• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan antara kekuatan pergerakan politik dengan KNID Surakarta Surakarta

PEMBENTUKAN KNID SURAKARTA DAN PERANNYA DALAM PERGERAKAN POLITIK DI SURAKARTA

PENJERAHAN PEMERINTAHAN

C. Hubungan antara kekuatan pergerakan politik dengan KNID Surakarta Surakarta

Revolusi di Surakarta tidak dimulai dari bawah di tingkat desa, tetapi dimulai di kota Surakarta oleh para pemimpin. Para pemuda dan para politisi dari zaman sebelum perang dengan antusias dan serentak mendirikan unsur-unsur pokok dari pemerintahan revolusioner, yaitu KNID (Komite Nasional Indonesia Daerah), BKR (Badan Keamanan Rakyat) dan badan-badan perjuangan. Unsur-unsur tersebut yang untuk pertama kalinya menanamkan kekuasaan republik di dalam kota Surakarta dengan sengaja tidak mencantumkan gelar-gelar kebangsawanan dari para anggotanya yang berasal dari keraton, karena adanya

beberapa pertentangan.28

Pembentukan beberapa laskar di kota dan di desa-desa merupakan respons terhadap proklamasi kemerdekaan dan menunjukkan perpecahan yang ada dalam masyarakat. Organisasi-organisasi tersebut menyatakan setia kepada nilai-nilai umum dari revolusi, seperti kemerdekaan, demokrasi, imperialisme, dan anti-feodalisme. Akan tetapi masing-masing organisasi memiliki pendirian dan ideologi sendiri, serta tujuan dan program sendiri. Jelas sekali sikap anggota laskar-laskar di Surakarta dibatasi oleh nilai-nilai budaya Jawa, dan di tiap organisasi terdapat hubungan yang erat diantara para anggota dan pemimpinnya.

28

R.T. Muhammad Husodo Pringgokusumo, 1982, ringkasan Disertasi Dr. Soejatno Kartodirjo: Revolusi di Surakarta tahun 1945-1950, Surakarta: Rekso Pustoko, hal. 3.

commit to user

Hal ini ditunjukkan oleh penggunaan kata “bapak”. Akan tetapi kesamaan latar belakang budaya ini serta kerukunan diantara mereka tidak dapat menghilangkan kenyataan bahwa diantara laskar-laskar itu terdapat perbedaan yang mendalam dan persaingan.

Respon di pedesaan terhadap proklamasi kemerdekaan bersifat meniru apa yang terjadi di dalam kota. Pemimpin-pemimpin revolusi setempat mendirikan KNI pada tingkat kecamatan, dan di tempat-tempat tertentu bahkan didirikan KNI di tingkat desa. Berbagai badan perjuangan dengan cara yang sama didirikan oleh pemuda-pemuda desa yang telah memperoleh pengalaman dalam organisasi-organisasi yang didukung oleh Jepang. Akan tetapi jurang diantara daerah perkotaan dengan pedesaan tidak dapat dijaga, karena pembentukan KNI pedesaan dan badan perjuangan pedesaan mulai melibatkan masyarakat desa langsung ke dalam politik nasional. KNI pedesaan bertindak sebagai pemeritah revolusioner di pedesaan, yang melaksanakan perintah-perintah dari pemerintah RI yang baru. Keadaan ini mengganggu jalannya perintah dari para raja melalui badan pemerintahan, sutu pola yang telah berjalan bertahun-tahun. Orang-orang desa yang memihak kepada RI mulai mengukur sikap para bekas kepala desa

dengan nilai-nilai baru yang dibawa oleh revolusi Indonesia.29

KNID Surakarta bersama-sama dengan kekuatan pergerakan politik di Surakarta menyusun jalannya revolusi. Hal ini terlihat dari bersatunya markas pergerakan mereka. KNID Surakarta menggunakan bekas Hotel Yuliana di

29

commit to user

Purbayan sebagai tempat pelaksana rapat mereka. Tempat tersebut juga menjadi Markas Komando Revolusi Kemerdekaan Indonesia di Surakarta dan tempat berkumpulnya tokoh-tokoh revolusioner yang membuat banyaknya organisasi

pergerakan politik berkumpul disana.30

Rapat pembentukan pengurus KNID Surakarta dihadiri 144 peserta dari seluruh Surakarta. Mereka adalah para politisi dan pejuang yang tergabung dalam barisan pejuang dan laskar-laskar rakyat di Surakarta. Beberapa diantara mereka pernah melakukan aksi revolusioner antara lain dengan menyerobot fasilitas publik di Surakarta seperti gedung-gedung pemerintahan dan industri gula. Latar belakang anggota KNID Surakarta yang berasal dari badan-badan kekuatan politik ini yang menjadi cikal bakal pergerakan politik yang dilakukan KNID Surakarta.

