• Tidak ada hasil yang ditemukan

Mata Puisi N O. 4 T A H U N I A G U S T U S

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "Mata Puisi N O. 4 T A H U N I A G U S T U S"

Copied!
46
0
0

Teks penuh

(1)

Mata Puisi

N O . 4 T A H U N I | A G U S T U S 2 0 2 0

ESAI

Kenapa Kita Mencintai Sapardi

PUISI

Muhaimin Nurrizqy, Ghaida Setiana, Sahaya

Santayana; Dody Kristianto; Saddam HP

T.S Eliot.

APRESIASI

(Hanya Dengan) Cinta

(2)

Anotasi Selembar Daun | 3 Apresiasi Dedy Tri Riyadi - (Hanya dengan) Cinta | 4-5 Puisi Muhaimin Nurrizqy - Bertemu Dahlia; Yang Hanyut ke Hilir; Reka Adegan; Pan & Tek;

Kal& Era | 6-11 Ghaida Setiana - Misteri Buntu Poirot dan Marple; Seperti Hujan Batu dan Mantan Kekasihku; Di Suau Atap Gedung Jatinangor;

Pertanyaan untuk Semesta; Puisi-Puisi Hilang | 12-15 Sahaya Santayana - Membuat Puisi 1;

Membuat Puisi 2; Membuat Puisi 4; Membuat Puisi 5; Membuat Puisi 7; Membuat Puisi 8 | 16-19

Desain sampul oleh

@pabrikolase

Mata Puisi

NO. 4 TAHUN I | AGUSTUS 2020 Melihat jauh ke dalam kata.

Donasi langganan Rp25.000 (Rek. 8210278045 BCA a.n Dhiana)

Dody Kristianto - Kaidah Diet Ketat; Bus Hantu; Gendam; Begal; Memangkas Rambut Rasta; Genesis Gundala | 20- 26 Saddam HP - Buah Iblis; Pohon

Pengetahuan; Paku; Penyaliban; Sketsa Suatu Senja; "Aku Haus"; Kapal | 27 - 33

T.S Eliot - Pada Sepoi Malam - Sebuah Rapsodi | 42-44

EsaiHasan Aspahani - Kenapa Kita Mencintai Sapardi | 34 - 37

Percakapan

Wayan Jengki Sunarta - Puisi adalah Panggilan Hidup | 38-41

Penerbit:

Hasan Aspahani Penyunting:

Hasan Aspahani, Dedy Tri Riyadi, Salman Aristo, Hikmat Darmawan, Khalish Abniswarin

Alamat:

Permata Mediterania, Kluster Safir Raya No. 6, Jl.

Pospengumben, Jakarta Barat DKI Jakarta, 11630

Email/Telepon

[email protected] / 0819 02601010 Rekening Bank

8210278045 (BCA)

a/n Dhiana Daharimanoza

Donasi Berlangganan Rp25.000 per edisi konfirmasi bukti transfer ke email kami.

(3)

Hatiku Selembar Daun / Sapardi Djoko Damono hatiku selembar daun melayang jatuh di rumput;

nanti dulu, biarkan aku sejenak terbaring di sini

ada yang masih ingin kupandang, yang selama ini senantiasa luput;

sesaat adalah abadi sebelum kausapu tamanmu setiap pagi.

KAMI menerbitkan Majalah Mata Puisi sebagai usaha untuk ikut dalam perayaan dan perjalanan panjang puisi Indonesia. Hari ini puisi ditulis banyak orang, disebarkan di media sosial yang riuh berebut perhatian dengan teks-teks lain. Kami ingin menampung apa yang berharga dari yang terserak itu, menyimpannya di sini, menjadikan majalah ini semacam lumbung. Ada puisi yang dipilih dengan hati-hati, dan kami berharap itu menjadi semacam benih yang baik - bahkan unggul - yang tersimpan di sini yang kelak menjadi bahan sumber bagi siapa saja yang ingin membuat hibrida baru yang memperkaya cara ucap dan penggarapan tema dalam puisi Indonesia.

BILA dunia adalah sebuah taman maka pagi dimulai dengan suara sapu petugas kebersihan.

Ia mengumpulkan dan membuang daun-daun yang semalam berguguran. Baginya daun itu adalah sampah. Adalah kotoran yang merusak - setidaknya mengganggu keserasian taman.

Bila dunia sebatang pohon - berbunga atau tidak berbunga - adalah dunia, maka kita adalah selembar daun dari sekian banyak daun yang membuat pohon itu tumbuh. Kita adalah bagian dari sebuah sistem yang saling terkait.

Ada akar, batang, cabang, ranting, pembuluh kayu, pembuluh tapis, kambium, hingga dinding sel dan mitokondria.

Bila kita selembar daun maka suatu hari kita akan terlepas dari tangkai. Melayang jatuh.

Terbaring di rumput. Apa yang selama ini kita pandang dari ketinggian sana itu. Kita selesai.

Kita tak lagi menjadi bagian dari pohon besar itu. Ada ribuan helai daun di sana, yang dulu bersama kita. Ada ratusan tunas dan daun baru.

Sebagai daun kita pasti akan terlepas dari pohon itu. Kita pasti akan melayang jatuh.

Di tanah, di atas rumput, kita bukan bagian dari rumput itu. Kita hanyalah sampah. Kita

kotoran yang punya waktu sejenak saja, menunggu pagi, hingga datang tukang sapu.

Mengumpulkan dan membuang kita.

Orang yang datang ke taman akan tetap

mengagumi pohon tempat kita menjadi bagian kecilnya dulu. Orang akan berteduh dan menikmati rimbun pohon yang berarti adalah rimbun ribuan daun di mana dulu kita adalah bagian daripadanya.

Hei, tapi kita memang selembar daun. Yang tanpa kita, seluruh kita, pohon ranggas dan mati. Tapi kita juga ditumbuhkan oleh daun, yang menumbuhkan cabang dan ranting tempat kita muncul sebagai tunas lalu berkembang menjadi daun, menjadi kita, memberi kita tugas untuk bekerja memanen cahaya matahari, memasak hara dari tanah yang diserap akar agar tumbuh cabang dan tunas lain, dan daun lain, yang segera mengggantikan kita setelah kita melayang jatuh.

