• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERAN KOMITE NASIONAL INDONESIA DAERAH (KNID) SURAKARTA DALAM PERGERAKAN POLITIK DI SURAKARTA TAHUN 1945 1946

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "PERAN KOMITE NASIONAL INDONESIA DAERAH (KNID) SURAKARTA DALAM PERGERAKAN POLITIK DI SURAKARTA TAHUN 1945 1946"

Copied!
108
0
0

Teks penuh

(1)

commit to user

i

PERAN KOMITE NASIONAL INDONESIA DAERAH (KNID)

SURAKARTA DALAM PERGERAKAN POLITIK DI

SURAKARTA TAHUN 1945-1946

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan

Guna Mencapai Gelar Sarjana Jurusan Ilmu Sejarah

Fakultas Sastra dan Seni Rupa

Universitas Sebelas Maret

Disusun oleh: Aditya Wahyu Prabowo

C0506004

FAKULTAS SASTRA DAN SENI RUPA UNIVERSITAS SEBELAS MARET

(2)

commit to user

ii

HALAMAN PERSETUJUAN

PERAN KOMITE NASIONAL INDONESIA DAERAH (KNID)

SURAKARTA DALAM PERGERAKAN POLITIK DI

SURAKARTA TAHUN 1945-1946

Disusun oleh: Aditya Wahyu Prabowo

C0506004

Telah disetujui oleh Pembimbing:

Pembimbing

Drs. Tundjung W.Sutirto., M.Si.

NIP. 19611225198703 1 003

Mengetahui

Ketua Jurusan Ilmu Sejarah

Dra. Sri Wahyuningsih, M.Hum.

(3)

commit to user

iii

HALAMAN PENGESAHAN

PERAN KOMITE NASIONAL INDONESIA DAERAH (KNID) SURAKARTA DALAM PERGERAKAN POLITIK DI SURAKARTA

TAHUN 1945-1946

Disusun oleh: Aditya Wahyu Prabowo

C0506004

Telah disetujui oleh Tim Penguji Skripsi

Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret

Pada tanggal ……….

Jabatan Nama Tanda Tangan

Ketua Dra. Sri Wahyuningsih, M.Hum. ...

NIP. 19540223198601 2 001

Sekretaris M. Bagus Sekar Alam, SS., M.Si. ……….

NIP. 19770904200501 1 001

Penguji I Drs. Tundjung W.Sutirto, M.Si. ………

NIP. 19611225198703 1 003

Penguji II Tiwuk Kusuma Hastuti, SS., M.Hum. ...

NIP. 19730613200003 2 002

Dekan

Fakultas Sastra dan Seni Rupa

Universitas Sebelas Maret

Drs. Sudarno, M.A.

(4)

commit to user

iv

PERNYATAAN

Nama : Aditya Wahyu Prabowo

NIM : C0506004

Menyatakan bahwa dengan sesungguhnya skripsi berjudul Peran Komite Nasional

Indonesia Daerah (KNID) Surakarta dalam Pergerakan Politik di Surakarta Tahun 1945-1946 adalah betul-betul karya sendiri, bukan plagiat, dan tidak dibuatkan oleh orang lain. Hal-hal yang bukan karya saya, dalam skripsi ini diberi

tanda citasi (kutipan) dan ditunjukkan dalam daftar pustaka.

Apabila di kemudian hari terbukti pernyataan ini tidak benar, maka saya bersedia

menerima sanksi akademik berupa pencabutan skripsi dan gelar yang diperoleh

dari skripsi tersebut.

Surakarta, 7 Desember 2010

Yang membuat pernyataan,

(5)

commit to user

v

MOTTO

Cara memulai adalah dengan berhenti berbicara dan mulai melakukan.

(Walt Disney)

Tiada doa yg lebih indah selain doa agar skripsi ini cepat selesai.

(6)

commit to user

vi

PERSEMBAHAN

Skripsi ini penulis persembahkan untuk:

Mama dan (Alm) Papaku tercinta

(7)

commit to user

vii

KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr. Wb

Syukur Alhamdulillah senantiasa penulis panjatkan ke-Hadirat Allah SWT,

yang telah memberikan berbagai kemudahan dan limpahan karunia-Nya

kepada penulis, hingga akhirnya penulis dapat menyelesaikan penulisan

skripsi dengan judul Peran Komite Nasional Indonesia Daerah (KNID)

Surakarta dalam Pergerakan Politik di Surakarta Tahun 1945-1946.

Dalam kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih

yang sedalam-dalamnya kepada berbagai pihak yang telah mendukung, baik moral,

material maupun spiritual, hingga akhirnya penulisan skripsi ini dapat berjalan

dengan baik dan selesai sesuai yang penulis harapkan, yaitu kepada:

1. Drs. Sudarno, MA, selaku Dekan Fakultas Sastra dan Seni Rupa

Universitas Sebelas Maret Surakarta.

2. Dra. Sri Wahyuningsih, M.Hum, selaku Ketua Jurusan Ilmu Sejarah

Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret Surakarta, juga

sebagai Ketua Tim Penguji yang berkenan memberikan waktunya untuk

menguji.

3. Dra. Sawitri P.P, M.Pd, selaku Sekretaris Jurusan Ilmu Sejarah Fakultas

Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret Surakarta.

4. Drs. Tundjung W.Sutirto, M.Si, selaku Pembimbing skripsi, yang

memberikan banyak dorongan, masukan, dan kritik yang membangun

dalam proses penulisan skripsi ini.

5. Ibu Tiwuk Kusuma Hastuti, SS., M.Hum. selaku Penguji II yang telah

berkenan memberikan waktunya untuk menguji.

6. Bapak Bagus Sekar Alam, SS., M.Si. selaku Sekretaris Penguji yang telah

(8)

commit to user

viii

8. Segenap staf dan karyawan UPT Perpustakaan Pusat UNS, Perpustakaan

Fakultas Sastra dan Seni Rupa UNS, Perpustakaan Daerah Surakarta,

dan Perpustakaan Sonopustoko Kasunanan.

9. Ibu Darweni, Bapak Basuki dan segenap staf perpustakaan Reksopustoko

Mangkunegaran yang telah memberikan ijin dan bantuan kepada

penulis dalam penyediaan data-data yang diperlukan.

10.Orang Tua yang selalu memberikan kasih sayang dan semangat dengan

tulus ikhlas serta doa yang tak pernah putus kepada penulis.

11.Saudara-saudaraku: Mbak Wielma, Mas Deden yang selalu memberikan

dukungan baik moril maupun materiil.

12.Teman-temanku angkatan 2006, Bagus, Trisna, Lia, Memik, dan Ulwa

yang memotivasi untuk cepat lulus. Aga, Dwi, Endras, Helmy, Adi, Endah,

Embri, Dyah, Hasri, Sidik, Sunu, Jarot, Jadi, Feby, Putut, Gilang, Dhani,

Candra, Edy, Ari, dan teman-teman yang lain, tetap kompak dan cepat

menyelesaikan skripsi.

13.Kawan-kawan Goggle.net Slamet Riyadi, Gito, Anita, Fajar, Farid, Ernand,

Andri selalu ramah dan bekerja keras.

14.Novita Wisma Saputri, yang selalu mendengar keluh kesahku.

15.Segenap pihak yang telah mendukung dan membantu terlaksananya

penulisan skripsi ini, yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Oleh

karena itu, penulis berharap akan adanya kritik dan saran yang bersifat

membangun, agar skripsi ini menjadi lebih baik.

Wassalamualaikum Wr. Wb.

Surakarta, 7 Desember 2010

(9)

commit to user

BAB II AKAR-AKAR RADIKALISME SURAKARTA SEBELUM REVOLUSI 1945 ... 18

(10)

commit to user

x

C. Radikalisme di Surakarta pada masa Jepang... 30

1. Terbentuknya Laskar-laskar Perjuangan ... 30

2. Munculnya Hizbullah di Surakarta ... 34

BAB III KONDISI SOSIAL POLITIK SURAKARTA PADA MASA REVOLUSI FISIK 1945 ... 38

A. Surakarta sebagai kota Oposisi ... 38

B. Kelompok Oposisi di Surakarta ... 40

a. Persatuan Perjuangan ... 40

b. Barisan Banteng ... 46

C. Keberadaan Daerah Istimewa Surakarta ... 48

D. Konflik Sosial Politik Masa Revolusi Fisik 1945 ... 51

BAB IV PEMBENTUKAN KNID SURAKARTA DAN PERANNYA DALAM PERGERAKAN POLITIK DI SURAKARTA ... 59

A. Terbentuknya Komite Nasional Indonesia Daerah (KNID) Surakarta ... 59

B. Peran KNID Surakarta ... 63

1. Penyerahan Kekuasaan Jepang ke tangan KNID Surakarta ... 63

2. KNID Surakarta sebagai Lembaga Perwakilan Rakyat Daerah ... 73

3. Peran KNID Surakarta dalam Gerakan Anti Swapraja .... 76

C. Hubungan antara Kekuatan Pergerakan Politik dengan KNID Surakarta ... 86

BAB V PENUTUP ... 90

DAFTAR PUSTAKA... 94

(11)

commit to user

Butai Masse Markas militer Jepang di Surakarta

double bestuur pemerintahan ganda

Gakuttotai Barisan anak-anak sekolah

kawula-gusti pola hubungan raja-rakyat atau juga

manusia-Tuhan

Kenpeitai polisi militer Jepang

Kompleit Perubahan status tanah apanage yang

dipegang para abdi dalem kepada rakyat

Kooti Jimmu Kyoku Kekuatan sipil bentukan Jepang

manunggaling kawula lan gusti persatuan rakyat dan raja atau persatuan manusia dan Tuhan

