• Tidak ada hasil yang ditemukan

PREVALENSI, PENGETAHUAN, DAN PERSEPSI HALITOSIS PADA MAHASISWA KEPANITERAAN KLINIK FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI USU MEDAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "PREVALENSI, PENGETAHUAN, DAN PERSEPSI HALITOSIS PADA MAHASISWA KEPANITERAAN KLINIK FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI USU MEDAN"

Copied!
57
0
0

Teks penuh

(1)

FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI USU MEDAN

Diajukan untuk memenuhi tugas dan melengkapi syarat memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Gigi

VAN BAYA GINTING NIM: 130600006

FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2018

(2)

Kesehatan Gigi Masyarakat Tahun 2018

Van Baya Ginting

Prevalensi, pengetahuan, dan persepsi halitosis pada mahasiswa Kepaniteraan Klinik Fakultas Kedokteran Gigi USU Medan

x + 38 halaman

Halitosis adalah bau nafas tak sedap keluar dari mulut yang termasuk salah satu masalah utama dan tertua yang menyusahkan dalam bersosial. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui tingkat pengetahuan, persepsi, dan prevalensi halitosis.

Pengambilan sampel dilakukan dengan simple random sampling dan jumlah sampel sebanyak 100 orang. Prevalensi menurut hasil pengukuran dengan Breath Checker, sebanyak 28% responden mengalami halitosis. Responden yang memiliki skor 2 sebanyak 19%, skor 3 sebanyak 5%, dan skor 4 sebanyak 4% responden. Data penelitian diperoleh dari kuesioner tentang pengetahuan halitosis, persepsi halitosis dan melakukan pemeriksaan skor bau mulut menggunakan Breath Checker. Hasil penelitian ini menunjukkan tingkat pengetahuan tentang halitosis berdasarkan tingkat pengetahuan persentase tertinggi responden pada kategori cukup yaitu 43%, kategori kurang 36%, dan 21% responden yang berpengetahuan baik. Persepsi tentang halitosis menunjukkan bahwa responden yang merasa memiliki halitosis sebanyak 41%. Sebagian responden paling merasakan bau mulut ketika bangun tidur yaitu sebanyak 28% dan yang merasa memiliki bau mulut selama 1-2 tahun 14%.

Sebanyak 34% responden tidak pernah diberitahu jika memiliki bau mulut dan merasa memiliki bau mulut karena reaksi orang lain 5%. Menurut data hasil kuesioner dan pengukuran dengan Breath Checker, diketahui bahwa dari 41 orang responden yang merasa memiliki bau mulut, sebanyak 44% merasa memiliki halitosis

(3)

bau mulut, hanya 17% yang tidak merasa memiliki halitosis tapi teridentifikasi halitosis dan 83% responden tidak merasa memiliki halitosis dan tidak teridentifikasi halitosis.

Daftar rujukan: 38 (1997-2017).

(4)
(5)

TIM PENGUJI SKRIPSI

Skripsi ini telah dipertahankan di hadapan tim penguji pada tanggal 21 Desember 2018

TIM PENGUJI

KETUA : Prof. Sondang Pintauli, drg., Ph.D ANGGOTA : 1. Simson Damanik, drg., M.Kes

2. Rika Mayasari Alamsyah, drg., M.kes

(6)

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas kasih dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi dengan judul

“Prevalensi, pengetahuan, dan persepsi halitosis pada mahasiswa Kepaniteraan Klinik Fakultas Kedokteran Gigi USU Medan” yang merupakan salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Kedokteran Gigi. Dalam skripsi ini, penulis telah banyak mendapatkan bimbingan, pengarahan, saran-saran, dan bantuan dari berbagai pihak.

Untuk itu dengan segala kerendahan hati penulis menyampaikan rasa terima kasih kepada:

1. Trelia Boel, drg., M.Kes, Sp.RKG(K) selaku Dekan Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara yang memberikan izin kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.

2. Rika Mayasari Alamsyah, drg., M.Kes selaku Ketua Departemen Ilmu Kedokteran Gigi Pencegahan/Kesehatan Gigi Masyarakat dan selaku dosen pembimbing atas keluangan waktu, saran, dukungan, bantuan, motivasi dan bimbingan sehingga skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik.

3. Prof. Sondang Pintauli, drg., Ph.D dan Simson Damanik, drg., M.Kes., selaku dosen penguji yang memberikan masukan dan bantuan sehingga skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik.

4. Prof. Sutomo Kasiman, Sp.PD., Sp.JP(K) selaku Ketua Komisi Etik penelitian di bidang kesehatan Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan persetujuan pelaksaan penelitian ini.

5. Seluruh staf pengajar dan pegawai FKG USU terutama di Departemen Ilmu Kesehatan Gigi Pencegahan/ Kesehatan Gigi Masyarakat atas bantuan yang diberikan sehingga skripsi ini diselesaikan dengan baik.

Rasa hormat dan terima kasih yang tidak terhingga penulis persembahkan kepada orang tua dan keluarga penulis atas perhatian, kasih sayang, doa, serta dukungan baik moril maupun materil yang selama ini diberikan kepada penulis.

Sahabat-sahabat penulis terutama Soleh, Putra, Paket, Uteh, Mulkan, Pojik serta

(7)

penelitian dan penulisan laporan hasil ini.

Akhirnya penulis mengharapkan semoga hasil karya atau skripsi ini dapat memberikan sumbangan pikiran yang berguna bagi fakultas, pengembangan ilmu dan masyarakat.

Medan , Oktober 2018 Penulis,

Van Baya Ginting NIM : 130600006

(8)

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ...

HALAMAN PERSETUJUAN ...

HALAMAN TIM PENGUJI ...

KATA PENGANTAR ... iv

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR GAMBAR ... viii

DAFTAR TABEL ... ix

DAFTAR LAMPIRAN ... x

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 4

1.3 Tujuan Penelitian ... 4

1.4 Manfaat Penelitian ... 5

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengetahuan ... 6

2.2 Persepsi Halitosis ... 7

2.3 Halitosis ... 8

2.3.1 Definisi... 8

2.3.2 Etiologi Halitosis ... 8

2.3.3 Klasifikasi Halitosis ... 9

2.3.3.1 Genuine Halitosis ... 9

2.3.3.2 Pseudo Halitosis ... 12

2.3.3.3 Halitophobia... 12

2.3.4 Diagnosa ... 12

2.4 Kerangka Konsep ... 17

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Jenis Penelitian ... 18

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 18

3.3 Populasi Penelitian ... 18

(9)

3.4 Sampel Penelitian ... 18

3.5 Variabel dan Definisi Penelitian ... 20

3.6 Metode Pengumpulan Data ... 23

3.7 Pengolahan dan Analisis Data ... 24

BAB 4 HASIL PENELITIAN 4.1 Karakteristik Responden ... 25

4.2 Prevalensi Halitosis ... 25

4.3 Pengetahuan ... 26

4.4 Tingkat Pengetahuan ... 28

4.5 Persepsi Halitosis ... 28

4.6 Bad Breath Paradox ... 29

BAB 5 PEMBAHASAN ... 30

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan ... 33

6.2 Saran ... 34

DAFTAR PUSTAKA ... 35 LAMPIRAN

(10)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1 Portable sulphide monitor Halimeter... 14 2 Tanita Breath Checker ... 15 3 Bagian-bagian pada Breath Checker ... 15

(11)

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

1 Skala pengukuran organoleptik... 13

2 Skala pengukuran Breath Checker ... 15

3 Karakteristik responden mahasiswa Kepaniteraan Klinik Fakultas Kedokteran Gigi USU ... 25

4 Prevalensi halitosis pada responden ... 25

5 Skor halitosis responden ... 26

6 Persentase pengetahuan responden tentang halitosis ... 26

7 Tingkat pengetahuan responden tentang halitosis ... 28

8 Persentase persepsi responden tentang halitosis ... 28

9 Persentase persepsi responden tentang halitosis yang dirasakan ... 28

10 Persentase responden yang mengalami bad breath paradox ... 29

(12)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran

1 Lembar Penjelasan Kepada Calon Subjek Penelitian

2 Lembar Persetujuan Subjek Setelah Penjelasan (Informed Consent) 3 Kuesioner

4 Surat persetujuan komisi etik (Ethical Clearance)

(13)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Halitosis diartikan sebagai bau nafas tak sedap keluar dari mulut yang dapat melibatkan kesehatan dan kehidupan seseorang. Halitosis termasuk salah satu masalah utama dan tertua yang menyusahkan dalam bersosial.1 Di Amerika Serikat, bau mulut menjadi alasan ketiga terbanyak pada kunjungan ke dokter gigi, frekuensinya hanya setingkat dibawah karies gigi dan penyakit periodontal.2 Halitosis memang bukan penyakit, melainkan suatu gejala dari suatu penyakit atau kelainan yang tidak disadari dan harus dicari penyebabnya.3 Selain itu, dari halitosis dapat diidentifikasi penyakit yang mendasarinya.4

