lain yang muncul di Surakarta dan berpengaruh dalam
kehidupan masyarakat ialah Sarekat Dagang Islam atau Sarekat Islam (1911). SDI
didirikan Haji Samanhudi dilatarbelakangi unsur-unsur ekonomis dan agama.
Secara ekonomis, pendirian organisasi ini sebagai counter terhadap pedagang
commit to user
terancam kemundurannya di bidang perbatikan. Persatuan antar muslim di
Surakarta yang mulanya bersifat ekonomis ini berkembang menjadi persatuan
antar sesama penganut Islam yang sudah waktunya menunjukkan kekuatannya di
panggung politik nasional. Berkembangnya SI ke berbagai daerah membuktikan
daya kekuatan Pan Islamisme yang mendasari ideologi organisasi itu. SI tidak
hanya diikuti kalangan intelektual saja, tetapi oleh rakyat secara luas. SI
merupakan pencerminan gerakan rakyat dari para pedagang Indonesia melawan
kekuatan kelas menengah Cina.3 Gerakan SI dapat mengisi kelemahan Boedi
Utomo yang tidak dapat menjangkau massa kalangan rakyat bawah.
Penghapusan pada masa awalnya kata “dagang” dari nama sarekat ini
mencerminkan berkurangnya faktor ekonomi dibandingkan dengan faktor agama
dan nasionalisme Jawa yang memainan peranan yang lebih besar. Perhimpunan
baru ini segera meluas dalam jenis kegiatannya yang beraneka ragam. Di samping
boikot anti-Cina, Sarekat Islam dengan cepat mengembangkan rencananya untuk
bergerak di bidang perdagangan, mendirikan sekolah Islam, dan menerbitkan
sebuah surat kabar harian yang murni berbahasa Jawa. Nasionalisme Jawa ini
muncul karena berbagai macam faktor, termasuk pula faktor komersial dan
pertentangan etnis terhadap orang Cina, sentimen anti-Eropa, dan perlawanan
terhadap upaya untuk memodernisasi dan mengubah masyarakat. Popularitas
Sarekat Islam di Surakarta juga sebagian besar berpangkal dari permulaannya
sebagai suatu perkumpulan rahasia yang berfungsi sebagai perhimpunan amal dan
protektif.4
3
WF. Wertheim, 1956, Masyarakat Indonesia dalam Transisi: Studi Perubahan Sosial, Bandung: Van Hoeve, hal. 184..
4
commit to user
Karena nasionalisme Jawa ini pada hakekatnya merupakan reaksi terhadap
dominasi orang asing dan campur tangan yang semakin banyak dalam adat istiadat
Jawa, adalah wajar apabila Sarekat Islam Surakarta cenderung mencari dukungan
pada Susuhunan dan pembesar di sekelilingnya dan melawan pegawai-pegawai
yang lebih banyak dipengaruhi oleh pemerintah Hindia-Belanda.
Bertentangan dengan Budi Utomo, Sarekat Islam merupakan organisasi
yang cepat berkembang di lingkungan masyarakat bawah. Terlepas dari
kedudukan Sultan sebagai panatagama atau Kepala Agama Islam, Sunan sangat
berhubungan erat dengan Sarekat Islam yang berhaluan Islam. Akan tetapi
kerjasama Sarekat Islam dengan elite istana berakhir karena faktor eksternal yang
berupa tekanan dan campur tangan pemerintah kolonial, sedangkan faktor internal
berupa penggeseran kepemimpinan. Dalam kongres Sarekat Islam lokal pada
bulan April 1914, Cokroaminoto menggantikan H. Samanhudi sebagai anggota
pusat Sarekat Islam. Hal ini berarti hilangnya rasa hormat terhadap elite istana.
Sejak inilah gerakan Sarekat Islam makin radikal karena anggotanya banyak yang
berasal dari golongan bawah.