Jangan cemas. Kita memang selembar daun.

Anotasi

Selembar Daun

Hasan Aspahani

Donasi langganan Rp25.000 (Rek. 8210278045 BCA a.n Dhiana)

(4)

(Hanya dengan)

Cinta

Donasi langganan Rp25.000 (Rek. 8210278045 BCA a.n Dhiana)

Apresiasi

Dedy Tri Riyadi

(5)

All you need is love All you need is love All you need is love, love Love is all you need

(Love is All You Need, The Beatles)

Donasi langganan Rp25.000 (Rek. 8210278045 BCA a.n Dhiana)

Apresiasi

BEBERAPA hari sebelum mempersiapkan tulisan ini, saya membaca lagi sebuah puisi karya Sapardi Djoko Damono yang berjudul

“Percakapan Malam Hujan” (diberi angka tahun 1973 dan dimuat dalam buku Hujan Bulan Juni), dalam puisi itu ada dua “tokoh” yaitu hujan, yang oleh aku lirik diberi detail pemerian serta perkataan, dan lampu jalan, yang bercakap tentang asal usul hujan lalu bercerita tentang perannya. Khususnya kepada manusia. Saya berpikir bahwa tokoh-tokoh dalam puisi tersebut sebenarnya cara Pak Sapardi menjelaskan ketegangan yang terjadi antara peristiwa yang dialami seorang penyair dengan puisinya. Satu yang membuat saya terhenyak dalam puisi itu adalah pernyataan Sang Lampu Jalan yang mengatakan, “Aku sahabat manusia.

Ia suka terang.” Saya pun merenung, apa yang Pak Sapardi ingin nyatakan sebagai sahabat manusia dan terang itu? Tentu bukan peristiwa biasa. Apakah yang dimaksudkan adalah puisi itu sendiri? Lalu saya ingat, dalam edisi terdahulu, saya pernah menulis bahwa

peristiwa nyata bisa saja langsung dituliskan ke dalam puisi. Namun, puisi ini memberi

pengertian lain, puisi bisa juga peristiwa baru yang diciptakan dari peristiwa yang telah dialami oleh penyairnya. Bisa saja, malam ketika Pak Sapardi menulis puisi ini terjadi hujan. Tetapi, dalam puisi ini diceritakan hujan dan lampu jalan itu bercakap-cakap.

UNTUK meyakinkan pemikiran saya, maka bertanyalah saya kepada Hasan Aspahani yang saya tahu betapa serius ia mengulik puisi-puisi Pak Sapardi hingga dalam awal kepenulisan saya, ia memberi tahu bahwa sangat penting untuk membaca 3 buku pertama Pak Sapardi sebelum menulis puisi.

Sayangnya, sama seperti saya, ia pun ragu memilah apakah hujan atau lampu jalan yang merupakan “peristiwa” dan mana yang dianggap sebagai “puisi” dalam puisi itu.

Mungkin juga dugaan saya sebenarnya yang salah. Bisa jadi keduanya adalah peristiwa nyata yang di dalam puisi itu dijadikan

komponen dalam peristiwa baru. Lalu dengan peristiwa baru itulah, lahirlah puisi itu.

LALU saya mulai membaca satu per satu puisi yang telah dipilih untuk dimuat dalam edisi Agustus ini. Dan saya semakin yakin bahwa sangat bisa jika puisi terjadi dan menjadi peristiwa yang baru dari peristiwa-peristiwa nyata yang dialami oleh penyairnya. Sebutlah puisi berjudul “Bertemu Dahlia” karya

Muhaimin Nurrizqy yang menceritakan percumbuan antara seorang gadis berdarah Arab dan seorang pria asli Indonesia.

Percumbuan dalam puisi itu adalah cita-cita dan kenyataan bahwa kegiatan berpuisi adalah persoalan seorang dengan bahasanya dan itu bersifat universal. Membaca puisi-puisi

Muhaimin ini menarik, karena ia mengingatkan saya pada WS Rendra yang mahir membuat puisi-puisi balada sekaligus pada Joko Pinurbo yang bisa menciptakan gelak pada kegetiran peristiwa dalam puisi itu. Kebaruan semacam ini, hemat saya, memang layak untuk kita baca dan nikmati.

BULAN sama sekali tidak menyimpan dendam, begitu satu larik puisi dari T.S. Eliot yang disisipkan dalam puisi Ghaida Setiana berjudul

“Pertanyaan untuk Semesta” seperti menjadi pedoman dia dalam berkarya, sehingga

dimunculkannya hal-hal faktual yang disimpan dalam pikirannya lalu diledakkan bersama-

(Hanya dengan) Cinta

(6)

Donasi langganan Rp25.000 (Rek. 8210278045 BCA a.n Dhiana)

Apresiasi (Hanya dengan) Cinta

BEDA lagi dengan Diakon Alfredo Saddam Husein Pareto yang biasa dipanggil Saddam HP ini, mengambil tautan dari hal yang paling diakrabi sebagai seorang rohaniawan, yaitu kitab suci. Hasan Aspahani sempat meminta saya secara khusus mencermati puisi

“Penyaliban” yang menurutnya memberi tafsiran lain dan sangat menautkan peristiwa penyaliban itu dengan puisi dan linguistik. Dan memang benar, puisi tersebut sangatlah segar.

Tubuh Kristus disublimasikan ke dalam bahasa dan hal ini sangat alkitabiah karena Kristus dalam pengertian iman kristiani adalah Sang Sabda, Firman. Namun ternyata tidak hanya puisi “Penyaliban” saja yang oleh Saddam HP diambil dari fragmen peristiwa penyaliban Kristus. Mulai dari puisi “Pohon Pengetahuan”

sampai pada puisi “Kapal” adalah puisi-puisi yang disarikan dan diolah dari peristiwa dan pengertian akan penyaliban Kristus.