Multipunctie mengambil sampel dari limpa yang

diteliti

Narpawandawa Perkumpulan Darah Dalem

oposisi kekuatan politik dan massa yang

berlawanan dengan pemerintah yang

berkuasa

Panatagama Kepala Agama Islam

patron-client pola hubungan bapak-anak buah

Patuh tuan

Priyayi masih berhubungan dengan eratin;

bangsawan

Reh Kasentanan Dewan Pertimbangan Raja

(12)

commit to user

xii

Romusha buruh atau kuli yang dimobilisasi

dengan paksa untuk suatu pekerjaan

AMRI Angkatan Muda Republik Indonesia

BKR Badan Keamanan Rakyat

BLB Barisan Laskar Banteng

BP KNIP Badan Pekerja Komite Nasional

Indonesia Pusat

BPRI Badan Pemberontak Republik

Indonesia

BPU Badan Pengawas dan Penyelidik

Umum

KNID Komite Nasional Indonesia Daerah

KNIP Komite Nasional Indonesia Pusat

KPPRI Kantor Daerah Pemerintah Republik

Indonesia

M.Ng. Mas Ngabehi

NICA Netherlands Indies Civil

(13)

commit to user

xiii

Pesindo Pemuda Sosialis Indonesia

PETA Pembela Tanah Air

PKS Pakempalan Kawula Surakarta

PPKI Panitia Persiapan Kemerdekaan

Indonesia

SDI Sarekat Dagang Islam

SI Sarekat Islam

TP Tentara Pelajar

VOC Vereeniging Oost-Indische

(14)

commit to user

xiv

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1. Undang-undang No.1 tahun 1945 Tentang Peraturan Mengenai

Kedudukan Komite Nasional Daerah ………. 100

2. Arsip Penyerahan pemerintahan Kooti Jimu Kyoku Tyokan kepada KNIDS. 1945 ... 107

3. Piagam penetapan Presiden RI kepada Pakubuwono XII pada kedudukan sebagai kepala Daerah Istimewa. 1945... 108

4. Maklumat Presiden kepada Mangkunegoro VIII pada kedudukan sebagai kepala Daerah Istimewa. 1945... 109

5. Penyerahan Kekuasaan Kooti Jimu Kyoku Tyokan kepada Mangkunegaran ... 110

6. Peta Wilayah Surakarta tahun 1945-1946... 111

7. Selebaran dari Komite Nasional Indonesia Daerah Surakarta, 1945... 114

8. Penetapan Pemerintah tentang keamanan di Daerah Istimewa, 1946... 116

9. Pembentukan Badan Keamanan Rakyat, 1946... 117

10.Surat dari Wakil Presiden kepada Presiden dan Menteri Pertahanan tentang kedudukan keistimewaan daerah Surakarta dan Mangkunegaran... 118

11.Penetapan Pemerintah RI Jogjakarta no. 16/S.D tanggal 15 Juli 1946 tentang perubahan sementara bentuk dan susunan Pemerintah di Daerah Istimewa Surakarta ... 119

12.Susunan Panitia Anti Swapraja………... 120

13.Maklumat Menteri Dalam Negeri tentang penunjukan Gubernur Jawa Tengah R. Soerjo, sebagai wakil Pemerintahan Pusat di daerah Surakarta……... 121

14. Maklumat Mangkunegoro VIII, 1 September 1945……… 122

15. Maklumat Menteri Dalam Negeri tentang Daerah Istimewa Surakarta … 123

16. Maklumat Sri Paduka Pakubuwono XII tentang Daerah Istimewa Surakarta ... 124

17. Pernyataan Bersama KNID Kab. Klaten dalam gerakan Anti Swapraja .... 125

(15)

commit to user

xv

ABSTRAK

Aditya Wahyu Prabowo. C0506004. 2010. Peran Komite Nasional Indonesia

Daerah (KNID) Surakarta dalam Pergerakan Politik di Surakarta tahun 1945-1946. Sripsi Jurusan Ilmu Sejarah Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret.

Permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini yaitu (1) Bagaimana hubungan antara Komite Nasional Indonesia Daerah (KNID) Surakarta dengan kekuatan pergerakan politik di Surakarta tahun 1945-1946? (2) Bagaimana peran Komite Nasional Indonesia Daerah (KNID) Surakarta dalam pergerakan politik di Surakarta tahun 1945-1946?

Penelitian ini merupakan penelitian historis, sehingga langkah-langkah

yang dilakukan dalam penelitian ini meliputi heuristik, kritik sumber baik intern

maupun ekstern, interpretasi, dan historiografi. Teknik pengumpulan data yang

digunakan adalah studi dokumen dan studi pustaka. Dari pengumpulan data, kemudian data dianalisa dan diinterpretasikan berdasarkan kronologisnya. Untuk menganalisis data, digunakan pendekatan ilmu sosial yang lain sebagai ilmu bantu ilmu sejarah. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan sosial, dan politik.

Setelah Pemerintah Pusat RI membentuk Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP), secara berlanjut di daerah-daerah dibentuk juga Komite Nasional Indonesia Daerah (KNID). Tujuan KNID dibentuk adalah untuk melucuti tentara Jepang dan memindahkan kekuasaan pemerintah Jepang ke tangan KNID. Keberadaan KNID Surakarta mendapat dukungan dari segenap potensi perjuangan rakyat. KNID sebagai pimpinan gerakan revolusi di Surakarta harus menghadapi

kekuatan Jepang yang terbagi dalam Kooti Jimmu Kyoku (kekuatan sipil), Butai

Masse yang bersenjatakan lengkap, dan Kenpetai. Sejak awal pembentukannya, KNID Surakarta mampu menjalankan tugasnya dan mendapat keberhasilan secara gemilang dengan melucuti kekuasaan Jepang di Surakarta. Terjadinya krisis kekuasaan awal kemerdekaan langsung dapat dipecahkan melalui komite tersebut sebagai semacam lembaga perwakilan rakyat daerah. Awal tahun 1946, muncul gerakan revolusioner menentang adanya status daerah istimewa di Surakarta. Gerakan tersebut banyak dimotori anggota KNID Surakarta beserta organisasi pergerakan politik lainnya.

(16)

commit to user

1

BAB I

PENDAHULUAN

A.

Latar Belakang Masalah

Genderang Revolusi Indonesia dibunyikan saat rakyat Indonesia

memproklamasikan kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945. Kemerdekaan

Indonesia merupakan klimaks dari proses panjang suatu perjuangan dari rangkaian

pergerakan nasional hingga runtuhnya Hindia Belanda. Oleh karena itu tidak aneh

apabila dianggap sebagai “jembatan emas” yang harus dipelihara maupun

dipertahankan walaupun tidak sedikit dilaksanakan dengan caranya

sendiri-sendiri. Proses awal yang lazim adalah melembagakan Negara sehari setelah

proklamasi yaitu tanggal 18 Agustus 1945. Pelembagaan dari hasil

tawar-menawar dengan Jepang ini diupayakan oleh PPKI yang oleh pemuda, dianggap

sebagai kolabolator-kolabolator Jepang. Hasil dari sidang PPKI ini adalah

menetapkan UUD 1945, memilih Soekarno sebagai Presiden dan Hatta sebagai

Wakil Presiden, serta membentuk KNIP.1

Proklamasi kemerdekaan RI mempunyai pengaruh luas bagi bangsa dan

Negara. Proklamasi merupakan momentum dalam sejarah Republik Indonesia.

Perubahan-perubahan yang menyangkut masalah politik, pemerintahan dsb, pasti

terjadi setelah merdeka, baik untuk pusat maupun daerah-daerah.

1

(17)

commit to user

Setelah proklamasi, terjadi reorganisasi dalam berbagai aspek, terutama

politik pemerintahan. Berkaitan dengan hal ini, maka daerah Surakarta setelah

Proklamasi langsung mendapat keputusan dari pusat. Presiden RI pada waktu itu

mengeluarkan piagam berkenaan dengan kedudukan daerah Surakarta. Piagam

tanggal 19 Agustus 1945 tersebut ditujukan kepada Susuhunan Paku Buwono XII

dan Mangkunegara VIII yang mendapat kepercayaan dari pemerintah pusat untuk

mencurahkan segala tenaga, pikiran, dan jiwa raga bagi keselamatan daerahnya

yang merupakan bagian wilayah Republik Indonesia sebagai Daerah Istimewa.

Kedua penguasa tradisional ini juga tetap mempunyai kedudukan otonom

sebagaimana tercermin dari keputusan Presiden tersebut.

Bersamaan itu pula pada 19 Agustus 1945, Pemerintah Pusat RI juga

berhasil melengkapi perangkat pemerintahan dengan kabinet pertamanya dan

Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) dibentuk. Komite ini berfungsi sebagai

Parlemen sementara yang dilengkapi juga suatu Badan Pekerja (BP-KNIP).

Adanya Komite Nasional ini tidak hanya terbatas di lingkungan pemerintah pusat,

tapi secara berlanjut di daerah-daerah dibentuk juga Komite Nasional Indonesia

Daerah (KNID). Komite di daerah-daerah terbentuk dalam waktu tidak lama

sesudah KNIP. Komite di daerah juga dilengkapi dengan Badan Pekerja yang

menjalankan tugas sebagai pelaksana secara riil dalam pemerintahan. Tujuan

KNID dibentuk adalah untuk melucuti tentara Jepang dan memindahkan

kekuasaan pemerintah Jepang ke tangan KNID.

