• Tidak ada hasil yang ditemukan

KONDISI SOSIAL POLITIK SURAKARTA PADA MASA REVOLUSI FISIK 1945

D. Konflik Sosial Politik Masa Revolusi Fisik 1945

Kelompok-kelompok atau kelas-kelas sosial dalam masyarakat mudah menjadi basis timbulnya konflik-konflik sosial politik. Kelas-kelas sosial ini dapat mendasari pertentangan, pergolakan maupun konflik yang cenderung bersifat

13

commit to user

menonjolkan primordialisme dan faksionalisme. Unsur kepentingan kelas atau kelompok sering mempengaruhi jalannya suatu peristiwa sejarah yang terjadi. Konflik-konflik sosial politik pada masa revolusi dapat muncul antara kaum konservatif dengan progresif, sosialis-komunis dengan nasionalis-agama, politisi dan militer, kaum tua dan kaum muda, dan aristokrat feodal dengan demokrasi kerakyatan. Dalam pola atau struktur konflik itu, ideologi juga berperan penting untuk mempertajam jurang perbedaan dan kepentingan antar kelompok yang bertikai.14

Konflik sosial politik di daerah Surakarta sebenarnya telah ada sejak awal kemerdekaan. Kevakuman kekuasaan pada awal revolusi mengundang terjadinya konflik kepentingan kelompok yang ada. Hukum sebab akibat berlakulah teori, ada aksi menimbulkan reaksi. Sejak ditetapkannya Surakarta sebagai Daerah Istimewa atau Swapraja oleh pemerintah RI di pusat pada 19 Agustus 1945, maka segera timbul reaksi dari para pejuang kemerdekaan di Surakarta dari berbagai kelompok. Ketetapan tersebut yang kemudian diperkuat oleh adanya maklumat raja di Surakarta tertanggal 1 September 1945 tentang seruan kepada seluruh penduduk Surakarta untuk loyal menerima ketentuan status Daerah Istimewa bagi kedua kerajaan di Surakarta itu. Hal ini tampaknya dianggap bersifat bertolak belakang dengan semangat kemerdekaan atau revolusi.

Sejak awal 1945 secara nyata mulailah periode konflik sosial politik, berupa gerakan-gerakan anti-Swapraja untuk menghapus Daerah Istimewa, gerakan untuk mengganti Susuhunan Pakubuwono XII, dan gerakan untuk

14

Suyatno Kartodirdjo, 1989, Revolusi Nasional di Tingkat Lokal, Jakarta: Depdikbud, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, hal. 47.

commit to user

merubah peraturan Daerah Istimewa/ Swapraja yang tidak cocok dengan

zamannya.15 Gerakan-gerakan ini juga berdampak luas, misalnya perebutan

pengaruh, penculikan, dan insiden bersenjata.

Daerah Surakarta berkali-kali didatangi Menteri Dalam Negeri, Dr. Sudarsono untuk menemui Paku Buwono XII. Tujuannya tidak lain untuk menciptakan stabilitas di Surakarta secara sosial politik. Pada suatu pertemuan dengan Menteri Dalam Negeri tersebut seorang bangsawan kraton Surakarta,

Woeryaningrat selaku ” Bupati Nayaka”, mengusulkan suatu pendapat yang

menyangkut persoalan Daerah Istimewa itu. Pertama, agar Daerah Istimewa dipegang oleh Pemerintah Pusat, bila sudah ada peraturan yang mengatur Daerah Istimewa,maka dikembalikan seperti semula. Kedua, gerakan-gerakan yang

disebut ”revolusi sosial” agar diberi pengertian bahwa gerakan tersebut

memperlemah persatuan dan kesatuan untuk menghadapi musuh dari luar yang ingin menjajah bangsa Indonesia. Namun demikian usul ini ditolak Dr.

Sudarsono.16 Akhirnya di kemudian hari timbul berbagai peristiwa revolusioner di

Surakarta akibat suhu revolusi yang terus memanas yang sulit dikendalikan. Pada 15 April 1946 terjadi penculikan-penculikan, terutama dilakukan oleh kesatuan-kesatuan kelaskaran dan pemuda-pemuda militan. Penculikan terhadap pepatih dalem dan wakilnya di Kasunanan, sehingga kekosongan jabatan

ini diisi Woeryaningrat yang diangkat Paku Buwono XII, berstatus pejabat ”Ymt”

atau sementara. Selain itu banyak pegawai ditahan dan selanjutnya menimbulkan

15

Suara Merdeka, 20 Februari 1983.