Hasil evaluasi dari beberapa penelitian pada masyarakat umum, didapatkan prevalensi halitosis sebesar 22% sampai 50%. Berdasarkan hasil penelitian Frexinos dkk terhadap 4817 masyarakat di Prancis, didapatkan 22% responden memiliki bau mulut.5 Penelitian Miyazaki dkk yang dilakukan di Jepang menunjukkan 23% subjek menderita halitosis. Hal ini dibuktikan dengan dijumpainya rata-rata 75 ppb (parts per billion) Volatile Sulfur Compounds (VSCs) dalam nafas yang keluar dari mulut seseorang selama 1 hari. Data ini dapat mewakili prevalensi halitosis pada populasi lain, yang berarti halitosis juga merupakan masalah yang perlu mendapat perhatian termasuk di Indonesia. Karena dari survei pengukuran kadar VSCs menggunakan Halimeter (alat monitor sulfid) pada masyarakat kelurahan Tebet Jakarta, ditemukan rata-rata konsentrasi VSC sebesar 105 ppb.3

Pengetahuan adalah hasil tahu seseorang terhadap objek melalui indera yang dimilikinya. Pengetahuan tentang halitosis bisa didapat dari berbagai sumber, seperti media cetak, media elektronik, tenaga pengajar, dan lingkungan sekitar. Hal ini penting untuk mencegah dan menanggulangi masalah halitosis, serta dapat menjadi langkah awal untuk mendiagnosis lebih lanjut terhadap penyakit sistemik. Jakarta Anti Halitosis Centre telah dibentuk di Indonesia namun penyuluhan tentang halitosis

(14)

masih sangat kurang, dalam hal ini sebenarnya penting untuk meningkatkan pengetahuan dan kesadaran terhadap kesehatan gigi dan mulut. Menurut penelitian Irianti dkk, tentang gambaran pengetahuan tentang halitosis pada buruh di pelabuhan Manado. Dari total 77 responden, hanya 35% yang mempunyai pengetahuan baik tentang halitosis.6 Pada penelitian Nunes dkk tentang pengetahuan halitosis di Portugal, menjadikan 80 mahasiswa kedokteran gigi sebagai sampelnya. Hasilnya hanya 22% sampel yang mengetahui bahwa lidah adalah sumber utama dari bau mulut.7

Halitosis disebabkan oleh faktor fisiologis dan patologis. Faktor fisiologis meliputi, berkurangnya saliva saat tidur, makanan, merokok dan menstruasi. Faktor patologis terdiri dari ekstra oral dan intra oral.8 Dari penelitian Ghapanchi dkk pada 360 pasien yang berkunjung ke sekolah kedokteran gigi Shiraz di Iran, ditemukan sebanyak 27,8% subjek rentang usia 10-56 tahun mengeluhkan halitosis dan 76%

menunjukkan penyebab halitosis berasal dari intra oral, sedangkan sebanyak 18%

penyebabnya berasal dari ekstra oral.9 Bau mulut tersebut adalah hasil dari hasil kompleks beberapa spesies bakteri rongga mulut yang diketahui memproduksi sesusatu yang memicu kenaikan bau mulut terutama Volatile Sulfide Compounds.

Penyebab utama dari intra oral adalah lidah dan beberapa faktor lain, seperti karies, penyakit periodontal, infeksi rongga mulut, ulser pada mukosa dan impaksi makanan.

Faktor ekstra oral biasanya disebabkan oleh kelainan sistemik, seperti diabetes melitus, uremia, sirosis hati, trimethylaminuria, dan kelainan saluran pernafasan. 10,11

Kesulitan dalam bersosial adalah masalah utama bagi penderita halitosis dan cenderung berakibat pada aktifitas keseharian, seperti berkomunikasi dengan individu atau kelompok. Halitosis juga menyebabkan menurunnya rasa nyaman dan percaya diri seseorang, penurunan jabatan kerja, kesulitan mendapatkan pekerjaan dan mengurangi kualitas hidup penderitanya.12 Sebagai akibat dari halitosis, sebagian individu berinteraksi dengan menutup mulut dengan tangan, menjaga jarak ketika berkomunikasi sampai dengan menghindari segala jenis interaksi sosial, hal tersebut berefek pada kesehatan psikologis penderitanya.11

(15)

Persepsi halitosis adalah perasaan seseorang memiliki bau mulut atau tidak.

Pada penelitian di Riyadh Arab Saudi yang dilakukan oleh Alshehri, mendapatkan 68,5% dari 130 responden memiliki persepsi halitosis, 74% memiliki persepsi tersebut dari diri sendiri, dan sisanya sebanyak 26% diberitahu orang lain.Dari semua responden, hanya 7% yang pernah melakukan pemeriksaan atau perawatan untuk bau mulut.13 Di wilayah yang sama, AlSadhan melakukan penelitian dan menunjukkan hasil 23,8% dari 2.343 responden memiliki persepsi halitosis. Dari responden yang memiliki persepsi bau mulut, 85% merasakannya pada saat bangun tidur, 49,6%

diberitahu orang lain jika memiliki bau mulut, 25,8% datang ke dokter, 23,8%

mendapatkan perawatan dan 54,1% mengontrol masalahnya menggunakan obat kumur.12

Salah satu metode pengukuran halitosis adalah dengan menggunakan alat Breath Checker, yaitu monitor portable inovatif yang dapat mendeteksi dan mengukur tingkat Volatile Sulphur Compounds (VSCs) pada udara yang ada di dalam rongga mulut dengan hasil pengukuran berupa skor yang akan muncul pada layar monitor. Breath Checker juga sudah digunakan dalam beberapa penelitian sebagai alat untuk mengukur tingkat halitosis seperti pada penelitian yang dilakukan oleh Singh dkk yaitu mengukur tingkat halitosis menggunakan Breath Checker pada orang yang memiliki penyakit periodontal sebelum dan sesudah berkumur dengan metronidazole.14 Penelitian lainnya yang juga menggunakan Breath Checker adalah penelitian yang dilakukan oleh Yilmaz dkk yaitu melakukan evaluasi halitosis menggunakan alat ukur yang berbeda. Dari hasil kedua penelitian tersebut, dinyatakan bahwa Breath Checker dapat digunakan untuk pengukuran tingkat halitosis.15

Umumnya, seseorang dapat mencium bau nafas seseorang tetapi tidak dapat mencium bau mulutnya sendiri, hal tersebut disebabkan oleh indra yang terbiasa terpapar dengan keadaan yang sama atau yang disebut adaptasi.4 Ada sebagian individu yang menderita halitosis tapi sama sekali tidak menyadarinya.16 Namun tidak sedikit orang yang mengkhawatirkan bau mulut mereka dan kebutuhan perawatan tentang masalah ini terus meningkat,17 sehingga dokter gigi sebagai orang pertama

(16)

yang mengetahuinya perlu menjelaskannya kepada penderita.3 Oleh karena itu, halitosis menjadi faktor penting yang harus diperhatikan, tidak hanya pada kondisi kesehatan tetapi juga pada kondisi psikologis yang dapat mengalami perubahan yang lama kelamaan menyebabkan isolasi sosial dan pribadi.10

Mahasiswa Kepaniteraan Klinik yang sudah mendapat pendidikan sebagai dokter gigi dimasa yang akan datang, sikap terhadap kesehatan mulut mereka sendiri juga perlu diperhatikan, hal ini sangat mempengaruhi kepedulian mereka terhadap perawatan yang akan diberikan kepada pasien.18 Berdasarkan uraian diatas, peneliti tertarik untuk mengetahui tingkat pengetahuan, persepsi, dan prevalensi halitosis pada mahasiswa Kepaniteraan Klinik Fakultas Kedokteran Gigi USU Medan.

1.2 Rumusan Masalah

Bagaimana prevalensi, pengetahuan, dan persepsi halitosis pada mahasiswa Kepaniteraan Klinik Fakultas Kedokteran Gigi USU Medan?

1.3 Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui prevalensi dan skor halitosis pada mahasiswa Kepaniteraan Klinik Fakultas Kedokteran Gigi USU Medan.

2. Untuk mengetahui tingkat pengetahuan tentang halitosis pada mahasiswa Kepaniteraan Klinik Fakultas Kedokteran Gigi USU Medan.

3. Untuk mengetahui prevalensi persepsi tentang halitosis pada mahasiswa Kepaniteraan Klinik Fakultas Kedokteran Gigi USU Medan.

4. Untuk mengetahui prevalensi mahasiswa Kepaniteraan Klinik Fakultas Kedokteran Gigi USU Medan yang memiliki persepsi halitosis dan menderita halitosis, memiliki persepsi halitosis namun tidak menderita halitosis, tidak memiliki persepsi halitosis namun menderita halitosis, dan tidak memiliki persepsi halitosis yang tidak menderita halitosis (bad breath paradox).

(17)

1.4 Manfaat Penelitian 1. Bagi ilmu pengetahuan

Data hasil penelitian ini diharapkan memberikan kontribusi atau masukan bagi pengembangan ilmu pengetahuan dalam bidang kedokteran gigi dan dapat digunakan sebagai acuan untuk melakukan sosialisasi kepada dokter gigi berdasarkan prevalensi dan kesadaran masyarakat terhadap halitosis.

2. Bagi responden

Responden sebagai calon dokter gigi dimasa yang akan datang, dapat melakukan edukasi atau penyuluhan kepada pasien dan masyarakat terhadap dampak sosial yang ditimbulkan dari halitosis, faktor-faktor yang dapat menyebabkan halitosis dan cara menangani masalah halitosis sesuai dengan faktor yang mendasarinya.