Berdasarkan hal tersebut pembentukan Komite Nasional diharapkan agar

secepat mungkin melakukan tugasnya dalam rangka penegakan kedaulatan

(18)

commit to user

keberadaan tentara Jepang yang memang diserahi urusan penjagaan keamanan dan

status quo oleh sekutu. Tentara Jepang tersebut merupakan kekuatan tempur yang

sangat kuat mengingat lengkapnya persenjataan yang dimiliki oleh mereka2.

Permasalahan lainnya dalam mendirikan komite di daerah ialah masih

berkuasanya para birokrasi pribumi yang sebagian besar merupakan abdi setia

kekuasaan. Fenomena tersebut terjadi pula di Surakarta yaitu dengan adanya

kekuasaan pribumi yang direpresentasikan oleh Raja-raja yang secara otomatis

menjadi pemegang kekuasaan tertinggi di Surakarta mencoba untuk mengukuhkan

kekuasaannya. Mereka telah terbiasa sebagai hamba kekuasaan apapun juga

selama kekuasaan dan jabatan mereka dapat dipertahankan. Selain itu kaum

birokrasi pribumi yang terbiasa dengan kesadaran politik yang tinggi menyadari

bahwa proklamasi kemerdekaan tidak memiliki landasan hukum apapun juga dari

sistem hukum internasional yang berlaku dan menyebabkan mereka untuk

memposisikan diri kepada para pemenang Perang Dunia II. Hal ini menjadi salah

satu penyebab dari meningkatnya kekerasan di daerah-daerah yang ditujukan

untuk penggulingan tatanan lama pemerintahan pribumi.3

Hal ini bertentangan dengan keinginan para politisi dan pejuang di

Surakarta yang menginginkan agar mobilitas politik di Surakarta bersifat secara

terbuka dan oportunisme kekuasaan dari para politisi tersebut. Namun, pihak

kerajaan melakukan sebuah kesalahan pada masa tersebut dengan tidak

menganggap penting radikalisasi di Surakarta dan menganggap bahwa kekuasaan

di Surakarta dengan sah masih berada di tangan para raja yang bekerjasama

2

George Mc Turnan Kahin, 1995, Nasionalisme dan Revolusi di Indonesia, Surakarta: UNS Press hal. 178

3

Ben Anderson, 1988, Revoloesi Pemoeda. Pendudukan Jepang dan Perlawanan di Jawa,

(19)

commit to user

dengan tentara Jepang untuk membangun keamanan yang bersifat sementara.4

Lambannya kerajaan dalam menanggapi tuntutan dari para pejuang dan

pemerintah Republik menyebabkan Surakarta sangat lambat dalam pendirian

pemerintahan di bawah Republik daripada tetangganya di Yogyakarta. Walaupun

pihak kerajaan telah diberi pengakuan kedaulatan kekuasaan raja oleh pemerintah

RI namun pihak kerajaan terkesan sangat berhati-hati dalam menghadapi

kekuasaan Jepang. Lambannya usaha pihak kerajaan di Surakarta dalam

menegakkan kekuasaan republik dan perebutan senjata dari Jepang menyebabkan

pemerintah pusat RI campur tangan untuk membentuk Komite Nasional di

Surakarta.

Pada tanggal 11 September 1945 dibentuklah KNID Surakarta yang

diketuai oleh Mr. Soemodiningrat melalui sidang di Pendopo Woerjoningratan.

Soemodiningrat yang merupakan ipar Susuhunan dan bekas opsir PETA ini

dibantu oleh 9 orang dari elite agama, elite tradisional berpendidikan Barat dan

elite politik, dengan program melucuti senjata Jepang dan memindahkan

kekuasaan pemerintah Jepang ke tangan KNID.

Keberadaan KNID Surakarta mendapat dukungan dari segenap potensi

perjuangan rakyat, seperti Badan Keamanan Rakyat (BKR), Angkatan Muda

Tentara, Kelompok Delapan, Badan Pengawas dan Penyelidik Umum (BPU),

Hizbullah dan Gerakan Rakyat Indonesia (GRI). KNID sebagai pimpinan gerakan

revolusi di Surakarta harus menghadapi kekuatan Jepang yang terbagi dalam

Kooti Jimmu Kyoku (kekuatan sipil), Butai yang bersenjatakan lengkap, dan

Kenpetai.

4

Anthony Reid, 1987, Perjuangan Rakyat, Revolusi dan Hancurnya Kerajaan di Sumatera.

(20)

commit to user

Pada tanggal 30 September 1945, Soemodiningrat beserta wakilnya

Suprapto disertai Barisan Rakyat menemui H. Watanabe sebagai Kepala Koti

Jimmu Kyoku Chukan di gedung Balaikota. Pada pertemuan tersebut,

Soemodiningrat berhasil meyakinkan Watanabe agar bersedia menyerahkan

kekuasaan sipilnya kepada KNID Surakarta. Penyerahan kekuasaan ini

mengandung arti bahwa pemerintahan di Surakarta dikendalikan oleh KNID. Oleh

karena itu, pada tanggal 1 Oktober 1945 dibentuk Kantor Pusat Pemerintahan

Republik Indonesia (KPPRI) yang kemudian berubah menjadi Kantor Daerah

Pemerintah Republik Indonesia (KDPRI) sebagai nama baru dari Koti Jimmu

Kyoku. Pelaksanaan tugas sehari-hari di KDPRI diserahkan kepada Soeripto,

Soetopo, dan Soemantri.5

Pembentukan KDPRI sebagai pemegang kendali pemerintahan di

Surakarta telah menimbulkan perselisihan dengan pemerintah Swapraja. Pada

waktu itu di Surakarta terdapat dua pemerintahan double bestuur yaitu dari pihak

kraton dan pihak KNID Surakarta melalui KDPRI.

Revolusi sosial dan aksi-aksi kekerasan di Surakarta yang terjadi pada

masa revolusi merupakan bagian yang tidak bisa dielakkan dari kekacauan di

hampir semua kehidupan masyarakat. Kekerasan seperti itu merupakan bagian

dari konflik politik yang mewarnai hampir setiap waktu dalam perjalanan revolusi

Indonesia. Kekerasan yang muncul merupakan bagian dari pertentangan

kepentingan dari kekuatan-kekuatan politik yang semula ditandai dengan

pertentangan di antara idiologi kiri kemudian bergeser antara kekuatan kiri dengan

kekuatan kanan. Konflik ditandai pula dengan perebutan kekuasaan diantara

5

(21)

commit to user

kekuatan oposisi dengan kekuatan republik atau kompetisi diantara

kelompok-kelompok yang sedang beroposisi.6

Pada masa awal revolusi, konflik yang berkembang merupakan bentuk

perbedaan pendapat antara golongan muda yang radikal dengan golongan tua

yang moderat. Konflik itu memuncak pada peristiwa Rengasdengklok yang

merupakan sebuah bentuk tekanan dari golongan muda terhadap golongan tua

untuk memproklamasikan kemerdekaan Indonesia.7 Konflik pun masih berlanjut

ketika lembaga-lembaga negara mulai terbentuk. Isu-isu tentang kolabolator yang

diperankan sebagian nasionalis tua yang dituduhkan golongan muda terutama

Syahrir merupakan isu utama pada waktu itu. Syahrir menginginkan perubahan

pemerintahan presidensil menjadi setengah parlementer dengan indikasi kabinet

bertanggung jawab kepada parlemen. Setelah melalui sidang BP-KNIP dan

disetujui Presiden Soekarno, akhirnya pada 14 Oktober 1945 kabinet Syahrir

terbentuk yang kemudian dikenal dengan pemerintahan sayap kiri.8

Selama menjadi perdana menteri, Syahrir menghendaki arah revolusi

ditentukan dengan cara diplomasi yang luwes dan pintar untuk menghindarkan

Inggris dan Amerika memberikan dukungan penuh kepada Belanda. Visi Syahrir

ini secara cepat menimbulkan kekecewaan di kalangan pemuda. Dalam beberapa

minggu saja, kabinet Syahrir kehilangan dukungan pemuda. Arah serta gaya

politik Syahrir bertentangan dengan psikologi dari gerakan pemuda. Kekecewaan

dari para pemuda dan sebagian besar badan perjuangan kemudian dimanfaatkan

oleh seorang tokoh, yaitu Tan Malaka. Sejak awal revolusi, Tan Malaka sudah

6

Julianto Ibrahim, 2004, Bandit dan Pejuang di Simpang Bengawan, Wonogiri: Bina Citra Pustaka, hal. 154.

7

Sidik Kertapati, 1961, Sekitar Proklamasi 17 Agustus 1945, Jakarta: Pembaharuan, ha. 83.

8

(22)

commit to user

berambisi mengendalikan jalannya revolusi. Tokoh ini menawarkan suatu

kemerdekaan yang dekat dengan hati pemuda, yaitu revolusi total dengan

pengakuan kemerdekaan seratus persen. Ia kemudian berhasil membentuk

organisasi bernama ”Persatuan Perjuangan” yang menggambarkan tekad

perjuangan yang anti diplomasi dalam revolusi Indonesia. Dalam kongresnya

yang pertama di Solo, 14-15 Januari 1946, organisasi ini menetapkan kota

Surakarta sebagai pusat kegiatannya.9

Keberadaan Tan Malaka dan Persatuan Perjuangan telah menjadikan

revolusi sosial berupa gerakan anti swapraja yang radikal di Surakarta sebagai

bagian dari strategi untuk menggoyang pemerintahan Syahrir di Yogyakarta.

