• Tidak ada hasil yang ditemukan

AKAR-AKAR RADIKALISME SURAKARTA SEBELUM REVOLUSI 1945

C. Radikalisme Surakarta pada masa Jepang

1. Terbentuknya Laskar-laskar Perjuangan

Pada masa pendudukan Jepang di Surakarta banyak terbentuk berbagai kesatuan perjuangan yang disebut sebagai badan-badan kelaskaran. Laskar-laskar ini terbentuk secara cepat dan berasal dari berbagai unsur sosial. Kelompok-kelompok yang telah ada sebelumnya menyatukan diri menurut kepentingan revolusi dengan nama dan keanggotaan yang cenderung bersifat faksional. Misalnya kelompok pemuda mengorganisasikan diri mereka, kelompok eksponen tentara masa Jepang, kelompok politik, dan sebagainya.

Laskar-laskar yang terbentuk antara lain Barisan Laskar Banteng (BLB) yang berseragam hijau di bawah pimpinan Dr. Muwardi, para anggotanya ada

yang berasal dari Gerakan Suisintai dan kelompok pemuda lainnya misalnya

kelompok delapan. Pemuda Sosialis Indonesia atau yang dikenal dengan PESINDO terbentuk dengan para anggotanya yang banyak berasal dari golongan pemuda yang berhaluan ideologi kiri radikal di bawah pimpinan Sukarno. Badan

18

commit to user

Pemberontak Republik Indonesia (BPRI) yang sebenarnya berpusat di Surabaya di bawah Bung Tomo, di Surakarta dipimpin oleh Gunarjo. Selanjutnya Laskar Rakyat yang memakai seragam berwarna kuning dipimpin oleh Iskandar Kusumodirdjo, Hizbullah di bawah pimpinan Munawar dan sebagainya, terutama dari kalangan rakyat terpelajar.

Para pelajar di Surakarta terorganisir dalam beberapa kelaskaran di antaranya Pasukan Satria, Barisan Polisi Istimewa Sekolah Menengah Tinggi, dan BPRI. Selain itu ada Laskar Kere di bawah pimpinan Achmadi, Laskar Barisan Pemuda Jelata di bawah pimpinan Prakosa, dan Laskar Garuda di bawah Masuri. Kedua laskar yang terakhir ini kemudian berhimpun dan di bawah komando

Markas Besar TP Pusat di Yogyakarta dan bukan di bawah IPI Pertahanan.19

Para pelajar yang tergabung dalam kesatuan kelaskaran pelajar terkenal dengan sebutan Tentara Pelajar (TP) dengan tokoh-tokohnya Prakosa, Soebroto, dan Achmadi. Pusat Komando TP berada di Yogyakarta. Pada masa awal Revolusi TP berperan besar, baik di bidang militer, politik maupun sosial. Terbentuknya laskar-laskar pelajar tersebut mendukung sekali jalannya revolusi di Surakarta. Di kota Surakarta dibentuk komando Militer Kota oleh para elite militer dan TP untuk menjaga stabilitas dan keamanan kota. Disini tokoh-tokoh pelajar berperan penting, misalnya Prakosa, A. Latief dan Achmadi.

Di daerah pedesaan juga dibentuk kesatuan-kesatuan kelaskaran yang berfungsi memobilisasi kekuatan rakyat desa. Laskar-laskar rakyat di pedesaan ini sebagai kelanjutan dari pembentukan laskar-laskar di kota, berarti sebagai

manifestasi dari suatu urban revolution ( revolusi kota) ke rural revolution

19

Mawardi, 1995, Dinamika Revolusi Sosial di Surakarta, Sukoharjo: Universitas Veteran Bangun Nusantara, hal. 48.

commit to user

(revolusi desa). Para anggota kelaskaran di desa-desa terdiri dari pemuda, tokoh politik, pemimpin agama, dan lainnya. Organisasi kelaskaran ini misalnya Laskar Rakyat Surakarta, Pemuda Laskar Rakyat, Pemuda Penjaga Desa, Pelopor Laskar

