5
BAB II
LANDASAN TEORI 2.1 Perancangan Turbin Air Terdahulu
(Suwignyo, 2018) menyatakan bahwa perancangan turbin air yang dilakukan menyasuaikan tinggi jatuh (head) yang tersedia di lapangan untuk menentukan jenis turbin yang sesuai untuk perancangan turbin air. Dalam menentukan daya yang dihasilkan oleh turbin air diperoleh dengan dari persamaan P = ղt x ρ x g x Qd x Hgross dan daya yang di hasilkan turbin air sudah mempertimbangkan efisiensi generator. Pengukuran debit air yang digunakan sebagai dasar analisa dilakukan selama 30 hari untuk menentukan besar debit minimum dan debit maksimum yang tersedia. Dari data yang sudah diperoleh dapat dilakukan perancangan yang nantinya akan didapatkan desain gambar dan dimensi yang cocok dengan potensi yang dimiliki.
(Syaikhurrohman, 2016) menyatakan, pemilihan jenis turbin air dapat ditentukan dengan pengambilan data potensi debit aliran dan beda ketinggian (head) yang didapat dilapangan. Selain itu, pemilihan jenis turbin air juga membandingkan keuntungan dan kerugian penggunaan dari macam-macam jenis turbin air. Pengumpulan data yang dilakukan secara langsung di lapangan untuk mendapatkan data primer berupa debit air dan tinggi jatuh (head).
Metode yang dipakai dalam pengukuran data debit air dengan membuat patok di kedua sisi sungai, kemudian membentangkan tali dari kedua patok tersebut.
Pengukuran head menggunakan alat sederhana menggunakan benang nilon dan selang plastik berisi air dari permukaan air di bak penampunagan. Data head
yang diperoleh merupakan head kotor (head gross), satelah itu, dikurangi dengan faktor gesekan dan faktor kehilangan (losses) ketika air mengalir dan menghasilkan head bersih (head net).
Dari statment yang diambil dapat disimpulkan bahwa data yang dikumpulkan yaitu debit air dan tinggi jatuh (head) akan menghasilkan daya yang digunakan untuk menentukan tipe turbin air yang sesuai dari data yang diperoleh. Dalam pengumpulan data terdapat beberapa cara yang dilakukan seperti, pengumpulan data yang dilakukan dalam jangka waktu yang panjang untuk mendapatkan debit maksimum dan minimum. Data head yang diperoleh menyesuaikan keadaan di lapangan. Selain itu, dapat dilakukan metode pengukuran sederhana menggunakan patok di kedua sisi sungai dan memebentangakan tali yang diikat di patok kedua sisi sungi untuk mengukur debit lebar sungi. Pengukuran data head dengan menggunakan benang nilon dan selang plastik berisi air dari permukaan air di bak penaampungan.
Ada beberapa perbandingan karakteristik yang dapat dilihat dari perbandingan tinggi jatuh air (head) dan debit air (flow rate) di bawah ini:
(Suwignyo, dkk., 2013)
Gambar 1.1 Grafik perbandingan karakteristik turbin
Dilihat dari gambar 2.1 bahwa turbin kaplan bisa beroperasi di head yang rendah dengan kecepatan aliran yang tinggi atau mampu beroperasi di kapasitas yang rendah. Hal ini terjadi karena sudu-sudu pada turbin kaplan bisa diatur secara manual maupun otomatis untuk merubah kapasitas turbin.
Berbanding terbalik dengan turbin kaplan, turbin pelton bisa beroperasi di head yang tinggi dengan kecepatan aliran yang rendah yanag berarti mampu beroperasi di kapasitas yang rendah. Berbeda dengan turbin yang lain, turbin francis mampu beroperasi pada head yang tinggi maupun head yang rendah sesuai dengan lingkungan yang ada di sekitar.
Dengan cara ini bisa ditentukan turbin yang sesuai lingkungan sekitar dengan melihat head dan rata-rata aliran sungainya. Rata-rata turbin implus di aplikasikan di head yang yang tinggi dan turbin reaksi di aplikasikan di head yang rendah. Dengan ini busa disimpulkan bahwa turbin kaplan bisa di aplikasikan di semua jenis head dan debit air, selain itu efisiensi yang dihasilkan sangat baik dalam kondisi aliran apapun.