Aksi-aksi revolusioner ditunjukkan secara bersama-sama antara KNID Surakarta dengan para anggota Barisan Pelopor, Markas Delapan, dan Indonesia Muda. Mereka berhasil melakukan perebutan terhadap gedung-gedung pemerintahan sipil Jepang antara lain Kantor Jawatan Pos dan Telepon, Jawatan Perminyakan, Jawatan Percetakan, Jawatan Angkutan Bermotor, Jawatan Radio, Dinas Kepolisian, Dinas Rahasia dan Reserse, dan Dinas Penjara. Perebutan kantor-kantor tersebut pada akhirnya menjadi fasilitas publik pemerintah RI yang

berada di bawah kewenangan KNID Surakarta.31

30

Djawatan Penerangan Kota Besar Surakarta, 1953, Kenang-kenangan Kota Besar Surakarta 1945-1953, Surakarta: t.p., hal. 2-3.

31

commit to user

Pada awal Januari 1946 Surakarta menjadi markas kelompok oposisi Persatuan Perjuangan (PP). Kehadiran PP disambut antusias para pemuda di Surakarta karena program meraka sangat menentang proses diplomasi yang dilakukan pemerintahan Syahrir dan lebih mempercayai revolusi atau pertempuran untuk menghadapi Belanda. KNID Surakarta sangat berperan dalam pelaksanaan kongres PP di Surakarta pada 4 Januari 1946. Pada kongres tersebut lahirlah Minimum Program yang dipelopori oleh Tan Malaka. Karena berperan aktif dalam Persatuan Perjuangan, KNID Surakarta yang tergabung dalam PP mendapat tempat terhormat yaitu dengan diangkatnya ketua KNID Surakarta, Suyono (mantan aktivis PKI 1926) sebagai Sekretaris Jenderal di struktur

pengurus Persatuan Perjuangan.32

32

Julianto Ibrahim, 2004, Bandit dan Pejuang di Simpang Bengawan: Kriminalitas dan Kekerasan Masa Revolusi di Surakarta, Wonogiri: Bina Citra Pustaka, hal. 153.

commit to user

90

BAB V

PENUTUP

Simpulan

Pada tanggal 19 Agustus 1945, Pemerintah Pusat RI berhasil melengkapi perangkat pemerintahan dengan kabinet pertamanya dan Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) dibentuk. Komite ini berfungsi sebagai Parlemen sementara yang dilengkapi juga suatu Badan Pekerja (BP-KNIP). Adanya Komite Nasional ini tidak hanya terbatas di lingkungan pemerintah pusat, tapi secara berlanjut di daerah-daerah dibentuk juga Komite Nasional Indonesia Daerah (KNID). Tujuan KNID dibentuk adalah untuk melucuti tentara Jepang dan memindahkan kekuasaan pemerintah Jepang ke tangan KNID.

Pada tanggal 11 September 1945 dibentuklah KNID Surakarta yang diketuai oleh Mr. Soemodiningrat melalui sidang di Pendopo Woerjoningratan. Soemodiningrat yang merupakan ipar Susuhunan dan bekas opsir PETA ini dibantu oleh 9 orang dari elite agama, elite tradisional berpendidikan Barat dan elite politik.

Keberadaan KNID Surakarta mendapat dukungan dari segenap potensi perjuangan rakyat. KNID sebagai pimpinan gerakan revolusi di Surakarta harus

menghadapi kekuatan Jepang yang terbagi dalam Kooti Jimmu Kyoku (kekuatan

sipil), Butai yang bersenjatakan lengkap, dan Kenpetai.