3. Bagi peneliti

Peneliti memperoleh pengalaman melakukan penelitian dan semakin banyak mendapatkan pengetahuan tentang halitosis. Data hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan penunjang penelitian berikutnya yang berkaitan dengan pengetahuan, persepsi, dan prevalensi halitosis.

(18)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengetahuan

Pengetahuan adalah hasil penginderaan manusia, atau hasil tahu seseorang terhadap objek melalui indera yang dimilikinya (mata, hidung, telinga, dan sebagainya). Menurut Notoatmodjo, pengetahuan secara garis besarnya dibagi dalam 6 tingkat pengetahuan, yaitu:19

1. Tahu (know)

Diartikan hanya sebagai recall (memanggil) memori yang telah ada sebelumnya setelah mengamati sesuatu. Untuk mengetahui atau mengukur bahwa orang tahu sesuatu dapat menggunakan pertanyaan- pertanyaan.

2. Memahami (comprehension)

Memahami suatu objek bukan sekadar tahu terhadap objek tersebut, tidak sekadar dapat menyebutkan, tetapi orang tersebut harus dapat menginterpretasikan secara benar tentang objek yang diketahui tersebut.

3. Aplikasi (application)

Aplikasi diartikan apabila orang yang telah memahami objek yang dimaksud dapat menggunakan atau mengaplikasikan prinsip yang diketahui tersebut pada situasi yang lain.

4. Analisa (analisys)

Analisis adalah kemampuan seseorang untuk menjabarkan dan/atau memisahkan, kemudian mencari hubungan antara komponen-komponen yang terdapat dalam suatu masalah atau objek yang diketahui.

5. Sintesis (synthesis)

Sintesis menunjukkan suatu kemampuan seseorang untuk merangkum atau meletakkan dalam satu hubungan yang logis dari komponen- komponen pengetahuan yang dimiliki.

(19)

6. Evaluasi (evaluation)

Evaluasi berkaitan dengan kemampuan seseorang untuk melakukan justifikasi atau penilaian terhadap suatu objek tertentu.19

2.2 Persepsi

Istilah persepsi dari bahasa Prancis kuno, yaitu percepcion yang berarti mengumpulkan informasi tentang dunia dengan perasaan. Hal yang mendasari persepsi karena adanya pengalaman seseorang, sesuatu yang dipersepsikan (objek, orang, situasi atau hubungan) dan karena adanya kondisi dari suatu situasi dimana objek, kejadian atau orang yang dipersepsikan dan akhirnya muncul proses alami dari mulainya sebuah persepsi dengan pengalaman dari berbagai stimulus dari perasaan dan diakhiri oleh susunan yang jelas.20

Persepsi yang dimiliki oleh seseorang belum tentu sama dengan fakta sebenarnya dan dapat dijadikan pengalaman yang dihasilkan melalui panca indra.

Banyak faktor yang mempengaruhi persepsi, misalnya pada masalah bau mulut.

Pandangan tentang bau mulut ini secara luas bergantung pada pengalaman dan sifat seseorang. Umumnya, orang tidak dapat mengatakan bahwa mereka memiliki bau mulut atau tidak. Ketidakmampuan ini disebut dengan bad breath paradox, yang mengakibatkan jutaan orang yang menderita bau mulut tapi tidak menyadarinya, sedangkan jutaan lainnya yang tidak menderita bau mulut merasa memiliki bau mulut.21

Bermacam alasan fisiologis dan psikologis sudah dikemukakan untuk menjelaskan kenapa seseorang tidak peduli terhadap bau mulut mereka sendiri.

Adaptasi atau tumpulnya indera setelah terus-menerus terpapar oleh stimulus, contohnya volatile oral odors yang dimiliki seseorang, mempengaruhi mereka setiap waktu menjadi terbiasa dengan bau mulut mereka sendiri. Hasil penelitian awal Eli dkk tidak mendukung pernyataan tersebut, sebaliknya mereka menemukan hubungan positif yang signifikan ketika membandingkan antara tingkat psikologis subjek dan usaha untuk menilai bau mulut yang diderita.21

(20)

2.3 Halitosis 2.3.1 Definisi

Istilah halitosis berasal dari bahasa Latin, halitus yang berarti nafas dan akhiran osis berasal dari bahasa Yunani yang berarti keadaan tidak normal.1 Halitosis adalah istilah kedokteran yang pertama dikemukakan oleh perusahaan Listerine pada tahun 1921,22 dipakai untuk menggambarkan aroma nafas tidak menyenangkan yang berasal dari intra oral maupun ekstra oral dan juga dikenal dengan beberapa nama lain, seperti oral malodour, fetor oris, fetor ex ore, offensive breath, bromopmea atau bad breath.1,23

Halitosis merupakan salah satu masalah sosial yang sudah ada sejak lama dan tercatat dalam literatur sejak ribuan tahun lalu. Masalah bau mulut ini juga sudah disebutkan oleh bangsa Yahudi, Roma, Yunani, Cina, Arab dan yang lainnya. Namun literatur modern yang membahas halitosis baru dipublikasikan pada abad ke-19.4

2.3.2 Etiologi Halitosis

Halitosis tercipta karena adanya gas berbau di udara yang keluar dari rongga mulut. Oleh karena itu, banyak penelitian yang mempelajari penyebab yang terfokus pada identifikasi gas tersebut. Volatile sulphur compounds (VSCs) adalah gas yang paling bertanggung jawab atas timbulnya halitosis.24 Terdapat tiga asam amino utama yang membentuk VSCs, yaitu hidrogen sulfida (H2S), metil mercaptan (CH3SH) dan dimethil sulfida (CH3SCH3).22 VSCs terutama dihasilkan dari pembusukan bakteri yang ada dalam saliva, celah gingiva, permukaan lidah dan saku periodontal.25,26 Substrat yang mengandung sulfur asam amino adalah hasil protelisis dari substrat protein seperti cysteine, cystine dan methionine yang ditemukan bebas pada sisa makanan, dalam saliva dan cairan sulkus gingiva.24,27

Mikroorganisme di dalam mulut sangat berpengaruh dalam menghasilkan bau mulut. Komponen penyebab bau mulut tidak akan timbul jika mikroorganisme tidak ada. Pada halitosis bakteri yang berperan utama adalah bakteri anaerob gram negative, yaitu Porphyromonas gingivalis, Provotella intermedia, Prevotella melaninogenicus, Bacteroides forsythus, Treponema denticola dan Fusobacterium

(21)

nucleatum.5,25 Sumber nutrisi utama bakteri tersebut adalah protein, peptida atau asam amino yang diproses menjadi VSCs.24

Terpisah dari bakteri gram negatif, faktor kimia fisik sangat mempengaruhi dalam pembentukan gas bau mulut. Faktor seperti pH dan pO2 (level oksigen) sangat menentukan proses metabolisme dari bakteri penyebab bau mulut. Jika nutrisi utamanya adalah karbohidrat, proses fermentasinya akan menghasilkan lingkungan dengan pH asam yang akan menghambat pembentukan VSCs. Namun, jika nutrisi utamanya adalah protein, hasil akhir dari metabolisme dari bakteri anaerob gram negatif akan menghasilkan komponen nitrogen yang akan meningkatkan nilai pH.

Lingkungan dengan pH netral atau basa akan membantu bakteri anaerob berkembang dan menghasilkan VSCs yang akan meningkatkan bau mulut.24,26 Selain itu, VSCs juga dapat dihasilkan pada lingkungan tidak ada oksigen walaupun dengan pH rendah.24

2.3.3 Klasifikasi Halitosis 2.3.3.1 Genuine Halitosis

Genuine halitosis adalah halitosis sejati atau halitosis yang sebenarnya.

Halitosis tipe ini dapat dibedakan lagi atas halitosis fisiologis dan patologis.28 A. Fisiologis

Halitosis fisiologis atau yang juga disebut halitosis transien adalah halitosis yang disebabkan oleh faktor fisiologis yang bersifat sementara.22 Pada umumnya, ketika bangun tidur di pagi hari mulut kelihatan kering dan disertai bau, hal ini biasa disebut morning breath. Ketika tidur, laju alir saliva menurun menyebabkan odorous volatiles berkembang di lapisan mukosa yang menyebabkan bau nafas.29

Mengonsumsi bahan makanan yang berbau khas seperti bawang putih, bawang merah dan rempah-rempah juga sering menyebabkan bau mulut yang dapat berlangsung selama beberapa jam.25 Selain itu, halitosis fisiologis juga disebabkan oleh merokok, obat-obatan dan alkohol. Mengonsumsi alkohol dapat memicu timbulnya bau mulut karena melepaskan carbon disulphide melalui hembusan nafas.29

(22)

Pada halitosis fisiologis, pasta gigi dan obat kumur sudah lama digunakan untuk membantu mengurangi bau mulut. Bahan aktif yang paling berpengaruh di dalam produk tersebut adalah cetylpyridinium chloride, chlorhexidine, zinc dan chlorine dioxide. Bahan-bahan tersebut efektif dalam menghambat bakteri untuk memecah protein yang berarti menghambat produksi VSCs.11

B. Patologis

Halitosis yang disebabkan oleh penyakit periodontal atau faktor patologis lainnya disebut halitosis patologis. Halitosis patologis merupakan halitosis permanen yang tidak dapat dihilangkan dengan metode pembersihan mulut biasa. Pada halitosis patologis harus dilakukan perawatan dan perawatannya bergantung pada faktor penyebab halitosis tersebut.29 Halitosis patologis dapat dibedakan menjadi dua berdasarkan faktor penyebabnya, yaitu:

1. Intra Oral

Sekitar 80-85% dari pasien halitosis patologis, penyebabnya berasal dari rongga mulut dengan adanya bakteri yang terlibat dalam pembentukan VSCs.