Dengan ini, pengaplikasian turbin berdasarkan tinggi head yang di dapatkan sebagai berikut:
Tabel 2.1 Pengaplikasian turbin air terhadap tinggi head
Jenis Turbin Variasi Head (m)
Kaplan dan Propeller 2<H<20
Francis 10<H<3500
Pelton 50<H<1000
Cross-Flow 6<H<100
Turgo 50<H<250 Sumber: (Sunyoto,2013)
Dijelaskan bahwa setiap turbin mempunyai kecepatan range spesifikasi sebagai berikut:
Tabel 2.1 Spesifikasi kecepatan range pada turbin
Kecepatan Spesifikasi Ns (RPM) Jenis Turbin Air
10<35 Turbin Pelton nozel 1
35<60 Turbin Pelton nozel <1
60<300 Turbin Francis
300<1000 Turbin Kaplan
350<1050 Turbin Propeller
Sumber : (sunyoto, 2013)
2.2 Prinsip Kerja Turbin Air
Pada bagian turbin ada roda turbin yang terdapat sudu, sebuah konstruksi yang berbentuk lempengan dengan penampang tertentu dan air sebagai fluida kerja yang mengalir diantara ruang sudu tersebut, dengan demikian roda turbin akan berputar dengan gaya yang bekerja pada sudu turbin. Gaya tersebut terjadi karena ada perubahan momentum pada fluida kerja air yang mengalir di antara sudunya. Sudu di bentuk dengan sedemikian rupa sehingga terjadi perubahan momentum pada fluida kerja air. (Arismunandar, W. 2004: 2)
Setelah fluida kerja air mengalami perubahan gaya dan momentum pada sudu sehingga bisa menggerakkan roda turbin. Setelah itu, dari roda tubin akan diteruskan ke poros daya yang menghubungkan antara roda turbin dengan
generator. Generator yang berputar akan menghasilkan energi listrik dan akan di simpan pada baterai sesuai dengan kapasitas generator dan selanjutnya akan didistribusikan ke masyarakat.
2.3 Jenis-jenis Turbi Air
T
urbin air memiliki 2 jenis tipe, diantaranya adalah:1. Turbin Implus atau Turbin Aksi
Turbin implus merupakan tipe turbin yang memiliki head yang tinggi dan laju aliran yang rendah. Turbin implus adalah sebuah turbin air yang cara kerjanya merubah energi potensial, tekanan, dan kecepatan air untuk dirubah menjadi energi kinetik untuk menggerakkan turbin sehingga menghasilkan energi mekanik untuk memutar poros roda yang terhubung ke generator. (Muh. Misbachudin, dkk., 2016).
Turbin implus merupakan jenis turbin yang mengalami proses ekspansi fluida kerja yang terjadi pada sudu-sudunya saja. Energi potensial yang ada pad fluida kerjadi rubah menjadi energi kinetik pada nozle yang memancarkan fluida kerja dengan kecepatan tinggi.
Pancaran fluida kerja akan ditabrakan oleh nozle ke sudu-sudu yang terdapat pada runner, sehingga runner akan berputar akibat tabrakan tersebut. Dalam proses ekspansi fluida kerja di harapkan tidak terjadi penurunan tekanan, tetapi penurunan tekanan tetap ada akibat adanya gesekan, aliran turbulel dan lain-lainnya.
2. Turbin Reaksi
Turbin reaksi merupakan turbin yang bekerja merubah seluruh energi pada fluida kerja menjadi energi mekanik. Turbin reaksi merupakan jenis turbin yang sering di gunakan karena sudu pada turbin reaksi bisa menyebabkan penurunan tekanan fluida kerja selama melalui sudu. Perbedaan tekanan memberikan gaya pada sudu turbin sehingga runner bisa berputar. (Muh. Misbachudin, dkk., 2016)
Proses ekspansi fluida kerja pada turbin reaksi terjaid pada sudu tetap dan sudu geraknya. Air mengalir masuk ke roda turbin melalui sudu-sudu turbin dengan tekanan tinggi dan mengelilingi sudu-sudu turbin maka runner turbin akan berputar penuh. Energi yang ada pada fluida kerja akan berkurang ketika meninggalkan sudu. Energi yang hilang tersebut telah diubah menjadi energi mekanis oleh roda turbin.
Ada beberapa contoh dari turbin implus dan turbin reaksi, diantaranya adalah:
1. Turbin Implus
• Turgo
• Turbin crossflow
• Pelton 2. Turbin Reaksi
• Kincir air
• Tyson
• Kaplan, Propeller, Tube, starflow, Blub.
