STATUS GIZI ANAK USIA 6 – 11 BULAN DI SUMATERA
A R P A N S A H
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR (IPB) B O G O R
2010
Dengan ini saya menyatakan bahwa Tesis Analisis Faktor yang Berhubungan dengan Berat Bayi Lahir dan Pengaruhnya terhadap Status Gizi Anak Usia 6 – 11 bulan di Sumatera adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir Tesis ini.
Bogor, Juni 2010 Arpansah
NRP : I 151 080 211
ARPANSAH. Analysis of Factors Related to Birth Weight and Their Effect on 6 - 11 Months old Infants Nutritional Status In Sumatra. Under direction of HADI RIYADI and DADANG SUKANDAR.
More than 20 million infants worldwide, representing 16% of all births, are born with low birth weight, 90% of them are in developing countries. Based on the results of Riskesdas 2007 the prevalence of Low Birth Weight (LBW) in Indonesia was 11,5%. Low birth weight infants generally have slow growth and development. The condition may get worse if they lack energy and nutrient intake, get improper rearing pattern and often suffer from infection. In the long run LBW infants tend to have poor nutrition status and malnutrition. The aim of this study was to analyze factors related to birth weight and their effects on 6 - 11 months old infants nutritional status. This study used Riskesdas data, 2007. The datas collected by surveys method, located in 10 provinces in Sumatra with a total sample of 1.749 households that have 6 - 11 months old infants. The results showed prevalence of low birth weight was 4,7% and nutrition problems in infants of 6 – 11 months were severe under nutrition 4,8%, severe wasting 16%
and severe stunting 18,8%. Childrens born with low birthweight are more likely to undernutrition, wasting and stunting compare to children born with normal weight. Factors influencing birth weight are antenatal care, maternal education, maternal age and parity. Factors influencing the infant nutritional status are growth monitoring, birth weight, environmental sanitation, infection diseases, maternal nutritional status, health services utilization, access to health services and household expenditure.
Keywords : birth weight, nutritional status, infants
ARPANSAH. Analisis Faktor yang Berhubungan dengan Berat Bayi Lahir dan Pengaruhnya terhadap Status Gizi Anak Usia 6 – 11 Bulan di Sumatera.
Dibimbing oleh : HADI RIYADI dan DADANG SUKANDAR.
Beberapa tantangan yang dihadapi dalam upaya meningkatkan derajat kesehatan dan penyelenggaraan pembangunan kesehatan yaitu rendahnya kualitas kesehatan penduduk karena tingginya angka kematian bayi (AKB), angka kematian anak balita (AKABA) dan angka kematian ibu melahirkan (AKI) serta tingginya prevalensi balita yang mengalami gizi kurang. Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2007, prevalensi BBLR di Indonesia yaitu 11,5%.
Di wilayah Sumatera BBLR tertinggi di Provinsi Sumatera Selatan (19,5%) dan Bangka Belitung (13,5%) (Depkes RI 2008). Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis faktor yang berhubungan dengan berat bayi lahir dan pengaruhnya terhadap status gizi anak ketika usia 6 – 11 bulan di Sumatera. Hasil penelitian diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan bagi semua pihak dalam merumuskan kebijakan untuk intervensi dan pencegahan BBLR serta masalah gizi pada anak.
Penelitian ini menggunakan data sekunder hasil Riskesdas 2007 dengan metode survei. Lokasi penelitian yaitu wilayah Sumatera yang terdiri dari 10 provinsi (DI Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Bengkulu, Lampung, Bangka Belitung dan Kepulauan Riau). Jumlah rumah tangga sampel yang mempunyai anak usia 6 – 11 bulan yaitu 1.749 rumah rangga. Pengolahan data menggunakan software Microsoft Office Excell 2007, SPSS versi 16.0 2007 dan SAS. Penentuan nilai Z score berdasarkan berat badan, tinggi badan dan umur anak menggunakan software Anthro WHO versi 3.0.1 2009. Untuk menarik kesimpulan akhir penelitian dan menentukan faktor faktor yang mempengaruhi berat bayi lahir dan status gizi anak berdasarkan indikator BB/U, BB/TB dan TB/U dilakukan analisis Regresi Linier Berganda dan dalam proses estimasi parameter menggunakan metode Stepwise.
Hasil penelitian menunjukan prevalensi bayi dengan berat lahir (BBLR)
< 2.500 gram yaitu 4,7% dan rata-rata berat bayi lahir 3.153 gram. Prevalensi bayi lahir dengan BBLR paling tinggi di Provinsi Bangka Belitung yaitu 13,2%
sedangkan prevalensi BBLR terendah di Provinsi Sumatera Utara yaitu 2,4%.
Prevalensi gizi buruk tertinggi di Provinsi Daerah Istimewa Aceh yaitu 7,5% dan terendah di Provinsi Kepulauan Riau yaitu 1,3%. Prevalensi sangat kurus tertinggi di Provinsi Sumatera Utara yaitu 22% dan terendah di Bangka Belitung yaitu 8,5%. Prevalensi sangat pendek tertinggi di Provinsi DI Aceh (24,8%) dan terendah di Provinsi Sumatera Barat (12,5%). Secara keseluruhan di wilayah Sumatera masalah gizi pada anak usia 6 – 11 bulan ; gizi buruk 4,8%, sangat kurus 16% dan sangat pendek 18,8%. Sumatera menghadapi masalah gizi akut-kronis, dimana prevalensi balita wasting 24,7% (> 5%), balita stunting mencapai 28,9% (> 20%) dan balita underweight sebesar 13,7% (> 10%).
Berdasarkan hasil analisis Regresi Linier Berganda diperoleh faktor-faktor yang berpengaruh secara signifikan terhadap berat bayi lahir adalah pemeriksaan kehamilan, paritas, umur ibu saat hamil dan pendidikan ibu. Pemeriksaan
kontribusi terhadap berat bayi lahir sebesar 8,45%. Umur ibu pada saat hamil memberikan pengaruh negatif terhadap berat bayi lahir artinya semakin tua umur ibu saat hamil semakin rendah berat bayi lahir. Pemeriksaan kehamilan, pendidikan ibu yang lebih baik dapat meningkatkan berat bayi lahir. Sedangkan anak yang lahir pada urutan ke dua atau tiga mempunyai berat bayi lahir yang lebih baik dibandingkan anak pertama. Semakin baik berat bayi lahir maka akan semakin baik status gizi anak ketika berusia 6 – 11 bulan.
Faktor – faktor yang berpengaruh secara signifikan terhadap status gizi anak berdasarkan indikator BB/U adalah pemantauan pertumbuhan, sanitasi lingkungan, berat bayi lahir, penyakit infeksi pemanfaatan pelayanana kesehatan dan status gizi ibu. Penyakit infeksi dapat menurunkan/memperburuk status gizi anak. Pemantauan pertumbuhan memberikan kontribusi terhadap status gizi anak 2,87% dan secara keseluruhan keenam variabel memberikan kontribusi terhadap status gizi 8,75%
Faktor – faktor yang mempengaruhi status gizi anak indikator BB/TB secara signifikan adalah pemantauan pertumbuhan, berat bayi lahir, sanitasi lingkungan, status gizi ibu dan penyakit infeksi. Penyakit infeksi pada anak dapat menurunkan atau memperburuk status gizi anak. Pemantauan pertumbuhan memberikan kontribusi terhadap status gizi anak paling besar dibandingkan variabel lain yaitu 2,34% dan secara keseluruhan kelima variabel memberikan kontribusi terhadap status gizi 3,96%.
Faktor – faktor yang berpengaruh secara signifikan terhadap status gizi anak berdasarkan indikator TB/U yaitu sanitasi lingkungan, pemantauan pertumbuhan, pemanfaatan pelayanan kesehatan, akses terhadap pelayanan kesehatan dan pengeluaran rumah tangga. Adanya perbaikan pada setiap variabel tersebut dapat memperbaiki atau meningkatkan status gizi anak usia 6 – 11 bulan.
Secara keseluruhan kelima variabel memberikan kontribusi terhadap status gizi sebesar 1,65%.
Diharapkan agar meningkatkan kepedulian dan investasi dalam upaya pencegahan masalah berat bayi lahir rendah karena akan berpengaruh terhadap status gizi anak ketika berusia 6 – 11 bulan. Cara yang harus dilakukan yaitu motivasi agar ibu hamil memeriksakan kehamilan, merencanakan kehamilan saat berumur 20 s/d 35 tahun dan meningkatkan pengetahuan ibu. Upaya yang dapat dilakukan untuk mecegah masalah gizi pada adak ; memberikan perhatian dan pelayanan secara khusus kepada bayi BBLR, meningkatkan motivasi dan kesadaran masyarakat agar memantau pertumbuhan anak secara rutin dan melakukan revitalisasi posyandu, meningkatkan akses dan pemanfaatkan pelayanan kesehatan serta perbaikan sanitasi lingkungan.
Kata kunci : berat bayi lahir, status gizi, bayi
1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber
a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah.
b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB
2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
STATUS GIZI ANAK USIA 6 – 11 BULAN DI SUMATERA
A R P A N S A H
Tesis
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada
Program Studi Gizi Masyarakat
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR (IPB) B O G O R
2010
Usia 6 – 11 bulan di Sumatera
Nama : Arpansah
NRP : I 151 080 211
Disetujui Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Hadi Riyadi, MS Ketua
Dr. Ir. Dadang Sukandar, M.Sc Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Gizi Masyarakat
drh. M. Rizal M. Damanik, M.RepSc,PhD
Dekan Sekolah Pascasarjana,
Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS
Tanggal Ujian : 03 Juni 2010 Tanggal Lulus :
My parent :
Dahammid & Syainur
My son :
Livia Fildzahira Muhammad Naufal Muzakki
and My wife :
Ratna Mustika
Puji dan Syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas berkah dan rahmat-Nya jualah penulis dapat menyelesaikan tugas akhir ini yang berjudul "Analisis Faktor yang Berhubungan dengan Berat Bayi Lahir dan Pengaruhnya terhadap Status Gizi Anak Usia 6 – 11 Bulan di Sumatera” Tesis ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Institut Pertanian Bogor (IPB) Jurusan Gizi Masyarakat.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr. Ir. Hadi Riyadi, MS dan Dr. Ir. Dadang Sukandar, M.Sc yang telah banyak meluangkan waktu dan mencurahkan ilmu dalam membimbing saya menyelesaikan tesis ini. Ucapan terima ksih juga disampaikan kepada drh. M. Rizal M. Damanik, M.RepSc, PhD selaku ketua Program Studi Gizi Masyarakat. Terima kasih kepada semua pihak yang terkait ; Kepala Badan Puslitbangkes Depkes RI beserta Staf, Ibu Kepala Dinas Kesehatan Kota Palembang, NICE Project yang telah mendanai penulis mengikuti pendidikan. Ayahanda dan Ibunda, pendamping setia dan buah hati tercinta, yang begitu sabar dan selalu mengharapkan keberhasilan penulis, maafkan atas kurangnya perhatian dan kasih sayang yang diberikan karena sibuk mengikuti kuliah. Teman sejawat, khususnya “NICE GROUP” terimakasih atas bantuan dan dukungannya, serta semua pihak yang telah membantu selesainya penyusunan tugas akhir ini baik secara langsung maupun tidak langsung.