Radikalisme Sarekat Islam terlihat jelas pada masa 1920-an. Gerakan
Sarekat Islam sampai di pedesaan Surakarta di bawah kepemimpinan Cipto
Mangunkusumo, H. Misbach, Suryopranoto, dan lain-lain. Tokoh-tokoh ini
merupakan tokoh-tokoh agitator yang cukup pandai. Pengaruhnya cukup
mendalam dan meluas di Surakarta. Namun pada masa 1920-an itu,
perkembangan Sarekat Islam mengalami dualisme, di satu sisi ada Sarekat Islam
Putih, dan di sisi lain ada Sarekat Islam Merah. Sarekat Islam Putih bersifat Islami
commit to user
yang memang telah merasuki tanah air melalui organisasi ISDV dipimpin Hendrik
Snevliet dengan beberapa tokoh komunis lokal. Dengan masuknya pengaruh
komunis di dalam Sarekat Islam menambah keradikalannya. Berbagai peristiwa
politik dan sosial di daerah Klaten sekitar tahun 1920, misalnya pemogokan buruh
merupakan hasil agitasi politik Sarekat Islam secara nyata di pedesaan dalam
melawan kekuasaan asing. Di kalangan Sarekat Islam Merah banyak menuntut
reorganisasi agraris yang menyangkut soal tanah, sehingga masyarakat pedesaan
yang sudah lama mengalami ekstraksi sosial-ekonomi oleh kolonial bersikap
anti-Belanda, anti-gubernemen, dan anti-kapitalis. Kondisi ini sejalan dengan
pandangan Haji Misbach tentang apa yang diistilahkan sebagai ”Islam Abangan”,
yang diartikan: ”Islam” adalah ”prajurit”, dan ”Abangan” adalah ”bendera
merah”. Oleh sebab itu ”Islam Abangan” menandakan ”prajurit yang berani”,
seperti yang dikatakannya saat pidato di desa Kateguhan (subdistrik Sawit) 2 Mei
1920.5
B. Radikalisme Surakarta pada masa Aksi
1. Gerakan Radikal Komunisme di Surakarta
Gerakan radikal kemudian bergeser dari Sarekat Islam kepada
organisasi-organisasi berhaluan kiri. Dalam sejarah Surakarta suatu tonggak penting adalah
tahun 1918 ketika munculnya suatu gerakan radikal yang menentang kedua istana,
perusahaan perkebunan dan gubernemen. Peristiwa ini merupakan awal dari
tahun-tahun yang bergejolak di kalangan sebagian rakyat jelata Kasunanan dan
5Ibid.,
commit to user
Mangkunegaran dari istana kerajaannya. Di samping masyarakat petani, gerakan
ini juga menyusupi kalangan pegawai pribumi, polisi dan militer. Gerakan ini
mendapat beberapa penganut di kalangan aristokrasi dan bangsawan. Pada masa
puncaknya, pada tahun 1920 gerakan ini mempunyai 50.000 pengikut dan boleh
dikatakan merasuki semua perkebunan di karesidenan ini. Walaupun gerakan ini
akhirnya ditumpas oleh gubernemen, ia telah meninggalkan warisan yang merintis
jalan untuk gerakan komunis.6
Alasan dasar yang dikemukakan oleh para pemimpin radikal adalah bahwa
gerakan mereka timbul karena suatu reaksi terhadap kesulitan yang sangat besar di
kalangan ekonomi. Di samping itu faktor-faktor utama yang sesungguhnya
mencetuskan gerakan ini adalah kehadiran beberapa pemimpin yang sangat
bersemangat, terjadinya suatu bencana alam (wabah pes), kekesalan terhadap
tindakan gubernemen menghadapi bencana ini, dan ketidakpuasan terhadap
reorganisasi agraria yang dijalankan gubernemen.
Permasalahan bermula dari menjalarnya wabah pes pada bulan Maret
1915. Wabah ini dianggap sebagai bencana alam yang secara tradisional dianggap
sebagai pertanda berakhirnya dinasti raja.7 Upaya Belanda dalam memberantas
penyakit ini dengan mengambil beberapa tindakan, namun ironisnya, upaya dari
Pemerintah justru meninggalkan jejak kekecewaan dan kemarahan yang
membekas di hati masyarakat. Misalnya dua dokter Belanda melakukan
multipunctie (mengambil sampel dari limpa yang diteliti), suatu praktek yang
sangat memalukan dan menghina perasaan keagamaan. Kemarahan ini berlanjut
dengan keresahan akan program perbaikan rumah pada saat masyarakat tidak
6Ibid
, hal 131.
7
commit to user
mampu membiayai perbaikan tersebut.8 Perbaikan ini berjalan di atas
perekonomian yang sangat merosot. Laporan-laporan pada saat itu menyebutkan
bahwa pada masa-masa tahun 1918 dan 1920 merupakan masa yang sulit.