• Francis
2.4 Klasifikasi Turbin Air
1. Turbin Pelton
Turbin pelton merupakan jenis turbin implus yang mengubah fluida kerja menjadi energi kecepatan sebelum memasuki runner turbin.
Perubahan energi ini terjadi di dalam nozle dimana fluida kerja yang awalnya memiliki energi potensial diubah menjadi energi kinetik. Setelah mengalami perubahan energi tersebut fluida kerja akan dipancarkan keluar oleh nozle dan di tumbukkan ke bucket yang dipasang mengelilingi runner dan garis pusat pancaran air yang menyinggung lingkaran dari pusat bucket. (Muh. Misbachudin, dkk., 2016)
Kecepatan keliling bucket yang bertumbukan dengan fluida kerja bergantung pada besar pancaran fluida kerja dari nozle yang mengeluarkan fluida kerja. Kecepatan pancaran bergantung pada fluida kerja bergantung pada tinggi air diatas nozlenya serta efisiensinya. Turbin pelton merupakan turbin air yang paling efisien dan merupakan turbin yang cocok untuk head yang tinggi.
(Muh. Misbachudin, dkk., 2016)
Gambar 2.2 Turbin Pelton
2. Turbin Turgo
Turbin turgo merupakan salah satu jenis turbin implus, tetapi sudunya berbeda dan keuntungan kerugiannya juga sama. Kecpatan turbi turgo lebih besar dari pada turbin pelton, karena pancaran air dari nozle membentuk sudut 20o. Sangat dimungkinkan untuk memakai transmisi langsung dari turbin ke generator sehingga menaikkan efisiensi total dan menurunkan biaya perawatan.
3. Turbin Cross Flow
Turbin Crossflow merupakan salah satu turbin air jenis turbin aksi (Impulse turbine). Pemakian turbin Cross Flow lebih menguntungkan dibandingkan dengan kincir air maupun jenis turbin lainnya. Penggunaan turbin Cross Flow dengan daya yang sama dapt menghemat biaya 50% dari penggunaan kincir air dengan bahan yang sama. Demikian juga daya guna atau efisiensi rata-rata turbin Cross Flow lebih tinggi dari pada daya guna kincir air.
Gambar 2.2 Instalasi Turbin Turgo
Hasil pengujian laboratorium yang dilakukan oleh pabrik turbin ossberger Jerman Barat yang menyimpulkan bahwa daya guna kincir air dari jenis yang paling unggul sekalipun hanya mencapai 70%, sedangkan efisiensi turbin Cross Flow mencapai 82%. (Haimerl, L.A., 1960).
Tingginya efisiensi turbin Cross Flow disebabkan oleh pemanfaatan energi air pada turbin Cross Flow dilakukan dua kali, pertama energi air ditumbukan ke sudu-sudu pada saat air masuk, dan kedua dorongan energi air pada sudu-sudu saat air meninggalkan runner.
(Ridwan, 2014) 4. Turbin Francis
Turbin Francis merupakan salah satu jenis turbin reaksi dan juga turbin yang sering digunakan. Turbi Francis beroperasi dalam head range antara 10 sampai beberapa ratus meter. Turbin Francis memiliki 9 vane atau lebih, dimana air akan mengenai vane-vane tersebut dan mengelilinginya hingga dapat berputar. Turbin Franci memiliki sudu pengarah yang berguna mengarahkan air masuk secara tangensial ke baling-baling.
Turbin Francis bekerja memakai prose tekanan lebih, diman pada waktu air masuk ke roda jalan sebagian dari energi tinggi jatuh telah bekerja
Gambar 2.3 Turbin Crossflow
pada sudu pengarah kemudian di ubah menjadi kecepatan air masuk, dan sisa energi tinggi jatuh dimanfaatkan pada sudu jalan. Dengan ditambahkannya pipa isap, memungkinkan energi jatuh bekerja lebih maksimal di sudu jalan. Turbin Francis termasuk turbin reaksi yang mengkombinasikan antara konsep aliran axial dan radial. Inlet dari turbin Francis berbentuk spiral (rumah keong) yang menyebabkan air bergerak tangensial memasuki baling-baling turbin, dan aliran radial mengenai runner dan menyebabkan baling-baling turbin berputar.