Akhirnya dengan segala kerendahan hati, penulis menyadari dalam penyusunan tugas akhir ini masih terdapat kekurangan. Semoga Tesis ini dapat bermanfaat bagi kita semua.
Bogor, Juni 2010
Arpansah
NRP: I 151 080 211
Penulis dilahirkan di Air Itam Muara Enim Provinsi Sumatera Selatan pada tanggal 11 Juni 1974 dari Bapak Dahammid dan Ibunda Syainur. Penulis adalah putra keenam dari tujuh bersaudara.
Tahun 1993 Penulis lulus dari SMA Negeri 1 Muara Enim, tahun 1996, lulus dari Akademi Gizi Depkes Palembang dan tahun 2004 lulus S1 Kesehatan Masyarakat STIKES Bina Husada Palembang. Pada tahun 2008 penulis diterima di Pascasarjana Program Studi Gizi Masyarakat IPB Beasiswa dari dana ADB melalui NICE Project Departemen Kesehatan RI.
Sejak tahun 1999 - 2000, penulis bekerja di Dinas Kesehatan Kabupaten Belitung. Seiring dengan terbentuknya Provinsi BABEL dan otonomi daerah tahun 2001 penulis hijrah dan bertugas di Dinas Kesehatan Kota Palembang Provinsi Sumatera Selatan sampai sekarang. Selain itu penulis juga sebagai dosen tidak tetap pada beberapa Sekolah Tinggi Kesehatan yang ada di Kota Palembang dan Politeknik Kesehatan Jurusan Gizi Palembang. Penulis menikah dengan Ratna Mustika pada bulan February 2004. Tanggal 19 Desember 2004 penulis mendapat anugrah seorang putri Livia Fildzahira dan tanggal 8 September 2007 hadir putra kedua Muhammad Naufal Muzakki, yang melengkapi kebahagiaan keluarga penulis.
xii
Halaman
DAFTAR TABEL ... xiv
DAFTAR GAMBAR ... xvi
DAFTAR LAMPIRAN ... xvii
PENDAHULUAN... 1
Latar Belakang ... 1
Perumusan Masalah ... 3
Tujuan ... 3
Tujuan Umum ... 4
Tujuan Khusus ... 4
Pertanyaan ... 4
Manfaat ... 4
TINJAUAN PUSTAKA ... 5
Bayi Berat Lahir (BBL) dan Berat Bayi Lahir Rendah Rendah (BBLR) ... 5
Faktor Penyebab BBLR ... 7
Pertumbuhan Bayi setelah Lahir ... 10
Status Gizi Balita ... 11
Penilaian Status Gizi ... 13
Faktor faktor yang Berhubungan dengan Status Gizi ... 17
Hubungan Berat Lahir dengan Status Gizi ... 18
Asupan Gizi ... 19
Pendapatan Keluarga ... 23
Besarnya Keluarga ... 24
Pendidikan Ibu ... 25
Penyakit Infeksi ... 26
Sanitasi Lingkungan ... 30
Pemantauan Pertumbuhan Anak ... 32
Pelayanan Kesehatan Dasar ... 34
Penaggulangan Masalah Kurang Gizi ... 36
KERANGKA PEMIKIRAN ... 38
Kerangka Pemikiran ... 38
Hipotesis ... 40
METODE ... 41
Sumber Data... ... 41
Desain Lokasi Riskesdas... ... 41
xiii
Desain, Lokasi, Populasi dan Sampel Penelitian... 42
Pengolahan Data ... 43
Analisis Data ... 45
Definisi Operasional ... 46
HASIL DAN PEMBAHASAN ... 49
Karakteristik Sampel... ... 49
Berat Bayi Lahir... ... 52
Status Gizi Anak... ... 55
Berat Badan menurut Umur... 55
Berat Badan menurut Tinggi Badan... ... 61
Tinggi Badan menurut Umur ... 66
Faktor-Faktor yang mempengaruhi Berat Bayi Lahir ... 72
Faktor-Faktor yang mempengaruhi Status Gizi Anak ... 76
KESIMPULAN DAN SARAN ... 89
Kesimpulan ... 89
Saran ... 90
DAFTAR PUSTAKA ... 92
LAMPIRAN ... 96
xiv
Halaman
1 Angka Kecukupan Gizi bagi Anak Usia 0 – 6 tahun (per hari) ... 23
2 Pengkategorian Variabel Penelitian ... 43
3 Karakteristik Responden (Berat Bayi Lahir dan Anak 6 – 11 bulan) ... 49
4 Karakteristik Ibu dan Keluarga ... 50
5 Karakteristik Sanitasi Lingkungan dan Pelayanan Kesehatan ... 51
6 Sebaran Anak menurut Berat Bayi Lahir dan Provinsi ... 52
7 Sebaran Anak menurut Pelayanan Kesehatan, Sanitasi Lingkungan dan Kebiasaan Merokok menurut Berat Bayi Lahir ... 53
8 Sebaran Anak menurut Sosio Ekonomi menurut Berat Bayi Lahir ... 54
9 Sebaran Anak menurut Status Gizi Anak berdasarkan Indikator BB/U dan Provinsi di Sumatera ... 56
10 Sebaran Anak menurt Berat Bayi Lahir dan Status Gizi Anak berdasarkan Indikator BB/U ... 57
11 Sebaran Anak menurut Sosio Ekonomi Demografi dan Status Gizi Anak berdasarkan Indikator BB/U ... 58
12 Sebaran Anak menurut Penyakit Infeksi, Pemantauan Pertumbuhan dan Status Gizi Anak berdasarkan Indikator BB/UB... 59
13 Sebaran Anak menurut Sanitasi Lingkungan, Pelayanan Kesehatan dan Status Gizi Anak berdasarkan Indikator BB/U ... 60
14 Sebaran Anak menurut Status Gizi Anak berdasarkan Indikator \ BB/TB dan Provinsi di Sumatera ... 61
15 Sebaran Anak menurut Berat Bayi Lahir dan Status Gizi Anak berdasarkan Indikator BB/TB U ... 62
16 Sebaran Anak menurut Sosio Ekonomi Demografi dan Status Gizi Anak berdasarkan Indikator BB/TBB ... 63
17 Sebaran Anak menurut Penyakit Infeksi, Pemantauan Pertumbuhan dan Status Gizi Anak berdasarkan Indikator BB/TB U ... 64
xv
19 Sebaran Anak menurut Status Gizi Anak berdasarkan Indikator
TB/U dan Provinsi di Sumatera ... 66 20 Sebaran Anak menurt Berat Bayi Lahir dan Status Gizi Anak
berdasarkan Indikator TB/U... 67 21 Sebaran Sosio Ekonomi Demografi menurut Status Gizi Anak
berdasarkan Indikator TB/U... 68 22 Sebaran Anak menurut Penyakit Infeksi, Pemantauan Pertumbuhan
dan Status Gizi Anak berdasarkan TB/U ... 69 23 Sebaran Anak menurut Sanitasi Lingkungan, Pelayanan Kesehatan
dan Status Gizi Anak berdasarkan Indikator TB/U... 70 24 Faktor – faktor yang mempengaruhi Berat Bayi Lahir ... 72 25 Faktor – faktor yang mempengaruhi Status Gizi Anak berdasarkan
Indikator Berat Bandan menurut Umur (BB/U) ... 77 26 Faktor – faktor yang mempengaruhi Status Gizi Anak berdasarkan
Indikator Berat Badan menurut Tinggi Badan (BB/TB) ... 78 27 Faktor – faktor yang mempengaruhi Status Gizi Anak berdasarkan
Indikator Tinggi Badan menurut Umur (TB/U) ... 79
xvi
Halaman
1 Kerangka Pemikiran Faktor faktor yang berhubungan dengan Berat Bayi Lahir dan pengaruhnya terhadap Status Gizi Anak ketika
Berusia 6 – 11 Bulan ... 39 2 Besaran Masalah Gizi di Sumatera Berdasarkan Indikatot BB/U,
BB/TB dan TB/U ... 71
xvii
Halaman
1 Skoring Pemanfaatan Pelayanan Kesehatan ... 96
2 Skoring Akses terhadap Pelayanan Kesehatan ... 97
3 Skoring Sanitasi Lingkungan ... 98
4 Faktor-faktor yang mempengaruhi Berat Bayi Lahir (SAS) ... 100
5 Faktor – faktor yang mempengaruhi Status Gizi Anak berdasarkan Indikator BB/U (SAS)... 101
6 Faktor – faktor yang mempengaruhi Status Gizi Anak berdasarkan Indikator BB/TB (SAS) ... 102
7 Faktor – faktor yang mempengaruhi Status Gizi Anak berdasarkan Indikator TB/U (SAS) ... 103
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Berdasarkan Undang-Undang nomor 17 tahun 2007, Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) memberikan arah pembangunan bagi bangsa Indonesia. Arah pembangunan kesehatan dalam 20 tahun ke depan sampai dengan tahun 2025, ditetapkan bahwa pembangunan kesehatan diselenggarakan dengan berdasarkan perikemanusiaan, pemberdayaan dan kemandirian, adil dan merata serta pengutamaan dan manfaat dengan perhatian khusus pada penduduk rentan yaitu ibu, anak, manusia usia lanjut (manula) dan keluarga miskin. Pembangunan kesehatan bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya. Beberapa tantangan yang dihadapi dalam upaya meningkatkan derajat kesehatan dan penyelenggaraan pembangunan kesehatan yaitu rendahnya kualitas kesehatan penduduk karena tingginya angka kematian bayi (AKB), angka kematian anak balita (AKABA) dan angka kematian ibu melahirkan (AKI) serta tingginya prevalensi balita yang mengalami gizi kurang (Depkes RI 2009).