CINTA Sang Khalik pada manusia ciptaanNya yang luar biasa ini memang tidak bisa

disederhanakan, tetapi juga tidak bisa dibuat rumit dengan memberi aneka catatan bahkan membakukannya ke dalam kekakuan rumus dan kamus. Cinta juga yang menumbuhkan semangat dari para penyair untuk menggeluti puisi. Menciptakan peristwa-peristiwa baru dari pengalaman empiris mereka. Membaca puisi-puisi edisi Agustus ini membuat saya makin mengerti misteri pada puisi Sapardi yang sangat terkenal itu.

Yang telah dinyatakan secara tertulis (Aku ingin mencintaimu…) maupun yang tersirat seperti kata apa yang hendak diucapkan api pada kayu? Isyarat apa yang ingin dibuat oleh awan pada hujan? Jika boleh merumit-

rumitkannya, memang akan timbul aneka tafsiran. Tetapi, jika disederhanakan, itu sama seperti isi alkitab dari Kejadian sampai Wahyu, tak lebih dan tak kurang, yang diutarakan itu adalah cinta.

Jakarta, Juli 2020.

sama di dalam setiap puisinya. Seperti halnya dalam puisi “Seperti Hujan Batu dan Mantan Kekasihku” yang menceritakan diagnosis penyakit akibat terpapar asap rokok yang didapatkan oleh aku-lirik dari mantan

kekasihnya. Puisinya seperti dibentuk sebagai kolase pengalaman diri atau peristiwa-

peristiwa faktual yang (pernah) dialami penyairnya, lengkap dengan segala emosinya.

SATU larik awal puisi Sahaya Santayana berjudul “Membuat Puisi 5” yaitu “selalu kujadikan alam sebagai tatapan” menjelaskan bagaimana caranya puisi dibentuk (olehnya).

Ini seolah mempertegas dugaan bahwa puisi adalah peristiwa baru yang diciptakan dari peristiwa-peristiwa yang dialami oleh

penyairnya. Yang membuat menarik dari puisi- puisi yang ditulis oleh Sahaya Santayana adalah adanya kesan puisi-puisinya sebagai sesuatu yang instruksional (how-to) dan melakukan pendekatan penuh dari aku-lirik. Namun, yang dikesan oleh pembacanya juga sebuah

pemandangan betapa seorang penyair bersusah payah untuk bisa menciptakan satu puisi.

PEMANDANGAN yang serupa tapi tak sama bisa didapat dari puisi-puisi Dody Kristianto, pengalaman diri yang memang tak bakal persis sama dari satu ke lain penyair, merupakan bahan dasar dari pembuatan puisi. Dody Kristianto, dalam berpuisi, mengambil suara orang pertama terhadap orang ketiga (ia), atau orang pertama terhadap orang kedua (kau).

Meski demikian, dalam puisi Genesis Gundala, Dody menulis “Bahkan, kau tak beranjak dari berdirimu.” yang sangat bisa menegaskan bahwa apapun yang ia tulis dan bentuk sebagai peristiwa (baru) dalam puisi-puisinya tak lain dan tak bukan adalah (pengalaman) dirinya sendiri. Dody Kristianto mengambil tautan dengan aneka hal yang ia temukan. Sekadar rambut rasta yang dipotong, cerita bus hantu atau aksi gendam dan begal, sampai film

Gundala, menjadi tautan untuknya merekayasa peristiwa baru itu.

(7)

Donasi langganan Rp25.000 (Rek. 8210278045 BCA a.n Dhiana)

Prosopon

Muhaimin Nurrizqy

Kelihaiannya memainkan unsur tragedi dan komedi dalam puisi-puisi

berbentuk balada seperti menggabungkan puisi- puisi W.S. Rendra dengan puisi-puisi Joko Pinurbo.

Alih-alih memaki keadaan, Muhaimin lebih suka menjadikannya sebagai tokoh-tokoh dalam puisinya. Peristiwa baru diciptakan tetapi tetap menggambarkan

kesuraman atau

ketidakberesan dalam

kenyataan.

Lahir dan besar di Padang. Bergiat di Lab.

Pauh 9. Instagram: @muhaimin.nurrizqy

Lihai Bermain di Antara

Rendra dan

Jokpin

(8)

Muhaimin Nurrizqy

Bertemu Dahlia

Temanku yang seorang Arab membenci nama Latifa.

“Karena terlalu kuno,” katanya.

Maka ia mengganti nama dengan Dahlia.

Kubilang padanya, “Jika kau tinggal di Indonesia, rata-rata yang punya nama Dahlia sudah berumur 100 tahun.”

Ia tertawa sambil menyubit lenganku.

Rasa sakitnya seperti gigitan kuda.

“Di tempatku, Muhaimin

adalah penjaga perpustakaan,” katanya.

Aku tertawa dan menampar bokongnya, bergoyang macam debur ombak

di laut Mediterania.

Lalu kami berbincang tentang rencana nama untuk anak-anak kami nanti.

Aku bilang, “Jika aku punya anak akan kunamakan Katrin atau Robert.”

“Ah, itu terlalu kebarat-baratan!” katanya.

Kukata, “Anjing tetanggaku dulu bernama Robert.

Nama seperti itu tidak begitu asing di telingaku.”

Dahlia tertawa. Diteguk-habisnya anggur merah di gelas itu. Wajahnya mekar. Merah mawar.

Lalu kucium alat ucapnya, kuhisap putik bahasanya.

Kami berguling, saling melintasi

batas negara, menjadi tubuh transnasional, sampai siang atau malam atau sore atau pagi.

Entahlah.

2020

Donasi langganan Rp25.000 (Rek. 8210278045 BCA a.n Dhiana)

(9)

Muhaimin Nurrizqy

Yang Hanyut ke Hilir

Diam-diam Wan Gaca tercirit di tepi bandar yang tidak begitu deras-tidak begitu surut.

Sedikit agak ke bawah,

ibunya sedang mencuci kolor robek ayahnya yang masih bersih.

Cirit yang lebih ke menceret itu hanyut di air yang menjadikannya tidak terlihat.

