• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERBUATAN MELAWAN HUKUM DOKTER. (STUDI KASUS PUTUSAN NOMOR 38/Pdt.G/2016/Pn.Bna) SKRIPSI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "PERBUATAN MELAWAN HUKUM DOKTER. (STUDI KASUS PUTUSAN NOMOR 38/Pdt.G/2016/Pn.Bna) SKRIPSI"

Copied!
162
0
0

Teks penuh

(1)

PERBUATAN MELAWAN HUKUM DOKTER (STUDI KASUS PUTUSAN NOMOR 38/Pdt.G/2016/Pn.Bna)

SKRIPSI

Diajukan untuk Melengkapi Tugas Akhir dan memenuhi syarat-syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara

OLEH:

MARGARETH SAGALA 160200469

DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN PROGRAM KEKHUSUSAN HUKUM PERDATA BW

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2020

(2)
(3)

dapat menyelesaikan skripsi ini sebagai tugas akhir dalam rangka menyelesaikan studi dan mendapatkan gelar Sarjana Hukum Universitas Sumatera Utara. Adapun skripsi ini berjudul “PERBUATAN MELAWAN HUKUM DOKTER (STUDI KASUS PUTUSAN NOMOR 38/Pdt.G/2016/PN.Bna)

Dalam proses penyusunan skripsi ini saya juga mendapatkan banyak dukungan dan bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, sebagai penghargaan dan ucapan terima kasih kepada semua dukungan dan bantuan yang telah diberikan, saya menyampaikan terimakasih kepada:

1. Prof. Dr. Runtung Sitepu, S.H., M.Hum. selaku Rektor Universitas Sumatera Utara;

2. Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H., M.Hum. selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

3. Prof. Dr. OK Saidin, S.H., M.Hum. selaku Wakil Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

4. Puspa Melati Hasibuan, S.H., M.Hum. selaku Wakil Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

5. Dr. Jelly Leviza, S.H., M.Hum. selaku Wakil Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

6. Prof. Dr. Rosnidar Sembiring, S.H., M.Hum. selaku Ketua Departemen Hukum Keperdataan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

(4)

7. Prof. Dr. Tan Kamello, S.H., MS. Selaku Dosen Pembimbing I Penulis, yang telah banyak membantu Penulis dalam memberikan masukan, arahan-arahan serta bimbingan di dalam pelaksanaan Penulisan skripsi ini;

8. Dr. Edy Ikhsan, SH., M.Hum. selaku dosen Pembimbing II Penulis yang telah sabar dan ikhlas memberikan arahan dan bimbingan kepada Penulis untuk menyusun skripsi ini;

9. Syamsul Rizal, S.H., M.Hum. selaku Sekretaris Departemen Hukum Keperdataan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

10. Dr. Marianne Magda, S.H., M.Kn. selaku Penasihat Akademik yang telah banyak membantu Penulis selama ini menyelesaikan studi di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

11. Seluruh Staf Dosen dan Staf Adiministrasi Fakultas Hukum Univeristas Sumatera Utara yang telah memberikan pembelajaran dan membimbing Penulis selama menempuh pendidikan di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

12. Kepada adik-adikku Sion Philip Sagala, Tisha Callista Sagala dan Ruth Queen Shilia Sagala yang telah menjadikan Penulis semangat menyelesaikan skripsi ini;

13. Amon, Chynthia, Sonia, Theresia, Yola, Harold, Agus, Andre, Edward, Bryan dan Diana, sahabat dari awal SMA sampai sekarang yg selalu memberikan bantuan, doa serta memotivasi Penulis dalam menyelesaikan skripsi ini;

(5)

14. Udur, Theresia, Chynthia, Yola dan Sonia yang selalu dan tidak pernah lelah memberikan doa, motivasi, dukungan serta hiburan dan nasihat dikala Penulis dilanda kemalasan;

15. Jihan, Devira, Fadilla dan Fiona yang selalu menemani Penulis setiap hari untuk memberikan semangat dan hiburan yang telah membantu penulis menyelesaikan skripsi ini dengan semangat;

16. Semua pihak yang membantu penulis dalam berbagai hal yang tidak dapat disebutkan satu-persatu;

Secara khusus Penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada kedua orang tua yaitu bapak tercinta Ir. Tumpal Sagala dan mama tersayang Veramon Silalahi, SE, karena kasih sayang yang begitu besar sehingga menjadikan Penulis termotivasi untuk menyelesaikan studi dengan baik.

Demikianlah yang dapat saya sampaikan, Penulis juga memohon maaf kepada Bapak/Ibu dosen pembimbing, dan dosen penguji atas sikap dan kata yang tidak berkenan selama penulisan skripsi ini. Penulis berharap tulisan ini bermanfaat bagi ilmu pengetahuan dan bagi setiap orang yang membacanya

Medan, Februari 2020 Penulis

Margareth Sagala 160200469

(6)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR……….i

DAFTAR ISI………...v

ABSTRAK………vii

BAB I PENDAHULUAN………1

A. Latar Belakang………..1

B. Rumusan Masalah………...21

C. Tujuan Penelitian………22

D. Manfaat Penelitian………..22

E. Metode Penelitian………...23

F. Keaslian Penulisan………..25

G. Sistematika Penulisan……….25

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PENGATURAN MALPRAKTIK MEDIS DI INDONESIA DAN PERTANGGUNGJAWABAN PERDATA DOKTER…………...27

A. Pengertian Malpraktik Medis dalam Hukum Indonesia dan Aspek Perlindungannya Terhadap Pasien………..27

B. Aspek Hukum Perdata Malpraktik Medis………...33

(7)

C. Aspek Hukum Lainnya dari Malpraktik Medis………...36

D. Tanggung Jawab Hukum Keperdataan Berdasarkan Wanprestasi..37

BAB III TINJAUAN UMUM MENGENAI HUBUNGAN PERBUATAN MELAWAN HUKUM DENGAN TINDAKAN MALPRAKTIK MEDIS………41

A. Pengertian Perbuatan Melawan

Hukum………..41

B. Syarat-Syarat Perbuatan Melawan Hukum……….48 C. Penyebab Terjadinya Perbuatan Melawan Hukum dalam

Malpraktik

Medis………..59 D. Akibat Hukum Perbuatan Melawan Hukum dalam Malpraktik Medis...64

BAB IV PERTIMBANGAN HAKIM DALAM PUTUSAN NOMOR 38/PDT.G/2016/PN.BNA………...75

A. Posisi Kasus………75 B. Pertimbangan Hakim Terhadap Perbuatan Melawan Hukum Dokter

(Studi Putusan Nomor

38/Pdt.G/2016/PN.Bna)………....110

(8)

C. Analisis Terhadap Pertimbangan dan Putusan Hakim (Nomor 38/Pdt.G/2016/PN. BNA) Terhadap Norma Hukum

Perdata……119

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN………144

A. Kesimpulan………...144

B. Saran……….146

DAFTAR PUSTAKA……….148

LAMPIRAN

ABSTRAK Tan Kamello

Edy Ikhsan 

Margareth Sagala

Perbuatan melawan hukum bukan hanya perbuatan yang langsung melawan hukum tetapi juga merupakan perbuatan yang secara langsung telah melanggar peraturan lain selain hukum diantaranya peraturan kesusilaan, keagamaan dan kesopanan. Permasalahan yang dapat ditemukan apabila dihubungkan dengan tenaga kesehatan khususnya dokter yaitu malpraktik.

Gagalnya upaya pelayanan kesehatan yang dilakukan oleh tenaga kesehatan berdampak pada pasien yang tidak jadi sembuh atau bahkan meninggal dunia.

Adapun permasalahan yang akan dibahas dalam skripsi ini adalah apakah pengaturan malpraktik medis di Indonesia telah memenuhi aspek perlindungan hukum pasien, bagaimanakah hubungan antara perbuatan melawan hukum dengan malpraktik medis, apakah pertimbangan dan putusan hakim dalam perkara perdata Nomor 38/Pdt.G/2016/PN.Bna telah sesuai dengan norma-norma Hukum Perdata

Dosen Pembimbing I, Departemen Hukum Keperdataan Fakultas Hukum USU

 Dosen Pembimbing II, Departemen Hukum Keperdataan Fakultas Hukum USU

 Mahasiswa Departemen Hukum Keperdataan Fakultas Hukum USU

(9)

Metode penelitian yang dipakai dalam penulisan skripsi ini adalah metode penelitian yuridis normatif. Studi kasus yang dibahas adalah Putusan Nomor 38/Pdt.G/2016/PN.Bna. Data yang digunakan dalam penulisan ini adalah data sekunder yang meliputi tiga bahan hukum yaitu bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier.