Terpisah dari substrat alami di dalam rongga mulut, seperti saliva dan debris makanan, kondisi patologis didalam rongga mulut terjadi karena adanya substrat lain, seperti debris jaringan mati, sel-sel darah, eksudat peradangan dan cairan sulkus gingiva.29

Tongue coating juga menjadi salah satu penyebab halitosis. Coated tongue merupakan akumulasi dari deskuamasi dan pengelupasan sel-sel epitel yang bercampur dengan sel-sel darah, sisa makanan dan bakteri. Menurut sebuah studi mengenai distribusi topografi jenis bakteri pada permukaan lidah, paling banyak ditemukan pada daerah posterior dorsal lidah sampai ke papila sirkumvalata.

Beberapa penelitian juga telah mengidentifikasi permukaan posterior dorsal lidah sebagai kontributor utama untuk bau mulut pada orang sehat.13

Penyakit periodontal seperti Gingivitis Ulseratif Nekrosis Akut (GUNA), periodontitis, perikoronitis dan ulser juga berkaitan dengan terjadinya halitosis.24 Perbandingan methyl marcaptan atau hydrogen sulphide meningkat di dalam mulut pasien dengan penyakit periodontal ketika dibandingkan dengan individu yang sehat.

(23)

Skor penilaian bau memilki hubungan yang signifikan dengan konsentrasi dari semua bakteri dan semakin tinggi jumlah bakteri sulkus gingiva maka semakin tinggi skor bau tersebut.30

2. Ekstra Oral

Hanya sekitar 10%-20% penyebab halitosis berasal dari ekstra oral dan biasanya berasal dari perut. Senyawa pembentuk halitosis keluar melalui esofagus menuju mulut. Hal tersebut dapat diketahui karena bau dari perut dapat keluar dengan mudah ke rongga mulut saat bersendawa atau muntah. Halitosis dapat berasal dari lokasi yang jauh, seperti perut, usus, hati ataupun ginjal yang dipengaruhi penyakit sistemik. Odorous volatile compounds dari lokasi tersebut diserap melalui aliran darah dan ditransfer ke paru-paru yg dikeluarkan sebagai bau mulut.16

Diabetes mungkin salah satu contoh paling umum dari kondisi sistemik patologis yang menyebabkan halitosis. Diabetes Mellitus dapat menghasilkan penumpukan badan keton yang ketika dihembukan menghasilkan bau yang sangat khas seperti apel busuk,31 tetapi hal ini tidak terjadi pada penderita diabetes yang terkontrol.29 Diabetes juga dapat menyebabkan mulut kering karena penurunan produksi saliva.31

Trimethylaminuria atau sindrom bau ikan adalah kelainan genetik dalam metabolisme, tingginya kadar TMA di urin dan cairan tubuh menyebabkan nafas bau ikan. Bau yang sama juga ditemukan pada penderita kelainan ginjal, hal ini disebabkan oleh uremia, penumpukan dimethylamine dan trimethylamine.31 Pada penderita sirosis hati, aliran darah yang luas disekitar hati menyebabkan peningkatan konsentrasi dari dimethyl sulphide didarah yang menyebar sampai ke nafas29 dan memiliki bau seperti tikus mati.31 Pada penderita kelainan saluran pernafasan bagian atas, halitosis disebabkan oleh sinusitis kronis, penyumbatan hidung, abses nasofaring dan karsinoma pada laring.13

(24)

2.3.3.2 Pseudo Halitosis

Pada individu yang sehat, yang tidak memiliki halitosis dengan faktor lokal atau sistemik, tetapi terus mengeluhkan bau mulut dapat dikategorikan pseudo halitosis. Sebenarnya kebanyakan individu tersebut tidak merasakan bau dari nafasnya, mereka mengira memiliki halitosis karena keliru dari sikap orang lain saat berkomunikasi dengannya.29 Pasien dengan pseudo halitosis sering menunjukkan gejala-gejala depresi.31

2.3.3.3 Halitophobia

Halitophobia adalah kondisi apabila setelah pasien melakukan perawatan baik untuk genuine halitosis ataupun pseudo halitosis, tetapi masih mengeluhkan adanya halitosis.31 Kondisi ini disebabkan oleh rasa takut memiliki bau mulut yang mungkin dikarenakan pengalaman pernah memiliki genuine halitosis.32

2.3.4 Diagnosa

Pemeriksaan rongga mulut harus dengan teliti dan terfokus pada penyebab umum halitosis. Termasuk pemeriksaan rongga mulut, jaringan faring, tambalan gigi, restorasi mahkota dan jembatan gigi. Pemeriksaan periodontal dan kebersihan mulut juga dievaluasi dengan seksama.11,12 Keluhan dari bau mulut harus ditangani dengan serius oleh pelaksana kesehatan gigi, apakah mereka benar memiliki halitosis atau tidak. Halitosis memiliki bau yang dapat dibedakan tergantung sumbernya, seperti bau telur busuk, manis, apel busuk atau bau ikan.13

Beberapa hal yang perlu ditanyakan kepada pasien, tentang siapa yang mengeluhkan bau nafas tersebut, apakah diri sendiri atau orang lain, pada keadaan seperti apa bau tersebut muncul dan semua harus dievaluasi.22 Pengukuran tingkat halitosis memiliki dua metode utama yang direkomendasikan oleh international consensus group; yaitu organoleptic measurement dan instrumental measurements.6,12

(25)

1. Organoleptic Measurement

Hidung manusia dianggap standar terbaik untuk mengukur halitosis. Sebagian besar menggunakan sistem penilaian skor organoleptik yang dipopulerkan oleh Rosenberg dan McCulloch. Alasan skor organoleptik menjadi gold standard dikarenakan hidung manusia dapat mencium dan mendefinisikan bau, tidak hanya VSCs tetapi juga senyawa organik lain yang berasal dari pernafasan. Pengukuran organoleptik bergantung pada pemeriksa yang sudah terlatih.22

Pengukuran halitosis dengan menggunakan metode organoleptik dilakukan dengan cara mencium nafas pasien. Sekat privasi sering digunakan untuk memisahkan pemeriksa dengan pasien untuk menghindari pasien melihat pemeriksa mengendus nafasnya. Pipa transparan dengan panjang 10cm dan diameter 2,5cm masuk ke dalam mulut pasien dan menginstruksikan untuk menghembuskan nafas secara perlahan kedalam tabung. Setelah itu di evaluasi dan di berikan skor sesuai dengan skala pengukuran organoleptik.11,34 (Tabel 1)

Tabel 1. Skala pengukuran organoleptik35

Kategori Deskripsi

0 : Tidak ada halitosis Bau tidak terdeteksi 1 : Ada sedikit halitosis yang sulit

terdeteksi

Bau terdeteksi, meskipun pemeriksa tidak mengenalinya sebagai halitosis 2 : Ada sedikit halitosis Bau terdeteksi sebagai sedikit halitosis 3 : Halitosis sedang Bau terdeteksi sebagai halitosis pasti 4 : Halitosis kuat (bau mulut yang

menyengat)

Bau dapat terdeteksi jelas tetapi masih dapat ditoleransi oleh pemeriksa

5 : Halitosis ekstrim (bau mulut yang sangat menyengat)

Bau terdeteksi dengan sangat jelas dan tidak dapat ditoleransi oleh pemeriksa

(26)

2. Instrumental Measurements

Dibutuhkan suatu alat yang objektif untuk mengukur VSCs, mudah digunakan, hasil segera terlihat dan data lebih produktif dalam mengukur tingkat halitosis, yaitu:4,6

a. Halimeter

Halimeter adalah monitor gas portable inovatif yang menggunakan sensor elektrokimia untuk mendeteksi keberadaan VSCs di dalam rongga mulut.36 Alat ini pertama kali diperkenalkan pada tahun 1991 untuk pengukuran dari gas sulfur.