Di bawahnya lagi Sari, si gadis desa yang kulitnya bengkuang, mandi di dalam jamban spanduk walikota dua periode.

Sari gosok gigi dengan pasta gigi kering sebesar biji semangka.

Di bawahnya sedikit, anak-anak Dengan perut buncit berenang.

Titit mereka menciut sebesar kepala bengkarung.

Agak jauh di bawahnya lagi, Anton Panciang menyurut di semak, melilitkan cacing di kailnya.

Ikan larangan berenang di air yang membuat mereka seperti bukan ikan.

Sebuah mobil ambulan melesat ke hilir. Di belakangnya, mobil polisi Raisa melaju pelan sambil berkata, “Berdiamlah di rumah, virus korona sudah sampai Kuranji.

Jika tidak diindahkan, kami akan bertindak lebih jauh!”

Wan Gaca segera mencebok pantatnya lalu berlari ke ibunya.

“Korona itu apa, Bu?” tanyanya.

Ibunya masih menggosok kolor ayahnya dengan sabun yang tidak menghasilkan busa dan berkata, “Korona itu virus yang membuat gerobak cendol bapakmu disita Satpol PP!”

2020

Donasi langganan Rp25.000 (Rek. 8210278045 BCA a.n Dhiana)

(10)

Muhaimin Nurrizqy

Reka Adegan

Hujan malam menggerebek Eri Kabu.

Terbangun ia dari mimpi yang curiga:

malam ini mati.

Gemericik menitik di paha.

Disurutnya badan ke pintu besi

ruko bangunan tempat ia bekerja yang sudah tidak bekerja lagi.

Dingin menghantam dari sana-sini dari dulu-kini dari luar-dalam dari esok?

Angin malam itu sedang menerbangkan esok ke pori-porinya. Edi Kabu diborgol gigil. Ia step, matanya membelalak ke angkasa raya.

Bulan telah menjadi sepiring nasi rupanya.

Dua atau tiga atau empat orang berpakaian macam-astronot datang.

Menembak dahinya dengan pistol laser: 40 koma sekian derajat celsius. Ia kemudian diangkut ke serupa-roket dengan tandu bergaya futuristik.

langit-

langit putih terbentang. Putih nasi.

“Inikah bulan?”

Disentuhnya bulan-kira-kira-itu.

Diambilnya sejumput.

Disuapkannya ke mulut.

Namun tak terlumat dan memang tak akan.

Sirene meraung- menggema.

Palu

di pengadilan tuhan telah diketuk:

hasilnya positif.

2020

Donasi langganan Rp25.000 (Rek. 8210278045 BCA a.n Dhiana)

(11)

Donasi langganan Rp25.000 (Rek. 8210278045 BCA a.n Dhiana)

Muhaimin Nurrizqy

Pan & Tek

Sehabis magrib Pan berjalan dengan paten ke pos ka-mbeling paling ujung di

tepi sungai. Di sana Tek sudah menunggu dengan tuak suling Gunung Padang.

Sehari sebelum itu mereka berjanji untuk menulis puisi bersama sambil mabuk dan sajak itu akan mereka beri ke Ria, si perawan kampung, yang besok hari berulang tahun ke 18. Bagi puisinya yang disukai Ria dibolehkan kencan dengannya di bawah jembatan yang lebat semak dan bagi yang tidak, harus menjaga agar tidak ada orang mengganggu.

Tetapi ketika Pan tiba lalu mabuk bersama Tek, mereka tidak kunjung menulis barang sekata.

Mereka justru melepas baju, saling tinju, dan berjoged bersama.

Pan & Tek kemudian menghambur ke sungai dangkal itu.

Bermenit kemudian, mayat bayi

hanyut di hadapan mereka dan berkata,

“Aku adalah puisi yang tak kunjung selesai!”

“Siapa yang menulismu?” tanya Pan.

“Puisi cinta atau puisi apakah dirimu?”

tanya Tek.

Namun suatu ke-mungil-an itu didesak bangkai satwa dan tahi manusia.

Pan & Tek tertawa melihat jawab hanyut menjauh dari tanya, mengetahui bahwa hidup ternyata masih begitu juga.

Lalu azan subuh pun ber ku man dang.

2020

(12)

Muhaimin Nurrizqy

Kal & Era

Tiga minggu ini Kal

merasa terjangkit insomnia di kamar kosnya yang kehabisan token listrik.

Cahaya tidak pernah sampai menembus jendelanya yang busuk, dimakan lumut.

Diseruputnya sisa kopi hitam yang lebih hitam. Dengan bantuan sekotak baterai yang berkedip, ia sudahkan

pesan terakhir untuk Era, kekasihnya di seberang pulau. Begini:

Aku disesatkan angin tenang, sayang Ditenggelamkan gelombang kecil

Lunas kapalku hancur digisa ganggang tua Para awakku tenggelam sebelum kapal Akan berlayar

Lupakanlah aku secepat virus-virus Itu membelah dirinya.

Sebab aku dan tubuhku tak kan Mampu lagi bikinmu berkelana Ke pulau jauh, ke samudera Dengan ombak-ombak gila

Maafkan aku, Era, aku mencintaimu Tapi laut tak izinkan kapalku berlabuh Dalam waktu yang semakin menjauh.

Pesan semacam puisi itu dikirimnya melalui pesan WA. Air matanya mengalir ke kening. Air mata yang laju lagi gulita. Di cermin ia melihat sebenar dirinya, tapi dirinya yang sedang berada di kamar, tak kelihatan.

Pak Kos yang seorang RT baru saja selesai menyusun sembako untuk warga dan saku bajunya. Ini hari

terakhir sewa kamar Kal habis.

Pak Kos masuk ke kamar dan Kal masuk ke dalam cermin, dunia tanpa matahari.

Di seberang pulau, Era membaca pesan puisi-kira-kira itu. Ia sudahi pembacaan sampai bait pertama yang membosankan.

Di belakang pantatnya, Asu, pacar barunya, sedang bersiap-siap melepaskan cacing buta yang menggelinjang di kerampangnya ke dalam gua purba yang becek dan gelap dan menyesatkan.