Berdasarkan penelitian hukum yang telah dilakukan terhadap Putusan Pengadilan Negeri Banda Aceh Nomor 38/Pdt.G/2016/PN.Bna mengenai kasus perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh tenaga kesehatan dan sarana kesehatan, maka dapat disimpulkan bahwa putusan yang ditetapkan oleh Majelis Hakim sudah sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku dan unsur-unsur perbuatan melawan hukum yang dihubungkan dengan malpraktik medis serta dapat dibuktikan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Kata Kunci: Perbuatan Melawan Hukum, Malpraktik Medis, Unsur-unsu

(10)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Penelitian ini dikaji karena adanya permasalahan yang terjadi di Pengadilan Negeri Banda Aceh dalam Perkara Nomor 38/Pdt.G/2016/Pn.Bna yang menimpa keluarga Muslim Puteh bertempat di Aceh. Adapun uraian kasus Penggugat yaitu Bapak dengan inisial MP sebagai berikut, pada tanggal 28 Maret 2016 sekitar jam 06.00 WIB Penggugat membawa istri Penggugat yaitu S ke Rumah Sakit Ibu dan Anak Banda Aceh/Tergugat II, untuk menjalankan proses persalinan, dimana sebelumnya istri Penggugat sedang dalam hamil tua, telah mengalami pecah ketuban dirumah. Setelah melakukan pendaftaran, istri Penggugat dibawa keruang bersalin yang diterima oleh 2 (dua) orang bidan beserta 2 (dua) orang siswi SPK. Selama diruang persalinan, dalam rentang waktu sekitar lebih dari 6 (enam) jam yaitu dari jam 06.00 s/d 13.00 Penggugat sama sekali tidak melihat adanya upaya medis yang patut dan wajar yang seharusnya dilakukan oleh petugas medis dan juga Penggugat tidak melihat keberadaan dokter jaga, maka Penggugat mempertanyakan keberadaan dokter jaga dimana pada saat itu yang menjadi dokter jaga berinisial UWK sebagai Tergugat I. Dikarenakan kondisi istri Penggugat yang semakin memburuk tetapi tidak mendapatkan pelayanan/perawatan, Penggugat menanyakan kepada bidan tentang Tergugat I sebagai penanggungjawab tetapi bidan menjawab “urusan dokter adalah urusan kami”, Penggugat juga berusaha meminta kepada Bidan yang menjaga

(11)

untuk memberikan nomor telepon Tergugat I, agar penggugat dapat berhubungan langsung dengan Tergugat I, tetapi bidan/perawat diruang bersalin tidak memberikannya.

Bahwa melihat kondisi istri Penggugat yang sudah sangat sulit, Penggugat meminta kepada Bidan/Perawat untuk segera mengambil tindakan medis berupa operasi Caesar atau tindakan medis lainnya atau dokter pengganti lainnya, tetapi permintaan tersebut tidak ditanggapi oleh bidan/perawat yang menjaga dan dijawab secara kasar. Penggugat yang melihat kondisi istrinya bertambah buruk, mendesak secara terus menerus bidan/perawat yang menjaga untuk segera mengambil tindakan medis yang patut untuk dilakukan, tetapi Penggugat berserta keluarga Penggugat (ibu mertua Penggugat) diminta untuk keluar dari ruangan, dan kemudian Penggugat serta keluarganya menolak keluar dari ruangan tersebut karena kondisi istri Penggugat sudah sangat memburuk. Penolakan pengusiran tersebut mengakibatkan Bidan memanggil Satpam untuk mengusir Penggugat dan keluarga Penggugat.

Bahwa karena kondisi istri Penggugat semakin memburuk, dan sama sekali tidak ada pelayanan dan atau tidak ada tindakan medis yang dilakukan, maka sekitar jam 19.00 WIB, Penggugat mohon kepada bidan yang menjaga istri Penggugat untuk dapat dipindahkan/dirujuk kerumah sakit yang lain, tetapi ditolak dengan bidan yang bersangkutan dengan mengatakan “mana sih rumah sakit yang lebih bagus dari Rumah Sakit Ibu dan Anak”.

(12)

Bahwa pada jam 20.00, pada waktu pergantian jaga, RSIA tersebut berinisiatif untuk memindahkan/merujuk istri Penggugat ke Rumah Sakit Umum Daerah dr Zainal Abidin Banda Aceh, tetapi perujukan tersebut bukan lagi atas permintaan Penggugat melainkan atas inisiatif RSIA itu sendiri.

Penggugat mengetahui bahwa istri Penggugat akan dirujuk ke Rumah Sakit Umum Daerah Zainal Abidin sekitar jam 20.00 WIB, tetapi pada kenyataannya diantarkan ke Rumah Sakit Umum Daerah dr Zainal Abidin sekitar jam 22.30 WIB. Kemudian seorang petugas dari Rumah Sakit Umum Daerah dr Zainal Abidin Banda Aceh meminta tanda tangan penggugat yang merupakan untuk persetujuan Penggugat akan tindakan medis berupa operasi yang akan dilakukan. Selanjutnya sekitar jam 24.00 WIB istri Penggugat dilakukan tindakan medis berupa operasi caesar, maka sekitar 01.30 dini hari yaitu pada tanggal 29 Maret 2016 petugas medis dari Rumah Sakit Umum Daerah Zainal Abidin menyampaikan pada Penggugat bahwa anak Penggugat yang baru dilahirkan dan berjenis kelamin laki-laki telah meninggal dunia, dan tidak berapa lama kemudian, yaitu sekitar jam 04.00 dini hari pada hari yang sama istri Penggugat juga meninggal dunia.

Karena ketidakhadiran dokter pada saat menjadi dokter piket jaga di Rumah Sakit Ibu dan Anak Banda Aceh pada saat dibutuhkan oleh pasien yg merupakan istri Penggugat telah mengakibatkan pasien yang bersangkutan serta anak yang berada dalam kandungannya telah meninggal dunia pasca melakukan persalinan melalui operasi caesar di Rumah Sakit Umum Daerah Zainal Abidin, pasien mengalami kerugian materil dan immateril. Kerugian

(13)

immaterial atau moral adalah sebagai akibat dan tindakan dokter tersebut yang menyebabkan istri Penggugat beserta anak Penggugat yg dikandung oleh Istri Penggugat meninggal dunia. Kerugian immaterial ini sangat tidak ternilai dan kerugian dua nyawa tidaklah dapat dihitung dengan uang karena nyawa istri dan anak Penggugat tidaklah setara dengan nilai uang berapapun akan tetapi dalam perkara ini patut dan beralasan hukum untuk ditetapkan sebesar Rp. 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah), dan dengan kerugian materil sebesar Rp. 125.000.000,00 (seratus dua puluh lima juta rupiah).

Dengan kata lain jumlah kerugian Penggugat baik secara materil maupun immaterial adalah sebesar Rp. 5.125.000.000,00 (lima milyar seratus dua puluh lima juta ribu rupiah).

Dalam putusan hakim Pengadilan Negeri Banda Aceh pada Perkara Nomor 38/Pdt.G/2016/Pn.Bna, hakim menyatakan bahwa Tergugat I berinisial UWK, tergugat II ic Rumah Sakit Ibu dan Anak Banda Aceh dan Tergugat III ER, telah melakukan perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad) serta menghukum Tergugat I, Tergugat II dan Tergugat III secara tanggung renteng untuk membayar ganti rugi sejumlah Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dengan porsi dan tanggung jawab masing-masing Tergugat I sebesar 70%, Tergugat II sebesar 15% dan Tergugat III sebesar 15% dari total pembayaran ganti rugi.

Dari contoh kasus diatas, dan kasus-kasus dugaan malpraktik lainnya dapat diketahui penyelesaian sengketa medis di Indonesia saat ini menjadi

(14)

suatu permasalahan baik didalam masyarakat maupun didalam hukum yang tidak dapat dielakkan.

Kesehatan merupakan salah satu hak yang layak dan harus didapatkan oleh setiap individu (the rights of self determination) yg ada didunia ini mulai sejak lahir sampai meninggal dunia. Kesehatan ini merupakan kebutuhan pokok dalam kehidupan manusia, karena merupakan suatu modal utama dalam menjalankan kehidupan sehari-hari. Tanpa kesehatan, maka manusia tidak akan bisa hidup dengan layak untuk mencari nafkah, menjalankan pendidikan maupun menjalankan aktivitas yg lainnya.

Dalam sistem Kesehatan Nasional disebutkan bahwa kesehatan menyangkut semua segi kehidupan yang ruang lingkup dan jangkauannya sangat luas dan kompleks.1 Hal ini sesuai dengan pengertian kesehatan yang diberikan oleh dunia internasional sebagai berikut: A state of complete physical, mental and social, well being and not merely the absence of deseaseor infirmity2, yang artinya sehat adalah suatu keadaan kondisi fisik, mental dan kesejahteraan sosial yang merupakan satu kesatuan dan bukan hanya bebas dari penyakit atau kecacatan. Maka dari itu, untuk mewujudkan kesejahteraan yang menyangkut semua segi kehidupan yang ruang lingkup dan jangkauannya sangat luas dan kompleks, diperlukanlah hukum dalam mengatur Kesehatan Nasional itu sendiri.