Kesulitan dapat diidentifikasikan dengan inflasi dan biaya hidup yang
membumbung tinggi disaat gaji tetap. Hasil pertanian tidak mampu mencukupi isi
perut alias makan.9
Revolusi di Surakarta pada dasarnya bersifat radikal. Hal ini dikarenakan
adanya sifat mudah memberontak di daerah ini yang dimulai sejak zaman
penjajahan. Sebelum perang di Surakarta sudah ada tradisi melakukan protes yang
sifatnya politik. Di kota misalnya oleh tokoh-tokoh seperti Tjipto Mangunkusumo
dan Haji Misbach, dan di daerah pedesaan oleh PKS (Pakempalan Kawula
Surakarta) maupun oleh gerakan-gerakan Ratu Adil.10 Baik Tjipto maupun
Misbach dengan sukses telah memberikan pimpinan dalam gerakan protes yang
dilakukan oleh kaum tani kebun tebu dari pabrik gula Klaten terhadap penguasa
kolonial. Gerakan-gerakan tersebur makin lama semakin menjauh dari kraton,
karena Sunan dan Mangkunegoro tidak lagi dianggap sebagai pemegang
kekuasaan menurut adat, melainkan sebagai agen dari kaum penjajah yang
mengeksploitasi rakyat, sebagian karena mereka (tidak seperti Sultan dan Paku
Alam) juga memiliki pabrik-pabrik gula.11
Kesulitan-kesulitan telah meggerakkan aksi-aksi radikal yang dipimpin
Haji Muhammad Misbach dan Dr. Tjipto Mangunkusumo. Menurut Shiraisi, Haji
Muhammad Misbach dapat diibaratkan sebagai "sang mubalich" dalam
R.T. Muhammad Husodo Pringgokusumo, 1982, Ringkasan Disertasi Dr. Soejatno Kartodirjo:
Revolusi di Surakarta tahun 1945-1950, Surakarta: Rekso Pustoko, hal. 2.
11
commit to user
hubungannya dengan aksi-aksi radikal di Surakarta. Misbach lahir di Kauman
Solo pada tahun 1876. Misbach menegaskan, "tanah bukan milik Susuhunan atau
Gubernemen tetapi berasal dari nenek moyang kita dan kita harus mencari jalan
untuk memperolehnya kembali". Kebencian terhadap kraton terutama ditunjukkan
oleh Tjipto. Kritik-kritik Tjipto terhadap Kraton sangat pedas terutama ditujukan
kepada Sunan dan Nasionalisme Jawa.
Di Surakarta ciri khas dari gerakan komunis adalah usahanya yang tekun
untuk memadukan marxisme dengan Islam. Tokoh yang menyemaikan gagasan
ini adalah H. Misbach yang sebelumnya telah menggunakan agama dengan mahir
untuk mencetuskan bergeloranya gerakan radikal. Corak komunisme Islam yang
dianut Misbach adalah suatu percampuran antara Muhammad, Marx dan wawasan
abangan tradisional. Argumen dasar dari Misbach adalah bahwa semua penyakit
sosial, ekonomi dan spiritual yang diderita oleh masyarakat Hindia Belanda
disebabkan oleh sistem kapitalis di seluruh dunia yang secara tidak manusiawi
menindas dan memeras rakyat jelata. Gubernemen, para kapitalis, raja
bumiputera, arsitokrasi, bahkan orang muslim yang kaya raya semuanya
merupakan bagian dari sistem penindasan dan ketidakadilan yang berlaku
dimana-mana. Oleh karena itu, kelompok yang menikmati kekayaan dengan ketidakadilan
tersebut harus disingkirkan.12
"Ajaran" Misbach ini telah menggerakkan para anggota Sarekat Rakyat
maupun anggota komunis lainnya untuk melakukan tindakan-tindakan teroris
kecil-kecilan di Surakarta pada bulan-bulan awal tahun 1923. Aksi-aksi tersebut
bertujuan mengganggu jalannya pemerintahan dan ketenangan masyarakat seperti
12Ibid
commit to user
sabotase jalan kereta api, pelemparan bom terhadap mobil pejabat maupun keraton
dan pembakaran terhadap rumah orang kaya.13 Pemerintah kemudian bertindak
dengan menangkap Misbach beserta beberapa pengikutnya pada bulan Oktober
1923 dan kemudian dibuang ke Manokwari pada tahun 1924.