Aduh! Betapa nikmat.

2020

Donasi langganan Rp25.000 (Rek. 8210278045 BCA a.n Dhiana)

(13)

Donasi langganan Rp25.000 (Rek. 8210278045 BCA a.n Dhiana)

Prosopon

Ghaida Setiana

Puisi-puisinya disusun sebagai kolase dari aneka pengalaman hidupnya. Tidak hanya hal-hal yang bersifat faktual, ia juga menyisip dan menyusupkan emosi aku liriknya di sana. Bauran itu menjadikan puisi-puisinya seolah sebuah medan tarik-menarik antara perenungan dan penegasan.

Ghaida Putri Setiana, lahir di Bogor, 26 Januari 1995. Lulusan Apoteker Universitas Padjadjaran, saat ini bekerja sebagai konsultan di bidang kesehatan. Sebagai pengagum sastra, menulis adalah obat jiwanya. Di samping itu juga sangat memuja fotografi, langit, dan petualangan.

Yang Bermain di Medan

Permenungan

dan Penegasan

(14)

Ghaida Setiana

Misteri Buntu Poirot dan Marple

Kiranya begini

Menjadi sukses dengan jutaan buku laris manis Menjadi kaya raya dan berlibur ke ujung dunia Berbagai belasan tahun dengan orang yang sama Tak mampu membuatmu tinggal

Aku hendak meminta bantuan pada Poirot dan Marple Untuk menyelidiki kemana hilangnya rasamu

Tapi mereka pun buntu

Karena penciptanya saja tidak tahu Aku tidak yakin

Apakah ia tertinggal di Australia atau Kanada?

Apakah ia dibunuh dokter, hakim, atau 12 orang di dalam kereta?

Aku menulis beribu mister

Tapi hilang arah untuk persoalan ini Malam ini kuputuskan hilang

Masuk ke dalam salah satu plot di bukuku Menjelma menjadi seorang wanita

Yang diam-diam membahagiakanmu

Donasi langganan Rp25.000 (Rek. 8210278045 BCA a.n Dhiana)

Ghaida Setiana

Sajak Kopi

Aku tidak ingin larut

Sisakan aku hingga menjadi ampas

Yang mengendap di bawah cangkir kopimu

Tapi kamu terus-menerus menyeduhku sepanjang malam

Ghaida Setiana

Mode Pesawat

Sila hirup kopi pagi sampai jadi sepah Santap makan malam berupa kisah Ambil kue mangkuk dan mimpi indah Mari kita kirimkan pada ayah

Doa-doa malam kita

Dan imaji liar yang menyertainya Tuhan tahu aku sudah mencoba Kau tak terjangkau di angkasa

(15)

Ghaida Setiana

Seperti Hujan Batu dan Mantan Kekasihku

Aku tidak yakin pada kodein, apa yang harus aku minum Mampukah itu memadamkan asap di paruku

Karena batuk ini merajang bagai hujan batu Katanya ia berterima kasih

Pada mantan kekasihku

Yang sudah membagi asap rokoknya

Juga pada polusi yang menaungi merangseki padatnya kota Jika gempa bumi, demam tinggi, dan sakit hati

Mampu mendekatkanku padaMu

Mungkin ini cara lain yang Kau pilih untukku

Dan saat dokter berkata, “Syukurlah, bukan tumor ganas.”

Bukankah justru Kau semakin dekat?

Karena makin banyak syukur kuucap

Dan pujian-pujian untukMu mengecap semakin acap Memenuhi paruku yang kini tak lagi pengap

Ghaida Setiana

Di Suatu Atap Gedung Jatinangor

Kamu serupa cuaca di Jatinangor hari ini

Panas menghangatkan, terbang menyengat kulit pucatmu Seketika gerimis menghujani mata teduhmu

Kamu selalu mengaguminya dengan rambut tergerai, sedikit kusut Tidakkah kamu sadar bahwa kamu dikelilingi gegunungan?

Yang jauh kabur berkabut

Yang dekat menyimpan kenangan Kini kamu tidak perlu kaget

Jika menemukanku diam di pikiranmu Aku hanya akan duduk di pojokan Membuka satu per satu lembar kisahku

Yang mungkin suatu saat akan kubagi denganmu Di atas kepala Jatinangor

Bersimpuh dalam malam dan angin yang mendinginkan hati kita

Donasi langganan Rp25.000 (Rek. 8210278045 BCA a.n Dhiana)

(16)

Ghaida Setiana

Pertanyaan untuk Semesta

Kepada langit nilaku saat matahari terbit

Kepada kicauan burung dan awan putih yang cantik Kepada hujan di petang hari dan lembayung sesudahnya Kepada langit malamku, mengabu selimuti bulan sabit Kepada gemerincing rasi bintang orion

Kepada gunung kesepian dan angin yang meninggalkannya Kepada lampu-lampu kota yang diisi kisah sederhana Kepada, gerhana bulan. Purnama merah sempurna.

La lune ne garde aucune rancune*

Di mana jiwaku?

Apakah ia berkeliaran memasuki dimensimu?

Di mana jiwaku?

*Eliot, T.S. (1940). The Waste Land and Other Poems. London: Faber and Faber.

Ghaida Setiana

Puisi-Puisi Hilang

Untuk puisi-puisi hilang

Yang aku gumamkan sambil begadang Yang aku coret di meja kelas sewaktu bosan Yang aku telan bersama angkringan

Untuk puisi-puisi hilang Yang terbang dimakan ilalang

Yang dingin meninggalkan mataku lebam Yang terjebak bersama pangeran malam Untuk puisi-puisi hilang

Yang dilahap waktu menjadi biang Yang membusuk di kotak pos ujung jalan Yang dibawa tetangga dari koran perkotaan Untuk puisi-puisi hilang,

Kusayang.

Donasi langganan Rp25.000 (Rek. 8210278045 BCA a.n Dhiana)

(17)

Donasi langganan Rp25.000 (Rek. 8210278045 BCA a.n Dhiana)

Sahaya Santayana Prosopon

Pendekatan penuh aku-lirik dan puisi-puisi yang

menggambarkan pergulatan hidup dalam berkarya memberikan gambaran pada pembaca bahwa hanya karena kecintaan ada orang yang mau bersusah payah melahirkan puisi-puisi.