16

commit to user

ketakutan pegawai lainnya sehingga banyak yang memutuskan untuk mengundurkan diri.

Penculikan lain ditujukan kepada R. Mulyadi Joyomartono (eks Peta) dan wakil ketua KNID Surakarta, dengan alasan karena dianggap kurang tegas. Di lingkungan keluarga keraton juga diculik, misalnya Kanjeng Ratu Paku Buwono (Ibu Sri Paku Buwono XII), Ray. Sunami (kerabat Istana Mangkunegaran), R.

Sukarjo Wiryopranoto (eks anggota Volksraad), Duta Besar RI di Vatikan dan

RRC yang datang dari luar Surakarta. Mereka diculik dan ditempatkan di Kandang Menjangan, Kartosuro. Mereka diculik dengan tuduhan sebagai mata-mata Belanda.

Setelah Sudiro menjadi wakil Residen Surakarta, mereka dibebaskan.17

Komandan Pasukan Intel 0001, Zulkifli Lubis dan beberapa orang pengawalnya diculik kemudian ditempatkan di Gembongan, Kartosuro. Sudiro memerintahkan Barisan Banteng untuk membebaskan mereka, tetapi harus memenuhi syarat tidak boleh menginjakkan kaki di Surakarta sebelum persoalan swapraja dapat

diselesaikan.18

Pada 1 Mei 1946 Mangkunegoro VIII mengeluarkan pengumuman bahwa Mangkunegoro adalah sebagai Kepala Distrik Khusus Mangkunegaran yang berada di bawah langsung Presiden RI. Berdasarkan pada pengumuman itu berarti daerah Mangkunegaran tetap dipertahankan pihak konservatif sebagai swapraja. Status ini tidak ingin terjadi perubahan, apalagi yang bertentangan dengan kepentingan golongan konservatif itu.

17

Karkono Kamajaya, 1993, Revolusi di Surakarta, Makalah Temu Ilmiah, Yogyakarta: Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional, hal. 12.

18

commit to user

Hal itu mempertajam timbulnya gerakan anti-swapraja atau revolusi sosial. Gerakan revolusioner muncul di Surakarta untuk menentang keinginan golongan konservatif tersebut. Sebagai langkah awal dari kaum revolusioner mengadakan rapat besar pada 9 Mei 1946 yang dihadiri oleh 36 organisasi politik yang

dipimpin Dr. Muwardi.19 Tujuan rapat besar ini untuk membentuk dengan segera

badan legislatif secara demokratis dan melalui pemilihan langsung untuk menentukan anggotanya. Pada kesempatan itu pihak konservatif di Surakarta, Susuhunan dan Mangkunegoro mendapat kritik keras dari mereka. Akibatnya Dr. Muwardi beserta 11 tokoh politik lainnya ditangkap unsur tertentu, yang juga termasuk ditangkap ialah anggota KNID Surakarta.

Dengan ditangkapnya para tokoh progresif tersebut, maka sebagai rentetannya, di Surakarta segera timbul demonstrasi-demonstrasi pada 28 Mei 1946 yang dilancarkan secara bersama untuk menentang aksi penangkapan tokoh-tokoh rakyat itu. Para pelaku demonstrasi berasal dari kelompok Barisan Banteng, Hizbullah, dan Polisi Khusus.

Bulan April dan Mei 1946 rupanya cukup panas suasana politik di Surakarta terutama dalam menghadapi perubahan-perubahan yang terjadi secara cepat itu. Pada satu sisi gerakan anti-swapraja berkembang luas hingga ke masyarakat desa. Misalnya tindakan badan-badan pekerja KNID, Surakarta maupun daerah-daerah luar kota, berusaha melepaskan diri dari kekuasaan swapraja Surakarta yang diikuti berbagai kesatuan perjuangan lainnya. Di Klaten, Badan Pekerja KNI yang didukung sekitar 60 organisasi misalnya PBI, BTI,

19

Mawardi, 1995, Dinamika Revolusi Sosial di Surakarta, Sukoharjo: Universitas Veteran Bangun Nusantara, hal. 53.

commit to user

Laskar Rakyat, Laskar Buruh, Pesindo, Barisan Banteng, Masyumi, Hizbullah, GPII, Parkindo, dan Pangreh Praja lokal menyatakan keputusan untuk membentuk

pemerintahan rakyat, terlepas dari swapraja Kasunanan.20 Demikian pula daerah

Karanganyar dan Wonogiri melepaskan diri dari swapraja Mangkunegaran. Kota Surakarta dan pihak Kepolisian Daerah Surakarta juga menyatakan diri terlepas

dari swapraja, pihak kepolisian menjadi Kepolisian Republik Indonesia.21 Namun

demikian di sisi lain pihak swapraja tampaknya tetap bertahan dengan pendiriannya untuk mempertahankan status keistimewaannya. Berkenan dengan itu daerah Sragen juga melepaskan diri.