Menurut Badan Kesehatan Dunia (WHO), salah satu penyebab kematian bayi adalah bayi berat lahir rendah (BBLR), persoalan pokok pada BBLR adalah angka kematian perinatalnya sangat tinggi dibandingkan dengan angka kematian perinatal pada bayi normal. Penelitian Puffer (1993) menunjukan bahwa risiko kematian perinatal bayi dengan berat badan lahir kurang dari 2.000 gram adalah 10 kali lebih besar. Kematian bayi dengan berat badan antara 2.000 gram sampai 2.399 gram adalah 4 kali lebih besar dibandingkan dengan kematian perinatal bayi dengan berat badan normal. Angka kejadian BBLR dianggap sebagai indikator kesehatan masyarakat karena erat hubungannya dengan angka kematian, kesakitan dan kejadian gizi kurang dikemudian hari. Menurut WHO, BBLR merupakan penyebab dasar kematian (underlying cause) dari dua pertiga kematian neonatus.
Sekitar 16% dari kelahiran hidup atau 20 juta bayi pertahun dilahirkan dengan berat badan kurang dari 2.500 gram dan 90% berasal dari negara
berkembang (McCormick et al 1990). Peneliti lainnya menyebutkan bahwa di negara berkembang diperkirakan setiap 10 detik terjadi satu kematian bayi akibat dari penyakit atau infeksi yang berhubungan dengan BBLR (Siza 2002).
BBLR disebabkan oleh banyak faktor antara lain faktor biologis, perilaku dan sosial ekonomi. Hasil penelitian Siza di Medical Center Tanzania tahun 2002, menyebutkan bahwa faktor risiko yang berhubungan dengan BBLR adalah penyakit infeksi (HIV), pendidikan ibu yang rendah, ibu yang tidak menikah, hipertensi, pre eklampsia, komplikasi (TBC, Malaria, Anemia), premature rupture, plasenta previa, kelahiran < 37 minggu dan kurang gizi. Penelitian Singh et al (2007) di Amerika Serikat, melaporkan bahwa Indeks Massa Tubuh (IMT) sebelum hamil < 20, pemeriksaan kehamilan < 3 kali, pre eklampsia dan riwayat kehamilan yang buruk merupakan maternal faktors yang signifikan menyebabkan BBLR, sedangkan kadar Hb, umur ibu dan paritas tidak berhubungan dengan BBLR. Ada juga penelitian di India yang melaporkan bahwa kunjungan antenatal care (ANC) yang kurang, ANC yang terlambat, kehamilan pada umur belasan dan sosial ekonomi yang rendah memberikan dampak yang besar terhadap BBLR (Velankar 2008).
Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007, prevalensi BBLR di Indonesia sebesar 11,5%. Lima provinsi mempunyai persentase BBLR tertinggi adalah Provinsi Papua (27%), Papua Barat (23,8%), NTT (20,3%), Sumatera Selatan (19,5%) dan Kalimantan Barat (16,6%). Di wilayah Sumatera BBLR tertinggi di Provinsi Sumatera Selatan (19,5%) dan Provinsi Bangka Belitung (13,5%) sedangkan provinsi yang lainnya masih dibawah angka nasional.
Perumusan Masalah
Masalah gizi terjadi pada setiap siklus kehidupan manusia dimulai dari janin dalam kandungan, bayi, anak balita, remaja dan dewasa. Berbagai penelitian menunjukan bahwa kekurangan gizi pada salah satu siklus akan mempengaruhi kejadian kekurangan gizi pada siklus berikutnya.
Anak saat lahir dengan BBLR, pertumbuhan dan perkembangannya lebih lambat. Keadaan ini lebih buruk lagi jika bayi BBLR kurang mendapat asupan energi dan zat gizi, pola asuh yang kurang baik dan sering menderita penyakit infeksi sehingga pada akhirnya bayi BBLR cenderung mempunyai status gizi kurang dan buruk. Masih tingginya prevalensi BBLR di Indonesia pada tahun 2007, serta masih terbatasnya penelitian tentang faktor yang berhubungan dengan berat bayi lahir yang berskala luas di Indonesia juga penelitian yang mempelajari pengaruh berat bayi lahir terhadap status gizi anak setelah usia 6 bulan sehingga perlu dilakukan kajian dan analisis faktor yang berhubungan dengan berat bayi lahir dan pengaruhnya terhadap status gizi anak ketika berusia 6 – 11 bulan.
Tujuan Tujuan umum
Secara umum tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis faktor - faktor yang berhubungan dengan berat bayi lahir dan pengaruhnya terhadap status gizi anak ketika berusia 6 – 11 bulan di wilayah Sumatera.
Tujuan khusus
1 Menganalisis pengaruh berat bayi lahir terhadap status gizi anak ketika berusia 6 – 11 bulan di wilayah Sumatera.
2 Menganalisis hubungan penyakit infeksi, pemantauan pertumbuhan, akses dan pemanfaatan pelayanan kesehatan serta sanitasi lingkungan dengan status gizi anak usia 6 – 11 bulan.
3 Menganalisis hubungan sosial ekonomi - demografi dengan status gizi anak usia 6 – 11 bulan.
4 Menganalisis faktor faktor yang berhubungan dengan berat bayi lahir, meliputi ; umur ibu, tinggi badan, paritas, pemeriksaan kehamilan, akses terhadap pelayanan kesehatan, sanitasi lingkungan, kebiasaan merokok dan sosial ekonomi.
5 Mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi berat bayi lahir dan status gizi anak usia 6 – 11 bulan.
Pertanyaan
1 Apakah ada pengaruh berat bayi lahir terhadap status gizi anak ketika berusia 6 – 11 bulan di wilayah Sumatera ?
2 Apakah ada hubungan penyakit infeksi, pemantauan pertumbuhan, akses dan pemanfaatan pelayanan kesehatan serta sanitasi lingkungan dengan status gizi anak usia 6 – 11 bulan ?
3 Apakah ada hubungan sosial ekonomi - demografi dengan status gizi anak usia 6 – 11 bulan ?
4 Apakah ada hubungan umur ibu, tinggi badan, paritas, pemeriksaan kehamilan, akses terhadap pelayanan kesehatan, sanitasi lingkungan, kebiasaan merokok dan sosial ekonomi dengan berat bayi lahir ?
5 Faktor – faktor apa saja yang mempengaruhi berat bayi lahir dan status gizi anak usia 6 – 11 bulan ?
Manfaat
1 Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan bahan pertimbangan bagi Pemerintah Daerah dalam merumuskan kebijakan dan program perioritas untuk mencegah dan menurunkan angka BBLR serta memperbaiki status gizi masyarakat khususnya balita.
2 Penelitian dan pengembangan ilmu dibidang gizi yang sudah ada dalam upaya penanganan masalah kesehatan masyarakat terutama upaya pencegahan dan penanggulangan BBLR serta meningkatkan status gizi balita khususnya anak usia 6 – 11 bulan.
TINJAUAN PUSTAKA
Berat Bayi Lahir (BBL) dan Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR)
Seorang bayi yang sehat dan cukup bulan, pada umumnya mempunyai berat badan lahir 3.000 gram. Seorang bayi dikatakan mempunyai berat bayi lahir rendah (BBLR) apabila berat lahirnya kurang dari 2.500 gram. Kelompok BBLR ini menunjukkan angka kematian dan kesakitan yang tinggi sehingga dianggap bayi dengan risiko tinggi. Angka kejadian BBLR merupakan indikator kesehatan masyarakat karena erat hubungannya dengan angka kematian, kesakitan dan kejadian gizi kurang dikemudian hari (Alisyahbana 1990).
Bayi yang lahir BBLR tergolong kelompok bayi yang mempunyai risiko tinggi untuk mengalami sakit bahkan meninggal karena itu faktor-faktor yang berpengaruh perlu diperhatikan. Pertumbuhan dan pematangan (maturasi) organ dan alat-alat tubuh bayi yang BBLR belum sempurna, akibatnya bayi yang BBLR sering mengalami komplikasi yang berakhir dengan kematian (Alisyahbana 1990).
Bayi dengan BBLR mempunyai daya tahan tubuh yang rendah, sehingga mudah terkena infeksi. Risiko meninggal sebelum usia 1 tahun adalah 17 kali lebih tinggi dibandingkan dengan bayi normal. Bayi dengan BBLR cenderung mempunyai pertumbuhan fisik yang terhambat. Beberapa penelitian menunjukan bahwa risiko untuk menjadi gizi kurang 8 – 10 kali lebih besar dari anak normal.
Tingkat kecerdasan rendah karena adanya gangguan pada tumbuh kembang otak sejak dalam kandungan (Alisyahbana 1990).
Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007, secara keseluruhan prevalensi bayi berat lahir rendah (BBLR) di Indonesia sebesar 11,5%. Prevalensi ini sebanding dengan persentase ibu yang mempunyai persepsi bahwa ukuran bayi pada saat lahir kecil yaitu sebesar 13,4%. Lima provinsi mempunyai prevalensi BBLR tertinggi adalah Provinsi Papua (27%), Papua Barat (23,8%), Nusa Tenggara Timur (20,3%), Sumatera Selatan (19,5%) dan Kalimantan Barat (16,6%). Lima provinsi dengan prevalensi BBLR terendah adalah Bali (5,8%), Sulawesi Barat (7,2%), Jambi (7,5%), Riau (7,6%) dan Sulawesi Utara (7,9%) (Depkes RI 2008).
Masalah gizi memang terjadi pada setiap siklus kehidupan manusia dimulai dari janin dalam kandungan, bayi, anak balita, remaja dan dewasa.
Berbagai penelitian menunjukan bahwa kekurangan gizi pada salah satu siklus akan mempengaruhi kejadian kekurangan gizi pada siklus berikutnya.
Kekurangan zat gizi pada janin diberbagai usia kehamilan dapat dihubungkan dengan pola tertentu pada masa pertumbuhan. Adaptasi janin terhadap keadaan kekurangan gizi berhubungan dengan pertumbuhan konsentrasi hormon janin plasenta, perubahan kadar sekresi hormon dan ambang rangsang jaringan terhadap perubahan tersebut yang sifatnya menetap. Keadaan tersebut kemungkinan merupakan penghubung antara kekurangan zat gizi pada janin dengan terjadinya struktur fungsi dan penyakit yang abnormal setelah dewasa (Barker 1998).