Lahir di Pontianak, Kalimantan Barat, 12 Desember 1995. Menulis sejak Tahun 2014 di SST (Sanggar Sastra Tasik). Bekerja sebagai Wartawan di Redaksi

gemamitra.com Tasikmalaya, di samping itu juga aktif melakukan kegiatan Satu Jam Sastra di Alun- alun Kota Tasikmalaya. Karyanya pernah dimuat Di H.U Kabar Priangan 2017, Radar Tasikmalaya 2017, H.U Rakyat Sultra 2018, Kuluwung.com 2018, Koran Merapi 2019, Magelang Ekspress 2019, Solopos 2019, Radar Banyuwangi 2019, sastra-indonesia.com 2019, tembi.net 2019, Radar Bekasi 2019, travesia.co.id 2019, kataberita.id 2020, Riau Pos 2020, Redaksi Puisipedia 2020. Sekarang menetap di Kota Tasikmalaya.

Pembuktian Cinta pada Puisi

(18)

Sahaya Santayana

Membuat Puisi 1

aku mendatangi dengan seadanya kata-kata semenjak awal dari melihat akan yang lewat mengeja lapang yang sebenar-benarnya menjadi menyetubuh saksi sampai dalam-kedalaman hati kuutarakan kemurnian yang melekat

setelah atas kesalahan yang diperbuat bersama gelisah yang sering ditemui kalimat dari balik punggung dan jalanku

pelan-pelan merupakan cara merenungi sabar percakapan yang tak diketahui tetapi kuratapi serupa memandang langit yang silih berganti sesuatu yang tumpah ketika mengalami kedekatan berulangkali menimba panorama pemikiran waktu yang bertali penuh menimbang gurat kesunyianmu Tasikmalaya, 2020.

Sahaya Santayana

Membuat Puisi 2

kuberanikan diri merenangi dan menyelami dalamnya samudra maknamu tanpa dasar setelah kuajukan diri untuk ditutur kembali

membawa wasiatmu yang dilanjut dari usia ke usia pada tubuhku yang belum matang

kerendahan hati menanam di palung hati walau selalu diterjang ombak tanpa kesalahan yang membuat harap untuk membaca dan ajarkan berawal kearifan yang terpancang menempa aku menjangkau kedekatan sebelum kejauhan

memandang bentuk-bentuk yang khusyuk kuartikan dari singgah ke singgah aku rekamkan

supaya membenak bekal ketika engkau tiada di mana niat mana mungkin ikrar diingkari Tasikmalaya, 2020.

Donasi langganan Rp25.000 (Rek. 8210278045 BCA a.n Dhiana)

(19)

Sahaya Santayana

Membuat Puisi 4

aku tak bisa melepaskan kebiasaan seperti pagi dan malam yang selalu hadir hingga kini pikiranku mengasah-asah kalimat setiap haripun kegelisahan membangun kalbu yang terkadang buntu ingin apa dituliskan

pada tanganku yang jeda sambil mengawang-awang bersama asap rokok melayang lalu menghilang dihilangkan kesunyian dan kekosongan

belakang layar adalah ranah yang diam

di antara gebu dan benturku merenung padamu untuk disaji sedemikian kehati-hatianku

di sini aku menjadi penuh bela menumpahkanmu walau apapun menerjang seperti ombak dalam badaimu yang tak pernah kubuang apalagi lekang

Tasikmalaya, 2020.

Sahaya Santayana

Membuat Puisi 5

selalu kujadikan alam sebagai tatapan lalu menyatukannya dalam benak murni yang telah diturunkan lama hari-hari tak henti beri sumbang pada tulisan

menatap panorama membuatku makin ratap akan karya yang diendapkan bersama kesabaran di mana pepohonan dan dedaunan dirawat hujan menyerap nasihat yang mengakar di kesementaraan rumput-rumput tumbuh dari kedalamanmu

terhampar seperti shaf yang menegakkan rindu diembus restu napas bijak imam-imam angin sungai-sungai bercabang adalah penuntun dalam hati yang punya banyak pintu juga kunci yang terselip di antara deras dalam dan batu-batu Tasikmalaya, 2020.

Donasi langganan Rp25.000 (Rek. 8210278045 BCA a.n Dhiana)

(20)

Sahaya Santayana

Membuat Puisi 7

terkadang aku menemukan kebuntuan pada penjelajahan yang dijelajahi jalan kepergian yang tak diniatkan bahkan dipikirkan menjelang dituliskan berkali-kali kukitari suasana yang curam di kepala melulu membentur tebing batin dicekam tepi jurang kalimat yang tak selesai diburu dalam lapis badanku lembaran hari kupungut apapun kecemasan di kamar ini menutur segala sembunyi sebelum kepulangan yang membentuk aku dari pemberianmu tapi menghadapnya dengan laku perlahan walau hidup berkejaran bersama letihku menjejak di tiap kupasan-kupasan kulitku Tasikmalaya, 2020.

Sahaya Santayana

Membuat Puisi 8

kusisir rambutku yang hitam segarisnya jatuh ke lantai

kutatap bagai coretan yang dirangkai saat berhadapan pada satu perenungan mengguratkan malam yang lebat hingga kebingungan memilah-milih mana yang ingin dipilih untuk selanjut kehidupan yang tak mungkin dikembali kelam tak berteman adalah kesepianku yang selalu dibelah jalan-jalan bersimpang membuat hati terjadi ragu dan memberat menyuratkanmu dalam diam aku kenangkan namamu mengendap di tiap detak kata-kata di sudut alir nadi yang tegak menyambung Tasikmalaya, 2020.