1Bahder Johan Nasution, Hukum Kesehatan Pertanggungjawaban Dokter, (Surabaya: Rineka Cipta, 2005), hlm. 2.

2 Hermien Herdiati Koeswadji (I), Hukum dan Masalah Medik, (Surabaya: Erlangga University Press, 1984),hlm.17.

(15)

Pada awalnya masyarakat menganggap penyakit sebagai misteri sehingga belum ada seorangpun yang dapat mengungkapkannya dengan benar, mengapa suatu penyakit dapat menyerang seorang individu dan tidak menyerang individu lainnya. Anggapan seperti inilah yang menyebabkan masyarakat menghubungkan penyakit dengan kekuatan supranatural. Pola berpikir semacam ini menyebabkan penyembuhan suatu penyakit harus dilakukan oleh para pendeta melalui doa atau ritual tertentu. Pola berpikir tersebut yang kemudian mewujudkan apa yang disebut “priestly medicine”.3

Dalam era reformasi saat ini, pembangunan derajat kesehatan memegang peranan penting dalam berbagai segi kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Tujuan nasional bangsa Indonesia yang tercantum dalam UUD 1945 adalah melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.4

Pemerintah melalui sistem Kesehatan Nasional, berupaya untuk menyelenggarakan kesehatan yang bersifat menyeluruh, terpadu, merata dan dapat diterima serta terjangkau untuk seluruh lapisan masyarakat luas, guna mencapai derajat kesehatan yang optimal.5 Pemeliharaan kesehatan yg bersifat menyeluruh, terpadu, merata dan dapat diterima serta terjangkau berupa suatu investasi yang layak dilakukan karena apabila terjadinya

3 Ta’adi NS, HUKUM KESEHATAN; Pengantar Menuju Perawat Profesional, (Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC, 2010), hlm. 1.

4Ibid., hal. 6.

5 Bahder Johan Nasution, Op.Cit, hal.2.

(16)

gangguan pada kesehatan, maka Sumber Daya Manusia (SDM) di Indonesia akan mengakibatkan kerugian yang berdampak pada perekonomian negara.

Pemeliharaan dalam bidang kesehatan ini merupakan salah satu aspek yg sangat penting dalam membangun suatu negara dan pemerintah serta semua lapisan masyarakat memiliki tanggung jawab untuk hal itu.

Keberhasilan upaya kesehatan juga tergantung pada ketersediaan sumber daya kesehatan yang berupa tenaga, sarana, dan prasarana dalam jumlah dan mutu yang memadai.6 Rumah sakit merupakan salah satu sarana kesehatan yang diselenggarakan baik oleh pemerintah maupun masyarakat.

Pada saat mewujudkan derajat kesehatan setinggi-tingginya, upaya penyelenggaraan kesehatan yang terpadu dan menyeluruh dalam bentuk pelayanan kesehatan yang berkualitas harus diwujudkan, untuk melaksanakan penyelenggaraan pelayanan kesehatan, keberadaan tenaga medis sangat dibutuhkan.7

Tenaga medis merupakan orang-orang yang berupaya untuk melaksanakan tindakan medis baik dirumah sakit, puskesmas, maupun tempat praktik dokter yang meliputi dokter, perawat, bidan dan apoteker. Pelayanan kesehatan sebagai kegiatan utama rumah sakit menempatkan dokter dan perawat sebagai tenaga kesehatan yang paling dekat hubungannya dengan pasien dalam penanganan penyakit. Hal ini sesuai dengan isi Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran menyatakan bahwa:

6 Sri Praptianingsih, Kedudukan Hukum Perawat dalam Upaya Pelayanan Kesehatan di Rumah Sakit, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2006), hlm. 3.

7 J. Guwandi (I), Hukum Rumah Sakit dan Corporate Liability, (Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2011), hlm. 1.

(17)

“Dokter dan dokter gigi sebagai salah satu komponen utama pemberi pelayanan kesehatan kepada masyarakat mempunyai peranan sangat penting karena terkait langsung dengan pemberian pelayanan kesehatan dan mutu pelayanan yang diberikan”. Pada kedudukan ini dokter adalah orang sehat yang juga pakar dalam bidang penyakit sementara pasien adalah orang sakit yang awam mengenai penyakitnya.8

Dokter, pasien dan rumah sakit adalah tiga subjek hukum yang terkait dalam bidang pemeliharaan kesehatan. Ketiganya membentuk hubungan medik maupun hubungan hukum. Hubungan medik dan hubungan hukum antara dokter, pasien dan rumah sakit adalah hubungan yang objeknya adalah pemeliharaan kesehatan pada umumnya dan pelayanan kesehatan pada khususnya.9 Pelaksanaan hubungan antara ketiganya selalu diatur dalam peraturan-peraturan tertentu agar terjadi keharmonisan dalam melaksanakan hubungan, apabila tidak adanya peraturan akan menyebabkan kesemerawutan dan kesimpangsiuran.

Keberadaan dokter memegang peranan penting bagi masyarakat, apabila ada seseorang yang menderita penyakit maka secara otomatis, mereka akan datang kepada dokter sebagai seseorang yang memiliki ilmu pengetahuan akan penyakit yang dideritanya untuk meminta pertolongan.

Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran (UUPK) sebagai dasar hukum profesi dan penyelenggaraan praktik kedokteran selain Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan

8 Ari Yunanto, dan Helmi, Hukum Pidana Malpraktik Medik: Tinjauan dan Perspektif Medikolegal, (Yogyakarta: Penerbit ANDI), hlm. 1.

9 Supriadi Wila Chandrawila, Hukum Kedokteran, (Bandung: Mandar Maju, 2001), hlm. 1.

(18)

(UUK). Tujuan dari UUPK adalah untuk memberikan perlindungan hukum bagi para dokter dalam melakukan pelayanan kesehatan dan juga bagi pasien sebagai penerima pelayanan kesehatan.

Dokter sebagai pengemban profesi, memiliki kode etik yang dijadikan pedoman yang bersifat mengikat dalam menjalankan profesinya dan harus dipatuhi serta dilaksanakan. Majelis Kehormatan Displin Kedokteran Indonesia (MKDKI) merupakan suatu badan otonom yang dibentuk atas perintah Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran yang akan memutus tentang pelanggaran disiplin kedokteran dimana lembaga tersebut independen dalam keputusannya.

Hubungan dokter/dokter gigi dan pasien dilihat dari aspek hukum, adalah hubungan antara subjek hukum dengan subjek hukum. Hubungan antara subjek hukum dan subjek hukum ini diatur dalam kaidah-kaidah perdata. Kaidah hukum perdata berisi pedoman bagaimana para pihak yang melakukan hubungan melaksanakan hak dan kewajibannya dan berisi pedoman tentang apa yang boleh dilakukan dan tidak boleh dilakukan.

Apabila dilihat dari kaidah hukum perdata tersebut, maka terdapat hubungan timbal balik antara hak dan kewajiban, dimana hak dokter/dokter gigi menjadi kewajiban pasien dan hak pasien menjadi kewajiban dokter/dokter gigi.

Namun permasalahannya, sampai sejauh mana dokter/dokter gigi dan pasien mengetahui dan melakukan hak dan kewajibannya.

Akhir-akhir ini banyak sekali permasalahan yang terjadi antara pasien dengan dokter/dokter gigi dan juga pasien serta rumah sakit. Permasalahan

(19)

antara dokter/dokter gigi dan pasien salah satunya yg hendak diteliti adalah tentang hak kewajiban, sebagai misal seorang dokter tidak boleh mengabaikan seorang pasien yang meminta pertolongan, khususnya pasien yg meminta pertolongan pertama dalam artian dokter wajib memberikan pertolongan dan menjadi hak pasien untuk memberikan bayaran untuk kewajiban yg sudah dilakukan oleh dokter.

Dokter sebagai sebuah profesi yang sudah mempelajari ilmu pengetahuan tentang kesehatan diwajibkan untuk menjalankan kewajibannya sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya begitu pula dengan pasien yang memiliki hak untuk mendapatkan pengobatan dari dokter, tetapi karena adanya kesenjangan harapan antara dokter dan pasien, menjadikan hubungan antara dokter dan pasien menjadi tidak baik.

Salah satu permasalahan yang dapat ditemukan akibat dari tidak terpenuhinya hak dan kewajiban antara dokter dan pasien adalah malpraktik yang dilakukan oleh dokter, akibat dari gagalnya upaya pelayanan kesehatan tersebut berdampak pada pasien yang tidak jadi sembuh atau bahkan meninggal dunia, hal ini merupakan suatu masalah yang harus dipikul tidak hanya oleh pasien tetapi juga dokter. Sehingga dalam penelitian ini, peneliti hendak membahas tentang malpraktik seorang dokter.