Beberapa jenis sulfur, seperti hydrogen sulfide dan methyl mercaptan yang didalam literatur kesehatan gigi dikenal sebagai volatile sulfur compounds atau VSCs dan diketahui menjadi penyebab halitosis. Tingginya nilai yang ditampilkan di Halimeter menunjukkan tingginya tingkat sulfur pada nafas seseorang.36 Halimeter memiliki sensitivitas tinggi terhadap hidrogen sulfida, tetapi sensitivitas rendah terhadap metil mercaptan yang merupakan kontributor yang signifikan untuk halitosis yang disebabkan oleh penyakit periodontal.10,14 (Gambar 1)

Gambar 1. Portable Sulphide Monitor35 b. Breath Checker

Breath Checker adalahsalah satu alat inovatif yang mendeteksi dan mengukur tingkat VSCs pada udara yang ada di dalam rongga mulut. Alat portable ini bertenaga baterai yang tahan sampai 6 bulan jika dipakai sekali sehari atau rata-rata 180 kali pengukuran. Suhu optimal penggunaan alat ini dari 5ºC-35ºC. Namun, keadaan lembab, lingkungan berangin, dan tingkat polusi udara yang tinggi dapat merusak alat

(27)

tersebut. Monitor akan menampilkan tingkat bau dalam 6 tingkatan tergantung pada jumlah VSCs yang diukur dalam rongga mulut.37 (Gambar 2)

Gambar 2. Breath Checker37 Gambar 3. Bagian-bagian Breath Checker38

Tata cara pemakaian Breath Checker yaitu sebagai berikut:37,38

1. Tarik penutup ke atas dan sensor akan menyala. Nomor pada layar akan menghitung mundur 5 sampai 1. Kocok alat perlahan 4 sampai 5 kali untuk menghapus bau atau uap air yang tersisa di alat tersebut. (Gambar 3)

2. Sensor harus sekitar 1 cm dari mulut pasien. Ibu jari menyentuh ke dagu pasien sehingga sensor tepat berada di depan mulut pasien. Ketika “start” di tampilkan, pasien mulai menghembuskan nafas ke arah sensor sampai terdengar bunyi “bip” atau sekitar 4 detik.

3. Jika pasien berhenti menghembuskan nafas sebelum terdengar bunyi “bip”

atau tidak menghembuskan nafas selama 6 detik, maka alat akan mati secara otomatis.

4. Tingkat pengukuran akan muncul pada monitor. Setelah selesai sensor ditutup kembali, maka alat tersebut akan mati secara otomatis. (Tabel 2)

(28)

Tabel 2. Skala pengukuran Breath Checker38

Kode Kriteria

0 Tidak ada bau mulut

1 Ada sedikit bau mulut

2 Bau mulut yang sedang

3 Bau mulut yang kuat

4 Bau mulut yang sangat kuat

5 Bau mulut yang sangat pekat

E Error (coba kembali)

Pengukuran halitosis menggunakan Breath Checker menunjukkan seseorang benar memiliki halitosis apabila pada monitor Breath Checker menunjukkan skor ≥2, yang berarti orang tersebut memiliki halitosis yang terdeteksi jelas.15

(29)

Mahasiswa Kepaniteraan

Klinik Fakultas Kedokteran

Gigi USU

Persepsi Halitosis

1. Merasa memiliki bau mulut.

2. Saat paling merasakan bau mulut.

3. Lama pengalaman memiliki bau mulut.

4. Diberitahu jika memiliki bau mulut.

5. Merasa memiliki bau mulut karena reaksi orang lain.

Pengetahuan Tentang Halitosis

1. Karies dapat menyebabkan halitosis.

2. Penyakit ginjal dapat menyebabkan halitosis.

3. Penyakit paru dan hidung dapat menyebabkan halitosis.

4. Penyakit hati dapat menyebabkan halitosis.

5. Obat kumur dapat mengurangi halitosis.

6. Sumber utama dari halitosis.

7. Senyawa yang paling berhubungan dengan halitosis.

8. Kondisi rongga mulut yang paling mendukung produksi volatile compound.

9. Cara atau alat yang menjadi standar terbaik dalam menegakkan diagnosa halitosis.

10. Bahan aktif di dalam obat kumur yang dapat mengurangi halitosis.

Prevalensi Halitosis

Persentase responden yang memiliki halitosis.

2.4 Kerangka Konsep

(30)

BAB 3

METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini merupakan penelitian deskriptif, dimana penelitian ini dilakukan untuk melihat pengetahuan, persepsi, dan prevalensi halitosis pada mahasiswa Kepaniteraan Klinik Fakultas Kedokteran Gigi USU Medan.

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Fakultas Kedokteran Gigi USU Medan. Waktu penelitian dilaksanakan pada bulan September 2016 sampai Juni 2018.

3.3 Populasi Penelitian

Populasi penelitian ini adalah mahasiswa Kepaniteraan Klinik Fakultas Kedokteran Gigi USU Medan sebanyak 601 orang.

3.4 Sampel Penelitian

Pada penelitian ini untuk mendapatkan besar sampel, peneliti menggunakan persentase dari penelitian yang dilakukan oleh Alshehri tentang prevalensi persepsi halitosis yaitu sebesar 68,5%.5 Perhitungan besar sampel menggunakan rumus:

d = Z x √ 𝑝 𝑥 𝑞𝑛 x

𝑁−𝑛

𝑁−1 Dengan keterangan :

d : presisi = 0,1 atau ketelitian 90%

Z : tingkat kemaknaan (nilai Zα yang dipakai adalah 1,96) P : proposi = 0,685

Q : 1-P = 1-0,685 = 0,315 n : Besar sampel

N : Besar populasi (601 orang)

(31)

Sehingga perhitungan yang didapatkan adalah : 0,1 = 1,96 x

0,685 𝑥 0,315

𝑛 x

601−𝑛

601−1

= 72,75 = 73 sampel.

Jumlah ini ditambah untuk menghindari drop out dalam perhitungan, maka jumlah sampel pada penelitian menjadi 100.

Cara sampling dengan simple random sampling, yaitu memberikan kesempatan yang sama kepada semua anggota populasi untuk ditetapkan sebagai anggota sampel.

1) Peneliti mengambil daftar nama mahasiswa Kepaniteraan Klinik Fakultas Kedokteran Gigi USU Medan;

2) Kemudian masing-masing anggota populasi diberi nomor, masing-masing dalam satu kertas kecil:

3) Kertas-kertas kecil yang masing-masing telah diberi nomor tersebut kemudian digulung atau dilinting;

4) Gulungan atau lintingan kertas yang telah berisi nomor-nomor tersebut, kemudian dimasukkan ke dalam suatu tempat (misalnya kotak atau kaleng) yang dapat digunakan untuk mengaduk sehingga tempatnya tersusun secara acak (sembarang);

5) Setelah proses pengadukan dianggap sudah merata, kemudian peneliti atau orang lain yang diawasi peneliti, mengambil lintingan kertas satu per satu sampai diperoleh jumlah sampel yang diperlukan.

(32)

3.5 Variabel dan Definisi Operasional

No Variabel Definisi Operasional Alat Ukur Hasil Pengukuran

Skala Ukur 1 Pengetahuan

tentang halitosis

Pengetahuan adalah mengetahui dan memahami tentang halitosis yang meliputi:

a. Karies adalah salah satu faktor yang dapat menyebabkan

halitosis.

b. Penyakit ginjal adalah salah satu faktor yang dapat menyebabkan halitosis.

c. Penyakit paru dan hidung salah satu faktor yang dapat menyebabkan halitosis.

d. Penyakit hati adalah salah satu faktor yang dapat menyebabkan halitosis.

e. Halitosis dapat dikurangi dengan menggunakan obat

Kuesioner.

Skor jawaban benar 1, jawaban salah 0.

Kategori:

a. Baik, bila subjek mampu menjawab dengan benar 76- 100% dari seluruh pertanyaan;

b. Cukup, bila subjek mampu menjawab dengan benar 56- 75% dari seluruh pertanyaan;

c. Kurang, bila subjek mampu menjawab dengan benar 40- 50% dari seluruh pertanyaan.

Ordinal

(33)

No Variabel Definisi Operasional Alat Ukur Hasil Pengukuran

Skala Ukur kumur.

f. Sumber yang paling sering menyebabkan halitosis adalah lidah.

g. Senyawa yang paling berhubungan dengan halitosis adalah senyawa sulphur seperti

hydrogen sulphide dan methyl mercaptan.

h. Kondisi yang sangat mendukung produksi volatile compound adalah pH basa dan bakteri gram negatif rongga mulut.

i. Standar terbaik dalam menegakkan diagnosa halitosis adalah organoleptic examination

(menggunakan indra penciuman).

j. Bahan-bahan aktif di dalam obat kumur yang dapat

(34)

No Variabel Definisi Operasional Alat Ukur Hasil Pengukuran

Skala Ukur mengurangi halitosis

adalah cetylpyridinium chloride, chlorine dioxide, zinc dan chlorhexidine digluconate adalah bahan-bahan aktif di dalam obat kumur yang dapat

mengurangi halitosis 2 Persepsi

halitosis

Persepsi responden terhadap halitosis yang meliputi:

a. Perasaan atau kesadaran memiliki bau mulut.

b. Saat paling

merasakan bau mulut.

c. Lama pengalaman merasa memiliki bau mulut.

d. Diberitahu jika memiliki bau mulut.

e. Merasa memiliki bau mulut karena sikap atau reaksi orang lain.

Kuesioner Jumlah responden yang menjawab merasa memiliki halitosis, dibagi jumlah total sampel responden dan dikali 100%.