Donasi langganan Rp25.000 (Rek. 8210278045 BCA a.n Dhiana)

(21)

Donasi langganan Rp25.000 (Rek. 8210278045 BCA a.n Dhiana)

Prosopon

Dody Kristianto

Ia mahir menyangkutpautkan segala sesuatu untuk dijadikan sebagai puisi. Dari soal sehat berdiet sampai hal yang sifatnya klenik seperti gendam dan mistik bus hantu, lihai betul ia olah. Ia seperti petarung yang siap berkelit, siap menyerang, dengan senjata apapun.

Dody Kristianto, lahir di Surabaya, Jawa Timur dan bekerja di Serang, Banten. Saat ini bergiat bersama Komunitas Kabe Gulbeg.

Petarung

yang Lihai

(22)

Dody Kristianto

Kaidah Diet Ketat

Kau diusir oleh perjamuan ini sebab harus kau tetak segera raksasa bersarang dalam rimba raya diri.

Adab ini bakal menghalaumu dari semua kenikmatan.

Yang di depanmu andaikanlah hampa belaka.

Sebab bila kau kalah oleh lipuran pandang, anasir suram menyerang diam-diam merambah tubuh, merambani peraluranmu, mengunci liku lenggak gerikmu.

Bukankah perutmu disawang kian membubung, melambung.

Bukankah kau pantang terpikat gelagat loba yang tak puas meski gunung membentang telah tertelan.

Tenangkan nafsumu.

Ikat hasrat menggelegakmu.

Tekan simpul-simpul laparmu.

Susu murni biar umpama nanah yang jijik di kerongkongan.

Pun aroma rempah menguar dari gulai dan kari tak lebih kebohongan di meja makan.

(2019)

Donasi langganan Rp25.000 (Rek. 8210278045 BCA a.n Dhiana)

(23)

Dody Kristianto

Bus Hantu

Kau jiwa ngambang yang dirundung gelombang panjang kelinglungan.

Aku pengantarmu. Umpama kereta tak ternama dan tiba tanpa diharapkan.

Kujumput kau di halte kemalangan ini.

Resapi tualang paling gelap. Malam batas hidup dan mati ditentukan. Kau tak tahu kapan waktu menghantar hingga tujuan.

Kupasang pula mereka yang hening sebagai karib senasib. Muka bisu, mata kosong menyawang, lidah kelu yang tak niat mengucap kata. Antara rerimbun belantara semesta, sepanjang jalan gulita

tanpa ujung, tegarlah kau menata debar. Kencangkan degup. Jaga

kegentaran biar tetap gemetar di pucuknya.

Sebab setiap inci, bidang, pun hamparan

yang kita lalui sesungguhnya hampa-sementara.

(2019)

Donasi langganan Rp25.000 (Rek. 8210278045 BCA a.n Dhiana)

(24)

Dody Kristianto

Gendam

Kupraktikkan ilmu kebajikan untuk menguras

yang kau simpan pun kau sembunyikan. Berpindahlah, berpindah dengan adab dan perilaku tak macam-macam sebab alangkah memalukan bergelut lagi bergulat demi remah tak seberapa yang terpencil di sunyi senyap kantung.

Perangai ini bukan tentang ancang-ancang mengudar kerapatan gembok lalu memamerkan segala gaman tajam pada siapa saja yang berlintas tapi kebetulan sedang menjemput nasib naas.

Ilmu ini jelas membuka remang hatimu yang lagi kalut. Lalu kualihkan pada kabut pandang mataku, mata yang terpampang sebagai kaum budiman yang menawarkan kebijaksanaan.

Dengan kesantunan, tidak akan terumbar teror serampangan.

Sebab yang kuminta pasti beralih sukarela, dengan sepenuh hati yang tak terperi. Tingkahmu cukup pasrah dan tak membantah pinta yang kau dengar laksana sabda-sabda dari kitab agama.

(2019)

Donasi langganan Rp25.000 (Rek. 8210278045 BCA a.n Dhiana)

(25)

Dody Kristianto

Begal

Lebih baik bagi mereka merambah teritori asing. Yang sepi pindaian, yang ditampik pandangan mata awam. Mereka dayakan pula keberanian karena nama mereka telah hablur

dalam malam, tubuh mereka luput dari percakapan.

Bila telah tiba yang dinantikan, mereka kumpulkan kesaktian yang tampak dari senjata di genggaman.

Tak harus mandraguna atau mujarab. Yang utama sanggup memeri ngeri pada mata mangsa pun berdaya menata koyak di badan pelawat yang melawan.

Mereka sabar menunggu pelalang bernasib naas terperangkap di pertengahan kelam. Mereka siap siaga mengenakan segala perangkat keseraman.

Bila sayang pada nyawa harta serahkan. Bila pegang erat harta, kami rubuhkan, kami hempas seketika, lalu kami kuras segala di badan, dan kami tinggal laiknya ampas tak guna.

Walau mereka simpan pula syak wasangka tak enak.

Rasa waswas yang tak mungkin dipamerkan. Bilamana yang bertandang benar jawara nyasar yang tak sudi riwayatnya diujar sembarangan oleh begundal tengik sebangsa mereka.

(2019)

Donasi langganan Rp25.000 (Rek. 8210278045 BCA a.n Dhiana)

(26)

Dody Kristianto

Memangkas Rambut Rasta

Sabar benar kukaji kelebatan rambutmu. Tiada mampu kutiti seberapa sering kutu berloncatan membangun koloni baru. Sementara di belakang, kerungsingan pasien antre tak terampunkan. Pertanda rasa ruwet ini harus diatasi. Kukumpulkan keberanian, kubarakan tekad, kusigi satu per satu celah yang bisa diterabas dengan gunting maupun pemangkas yang lain.

Kusibak rimba raya di atas kepalamu yang mahaluas.

Jazirah afro ini bakal kukupak pelan, dengan mengukur ke mana bakal mengarah parit di kepala. Jemari selaras dengan gunting, dengan tempo sedang, kadang lambat, kadang dipercepat. Gugur satu demi satu sulur rambutmu.

Lamat-lamat, kudaras syahdu bentuk kepala. Kuukir dengan sabar ornamen baru. Kembalilah bentuk lebat ini pada hakikat kepolosan, pola-pola tribal minimalis. Biar tak timbul nyali debu jalanan bersarang di semesta kriwul ini. Kusederhanakan lagi gaya tak beraturan di atas kepala.