Penilaian terhadap BBLR dilakukan dengan cara menimbang bayi pada saat lahir atau dalam 24 jam pertama. Dalam beberapa hari pertama, berat bayi akan turun kemudian akan naik sesuai dengan umur bayi. Pada bayi BBLR, penurunan berat badan dapat terjadi pada setiap saat, biasanya disebabkan karena ada masalah dalam pemberian Air Susu Ibu (ASI), bayi menderita penyakit seperti infeksi bakteri, diare, kelainan bawaan dan lain-lain (Barker 1998).
Puffer (1993), menyatakan bahwa angka kematian Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR) kurang dari 2.500 gram lebih tinggi dibandingkan dengan Bayi Berat Lahir Normal (BBLN) yaitu berat badan sama dengan atau lebih besar dari 2.500 gram. Hal tersebut disebabkan oleh karena bayi dengan BBLR mempunyai kemungkinan meninggal sebelum berumur satu tahun yaitu sebesar 5% - 13%
dibandingkan dengan bayi berat lahir normal. Semakin kecil dan semakin prematur bayi makan semakin tinggi risiko gizinya.
Kelompok BBLR menunjukan angka kematian dan kesakitan yang tinggi.
Angka kejadian BBLR dianggap sebagai indikator kesehatan masyarakat karena erat hubungannya dengan angka kematian, kesakitan dan kejadian gizi kurang dikemudian hari. BBLR merupakan determinan yang utama pada kematian perinatal dan neonatal. Menurut WHO, BBLR merupakan penyebab dasar kematian (underlying cause) dari dua pertiga kematian neonatus.
Ada dua keadaan Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR) yaitu :
a. Bayi lahir kecil karena kurang bulan (premature) yaitu bayi baru lahir pada umur kehamilan antara 28 – 36 minggu. Bayi lahir kurang bulan mempunyai organ dan alat-alat tubuh yang belum berfungsi normal untuk bertahan hidup di luar rahim. Makin muda umur kehamilan, fungsi organ tubuh bayi makin kurang sempurna, prognosisnya juga memburuk.
b. Bayi lahir kecil untuk masa kehamilan yaitu bayi lahir kecil akibat retardasi pertumbuhan janin dalam rahim. Organ dan alat-alat tubuh bayi kecil masa kehamilan cukup sudah matang (mature) dan berfungsi lebih baik dibanding dengan bayi lahir kurang bulan, walaupun berat badannya sama. Bayi kecil umur kehamilan cukup bulan, umumnya adalah bayi dengan berat lahir kurang dari 2.500 gram dan umur kehamilan ≥37 minggu dan berat lahir kurang dari standar deviasi dibawah rata-rata untuk umur kehamilan.
Faktor Penyebab BBLR
Terjadinya BBLR merupakan hasil interaksi antara sosio-demografi, status gizi ibu hamil, status obstetrik, sosial ekonomi keluarga dan faktor intriksi janin.
Jadi secara garis besar BBLR dipengaruhi oleh dua faktor yaitu faktor maternal dan faktor janin. Faktor maternal yang mempengaruhi kejadian BBLR adalah : usia ibu, paritas, status sosial ekonomi yang rendah, penyakit kronik atau akut ibu hamil, perdarahan antepartum, serviks yang tidak kompeten, kelainan bentuk uterus, kelainan placenta, jarak kehamilan, aktifitas fisik ibu, kebiasaan buruk ibu (merokok dan konsumsi narkoba), status gizi ibu hamil yang kurang, pendidikan ibu yang rendah dan akses terhadap pelayanan kesehatan kurang. Sedangkan faktor janin yang berperan pada kejadian BBLR adalah jenis kelamin, etnik/ras dan kelainan kongenital (Depkes RI 1999).
Hasil penelitian Siza di Medical Center Tanzania tahun 2002, menyebutkan bahwa faktor risiko yang berhubungan dengan BBLR ; penyakit infeksi (HIV), pendidikan ibu yang rendah, ibu yang tidak menikah, hipertensi, pre eklampsia, komplikasi (TBC, Malaria, Anemia), premature rupture, plasenta pervia, kelahiran < 37 minggu dan malnutrisi.
Penelitian Singh et al (2007) di AS, melaporkan bahwa IMT sebelum hamil < 20, periksaan kehamilan < 3 kali, pre eklampsia dan riwayat kehamilan yang buruk merupakan maternal faktors yang signifikan menyebabkan BBLR, sedangkan kadar Hb, umur ibu dan paritas tidak berhubungan dengan BBLR. Ada juga penelitian di India yang melaporkan bahwa kunjungan antenatal care (ANC) yang kurang, ANC yang terlambat, kehamilan pada umur belasan dan sosial ekonomi yang rendah memberikan dampak yang besar terhadap bayi lahir dengan BBLR (Velankar 2008).
Pertumbuhan janin merupakan hasil interaksi antara potensi genetik dengan lingkungan. Ibu yang mulai memasuki masa kehamilan dengan kondisi kesehatan yang baik dan tidak mengalami masalah pada organ-organ reproduksinya, berpeluang melahirkan bayi yang lebih sehat dibandingkan ibu yang mengalami masalah kesehatan dan gizi. Pemeriksaan kehamilan yang dilakukan sejak dini akan memungkinkan diketahuinya kelainan atau masalah kesehatan yang dihadapi ibu selama proses kehamilannya, sehingga dapat diambil langkah langkah yang dapat menyelamatkan janin dan ibunya (Ebrahim 1985).
Pemeriksaan kehamilan merupakan pemeriksaan yang diberikan kepada ibu hamil oleh tenaga kesehatan selama kehamilannya, dengan jumlah standar kunjungan selama hamil minimal 4 kali. Adapun jenis pemeriksaan kehamilan yaitu pemeriksaan kehamilan yang diperoleh oleh ibu hamil dari tenaga kesehatan meliputi ; pengukuran tinggi badan, pemeriksaan tekanan darah, pemeriksaan tinggi fundus, pemberian tablet Fe, pemberian Imunisasi TT, penimbangan berat badan, pemeriksaan Hb dan pemeriksaan urine (Depkes RI 1999).
Salah satu jenis pelayanan dalam pemeriksaan kehamilan adalah memperoleh tablet tambah darah (tablet Fe). Ibu hamil memerlukan zat besi lebih banyak dibandingkan ibu yang tidak hamil sehingga harus mendapatkan tambahan berupa suplemen tablet Fe berhubungan dengan peningkatan kadar haemoglobin dalam darah yang berfungsi mengikat dan mendistribusikan oksigen ke sel-sel jaringan tubuh, termasuk ke dalam sel jaringan janin. Apabila kadar Hb < 11 gr%
(anemia) pada saat hamil, maka distribusi oksigen ke jaringan akan berkurang
sehingga metabolisme jaringan menurun, termasuk pada janin pertumbuhan akan terhambat dan berakibat berat badan bayi rendah (Depkes RI 1999).
Faktor usia yang muda cenderung menjadikan seorang ibu akan lebih memperhatikan kepentingannya sendiri daripada kepentingan anaknya sehingga kualitas dan kuantitas pengasuhan anak kurang terpenuhi. Sebaliknya ibu yang lebih berumur cenderung menerima perannya dengan sepenuh hati. Kehamilan di bawah umur 20 tahun merupakan kehamilan berisiko tinggi. Masa reproduksi wanita pada dasarnya dibagi dalam 3 periode yaitu kurun reproduksi muda (15-19 tahun), kurun reproduksi sehat (20-35 tahun) dan reproduksi tua (36-45 tahun).
Pembagian ini didasarkan atas data epidemiologi bahwa risiko kehamilan rendah pada kurun reproduksi sehat dan meningkat lagi secara tajam pada kurun reproduksi tua (Depkes RI 1999).
Usia ibu menentukan efisiensi reproduksinya, ibu yang terlalu muda mungkin tidak memiliki kematangan fisiologis untuk menanggung tambahan beban saat hamil. Secara psikologis sikap perasaan ambivalen remaja usia kurang dari 16 tahun tentang kehamilan membuat ibu tidak memperhatikan pentingnya perawatan kehamilan selama trimester pertama dan kurang memungkinkan untuk menerima perawatan kehamilan yang memadai. Diidentifikasikan bahwa mendapatkan perawatan kehamilan sejak dini berhubungan dengan hasil yang lebih baik pada wanita yang melahirkan pada minggu ke 37 sampai 42 masa kehamilannya (Worthinghton & Williams 2000).
Risiko melahirkan bayi pada usia kehamilan kurang, dihubungkan dengan beberapa faktor yang berhubungan dengan kehamilan remaja, yaitu perawatan kehamilan yang tidak memadai dan pertambahan berat badan yang tidak cukup.
Ibu remaja muda (usia < 16 tahun) berisiko tinggi melahirkan dengan usia kehamilan kurang dibandingkan ibu lebih tua. Sebaliknya wanita yang lebih tua mulai menunjukkan pengaruh proses penuaannya dan menentukan outcome.
Kejadian BBLR dan kematian neonatal meningkat pada ibu usia kurang dari 15 tahun dan lebih dari 35 tahun. Ibu yang berusia antara 25 sampai 35 tahun mengalami kehamilan yang terbaik (Worthinghton & Williams 2000).
Berbagai upaya yang dapat dilakukan untuk mengurangi risiko BBLR, seperti penelitian yang dilakukan oleh Lee et al (2007) menjelaskan bahwa program kunjungan rumah dengan fokus pada dukungan sosial, pendidikan kesehatan dan akses terhadap pemberi layanan promosi dapat menurunkan risiko bayi lahir dengan BBLR.