Persentase. Nominal

(35)

3.6 Metode Pengumpulan Data

Peneliti mengumpulkan mahasiswa Kepaniteraan Klinik Fakultas Kedokteran Gigi USU. Setelah itu, peneliti akan menjelaskan maksud dan tujuan penelitian secara ringkas kepada mahasiswa. Penelitian diawali dengan meminta persetujuan melakukan penelitian dengan mengisi lembar persetujuan setelah penjelasan. Peneliti menyebarkan kuesioner dan melakukan pemeriksaan skor bau mulut pada mahasiswa Kepaniteraan Klinik Fakultas Kedokteran Gigi USU Medan menggunakan Breath Checker, dengan cara:

1. Tarik penutup ke atas dan sensor akan menyala. Nomor pada layar akan menghitung mundur 5 sampai 1. Kocok alat perlahan 4 sampai 5 kali untuk menghapus bau atau uap air yang tersisa di alat tersebut.

No Variabel Definisi Operasional Alat Ukur Hasil Pengukuran

Skala Ukur 3 Prevalensi

halitosis

Persentase responden yang memiliki halitosis.

Breath Checker

0 tidak ada bau mulut 1 ada

sedikit bau mulut 2 bau

mulut yang sedang 3 bau

mulut yang kuat 4 bau

mulut sangat kuat 5 bau

mulut pekat.

Ordinal

(36)

2. Sensor harus sekitar 1 cm dari mulut responden. Ibu jari menyentuh ke dagu pasien sehingga sensor tepat berada di depan mulut pasien. Ketika “start” di tampilkan, responden mulai menghembuskan nafas ke arah sensor sampai terdengar bunyi “bip” atau sekitar 4 detik.

3. Jika responden berhenti menghembuskan nafas sebelum terdengar bunyi

“bip” atau tidak menghembuskan nafas selama 6 detik, maka alat akan mati secara otomatis.

4. Tingkat pengukuran akan muncul pada monitor. Setelah selesai sensor ditutup kembali, maka alat tersebut akan mati secara otomatis.

3.7 Pengolahan dan Analisis Data

Setelah kuesioner dijawab dan pemeriksaan skor bau mulut selesai, data dikumpulkan dan dilakukan analisis data univariat dengan cara komputerisasi untuk menghitung persentase.

(37)

BAB 4

HASIL PENELITIAN

4.1 Karakteristik Responden

Dari semua responden yang diperiksa terlihat kelompok umur 21-24 tahun merupakan jumlah terbesar yaitu 82%, diikuti kelompok 25-28 tahun sebesar 18%.

Dari semua responden terlihat responden perempuan lebih banyak yaitu 74%, sedangkan laki-laki sebanyak 26% (Tabel 3).

Tabel 3. Karakteristik responden mahasiswa Kepaniteraan Klinik Fakultas Kedokteran Gigi USU Medan (n=100)

4.2 Prevalensi Halitosis

Berdasarkan syarat halitosis jika skor ≥2, prevalensi halitosis pada responden sebanyak 28% (Tabel 4).

Tabel 4. Prevalensi halitosis pada responden (n=100)

Responden yang memiliki skor 2 sebanyak 68%, skor 3 sebanyak 18%, dan skor 4 sebanyak 14% responden (Tabel 5).

Karateristik Responden n %

Umur (tahun)

21-24 25-28

82 18

82 18 Jenis Kelamin

Laki-laki Perempuan

26 74

26 74

Prevalensi n %

Halitosis 28 28

Tidak Halitosis 72 72

(38)

Tabel 5. Skor halitosis responden (n=28)

Skor Kriteria n %

2 Bau mulut yang sedang 19 68

3 Bau mulut yang kuat 5 18

4 Bau mulut yang sangat kuat 4 14

5 Bau mulut yang sangat pekat 0 0

4.3 Pengetahuan

Hampir seluruh responden, yaitu 97% mengetahui bahwa karies dapat menyebabkan halitosis, penyakit ginjal menahun dapat menyebabkan halitosis 93%

responden, penyakit pada paru dan hidung dapat menyebabkan halitosis 72%, dan penyakit hati dapat menyebabkan halitosis 59%.

Sebagian besar responden mengetahui bahwa obat kumur dapat mengurangi halitosis, yaitu 92% responden. Setengah dari responden mengetahui bahwa lidah adalah tempat yang paling sering menjadi sumber dari halitosis 44% responden, senyawa yang paling berhubungan dengan halitosis adalah senyawa sulphur, yaitu hydrogen sulphide dan methyl mercaptan 44% responden, standar terbaik dalam menegakkan diagnosa halitosis adalah organoleptic examination (menggunakan indra penciuman) 35%. Sebanyak 60% responden mengetahui bahwa cetylpyridinium chloride, chlorine dioxide, zinc dan chlorhexidine digluconate adalah bahan aktif didalam obat kumur yang direkomendasikan untuk mengurangi halitosis. Namun, sedikit yang mengetahui kondisi yang sangat mendukung produksi volatile compound adalah pH basa dan bakteri gram negatif rongga mulut 16% responden (Tabel 6).

Tabel 6. Persentase pengetahuan responden tentang halitosis (n=100)

Pengetahuan n %

Karies dapat menyebabkan halitosis a. Ya (jawaban benar)

b. Tidak

97 3

97 3 Penyakit ginjal menahun dapat menyebabkan halitosis

a. Ya (jawaban benar) b. Tidak

93 7

93 7

(39)

Tabel 6. Persentase pengetahuan responden tentang halitosis (n=100) (Lanjutan)

Pengetahuan n %

Penyakit pada paru dan hidung dapat menyebabkan halitosis a. Ya (jawaban benar)

b. Tidak

72 28

72 28 Penyakit hati dapat menyebabkan halitosis

a. Ya (jawaban benar) b. Tidak

59 41

59 41 Obat kumur dapat mengurangi halitosis

a. Ya (jawaban benar) b. Tidak

92 8

92 8 Sumber yang paling sering menyebabkan halitosis

a. Perut

b. Sulkus gingiva / poket periodontal c. Lidah (jawaban benar)

d. Rongga hidung e. Tidak tahu

20 36 44 0 0

20 36 44 0 0 Senyawa yang paling berhubungan dengan halitosis

a. Amine compounds seperti cadaverine dan putrescine b. Methane

c. Hydrogen sulphide dan methyl mercaptan (jawaban benar) d. Urea dan ammonia

e. Tidak tahu

10 2 44 36 8

10 2 44 36 8 Kondisi rongga mulut yang paling mendukung produksi volatile

compounds

a. pH basa dan bakteri gram negatif (jawaban benar) b. pH basa dan bakteri gram positif

c. pH asam dan bakteri gram negatif d. pH asam dan bakteri gram positif e. Tidak tahu

16 10 25 26 23

16 10 25 26 23 Alat atau cara yang menjadi standar terbaik (gold-standard)

untuk menegakkan diagnosa halitosis a. Gas chromatography

b. Organoleptic examination (jawaban benar) c. Gastric endoscopy

d. Sulphide monitoring e. Tidak tahu

29 35 3 16 17

29 35 3 16 17 Bahan aktif didalam obat kumur yang direkomendasikan untuk

mengurangi halitosis

a. Cetylpyridinium chloride, chlorine dioxide (jawaban benar) b. Mint, cysteine dan tryptophan amino acids

c. Alkohol dan castor oil d. Mint dan mhentol e. Tidak tahu

60 10 0 22

8

60 10 0 22

8

(40)

4.4 Tingkat Pengetahuan

Berdasarkan tingkat pengetahuan persentase tertinggi responden pada kategori cukup yaitu 43%, kategori kurang 36%, dan hanya 21% responden yang berpengetahuan baik (Tabel 7).

Tabel 7. Tingkat pengetahuan responden tentang halitosis (n=100)

Tingkat Pengetahuan n %

Baik (benar ≥76% dari seluruh pertanyaan / skor ≥7,6) 21 21 Cukup (benar 56-75% dari seluruh pertanyaan / skor 5,6-7,5) 43 43 Kurang (benar ≤55% dari seluruh pertanyaan / skor 5,5) 36 36

4.5 Persepsi Halitosis

Hasil penelitian menunjukkan bahwa responden yang merasa memiliki halitosis sebanyak 41% (Tabel 8).

Tabel 8. Persentase persepsi responden tentang halitosis (n=100)

Persepsi n %

Merasa memiliki bau mulut a. Ya

b. Tidak

41 59

41 59 Sebagian responden paling merasakan bau mulut ketika bangun tidur yaitu sebanyak 28% dan yang merasa memiliki bau mulut selama 1-2 tahun 14%.

Sebanyak 34% responden tidak pernah diberitahu jika memiliki bau mulut dan merasa memiliki bau mulut karena reaksi orang lain 5% (Tabel 9).

Tabel 9. Persentase persepsi responden tentang halitosis yang dirasakan (n=41)

Persepsi n %

Saat paling merasakan bau mulut a. Ketika bangun tidur

b. Saat lapar c. Saat haus d. Setiap waktu

28 9 2 2

68,4 22 4,8 4,8

(41)

Tabel 9. Persentase persepsi responden tentang halitosis yang dirasakan (n=41) (Lanjutan)

Persepsi n %

Lama pengalaman merasa memiliki bau mulut a. 1-2 tahun

b. 6-12 bulan c. 1-6 bulan

d. Kurang dari 1 bulan

14 5 13

9

34,1 12,2 31,7 22 Pernah diberitahu jika memiliki bau mulut

a. Ya b. Tidak

7 34

17 83 Merasa memiliki bau mulut karena reaksi orang lain

a. Ya b. Tidak

5 36

12,2 87,8

4.6 Bad Breath Paradox

Menurut data hasil kuesioner dan pengukuran dengan Breath Checker, diketahui dari 41 orang responden yang merasa memiliki bau mulut, sebanyak 44%

merasa memiliki halitosis dan benar memiliki halitosis, sebanyak 56% merasa memiliki halitosis namun sebenarnya tidak. Sedangkan, dari 59 orang responden yang tidak merasa memiliki bau mulut, hanya 17% yang tidak merasa memiliki halitosis tapi teridentifikasi halitosis dan 83% responden tidak merasa memiliki halitosis dan tidak teridentifikasi halitosis (Tabel 10).