Gerakan-gerakan anti swapraja ini menyebabkan kedudukan keraton menjadi

sangat lemah dan sulit, sehingga status swapraja Surakarta dapat dengan mudah

diruntuhkan.

Penelitian dengan tema mengenai Komite Nasional Indonesia Daerah di

Surakarta menjadi hal yang menarik. Pada periode tahun 1945-1946 banyak terjadi

peristiwa penting antara lain adanya revolusi sosial di beberapa daerah termasuk di

Surakarta pada tahun 1946 serta mempertahankan kemerdekaan dari penjajahan

Belanda. Terbentuknya Komite ini mendapat dukungan dari berbagai badan

perjuangan rakyat sehingga setelah KNID Surakarta dibentuk, perpolitikan di

Surakarta memasuki masa baru dimana mulai muncul pergerakan politik yang

radikal. Selama awal kemerdekaan, KNID Surakarta harus melaksanakan tugas

penting yaitu melucuti dan memindahkan kekuasaan pemerintah Jepang ke tangan

pemerintah Indonesia melalui Komite ini. Program yang juga menjadi tujuan

9

(23)

commit to user

lembaga ini dibentuk tidaklah mudah untuk dijalankan mengingat situasi sosial dan

politik di Surakarta pada masa revolusi fisik cukup menegangkan, maka

bentuk-bentuk eksistensi dan peran dari lembaga ini dalam pergerakan politik di Surakarta

yang ditulis sebagai judul skripsi.

B.

Perumusan Masalah

Atas dasar Latar Belakang Masalah diatas, maka dapat dirumuskan

permasalahan sebagai berikut:

1. Bagaimana hubungan antara Komite Nasional Indonesia (KNID) Surakarta

dengan kekuatan pergerakan politik di Surakarta tahun 1945-1946?

2. Bagaimana peran Komite Nasional Indonesia Daerah (KNID) Surakarta

dalam pergerakan politik di Surakarta tahun 1945-1946?

C.

Tujuan Penelitian

Sesuai dengan perumusan masalah tersebut, adapun tujuan dari penelitian

adalah sebagai berikut.

1. Mengetahui hubungan antara Komite Nasional Indonesia (KNID) Surakarta

dengan kekuatan pergerakan politik di Surakarta tahun 1945-1946.

2. Mengetahui peran Komite Nasional Indonesia Daerah (KNID) Surakarta

dalam pergerakan politik di Surakarta tahun 1945-1946.

D.

Manfaat Penelitian

1. Memberikan pengetahuan tentang sejarah Surakarta pada awal

(24)

commit to user

Surakarta dalam pergerakan politik di Surakarta.

2. Dengan mengkaji Komite Nasional Indonesia Daerah (KNID) Surakarta,

maka dapat direkonstruksi Sejarah Revolusi yang terkait dengan kota

Surakarta.

E.

Kajian Pustaka

Dalam buku karya Julianto Ibrahim yang berjudul Bandit & Pejuang di

Simpang Bengawan, Kriminalitas dan Kekerasan Masa Revolusi di Surakarta

dengan penerbit Bina Citra Pustaka Wonogiri, banyak menggambarkan tindak

kekerasan di Surakarta yang diwarnai dengan peristiwa penggedoran, pencurian,

hingga penculikan yang terjadi di Surakarta. Kekacauan di Surakarta yang

menjadi wilayah anarki tidak terlepas dari peran serta badan-badan perjuangan

yang menginterpretasikan makna daulat dalam khasanahnya masing-masing

sehingga terjadi perubahan makna dari kedaulatan menjadi mendaulat.

Sejarah Revolusi Indonesia sering kali ditulis dan hanya berisikan kisah

tentang perjuangan bersenjata ataupun perjuangan diplomasi saja. Sementara

gejolak yang terjadi di kalangan para pejuang atau di antara laskar dalam masa

yang penuh heroik itu tak banyak diceritakan dalam buku-buku sejarah. Salah satu

soal dalam revolusi Indonesia dan berlanjut pada masa berikutnya adalah

keberadaan dan aktivitas para bandit, yang sebagian di antaranya pejuang dan

tergabung dalam beberapa kesatuan laskar. Dalam zaman yang terkadang disebut

zaman gegeran, serobotan, gedoran ataupun pendaulatan itu, para bandit justru

harus berhadap-hadapan dengan bangsa sendiri atau dengan para pejuang yang

(25)

commit to user

kriminal pun sering kali tidak dapat dihindari oleh mereka.

Membaca karya ini, dalam usaha membangun sejarah dari bawah

(grassroots history), kian bermakna terutama jika kita melihat revolusi Indonesia

dari sisi yang lain. Bandit yang menjadi pejuang atau pejuang yang menjadi bandit

adalah bagian dari dinamika revolusi itu sendiri dan seharusnya tidak diabaikan

begitu saja dalam sejarah Indonesia. Buku ini menunjukkan bahwa para bandit,

orang-orang yang tersingkirkan, dan orang-orang biasa lainnya ternyata bukan

hanya ikut menentukan arah dan jalannya revolusi Indonesia, mereka juga

sekaligus memberi watak pada revolusi itu sendiri. Penulisan ini lebih

menekankan terhadap gerakan rakyat dan pemuda dalam badan-badan perjuangan

sehingga mengabaikan peran bangsawan dan kerajaan yang pada masa sebelum

kemerdekaan merupakan kelompok politik terkuat.

Sebuah buku yang berjudul Dasar-dasar Teori Sosial karya James S.

Coleman dijelaskan bahwa dalam menyelidiki persoalan revolusi, para ilmuwan

sosial memusatkan perhatian pada masyarakat tempat revolusi benar-benar terjadi

dan memeriksa periode di masyarakat itu sebelum konflik. Tidak seperti biasanya,

jawaban-jawaban disusun dalam hubungannya dengan kondisi-kondisi struktural

stabil yang mengawali sistem-sistem sosial tertentu, bukan sistem-sistem sosial

yang lain, yang akan mengalami perubahan wewenang lewat revolusi atau

pemberontakan. Banyak teori revolusi memandang titik kritis dalam sebuah

perjuangan revolusioner sebagai titik ketika sistem-sistem wewenang yang ada

kehilangan legitimasi di mata rakyat atau segmen-segmen penting rakyat.

Ben Anderson dalam karyanya, Revolusi Pemoeda: Pendudukan Jepang

(26)

commit to user

Surakarta terjadi karena adanya perpaduan antara konflik politik nasional dan

konflik politik lokal yang ditandai dengan peningkatan kegiatan sosialis, komunis

hingga sindikalisme di Surakarta yang berujung pada perang antar kelas. Selain

itu Ben Anderson menggambarkan dengan baik situasi revolusioner yang melanda

kaum pemuda.

Nasionalisme dan Revolusi di Indonesia karya George Mc.T. Kahin juga

banyak menjadi referensi dalam penulisan penelitian ini. Dalam karyanya, di Bab

IV Kahin mengutarakan bagaimana dalam masa pendudukan Jepang (1942-1945),

suatu kesadaran politik yang kuat berkembang dalam masyarakat, dan terutama di

antara pemuda dan pelajar yang sebelumnya banyak yang bersifat apolitis. Sebelas

bab berikutnya secara rinci membahas revolusi Indonesia sampai dengan saat

kedaulatan Indonesia diakui pada bulan Desember 1949 dan terbentuknya Negara

Kesatuan pada 17 Agustus 1950.

Bab tentang Revolusi, Kahin menulis bahwa Soekarno memilih seorang

Gubernur untuk masing-masing Provinsi dari kalangan penduduk setempat, dan

KNIP memberi mandat kepada salah seorang anggota dari masing-masing daerah

untuk membentuk KNI (Komite Nasional Indonesia) di setiap provinsi guna

membantu para gubernur menjalankan pemerintahan. Terbentuklah KNI setempat

secara spontan di tingkat distrik maupu kotapraja. Selama suatu periode yang

lama, komite-komite setempat yang revolusioner bekerja menurut kekuatan

pemerintah yang sebenarnya di daerah masing-masing. Semula daerah-daerah itu

diatur menurut kehendak pemimpin setempat yang diakui, tetapi kemudian sejak

akhir bulan November diatur menurut suatu pola peraturan yang seragam.

(27)

commit to user

berdasarkan pemilihan setempat.

F.

Metode Penelitian

1. Metode

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode Sejarah.

Metode Sejarah merupakan proses mengumpulkan, menguji dan menganalisis

secara kritis rekaman-rekaman peninggalan pada masa lampau dan usaha-usaha

melakukan sintesa dari data-data masa lampau menandai kajian yang dapat

dipercaya. Penelitian ini adalah penelitian sejarah yang meliputi 4 tahapan10:

a. Heuristik

Adalah proses mencari dan mengumpulkan sumber-sumber sebagai data

yang relevan dengan masalah yang diteliti. Pencarian dan pengumpulan

sumber yang dilakukan yaitu sumber primer yang berupa

dokumen-dokumen arsip baik itu arsip lokal atau surat kabar yang sejaman. Selain itu

juga data-data yang diperoleh berasal dari arsip koleksi Perpustakaan Rekso

Pustaka Mangkunegaran.

b. Kritik Sumber, terdiri dari kritik Intern dan ekstern

Kritik Intern merupakan kritik yang meliputi tulisan, kata-kata, bahasa dan

analisa verbal serta tentang kalimat yang berguna sebagai validitas sumber

atau untuk membuktikan bahwa sumber tersebut dapat dipercaya.

