• Tidak ada hasil yang ditemukan

KONDISI SOSIAL POLITIK SURAKARTA PADA MASA REVOLUSI FISIK 1945

B. Kelompok Oposisi di Surakarta

a. Persatuan Perjuangan

Di Balai Agung, gedung Balaikota Surakarta pada tanggal 15 Januari 1946 pukul 10.00 dibuka Kongres Pendidikan Volksfront. Lima ratus orang pengunjung hadir atas nama 141 organisasi. Jenderal Soedirman beserta stafnya juga turut hadir, dengan diiringi tokoh tertinggi Angkatan Laut Atmadji. Soekarno, Hatta

3

Tan Malaka, 1951, Madilog: Materialisme, Dialektika, Logika, Jakarta: Wijaya, hal. 42

4

Anthony Reid, 1996, Revolusi Nasional Indonesia, ter. P.G Katoppo, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, hal.72.

commit to user

dan kabinet juga diundang hadir, tapi mereka tidak datang. Sultan Yogyakarta dan Sunan Surakarta mewakilkan utusannya masing-masing. Soebardjo dan Gatot Taroenamihardjo yang jauh dari pusat kekuasaan, juga tampak hadir.

Kongres tersebut dihadiri lebih dari seratus organisasi. Organisasi besar sudah hadir di Purwokerto di Kongres sebelumnya, organisasi-organisasi kecil regional dan lokal berdatangan dengan senang dan termasuk sebagai peserta. Seperti Partai Rakyat Djelata (PRD) dan Dewan Perdjoangan, badan-badan permusyawaratan antara tentara dan badan-badan perjuangan. Terutama yang didirikan di Jawa Barat, Tengah dan Timur sangat berpengaruh, tapi juga yang di tingkat lebih rendah, regional dan setempat semuanya aktif dengan kompetensi

masing-masing yang berbeda-beda.5

Seorang tokoh, Tan Malaka merangkum sidang petang hari itu. Dengan terkumpulnya 141 organisasi massa atau partai politik pada tanggal 4 Januari 1946 di Purwokerto, maka terbentuklah organisasi Persatuan Perjuangan yang menggambarkan tekad perjuangan yang anti-diplomasi dalam revolusi Indonesia. Ia menyerukan diadakan penerangan dan propaganda yang luas tentang tujuan perjuangan, perang sejati, yang harus berakhir dengan kekalahan musuh. Untuk kepentingan terbentuknya organisasi yang kokoh, dengan mengingat banyaknya

partai maka hanyalah Volksfront merupakan jalan keluar. Tan Malaka berpidato

selama satu setengah jam, ditekankannya bahwa:

Volksfront soepaja mendjadi badan persatoean perdjoeangan jang menjelesaian pertikaian antara badan, antara

5

Harry A. Poeze, 2008, Tan Malaka, Gerakan Kiri, dan Revolusi Indonesia, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, hal. 233.

commit to user

badan dan pemerintah poesat, antara seseorang dan pemerintah poesat. Karena koerangnja persatoean akan menjebabkan bangsa kita kalah berdjoeang. (...) Dimana-mana telah timboel

partai jang soekar dikendalikan. Ini menerbitkan perpetjahan.6

Salah satu paradoks di awal revolusi 17 Agustus 1945 adalah lahirnya oposisi yang cukup kuat terhadap kabinet Sjahrir. Ben Anderson melihat ada dua faktor utama yang memotivasi timbulnya oposisi tersebut :

(1) Kabinet Sjahrir tidak mewakili semua golongan.

(2) Program kabinet mengutamakan diplomasi kepada Belanda dibandingkan perlawanan bersenjata

Salah satu tokoh nasional yang mengisi peranan sebagai oposisi yang cukup kuat adalah Tan Malaka. Tan Malaka sendiri diperkenalkan kepada beberapa tokoh nasional seperti Soekarno, Sjahrir, Iwa Koesoemasoemantri dan lainnya melalui Soebardjo (anggota PPKI) yang sudah dikenalnya ketika ia diasingkan di Belanda tahun 1922, pada bulan Agustus 1945.

Pada awal bulan September 1945, Tan Malaka mengunjungi Soekarno di rumah dokter pribadinya, dr. Soeharto. Percakapan yang disaksikan oleh Sajuti Melik, Tan Malaka mendesak Presiden untuk mengundurkan diri ke pedalaman untuk mengatur perlawanan bersenjata yang lebih efektif.