Tabel 10. Persentase responden yang mengalami bad breath paradox (n=100) Bad Breath

Paradox n

Teridentifikasi halitosis

Tidak teridentifikasi

halitosis

n % n %

Merasa bau

mulut 41 18 44 23 56

Tidak merasa

bau mulut 59 10 17 49 83

(42)

BAB 5 PEMBAHASAN

Hasil penelitian pada mahasiswa Kepaniteraan Klinik Fakultas Kedokteran Gigi USU Medan dengan Breath Checker, prevalensi halitosis pada responden sebanyak 28% berdasarkan syarat halitosis jika skor ≥2.15 Responden yang memiliki skor 2 sebanyak 68%, skor 3 sebanyak 18%, dan skor 4 sebanyak 14% responden.

Hasil ini tidak jauh berbeda dengan penelitian Yilmaz dkk. di Turki bahwa prevalensi halitosis pada responden masih tergolong rendah yaitu 33% dan skor 3 hanya 4%

responden. Hal ini mungkin karena dewasa ini semakin mudahnya masyarakat mendapatkan informasi tentang penyebab dan penanganan halitosis, sehingga terjadi penurunan prevalensi halitosis.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa 97% responden mengetahui bahwa karies dapat menyebabkan halitosis, penyakit ginjal menahun dapat menyebabkan halitosis 93% responden, penyakit pada paru dan hidung dapat menyebabkan halitosis 72%, penyakit hati dapat menyebabkan halitosis 59% dan 92% responden benar bahwa obat kumur dapat mengurangi halitosis. Hasil penelitian ini berbeda dengan penelitian Irianti dkk. pada buruh di pelabuhan Manado, yaitu 80,6% responden mengetahui karies dapat menyebabkan halitosis, penyakit ginjal menahun dapat menyebabkan halitosis 31%, penyakit pada paru dan hidung dapat menyebabkan halitosis 58%, penyakit hati dapat menyebabkan halitosis 35%, dan obat kumur dapat mengurangi halitosis 80,6% responden. Hal ini mungkin karena mahasiswa Kepaniteraan Klinik Fakultas Kedokteran Gigi USU Medan sudah mendapatkan pendidikan tentang halitosis, sedangkan buruh di pelabuhan Manado tidak.

Sebanyak 44% responden mengetahui bahwa lidah adalah tempat yang paling sering menjadi sumber dari halitosis, senyawa yang paling berhubungan dengan halitosis adalah senyawa sulphur, yaitu hydrogen sulphide dan methyl mercaptan 44% responden. Kondisi yang sangat mendukung produksi volatile compound adalah pH basa dan bakteri gram negatif rongga mulut 16% responden, standar terbaik dalam

(43)

menegakkan diagnosa halitosis adalah organoleptic examination (menggunakan indra penciuman) 35%, dan sebanyak 60% responden benar bahwa cetylpyridinium chloride, chlorine dioxide, zinc dan chlorhexidine digluconate adalah bahan aktif didalam obat kumur yang direkomendasikan untuk mengurangi halitosis. Hasil ini sama dengan penelitian Nunes dkk, yaitu hanya sedikit mahasiswa Kedokteran Gigi yang ditelitinya mengetahui bahwa kondisi yang sangat mendukung produksi volatile compound adalah pH basa dan bakteri gram negatif rongga mulut yaitu 16%.

Berdasarkan tingkat pengetahuan persentase tertinggi responden pada kategori cukup yaitu 43%, kategori kurang 36%, dan 21% responden yang berpengetahuan baik. Berbeda dengan hasil penelitian Irianti dkk. bahwa kategori cukup yaitu 51%, kategori kurang 14%, dan 35% responden yang berpengetahuan baik. Hal ini mungkin disebabkan kurangnya keseriusan dan minat belajar mahasiswa Kepaniteraan Klinik Fakultas Kedokteran Gigi USU Medan tentang halitosis.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa responden yang merasa memiliki halitosis sebanyak 41%. Sebagian responden paling merasakan bau mulut ketika bangun tidur yaitu sebanyak 28% dan yang merasa memiliki bau mulut selama 1-2 tahun 14%. Sebanyak 34% responden tidak pernah diberitahu jika memiliki bau mulut dan merasa memiliki bau mulut karena reaksi orang lain 5%. Hasil ini berbeda dengan penelitian AlShadan, yaitu yang merasa memiliki halitosis sebanyak 22,8%, sebanyak 49% responden tidak pernah diberitahu jika memiliki bau mulut, dan 35%

merasa memiliki bau mulut karena reaksi orang lain. Hal ini mungkin disebabkan adaptasi dari kebiasaan mahasiswa Kepaniteraan Klinik Fakultas Kedokteran Gigi USU Medan yang sering berada di lingkungan orang-orang yang peduli terhadap kesehatan gigi dan mulut yang menyebabkan tingkat kesadaran mahasiswa Kepaniteraan Klinik Fakultas Kedokteran Gigi USU terhadap halitosis lebih tinggi dibanding responden di Arab Saudi.

Menurut data hasil kuesioner dan pengukuran dengan Breath Checker, diketahui bahwa dari 41 orang responden yang merasa memiliki bau mulut, sebanyak 44% merasa memiliki halitosis dan benar memiliki halitosis, sebanyak 56% merasa memiliki halitosis namun sebenarnya tidak. Sedangkan, dari 59 orang responden yang

(44)

tidak merasa memiliki bau mulut, hanya 17% yang tidak merasa memiliki halitosis tapi teridentifikasi halitosis dan 83% responden tidak merasa memiliki halitosis dan tidak teridentifikasi halitosis. Keadaan ini disebut dengan bad breath paradox yaitu ketika seseorang memiliki bau mulut tapi tidak menyadarinya, dan yang tidak bau mulut merasa memilikinya. Responden yang khawatir dengan bau mulut, menilai bau mulut mereka dengan tingkat yang lebih tinggi daripada yang sebenarnya. Hal ini berbeda jika terjadi adaptasi, subjek yang sudah terbiasa dengan bau mulut, mereka menilai lebih rendah dari yang sebenarnya.

(45)

BAB 6

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan

Dari hasil penelitian yang dilakukan, dapat disimpulkan bahwa:

1. Berdasarkan syarat halitosis jika skor ≥2, prevalensi halitosis pada mahasiswa Kepaniteraan Klinik Fakultas Kedokteran Gigi USU Medan sebanyak 28%. Responden yang memiliki skor 2 sebanyak 68%, skor 3 sebanyak 18%, dan skor 4 sebanyak 14% responden.

2. Tingkat pengetahuan mahasiswa Kepaniteraan Klinik Fakultas Kedokteran Gigi USU Medan tentang halitosis berdasarkan tingkat pengetahuan persentase tertinggi responden pada kategori cukup yaitu 43%, kategori kurang 36%, dan 21%

responden yang berpengetahuan baik.

3. Persepsi mahasiswa Kepaniteraan Klinik Fakultas Kedokteran Gigi USU Medan yang merasa memiliki halitosis sebanyak 41%. Sebagian responden paling merasakan bau mulut ketika bangun tidur yaitu sebanyak 28% dan yang merasa memiliki bau mulut selama 1-2 tahun 14%. Sebanyak 34% responden tidak pernah diberitahu jika memiliki bau mulut dan merasa memiliki bau mulut karena reaksi orang lain 5%.

4. Prevalensi mahasiswa Kepaniteraan Klinik Fakultas Kedokteran Gigi USU Medan yang mengalami bad breath paradox dari 41 orang responden yang merasa memiliki bau mulut, sebanyak 44% merasa memiliki halitosis dan benar memiliki halitosis, sebanyak 56% merasa memiliki halitosis namun sebenarnya tidak. Dari 59 orang responden yang tidak merasa memiliki bau mulut, hanya 17% yang tidak merasa memiliki halitosis tapi teridentifikasi halitosis dan 83% responden tidak merasa memiliki halitosis dan tidak teridentifikasi halitosis.

(46)

6.2 Saran

Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai:

1. Diharapkan mahasiswa lebih serius terhadap pelajaran tentang halitosis.

Serta melakukan program kesehatan gigi dan mulut serta penyuluhan kepada masyarakat tentang dampak sosial yang ditimbulkan dari halitosis, faktor-faktor yang dapat menyebabkan halitosis, dan cara menangani masalah halitosis sesuai dengan faktor yang mendasarinya.

2. Tenaga pengajar atau dosen agar lebih fokus dalam memberikan pembelajaran tentang halitosis kepada mahasiswa akademik dan profesi Fakultas Kedokteran Gigi USU.