Malpraktik merupakan istilah yang sifatnya sangat umum dan cenderung berkonotasi yuridis.10 Di Indonesia walaupun malpraktik bukan merupakan hal yang baru lagi tetapi tidak ada definisi-definisi tentang

10 Anny Isfandyarie, Malpraktik dan Risiko Medik, (Jakarta: Prestasi Pustaka, 2005), hal. 6.

(20)

kelalaian maupun malpraktik yang seragam dan baku maupun yang resmi terdapat di peraturan perundang-undangan. Dengan demikian rumusan- rumusan yang berasal dari negara lain dapat dijadikan acuan sebagai pengertian tentang malpraktik medik. Black’s Law Dictionary 5th Ed.

merumuskan malpraktik medik sebagai sikap tindak yang salah, kurang keterampilan dalam ukuran yang tidak wajar

“any professional misconduct, unreasonable lack of skill. This term is usually applied to such conduct by doctors, lawyers and accounts.

Failure of one rendering professional services to exercise that degree of skill and learning commonly applied under the circumstances in the community by the avarege prudent reputable member of profession with the result of injury, loss or damage to the recipient of those services of those entitled to rely upon them. It is any professional misconduct, unreasonable lack of skill, or fidelity in professional or judiacry duties, evil practice or illegal or immortal conduct.”11

Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi ketiga sebagaimana dikutip Ari Yunanto dan Helmi menyebutkan istilah malpraktik dengan malapraktik yang diartikan dengan praktek kedokteran yang salah, tidak tepat, menyalahi undang-undang atau kode etik.12 Selanjutnya Kamus Inggris-Indonesia karangan John. M. Echols dan Hassan Sadily mendefinisikan malpractice

11 Ari Yunanto dan Helmi, Op.Cit., hal. 27.

12 Ibid.

(21)

sebagai (1) salah mengobati, cara mengobati pasien salah; (2) tindakan salah.13

Arti malpraktik dalam Dorland’s Medical Dictionary 27th Edition disitir oleh Ari Yunanto dan Helmi yaitu “improper or injurious practice;

inskillful and faulty medical or surgical treatment”. Pengertian ini diterjemahkan menjadi praktik yang tidak tepat dan menimbulkan masalah;

tindakan medik atau tindakan operatif yang salah. Veronica menyatakan bahwa istilah malpraktik berasal dari kata malpractice yang pada hakekatnya adalah kesalahan dalam menjalankan profesi yang timbul sebagai akibat adanya kewajiban-kewajiban yang harus dilakukan dokter14

Menurut Nisfawati Laili Jalilah dalam tesisnya yang berjudul

“Perlindungan Hukum Pasien Korban Malpraktek Dokter” malpraktik adalah suatu tindakan atau perbuatan medik yang dilakukan dengan jalan yang salah dan tidak sesuai dengan disiplin ilmunya atau standar medik.15

Menurut Fred Ameln seorang dokter telah melakukan suatu kelalaian medik atau malpraktek medik jika ia melakukan suatu tindakan medik yang salah (wrong doing) atau tidak cukup mengurus pengobatan atau perawatan pasien (neglect the patient by giving not or enough care to the patient).

Secara jelas sekali Jerry Zaslow menyatakan bahwa “The general rule in all jurisdiction is that a physician will be held liable for harm to an

13 John. M. Echols dan Hassan Sadily, Kamus Inggris-Indonesia, cet. 25, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2005), hal. 371.

14 Veronica Komalawati, Peranan Informed Consent dalam Transaksi Terapeutik, (Bandung: PT.

Citra Aditya Bakti, 2002), hal. 166.

15 Nisfawati Laili Jalilah, Tesis, “Perlindungan Hukum Pasien Korban Malpraktek Dokter”

(Yogyakarta: Universitas Islam Indonesia, 2005) hal. 134.

(22)

individual, when that physicians care falls below the standard as established by the practice of his peers, or if the physician fails to act as a reasonable man under circumstances or the case” (Legal Medicine Annual, 1978).16 Apa yang dinyatakan oleh Zaslow tersebut, merupakan peristiwa yang biasanya dinamakan “malpractice”. “Malpractice” oleh dokter paling sedikit tergantung pada syarat-syarat sebagai berikut: 1. Akibat dari tindakan tersebut dapat diperhitungkan terlebih dahulu; 2. Adanya faktor ketidakhati-hatian didalam melakukan sesuatu (atau tidak melakukannya).17

Menurut para ahli Asing medical malpractice is the failure of medical professionals to provide adequate treatment to patient resulting in a personal injury or substantial loss of income.18

Mengenai pengertian malpraktik ini, sering dibedakan dengan pengertian kelalaian (negligence). Beberapa ahli mengatakan sulit untuk membedakan antara malpraktik dan kelalaian. Ini karena dalam literatur, penggunaan kedua istilah tersebut sering dipakai bergantian, seolah-oleh artinya sama.

Pada dasarnya, kesalahan atau kelalaian dalam melaksanakan profesi medis, merupakan suatu hal yang penting untuk dibicarakan, hal ini disebabkan karena akibat kesalahan atau kelalaian tersebut mempunyai dampak yang sangat merugikan.19 Menurut J. Guwandi, malpraktik tidak

16 Jef Leibo, Hukum dan Profesi Kedokteran dalam Masyarakat Indonesia, (Yogyakarta: Liberty Yogyakarta: 1986), hal. 11.

17 Ibid.

18 www.medicalmalpractice.com

19 Bahder Johan Nasution, Op.Cit, hal. 5.

(23)

sama dengan kelalaian, sebab kelalaian termasuk dalam arti malpraktik, tetapi didalam malpraktik tidak selalu terdapat unsur kelalaian.20

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kelalaian berasal dari kata lalai yang bermakna lengah, kurang hati-hati atau tidak mengindahkan satu kewajiban atau satu pekerjaan. Sementara itu, kelalaian itu sendiri adalah keadaan, perbuatan kesalahan bukan karena ketidaktahuannya, melainkan karena semata-mata. Kelalaian dalam dunia medis merupakan satu perbuatan salah oleh seorang dokter dalam melaksanakan pekerjaan atau kewajibannya sehingga menyebabkan kerugian kepada orang lain.

Kelalaian medis adalah suatu keadaan dimana seseorang bertindak kurang hati-hati menurut ukuran wajar. Karena tidak melakukan apa yang seharusnya seseorang itu lakukan. Kelalaian mencakup 2 (dua) hal, yakni:

pertama, karena melakukan sesuatu yang seharusnya tidak dilakukan; atau kedua, karena tidak melakukan sesuatu yang seharusnya dilakukannya.21 Kelalaian atau negligence menurut Keeton Medical Negligence – The Standard of Care, 198022 adalah suatu sikap – tindak yang oleh masyarakat dianggap menimbulkan bahaya secara tidak wajar dan diklasifikasikan demikian karena orang itu bisa membayangkan atau seharusnya membayangkan bahwa tindakan itu bisa mengakibatkan orang lain harus menanggung resiko, dan bahwa sifat dari risiko itu sedemikian beratnya, sehingga seharusnya ia bertindak dengan cara yang lebih hati-hati. Seorang

20 J. Guwandi (II), Kelalaian Medik, (Jakarta: FK UI, 2002), hal. 10.

21 Wahyu Wiriadinata, “Dokter, Pasien dan Malpraktik”, Mimbar Hukum, Vol. 26, No. 1, 2014, hal. 46.

22 J. Guwandi (III), Etika dan Hukum Kedokteran, (Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1993), hal. 4.

(24)

dokter bisa dinilai bertanggung jawab terhadap professional negligence apabila sikap atau perbuatannya tidak berdasarkan standar yang umum berlaku pada profesinya, sehingga pasien sampai cedera karena kelalaiannya.

Kealpaan/kelalaian terjadi apabila seseorang melakukan perbuatan itu karena ia alpa/lalai terhadap kewajiban yang menurut tatanan kehidupan masyarakat yang berlaku seharusnya/sepatutnya tidak dilakukan olehnya.23 Istilah kelalaian medik biasanya digunakan untuk tindakan-tindakan yang dilakukan secara tidak sengaja, kurang hati-hati, tidak peduli atau tidak acuh dan akibat yang ditimbulkannya bukanlah merupakan tujuannya, tetapi karena adanya kelalaian yang terjadi diluar kehendaknya. Misalnya menelantarkan pasien dan tidak mengobatinya sebagaimana mestinya sehingga pasien meninggal dunia. Perbuatan menelantarkan pasien yg menyebabkan pasien meninggal dunia telah mengakibatkan kerugian dan merupakan sebuah kesalahan.

Maka secara sederhana kelalaian dapat dikatakan merupakan salah satu bentuk kesalahan yang timbul karena pelakunya tidak memenuhi standar perilaku yang telah ditentukan. Kelalaian itu timbul karena faktor orangnya atau pelakunya. Dalam pelayanan kesehatan faktor penyabab timbulnya kelalaian adalah karena kurangnya pengetahuan, kurangnya kesungguhan serta kurangnya ketelitian dokter pada waktu melaksanakan perawatan.24

Seorang tenaga kesehatan yang tidak melakukan pekerjaan sesuai dengan standar profesi kedokteran dan tidak sesuai prosedur tindakan medik,

23 Wahyu Wiriadinata, Loc.Cit.

24 Bahder Johan Nasution, Op.Cit, hal. 56.

(25)

dikatakan telah melakukan kesalahan atau kelalaian. Kesalahan atau kelalaian yang telah dilakukan oleh seorang tenaga kesehatan, selain dapat dituntut secara Hukum Pidana, kalau memenuhi unsur-unsur pidana, juga dapat digugat gantirugi secara perdata dalam hal pasien menderita kerugian.