Hasil percakapannyanya dengan Tan Malaka itu membuat Soekarno terkesan sehingga Soekarno menyatakan jika terjadi sesuatu dengan dirinya maka Tan Malaka mengambil alih segala tanggung jawabnya. Penjelasan Soekarno

6

commit to user

tersebut kemudian diceritakan Tan Malaka kepada kawannya, Soebardjo, yang mana kemudian mereka berdua berinisiatif membuat surat wasiat.

Akhirnya Tan Malaka meminta Soebardjo untuk mengundang Soekarno ke rumahnya, disitu rencana surat wasiat dibuat dan diajukan untuknya. Namun atas desakan Hatta, pewarisnya diusulkan tidak hanya Tan Malaka seorang namun ada empat orang yaitu : Tan Malaka, Sjahrir, Wongsonegoro (Nasionalis) dan Soekiman (dari golongan Islam). Oleh karena Soekiman sedang berada di

Jogjakarta maka kedudukannya digantikan oleh Iwa Koesoemasoemantri.7

Surat wasiat tersebut segera mengalami kadaluwarsa ketika Jenderal Christison menjamin bahwa Inggris akan menghormati pemerintahan Soekarno dan membuka jalur perundingan dengan pihak sekutu dan Belanda. Pasukan sekutu kemudian mendarat di Jakarta sekitar akhir September dan awal bulan Oktober 1945, Tan Malaka mendekati Sjahrir dan mendesak suatu persekutuan untuk menyingkirkan pemerintahan Soekarno-Hatta dengan semacam perebutan kekuasaan dan untuk menjalankan kebijaksanaan yang lebih radikal menghadapi sekutu.

Kepada Sjahrir ditawarkan jabatan baik sebagai Perdana Menteri maupun sebagai presiden, dengan Tan Malaka memegang jabatan baik sebagai Presiden maupun sebagai menteri tertentu seperti Menteri Perburuhan atau Menteri Dalam Negeri. Namun demikian Sjahrir menolak ide Tan Malaka dan menasehatinya untuk pergi ke daerah-daerah dan melihat apakah ia atau Soekarno yang benar-benar memperoleh dukungan.

7

Ben Anderson, 1988, Revoloesi Pemoeda. Pendudukan Jepang dan Perlawanan di Jawa, 1944-1946, Terjemahan: Jiman Rumbo, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, hal. 58.

commit to user

Setelah pertempuran Surabaya di awal November 1945 hubungan Sjahrir dan Tan Malaka mengalami puncaknya akibat jumlah korban pertempuran Surabaya yang begitu besar. Sjahrir dengan keyakinannya yang kuat menempuh jalan diplomasi, sementara itu Tan Malaka dengan fanatisme yang sama menyakini jalan perjuangan bersenjata melawan tentara sekutu.

Maka itu pada tanggal 3 Desember 1945, Tan Malaka menerbitkan suatu

brosur yang diberi judul, “Moeslihat”. Salah satu tokoh dalam brosur yang

bersifat dialogis tersebut yaitu Godam mengusulkan perlunya pembuatan

“Volksfront” (Front Perjuangan) yang dibagi menjadi 3 bagian : politik, militer

dan ekonomi.

Godam menekankan bahwa “Volksfront” itu bukanlah suatu

pemerintahan, melainkan suatu organisasi untuk mengerahkan segala tenaga untuk memenangkan perang. Ia harus memasukkan sebanyak mungkin golongan dan diorganisasikan atas dasar yang paling demokratis dan terpusat.

Setelah pembuatan “Moeslihat”, nama Tan Malaka semakin berkibar di

dunia pergerakan pemuda waktu itu ditambah beberapa tokoh seperti Muhammad Yamin ikut melambungkan namanya. Ketika ia berpidato pada konggres pemuda yang diadakan di Purwokerto pada tanggal 3 Januari 1946 atas prakarsa Sukarni ia

memperkenalkan “Minimum Program” yang berisi :

(1) Beroending atas pengakoean kemerdekaan 100%

(2) Pemerintahan Rakjat

(3) Tentara Rakjat

commit to user

(5) Mengoeroes tawanan bangsa Eropah

(6) Mensita dan menjelenggarakan pertanian moesoeh

(7) Mensita dan mengoeroes perindoestrian8

Sementara itu ide Tan Malaka tentang “Front Perjuangan” mendapat

tanggapan yang cukup baik dari Partai Sosialis dan elemen pergerakan lainnya,

namun bagi pemerintahan saat itu “Front Perjuangan” dianggap sebagai oposisi.