Hubungan antara pimpinan Misbach dalam politik pedesaan di Surakarta
dengan permulaan dari gerakan komunis lebih jelas. George D. Larson dalam
Disertasinya menjelaskan bahwa gerakan komunis di Surakarta timbul tidak lama
sesudah Haji Misbach dikeluarkan dari penjara Pekalongan pada bulan Agustus
1922, dan tenggelam setelah pemberontakannya yang terkenal dalam bulan
November 1926 menemui kegagalan.14
Pengaruh yang kuat dari agitasi yang dilakukan oleh Misbach di daerah
perkebunan menimbulkan kesadaran politik diantara petani, sehingga mereka
matang untuk menerima ide-ide dari organisasi-organisasi yang berafiliasi dengan
kaum komunis dalam masa revolusi. Sesungguhnya selama zaman kolonial
Belanda selalu ada keresahan yang bersifat laten di perkebunan-perkebunan
tebu.15
Setelah kepergian Misbach, tekanan-tekanan pemerintah terhadap
kekuatan radikal yang tergabung dalam PKI, Sarekat Rakyat, Moe'alimin dan
beberapa organisasi berhaluan komunis lainnya semakin intensif. Pemerintah
semakin giat melakukan penangkapan-penangkapan terhadap aktivis-aktivis
organisasi radikal ini. Tindakan penangkapan dan penekanan yang dilakukan
pemerintah menyebabkan muncul aksi-aksi balasan yang bersifat kriminal.
13
Van der Marel, Memorie van Overgrave 1924, hal. 106-107
14
George D. Larson, 1979, Prelude to Revolution: Palace and Politics in Surakarta 1912-1942, Tesis dari Northern Illinois University, hal. 230.
15
commit to user
Tindakan kejahatan tersebut diorganisasikan oleh kekuatan radikal seperti PKI
maupun Sarekat Rakyat baik di perkotaan maupun pedesaan untuk mengacaukan
dan mengganggu keamanan. Beberapa tindak kejahatan tersebut mencapai
puncaknya pada tahun 1926 dan 1927 yang merupakan aksi pemberontakan kaum
komunis terhadap pemerintah. Pemberontakan ini tidak hanya berlangsung di
Surakarta tetapi terjadi juga di Jawa Barat dan Sitiung Sumatra Barat.
2. Munculnya Insulinde di Surakarta
Munculnya Misbach sebagai mubaligh terkemuka dan kembalinya Tjipto
sebagai anggota volksraad ternyata menjadi faktor utama bangkitnya Insulinde di
Surakarta. Dalam konteks pergerakan-pergerakan di Surakarta, Insulinde adalah
front persatuan kekuatan-kekuatan oposisi untuk melawan kekuasaan priyayi
(kraton) yang mengendalikan Budi Utomo dan kekuasaan keagamaan serta
pedagang batik Laweyan yang mengendalikan SI Surakarta.
Insulinde Surakarta merupakan front persatuan kaum pinggiran, yaitu
orang-orang partikulir, muslim reformis, dan buruh-buruh, dalam hierarki sosial
Surakarta. Dengan kehadiran Insulinde yang berhasil memobilisasi petani
pedesaan Surakarta, keresahan petani di pedesaan menjadi meningkat. Mobilisasi
petani itu memicu bangkitnya radikalisasi petani yang ternyata di luar kendali
pemimpin Insulinde Surakarta. Gerakan komunis merupakan pertumbuhan
langsung dari gerakan radikal ini dan mengadakan perlawanan terhadap kraton,
gubernemen dan perusahaan perkebunan.16 Insulinde Surakarta berhasil
mengubah dirinya menjadi perkumpulan bumiputra yang besar, sementara
16
commit to user
pemimpin pusat Insulinde terutama di pusat pemerintahan dan komersial seperti
Surabaya, Bandung, dan Batavia sebagian besar didominasi orang Indo.
Insulinde dengan ciri nasionalis Hindia-nya sampai pertengahan tahun
1918 masih didominasi golongan konservatif, Galestien sebagai ketuanya dan
Soetadi sebagai sekretaris. Tampilnya kembali Tjipto sebagai pemimpin
pergerakan mulai terasa saat itu. Oleh karena itu ia ditunjuk oleh Gubernur
Jenderal menjadi anggota Volksraad. Meskipun ia belum jadi anggota komite
sentral Insulinde, ia mulai hadir dalam pertemuan bestuur afdeling secara teratur
dan mulai menerbitkan organ Insulinde berbahasa Jawa, Panggoegah, tiga kali
sebulan.17
Kekuatan penentang SI Surakarta banyak bergabung dengan Insulinde
Surakarta sebelum vergadering umum pada April 1919. Keanggotaan ganda di SI
dan Insulinde pada masa itu bukan sesuatu yang aneh. Meskipun Insulinde adalah
perkumpulan yang bekerja demi ”Hindia untuk orang Hindia” tanpa pandang ras
dan agama, sedangkan SI adalah perkumpulan muslim Hindia. Perbedaan
keduanya tidak ideologis. Kehadiran orang-orang Insulinde di tubuh SI
membuktikan bahwa cita-cita Insulinde membangun Hindia merdeka juga ada di
kalangan anggota SI.
