• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III METODE PENELITIAN. telah ditentukan yaitu hewan coba di laboratorium. Universitas Sebelas Maret Surakarta.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB III METODE PENELITIAN. telah ditentukan yaitu hewan coba di laboratorium. Universitas Sebelas Maret Surakarta."

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

commit to user BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental laboratorium. Peneliti memberikan perlakuan terhadap sampel yang telah ditentukan yaitu hewan coba di laboratorium.

B. Lokasi Penelitian

Penelitian dilakukan pada tanggal 19 Oktober – 2 November 2015 di Laboratorium Histologi, Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta.

C. Subjek Penelitian 1. Populasi Penelitian

Populasi pada penelitian ini adalah mencit yang diperoleh dari Laboratorium Histologi, Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta dengan kriteria sebagai berikut : a. Kriteria Inklusi

1) Jenis kelamin mencit jantan 2) Galur Swiss webster

3) Usia 2-3 bulan

4) Berat badan ± 20 gram

(2)

5) Kondisi sehat (aktif dan tidak cacat) b. Kriteria Eksklusi

Mencit yang mati saat perlakuan

2. Besar Sampel

Sampel diambil dari populasi yang memenuhi kriteria tersebut dan besar sampel minimal menurut Dewi et al., (2013) ditetapkan berdasarkan rumus Federer sebagai berikut:

(k-1)(n-1) > 15 (5-1)(n-1) > 15 4(n-1) > 15

4n > 15+4 n > 4,75 ≈ 5 Keterangan:

k : jumlah kelompok

n : jumlah sampel dalam tiap kelompok

Pada penelitian ini jumlah sampel tiap kelompok minimal 5 ekor mencit (n > 5). Sebagai cadangan, tiap kelompok ditambah 1 ekor mencit, sehingga jumlah mencit tiap kelompok menjadi 6 ekor. Dengan demikian bila jumlah kelompok ada 5 maka besar sampel pada penelitian ini adalah 30 ekor mencit.

(3)

D. Teknik Sampling

Sampel penelitian akan diambil dengan teknik incidental sampling. Pada teknik sampling ini sampel diambil dengan cara mengambil/memilih sampel penelitian yang secara kebetulan dijumpai (Taufiqurohman, 2004).

E. Rancangan Penelitian

Rancangan penelitian ini post test only controlled group design. Subyek dibagi dalam 5 kelompok secara random. Hasil pengukuran variabel yang berbeda diantara berbagai kelompok merupakan efek perlakuan (Taufiqurohman, 2004).

Gambar 3. Skema rancangan penelitian Keterangan:

KKn : Kelompok kontrol normal (kelompok akuades)

KK(-) : Kelompok kontrol negatif (kelompok minyak jelantah) Sampel

Mencit 30 Ekor

KKn : Xn

KK(-) : X(-)

KP2 : X2

KP1 : X1

KP3 : X3

Bandingkan dengan Uji

Statistik On

O(-) O1 O2

O3

(4)

KP1 : Kelompok perlakuan 1 (kelompok minyak jelantah + ekstrak buah belimbing wuluh (Averrhoa bilimbi L.) dosis I)

KP2 : Kelompok perlakuan 2 (kelompok minyak jelantah + ekstrak buah belimbing wuluh (Averrhoa bilimbi L.) dosis II)

KP3 : Kelompok perlakuan 3 (kelompok minyak jelantah + ekstrak buah belimbing wuluh (Averrhoa bilimbi L.) dosis III)

Xn : Pemberian akuades pada KKn

X(-) : Pemberian minyak jelantah pada KK(-)

X1 : Pemberian minyak jelantah + ekstrak belimbing wuluh (Averrhoa bilimbi L.) dosis I pada KP1

X2 : Pemberian minyak jelantah + ekstrak belimbing wuluh (Averrhoa bilimbi L.) dosis II pada KP2

X3 : Pemberian minyak jelantah + ekstrak belimbing wuluh (Averrhoa bilimbi L.) dosis III pada KP3

On : Pengamatan jumlah inti sel epitel tubulus proksimal ginjal piknosis, karioreksis, dan kariolisis dari 100 sel di pars konvulata korteks ginjal kelompok kontrol normal.

O(-) : Pengamatan jumlah inti sel epitel tubulus proksimal ginjal piknosis, karioreksis, dan kariolisis dari 100 sel

(5)

di pars konvulata korteks ginjal kelompok kontrol negatif.