Sedangkan kritik ekstern meliputi material yang digunakan guna mencapai

kredibilitas sumber atau keaslian sumber tersebut. Dari hasil-hasil sumber

yang berhasil dikumpulkan adalah dokumen asli bahwasanya

10

(28)

commit to user

sumber itu sebagian berbahasa Indonesia lama. Kondisi dari data yang

mudah rusak karena bahan kertasnya sudah berusia sangat tua sehingga

mudah rapuh dan sobek. Terkadang tulisan yang berupa tulisan tangan

sebagian ada tinta yang luntur sehingga susah untuk dibaca. Memilih dan

memilah sumber-sumber yang akan dijadikan data, karena tidak semua arsip

yang ditemukan dapat dijadikan sebagai data.

c. Interpretasi/ penafsiran

Yaitu menafsirkan keterangan-keterangan yang saling berhubungan dengan

fakta-fakta yang diperoleh. Setelah melakukan kritik baik itu kritik intern

maupun ekstern, maka usaha yang dilakukan adalah menjelaskan apa yang

telah diperoleh dari data dokumen itu dengan pemikiran dan analisa.

d. Historiografi

Historiografi atau penulisan sejarah, yaitu menyampaikan sumber yang

diperoleh dalam bentuk kisah sejarah atau penulisan sejarah. Kemudian

menceritakan apa yang telah ditafsirkan dalam penyusunan kisah sehingga

menarik untuk dibaca. Penulisan dan penyusunan kisah dengan kata-kata

dan gaya bahasa yang baik bertujuan supaya pembaca mudah memahami

maksudnya dan tidak membosankan.

2. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data merupakan suatu langkah yang harus

digunakan dalam mengadakan sutu penelitian. Adapun teknik yang digunakan

dalam penelitian ini adalah:

a. Studi Dokumen

(29)

commit to user

berupa sumber tertulis dan sejaman. Dari dokumen terdapat fakta-fakta sejarah

serta bahan yang akan ditulis. Dokumen mempunyai nilai otentik dan dapat

dipercaya.11 Dokumen sebagai sumber utama dalam penelitian. Untuk

memantapkan nilai suatu dokumen terhadap pengguanannya dalam ilmu

sejarah, perlu diadakan langkah-langkah sebagai berikut: pengumpulan objek

yang berasal dari jaman itu, pengumpulan bahan-bahan tercetak, tertulis

misalnya surat kabar terbitan sejaman, dokumen tertulis, peraturan-peraturan,

surat keputusan, laporan-laporan pemerintah, arsip pribadi yang belum

diterbitkan, surat-surat keluarga dan catatan perjalanan.

Adapun data yang digunakan dalam penelitian ini antara lain data

berupa Arsip dan Koran, antara lain Arsip Penyerahan pemerintahan Kooti

Jimu Kyoku Tyokan kepada KNIDS, Solo, Mangkunegaran: Arsip berupa

berkas masalah Jepang tahun 1945; Piagam Penetapan Presiden RI, Solo,

Mangkunegaran: Arsip Rekso Pustoko tahun 1946; Kutipan koran

“Kedaulatan Rakyat”, 4 Juni 1946: Masalah kedudukan KNI Surakarta (Arsip

Rekso Pustaka).

b. Studi Pustaka

Studi pustaka dilakukan di Perpustakaan Pusat UNS, perpustakaan

Fakultas Sastra dan Seni Rupa UNS, Reksa Pustaka Mangkunegaran,

Monumen Pers, dan Perpustakaan Daerah. Dalam studi pustaka ini berhasil

dihimpun buku-buku, artikel-artikel serta terbitan-terbitan lain yang secara

langsung menulis tentang masalah yang sesuai dengan topik permasalahan.

11

(30)

commit to user

3. Teknik Analisa Data

Teknik analisis data sangat terkait dengan metode dan pendekatan.

Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan sosial & politik sehingga dapat

memisahkan proses-proses politik yang terjadi dan berkaitan dengan situasi sosial

di Surakarta. Studi ini bukan hanya menggambarkan apa dan kapan peristiwa

Sejarah itu terjadi, tapi juga mengidentifikasi masalah bagaimana dan

faktor-faktor apa yang menyebabkan peristiwa itu terjadi. Penggunaan pendekatan sosial

dimaksudkan untuk mengungkap kualitas terhadap data-data dan fakta-fakta yang

ada, sebab peristiwa yang satu mempunyai keterkaitan dengan peristiwa yang lain.

Analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif analitis.

Deskriptif analitis artinya menggambarkan suatu fenomena beserta ciri-cirinya

yang terdapat dalam fenomena tersebut berdasarkan fakta-fakta yang tersedia.

Setelah itu dari sumber bahan dokumen dan studi kepustakaan, tahap selanjutnya

adalah diadakan analitis, diinterpretasikan, dan ditafsirkan isinya. Data-data yang

telah diseleksi dan diuji kebenarannya itu adalah fakta-fakta yang akan diuraikan

dan dihubungkan sehingga menjadi kesatuan yang harmonis, berupa kisah sejarah

yang dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya.12

Selain itu teknik yang digunakan untuk menganalisa data penelitian ini

adalah analisa historis. Analisa untuk mencari hubungan sebab akibat dari suatu

fenomena historis pada ruang dan waktu tertentu. Tujuan dari teknik ini adalah

agar penelitian ini tidak hanya menjawab apa, kapan, dan di mana peristiwa ini

12

Nugroho Notosusanto, Masalah Penelitian Sejarah Kontemporer, Jakarta: Yayasan Indayu,

(31)

commit to user

terjadi namun juga menjelaskan gejala sejarah sebagai kausalitas. Analisa ini

kemudian disajikan dalam bentuk penulisan diskriptif.

G.

Sistematika Skripsi

Skripsi ini disusun bab demi bab untuk memberikan gambaran yang

terperinci. Penyusunan ini dilandasi keinginan agar skripsi ini dapat menyajikan

gambaran yang menunjukkan suatu kontinuitas perkembangan kejadian yang

berurutan.

Bab I merupakan bab Pendahuluan yang berisi tentang latar belakang

masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, kajian

pustaka, metode penelitian, teknik pengumpulan data, teknik analisa data dan

sistematika skripsi.

Bab II berisi tentang akar-akar gerakan radikal di Surakarta sebelum

Revolusi 1945. Terbagi dalam tiga masa yaitu masa pergerakan dengan

munculnya Boedi Oetomo dan Sarekat Islam. Masa aksi dimulai banyaknya

gerakan radikal komunisme kemudian munculnya Insulinde. Masa pendudukan

Jepang dengan terbentuknya laskar perjuangan salah satunya gerakan Hizbullah.

Bab III membahas kondisi sosial politik Surakarta pada masa Revolusi

Fisik 1945. Berpindahnya ibukota dari Jakarta ke Yogyakarta menyebabkan ikut

berpindah pula kekuatan-kekuatan oposisi dari Jakarta ke daerah pedalaman. Kota

yang dianggap tepat untuk basis oposisi adalah kota “saingan” Yogyakarta, yaitu

Surakarta. Kota Surakarta juga menjadi basis kelompok oposisi seperti Persatuan

Perjuangan dan Barisan Banteng. Setelah adanya Maklumat dari Pakubuwono XII

(32)

commit to user

istimewa dari pemerintah pusat RI. Status sebagai daerah istimewa tersebut

kemudian mengundang berbagai konflik sosial politik di Surakarta.

Bab IV akan menguraikan tentang pembentukan Komite Nasional

Indonesia Daerah (KNID) Surakarta. Berbagai peranan KNID Surakarta juga

tampak dalam pergerakan politik di Surakarta pada tahun 1945-1946. Di awal

pembentukannya, KNID Surakarta mampu menjalankan tugasnya dan mendapat

keberhasilan secara gemilang dengan melucuti kekuasaan Jepang di Surakarta.

Terjadinya krisis kekuasaan awal kemerdekaan langsung dapat dipecahkan

melalui komite tersebut sebagai semacam lembaga perwakilan rakyat daerah.

Awal tahun 1946, muncul gerakan revolusioner menentang adanya status daerah

istimewa di Surakarta. Gerakan tersebut banyak dimotori anggota KNID

Surakarta beserta organisasi pergerakan politik lainnya. Hubungan antara

kekuatan pergerakan politik dengan KNID Surakarta juga dibahas dalam bab ini.

Bab V merupakan kesimpulan dari semua isi dan penjelasan dalam

(33)

commit to user

18

BAB II

AKAR-AKAR RADIKALISME SURAKARTA SEBELUM

REVOLUSI 1945

A. Radikalisme Surakarta dalam masa Pergerakan 1908-1911

1. Terbentuknya Organisasi Boedi Oetomo

Periode akhir abad XIX dan awal abad XX merupakan periode awal

pertumbuhan modernisasi masyarakat bumi putera. Modernisasi dalam hal ini

diartikan sebagai hasrat untuk mencapai kemajuan dengan menuntut pelajaran dan

pendidikan, terutama pendidikan model Barat. Dalam tubuh masyarakat bumi

putera mulai saat itu telah tumbuh kesadaran diri akan ketertinggalan kebudayaan

jika dibandingkan dengan bangsa Belanda yang ketika itu sebagai penjajah.