Pertumbuhan Bayi setelah Lahir
Bayi yang lahir cukup bulan, berat badannya akan menurun dan kembali menjadi berat badan pada waktu lahir setelah 10 hari. Berat badan, pada umur 5 bulan menjadi 2 kali lipat berat lahir, pada waktu 1 tahun menjadi 3 kali lipat berat lahir dan pada umur 2 tahun, menjadi 4 kali lipat berat lahir. Kenaikan berat badan anak pada tahun pertama kehidupan bayi, apabila bayi mendapat gizi yang baik pertumbuhannya adalah sebagai berikut :
- Triwulan I Kenaikan berat badan 700 – 1.000 gram/bulan - Triwulan II Kenaikan berat badan 500 – 600 gram/bulan - Triwulan III Kenaikan berat badan 350 – 450 gram/bulan - Triwulan IV Kenaikan berat badan 250 – 350 gram/bulan
Pada abad ke 18 Count Philibert de Monbeillard, mencatat tinggi badan anak laki-laki setiap 6 bulan sejak lahir sampai umur 18 tahun. Pada umur 4 – 5 tahun laju pertumbuhan dengan cepat berkurang (deselarasi) dan secara perlahan- lahan berkurang hingga umur 5 – 6 tahun. Sejak umur ini laju pertumbuhan bersifat konstan, pada umur 6 – 8 tahun ada kenaikan kecil pertumbuhan, tetapi tidak selalu ada. Pada umur 13 – 15 tahun terjadi percepatan pertumbuhan (akselerasi). Tinggi badan rata-rata pada waktu lahir 50 cm. Diperkirakan secara garis besar, tinggi badan anak sebagai berikut :
- Usia 1 tahun = 1,5 x tinggi badan lahir - Usia 4 tahun = 2 x tinggi badan lahir - Usia 6 tahun = 1,5 x tinggi badan setahun - Usia 13 tahun = 3 kali tinggi lahir
- Dewasa = 3,5 x tinggi lahir (2 x tinggi badan 2 tahun)
Menurut Behrman dikutip dari Yongky (2007), perkiraan tinggi badan dalam sentimeter adalah sebagai berikut :
- Lahir : 50 cm
- Umur 1 tahun : 75 cm
- Umur 2 – 12 tahun : umur (tahun) x 6 + 77
Status Gizi Balita
Status berarti tanda-tanda atau penampilan yang diakibatkan oleh suatu keadaan. Sedangkan gizi adalah hasil proses organisme dalam menggunakan bahan makanan melalui proses pencernaan, penyerapan, transportasi, penyimpanan, metabolisme dan pembuangan untuk pemeliharaan hidup, pertumbuhan dan fungsi organ tubuh, serta produksi energi, sehingga status gizi dapat diartikan tanda-tanda atau penampilan yang diakibatkan oleh keseimbangan antara pemasukan gizi disatu pihak dan pengeluaran oleh organisme dipihak lain (Gibson 1990).
Status gizi merupakan keadaan kesehatan tubuh seseorang atau sekelompok orang yang diakibatkan oleh konsumsi dan penyerapan serta penggunaan zat gizi (Suharjo 2003). Status gizi adalah keadaan fisiologis sebagai akibat dari keseimbangan antara intake dengan penggunaan zat gizi oleh tubuh.
Selain itu juga status gizi seseorang pada dasarnya merupakan hasil dari proses pencernaan dan penyimpanan zat-zat gizi dalam tubuh untuk digunakan di kemudian hari, memelihara struktur dan susunan jaringan tubuh serta fungsi yang normal. Keadaan tersebut berhubungan dengan keadaan kesehatan tubuh, jika persediaan zat gizi tidak cukup di dalam tubuh, maka akan terjadi kurang gizi, oleh karena keadaan tersebut diperlukan suatu penilaian sebagai dasar penentuan tingkat gizi seseorang (Almatsier 2004).
Jus’at dkk (2000) menyebutkan bahwa status gizi disebut seimbang atau gizi baik bila jumlah asupan zat gizi sesuai dengan yang dibutuhkan. Sedangkan status gizi tidak seimbang dapat dipresentasikan dalam bentuk kurang gizi yaitu bila jumlah asupan zat gizi kurang dari yang dibutuhkan dan dalam bentuk gizi lebih yaitu bila asupan zat gizi melebihi dari yang dibutuhkan. Status gizi lebih
terjadi bila tubuh memperoleh zat-zat gizi dalam jumlah berlebihan, sehingga menimbulkan efek toksis atau membahayakan. Gangguan gizi terjadi baik pada status gizi kurang, maupun status gizi lebih. Status gizi balita yang tidak seimbang menyebabkan pertumbuhan seorang anak akan terganggu, misalnya anak tersebut kurang gizi (underweight), kurus (wasted), pendek (stunted) atau gizi lebih (overweight).
Status gizi erat kaitannya dengan malnutrisi yaitu suatu keadaan patologis akibat kekurangan atau kelebihan secara relatif maupun absolut satu atau lebih zat gizi. Ada empat bentuk malnutrisi (Supariasa et al 2002) :
1 Under nutrition : kekurangan konsumsi pangan secara relatif atau absolut untuk periode tertentu.
2 Specific defisiency : Kekurangan zat gizi tertentu misalnya kekurangan vitamin A, yodium dan sebagainya.
3 Over nutrition : kelebihan konsumsi untuk periode tertentu.
4 Imbalance : karena disproporsi zat gizi, misalnya : penimbunan kolesterol terjadi karena tidak seimbangnya LDL (Low Density Lipoprotein), HDL (High Density Lipoprotein) dan VLDL (Very Low Density Lipoprotein).
Menurut Soetjiningsih (1998), ada 2 faktor utama yang mempengaruhi pertumbuhan anak, yaitu faktor genetik dan faktor lingkungan. Pengaruh faktor lingkungan ini jauh lebih besar dibandingkan faktor genetik. Selanjutnya, untuk faktor lingkungan, dirinci menjadi lingkungan biologis, lingkungan fisik, faktor psikososial, faktor keluarga dan adat istiadat. Khusus faktor keluarga, diidentifikasi beberapa variabel yang berpengaruh, yaitu jenis kelamin, besar keluarga, pendapatan keluarga, umur ibu, pendidikan, pekerjaan dan jumlah anak balita dalam keluarga, stabilitas rumah tangga, kepribadian ayah serta ibu, norma / tabu, agama, urbanisasi dan kebijakan politik.
Sedangkan Soekirman (2000) membagi faktor-faktor yang mempengaruhi status gizi itu dalam 2 kategori besar, yaitu faktor internal dan eksternal. Faktor internal yang dimaksud adalah faktor dalam tubuh manusia sendiri, seperti kemampuan tubuh untuk menyerap bahan makanan yang masuk, faktor keturunan atau kelainan-kelainan tubuh. Faktor eksternal meliputi : tingkat pendidikan dan
pengetahuan orang tua, latar belakang sosial budaya, daya beli keluarga dan jumlah anggota keluarga. Hadi (2002) juga mencatat, bahwa faktor pendidikan ibu berhubungan dengan baik tidaknya pertumbuhan anak. Faktor distribusi makanan dalam keluarga sebagai salah satu penyebab kurang energi protein, selain kemiskinan dan penyapihan yang tidak tepat.
Skema penyebab masalah gizi yang sudah diadaptasi oleh Depkes RI (Azwar 2004), karakteristik keluarga terletak pada pokok permasalahan yang ada di masyarakat. Pada dimensi ini, karakteristik keluarga tercermin pada tingkat pendidikan yang kurang, pengetahuan dan keterampilan yang kurang yang pada awalnya didorong oleh kurangnya pemberdayaan wanita serta keluarga.
Menurut pakar gizi dikatakan bahwa penurunan status gizi sudah mulai terjadi sejak usia dini, hal ini disebabkan oleh praktek pemberian ASI eksklusif yang salah dan terlalu dini memberikan makanan pendamping air susu ibu (MP- ASI). Selanjutnya dikatakan bahwa MP-ASI adalah makanan pelengkap ASI untuk memenuhi kebutuhan bayi, dan diberikan setelah ASI Eksklusif sampai usia 24 bulan. Karena pada masa itu suplai zat gizi dari ASI tidak memenuhi kebutuhan gizi dan sekaligus memperkenalkan bayi dengan makanan keluarga.
Selanjutnya dikatakan bahwa status gizi terbukti berpengaruh pada pertumbuhan fisik, perkembangan mental dan intelektual, meningkatkan produktivitas, menurunkan angka kesakitan dan kematian (Azwar 2004).
Penilaian Status Gizi
Penentuan status gizi dapat dilakukan berbagai cara antara lain secara biokimia, dietetika, klinik dan antropometri. Salah satu cara termudah untuk menilai status gizi di lapangan adalah dengan cara antropometri, karena praktis dan teliti. Antropometri adalah ukuran dari bermacam-macam dimensi tubuh manusia yang ukurannya relatif berbeda-beda menurut jenis kelamin, umur, dan keadaan gizi (Jelliffe 1996).
Antropometri berasal dari kata anthropos dan metros. Anthropos artinya tubuh dan metros artinya ukuran. Jadi antropometri adalah ukuran tubuh.
Pengertian ini bersifat sangat umum sekali. Jellife (1996) mengungkapkan bahwa
: “Nutritional anthropometry is measurement of the variations of the physical dimensions and the gross composition of the human body at different age levels and degree of nutriton”. Dari definisi tersebut di atas dapat ditarik pengertian bahwa antropometri gizi adalah berhubungan dengan berbagai macam pengukuran dimensi tubuh dan komposisi tubuh dari berbagai tingkat umur dan tingkat gizi.
Berbagai jenis ukuran tubuh antara lain : berat badan, tinggi badan, lingkaran lengan atas, dan tebal lemak di bawah kulit.
Metode atau cara dalam menilai status gizi, secara garis besar dibedakan menjadi 2 jenis yaitu :
1 Penilaian status gizi secara langsung yang terdiri dari : biokimia, klinis, antropometri dan biofisik.
2 Penilaian status gizi secara tidak langsung terdiri dari : survey konsumsi makanan, statistik vital dan faktor ekologi. Penggunaan metode penilaian status gizi dengan pertimbangan tujuan, unit sampel, jenis informasi tingkat reliabilitas dan akurasi, ketersediaan fasilitas dan peralatan, tenaga dan waktu penilaian (Supariasa et al 2002).
Penilaian secara langsung 1 Metode Biokimia
Penilaian status gizi secara biokimia disebut juga dengan metode pemeriksaan laboratorium, adalah mengukur kadar zat gizi di dalam tubuh dan atau ekskresi tubuh kemudian dibandingan dengan suatu nilai normatif yang sudah ditetapkan. Misalnya menilai status zat besi (Fe) dengan mengukur kadar hemoglobin. Bila kadar hemoglobin < 11 mg% maka disebut anemia (Depkes RI 2002). Untuk penilaian biokimia disebut juga pemeriksaan laboratorium, spesimen yang biasa digunakan adalah darah, faces, kelenjar tubuh, urin dan biopsi jaringan tubuh.
