• Tidak ada hasil yang ditemukan

AKAR-AKAR RADIKALISME SURAKARTA SEBELUM REVOLUSI 1945

A. Radikalisme Surakarta dalam masa Pergerakan 1908-1911

1. Terbentuknya Organisasi Boedi Oetomo

Periode akhir abad XIX dan awal abad XX merupakan periode awal pertumbuhan modernisasi masyarakat bumi putera. Modernisasi dalam hal ini diartikan sebagai hasrat untuk mencapai kemajuan dengan menuntut pelajaran dan pendidikan, terutama pendidikan model Barat. Dalam tubuh masyarakat bumi putera mulai saat itu telah tumbuh kesadaran diri akan ketertinggalan kebudayaan jika dibandingkan dengan bangsa Belanda yang ketika itu sebagai penjajah. Buktinya adalah semakin banyak anak yang mengunjungi sekolah untuk menuntut ilmu pengetahuan dan teknik, makin banyak penduduk pribumi yang mencari kesempatan untuk mendapatkan pendidikan modern. Hal itu semakin meningkat setelah digelindingkannya politik etis di Hindia Belanda yang salah satu programnya adalah pengembangan pendidikan bagi kalangan bumi putera. Gejala itu menjadi tanda bahwa masyarakat berkembang ke arah kesadaran nasional. Paham-paham baru mulai berlaku, timbul keberanian meninggalkan tradisi kuno,

dan adanya dorongan yang semakin kuat untuk memperoleh kemajuan.1

Boedi Oetomo sebagai suatu organisasi pergerakan nasional pertama didirikan atas dasar tuntutan kemajuan itu. Tuntutan kemajuan yang direfleksikan

1

Cahyo Budi Utomo, 1995, Dinamika Pergerakan Kebangsaan Indonesia dari Kebangkitan hingga Kemerdekaan, Semarang: IKIP Semarang Press, hal. 49.

commit to user

dalam bentuk suatu organisasi itu sebenarnya sebagai suatu jawaban terhadap penetrasi Barat dengan imperialisme dan kapitalismenya. Aspirasi nasional itu tidak hanya timbul sebagai reaksi terhadap isolasi ekonomis dan sosio-kultural yang diciptakan oleh politik kolonial Barat, tetapi juga karena dorongan kuat untuk menjunjung tinggi derajat bangsa.

Gagasan untuk mendirikan suatu perkumpulan yang sifatnya umum di Jawa ini mendapat persetujuan dan pengikut dari kalangan pelajar sekolah-sekolah menengah, yaitu sekolah pertanian dan sekolah kehewanan di Bogor, sekolah

Menak di Magelang, dan Probolinggo, Burgeravondschool di Surabaya dan

sekolah-sekolah guru di Bandung dan Jogjakarta. Penerimaan anggota dibatasi dan yang diterima hanya mereka yang mempunyai keinsyafan dan antusiasme untuk mendukung dan memencarkan ide itu. Walaupun tidak dilakukan propaganda secara besar-besaran dalam satu triwulan jumlah anggota sudah mencapai 650 orang, diantaranya yang paling banyak kaum terpelajar, pamong

praja, dan wiraswasta.2

Pada awal aktivitasnya Boedi Oetomo merumuskan tujuannya secara samar-samar, yaitu kemajuan bagi Hindia. Anggotanya juga masih terbatas. Tetapi munculnya organisasi ini telah menarik khalayak ramai, karena itu dalam waktu singkat antara bulan Mei sampai Oktober 1908 cabang-cabang Boedi Oetomo telah berdiri di Jakarta, Bogor, Bandung, Magelang, Surabaya, Probolinggo, dan Yogyakarta.

Sesudah pengunduran diri Soerjosoeparto sebagai ketua umum Boedi Oetomo, maka seorang guru dari Yogyakarta, M.Ng. Dwidjosewojo, dipilih

commit to user

sebagai pejabat ketua selama beberapa bulan sampai kongres tanggal 8-9 Juli 1916 di Surabaya ketika R.M. Woerjaningrat, rekan terpimpin sebuah kelompok anti-Belanda yang kuat dalam keraton Susuhunan, terpilih sebagai ketua.

Woerjaningrat adalah Bupati Nayaka atau Bupati Pertama di Surakarta dan anak

tiri Susuhunan Paku Buwono X. Di bawah pimpinan Woerjaningrat pemindahan kepemimpinan pengurus pusat Boedi Oetomo dari Yogyakarta, yang telah dimulai sejak pengunduran diri Notodirodjo pada tahun 1914, menjadi mantap. Sekitar tahun 1918 Surakarta juga berada di garis depan pada tingkat cabang. Secara nasional jumlah cabang telah meningkat dari 40 pada akhir 1909 menjadi 51 pada tahun 1918, sedangkan jumlah anggotanya telah menurun dari sekitar 10.000 menjadi 3.914. Hal ini mencerminkan kenyataan bahwa Boedi Oetomo adalah partai elite yang kecil dan berpengaruh, dan bukan partai massa.

Boedi Oetomo juga menciptakan dan menyebarkan pengaruhnya di Surakarta. Organisasi ini berhasil menarik simpati para priyayi dan berusaha mencari kemajuan-kemajuan lewat pengajaran, tapi sayangnya sentuhan Boedi Oetomo hanya terbatas lapisan atas, sehingga tidak populer di kalangan masyarakat bawah terutama petani.

2. Terbentuknya Organisasi Sarekat Islam

Organisasi lain yang muncul di Surakarta dan berpengaruh dalam kehidupan masyarakat ialah Sarekat Dagang Islam atau Sarekat Islam (1911). SDI didirikan Haji Samanhudi dilatarbelakangi unsur-unsur ekonomis dan agama.