Pada konferensi perjuangan rakyat kedua yang dilaksanakan di Surakarta pada tanggal 15 dan 16 Januari 1946 dari pihak pemerintah yang juga seperti Presiden, Wakil Presiden dan seluruh menteri kabinet hanya Panglima Besar Soedirman yang hadir sambil mengucapkan suatu perkataan yang terkenal,

“Lebih baik di (bom) atom sama sekali daripada tidak merdeka 100% !”9

Kongres di Surakarta itu menghasilkan “Front Perjuangan” yang diberi nama “Persatuan Perjuangan” (PP) yang mengambil nama dari pidatonya Tan

Malaka di konggres tersebut. Panitia kecil yang ditunjuk untuk membuat usulan-usulan kongkrit dari Persatuan Perjuangan adalah :

(1) Ibnu Parna dari Pesindo

(2) Wali al Fatah dari Masyumi

(3) Sakirman dari Dewan Perjuangan Jawa Tengah

(4) Abdulmadjid dari Partai Sosialis

8

Kedaulatan Rakyat, 16 Januari 1946.

9

commit to user

(5) Jenderal Soedirman dari TKR

(6) Atmadji dari TKR Laut

(7) Soejono dari KNI-Surakarta

(8) Usman dari PRI-Surabaya

(9) Nyonya Mangoenkoesoemo dari Perwani; dan

(10) Tan Malaka

Daya dorong PP kemudian semakin besar dan nampaknya kampanye yang dilakukan Tan Malaka mencapai puncak keberhasilan yang tinggi. Sejumlah besar golongan yang berbeda-beda apakah karena keyakinannya, taktik atau bahkan oportunisme politik telah memutuskan untuk memasuki PP.

Pada tanggal 17 Februari 1946 Presiden Soekarno berpidato, “Pertjajalah

bahwa perdana menteri kita akan tetap dengan pendiriannya mempertahankan

kemerdekaan 100% itu”. Dan pada bulan Maret 1946, Sjahrir merubah susunan

kabinetnya dengan memberikan jatah kursi kabinet kepada Masyumi dan Partai Sosialis yang hampir sama besar serta ditambah beberapa tokoh yang berpengaruh dari Parkindo (Leimena), PBI (Sjamsu Hardja), PNI (Herling Laoh) dan Wikana

(BKPRI) untuk mengantisipasi dominasi PP yang semakin membesar.10

b. Barisan Banteng

Barisan Banteng merupakan nama baru dari Barisan Pelopor yang telah eksis sebelum perang. Dalam sebuah konferensi yang diadakan di Surakarta pada

10

commit to user

tanggal 14 dan 15 Desember 1945, diputuskan untuk mengganti nama dari Barisan Pelopor menjadi Barisan Banteng dengan markas besar di Surakarta di bawah pimpinan Dr. Muwardi dan mbah Sudiro. Sejak permulaan, kekuatan Barisan Banteng terpusat di Surakarta, bahkan dilaporkan memiliki 10.000 anggota dan berlandaskan pada pengikut-pengikut pribadi Muwardi dan Sudiro serta teman-teman karib mereka. Dengan demikian barisan ini ditandai secara menentukan oleh kepribadian pemimpinnya. Meskipun ia seorang dokter kesehatan yang terlatih baik dan pengabdi, Dr. Muwardi sama sekali bukan dokter Jawa berpendidikan barat yang biasa, seorang yang berkemauan keras, pemarah, dan sangat berani meskipun tubuhnya kecil. Ia telah lama aktif dalam gerakan pandu nasionalis sebelum perang, pandai silat, memiliki hubungan-hubungan

yang dekat dengan berbagai “jago” dan taat kepada ilmu kebatinan. Nasionalisme sangat berwatak Jawa, dalam berbagai segi sejajar dengan nasionalisme Sarmidi Mangunsarkoro. Suatu pertanda dari pandangan mengenai dirinya sendiri sebagai pejuang dan bukan sebagai seorang politikus, maka ia tidak masuk PNI Sarmidi, meskipun bawahannya sendiri, yaitu Sudiro melakukannya.

Barisan banteng sering disamakan dengan PNI, dalam berbagai segi ia dekat dengan PETA Jawa Tengah, dan di sisi lain dekat dengan Presiden Sukarno. Dengan adanya kepribadian Muwardi, Barisan Banteng sejak semula agak curiga dengan keanggotaan berhaluan internasional dan kabinet Syahrir, dan lama-lama menarik ke sampingnya berbagai orang yang sama-sama memiliki

kecurigaan-commit to user

kecurigaan itu. Barisan Banteng kemudian menjadi komponen yang menonjol dari

kelompok oposisi.11