O1 : Pengamatan jumlah inti sel epitel tubulus proksimal ginjal piknosis, karioreksis, dan kariolisis dari 100 sel di pars konvulata korteks ginjal kelompok KP1.

O2 : Pengamatan jumlah inti sel epitel tubulus proksimal ginjal piknosis, karioreksis, dan kariolisis dari 100 sel di pars konvulata korteks ginjal kelompok KP2.

O3 : Pengamatan jumlah inti sel epitel tubulus proksimal ginjal piknosis, karioreksis, dan kariolisis dari 100 sel di pars konvulata korteks ginjal kelompok KP3.

Pembuatan preparat ginjal untuk pengamatan jumlah inti sel epitel tubulus proksimal ginjal piknosis, karioreksis, dan kariolisis dilakukan pada hari ke-15 setelah perlakuan dilakukan.

F. Identifikasi Variabel Penelitian 1. Variabel bebas

Ekstrak buah belimbing wuluh 2. Variabel terikat

Kerusakan struktur histologis ginjal mencit (Mus musculus).

3. Variabel luar

a. Variabel luar yang dapat dikendalikan:

Variasi genetik, jenis kelamin, umur, suhu udara, berat badan, dan jenis makanan dan minuman mencit.

(6)

b. Variabel luar yang tidak dapat dikendalikan:

Kondisi psikologis, reaksi hipersensitivitas, dan keadaan awal ginjal mencit.

G. Definisi Operasional Variabel Penelitian

1. Variabel bebas: Pemberian ekstrak buah belimbing wuluh Ekstrak buah belimbing wuluh dibuat dari buah belimbing wuluh dengan warna hijau keputihan (whitish-green) sehingga kematangannya dianggap cukup (tidak overripe), tidak busuk dan tidak cacat/rusak. Buah belimbing wuluh diperoleh dari tanaman yang tumbuh di daerah Kaliurang, Yogyakarta.

Pembuatan simplisia (bentuk kering) buah belimbing wuluh dilakukan di Merapi Farma Yogyakarta. Pembuatan ekstrak di lakukan di Laboratorium Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta dengan metode maserasi, menggunakan pelarut etanol 70%. Ekstrak diberikan pada mencit dengan cara per oral menggunakan sonde lambung. Dosis yang diberikan ada tiga macam yaitu: 5,6 mg/20 g BB mencit diberikan pada KP1, 11,2 mg/20 g BB mencit diberikan pada KP2, dan 22,4 mg/20 g BB mencit diberikan pada kelompok KP3. Ekstrak diberikan sehari sekali setelah mencit dipuasakan + 6 jam selama 14 hari berturut-turut. Skala ukuran variabel ini adalah ordinal.

(7)

2. Variabel terikat: Struktur histologis ginjal mencit

Kerusakan struktur histologis ginjal mencit yang diamati pada penelitian ini adalah gambaran mikroskopis kerusakan sel epitel tubulus proksimal ginjal akibat diinduksi minyak jelantah dan telah diberi ekstrak buah belimbing wuluh. Besarnya jumlah kerusakan struktur histologis dapat dinilai dengan menghitung jumlah satuan kerusakan sel epitel tubulus proksimal daerah tertentu pada pars konvulata korteks ginjal. Indikator kerusakan struktur histologis ginjal adalah inti sel ginjal yang mengalami piknosis, karioreksis, dan kariolisis.

Tiap ekor mencit dibuat 2 irisan jaringan ginjal kanan dan 2 irisan dari ginjal kiri. Preparat irisan diambil dari bagian tengah ginjal dengan irisan secara frontal, kemudian preparat dibuat dengan metode blok parafin dan pengecatan Hematosiklin Eosin (HE). Pengamatan dilakukan pertama menggunakan perbesaran 100 kali untuk melihat seluruh lapang pandang kemudian dengan perbesaran 400 kali untuk menentukan satu daerah yang mengalami kerusakan pada pars konvulata korteks ginjal secara acak. Pengamatan dilanjutkan dengan perbesaran 1000 kali untuk mengidentifikasi inti sel yang piknosis, karioreksis, dan kariolisis. Penghitungan sel yang rusak dilakukan pada tiap 50 sel epitel tubulus proksimal ginjal pada tiap preparat.