Secara ekonomis, pendirian organisasi ini sebagai counter terhadap pedagang

commit to user

terancam kemundurannya di bidang perbatikan. Persatuan antar muslim di Surakarta yang mulanya bersifat ekonomis ini berkembang menjadi persatuan antar sesama penganut Islam yang sudah waktunya menunjukkan kekuatannya di panggung politik nasional. Berkembangnya SI ke berbagai daerah membuktikan

daya kekuatan Pan Islamisme yang mendasari ideologi organisasi itu. SI tidak

hanya diikuti kalangan intelektual saja, tetapi oleh rakyat secara luas. SI merupakan pencerminan gerakan rakyat dari para pedagang Indonesia melawan

kekuatan kelas menengah Cina.3 Gerakan SI dapat mengisi kelemahan Boedi

Utomo yang tidak dapat menjangkau massa kalangan rakyat bawah.

Penghapusan pada masa awalnya kata “dagang” dari nama sarekat ini mencerminkan berkurangnya faktor ekonomi dibandingkan dengan faktor agama dan nasionalisme Jawa yang memainan peranan yang lebih besar. Perhimpunan baru ini segera meluas dalam jenis kegiatannya yang beraneka ragam. Di samping boikot anti-Cina, Sarekat Islam dengan cepat mengembangkan rencananya untuk bergerak di bidang perdagangan, mendirikan sekolah Islam, dan menerbitkan sebuah surat kabar harian yang murni berbahasa Jawa. Nasionalisme Jawa ini muncul karena berbagai macam faktor, termasuk pula faktor komersial dan pertentangan etnis terhadap orang Cina, sentimen anti-Eropa, dan perlawanan terhadap upaya untuk memodernisasi dan mengubah masyarakat. Popularitas Sarekat Islam di Surakarta juga sebagian besar berpangkal dari permulaannya sebagai suatu perkumpulan rahasia yang berfungsi sebagai perhimpunan amal dan protektif.4

3

WF. Wertheim, 1956, Masyarakat Indonesia dalam Transisi: Studi Perubahan Sosial, Bandung: Van Hoeve, hal. 184..

4

George D. Larson, 1990, Masa Menjelang Revolusi: Kraton dan Kehidupan Politik di Surakarta 1912-1942, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, hal. 61.

commit to user

Karena nasionalisme Jawa ini pada hakekatnya merupakan reaksi terhadap dominasi orang asing dan campur tangan yang semakin banyak dalam adat istiadat Jawa, adalah wajar apabila Sarekat Islam Surakarta cenderung mencari dukungan pada Susuhunan dan pembesar di sekelilingnya dan melawan pegawai-pegawai yang lebih banyak dipengaruhi oleh pemerintah Hindia-Belanda.

Bertentangan dengan Budi Utomo, Sarekat Islam merupakan organisasi yang cepat berkembang di lingkungan masyarakat bawah. Terlepas dari

kedudukan Sultan sebagai panatagama atau Kepala Agama Islam, Sunan sangat

berhubungan erat dengan Sarekat Islam yang berhaluan Islam. Akan tetapi kerjasama Sarekat Islam dengan elite istana berakhir karena faktor eksternal yang berupa tekanan dan campur tangan pemerintah kolonial, sedangkan faktor internal berupa penggeseran kepemimpinan. Dalam kongres Sarekat Islam lokal pada bulan April 1914, Cokroaminoto menggantikan H. Samanhudi sebagai anggota pusat Sarekat Islam. Hal ini berarti hilangnya rasa hormat terhadap elite istana. Sejak inilah gerakan Sarekat Islam makin radikal karena anggotanya banyak yang berasal dari golongan bawah.

Radikalisme Sarekat Islam terlihat jelas pada masa 1920-an. Gerakan Sarekat Islam sampai di pedesaan Surakarta di bawah kepemimpinan Cipto Mangunkusumo, H. Misbach, Suryopranoto, dan lain-lain. Tokoh-tokoh ini merupakan tokoh-tokoh agitator yang cukup pandai. Pengaruhnya cukup mendalam dan meluas di Surakarta. Namun pada masa 1920-an itu, perkembangan Sarekat Islam mengalami dualisme, di satu sisi ada Sarekat Islam Putih, dan di sisi lain ada Sarekat Islam Merah. Sarekat Islam Putih bersifat Islami murni, dan Sarekat Islam Merah bersifat akomodatif dengan sosialis-komunis

commit to user

yang memang telah merasuki tanah air melalui organisasi ISDV dipimpin Hendrik Snevliet dengan beberapa tokoh komunis lokal. Dengan masuknya pengaruh komunis di dalam Sarekat Islam menambah keradikalannya. Berbagai peristiwa politik dan sosial di daerah Klaten sekitar tahun 1920, misalnya pemogokan buruh merupakan hasil agitasi politik Sarekat Islam secara nyata di pedesaan dalam melawan kekuasaan asing. Di kalangan Sarekat Islam Merah banyak menuntut reorganisasi agraris yang menyangkut soal tanah, sehingga masyarakat pedesaan yang sudah lama mengalami ekstraksi sosial-ekonomi oleh kolonial bersikap anti-Belanda, anti-gubernemen, dan anti-kapitalis. Kondisi ini sejalan dengan pandangan Haji Misbach tentang apa yang diistilahkan sebagai ”Islam Abangan”, yang diartikan: ”Islam” adalah ”prajurit”, dan ”Abangan” adalah ”bendera merah”. Oleh sebab itu ”Islam Abangan” menandakan ”prajurit yang berani”, seperti yang dikatakannya saat pidato di desa Kateguhan (subdistrik Sawit) 2 Mei

1920.5