2 Penilaian Klinis
Penilaian status gizi secara klinis adalah mempelajari gejala yang muncul dari tubuh sebagai akibat dari kelebihan atau kekurangan salah satu zat gizi tertentu.
Setiap zat gizi memberikan tampilan klinis yang berbeda, sehingga cara ini
dianggap spesifik namun sangat subjektif. Contoh penilaian status gizi secara klinis adalah kekurangan vitamin A menyebabkan buta senja (xerophtalmia) 3 Penilaian Biofisik
Penilaian secara biofisik adalah dengan mengukur elastisitas dan fungsi jaringan tubuh. Cara ini jarang digunakan karena membutuhkan peralatan yang canggih, mahal dan tenaga terampil. Salah satu cara penilaian status gizi secara biofisik adah untuk mengukur komposisi tubuh dengan metode bioelectrical impedance.
4 Penilaian Antropometri
Cara yang paling mudah, tidak membutuhkan peralatan yang mahal adalah pengukuran antropometri. Antropometri dapat diterapkan secara luas di lapangan. Sebagai contoh tiap bulan dilaksanakannya penimbangan balita di posyandu. Pengukuran antropometri mengandung 2 maksud; pertama untuk mendeskripsikan status gizi (penilaian dilakukan pada satu titik waktu) dan kedua pemantauan status gizi yaitu untuk melihat trend/ perubahan ukuran tubuh dari waktu ke waktu. Penimbangan balita di posyandu yang diplot hasilnya ke dalam KMS (Kartu Menuju Sehat) adalah salah satu contoh pemantauan status gizi (nutritional monitoring).
Pengukuran status gizi secara antropometri adalah pengukuran keadaan sebagai hasil penggunaan bahan makanan di dalam tubuh. Penentuan ambang batas diperlukan kesepakatan oleh Ahli Gizi. Ambang batas dapat disajikan ke dalam tiga cara yaitu persen terhadap median, persentil dan standar deviasi (Supariasa et al 2002). Menurut Gibson (1990) salah satu metode untuk menilai status gizi secara langsung adalah dengan antropometri. Antropometri berarti ukuran tubuh manusia, sehingga antropometri gizi berhubungan dengan berbagai pengukuran dimensi tubuh dan komposisi tubuh dari berbagai tingkat umur dan tingkat gizi.
Status gizi balita diukur berdasarkan umur, berat badan (BB) dan tinggi badan (TB). Variabel BB dan TB anak ini disajikan dalam bentuk 3 indikator antropometri, yaitu : berat badan menurut umur (BB/U), tinggi badan menurut umur (TB/U), dan berat badan menurut tinggi badan (BB/TB). Untuk menilai
status gizi anak, maka angka berat badan dan tinggi badan setiap balita dikonversikan ke dalam bentuk nilai terstandar (Z-score) dengan menggunakan baku antropometri WHO 2005.
Selanjutnya berdasarkan nilai Z-score masing-masing indikator tersebut ditentukan status gizi balita dengan batasan sebagai berikut :
1 Berdasarkan indikator BB/U :
Kategori Gizi Buruk Z-score < - 3,0
Kategori Gizi Kurang Z-score ≥- 3,0 s/d Z-score < -2,0 Kategori Gizi Baik Z-score ≥- 2,0 s/d Z-score ≤2,0 Kategori Gizi Lebih Z-score > 2,0
2 Berdasarkan indikator TB/U :
Kategori Sangat Pendek Z-score < -3,0
Kategori Pendek Z-score ≥-3,0 s/d Z-score < -2,0 Kategori Normal Z-score ≥-2,0
3 Berdasarkan indikator BB/TB :
Kategori Sangat Kurus Z-score < -3,0
Kategori Kurus Z-score ≥-2,0 s/d Z-score < -3,0 Kategori Normal Z-score ≥-2,0 s/d Z-score ≤+2,0 Kategori Gemuk Z-score > 2,0
Berat Badan menurut Umur (BB/U) dianggap tidak informatif bila tidak disertai dengan informasi Tinggi Badan menurut Umur (TB/U). Faktor umur sangat penting dalam penentuan status gizi. Kesalahan penentuan umur akan menyebabkan interprestasi status gizi menjadi salah. Hasil pengukuran tinggi badan dan berat badan yang akurat dapat menjadi tidak berarti jika penentuan umur tidak tepat (Riyadi 2003).
Indikator Berat Badan menurut Tinggi Badan (BB/TB) merupakan indikator yang baik untuk menyatakan status gizi karena BB/TB dapat memberikan gambaran proporsi berat badan relatif terhadap tinggi badan sehingga indeks ini dijadikan indikator kekurusan. Status gizi indikator berat badan menurut umur (BB/U) lebih mencerminkan status gizi saat ini. Berat badan menggambarkan massa tubuh (otot dan lemak) yang sangat sensitif terhadap
perubahan mendadak, misalnya terserang peyakit infeksi, penurunan nafsu makan atau penurunan jumlah makanan yang dikonsumsi. Sebaliknya indeks tinggi badan menurut umur (TB/U) mengambarkan pertumbuhan skletal yang dalam keadaan normal berjalan seiring dengan pertambahan umur (Riyadi 2003).
Faktor – Faktor yang Berhubungan dengan Status Gizi
Menurut teori H.L Blum (1981), status kesehatan masyarakat dipengaruhi secara simultan oleh empat faktor penentu yang saling berinteraksi satu sama lain.
Keempat faktor penentu tersebut adalah : lingkungan, perilaku, pelayanan kesehatan dan keturunan. Konsep itu menunjukan bahwa status kesehatan termasuk status gizi dipengaruhi oleh faktor lingkungan, perilaku , pelayanan kesehatan dan faktor keturunan. Faktor lingkungan antara lain lingkungan fisik, boilogis dan sosial memegang peranan yang terbesar dalam menentukan status kesehatan dan gizi. Selanjutnya faktor yang cukup berpengaruh adalah faktor perilaku yang berkaitan dengan pengetahuan dan pendidikan yang menentukan perilaku seseorang atau kelompok untuk berperilaku sehat atau tidak sehat. Faktor pelayanan kesehatan memegang peranan yang lebih kecil dalam menentukan status kesehatan dan gizi dibandingkan dengan kedua faktor tersebut, sedangkan faktor keturunan mempunyai pengaruh yang lebih kecil dibandingkan faktor lingkungan, perilaku dan pelayanan kesahatan.
Berdasarkan model penyebab kurang gizi yang dikembangkan UNICEF 1998, gizi salah (malnutrition) disebabkan oleh banyak faktor yang saling terkait baik secara langsung maupun tidak langsung. Secara langsung dipengaruhi oleh penyakit infeksi dan tidak cukupnya asupan gizi secara kuantitas maupun kualitas;
sedangkan secara tidak langsung dipengaruhi oleh jangkauan dan kualitas pelayanan kesehatan, pola asuh anak yang kurang memadai, kurang baiknya kondisi sanitasi lingkungan serta rendahnya ketahanan pangan di tingkat rumah tangga (Azwar 2004). Apabila gizi kurang dan gizi buruk terus terjadi dapat menjadi faktor penghambat dalam pembangunan nasional. Secara perlahan kekurangan gizi akan berdampak pada tingginya angka kematian ibu, bayi dan balita, serta rendahnya umur harapan hidup. Selain itu, dampak kekurangan gizi
terlihat juga pada rendahnya partisipasi sekolah, rendahnya pendidikan, serta lambatnya pertumbuhan ekonomi (BAPPENAS 2007).
Faktor ibu yang berperan nyata terhadap risiko kurang gizi adalah berat badan yang lebih rendah, tinggi badan lebih rendah dan index masa tubuh yang kurang, sedangkan yang tidak berperan nyata adalah haemoglobin. Pengetahuan ibu tentang kesehatan dan gizi kurang berperan nyata dalam risiko gizi kurang.
Pengetahuan yang berperan nyata hanya pengetahuan tentang sumber vitamin dan mineral, sedangkan yang tidak berperan nyata adalah tentang manfaat oralit, larutan gula garam, pengetahuan tentang sanitasi lingkungan, pengetahuan gizi tentang sumber zat tenaga dan pembangun, pengetahuan komposit tentang kesehatan (Sandjaja 2001).
Hubungan Berat Lahir dengan Status Gizi
Berat bayi lahir merupakan faktor penentu pertumbuhan selanjutnya, perbedaan yang tampak pada waktu lahir akan tetap bertahan kalau pada masa bayi (masa perinatal, neonatal dan postneonatal) tidak mampu mencapai percepatan tumbuh yang baik sesuai dengan standar pertumbuhan. Keadaan gizi bayi tidak dapat dipertahankan atau ditingkatkan karena pemberian makanan bayi yang tidak memenuhi syarat-syarat gizi dan adanya pengaruh lingkungan yang miskin. Faktor faktor yang secara langsung mempengaruhi keadaan gizi anak adalah konsumsi makanan dan ada atau tidak adanya penyakit infeksi (Worthinghton & Williams 2000).
Bayi yang lahir dengan BBLR mempunyai reserva zat besi lebih rendah dari bayi yang normal yang lahir dengan berat badan cukup, tetapi rasio zat besi terhadap berat badan adalah sama. Bayi ini lebih cepat tumbuhnya dari pada bayi normal, sehingga reserva zat besi lebih cepat bisa habis. Oleh sebab itu kebutuhan zat besi pada bayi ini lebih besar dari pada bayi normal. Jika bayi BBLR mendapat makanan yang cukup mengandung zat besi, maka pada usia 9 bulan, kadar Hb akan dapat menyamai bayi yang normal (Hussaini et al 1997).
Anak saat lahir dengan BBLR, pertumbuhan dan perkembangannya lebih lambat. Keadaan ini lebih buruk lagi jika bayi BBLR kurang mendapat asupan energi dan zat gizi, pola asuh yang kurang baik dan sering menderita penyakit
infeksi. Pada akhirnya bayi BBLR cenderung mempunyai status gizi kurang dan gizi buruk. Bayi yang dilahirkan dengan berat badan lahir kurang dari 2.500 gram, pertumbuhan dan faal (function) dari seluruh anggota badannya belum sempurna dan daya tahan tubuh terhadap bermacam-macam ransangan (iklim, kuman) di sekitar masih rendah (Worthinghton & Williams 2000).