Konflik-konflik di Surakarta dipertajam pula dengan adanya kelompok oposisi. Kelompok ini menempatkan diri sebagai oposan pemerintah RI pusat. Pada permulaan tahun 1946 Perdana Menteri Syahrir merintis perundingan diplomatis dengan Belanda. Pihak Persatuan Perjuangan (PP) yang dipimpin Tan Malaka dengan beberapa tokoh pendukungnya, Mr. Iwa Kusumasumantri, Mr. Muhammad Yamin, Mr. Achmad Soebarjo, Chaerul Saleh, Sukarni, Adam Malik menuntut agar kabinet Syahrir segera dibubarkan. Namun demikian tuntutan PP tidak diterima Soekarno-Hatta.

Oleh karena itulah kemudian terjadi konflik di pusat pemerintahan RI yang ketika itu telah berada di Yogyakarta dan selanjutnya menjalar ke Surakarta. Seperti diketahui bahwa PP yang dipimpin Tan Malaka merupakan kelompok

20

Ibid.

21

Wisnu Widodo, 1987, Surakarta Genap 41 tahun: Pada Awal kemerdekaan RI pernah menolak sebagai Daerah Istimewa, Suara Merdeka, 16 Juni 1987.

commit to user

oposisi yang cukup besar pengaruhnya dalam lingkungan sipil maupun militer

dengan program-programnya yang radikal.22

Pada bulan Juni 1946 ketegangan politik di Surakarta menimbulkan aksi penculikan terhadap tokoh-tokoh Pemerintah RI. Pada 27 Juni 1946 malam, Perdana Menteri Syahrir beserta rombongannya yaitu Dr. Sudarsono (Menteri Dalam Negeri), Ir. Darmawan Mangunkusumo (Menteri Kemakmuran), Mr. Maria Ulfah (Sekretaris Kabinet), yang baru saja dari perjalanan ke Mojokerto dan kemudian menginap di Javasche Bank Surakarta diculik oleh Mayor AK.

Yusuf atas dasar surat tugas dari Mayor Sudarsono.23 Penculikan terhadap Syahrir

dan kawan-kawannya ini terdengar hingga ke Jawa Timur, akhirnya kelompok Pesindo Jawa Timur (pendukung Syahrir) menyerbu Surakarta dan menduduki kantor di depan Javasche Bank tersebut dan Markas Polisi Tentara. Namun mereka tak kuasa apa-apa karena penculiknya adalah Mayor AK. Yusuf. Perdana Menteri Syahrir dan rombongannya kemudian dibawa ke Pesanggrahan milik Sunan di Paras Boyolali.

Selain itu di Kantor Pemerintahan Rakyat dan Tentara pada 28 Juni ternyata kosong. Pemimpin-pemimpin pemerintahan ini diamankan di Resimen XXV jalan Jebres yang dipimpin Suadi Suromiarjo. Adanya perintah Presiden Soekarno untuk segera mengembalikan Perdana Menteri Syahrir melalui RRI akhirnya para pemimpin pemerintahan itu baru meninggalkan resimen XXV untuk

pulang ke rumah masing-masing. Soekarno juga mengumumkan ”Negara dalam

22

Taufik Abdullah dkk, 1983, Manusia dalam kemelut Sejarah, Jakarta: LP3ES, hal. 165.

23

commit to user

keadaan Darurat Perang” dan menyerukan agar Syahrir segera dikembalikan para penculik. Untuk sementara waktu pemerintahan diambil alih Presiden Soekarno.

Peristiwa penculikan Perdana Menteri Syahrir tersebut merupakan dampak kekuatan kelompok oposisi dalam menghadapi Pemerintah RI di pusat yang ternyata masih berlanjut hingga timbulnya apa yang disebut sebagai

”Peristiwa 3 Juli”.24

24

commit to user

59

BAB IV

PEMBENTUKAN KNID SURAKARTA DAN PERANNYA