(Muh. Misbachudin, dkk., 2016) 5. Turbin Kaplan Propeller
Turbin Kaplan termasuk kelompok turbin air reaksi aliran axial jenis baling-baling propeller. Turbin ini tersusun dari propeller seperti pada perahu dan biasanya propeller memiliki tiga sampai enam sudu. Turbin Kaplan memiliki kecepatan spesifikasi tinggi (high specific speed). Turbin Kaplan beroperasi pada kondisi head yang rendah bahakan sangat rendah dengan kapasitas aliran air yang tinggi. Hal ini di karenakan turbin Kaplan mempunyai keistimewaan yaitu sudu-sudu penggeraknya (runner) bisa
Gambar 2.4 Turbin Francis
diatur (adjustble blade) untuk menyesuaikan dengan perubahan kapasitas aliran air.
(Rudi dan Taff, 2018)
2.5 Putaran Spesifikasi Turbin
Setiap turbin memiliki spesifikasi sendiri-sendiri menyasuaikan potensi sungai yang akan dimanfaatkan untuk menggerakaan turbin. Dibawah ini tabel- tabel spesifikasi turbin:
Tabel 2.3 Spesifikasi Turbin Pelton
Turbin
Bentuk Ns NII Q(m3/s) H (efektif)(m)
Pelton
Satu pancaran
9-11 39,8-39,4 0,007-0,011 1800-1650
11-17 39,4-38,9 0,011-0,024 1650-700 17-25 38,9-37,6 0,024-0,55 700-350
Gambar 2.5 Turbin Kaplan Propeller
Tabel 2.4 Spesifikasi Turbin Francis
Turbin
Bentuk Ns NII Q(m3/s) H(efektif),(m)
Francis
Pelahan Normal
50-100 60,8-63,6 0,1-0,35 410-280
100-150 63,6-67,5 0,35-0,59 280-150 150-190 67,5-72,6 0,59-0,83 150-100
Tabel 2.5 Spesifikasi Turbin Kaplan
Turbin
Bentuk Ns NII Q(m3/s) H(efektif),(m)
Kaplan
8 daun 190-250 85-145 0,930-1,220 50 6 daun 250-300 100-155 1,290-1,800 35 5 daun 240-450 110-170 1,600-2,200 20 4 daun 330-560 120-180 2,000-2,350 15 3 daun 390-690 135-200 2,350-2,450 6
490-750 570-920
Sumber: (Patty,1995)
2.6 Rancangan Turbin Air
2.6.1 Debit Air
Debit air yang mengalir (Q) merupakan pengaruh daril luas penampang air (A) dan kecepatan aliran (v). Setelah ditemukan luas penampang dan kecepatan alirannya, maka debit air yang mengalir adalah:
Q = A . v Dimana:
Q = Debit air (m3/s)
A = luas penampang air (m2) v = kecepatan aliran (m/s) 2.6.2 Daya Turbin
Dari head (H) dan debit air (Q) dapat disimpulkan bahwa daya turbin diperoleh dengan cara:
P = Q . ρ . g . H . ղt (Dietzel, 1980)
Dimana:
P = Daya (KW) Q = Debit air (m3/s) ρ = Massa jenis air (m3) g = Gravitasi (m/s2) H = Tinggi air jatuh (m) ղt = Efisiensi turbin
2.6.3 Berdasarkan Nilai Efisiensi Turbin a. 0,8 – 0,9 turbin Francis
b. 0,7 – 0,8 turbin Cross Flow c. 0,8 – 0,9 turbin Kaplan/Propeller d. 0,8 – 0,85 turbin Pelton
2.6.4 Kecepatan Putaran (n)
Untuk menentukan kecepatan putaran harusnya ditentukan setinggi mungkin, karena dengan kecepaatan putaran yang tinggi dapat menghasilkan poros yang kecil, momen puntir yang kecil, dan bagian yang lainnya.