Didalam Hukum Perdata, perikatan dokter-pasien yang akan melahirkan suatu pertanggungjawaban dimata hukum, bisa terjadi dalam bentuk perjanjian atau bukan perjanjian. Pada perikatan yang berdasarkan perjanjian, kedua belah pihak harus saling memenuhi “prestatie” mengenai apa yang telah diperjanjikan. Timbulnya tuntutan terhadap dokter, dikarenakan pasien berpendapat ada wanprestasi dalam pelayanan medis yang dilakukan. Dokter dikatakan telah melakukan wanprestasi (ingkar janji) apabila ia tidak melakukan atau salah melakukan apa yang telah diperjanjikan.

Apabila perikatan terjadi bukan karena perjanjian, maka gugatan bisa diajukan berdasarkan “onrechtmatige daad”, sesuai dengan pasal 1365 KUHPerdata. Akan tetapi pengertian “perbuatan melawan hukum” sejak 1919 sesuai dengan keputusan Hoge Raad tanggal 31 Januari 1919, ditafsirkan secara luas tidak hanya mengenai perbuatan yang langsung melanggar suatu peraturan hukum saja. Jurisprudensi Belanda tersebut menafsirkan istilah

“onrechtmatige daad” meliputi pula perbuatan yang bertentangan dengan norma-norma moral dan norma-norma etiket dalam hal memperhatikan kepentingan orang lain. Istilah “perbuatan melanggar hukum” saat ini,

(26)

ditujukan kepada hukum yang pada umumnya berlaku di Indonesia dan terutama termasuk hukum adat.25

Moegni Djojodirjo dalam pendapatnya menyebutkan perbuatan melawan hukum merupakan suatu perbuatan atau suatu kealpaan berbuat yang melanggar hak orang lain atau bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku (orang melakukan perbuatan) atau melanggar baik kesusilaan, maupun bertentangan dengan keharusan yang harus diindahkan dalam pergaulan masyarakat tentang orang atau barang.26

Perbuatan melawan hukum bukan hanya perbuatan yang langsung melawan hukum, tetapi juga merupakan perbuatan yang secara langsung telah melanggar peraturan lain selain hukum diantaranya peraturan kesusilaan, keagamaan dan sopan santun. Perbuatan melawan hukum tidak hanya bertentangan dengan undang-undang, tetapi juga berbuat atau tidak berbuat yang melanggar hak orang lain atau bertentangan dengan kewajiban orang yang berbuat atau tidak berbuat bertentangan dengan kesusilaan maupun sifat berhati-hati, kepantasan dan kepatutan dalam kehidupan masyarakat.

Didalam KUHPerdata mengenai perbuatan melawan hukum tidak terlalu dijelaskan, namun sangat erat hubungannya dengan Pasal 1365 KUHPerdata yang berbunyi:

25 Wirjono prodjodikoro (I), Perbuatan Melawan Hukum, (Bandung: Sumur Bandung, 1976), hal.7.

26M.A.Moegni Djojodirjo (I), Perbuatan Melawan Hukum, (Jakarta: Pranya Pramita: 1982), hal.

25.

(27)

“Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada seorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut.”

Konstruksi hukum dari pasal 1365 KUHPerdata ini dihubungkan dengan hubungan dokter dan pasien menetapkan unsur-unsur dari perbuatan melawan hukum, yakni:

a. Pasien harus mengalami suatu kerugian.

b. Ada kesalahan atau kelalaian (disamping perorangan, rumah sakit juga bisa bertanggung jawab atas kesalahan dan kelalaian pegawainya).

c. Ada hubungan causal antara kerugian dan kesalahan.

d. Perbuatan itu melanggar hukum.

Pertanggung jawaban dokter atas perbuatan melawan hukum tindakan malpraktik medis berdasarkan undang-undang mengacu tidak hanya pada pasal 1365 KUHPerdata, tetapi juga pada pasal 1366 KUHPerdata dan 1367 KUHPerdata. Pada pasal 1366 KUHPerdata menjelaskan bahwa, seseorang tidak saja bertanggung jawab terhadap kerugian yang ditimbulkan oleh dirinya sendiri, tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan karena kelalaian atau kurang hati-hatinya. Kemudian pada Pasal 1367 KUHPerdata digunakan untuk pertanggung jawaban dokter bagi orang-orang yang menjadi tanggungannya atau barang-barang yang berada dalam pengawasannya.

Aspek negatif dari bentuk tanggung gugat dalam pelayanan kesehatan, adalah karena pasien mengalami kesulitan membuktikannya, belum lagi halnya dalam meminta ganti kerugian baik kerugian secara materil dan

(28)

immaterial. Pada umumnya, pasien tidak bisa membuktikan bahwa apa yang dideritanya, merupakan akibat dari kesalahan dan atau kelalaian dokter dalam perawatan atau dalam pelayanan kesehatan. Kesulitan dalam pembuktian ini karena pasien tidak memiliki pengetahuan yang cukup mengenai pelayanan kesehatan maupun prosedur serta ilmu kesehatan itu sendiri atau pelayan kesehatan yang dilakukan dokter kepadanya.

Dari contoh kasus diatas dapat diketahui penyelesaian sengketa medis di Indonesia saat ini menjadi suatu dilema baik didalam masyarakat maupun didalam hukum yang tidak dapat dielakkan. Seperti yang diamanatkan dalam UUD 1945 hasil amandemen dalam pasal 28 H ayat (1) dikatakan bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan. Dalam pasal ini secara jelas diatur bahwa hidup secara sehat dan memperoleh pelayanan kesehatan merupakan hak setiap warga negara dan hal ini menjadi kewajiban negara untuk merealisasikannya.

Permasalahan ini layak dan penting untuk diteliti karena kasus-kasus malpraktik yang muncul dipermukaan hanyalah bagian kecil dari beberapa kasus malpraktik yang terjadi di Indonesia. Hal ini disebabkan karena pengetahuan masyarakat akan kesehatan khususnya tindakan medik di Indonesia tidak semaju di negara lain. Baik itu pengetahuan si pasien maupun si penegak hukumnya. Sehingga kondisi ini menempatkan posisi pasien dan keluarganya jika terjadi sesuatu atas tindakan medik menempati posisi yang lemah. Dalam penelitian ini, peneliti ingin memberitahukan kepada

(29)

masyarakat bahwa salah satu hak yang dimiliki oleh anggota masyarakat adalah memperoleh perlindungan dalam kedudukannya sebagai konsumen sehingga masyarakat dapat menegakkan hukum.

Dalam menegakkan hukum ada tiga unsur yang harus diperhatikan yaitu, unsur kepastian hukum, kemanfaatan dan keadilan. Kepastian hukum akan membuat masyarakat jadi lebih tertib. Masyarakat juga mengharapkan manfaat yang dapat diperoleh dari ditegakkannya hukum itu. Pada praktik pelaksanaan penegakan hukum, masyarakat mengharapkan juga agar hukum bisa memberikan keadilan bagi kepentingan mereka.27 Kemanfaatan dalam penegakan hukum salah satunya dimaksud untuk pembangunan masyarakat, termasuk didalamnya kesehatan masyarakat agar majunya Sumber Daya Manusia (SDM) di Indonesia serta meningkatnya ketahanan dan daya saing bangsa bagi pembangunan nasional.

Pembangunan kesehatan masyarakat diarahkan untuk meningkatkan derajat kesehatan. Hal ini merupakan usaha dalam rangka mengemban amanah sebagaimana yang tertulis dalam UUD 1945 Pasal 34 ayat (3)

“Negara bertanggungjawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak”. Penyelenggaraan pembangunan kesehatan meliputi upaya kesehatan dan sumber dayanya harus dilakukan secara terpadu dan berkesinambungan guna mencapai hasil yang optimal.

Terjadinya kesalahan atau kelalaian dokter dalam penanganan medis juga dapat menyebabkan kerugian yg diderita oleh pasien. Diharapkan para

27 Rena Yulia, “Perlindungan Hukum terhadap Korban Kejahatan”, Jurnal Wawasan Hukum, Vol.

18, No. 1, Februari 2008, hal. 57.

(30)

dokter dan pelayan medis lainnya dapat mengetahui hak dan kewajibannya serta tanggung jawab mereka baik diminta maupun tidak diminta. Adapun banyak kasus-kasus perbuatan melawan hukum yg terjadi, sepatutnya harus menjadikan masyarakat lebih kritis dan waspada dalam menjalani pelayanan medis. Penelitian ini juga layak untuk diteliti agar berkembangnya kesadaran masyarakat akan kebutuhan tentang perlindungan hukum yang merupakan hak dasar sosial dan hak dasar individu setiap pasien.