(8)

Maka rumus besarnya jumlah kerusakan histologis untuk tiap irisan atau preparat ginjal:

P + Kr + Kl Keterangan :

P : Jumlah sel epitel tubulus proksimal dengan inti piknosis Kr : Jumlah sel epitel tubulus proksimal dengan inti karioreksis Kl : Jumlah sel epitel tubulus proksimal dengan inti kariolisis Skala pengukuran variabel ini adalah skala numerik (rasio).

3. Variabel luar

Variabel luar terdiri dari variabel yang dapat dikendalikan dan yang tidak dapat dikendalikan.

a. Variabel luar yang dapat dikendalikan, pengendaliannya dilakukan melalui homogenisasi

1) Variasi genetik

Jenis hewan coba yang digunakan adalah mencit dengan galur Swiss webster.

2) Jenis kelamin

Jenis kelamin mencit yang digunakan adalah jantan.

3) Umur

Umur mencit yang digunakan pada penelitian 2-3 bulan.

(9)

4) Suhu udara

Hewan percobaan diletakkan dalam satu ruangan yang sama dengan suhu udara berkisar antara 25- 28oC.

5) Berat badan

Berat badan hewan percobaan ±20gram 6) Jenis makanan dan minuman

Makanan yang diberikan berupa pellet dan minuman berupa air PAM.

b. Variabel luar yang tidak dapat dikendalikan: kondisi psikologis, reaksi hipersensitivitas, dan keadaan awal ginjal mencit.

1) Kondisi psikologis mencit dipengaruhi lingkungan sekitarnya. Kondisi ini dapat dipengaruhi oleh perkelahian antar mencit, lingkungan yang ramai dan gaduh, serta pemberian perlakuan yang berulang kali.

2) Reaksi hipersensitivitas dapat terjadi karena variasi kepekaan mencit terhadap zat yang digunakan.

3) Keadaan awal ginjal mencit tidak diperiksa pada penelitian ini, bisa saja ginjal mencit sudah

(10)

mengalami kelainan sebelum dilakukan percobaan dan pemberian perlakuan.

H. Alat dan Bahan Penelitian 1. Alat

Alat yang digunakan dalam penelitian ini meliputi: timbangan obat, timbangan hewan, kandang mencit 5 masing-masing untuk 6 ekor mencit, alat bedah hewan percobaan (scalpel, pinset, gunting, jarum, meja lilin), alat pemanas minyak kelapa sawit (kompor dan wajan), sonde lambung, alat untuk membuat preparat histologi, mikroskop cahaya medan terang, gelas ukur dan pengaduk, dan kamera.

2. Bahan

Bahan yang akan digunakan dalam penelitian adalah sebagai berikut: minyak kelapa sawit dengan pemanasan berulang, makanan hewan percobaan (pellet), minuman hewan percobaan (air PAM), akuades, bahan untuk pengecatan preparat histologi dengan pengecatan HE (Hematoksilin Eosin), dan ekstrak buah belimbing wuluh (Averrhoa bilimbi L.)

(11)

I. Cara Kerja

1. Persiapan percobaan

a. Pembuatan ekstrak buah belimbing wuluh

Pembuatan ekstrak buah belimbing wuluh berasal dari buah belimbing wuluh dengan warna hijau keputihan (whitish-green) sehingga kematangannya dianggap cukup (tidak overripe), tidak busuk dan tidak cacat/rusak yang diperoleh dari tanaman yang tumbuh di daerah Kaliurang, Yogyakarta. Pembuatan simplisia (bentuk kering) buah belimbing wuluh dilakukan di Merapi Farma Yogyakarta. Ekstrak buah belimbing wuluh dibuat di Laboratorium Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada dengan metode maserasi menggunakan pelarut etanol 70%.