2.6.5 Kecepatan Spesifik (ns)
Yang dimaksud dengan kecepatan spesifikasi yaitu kecepatan runner yang dapat dihasilkan daya efektif 1 BHP untuk tinggi 1 meter.
ns = n . √𝑄
𝐻3 4
= rpm (Sularso, 1994)
Dimana:
n= Kecepatan putar turbin (rpm) Q = Debit air (m3/s)
H = Head (m) 2.6.6 Kecepatan Aliran
Untuk menghitung kecepatan aliran pada sudu turbin diperlukan faktor:
V =√2 . 𝑔 . 𝐻 Dimana :
V = Kecepatan aliran air (m/s) g = gravitasi (m/s2)
H = head (m)
2.6.7 Kerugian Akibat Gesekan
Hlf = 10,294 x 𝑄
2 𝑘2 x 𝐿
𝐷5,33
Dimana :
Hlf = Head Losses Mayor (m) Q = Debit air (m3/s)
k = Angka gesek Stickler D = Diameter dalam pipa (m) L = Panjang pipa (m)
2.6.8 Kerugian Gesek Akibat Belokan Hlm = Ʃƒ x 𝑉2
2 𝑥 𝑔
Dimana :
Hlm = Head Losses Minor (m) Ʃƒ = Total koefisien kerugian V = Kecepatan air dalam pipa (m/s) g = gravitasi (m/s2)
2.7 Segitiga Kecepatan
2.7.1 Kecepatan tangensial masuk sudu sisi luar
U1 = U1 . √2 . 𝑔 . 𝐻 (Dietzel, 1980) Dimana :
U1 = Kecepatan tangensial masuk sudu sisi luar (m/s) g = Gravitasi (m/s2)
H = Head (m)
2.7.2 Kecepatan Tangensial Masuk Sudu Pada Leher Poros
UN = UN . √2 . 𝑔 . 𝐻 (Dietzel, 1980) Dimana :
UN = Kecepatan Tangensial Sudu Pada Leher Poros (m/s) g = Gravitasi (m/s2)
H = head (m)
2.7.3 Kecepatan Meridia Sudu C2m/C2
C2m = C2 = 𝑄
𝐴
Dimana :
C2m = Kecepatan meridian sudu (m/s) Q = Debit air (m3/s)
A = Luas penampang (m2) 2.7.4 Segitiga Kecepatan
ղt x g x H = u x (Cu1 – Cu2)
2.7.5 Kecepatan Tangensial Pada Tengah Sudu atau U Rata-rata Urata-rata = 𝑈1+𝑈𝑁
2
Dimana :
Urata-rata = Kecepatan tangensial pada tengah sudu U (m/s) U1 = Kecepatan tangensial masuk sudu sisi luar(m/s)
UN = Kecepatan tangensial masuk sudu pada leher poros (m/s)
2.8 Perancangan Penstock dan Runner
2.8.1 Diameter Pipa D = (1,2 - 19,5
𝑛𝑠 ) D1
Dimana :
D = Diameter pipa (m) ns = Kecepatan spesifik (rpm) D1 = Diameter luar sudu (m) 2.8.2 Perancangan Tebal Pipa
Tp = 𝐷+50
400 Dimana :
Tp = Tebal pipa (mm) D = Diameter pipa (mm) 2.8.3 Diameter Luar Sudu
D1 = 60 . 𝓊1
𝜋 . 𝑛 (Dietzel, 1980)
2.8.4 Diameter Leher Poros Dn = 0,5 . D1
Dimana :
Dn = Diameter leher poros (m) D1 = Diameter luar sudu (m) 2.8.5 Diameter Tengah-Tengah Sudu
Dm = 𝐷1+ 𝐷𝑛
2
Dimana :
Dm = Diameter tengah sudu (m) D1 = Diameter luar sudu (m) Dn = Diameter leher poros (m)
2.8.6 Diameter Sudu Pengarah Bagian Sudu Masuk Do = 1,2 . D1
Dimana :
Do = Diameter sudu pengarah bagian masuk (m) D1 = Diameter luar sudu (m)
2.8.7 Luas Penampang Sudu A = (D12 – Dn2) 𝜋
4
Dimana :