Sesuai dengan pembahasan diatas penulis tertarik untuk membahas tentang perbuatan hukum yang dilakukan oleh seorang dokter berdasarkan putusan hakim ditinjau dari norma-norma yang terdapat dalam hukum perdata. Hasil dari pembahasan ini akan dituang kedalam bentuk Skripsi yang berjudul “Perbuatan Melawan Hukum Seorang Dokter (Studi Kasus Putusan Nomor 38/Pdt.G/2016/Pn.Bna)”

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka penulis merumuskan permasalahan yang akan ditelaah lebih lanjut sebagai berikut:

1. Apakah pengaturan malpraktik medis di Indonesia telah memenuhi aspek perlindungan hukum pasien?

2. Bagaimana hubungan perbuatan melawan hukum dengan tindakan malpraktik medis?

3. Apakah pertimbangan dan putusan hakim dalam perkara perdata Nomor 38/Pdt.G/2016/Pn.Bna telah sesuai dengan norma-norma Hukum Perdata?

C. Tujuan Penelitian

(31)

1. Untuk mengetahui pengaturan malpraktik medis di Indonesia apakah telah memenuhi aspek perlindungan hukum pasien.

2. Untuk mengetahui hubungan perbuatan melawan hukum dengan tindakan malpraktik medis.

3. Untuk mengetahui pertimbangan dan putusan hakim dalam perkara perdata Nomor 38/Pdt.G/2016/Pn.Bna apakah telah sesuai dengan norma- norma Hukum Perdata.

D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoretis

Penelitian ini dapat digunakan sebagai kerangka acuan dalam hal pembelajaran yang berkaitan dengan Perbuatan Melawan Hukum dan Malpraktik Medis. Selain itu, penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan untuk menambah ilmu pengetahuan di bidang Ilmu Hukum khususnya Hukum Perikatan

2. Manfaat Praktis

Hasil dari penelitian ini dapat digunakan sebagai jawaban terhadap berbagai persoalan dalam bidang Hukum Perikatan, khususnya Perbuatan Melawan Hukum agar lebih mengetahui mengenai kepastian hukum bagi para pihak yang bersengketa.

E. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian

Adapun jenis penelitian yang digunakan dalam menyelesaikan skripsi ini adalah penelitian hukum yang bersifat deskriptif yakni penelitian yang

(32)

bersifat pemaparan dan bertujuan untuk memperoleh gambaran atau (deskripsi) lengkap tentang keadaan hukum yang berlaku ditempat tertentu, atau mengenai gejala yuridis yang ada, atau peristiwa hukum tertentu yang terjadi dalam masyarakat.28

2. Metode Penelitian

Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode penelitian yuridis normatif, yang mencakup tentang norma-norma hukum positif, yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan, putusan pengadilan dan bahan hukum lainnya. Metode penelitian yuridis normatif adalah metode atau cara yang dipergunakan dalam penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka yang ada.29 Serta melalui pendekatan Studi Kasus Putusan Nomor 38/Pdt.G/2016/Pn.Bna.

3. Sumber Data

Sumber data penelitian ini didapatkan melalui data primer dan data sekunder. Sumber data sekunder yang terdiri dari:

a. Bahan Hukum Primer, yaitu bahan yang berasal dari peraturan perundang-undangan yang sifatnya mengikat di masyarakat dan yg berkekuatan hukum. Bahan hukum primer yang digunakan dalam penelitian ini adalah KUH Perdata, Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran, Undang-Undang Nomor 36 Tahun

28 Abdulkadir Muhammad (I), Hukum dan Penelitian Hukum, Cet.I, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2004, hal. 50.

29 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Ed.1, cet.7, Jakarta, PT.

RajaGrafindo Persada, hal. 13

(33)

2009 tentang Kesehatan serta undang-undang dan peraturan-peraturan yang lainnya dan Kasus Perdata Nomor 38/Pdt.G/2016/Pn.Bna.

b. Bahan Hukum Sekunder, yaitu bahan bacaan yang relevan dengan bahan hukum primer, dimana bahan hukum sekunder berasal dari buku- buku, teks-teks, maupun jurnal-jurnal yang berisikan pandangan hukum dari para sarjana. Dalam penelitian ini jurnal utama yang di pakai adalah dari jurnal I Gusti Ayu Apsari Hadi yang berjudul Perbuatan Melawan Hukum dalam “Pertanggungjawaban Dokter Terhadap Tindakan Malpraktik Medis”

c. Bahan Hukum Tersier, yaitu bahan yang memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti kamus hukum, kamus Bahasa Indonesia, internet maupun literature 4. Alat Pengumpul Data

Alat atau proses pengumpulan data yang digunakan dalam penulisan karya ilmiah ini adalah studi kepustakaan (library research) yaitu dengan melakukan penelitian dengan berbagai literature seperti buku, makalah maupun artikel yang relevan dengan permasalahan yang dibahas diskripsi ini untuk mendapatkan objek teori atau doktrin dari penelitian terdahulu yang berhubungan dengan permasalahan skripsi ini.

5. Analisis Data

Analisis data yang dilakukan penulis dalam penulisan skripsi ini dengan cara analisis kualitatif. Analisis kualitatif ini pada dasarnya merupakan pemaparan tentang teori-teori yang dikemukakan sehingga dari

(34)

teori-teori tersebut dapat ditari beberapa hal yang dapat dijadikan kesimpulan dan pembahasan skripsi ini.

F. Keaslian Penulisan

Dalam penulisan skripsi ini, penulis mencoba menyajikan sesuai dengan fakta-fakta yang akurat dan dari sumber yang terpercaya, sehingga skripsi ini tidak jauh dari kebenarannya.

Adapun tulisan ini dengan judul “Perbuatan Melawan Hukum Seorang Dokter (Studi Kasus Putusan Nomor 38/Pdt.G/2016/PN.Bna)”

sampai sejauh ini belum ditemukan adanya judul yang sama seperti judul tersebut diatas pada Arsip Perpustakaan Universitas Cabang Fakultas Hukum Usu/Pusat Dokumentasi dan Informasi Hukum Fakultas Hukum USU atas uji bersih yang dilakukan oleh Perpustakaan Universitas Cabang Fakultas Hukum USU sehingga tulisan ini adalah asli.

G. Sistematika Penulisan

Dalam melakukan pembahasan skripsi ini, penulis membagi dalam lima bab. Tata urutan sistematikanya sebagai berikut:

BAB I : Bab ini merupakan bab pendahuluan yang isinya antara lain memuat latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian, keaslian penulisan, sistematika penulisan.

BAB II : Merupakan Tinjauan Umum Mengenai Pengaturan Malpraktik Medis di Indonesia dan Pertanggungjawaban Dokter. Sub bagiannya terdiri dari Pengertian Malpraktik Medis dalam Hukum

(35)

Indonesia dan Perlindungannya Terhadap Pasien, Aspek Hukum Perdata Malpraktik Medis, Aspek Hukum Lainnya dari Malpraktik Medis, Tanggung Jawab Hukum Keperdataan Berdasarkan Wanprestasi.

BAB III: Merupakan Tinjauan Umum Mengenai Hubungan Perbuatan Melawan Hukum Dengan Tindakan Malpraktik Medis. Terdiri dari Pengertian Perbuatan Melawan Hukum, Syarat-Syarat Perbuatan Melawan Hukum, Penyebab Terjadinya Perbuatan Melawan Hukum dalam Malpraktik Medis, Akibat Hukum Perbuatan Melawan Hukum dalam Malpraktik Medis.

BAB IV: Akan membahas tentang Posisi Kasus, Pertimbangan Hakim serta Analisis Pertimbangan dan Putusan Hakim (Studi Putusan Nomor 38/Pdt.G/2016/PN.Bna) Terhadap Norma Hukum Perdata.

BAB V: Merupakan Kesimpulan dan Saran.

(36)

BAB II

TINJAUAN UMUM MENGENAI PENGATURAN MALPRAKTIK MEDIS DI INDONESIA DAN PERTANGGUNGJAWABAN PERDATA DOKTER

A. Pengertian Malpraktik Medis dalam Hukum Indonesia dan Aspek Perlindungannya Terhadap Pasien

Dalam melaksanakan tugas sebagai tenaga kesehatan, setiap tenaga kesehatan tersebut mungkin akan melakukan suatu pelanggaran. Pelanggaran tersebut dapat terjadi dalam bidang etika, disiplin dan dalam bidang hukum.

Berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran. Pelanggaran disiplin akan diselesaikan oleh lembaga yang telah ditentukan oleh undang-undang yaitu Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI).30 Apabila dalam pemeriksaan ditemukan bahwasannya, pelanggaran yang terjadi merupakan pelanggaran dalam bidang etika, MKDKI meneruskan pengaduan pada organisasi profesi. Sehingga perkara tersebut ditangani oleh organisasi interen, seperti Ikatan Dokter Indonesia (IDI).31

Selain kedua pelanggaran tersebut, profesi kedokteran dapat pula melakukan pelanggaran dibidang hukum. Pengaduan terhadap MKDKI tidak membuat seseorang kehilangan upaya hukum secara perdata maupun

30 Pasal 55 (1) Undang-Undang Praktik Kedokteran “Untuk menegakkan disiplin dokter dan dokter gigi dalam penyelenggaraan praktik kedokteran, dibentuk Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia”

31 Pasal 68 Ibid “Apabila dalam pemeriksaan ditemukan pelanggaran etika, Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia meneruskan pengaduan pada organisasi profesi”

(37)

pidana.32 Malpraktik dalam Bahasa Indonesia merupakan padanan kata dari kata “Mal” yang berarti buruk dan “Praktik” yang berarti pelaksanaan pekerjaan. Sehingga malpraktik dapat dilakukan oleh profesi manapun.

Sebelum membahas pengertian tentang malpraktik medik, ada beberapa pendapat sarjana tentang terminologi malpraktik. Masing-masing pendapat tersebut antara lain, sebagai berikut:

1. Hermien Hadiati menjelaskan malpractice secara harafiah berarti bad practice, atau praktek buruk yang berkaitan dengan praktek penerapan ilmu dan teknologi medik dalam menjalankan profesi medik yang mengandung ciri-ciri khusus. Karena malpraktik berkaitan dengan

“how to practice the medical science and technology”, yang sangat erat hubungannya dengan sarana kesehatan atau tempat melakukan praktek dan orang yang melaksanakan praktek, maka Hermien cenderung untuk menggunakan istilah “maltreatment”.33

2. Danny Wiradharma memandang malpraktik dari sudut tanggung jawab dokter yang berada dalam suatu perikatan dengan pasien, yaitu dokter tersebut melakukan praktek buruk.34

3. Ngesti Lestari mengartikan malpraktik secara harafiah sebagai

“pelaksanaan atau tindakan yang salah”.35

32 Pasal 66 (3) Ibid “Pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak menghilangkan hak setiap orang untuk melaporkan adanya dugaan tindak pidana kepada pihak yang berwenang dan/atau menggugat kerugian perdata ke pengadilan”

33 Hermien Hadiati Koeswadji (II), Hukum Kedokteran (Studi Tentang Hubungan Hukum dalam mana Dokter Sebagai Salah Satu Pihak), (Bandung: Penerbit Citya Aditya Bakti, 1998), hal. 124.

34 Danny Wiradharmairadharma, Penuntun Kuliah Hukum Kedokteran, (Jakarta: Bina Rupa Aksara, 1996), hal. 87.

(38)

a. “Malpractice is mistreatment of disease or injury through ignorance, careless or criminal intent” (Stedman’s Medical Dictionary).36

b. “Malpractice = wrongdoing ; (law) improper treatment of patient by medical attendant; illegal action for one’s own benefit while in position of trust” (The Oxford Illustrated Dictionary).37

c. Junus Hanafiah mendefinisikan malpraktik medik adalah kelalaian seorang dokter untuk mempergunakan tingkat ketrampilan dan ilmu pengetahuan yang lazim dipergunakan dalam mengobati pasien atau orang yang terluka menurut ukuran di lingkungan yang sama.38

Didalam profesi kedokteran, malpraktik yang dilakukan oleh profesi kedokteran sering disebut dengan malpraktik medis. Hukum normatif (undang-undang) di Indonesia hanya menyinggung sedikit tentang ketentuan malpraktik yang dilakukan oleh tenaga kesehatan pada Pasal 11 ayat 1 huruf b Undang-undang Nomor 6 Tahun 1963 tentang Tenaga Kesehatan yang berbunyi:

35 Ngesti Lestari, “Masalah Malpraktek Etik dalam Praktek Dokter (Jejaring Bioeta dan

Humaniora)”, Kumpulan Makalah Seminar tentang Etika dan Hukum Kedokteran diselenggarakan oleh RSUD Dr. Saiful Anwar, Malang, 2001, hal. 2.

36 Chrisdiono M Achadiat, Dinamika Etika dan Hukum Kedokteran dalam Tantangan Zaman, (Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC, 2004), hal. 20.

37 Ibid., hal. 21.

38 M. Jusuf Hanafiah dan Amri Amir, Etika Kedokteran dan Hukum Kesehatan, (Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC, 1999), hal. 87.

(39)

“Melakukan sesuatu hal yang seharusnya tidak boleh diperbuat oleh seorang tenaga kesehatan, baik mengingat sumpah jabatannya maupun mengingat sumpah sebagai tenaga kesehatan”

Dengan demikian rumusan dari para ahli hukum yang ada di Indonesia dan dari negara-negara lain dapat dijadikan acuan. Beberapa definisi malpraktik medis adalah sebagai berikut:

1. Ninik Mariyanti

Malpraktik kedokteran dapat diartikan sebagai bencana yang timbul sebagai akibat dari suatu praktik kedokteran, bencana mana timbul tidak karena disengaja diduga sebelumnya, melainkan ada unsur lalai yang seharusnya tidak layak untuk dilakukan oleh seorang dokter, sehingga berakibat cacat atau matinya pasien.39

2. Guwandi menyimpulkan bahwa terdapat malpraktik apabila:40 a. Ada tindakan atau sikap dokter yang:

- Bertentangan dengan etika atau moral - Bertentangan dengan hukum

- Bertentangan dengan standar profesi medik (SPM)

- Kurangnya pengetahuan atau ketinggalan ilmu pada bidangnya yang berlaku umum.

b. Adanya kelalaian, kurangnya hati-hati atau kesalahan yang besar (culpa lata)

3. Puti Shelia

39 Ninik Mariyanti, Malpraktek Kedokteran: Dari Segi Hukum Pidana dan Hukum Perdata, (Jakarta: Bina Aksara, 1988), hal. 39.

40 Chrisdiono M Achadiat, Op.Cit, hal. 22.

(40)

Malpraktik medik adalah kelalaian seorang dokter untuk mempergunakan tingkat keterampilan dan ilmu pengetahuan yang lazim dipergunakan dalam mengobati pasien atau orang yang terluka menurut ukuran di lingkungan yang sama.41 Yang dimaksudkan kelalaian disini ialah sikap kurang hati-hati, yaitu tidak melakukan apa yang seseorang dengan sikap hati-hati melakukannya dengan wajar, atau sebaliknya melakukan apa yang seseorang dengan sikap hati-hati tidak akan melakukannya dalam situasi tersebut.42

Menurut Guwandi, Malpraktik tidaklah sama dengan kelalaian, karena kelalaian termasuk dalam istilah malpraktik, tetapi didalam malpraktik tidak selalu harus terdapat unsur kelalaian. Dengan demikian, malpraktik memiliki cakupan yang lebih luas selain mencakup kelalaian malpraktik juga dapat dilakukan dengan sengaja (intentional, dolus, opzettelijk), dan melanggar Undang-undang.43

Aspek perlindungan hukum terhadap pasien korban malpraktik oleh dokter berdasarkan hukum Indonesia, yaitu:44

1. Secara preventif: dengan adanya peraturan-peraturan yang mengatur mengenai tindakan-tindakan malpraktik, yaitu dalam Kitab Undang-

41 Puti Shelia, Studi Komparatif Perbuatan Melawan Hukum Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dengan The Law Of Tort Inggris (Penerapan dalam Malpraktek Medis), (Depok:

Skripsi Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2011), hal. 90.

42 Ibid.

43 J. Guwandi (IV), Pengantar Hukum Medik dan Bio-Etika (Prinsip, Pedoman, Pembuktian, dan Contoh Kasus), (Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran UI, 2009), hal. 80.

44 Sabungan Sibarani, “Aspek Perlindungan Hukum Pasien Korban Malpraktik Dilihat dari Sudut Pandang Hukum di Indonesia”, Justitia et Pax, Vol. 33, No. 1, 2014, hal. 1.

(41)

Undang Hukum Perdata (KUHP), Undang-Undang Kesehatan, Undang- Undang Tenaga Kesehatan, Undang-Undang Praktik Kedokteran

2. Secara represif: dengan adanya tindakan yang mengakibatkan kerugian, maka seseorang yang melakukan tindakan tersebut dijatuhkan sanksi berupa sanksi perdata, yaitu dengan mengganti kerugian serta sanksi administratif dan pidana.