Rakyat, Markas Pertahanan Rakyat, dan Gerakan Sabilillah.20

Laskar-laskar di pedesaan tersebut timbul secara spontan dan menentukan para pemimpinnya sendiri. Untuk menghadapi musuh para anggota laskar di

desa-desa itu menggunakan strategi perang “gerilya”. Secara umum mereka banyak

menggunakan persenjataan tradisional, misalnya keris, pedang, granggang, tombak, bandil, dsb. Hal ini berbeda dengan apa yang dimiliki oleh laskar-laskar di kota yang terutama berasal dari kesatuan-kesatuan eksponen militer yang telah banyak memegang senjata modern. Para anggota kelaskaran di desa-desa juga

diwarnai dengan penguasaan ngelmu tertentu dan berbagai jimat untuk

mempertebal kekuatan diri secara magis. Kekuatan magis ini dicari dan diperoleh dari cara berguru kepada para ahli magis atau dukun dan kyai. Beberapa macam jimat yang dipakai sebagai sarana kekuatan magis itu diantaranya bernama Tanjungsari, Kulbuntet, Bolandoh, Kalacakra, dll. Ini merupakan suatu refleksi tradisi Jawa yang masih berlanjut dalam masa Revolusi. Tradisi ini telah lama ada misalnya bersamaan dengan munculnya gerakan protes atau sosial yang sering diperkuat oleh unsur-unsur religio-magis itu, tujuannya untuk memperoleh kasekten, kawedungan, kadigdayan.

Di Surakarta terdapat beberapa sumber ngelmu dari para kyai atau dukun, dan yang terkenal waktu itu antara lain Kyai Juru Mertani, Kyai Mangun Hartono, Kyai Parakan, dan mbah Balak. Tampaknya bagi para pemuda dan pejuang secara

20

commit to user

umum mencari sandaran religio-magis dianggap penting selama revolusi kemerdekaan 1945-1950 itu dan memang secara psikologis hal ini cukup berpengaruh bagi timbulnya semangat percaya diri yang kuat untuk menghadapi musuh.

Selama revolusi juga terlihat peranan para pejuang yang bersifat heroik terutama para pemuda. Di masyarakat pedesaan khususnya banyak ditemukan

tokoh-tokoh pejuang yang dinamakan “jago” yang secara umum mereka memiliki

sifat arogan atau “bandit”. Mereka pandai pencak silat dan memiliki kekuatan

magis lainnya. Di beberapa daerah istilah “jago” ini sering berlainan, misalnya di

daerah Karesidenan Pekalongan disebut Lenggaong.21 Di daerah Surakarta para

“jago” tersebut juga penting artinya selama revolusi.

Selama pendudukan militerisme Jepang di Surakarta timbul gerakan protes bawah tanah atau ilegal. Gerakan ini menentang fasisme Jepang misalnya yang dilancarkan oleh anggota-anggota PETA (Pembela Tanah Air) Daidan Wonogiri yang menamakan diri IPTAS (Ikatan Prajurit Sejati). Gerakan ini di bawah pimpinan Sutarto, seorang anggota PETA, dan di masa revolusi sebagai pendiri Angkatan Muda Tentara (AMT) di Surakarta pada 20 Agustus 1945.

Bila dilihat dari kepemimpinannya, maka timbulnya gerakan protes atau sosial tidak lepas dari pengaruh orang-orang kharismatik yang berasal dari golongan sosial bangsawan, ulama, atau tokoh-tokoh yang memiliki kewibawaan/otoritas tradisional lainnya misalnya guru tarekat, dukun dsb.

Tendensi religio-magis yang diperoleh dari berbagai sumber ngelmu menjadi

penting dalam berbagai peristiwa gerakan, misalnya kadigdayan, kawedungan,

21

Anton E. Lucas, 1989, Peristiwa Tiga Daerah: Revolusi dalam Revolusi, Jakarta: Grafiti Pers, hal. 143.

commit to user

kasekten dan daya magis lainnya. Unsur-unsur itu berpengaruh tidak saja bagi para pengikut gerakan sosial pada masa kolonial, namun juga dapat ditemukan pada masa revolusi kemerdekaan untuk digunakan menghadapi musuh.

Dengan demikian tradisi gerakan protes atau sosial yang telah ada sejak masa kolonial dan sering berakibat timbulnya pergolakan yang besar dalam masyarakat itu turut menjadi faktor penting dan berpengaruh bagi revolusi sosial di Surakarta. Meskipun pada masa revolusi terjadi proses transisi politik yang jelas, akan tetapi dasar-dasar kekuatan tradisional yang telah hidup pada masa lampau secara mapan dalam pola pemikiran masyarakat Surakarta tidak lenyap begitu saja. Justru pada masa terjadinya ”krisis” itu peranan daya religio-magis dan tradisi masa lampau ikut mendukung mengatasinya secara spontan. Terjadinya berbagai pergolakan sosial-politik di Surakarta juga tidak terlepas dari struktur gerakan tradisional yang telah ada sebelumnya. Pada masa revolusi sosial hal ini terimplementasi dalam gerakan revolusioner, pendaulatan, konflik-konflik dll.