Buktinya adalah semakin banyak anak yang mengunjungi sekolah untuk menuntut

ilmu pengetahuan dan teknik, makin banyak penduduk pribumi yang mencari

kesempatan untuk mendapatkan pendidikan modern. Hal itu semakin meningkat

setelah digelindingkannya politik etis di Hindia Belanda yang salah satu

programnya adalah pengembangan pendidikan bagi kalangan bumi putera. Gejala

itu menjadi tanda bahwa masyarakat berkembang ke arah kesadaran nasional.

Paham-paham baru mulai berlaku, timbul keberanian meninggalkan tradisi kuno,

dan adanya dorongan yang semakin kuat untuk memperoleh kemajuan.1

Boedi Oetomo sebagai suatu organisasi pergerakan nasional pertama

didirikan atas dasar tuntutan kemajuan itu. Tuntutan kemajuan yang direfleksikan

1

(34)

commit to user

dalam bentuk suatu organisasi itu sebenarnya sebagai suatu jawaban terhadap

penetrasi Barat dengan imperialisme dan kapitalismenya. Aspirasi nasional itu

tidak hanya timbul sebagai reaksi terhadap isolasi ekonomis dan sosio-kultural

yang diciptakan oleh politik kolonial Barat, tetapi juga karena dorongan kuat

untuk menjunjung tinggi derajat bangsa.

Gagasan untuk mendirikan suatu perkumpulan yang sifatnya umum di

Jawa ini mendapat persetujuan dan pengikut dari kalangan pelajar sekolah-sekolah

menengah, yaitu sekolah pertanian dan sekolah kehewanan di Bogor, sekolah

Menak di Magelang, dan Probolinggo, Burgeravondschool di Surabaya dan

sekolah-sekolah guru di Bandung dan Jogjakarta. Penerimaan anggota dibatasi

dan yang diterima hanya mereka yang mempunyai keinsyafan dan antusiasme

untuk mendukung dan memencarkan ide itu. Walaupun tidak dilakukan

propaganda secara besar-besaran dalam satu triwulan jumlah anggota sudah

mencapai 650 orang, diantaranya yang paling banyak kaum terpelajar, pamong

praja, dan wiraswasta.2

Pada awal aktivitasnya Boedi Oetomo merumuskan tujuannya secara

samar-samar, yaitu kemajuan bagi Hindia. Anggotanya juga masih terbatas.

Tetapi munculnya organisasi ini telah menarik khalayak ramai, karena itu dalam

waktu singkat antara bulan Mei sampai Oktober 1908 cabang-cabang Boedi

Oetomo telah berdiri di Jakarta, Bogor, Bandung, Magelang, Surabaya,

Probolinggo, dan Yogyakarta.

Sesudah pengunduran diri Soerjosoeparto sebagai ketua umum Boedi

Oetomo, maka seorang guru dari Yogyakarta, M.Ng. Dwidjosewojo, dipilih

2Ibid,

(35)

commit to user

sebagai pejabat ketua selama beberapa bulan sampai kongres tanggal 8-9 Juli

1916 di Surabaya ketika R.M. Woerjaningrat, rekan terpimpin sebuah kelompok

anti-Belanda yang kuat dalam keraton Susuhunan, terpilih sebagai ketua.

Woerjaningrat adalah Bupati Nayaka atau Bupati Pertama di Surakarta dan anak

tiri Susuhunan Paku Buwono X. Di bawah pimpinan Woerjaningrat pemindahan

kepemimpinan pengurus pusat Boedi Oetomo dari Yogyakarta, yang telah dimulai

sejak pengunduran diri Notodirodjo pada tahun 1914, menjadi mantap. Sekitar

tahun 1918 Surakarta juga berada di garis depan pada tingkat cabang. Secara

nasional jumlah cabang telah meningkat dari 40 pada akhir 1909 menjadi 51 pada

tahun 1918, sedangkan jumlah anggotanya telah menurun dari sekitar 10.000

menjadi 3.914. Hal ini mencerminkan kenyataan bahwa Boedi Oetomo adalah

partai elite yang kecil dan berpengaruh, dan bukan partai massa.

Boedi Oetomo juga menciptakan dan menyebarkan pengaruhnya di

Surakarta. Organisasi ini berhasil menarik simpati para priyayi dan berusaha

mencari kemajuan-kemajuan lewat pengajaran, tapi sayangnya sentuhan Boedi

Oetomo hanya terbatas lapisan atas, sehingga tidak populer di kalangan

masyarakat bawah terutama petani.

2. Terbentuknya Organisasi Sarekat Islam

Organisasi lain yang muncul di Surakarta dan berpengaruh dalam

kehidupan masyarakat ialah Sarekat Dagang Islam atau Sarekat Islam (1911). SDI

didirikan Haji Samanhudi dilatarbelakangi unsur-unsur ekonomis dan agama.

Secara ekonomis, pendirian organisasi ini sebagai counter terhadap pedagang

(36)

commit to user

terancam kemundurannya di bidang perbatikan. Persatuan antar muslim di

Surakarta yang mulanya bersifat ekonomis ini berkembang menjadi persatuan

antar sesama penganut Islam yang sudah waktunya menunjukkan kekuatannya di

panggung politik nasional. Berkembangnya SI ke berbagai daerah membuktikan

daya kekuatan Pan Islamisme yang mendasari ideologi organisasi itu. SI tidak

hanya diikuti kalangan intelektual saja, tetapi oleh rakyat secara luas. SI

merupakan pencerminan gerakan rakyat dari para pedagang Indonesia melawan

kekuatan kelas menengah Cina.3 Gerakan SI dapat mengisi kelemahan Boedi

Utomo yang tidak dapat menjangkau massa kalangan rakyat bawah.

Penghapusan pada masa awalnya kata “dagang” dari nama sarekat ini

mencerminkan berkurangnya faktor ekonomi dibandingkan dengan faktor agama

dan nasionalisme Jawa yang memainan peranan yang lebih besar. Perhimpunan

baru ini segera meluas dalam jenis kegiatannya yang beraneka ragam. Di samping

boikot anti-Cina, Sarekat Islam dengan cepat mengembangkan rencananya untuk

bergerak di bidang perdagangan, mendirikan sekolah Islam, dan menerbitkan

sebuah surat kabar harian yang murni berbahasa Jawa. Nasionalisme Jawa ini

muncul karena berbagai macam faktor, termasuk pula faktor komersial dan

pertentangan etnis terhadap orang Cina, sentimen anti-Eropa, dan perlawanan

terhadap upaya untuk memodernisasi dan mengubah masyarakat. Popularitas

Sarekat Islam di Surakarta juga sebagian besar berpangkal dari permulaannya

sebagai suatu perkumpulan rahasia yang berfungsi sebagai perhimpunan amal dan

protektif.4

3

WF. Wertheim, 1956, Masyarakat Indonesia dalam Transisi: Studi Perubahan Sosial, Bandung: Van Hoeve, hal. 184..

4

(37)

commit to user

Karena nasionalisme Jawa ini pada hakekatnya merupakan reaksi terhadap

dominasi orang asing dan campur tangan yang semakin banyak dalam adat istiadat

Jawa, adalah wajar apabila Sarekat Islam Surakarta cenderung mencari dukungan

pada Susuhunan dan pembesar di sekelilingnya dan melawan pegawai-pegawai

yang lebih banyak dipengaruhi oleh pemerintah Hindia-Belanda.

Bertentangan dengan Budi Utomo, Sarekat Islam merupakan organisasi

yang cepat berkembang di lingkungan masyarakat bawah. Terlepas dari

kedudukan Sultan sebagai panatagama atau Kepala Agama Islam, Sunan sangat

berhubungan erat dengan Sarekat Islam yang berhaluan Islam. Akan tetapi

kerjasama Sarekat Islam dengan elite istana berakhir karena faktor eksternal yang

berupa tekanan dan campur tangan pemerintah kolonial, sedangkan faktor internal

berupa penggeseran kepemimpinan. Dalam kongres Sarekat Islam lokal pada

bulan April 1914, Cokroaminoto menggantikan H. Samanhudi sebagai anggota

pusat Sarekat Islam. Hal ini berarti hilangnya rasa hormat terhadap elite istana.

Sejak inilah gerakan Sarekat Islam makin radikal karena anggotanya banyak yang

berasal dari golongan bawah.