Cara melakukan ekstraksi adalah sebagai berikut:

Belimbing wuluh yang sudah dicuci, dikeringkan dalam lemari pengering selama 48 jam dengan suhu 45oC kemudian diubah menjadi bentuk serbuk menggunakan mesin penyerbuk dengan saringan berdiameter 1 mm. Selanjutnya belimbing wuluh yang sudah menjadi serbuk direndam selama 3 jam di dalam etanol 70%. Belimbing wuluh diaduk selama 30 menit kemudian didiamkan selama 24 jam kemudian disaring. Prosedur perendaman serbuk menggunakan etanol sampai dengan prosedur disaring dilakukan sebanyak 3 kali. Hasil filtrat yang sudah disaring diuapkan dengan menggunakan vacuum rotary

(12)

evaporator, pemanas water bath dengan suhu 70oC sehingga terbentuk ekstrak yang agak kental. Setelah proses tersebut, kandungan etanol di dalam ekstrak menjadi berkurang hingga kurang dari 1% sehingga tidak dapat merusak ginjal. Ekstrak kemudian dituang ke dalam cawan porselin dan dipanaskan dengan menggunakan pemanas water bath suhu 70oC sambil terus diaduk sehingga mendapatkan ekstrak etanol belimbing wuluh.

b. Penentuan dosis ekstrak buah belimbing wuluh

Dosis ekstrak buah belimbing wuluh yang akan digunakan pada penelitian ini didasarkan pada dosis yang digunakan oleh Sutrisna et al., (2012). Penelitian yang dilakukan oleh Sutrisna et al., (2012) menunjukkan bahwa dosis ekstrak buah belimbing wuluh sebesar 80 mg/200g BB tikus putih yang diberikan selama 7 hari berturut-turut dapat menurunkan secara bermakna kadar glukosa darah dan tingkat stres oksidatif pada tikus putih jantan (Rattus norvegicus) galur Wistar. Dosis 80 mg/200g BB tikus. Nilai konversi dosis dari tikus (200 g) ke mencit (20 g) adalah 0,14 (Ngatidjan, 2006). Sehingga dosis ekstrak buah belimbing wuluh yang dipakai untuk mencit 20 g adalah sebesar 0,14 x 80 mg = 11,2 mg atau sebesar 56 mg/kg BB mencit. Pada penelitian ini ekstrak buah belimbing wuluh akan diberikan

(13)

selama 14 hari berturut-turut dengan tiga macam dosis yaitu:

Dosis I sebesar 5,6 mg/20 g BB mencit, dosis II sebesar 11,2 mg/20 g BB mencit, dan dosis III sebesar 22,4 mg/20 g BB mencit.

c. Pembuatan minyak jelantah

Pembuatan minyak jelantah dilakukan dengan memakai 2,5 L minyak kelapa sawit untuk menggoreng 1 kg ketela sebanyak 10 kali. Pada setiap pemanasan minyak kelapa sawit dipanaskan sampai 180°C selama 10 menit dan kemudian didinginkan pada suhu ruangan (Adam et al., 2008; Leong et al., 2010).

d. Penentuan dosis minyak jelantah

Dosis pemberian minyak jelantah pada mencit yang dapat menginduksi kerusakan sel tubulus proksimal ginjal didasarkan pada penelitian yang dilakukan oleh Sutejo dan Dewi (2012) yaitu sebesar 1 ml/100 gr BB mencit atau 0,2 ml/20 g BB mencit perhari untuk menginduksi kerusakan sel hepar dan penelitian oleh Totani dan Ojiri (2007) yang menemukan bahwa mencit yang diberi minyak jelantah mengalami kerusakan baik pada sel ginjal maupun sel hepar. Minyak jelantah diberikan secara per oral menggunakan sonde lambung selama 14 hari berturut-turut.

(14)

e. Persiapan mencit

Sebelum pemberian perlakuan, semua mencit diadaptasikan selama tujuh hari di Laboratorium Histologi Fakultas Kedokteran UNS Surakarta. Setelah diadaptasikan, keesokan harinya yaitu pada hari ke-8, dilakukan penimbangan berat badan untuk menentukan pemberian dosis ekstrak, kemudian dilakukan perlakuan.

2. Pelaksanaan percobaan a. Pengelompokan subjek

Percobaan mulai dilakukan pada minggu kedua. Subjek dikelompokkan menjadi 5 kelompok secara random, dan masing – masing kelompok terdiri dari 6 mencit. Adapun pengelompokan subjek sebagai berikut:

1) KKn : Kelompok Kontrol normal diberi akuades peroral 0,3 ml/20 g BB mencit, selang 2 jam kemudian diberi lagi akuades peroral 0,2 ml/20 g BB mencit.

2) KK(-) : Kelompok Kontrol Negatif diberi akuades peroral 0,3 ml/20 g BB mencit, selang 2 jam kemudian diberi minyak jelantah peroral 0,2 ml/20 g BB mencit.