Bentuk perlindungan hukum terhadap korban malpraktik oleh dokter yang diatur dalam KUHPerdata, yaitu berupa pengaturan pertanggungjawaban dokter yang melakukan malpraktik untuk memberikan ganti rugi kepada korban malpraktik atas kerugian yang timbul karena:45 1. Tidak ditepatinya perjanjian terapeutik yang telah disepakati oleh dokter

atau wanprestasi (cidera janji), yaitu berdasarkan Pasal 1239 KUHPerdata;

2. Perbuatan melawan hukum, yaitu berdasarkan Pasal 1365 KUHPerdata;

3. Kelalaian atau ketidakhati-hatian dalam berbuat atau bertindak, yaitu berdasarkan Pasal 1366 KUHPerdata;

4. Melalaikan kewajiban berdasarkan Pasal 1367 ayat (3) KUHPerdata.

Perlindungan hukum pasien yang disebabkan oleh malpraktik dokter dari sudut pandang Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran yaitu berupa pemberian hak kepada korban malpraktik untuk melakukan upaya hukum pengaduan kepada Ketua Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia, yang dapat juga secara bersamaan melakukan

45 Ibid, hal. 4.

(42)

upaya hukum secara hukum pidana maupun hukum perdata ke pengadilan serta pemberian wewenang kepada Majelis Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI) untuk mengeluarkan keputusan menjatuhkan sanksi disiplin kepada dokter yang terbukti bersalah.46 Bentuk perlindungan hukum ini terdapat dalam Pasal 66 ayat (1) UU Praktik Kedokteran, Pasal 66 ayat (3) UU Praktik Kedokteran, dan dalam Pasal 67 serta Pasal 68 UU Praktik Kedokteran.

Berlakunya Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata), Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran dan peraturan-peraturan lainnya yang berkaitan langsung maupun tidak langsung dengan pemeliharaan kesehatan atau pelayanan kesehatan dan penerapannya dapat melindungi korban malpraktik berkaitan dengan hak-hak yang dimiliki oleh korban, sehingga pengaturan-pengaturan tersebut telah memenuhi aspek perlindungan pasien.

B. Aspek Hukum Perdata Malpraktik Medis

Hubungan hukum dokter dan pasien dari sudut perdata berada dalam suatu perikatan hukum. Perikatan hukum adalah suatu ikatan antara dua pihak atau lebih subjek hukum untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu atau memberikan sesuatu (1313 jo 1234 KUHPerdata).47 Sesuatu disebut prestasi. Perikatan hukum dalam perdata lahir oleh karena 2 (dua)

46 Ibid, hal. 8.

47 Pasal 1313 KUHPerdata berbunyi: “suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”

Pasal 1234 KUHPerdata berbunyi: “tiap-tiap perikatan adalah untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu atau untuk tidak berbuat sesuatu”

(43)

sebab atau sumber, yang satu oleh suatu kesepakatan yang melahirkan perjanjian (1313 BW) dan yang lainnya oleh sebab UU (1352 BW).48

Dua kemungkinan yang dapat dipakai untuk dijadikan sebagai dasar yurudis gugatan malpraktik medis yaitu:

1. Gugatan berdasarkan adanya wanprestasi terhadap suatu kontrak;

2. Gugatan berdasarkan perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad) Perikatan yang disebabkan oleh suatu kesepakatan yang melahirkan perjanjian yang dilakukan oleh dokter disebut dengan perjanjian terapeutik yang berupa hubungan hukum yang melahirkan hak dan kewajiban bagi kedua belah pihak. Perjanjian atau transaksi ini memiliki sifat atau ciri yang khusus yang berbeda dengan perjanjian pada umumnya lain halnya dengan perjanjian atau transaksi yang biasanya dilakukan oleh masyarakat, kekhususannya terletak pada atau mengenai objek yang diperjanjikan. Jadi menurut hukum, objek perjanjian dalam transaksi terapeutik bukan kesembuhan pasien, melainkan mencari upaya yang tepat untuk kesembuhan pasien.49

Dalam hukum perikatan sebagaimana diatur dalam KUHPerdata, dikenal adanya dua macam perjanjian, yaitu:50

1. Inspanningverbintenis, yakni perjanjian upaya, artinya kedua belah pihak yang berjanji berdaya upaya secara maksimal untuk mewujudkan apa yang diperjanjikan.

48 Pasal 1352 KUHPerdata berbunyi: “perikatan-perikatan yang dilahirkan demi undang-undang, timbul dari undang-undang saja, atau dari undang-undang sebagai akibat perbuatan orang”

49 Bahder Johan Nasution, Op.Cit, hal 11.

50 Ibid, hal. 13.

(44)

2. Resultaatverbintenis, yakni suatu perjanjian bahwa pihak yang berjanji akan memberikan suatu resultaat, yaitu suatu hasil nyata yang sesuai dengan apa yang diperjanjikan.

Perjanjian antara dokter dengan pasien termasuk pada perjanjian inspanningverbintenis atau perikatan upaya, seorang dokter hanya berkewajiban untuk melakukan pelayanan kesehatan sesuai dengan standar profesinya. Penyimpangan yang dilakukan oleh seorang dokter dari prosedur medis, berarti melakukan tindakan ingkar janji atau cidera janji seperti yang diatur dalam pasal 1239 KUHPerdata.51 Jika seorang pasien atau keluarganya menganggap bahwa dokter tidak melakukan kewajiban- kewajiban kontraktualnya, pasien tersebut dapat menggugat dengan alasan wanprestasi dan menuntut agar mereka memenuhi syarat-syarat tersebut.

Jika perbuatan atau tindakan dokter yang bersangkutan melanggar hukum atau peraturan yang berlaku maka disebut dengan perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad) yang diatur pada pasal 1365 KUHPerdata, dimana pasal ini dapat dijadikan dasar gugatan walaupun tidak ada hubungan kontraktual. Perbuatan seorang dokter dapat dikatakan perbuatan melawan hukum apabila memenuhi unsur-unsur sebagai berikut:

1. Pasien harus mengalami suatu kerugian.

2. Adanya suatu perbuatan

3. Ada kesalahan atau kelalaian (disamping perorangan, rumah sakit juga bisa bertanggung jawab atas kesalahan dan kelalaian pegawainya).

51 Pasal 1239 KUHPerdata berbunyi: “tiap-tiap perikatan untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu, apabila si berutang tidak memenuhi kewajibannya, mendapatkan

penyelesaiannya dalam kewajiban memberikan penggantian biaya, rugi dan bunga”

(45)

4. Ada hubungan causal antara kerugian dan kesalahan.

5. Melanggar hukum.

C. Aspek Hukum Lainnya dalam Malpraktik Medis

Selain adanya aspek hukum perdata dalam malpraktik medis atau juga disebut dengan istilah civil malpractice, terdapat juga aspek hukum pidana dan hukum administrasi dalam malpraktik medis.

Malpraktik pidana (criminal malpractice) terjadi apabila pasien meninggal dunia atau mengalami cacat akibat tenaga kesehatan kurang hati-hati, atau kurang cermat dalam melakukan upaya perawatan terhadap pasien yang meninggal dunia atau cacat tersebut. Malpraktik pidana ada 3 (tiga) bentuk yaitu:52

a. Malpraktik pidana karena kesengajaan (intentional), misalnya pada kasus aborsi tanpa indikasi medis, tidak melakukan pertolongan pada kasus gawat padahal diketahui bahwa tidak ada orang lain yang bisa menolong, serta memberikan surat keterangan yang tidak benar.

b. Malpraktik pidana karena kecerobohan (recklessness), misalnya melakukan tindakan yang tidak lege artis atau tidak sesuai dengan standar profesi serta melakukan tindakan tanpa disertai persetujuan tindakan medis.

c. Malpraktik pidana karena kealpaan (negligence), misalnya terjadi cacat atau kematian pada pasien sebagai akibat tindakan tenaga kesehatan yang kurang hati-hati.

52 Cecep Triwibowo, Etika dan Hukum Kesehatan, (Yogyakarta: Nuha Medika, 2014), hal. 274.

Referensi

Dokumen terkait

Inilah yang menuntut agar selalu dilakukan pembaharuan (modernisasi) dalam hal pendidikan dan segala hal yang terkait dengan kehidupan umat problematika tersebut

Berdasarkan angka sementara hasil pencacahan lengkap Sensus Pertanian 2013, jumlah usaha pertanian di kabupaten Padang Lawas Utara sebanyak 37.540 dikelola oleh

Adapun pembahasan dalam penelitian ini antara lain membahas mengenai sejarah perkembangan manaqibnya mulai dari sejarah berdirinya Pondok Pesantren tersebut sampai

Eluen No 5 yaitu campuran eluen etanol : air : amonia = 2 : 7 : 1 menghasilkan sistem kromatografi dengan menggunakan fase diam ITLC-SA yang memberikan nilai

Hal tersebut sesuai dengan yang dikatakan Muchtadi (1997) dalam Martunis (2012) yang menyatakan bahwa nilai kadar air yang meningkat dan tidak merata merupakan akibat dari

Menurut pendapat kami, laporan keuangan konsolidasi tersebut di atas menyajikan secara wajar, dalam semua hal yang material, posisi keuangan PT Matahari Putra Prima Tbk

Sebagai seorang pekerja sosial yang memegang teguh prinsip keadilan sosial, maka keadilan distributif dari program K3 ini dapat dijadikan salah satu tempat praktik