Radikalisme Sarekat Islam terlihat jelas pada masa 1920-an. Gerakan

Sarekat Islam sampai di pedesaan Surakarta di bawah kepemimpinan Cipto

Mangunkusumo, H. Misbach, Suryopranoto, dan lain-lain. Tokoh-tokoh ini

merupakan tokoh-tokoh agitator yang cukup pandai. Pengaruhnya cukup

mendalam dan meluas di Surakarta. Namun pada masa 1920-an itu,

perkembangan Sarekat Islam mengalami dualisme, di satu sisi ada Sarekat Islam

Putih, dan di sisi lain ada Sarekat Islam Merah. Sarekat Islam Putih bersifat Islami

(38)

commit to user

yang memang telah merasuki tanah air melalui organisasi ISDV dipimpin Hendrik

Snevliet dengan beberapa tokoh komunis lokal. Dengan masuknya pengaruh

komunis di dalam Sarekat Islam menambah keradikalannya. Berbagai peristiwa

politik dan sosial di daerah Klaten sekitar tahun 1920, misalnya pemogokan buruh

merupakan hasil agitasi politik Sarekat Islam secara nyata di pedesaan dalam

melawan kekuasaan asing. Di kalangan Sarekat Islam Merah banyak menuntut

reorganisasi agraris yang menyangkut soal tanah, sehingga masyarakat pedesaan

yang sudah lama mengalami ekstraksi sosial-ekonomi oleh kolonial bersikap

anti-Belanda, anti-gubernemen, dan anti-kapitalis. Kondisi ini sejalan dengan

pandangan Haji Misbach tentang apa yang diistilahkan sebagai ”Islam Abangan”,

yang diartikan: ”Islam” adalah ”prajurit”, dan ”Abangan” adalah ”bendera

merah”. Oleh sebab itu ”Islam Abangan” menandakan ”prajurit yang berani”,

seperti yang dikatakannya saat pidato di desa Kateguhan (subdistrik Sawit) 2 Mei

1920.5

B. Radikalisme Surakarta pada masa Aksi

1. Gerakan Radikal Komunisme di Surakarta

Gerakan radikal kemudian bergeser dari Sarekat Islam kepada

organisasi-organisasi berhaluan kiri. Dalam sejarah Surakarta suatu tonggak penting adalah

tahun 1918 ketika munculnya suatu gerakan radikal yang menentang kedua istana,

perusahaan perkebunan dan gubernemen. Peristiwa ini merupakan awal dari

tahun-tahun yang bergejolak di kalangan sebagian rakyat jelata Kasunanan dan

5Ibid.,

(39)

commit to user

Mangkunegaran dari istana kerajaannya. Di samping masyarakat petani, gerakan

ini juga menyusupi kalangan pegawai pribumi, polisi dan militer. Gerakan ini

mendapat beberapa penganut di kalangan aristokrasi dan bangsawan. Pada masa

puncaknya, pada tahun 1920 gerakan ini mempunyai 50.000 pengikut dan boleh

dikatakan merasuki semua perkebunan di karesidenan ini. Walaupun gerakan ini

akhirnya ditumpas oleh gubernemen, ia telah meninggalkan warisan yang merintis

jalan untuk gerakan komunis.6

Alasan dasar yang dikemukakan oleh para pemimpin radikal adalah bahwa

gerakan mereka timbul karena suatu reaksi terhadap kesulitan yang sangat besar di

kalangan ekonomi. Di samping itu faktor-faktor utama yang sesungguhnya

mencetuskan gerakan ini adalah kehadiran beberapa pemimpin yang sangat

bersemangat, terjadinya suatu bencana alam (wabah pes), kekesalan terhadap

tindakan gubernemen menghadapi bencana ini, dan ketidakpuasan terhadap

reorganisasi agraria yang dijalankan gubernemen.

Permasalahan bermula dari menjalarnya wabah pes pada bulan Maret

1915. Wabah ini dianggap sebagai bencana alam yang secara tradisional dianggap

sebagai pertanda berakhirnya dinasti raja.7 Upaya Belanda dalam memberantas

penyakit ini dengan mengambil beberapa tindakan, namun ironisnya, upaya dari

Pemerintah justru meninggalkan jejak kekecewaan dan kemarahan yang

membekas di hati masyarakat. Misalnya dua dokter Belanda melakukan

multipunctie (mengambil sampel dari limpa yang diteliti), suatu praktek yang

sangat memalukan dan menghina perasaan keagamaan. Kemarahan ini berlanjut

dengan keresahan akan program perbaikan rumah pada saat masyarakat tidak

6Ibid

, hal 131.

7

(40)

commit to user

mampu membiayai perbaikan tersebut.8 Perbaikan ini berjalan di atas

perekonomian yang sangat merosot. Laporan-laporan pada saat itu menyebutkan

bahwa pada masa-masa tahun 1918 dan 1920 merupakan masa yang sulit.

Kesulitan dapat diidentifikasikan dengan inflasi dan biaya hidup yang

membumbung tinggi disaat gaji tetap. Hasil pertanian tidak mampu mencukupi isi

perut alias makan.9

Revolusi di Surakarta pada dasarnya bersifat radikal. Hal ini dikarenakan

adanya sifat mudah memberontak di daerah ini yang dimulai sejak zaman

penjajahan. Sebelum perang di Surakarta sudah ada tradisi melakukan protes yang

sifatnya politik. Di kota misalnya oleh tokoh-tokoh seperti Tjipto Mangunkusumo

dan Haji Misbach, dan di daerah pedesaan oleh PKS (Pakempalan Kawula

Surakarta) maupun oleh gerakan-gerakan Ratu Adil.10 Baik Tjipto maupun

Misbach dengan sukses telah memberikan pimpinan dalam gerakan protes yang

dilakukan oleh kaum tani kebun tebu dari pabrik gula Klaten terhadap penguasa

kolonial. Gerakan-gerakan tersebur makin lama semakin menjauh dari kraton,

karena Sunan dan Mangkunegoro tidak lagi dianggap sebagai pemegang

kekuasaan menurut adat, melainkan sebagai agen dari kaum penjajah yang

mengeksploitasi rakyat, sebagian karena mereka (tidak seperti Sultan dan Paku

Alam) juga memiliki pabrik-pabrik gula.11

Kesulitan-kesulitan telah meggerakkan aksi-aksi radikal yang dipimpin

Haji Muhammad Misbach dan Dr. Tjipto Mangunkusumo. Menurut Shiraisi, Haji

Muhammad Misbach dapat diibaratkan sebagai "sang mubalich" dalam

R.T. Muhammad Husodo Pringgokusumo, 1982, Ringkasan Disertasi Dr. Soejatno Kartodirjo:

Revolusi di Surakarta tahun 1945-1950, Surakarta: Rekso Pustoko, hal. 2.

11

(41)

commit to user

hubungannya dengan aksi-aksi radikal di Surakarta. Misbach lahir di Kauman

Solo pada tahun 1876. Misbach menegaskan, "tanah bukan milik Susuhunan atau

Gubernemen tetapi berasal dari nenek moyang kita dan kita harus mencari jalan

untuk memperolehnya kembali". Kebencian terhadap kraton terutama ditunjukkan

oleh Tjipto. Kritik-kritik Tjipto terhadap Kraton sangat pedas terutama ditujukan

kepada Sunan dan Nasionalisme Jawa.

Di Surakarta ciri khas dari gerakan komunis adalah usahanya yang tekun

untuk memadukan marxisme dengan Islam. Tokoh yang menyemaikan gagasan

ini adalah H. Misbach yang sebelumnya telah menggunakan agama dengan mahir

untuk mencetuskan bergeloranya gerakan radikal. Corak komunisme Islam yang

dianut Misbach adalah suatu percampuran antara Muhammad, Marx dan wawasan

abangan tradisional. Argumen dasar dari Misbach adalah bahwa semua penyakit

sosial, ekonomi dan spiritual yang diderita oleh masyarakat Hindia Belanda

disebabkan oleh sistem kapitalis di seluruh dunia yang secara tidak manusiawi

menindas dan memeras rakyat jelata. Gubernemen, para kapitalis, raja

bumiputera, arsitokrasi, bahkan orang muslim yang kaya raya semuanya

merupakan bagian dari sistem penindasan dan ketidakadilan yang berlaku

dimana-mana. Oleh karena itu, kelompok yang menikmati kekayaan dengan ketidakadilan

tersebut harus disingkirkan.12

"Ajaran" Misbach ini telah menggerakkan para anggota Sarekat Rakyat

maupun anggota komunis lainnya untuk melakukan tindakan-tindakan teroris

kecil-kecilan di Surakarta pada bulan-bulan awal tahun 1923. Aksi-aksi tersebut

bertujuan mengganggu jalannya pemerintahan dan ketenangan masyarakat seperti

12Ibid

(42)

commit to user

sabotase jalan kereta api, pelemparan bom terhadap mobil pejabat maupun keraton

dan pembakaran terhadap rumah orang kaya.13 Pemerintah kemudian bertindak

dengan menangkap Misbach beserta beberapa pengikutnya pada bulan Oktober

1923 dan kemudian dibuang ke Manokwari pada tahun 1924.

Hubungan antara pimpinan Misbach dalam politik pedesaan di Surakarta

dengan permulaan dari gerakan komunis lebih jelas. George D. Larson dalam

Disertasinya menjelaskan bahwa gerakan komunis di Surakarta timbul tidak lama

sesudah Haji Misbach dikeluarkan dari penjara Pekalongan pada bulan Agustus

1922, dan tenggelam setelah pemberontakannya yang terkenal dalam bulan

November 1926 menemui kegagalan.14

Pengaruh yang kuat dari agitasi yang dilakukan oleh Misbach di daerah

perkebunan menimbulkan kesadaran politik diantara petani, sehingga mereka

matang untuk menerima ide-ide dari organisasi-organisasi yang berafiliasi dengan

kaum komunis dalam masa revolusi. Sesungguhnya selama zaman kolonial

Belanda selalu ada keresahan yang bersifat laten di perkebunan-perkebunan

tebu.15

Setelah kepergian Misbach, tekanan-tekanan pemerintah terhadap

kekuatan radikal yang tergabung dalam PKI, Sarekat Rakyat, Moe'alimin dan

beberapa organisasi berhaluan komunis lainnya semakin intensif. Pemerintah

semakin giat melakukan penangkapan-penangkapan terhadap aktivis-aktivis

organisasi radikal ini. Tindakan penangkapan dan penekanan yang dilakukan

pemerintah menyebabkan muncul aksi-aksi balasan yang bersifat kriminal.

13

Van der Marel, Memorie van Overgrave 1924, hal. 106-107

14

George D. Larson, 1979, Prelude to Revolution: Palace and Politics in Surakarta 1912-1942, Tesis dari Northern Illinois University, hal. 230.