3) KP1 : Kelompok Perlakuan 1 diberi ekstrak buah belimbing wuluh peroral dosis I yaitu 5,6 mg/20 g BB mencit (0,3 ml), selang 2 jam kemudian minyak jelantah peroral 0,2 ml/20 g

(15)

BB mencit.

4) KP2 : Kelompok Perlakuan 2 diberi ekstrak buah belimbing wuluh peroral dosis II yaitu 11,2 mg/20 g BB mencit (0,3 ml), selang 2 jam kemudian diberi minyak jelantah peroral 0,2 ml/20 g BB mencit.

5) KP3 : Kelompok Perlakuan 3 diberi ekstrak buah belimbing wuluh peroral dosis III yaitu 22,4 mg/kg BB mencit (0,3 ml), selang 2 jam kemudian diberi minyak jelantah peroral 0,2 ml/20 g BB mencit.

Perlakuan seperti tersebut di atas dilakukan selama 14 hari berturut. Sebelum pemberian minyak jelantah dan ekstrak buah belimbing wuluh, mencit dipuasakan selama + 6 jam. Pemberian secara peroral, dilakukan menggunakan sonde lambung.

(16)

commit to user b. Rancangan Penelitian

Sampel 30 ekor mencit

Adaptasi selama 7 hari di Laboratorium Histologi FK UNS sebelum perlakuan

Randomisasi

Kelompok Kontrol normal (KKn)

Kelompok Kontrol Negatif (KK(-))

Kelompok Perlakuan 1 (KP1)

Kelompok Perlakuan 2 (KP2)

Kelompok Perlakuan 3 (KP3)

Dipuasakan selama ± 6 jam

Akuades 0,3 ml/20 g BB mencit

0,3 ml ekstrak buah belimbing wuluh

5,6 mg/20 g BB mencit

0,3 ml ekstrak buah belimbing wuluh 11,2 mg/20 g BB

mencit

0,3 ml ekstrak buah belimbing wuluh 22,4 mg/20 g BB

mencit

Setelah ± 2 jam

Akuades 0,2 ml/20 g

BB mencit Minyak jelantah 0,2 ml/20 g BB mencit

Perlakuan dilakukan secara berturut-turut selama 14 hari

Pada hari ke-15 dilakukan neck dislocation hewan percobaan dan organ ginjal diambil untuk pembuatan preparat

Pengamatan preparat ginjal

Uji Statistik

(17)

3. Pengukuran Hasil

Pada hari ke-15 setelah perlakuan pertama diberikan, semua hewan percobaan dikorbankan dengan cara neck dislocation pada vertebra servikalis. Selanjutnya organ ginjal kanan dan kiri setiap mencit diambil untuk dilakukan pembuatan preparat histologi dengan metode blok parafin dengan pengecatan Hematosiklin Eosin (HE). Masing-masing ginjal dibuat 2 irisan secara frontal pada daerah pertengahan ginjal (untuk keseragaman) dengan ketebalan irisan ginjal ± 5-7 μm dan jarak antar irisan adalah 25 irisan. Pembuatan preparat dilakukan pada hari ke-15 agar efek perlakuan tampak nyata. Tiap ekor mencit dibuat 4 irisan jaringan (preparat) yaitu 2 irisan dari ginjal kanan dan 2 irisan dari ginjal kiri, kemudian diamati pada mikroskop cahaya. Dari tiap 2 irisan ginjal kanan dan 2 irisan ginjal kiri masing – masing dipilih secara acak 1 irisan ginjal kanan dan 1 irisan ginjal kiri untuk dihitung jumlah kerusakan selnya.

Pengamatan preparat jaringan ginjal mula-mula dilakukan dengan perbesaran 100 kali untuk mengamati seluruh bagian irisan. Kemudian ditentukan tubulus proksimal yang terletak pada pars konvulata korteks ginjal. Pengamatan dilakukan pada tubulus proksimal ginjal karena terjadi absorpsi dan sekresi aktif yang menyebabkan kadar toksikan pada tubulus proksimal lebih tinggi. Selain itu tubulus proksimal sering menjadi sasaran efek

(18)

toksik karena kadar sitokrom P450 pada tubulus proksimal lebih tinggi untuk mendetoksifikasi atau mengaktifkan toksikan (Dalimunthe, 2009). Pengamatan dilanjutkan dengan perbesaran 400 kali untuk menentukan satu zona untuk mengamati inti sel epitel tubulus proksimal ginjal. Pengamatan dilakukan dengan perbesaran 1000 kali untuk melihat dan membedakan inti sel yang piknosis, karioreksis, dan kariolisis dengan lebih jelas.