A = Luas penampang sudu (m2) Dn = Diameter leher poros (m) D1 = Diameter luar sudu (m) 2.8.8 Jumlah Keseluruhan Lebar Sudu
B = 𝐷1
2 −𝐷𝑛
2
Dimana :
B = jumlah keseluruhan lebar sudu (m) D1 = Diameter luar sudu (m)
Dn = Diameter leher poros (m) 2.8.9 Jarak Antar Sudu
L = 𝐷𝑛 .𝜋
𝑧
Dimana :
L = Jarak antar sudu (mm) Dn = Diameter leher poros (m) Z = Jumlah sudu
2.9 Perancangan Guide Vane
2.9.1 Jarak Vertikal Runner Terhadap Sisi Guide Vane
λ = 0,25 x D1
Dimana :
λ = Jarak runner dengan guide vane (m) D1 = Diameter luar sudu (m)
2.9.2 Kecepatan Meridian Pengarah Cmpengarah = Cmpengarah . √2 . 𝑔 . 𝐻 Dimana :
Cmpengarah = Kecepatan Meridian Pengarah (m/s) g = Gravitas (m/s2)
H =Head (m)
2.9.3 Menentukan Tinggi Sudu Pengarah
bo = 𝑄
𝐷𝑜 𝑥 𝜋 𝑥 𝐶𝑚 𝑝𝑒𝑛𝑔𝑎𝑟𝑎ℎ 𝑥 𝜏𝑜 (Dietzel, 1980)
Dimana :
bo = Tinggi sudu pengarah (m) Q = Debit air (m3/s)
Do = Diameter dalam sudu (m)
Cmpengarah =Kecepatan meridian sudu (m/s) 2.9.4 Jumlah Blade
ZGV = ( 1
4𝑥√1000 𝑥 𝐷1 𝑥 5 ) Dimana :
ZGV = Jumlah blade
D1 = Diameter luar sudu (m) 2.9.5 Diameter Outlet
G1 = (1,29 + 41,63
𝑛𝑠 ) D1
Dimana :
G1 = Diameter outlet (m) ns = Kecepatan spesifik (rpm) D1 = Diameter luar sudu (m) 2.9.6 Diameter Inlet
F1 = (1,45 + 72,17
𝑛𝑠 ) D1
Dimana :
F1 = Diameter inlet (m) ns = Kecepatan spesifik (rpm) D1 = Diameter luar sudu (m) 2.9.7 Jarak Pada Sisi Outlet
t’ outlet = 𝜋 𝑥 𝐺1
𝑍𝐺𝑉
Dimana :
t’ outlet = Jarak sisi outlet (m) G1 = Diameter outlet (m) ZGV = Jumlah blade 2.9.8 Jarak Pada Sisi Inlet
t’ inlet = 𝜋 𝑥 𝐹1
𝑍𝐺𝑉
Dimana :
t’ inlet = Jarak sisi inlet (m) F1 = Diameter inlet (m) ZGV = Jumlah blade
2.9.9 Kecepatan Keliling Runner Pada Diameter Terluar U = 2 𝑥 𝜋 𝑥 𝑛
60 R Dimana :
U = Kecepatan keliling runner diameter luar (m/s) n = Kecepatan putar turbin (rpm)
2.9.10 Kecepatan Tangensial Inlet Runner CU = 𝑛𝑇.𝑔.𝐻
𝑈𝑚
Dimana :
CU = Kecepatan mutlak masuk sudu pada arah U (m/s) ղt = Efisiensi turbin (%)
g = Gravitasi (m/s2) H = Head (m)
UM = Kecepatan tangensial pada tengah sudu U (m/s) 2.9.11 Kecepatan Tangensial Inlet Guide Vane
Cuo = Cu x 𝐷1
𝐺1
Dimana :
Cuo = Kecepatan tangensial inlet guide vane (m3/s) Cu = Kecepatan tangensial inlet runner (m/s) D1 = Diameter luar sudu (m)
G1 = diameter outlet (m)
2.10 Perancangan Poros
2.10.1 Kecepatan Sudut ω = 2 x π x n
Dimana :
ω = Kecepatan sudut (rpm) n = kecepatan putar turbin (rpm) 2.10.2 Momen Torsi
Mp = 9,74 x 105.𝑃
𝑛
Dimana :
Mp = Momen torsi (N/mm2) P = Daya (watt)
n = Kecepatan putar turbin (rpm) 2.10.3 Momen Puntir
Mtmak = 71.620 x 𝑃
𝑛
Mt = Momen puntir (N/mm2) P = Daya (watt)