15

(43)

commit to user

Tindakan kejahatan tersebut diorganisasikan oleh kekuatan radikal seperti PKI

maupun Sarekat Rakyat baik di perkotaan maupun pedesaan untuk mengacaukan

dan mengganggu keamanan. Beberapa tindak kejahatan tersebut mencapai

puncaknya pada tahun 1926 dan 1927 yang merupakan aksi pemberontakan kaum

komunis terhadap pemerintah. Pemberontakan ini tidak hanya berlangsung di

Surakarta tetapi terjadi juga di Jawa Barat dan Sitiung Sumatra Barat.

2. Munculnya Insulinde di Surakarta

Munculnya Misbach sebagai mubaligh terkemuka dan kembalinya Tjipto

sebagai anggota volksraad ternyata menjadi faktor utama bangkitnya Insulinde di

Surakarta. Dalam konteks pergerakan-pergerakan di Surakarta, Insulinde adalah

front persatuan kekuatan-kekuatan oposisi untuk melawan kekuasaan priyayi

(kraton) yang mengendalikan Budi Utomo dan kekuasaan keagamaan serta

pedagang batik Laweyan yang mengendalikan SI Surakarta.

Insulinde Surakarta merupakan front persatuan kaum pinggiran, yaitu

orang-orang partikulir, muslim reformis, dan buruh-buruh, dalam hierarki sosial

Surakarta. Dengan kehadiran Insulinde yang berhasil memobilisasi petani

pedesaan Surakarta, keresahan petani di pedesaan menjadi meningkat. Mobilisasi

petani itu memicu bangkitnya radikalisasi petani yang ternyata di luar kendali

pemimpin Insulinde Surakarta. Gerakan komunis merupakan pertumbuhan

langsung dari gerakan radikal ini dan mengadakan perlawanan terhadap kraton,

gubernemen dan perusahaan perkebunan.16 Insulinde Surakarta berhasil

mengubah dirinya menjadi perkumpulan bumiputra yang besar, sementara

16

(44)

commit to user

pemimpin pusat Insulinde terutama di pusat pemerintahan dan komersial seperti

Surabaya, Bandung, dan Batavia sebagian besar didominasi orang Indo.

Insulinde dengan ciri nasionalis Hindia-nya sampai pertengahan tahun

1918 masih didominasi golongan konservatif, Galestien sebagai ketuanya dan

Soetadi sebagai sekretaris. Tampilnya kembali Tjipto sebagai pemimpin

pergerakan mulai terasa saat itu. Oleh karena itu ia ditunjuk oleh Gubernur

Jenderal menjadi anggota Volksraad. Meskipun ia belum jadi anggota komite

sentral Insulinde, ia mulai hadir dalam pertemuan bestuur afdeling secara teratur

dan mulai menerbitkan organ Insulinde berbahasa Jawa, Panggoegah, tiga kali

sebulan.17

Kekuatan penentang SI Surakarta banyak bergabung dengan Insulinde

Surakarta sebelum vergadering umum pada April 1919. Keanggotaan ganda di SI

dan Insulinde pada masa itu bukan sesuatu yang aneh. Meskipun Insulinde adalah

perkumpulan yang bekerja demi ”Hindia untuk orang Hindia” tanpa pandang ras

dan agama, sedangkan SI adalah perkumpulan muslim Hindia. Perbedaan

keduanya tidak ideologis. Kehadiran orang-orang Insulinde di tubuh SI

membuktikan bahwa cita-cita Insulinde membangun Hindia merdeka juga ada di

kalangan anggota SI.

Beberapa anggota SI bertahan untuk tidak bergabung dengan Insulinde

karena Insulinde dianggap sebagai perkumpulan orang Indo. Hal ini tidak berlaku

di Surakarta setelah Tjipto direhabilitasi dan mulai menerbitkan organ Insulinde

berbahasa Jawa, Panggoegah. Dalam organ tersebut, Tjipto dengan bahasa

sederhana membicarakan dan mempertajam berbagai isu mulai dari cepatnya

17

(45)

commit to user

perubahan dunia sampai ke isu-isu yang dibicarakan di Volksraad, seperti

kekurangan pangan akibat tertundanya impor beras dari Hindia Inggris (Birma),

pengurangan penanaman gula tebu untuk meningkatkan produksi bahan pangan,

dan pembentukan dewan kota praja dan dewan desa. Semua ini membuat Tjipto

dipandang sebagai sumber inspirasi intelektual penting oleh aktivis SI yang

radikal, dan di mata mereka Insulinde Surakarta lekat dengan sosok Tjipto.18

C. Radikalisme Surakarta pada masa Jepang

1. Terbentuknya Laskar-laskar Perjuangan

Pada masa pendudukan Jepang di Surakarta banyak terbentuk berbagai

kesatuan perjuangan yang disebut sebagai badan-badan kelaskaran. Laskar-laskar

ini terbentuk secara cepat dan berasal dari berbagai unsur sosial.

Kelompok-kelompok yang telah ada sebelumnya menyatukan diri menurut kepentingan

revolusi dengan nama dan keanggotaan yang cenderung bersifat faksional.

Misalnya kelompok pemuda mengorganisasikan diri mereka, kelompok eksponen

tentara masa Jepang, kelompok politik, dan sebagainya.

Laskar-laskar yang terbentuk antara lain Barisan Laskar Banteng (BLB)

yang berseragam hijau di bawah pimpinan Dr. Muwardi, para anggotanya ada

yang berasal dari Gerakan Suisintai dan kelompok pemuda lainnya misalnya

kelompok delapan. Pemuda Sosialis Indonesia atau yang dikenal dengan

PESINDO terbentuk dengan para anggotanya yang banyak berasal dari golongan

pemuda yang berhaluan ideologi kiri radikal di bawah pimpinan Sukarno. Badan

18

(46)

commit to user

Pemberontak Republik Indonesia (BPRI) yang sebenarnya berpusat di Surabaya

di bawah Bung Tomo, di Surakarta dipimpin oleh Gunarjo. Selanjutnya Laskar

Rakyat yang memakai seragam berwarna kuning dipimpin oleh Iskandar

Kusumodirdjo, Hizbullah di bawah pimpinan Munawar dan sebagainya, terutama

dari kalangan rakyat terpelajar.

Para pelajar di Surakarta terorganisir dalam beberapa kelaskaran di

antaranya Pasukan Satria, Barisan Polisi Istimewa Sekolah Menengah Tinggi, dan

BPRI. Selain itu ada Laskar Kere di bawah pimpinan Achmadi, Laskar Barisan

Pemuda Jelata di bawah pimpinan Prakosa, dan Laskar Garuda di bawah Masuri.

Kedua laskar yang terakhir ini kemudian berhimpun dan di bawah komando

Markas Besar TP Pusat di Yogyakarta dan bukan di bawah IPI Pertahanan.19

Para pelajar yang tergabung dalam kesatuan kelaskaran pelajar terkenal

dengan sebutan Tentara Pelajar (TP) dengan tokoh-tokohnya Prakosa, Soebroto,

dan Achmadi. Pusat Komando TP berada di Yogyakarta. Pada masa awal

Revolusi TP berperan besar, baik di bidang militer, politik maupun sosial.

Terbentuknya laskar-laskar pelajar tersebut mendukung sekali jalannya revolusi di

Surakarta. Di kota Surakarta dibentuk komando Militer Kota oleh para elite

militer dan TP untuk menjaga stabilitas dan keamanan kota. Disini tokoh-tokoh

pelajar berperan penting, misalnya Prakosa, A. Latief dan Achmadi.

Di daerah pedesaan juga dibentuk kesatuan-kesatuan kelaskaran yang

berfungsi memobilisasi kekuatan rakyat desa. Laskar-laskar rakyat di pedesaan ini

sebagai kelanjutan dari pembentukan laskar-laskar di kota, berarti sebagai

manifestasi dari suatu urban revolution ( revolusi kota) ke rural revolution

19

Gambar

gambaran yang menunjukkan suatu kontinuitas perkembangan kejadian yang

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil analisis, ada beberapa kesimpulan yang diperoleh, peran FKUB Kota Surakarta dalam membentuk kerukunan antar umat beragama yaitu pertama ,

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan dapat ditarik kesimpulan bahwa Peran Ranting Aisyiyah dalam Internalisasi Nilai-nilai Kemuhammadiyahan di Karangasem

Berdasarkan analisis data penelitian, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa peran dan upaya guru mata pelajaran Akhlak;(a) mempunyai kemampuan pribadi, memiliki

Maka dari awal kelahiran NU sudah mempunyai ghirah dalam dimensi politik yang sangat besar dengan dikirimkannya delegasi untuk menemui. Raja Saud di

Berdasarkan diskripsi data dan pembahasan pada bab sebelumnya, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: (1) Peran guru di SD Muhammadiyah 16 Surakarta dalam

Anto Djawamaku; “Percehan Partai Politik, Pemberantasan Korupsi dan Berbagai Masalah Politik Lainnya”; dalam Jurnal Analisis CSIS : Peran Masyarakat dan Demokrasi Lokal,

Berdasarkan diskripsi data dan pembahasan pada bab sebelumnya, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: (1) Peran guru di SD Muhammadiyah 16 Surakarta dalam

Peran Badan Kesatuan Bangsa Dalam Mewujudkan Partisipasi Politik Yang Cerdas dan Berintegritas tahun 2018 Partisipasi politik yang merupakan pengikutsertaan masyarakat dalam