Untuk mengetahui sel-sel epitel tubulus proksimal yang mengalami kerusakan maka dari tiap irisan ditentukan secara acak satu daerah di pars konvulata korteks ginjal kemudian pada tiap daerah tersebut dihitung jumlah sel epitel tubulus proksimal yang mengalami kerusakan dari tiap 50 sel epitel tubulus proksimal yang ada di daerah tersebut. Masing-masing irisan ginjal yang diamati kemudian dihitung jumlah inti sel yang mengalami piknosis, karioreksis, dan kariolisis. Setiap jenis kerusakan inti sel tersebut, baik piknosis, karioreksis, dan kariolisis diberi nilai satu. Hasil penilaian akhir setiap irisan ginjal merupakan penjumlahan antara pola nuklear nekrosis sel ginjal.

Misal pada suatu daerah di pars konvulata korteks ginjal terdapat 20 sel epitel tubulus proksimal dengan inti piknosis, 15 sel dengan inti karioreksis, dan 10 sel dengan inti kariolisis,

(19)

maka poin kerusakan histologis sel ginjal pada irisan ginjal tersebut adalah:

P + Kr + Kl

= 20 + 15 + 10

=45

Jika tiap kelompok terdiri dari 6 mencit, maka untuk tiap kelompok didapatkan 12 irisan ginjal yang dibaca hasilnya di bawah mikroskop cahaya.

J. Teknik Analisis Data Statistik

Uji statistik yang digunakan pada penelitian adalah uji One- Way ANOVA. Syarat data agar dapat dianalisis dengan uji One- Way ANOVA adalah sebagai berikut :

1. Skala pengukuran adalah numerik. Skala pengukuran disebut numerik apabila adanya rasosiasi antara variabel kategorik dan variabel numerik.

2. Distribusi data harus nomal, ini dapat dibuktikan dengan nilai uji Kolmogorov-Smirnov atau Saphiro-Wilk yang memiliki nilai p lebih besar dari alfa.

3. Varians data harus sama, dapat diketahui dengan menggunakan uji Homogeneity of variances. Jika varians data sama akan memiliki nilai p lebih besar dari nilai alfa.

(20)

Jika terdapat perbedaan yang bermakna, dilanjutkan analisis dengan menggunakan uji Post Hoc Multiple Comparisons untuk mengetahui letak perbedaan tersebut (Dahlan, 2008).

Gambar

Gambar 3. Skema rancangan penelitian  Keterangan:

Referensi

Dokumen terkait

Simpulan dari hasil penelitian ini ialah: Pertama, wujud ketidaksantunan linguistik dapat dilihat berdasarkan tuturan lisan yang tidak santun antara guru dan siswa yang berupa tuturan

9angguan mood   yang dialami "leh sese"rang ini umumnya dapat dilihat dari pertambahan jam tidur yang semakin meningkat$ 3an dalam beberapa tahun telah diketahui bahwa

Data SOP dapat diedit dengan menekan tombol pada tabel standard operation procedure , sehingga akan muncul tampilan seperti pada gambar 10. Interface Edit

Berdasarkan struktur produksi perusahaan di Jepara dikategorikan dalam tiga kelompok yaitu: (1) perusahaan terpadu, yang menghasilkan produk jadi atau produk setengah

Di tengah ketidakpastian ekonomi dan mengantisipasi fluktuasi harga CPO yang sangat labil maka Perseroan memutuskan melanjutkan kebijakan lindung harga untuk produksi

Variabel utama diturunkan dalam 7 indikator, yaitu: Kode Etik (bobot 0,301), Peningkatan Transparansi dalam Manajemen SDM (bobot 0,212), Peningkatan Transparansi dalam

Dalam hal ini, peneliti berusaha menggulang kembali garis besar hasil wawancara berdasarkan catatan yang dilakukan peneliti agar informasi yang diperoleh dapat digunakan

Pengertian tauhid Asma  (mengesakan Tuhan dengan asma -Nya) yang dimaksud oleh Syaikh Nafis al-Banjari pada intinya menyatakan bahwa semua asma  yang ada di dalam alam