Asupan Zat Gizi
Masalah gizi timbul karena dipengaruhi oleh ketidak seimbangan asupan makanan. Konsumsi pangan dengan gizi yang cukup serta seimbang merupakan salah satu faktor penting yang menentukan tingkat kesehatan dan intelegensia manusia. Kecukupan zat gizi seseorang akan mempengaruhi keseimbangan perkembangan jasmani dan rohani yang bersangkutan (Apriantono 2005).
Pangan merupakan kebutuhan dasar manusia untuk peningkatan kualitas fisik, mental dan kecerdasan. Oleh karena itu asupan pangan masih perlu dipelajari sebab berhubungan dengan keadaan kesehatan dan gizi masyarakat atau individu di suatu wilayah (Prihatini et al., 2005). Status gizi buruk pada anak balita akibat dari asupan gizi yang jelek, cenderung meningkat seiring dengan menurunnya kemampuan masyarakat memperoleh pangan (Aritonang 2004).
Tingkat konsumsi energi dan protein termasuk gizi makro yang sering digunakan sebagai salah satu indikator yang dipakai untuk menentukan kesejahteraan masyarakat (Soekirman 2006). Hasil Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi (WKNPG) VIII tahun 2004 menetapkan rekomendasi rata-rata kecukupan energi untuk usia 7 - 11 bulan sebesar 650 kkal/kapita/hari dan kecukupan protein 16 gr/kapita/hari. Makanan yang ideal harus mengandung cukup energi dan semua zat gizi esensial (komponen bahan makanan yang tidak dapat disintesis oleh tubuh sendiri akan tetapi diperlukan bagi kesehatan dan pertumbuhan) harus tersedia dalam jumlah yang cukup sesuai dengan kebutuhan sehari-harinya. Jumlah energi dan protein yang diperlukan untuk pertumbuhan normal tergantung dari kualitas zat gizi yang dimakan, bagaimana zat gizi dicerna (digestibility), bagaimana zat gizi diserap (absorbsi) dan penggunaan oleh tubuh itu sendiri (Pudjiadi 2003).
Asupan yang kurang disebabkan oleh banyak faktor antara lain :
1 Tidak tersedianya makanan secara adekuat, tidak tersedianya makanan yang adekuat terkait langsung dengan kondisi sosial ekonomi. Kadang kadang bencana alam, perang, maupun kebijaksanaan politik maupun ekonomi yang memberatkan rakyat akan menyebabkan hal ini. Kemiskinan sangat identik dengan tidak tersedianya makan yang adekuat. Data Indonesia dan negara lain menunjukkan bahwa adanya hubungan timbal balik antara kurang gizi dan kemiskinan. Kemiskinan merupakan penyebab pokok atau akar masalah kurang gizi. Proporsi anak malnutrisi berbanding terbalik dengan pendapatan. Makin kecil pendapatan penduduk, makin tinggi persentasi anak yang kekurangan gizi.
2 Anak tidak cukup mendapat makanan bergizi seimbang, Makanan alamiah terbaik bagi bayi yaitu Air Susu Ibu, dan sesudah usia 6 bulan anak tidak mendapat Makanan Pendamping ASI (MP-ASI) yang tepat, baik jumlah dan kualitasnya akan berkonsekuensi terhadap status gizi bayi. MP-ASI yang baik tidak hanya cukup mengandung energi dan protein, tetapi juga mengandung zat besi, vitamin A, asam folat, vitamin B serta vitamin dan mineral lainnya. MP-ASI yang tepat dan baik dapat disiapkan sendiri di rumah. Pada keluarga dengan tingkat pendidikan dan pengetahuan yang rendah seringkali anaknya harus puas dengan makanan seadanya yang tidak memenuhi kebutuhan gizi balita karena kurangnya pengetahuan.
3 Pola makan yang salah, pola pengasuhan anak berpengaruh pada timbulnya kurang gizi. Anak yang diasuh ibunya sendiri dengan kasih sayang, apalagi ibunya berpendidikan, mengerti soal pentingnya ASI, manfaat pelayanan kesehatan dan sanitasi lingkungan yang bersih, meskipun sama-sama miskin, ternyata anaknya lebih sehat. Unsur pendidikan perempuan berpengaruh pada kualitas pengasuhan anak. Sebaliknya sebagian anak yang gizi kurang ternyata diasuh oleh nenek atau pengasuh yang juga miskin dan tidak berpendidikan. Banyaknya perempuan yang meninggalkan desa untuk mencari kerja di kota bahkan menjadi TKI, kemungkinan juga dapat menyebabkan anak menderita gizi kurang. Kebiasaan, mitos ataupun kepercayaan / adat istiadat masyarakat tertentu yang tidak benar dalam
pemberian makan akan sangat merugikan anak . Misalnya kebiasaan memberi minum bayi hanya dengan air putih, memberikan makanan padat terlalu dini, berpantang pada makanan tertentu (misalnya tidak memberikan anak anak daging, telur, santan dll), hal ini menghilangkan kesempatan anak untuk mendapat asupan lemak, protein maupun kalori yang cukup.
4 Penyakit infeksi (frequent infection)
Menjadi penyebab terpenting kedua kekurangan gizi, apalagi di negara negara terbelakang dan yang sedang berkembang seperti Indonesia, dimana kesadaran akan kebersihan / personal hygiene yang masih kurang, serta ancaman endemisitas penyakit tertentu, khususnya infeksi kronik seperti misalnya Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA), Diare, Tuberculosis (TBC) masih sangat tinggi. Kaitan infeksi dan kurang gizi seperti layaknya lingkaran setan yang sukar diputuskan, karena keduanya saling terkait dan saling memperberat.
Kebutuhan Energi
Kebutuhan energi dapat didefinisikan sebagai suatu tingkat masukan energi yang diperoleh dari makanan yang akan mengimbangi pengeluaran atau pemakaian energi oleh tubuh seseorang yang sehat. Penggunaan energi seseorang sangat dipengaruhi oleh basal metabolisme, penggunaan energi untuk aktivitas tubuh dan beban energi untuk pengolahan dan penggunaan makanan. Semua kebutuhan energi harus dihitung secara akurat dar semua komponen diet yang dikonsumsi.
Kebutuhan Protein
Protein dalam tubuh merupakan sumber asam amino esensial yang diperlukan sebagai zat pembangun, yaitu :
1 Pembentukan dan pembentukan protein dalam serum, hemoglobin, enzim, hormon dan antibodi.
2 Menggantikan sel – sel yang rusak
3 Memelihara keseimbangan asam basa cairan tubuh 4 Sumber energi.
Kebutuhan protein bayi dan anak relatif lebih besar bila dibandingkan dengan orang dewasa. Angka kebutuhan protein bergantung pada mutu protein.
Semakin baik mutu protein, semakin rendah angka kebutuhan protein. Mutu protein tergantung susunan asam amino yang membentuknya terutama asam amino esensial. Kecukupan protein yang dianjurkan untuk bayi dan anak berkisar antara 2 – 2,5 gr/kg berat badan.
Kebutuhan Lemak
Lemak merupakan sumber kalori konsentrasi tinggi (1 gram lemak menghasilkan 9 kkal). Tiga fungsi penting lemak yaitu : sebagai sumber lemak essensial, zat pelarut vitamin A, D, E, K dan pemberi rasa sedap pada makanan.
Kebutuhan akan lemak tidak dinyatakan dalam angka mutlak. Dianjurkan 15 – 20% energi total berasal dalam dari lemak, 1 – 2% energi total berasal dari asam lemak esensial (asam linoleat) (Almatsier 2004).
Kebutuhan Karbohidrat
Karbohidrat dibutuhkan sebagai sumber energi (1 gr karbohidrat menghasilkan 4 kkal). Dianjurkan 60 – 70% energi total berasal dari karbohirat.
Pada ASI dan sebagian besar formula bayi, 40 – 50 % kandungan kalori berasal dari hidrat arang, terutama laktosa. Salah satu keuntungan adanya laktosa dalam makanan bayi adalah terjadinya pembentukan flora yang bersifat asam dalam usus besar yang meningkatkan absorbsi kalsium dan menurunkan absorbsi fenol.
Angka Kecukupan Gizi (AKG)
Angka Kecukupan Gizi yang dianjurkan (AKG) adalah pedoman kuantitatif untuk mikronutrien, energi dan protein yang penting, khususnya dalam mencegah defisiensi gizi pada berbagai subkelompok populasi (Gibney et al., 2009). AKG dipengaruhi oleh umur, jenis kelamin, aktivitas, barat badan, tinggi badan, genetika, dan keadaan fisiologis seperti hamil atau menyusui. Angka kecukupan gizi berbeda dengan angka kebutuhan gizi. Angka kebutuhan gizi menggambarkan banyaknya zat gizi minimal yang dibutuhkan seseorang untuk mempertahankan status gizi adekuat.
Angka kecukupan energi dan protein untuk balita umur 0 - 6 tahun berdasarkan SK Menkes RI Nomor : 1593/ Menkes/ SK/XI/ 2005 tanggal 24 November 2005, tentang angka kecukupan gizi yang dianjurkan bagi Bangsa Indonesia, disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1 Angka Kecukupan Gizi bagi Anak Usia 0 – 6 tahun (per hari)
No Kelompok
Umur
Berat Badan (Kg)
Tinggi Badan (Cm)
Energi (Kkal)
Protein (gram)
1 0 – 6 bulan 6,0 60 550 10
2 7 – 11 bulan 8,5 71 650 16
3 1 – 3 tahun 12,0 90 1.000 25
4 4 – 6 tahun 17,0 110 1.550 39
Sumber : LIPI (2004)
Pendapatan Keluarga
Daya beli keluarga sangat ditentukan oleh tingkat pendapatan keluarga.
Orang miskin biasanya akan membelanjakan sebagian besar pendapannya untuk makanan. Rendahnya pendapatan merupakan rintangan yang menyebabkan orang tidak mampu membeli pangan dalam jumlah yang cukup. Ada pula keluarga yang sebenarnya mempunyai penghasilan cukup namun sebagian anaknya berstatus kurang gizi. Pada umumnya tingkat pendapatan naik jumlah dan jenis makanan cenderung untuk membaik tetapi mutu makanan tidak selalu membaik. Anak-anak yang tumbuh dalam suatu keluarga miskin paling rentan terhadap kurang gizi diantara seluruh anggota keluarga dan anak yang paling kecil biasanya paling dipengaruhi oleh kekurangan pangan. Jumlah keluarga juga mempengaruhi keadaan gizi anak (Suhardjo 2002).