Beberapa anggota SI bertahan untuk tidak bergabung dengan Insulinde
karena Insulinde dianggap sebagai perkumpulan orang Indo. Hal ini tidak berlaku
di Surakarta setelah Tjipto direhabilitasi dan mulai menerbitkan organ Insulinde
berbahasa Jawa, Panggoegah. Dalam organ tersebut, Tjipto dengan bahasa
sederhana membicarakan dan mempertajam berbagai isu mulai dari cepatnya
17
commit to user
perubahan dunia sampai ke isu-isu yang dibicarakan di Volksraad, seperti
kekurangan pangan akibat tertundanya impor beras dari Hindia Inggris (Birma),
pengurangan penanaman gula tebu untuk meningkatkan produksi bahan pangan,
dan pembentukan dewan kota praja dan dewan desa. Semua ini membuat Tjipto
dipandang sebagai sumber inspirasi intelektual penting oleh aktivis SI yang
radikal, dan di mata mereka Insulinde Surakarta lekat dengan sosok Tjipto.18
C. Radikalisme Surakarta pada masa Jepang
1. Terbentuknya Laskar-laskar Perjuangan
Pada masa pendudukan Jepang di Surakarta banyak terbentuk berbagai
kesatuan perjuangan yang disebut sebagai badan-badan kelaskaran. Laskar-laskar
ini terbentuk secara cepat dan berasal dari berbagai unsur sosial.
Kelompok-kelompok yang telah ada sebelumnya menyatukan diri menurut kepentingan
revolusi dengan nama dan keanggotaan yang cenderung bersifat faksional.
Misalnya kelompok pemuda mengorganisasikan diri mereka, kelompok eksponen
tentara masa Jepang, kelompok politik, dan sebagainya.
Laskar-laskar yang terbentuk antara lain Barisan Laskar Banteng (BLB)
yang berseragam hijau di bawah pimpinan Dr. Muwardi, para anggotanya ada
yang berasal dari Gerakan Suisintai dan kelompok pemuda lainnya misalnya
kelompok delapan. Pemuda Sosialis Indonesia atau yang dikenal dengan
PESINDO terbentuk dengan para anggotanya yang banyak berasal dari golongan
pemuda yang berhaluan ideologi kiri radikal di bawah pimpinan Sukarno. Badan
18
commit to user
Pemberontak Republik Indonesia (BPRI) yang sebenarnya berpusat di Surabaya
di bawah Bung Tomo, di Surakarta dipimpin oleh Gunarjo. Selanjutnya Laskar
Rakyat yang memakai seragam berwarna kuning dipimpin oleh Iskandar
Kusumodirdjo, Hizbullah di bawah pimpinan Munawar dan sebagainya, terutama
dari kalangan rakyat terpelajar.
Para pelajar di Surakarta terorganisir dalam beberapa kelaskaran di
antaranya Pasukan Satria, Barisan Polisi Istimewa Sekolah Menengah Tinggi, dan
BPRI. Selain itu ada Laskar Kere di bawah pimpinan Achmadi, Laskar Barisan
Pemuda Jelata di bawah pimpinan Prakosa, dan Laskar Garuda di bawah Masuri.
Kedua laskar yang terakhir ini kemudian berhimpun dan di bawah komando
Markas Besar TP Pusat di Yogyakarta dan bukan di bawah IPI Pertahanan.19
Para pelajar yang tergabung dalam kesatuan kelaskaran pelajar terkenal
dengan sebutan Tentara Pelajar (TP) dengan tokoh-tokohnya Prakosa, Soebroto,
dan Achmadi. Pusat Komando TP berada di Yogyakarta. Pada masa awal
Revolusi TP berperan besar, baik di bidang militer, politik maupun sosial.
Terbentuknya laskar-laskar pelajar tersebut mendukung sekali jalannya revolusi di
Surakarta. Di kota Surakarta dibentuk komando Militer Kota oleh para elite
militer dan TP untuk menjaga stabilitas dan keamanan kota. Disini tokoh-tokoh
pelajar berperan penting, misalnya Prakosa, A. Latief dan Achmadi.
Di daerah pedesaan juga dibentuk kesatuan-kesatuan kelaskaran yang
berfungsi memobilisasi kekuatan rakyat desa. Laskar-laskar rakyat di pedesaan ini
sebagai kelanjutan dari pembentukan laskar-laskar di kota, berarti sebagai
manifestasi dari suatu urban revolution ( revolusi kota) ke rural revolution
19