n = Kecepatan putar turbin (rpm) 2.10.4 Tegangan Geser Izin
τa = 𝜏𝑏
𝑠ƒ1 𝑥 𝑠ƒ2
Dimana =
τa = Tegangan izin poros (N/mm2) τb = Tegangan tarik (N/mm2) sƒ1 = faktor kelelahan sƒ2 = faktor keamanan 2.10.5 Diameter Poros
ds = [5,1 𝑥 𝑘𝑡 𝑥 𝐶𝑏 𝑥 𝑀𝑝
𝜏𝑎 ]1⁄3
Dimana :
ds = Diameter poros (mm)
τa = Tegangan izin poros (N/mm2) Mp = Momen torsi (N/mm2) Kt = Faktor koreksi momen puntir Cb = Faktor koreksi beban lentur 2.10.6 Tegangan yang terjadi
τt = 𝑀𝑡
𝑊𝑡
Dimana :
τt = Tegangan yang terjadi (N/mm2) Wt = 𝜋
16 x ds3 = (mm)
Mt = Momen puntir (N/mm2)
2.11 Perancangan Spiral Casing
Perancangan spiral casing dihitung menggunakan metode pendekatan empiris yang terdapat pada (Warnick, C. C., 1984, hal : 136)
Gambar 2.6 Spiral Casing Tampak Atas
2.11.1 Ukuran Pada Bagian A
𝐴
𝐷1 = 0,40 x Ns0,20
Dimana:
Ns = Kecepatan spesifik (rpm) 2.11.2 Ukuran Pada Bagian B
𝐵
𝐷1 = 1,26 + 3,79 x 10-4 x Ns
2.11.3 Ukuran Pada Bagian C
𝐶
𝐷1 = 1,46 +3,24 x 10-4 x Ns
2.11.4 Ukuran Pada Bagian D
𝐷
𝐷1 = 1,59 + 5,74 x 10-4 x Ns
2.11.5 Ukuran Pada Bagian E
𝐸
𝐷1 = 1,21 + 2,71 x 10-4 x Ns
2.11.6 Ukuran Pada Bagian F
𝐹
𝐷1 = 1,45 + (72,17
𝑁𝑠 ) 2.11.7 Ukuran pada Bagian G
𝐺
𝐷1 = 1,29 + (41,63
𝑁𝑠 ) 2.11.8 Ukuran Pada Bagian H
𝐻
𝐷1 = 1,13 + (31,86
𝑁𝑠 )
Gambar 2.7 Spiral Casing Tampak Samping
2.11.9 Ukuran Pada Bagian I
𝐼
𝐷1 = 0,45 - (31,80
𝑁𝑠 ) 2.11.10 Ukuran Pada Bagian M
𝑀
𝐷1 = 1
2,06−1,20 𝑥 10−3 𝑥𝑁𝑠
2.11.11 Ukuran Pada Bagian L
𝐿
𝐷1 = 0,74 + 8,7 x 10-4 x Ns
2.12 Perancangan Draft Tube
Perancangan Draft Tube dihitung dengan metode pendekatan empiris yang terdapat pada (Warnick, C.C., 1984).
2.12.1 Ukuran Pada Bagian N N = (1,54 + 203,3
𝑁𝑠 ) x D1
Dimana:
D1 = Diameter luar sudu (m) Ns = Kecepatan spesifik (rpm) 2.12.2 Ukuran Pada Bagian O
Gambar 2.8 Perancangan Dimensi Draft Tube
O = (0,83 + 140,7
𝑁𝑠 ) x D1
2.12.3 Ukuran Pada Bagian P
P = (1,37 x 0,00056 x Ns) x D1
2.12.4 Ukuran Pada Bagian Q Q = (0,58 + 22,6
𝑁𝑠 ) x D1
2.12.5 Ukuran Pada Bagian R R = (1,6 + 0,0013
𝑁𝑠 ) x D1
2.12.6 Ukuran Pada Bagian S S = ( 𝑁𝑠
−9,28 +0,25 𝑥 𝑁𝑠) x D1
2.12.7 Ukuran Pada Bagian T T = (1,5 x 0,00019 x Ns) x D1
2.12.8 Ukuran Pada Bagian U U = (0,51 x 0,0007 x Ns) x D1
2.12.9 Ukuran Pada Bagian V V = (1,1 + 53,7
𝑁𝑠 ) x D1
2.12.10 Ukuran Pada Bagian Z Z = (2,63 + 33,8
𝑁𝑠 ) x D1
2.13 Perancangan Bantalan Poros
Pada perancangan bantalan dapat ditentukan berdasarkan tabel dan di sesuaikan dengan ukuran poros. Berikut ini adalah tabel pemilihan bantalan :
(Sumber : Sularso, 1978, hal: 143)
Gambar 2.9 Gambar Tabel Pemilihan Bantalan