3. Diharapkan dokter gigi di Rumah Sakit Gigi dan Mulut FKG USU melakukan pemeriksaan skor halitosis dan penyuluhan kepada setiap pasien yang mengeluhkan dan merasa memiliki bau mulut.

4. Diharapkan pada penelitian selanjutnya untuk melihat hubungan antara pengetahuan dan tingkat kesadaran terhadap keluhan halitosis.

(47)

DAFTAR PUSTAKA

1. Gani DK, Dudala RB, Mutthineni RB, Pabolu CM. Halitosis, diagnosis and management in daily practice: dentist stance. Journal of Dental and Medical Sciences 2012; 2(2): 34-7.

2. Joda AE, Olukoju OO. Halitosis amongst students in tertiary institutions in Lagos state. African Health Science 2012; 12(4): 473-8.

3. Pintauli S, Hamada T. Menuju gigi dan mulut sehat pencegahan dan pemeriksaan. USU Press 2012; 49-61

4. Mir AR, Shafi M, Gupta P, Yousuf MU, Daing A. Halitosis: a review articel.

International Journal of Current Research 2013; 5(2): 3758-62.

5. Goel S, Chaudhary G, Kalsi DS, Bansal S, Mahajan D. Knowledge and attitude of Indian population toward “self-perceived halitosis”. Indian J Dent Sci 2017; 9:

79-83.

6. Nunes JC, Sahuquillo AM, Cameira MJ, Marques HD. Halitosis: Are dentists being prepared for this challenge?-A questionnaire survey in dental school. Rev Port Estomatol Med Dent Cir Maxilofac 2011; 52(3): 142-6.

7. Irianti R, Pandelaki K, Mintjelungan C. Gambaran pengetahuan tentang halitosis pada buruh di pelabuhan Manado. Jurnal e-GiGi 2015; 3(1): 25-30.

8. Hughes FJ, McNab R. Oral malodour – a review. Archives Of Oral Biology 53 2008; 1 (Suppl): 1-7.

9. Ghapanchi J, Darvishi M, Mardani M, Sharifian N. Prevalence and cause’s of bad breath in patients attended Shiraz dentistry school a cross sectional study.

Elixir Human Physio 2012; 53: 12051-4.

10. Kukkamalla MA, Cornelio SM, Bhat KM, Avadhani M, Goyal R. Halitosis – a social malady. Journal of Dental and Medical Sciences 2014; 13: 55-61.

11. Basavaraj P, Khuller N. Halitosis : a review. Indian J Stomatol 2011; 2(3): 183- 186.

(48)

12. AlSadhan AS. Self-perceived and related factors among adults residing in Riyadh, Saudi Arabia. The Saudi Dental Journal 2016; 28: 118-123.

13. Alshehri FA. Knowledge and attitude of Saudi individuals toward self-perceived halitosis. The Saudi Journal for Dental Research 2016; 7: 91-5.

14. Sing M.P, Bansal P, Kaur S. The association of periodontal disease with oral malodor before and after antibiotic rinse using FITSCAN Breath Checker : a clinical study. Journal of The International Clinical Dental Research Organization 2014; 6(2): 103-106.

15. Yilmaz B, Isman O, Aktan AM, Ciftci ME. Evaluation of Halitosis Using Different Malodor Measurement Methods and Subjective Patients’ Opinion Related Own Malodor. International Journal of Dental Sciences and Research 2016; 4(4): 73-75.

16. Gnanasekhar JD. Aetiology, diagnosis and management of halitosis: a riview.

Alle Rechte Vorbehalten 2007; 4(4) :203-214

17. Inoue E, Yoneda M, Suzuki N, Matsuo T, Ishii A, Haraga M, dkk. Awareness and knowledge of halitosis: comparison of two grades of dental hygienist students. Journal of Oral Hygiene and Health 2016; 4(5): 1-4.

18. Singh A, Raja S, Mandaloy A, Pitale U.Self perceived oral malodor and oral hygiene practices among undergraduate dental students. NJDSR 2016; 1(4): 64- 67.

19. Kholid A. Promosi kesehatan: dengan pendekatan teori pelaku, media, dan aplikasinya untuk mahasiswa dan praktisi kesehatan. Jakarta: Rajawali pers, 2012: 25-36.

20. Lewis A. The issue of perception: some educational implications. Departemen of Primary School Teacher Education. Unisa 272-288

21. Eli I, Baht R, Koriat H, Rosenberg M. Self‑perception of breath odor. J Am Dent Assoc 2001; 132: 621‑6.

22. Salik A, Shaikh A, Gore, Bhat MYS, Lokhande N, Gupta A. Prevalence of halitosis and its correlation with various intraoral etiology factors : a cross

(49)

sectional study. Annals of International medical of Dental Research 2016; 2(5):

20-4.

23. Zurcher A, Laine ML, Filippi A. Diagnosis, prevalence, and treatment of halitosis. Curr Oral Health Rep 2014.

24. Sanz M, Roldan S, Herrera D. Fundamentals of breath malodour. J Contemp Dent Pract. 2001 Nov 15; 2(4): 1-17.

25. Scully C, Felix D H. Oral medicine : update for the practioner oral malodour.

British Dental Journal. 2005; 199: 498-500.

26. Kotti AB, Subramanyam RV. Oral malodor: A review of etiology and pathogenesis. J NTR Univ Health Sci 2015; 4: 1-7.

27. Nachnani S. the effects of oral rinses on halitosis. CDA Journal 1997; 25(2):

145-150.

28. Murata T, Yamaga T, Lida T, Miyazaki H. Classification and examination of halitosis. Int Dent J 2002; 52: 181-6.

29. Kapoor U, Sharma G, Juneja M, Nagpal A. Halitosis: Current concepts on etiology, diagnosis and management. Eur J Dent. 2016; 10: 292-300.

30. Rao AS, Kumar V. Halitosis: A mirror of systemic and oral health. IOSR J Dent Med Sci 2013; 4(3): 7-12.

31. Kabir MH, Sarwar AFM, Hossain M, Ahmed I. etiological factors, diagnoses, and treatments of halitosis. J Shaheed Suhrawardy Med Coll. 2013; 5(2): 106-10.

32. Bollen C M L, Beikler T. Halitosis: the multidisciplinary approach. International Journal of Oral Science 2012; 4: 55-63.

33. Rosing C K, Loesche W. Halitosis: an overview of epidemiology, etiology and clinical management. Braz Oral Res 2011; 25(5): 466-71.

34. Sharma H, Yunus GY, Monika. An Insight into Halitosis. Int J Oral Health Med Res 2015; 2(4): 93-97.

35. Beharvand M, Maleki Z, Mohammadi S, Alavi K, Meghaddam E J. Assessment of oral malodor: a comparasion of the organoleptic method with sulfide monitoring. The Journal of Contemporary Dentl Practice 2008; 9(5): 1-7.

(50)

36. Gregory J, Tarantola DDS. Overcome bad breath. 559 West Twincourt Trail:

Instant Dental Newsletter, 2012: 25-6.

37. Tanita Corp. Manual book of Tanita breath alert.

http://www.pdfmanualy.com/t/tanita/tanita-um-076-manual.pdf (November 08.2017).

38. Tanita Corp. Instruction manual Tanita breath checker.

http://www.tanita.com/en/.downloads/download/?file=855638166&langenUS (November 08.2017).

Gambar

Tabel 1. Skala pengukuran organoleptik 35
Gambar 1. Portable Sulphide Monitor 35  b. Breath Checker
Tabel 2. Skala pengukuran Breath Checker 38
Tabel 3. Karakteristik responden mahasiswa Kepaniteraan Klinik Fakultas  Kedokteran Gigi USU Medan (n=100)
+5

Referensi

Dokumen terkait

Distribusi pengetahuan mahasiswa kepaniteraan klinik Bedah Mulut tentang waktu yang sesuai untuk melakukan informed consent pada pasien yang akan dilakukan anestesi lokal

Hasil penelitian Emilia Mestika (2012), pada 80 mahasiswa kepaniteraan klinik Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara didapatkan sebesar 63,8% mahasiswa

Tujuan penelitian ini adalah untuk memperoleh gambaran mengenai sejauh mana pengetahuan mahasiswa kepaniteraan klinik pada salah satu Fakultas Kedokteran Gigi di Malaysia

Mahasiswa kepaniteraan klinik sering melakukan rujukan ke bagian radiologi kedokteran gigi tanpa izin dari dokter jaga, melakukan radiografi berulang-ulang tanpa

Prosedur yang harus dilalui dalam penggunaan radiografi kedokteran gigi adalah permintaan untuk melakukan radiografi, adanya izin dari dokter gigi di bagian radiologi

Fungsi Program Proteksi dan Keselamatan Radiasi dalam Pemanfaatan Tenaga Nuklir .dalam seminar nasional VI SDN teknologi

” Pengetahuan Mahasiswa Kepaniteraan Klinik Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Malaya terhadap Prosedur Penggunaan Radiografi Kedokteran Gigi dalam. Melakukan

Untuk mengetahui perbandingan pengetahuan mahasiswa kepaniteraan klinik terhadap anatomi normal rongga mulut ditinjau dari radiografi panoramik dan kemampuan dalam