Pembentukan beberapa laskar di kota dan di desa-desa merupakan respons terhadap proklamasi kemerdekaan dan menunjukkan perpecahan yang ada dalam masyarakat. Revolusi di Surakarta tidak dimulai dari bawah di tingkat desa, tetapi

commit to user

dimulai di kota Surakarta oleh para pemimpin. Para pemuda dan para politisi dari zaman sebelum perang dengan antusias dan serentak mendirikan unsur-unsur pokok dari pemerintahan revolusioner, yaitu KNID (Komite Nasional Indonesia Daerah), BKR (Badan Keamanan Rakyat) dan badan-badan perjuangan. Unsur-unsur tersebut yang untuk pertama kalinya menanamkan kekuasaan republik di dalam kota Surakarta.

Sejak ditetapkannya Surakarta sebagai Daerah Istimewa atau Swapraja oleh pemerintah RI di pusat pada 19 Agustus 1945, maka segera timbul reaksi dari para pejuang kemerdekaan di Surakarta dari berbagai kelompok. Di awal tahun 1945 secara nyata mulailah periode konflik sosial politik, berupa gerakan-gerakan anti-Swapraja untuk menghapus Daerah Istimewa, gerakan untuk mengganti Susuhunan Pakubuwono XII, dan gerakan untuk merubah peraturan Daerah Istimewa/ Swapraja yang tidak cocok dengan zamannya.

Pada tanggal 1 Oktober 1945, Komite Nasional Indonesia Daerah

Surakarta mengadakan perundingan dengan Watanabe sebagai Suchokan di

Surakarta. Perundingan tersebut bertujuan agar Kochi Jimmu Kyoku menyerahkan kekuasaannya kepada Pemerintah Daerah Surakarta karena Jepang telah mengalami kekalahan. Tanpa perlawanan, Watanabe menyerahkan kekuasaannya di Surakarta kepada Mr. B.P.H Soemodiningrat sebagai Kepala Pemerintah Surakarta. Pada tanggal 1 Oktober 1945 secara resmi seluruh kekuasaan Jepang di Surakarta telah diserahkan kepada bangsa Indonesia.

Dengan demikian penyerahan kekuasaan sipil pemerintah Jepang tersebut dapat dikatakan sepenuhnya sebagai hasil jerih payah KNID Surakarta dan rakyat. Peralihan kekuasaan pemerintah sipil Jepang kepada KNID Surakarta segera

commit to user

disertai dengan perubahan-perubahan administratif yang diperlukan untuk menjalankan kekuasaan yang baru saja diperoleh.

Sikap kurang tanggap terhadap situasi revolusi dan tidak mampu mengantisipasi secara tepat akhirnya membawa nasib aristokrasi di Surakarta menyimpang atau bahkan berbalikan dari apa yang diharapkan. Kelemahan terhadap semangat revolusi dari aristokrasi ini menimbulkan krisis kekuasaan di Surakarta pada awal kemerdekaan.

Krisis ini memberikan peluang besar bagi institusi-institusi baru yang berjiwa revolusi untuk menggantikannya. Pasifnya raja-raja Surakarta segera diimbangi aktifitas di kalangan pejuang kemerdekaan dari berbagai golongan sosial. Akhirnya pemerintahan republik di Surakarta diperkuat dengan berdirinya KNID (Komite Nasional Indonesia Daerah) Surakarta yang diprakarsai oleh seorang bangsawan kraton Kasunanan, yaitu Wuryaningrat pada awal bulan September 1945. Terbentuknya KNID Surakarta yang bertugas melucuti Jepang akhirnya mendapat keberhasilan secara gemilang. Adanya KNID Surakarta disambut baik oleh golongan-golongan pejuang kemerdekaan di Surakarta. Dengan demikian terjadinya krisis kekuasaan di Surakarta pada masa awal kemerdekaan langsung dapat dipecahkan melalui komite tersebut sebagai semacam lembaga perwakilan rakyat daerah.

Di daerah Surakarta, peristiwa revolusi sosial terjadi karena keinginan partai-partai dan pemuka-pemuka pergerakan agar swapraja dihapuskan. Terlepas dari segala konflik istana, keberadaan KNID Surakarta pada akhirnya digunakan sebagai sarana semangat revolusi pemuda dalam mewujudkan impiannya tentang Negara yang berkedaulatan rakyat dan menjadi motor gerakan anti swapraja

commit to user

dalam menentukan pemerintahan kerakyatan. KNID Surakarta ingin memberikan bukti bahwa kedudukan KNID Surakarta sebagai lembaga kekuasaan di Surakarta adalah resmi dengan adanya pengakuan kedudukan KNID Surakarta berkaitan dengan pengambilalihan kekuasaan.