Status sosial ekonomi keluarga dapat dilihat dari besarnya pendapatan atau pengeluaran keluarga, baik pangan maupun nonpangan selama satu tahun terakhir.
Pendapatan keluarga adalah besarnya rata-rata penghasilan yang diperoleh dari seluruh anggota keluarga. Pendapatan keluarga tergantung pada jenis pekerjaan kepala keluarga dan anggota keluarga lainnya. Jika pendapatan masih rendah maka kebutuhan pangan cenderung lebih dominan daripada kebutuhan
nonpangan. Sebaliknya, jika pendapatan meningkat maka pengeluaran untuk nonpangan akan semakin besar, mengingat kebutuhan pokok makanan sudah terpenuhi (Husaini et al 2000). Hal ini sesuai dengan Hukum Engel bahwa semakin tinggi pendapatan maka persentase pendapatan yang dikeluarkan untuk pangan semakin kecil (Todaro & Smith 2009).
Menurut BAPPENAS (2007) dari berbagai faktor penyebab masalah gizi, kemiskinan dinilai memiliki peranan penting dan bersifat timbal balik, artinya kemiskinan akan menyebabkan kurang gizi dan individu yang kurang gizi akan berakibat atau melahirkan kemiskinan. Masalah kurang gizi memperlambat pertumbuhan ekonomi dan mendorong proses pemiskinan melalui tiga cara.
Pertama, kurang gizi secara langsung menyebabkan hilangnya produktivitas karena kelemahan fisik. Kedua, kurang gizi secara tidak langsung menurunkan kemampuan fungsi kognitif dan berakibat pada rendahnya tingkat pendidikan.
Ketiga, kurang gizi dapat menurunkan tingkat ekonomi keluarga karena meningkatnya pengeluaran untuk berobat.
Tingkat pendapatan merupakan faktor yang paling menentukan terhadap kuantitas dan kualitas makanan yang dikonsumsi. Dengan demikian, terdapat hubungan yang erat antara pendapatan dan keadaan status gizi. Rendahnya pendapatan menyebabkan daya beli terhadap makanan menjadi rendah dan konsumsi pangan keluarga akan berkurang. Kondisi ini akhirnya akan mempengaruhi kesehatan dan status gizi keluarga (Riyadi et al 1990).
Besarnya Keluarga
Besarnya anggota keluarga adalah jumlah semua anggota keluarga yang menjadi tanggungan kepala keluarga, tinggal satu atap dan makan dari satu dapur.
Semakin besar suatu keluarga maka semakin sedikit perhatian yang diperoleh anak dari orang tua.
Hubungan antara laju kelahiran yang tinggi dan kurang gizi, sangat nyata pada masing-masing keluarga. Sumber pangan keluarga, terutama mereka yang sangat miskin akan lebih mudah memenuhi kebutuhan makanannya jika yang harus diberi makanan jumlahnya sedikit. Pangan yang tersedia untuk suatu keluarga yang besar mungkin cukup untuk keluarga yang besarnya setengah dari
keluarga tersebut, tetapi tidak cukup untuk mencegah gangguan gizi pada keluarga yang besar tersebut (Suhardjo 2002).
Anak-anak yang tumbuh dalam suatu keluarga miskin paling rawan terhadap kurang gizi diantara seluruh anggota keluarga dan anak yang paling kecil biasanya paling terpengaruh oleh kekurangan pangan. Sebab seandainya besar keluarga bertambah maka pangan untuk setiap anak berkurang dan banyak orang tua tidak menyadari bahwa anak-anak yang sangat muda memerlukan pangan relatif lebih banyak daripada anak-anak yang lebih tua. Dengan demikian anak- anak yang muda mungkin tidak diberi cukup makan (Suhardjo 2002).
Pendidikan Ibu
Pendidikan ibu merupakan modal utama dalam menunjang ekonomi keluarga juga berperan dalam penyusunan makan keluarga, serta pengusahaan dan perawatan anak. Bagi keluarga dengan tingkat pendidikan yang tinggi akan lebih mudah menerima informasi kesehatan khususnya dibidang gizi sehingga dapat menambah pengetahuannya dan mampu menerapkan dalam kehidupan sehari-hari (Depkes RI 1999).
Pendidikan adalah jenjang pendidikan formal yang pernah di alami seseorang dan berijazah. Pendidikan dapat mempengaruhi seseorang dalam kesehatan terutama pada pola asuh anak, alokasi sumber zat gizi serta utilisasi informasi lainnya. Rendahnya tingkat pendidikan ibu menyebabkan berbagai keterbatasan dalam menangani masalah gizi dan keluarga serta anak balitanya.
Tingkat pendidikan merupakan salah satu indikator sosial dalam masyarakat karena melalui pendidikan sikap tingkah laku manusia dapat meningkat dan berubah citra sosialnya. Disamping itu tingkat pendidikan dapat juga dijadikan sebagai cermin keadaan sosial ekonomi didalam masyarakat.
Tujuan akhir dari suatu pendidikan pada dasarnya adalah untuk menghilangkan faktor-faktor perilaku dan sosial budaya yang merupakan hambatan bagi perbaikan kesehatan, menumbuhkan perilaku dan sosial budaya yang positif sehingga baik individu maupun masyarakat itu dapat meningkatkan sendiri taraf kesehatan masyarakat (Soekirman 2000).
Pendidikan yang dimiliki wanita bukan hanya bermanfaat bagi penambahanan pengetahuan dan peningkatan kesempatan kerja yang dimilikinya, akan tetapi juga merupakan bekal atau sumbangan dalam upaya memenuhi kebutuhan dirinya serta mereka yang tergantung padanya. Wanita dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi cenderung lebih baik taraf kesehatannya. Peran organisasi wanita seperti PKK untuk menjangkau kelompok wanita yang lebih dalam peningkatan kesejahteraan termasuk taraf gizi dan kesehatan yang lebih baik.
Tingkat pendidikan ibu berpengaruh terhadap perilaku ibu dalam mengelola rumah tangga, termasuk dalam hal konsumsi pangan keluarga sehari- hari, perilaku higienis ibu. Tingkat pendidikan ibu juga menentukan aksesnya kepada pola pengasuhan yang tepat dan akses ke sarana pelayanan kesehatan.
Hasil penelitian Madanijah (2003) menyebutkan bahwa terdapat hubungan yang positif antara pendidikan ibu dengan pengetahuan gizi, kesehatan dan pengasuhan anak. Ibu dengan pendidikan yang tinggi cenderung memiliki pengetahuan gizi, kesehatan dan pengasuhan anak yang baik.
Penyakit Infeksi
Infeksi adalah masuknya, bertumbuh dan berkembangnya agent penyakit menular dalam tubuh manusia atau hewan. Infeksi tidaklah sama dengan penyakit menular karena akibatnya mungkin tidak kelihatan atau nyata. Adanya kehidupan agent menular pada permukaan luar tubuh, atau pada barang, pakaian atau barang-barang lainnya, bukanlah infeksi, tetapi merupakan kontaminasi pada permukaan tubuh atau benda (Noor 1997).
Infeksi berat dapat memperburuk keadaan gizi melalui gangguan masukan makanannya dan meningkatnya kehilangan zat-zat gizi esensial tubuh.
Sebaliknya malnutrisi walaupun ringan berpengaruh negatif terhadap daya tahan tubuh terhadap infeksi (Pudjiadi 2003).
Ada hubungan yang sangat erat antara infeksi (bakteri, virus dan parasit) dengan malnutrisi. Mereka menekankan interaksi yang sinergis antara malnutrisi dengan penyakit infeksi, dan juga infeksi akan mempengaruhi status gizi dan
mempercepat malnutrisi. Mekanisme patologisnya dapat bermacam-macam, baik secara sendiri-sendiri maupun bersamaan, yaitu :
1 Penurunan asupan zat gizi akibat kurangnya nafsu makan, menurunnya absorbsi, dan kebiasaan mengurangi makan pada saat sakit.
2 Peningkatan kehilangan cairan/zat gizi akibat diare, mual/muntah dan pendarahan yang terus menerus.
3 Meningkatnya kebutuhan, baik dari peningkatan kebutuhan akibat sakit (human host) dan parasit yang terdapat dalam tubuh.
Pada umumnya baik infeksi umum maupun infeksi lokal, dapat respon metabolik bagi penderitanya, yang disertai dengan kekurangan zat gizi. Penelitian yang dilakukan, ditemui bahwa kurang gizi, dapat menyebabkan gangguan pada pertahanan tubuh. Di lain pihak, pada infeksi akan memberikan efek berupa gangguan pada tubuh, yang dapat menyebabkan kekurangan gizi. Penyakit infeksi dapat menyebabkan kurang gizi sebaliknya kurang gizi juga menyebabkan penyakit infeksi. Ada tendensi dimana, adanya penyakit infeksi, malnutrisi (gizi lebih dan gizi kurang), yang terjadi secara bersamaan di mana akan bekerjasama (secara sinergis), hingga suatu penyakit infeksi yang baru akan menyebabkan kekurangan gizi yang lebih berat, dikenal dengan siklus sinergis (vicious cycle) yang banyak dan sering terjadi di negara-negara berkembang, menyebabkan tingginya angka kematian di negara tersebut (Supariasa et al 2002).
Terjadinya hubungan timbal balik antara kejadian infeksi penyakit dan gizi kurang maupun gizi buruk.Anak yang menderita gizi kurang dan gizi buruk akan mengalami penurunan daya tahan, sehingga rentan terhadap penyakit infeksi.
Anak yang menderita sakit infeksi juga akan cenderung menderita gizi buruk (Depkes RI 1999).
Menurut John Rohde dkk, kematian bayi sebesar 57% dan 54% kematian anak di Jawa disebabkan karena kurang gizi yang disertai penyakit infeksi yang sebenarnya bukanlah penyakit berbahaya apabila penyakit ini menyerang anak yang status gizinya baik (Rohde et al 1978).
Beberapa penyakit infeksi yang sering diderita oleh anak antara lain :