Biar peporimu tak merana. Pun sinar matahari lanyah merambah tiap mili kulit yang tak pernah lepas dari gerah.

(2019)

Donasi langganan Rp25.000 (Rek. 8210278045 BCA a.n Dhiana)

(27)

Dody Kristianto

Genesis Gundala

Katakan, kau sebenarnya tak minta keajaiban itu datang, sebab kau pasrah bila tubuh bubrah oleh dera samsara.

Tapi terberkahi penyerahanmu karena seranai kilat gemar nyasar dan menghantar daya lain yang tak terdaras amatan.

Tersambar dan tertampar badanmu oleh kengerian yang tak menyigar. Terima dengan lapang dada sakit yang menyapa sebab akan menjelma sempurna sebagai kebajikan yang menubuh selamanya.

Kilat datang serupa gerak berarak ratu adil yang gerah menyigi segala perihal timpang. Dan mengejawantah sel-selmu ke alam tak biasa.

Dari anasir teremeh, darah menanjak menghimpun serpih tubuh hingga daya paling maksimal. Kudus perlawananmu sebagai revolusi yang menetak tingkah kaum lalim.

Langgammu kucatat tak terperi mata biasa,

pun kilatan kian karib memberi tenaga pada pukul dan tendang yang lebih ampuh dari sekadar teluh.

Tak terpeta satu cela gerak meski radar penyergap sudah siaga.

Bahkan, kau tak beranjak dari berdirimu. Tak gentar sedetik pun meski saling berhadap dengan kerumunan dari planet lain, pun pelalang astral yang bergeliat dengan perangai kaum kolonial.

(2019)

Donasi langganan Rp25.000 (Rek. 8210278045 BCA a.n Dhiana)

(28)

Donasi langganan Rp25.000 (Rek. 8210278045 BCA a.n Dhiana)

Saddam HP Prosopon

Kesegaran penafsiran dan simbolisasi memecah kekakuan dalam

menggunakan imaji-imaji biblika berhasil

meruntuhkan batas antara puisi religi dan puisi cinta.

Saddam HP dengan penuh kesadaran memberi bobot yang berat karena memang perkara cinta itu tidak pernah sepele.

Si Peruntuh Batas

Lahir di Kupang, NTT, 21 Mei 1991. Ia aktif di Komunitas Sastra Dusun Flobamora. Buku puisi perdananya berjudul Komuni (2019). Puisi-puisinya dimuat di Majalah Sastra Majas, Kompas, Koran Tempo, Bali Post, Jurnal Sastra Filokalia, Jurnal Sastra Santarang, dan basabasi.co. Terjemahan puisi

Vergilius yang dikerjakan bersama Mario F. Lawi adalah Ecloga I (2019). Ia adalah salah satu emerging writers di Makassar International Writers Festival (MIWF) 2014. Cerpen dan puisinya tergabung dalam antologi Dari Timur 2 (2018) dan Dari Timur 3 (2019), kumpulan tulisan pilihan MIWF.

(29)

Saddam HP

Buah Iblis

Kau sangka

setelah gigitan pertama tubuhmu akan selentur karet berayun dari dahan ke dahan terlontar dari Pison ke Gihon tempias ke luar taman

dan kembali lagi dekat pohon?

Kau kira

setelah kunyahan itu kau akan jadi api abadi

nyala lewat telunjuk dan mulut melingkari tepi pohon dengan benteng dan perisai api menghanguskan sisi kiri itu yang penuh dengan ilalang?

Bukan karet ia atau api abadi, ia merah tapi bukan semangka, memabukkan tapi bukan anggur mengkal tapi juga bukan apel.

Ia tidak menerbitkan liur kecuali oleh rayuan.

Tiada ia tertebak persis seperti cecabang lidah ular memperdayamu.

Kau tak tahu

setelah gigitan pertama, kunyahan itu

tertelan,

sekali kau jatuh

ke hilir keempat sungai tiada bisa kau renang lagi kembali ke Taman

melalui setapak tempat kau belajar mengenal dosa.

Lasiana, 2020

Donasi langganan Rp25.000 (Rek. 8210278045 BCA a.n Dhiana)

(30)

Saddam HP

Paku

Ia yang memegang palu

Melihat segalanya sebagai paku Termasuk cinta yang mengeras Di sepanjang lintas waktu Sebagai siksa yang runcing Bagi tubuh yang terbaring Di puncak bukit itu

Palu menari-nari sepanjang salib Dihantamnya paku satu demi satu Luka-luka di telapak dikoyaknya Agar tepat di lubang kayu

Hingga segala cinta tenang bersemayam Di telapak dan kaki itu

Tapi ia alpa pada diri sendiri Yang sebelum memalu paku Di tubuh yang tercinta itu Harus lebih dahulu memaku Tobat dan sesal yang memadat Pada segala lubang nista dan dosa Di sekujur tubuhnya

Lasiana, 2020

Donasi langganan Rp25.000 (Rek. 8210278045 BCA a.n Dhiana)

Saddam HP

Pohon Pengetahuan

Tahukah ia kelak dari dahan yang dipatahkan Bunda Hawa, Tumbuh batang salib yang subur untuk menebus keliru Buah khuldi yang tercuri?

Lasiana, 2020

(31)

Saddam HP

Penyaliban

Tubuh sabda sekarat di salib bahasa Ia tanggung semua dosa dan salah ketik Serta semua ejaan yang tak sempurna Dari daerah yang belum dijamah pedoman Di pucuk sengsara itu prajurit turut Memaku catatan kaki yang rinci Ditulis dengan tangan kiri penguasa

Bagi orang yang belum paham makna derita Tapi ia yakin menukar nyawa demi cinta Tak bisa disederhanakan dalam perkamen Dan diwartakan dengan kalimat penjelas Oleh para nabi, sebelum ia sendiri

Menerjemahkan bait-bait kehidupan Ke dalam puisi kematian yang abadi Bila tak juga dimengerti oleh penutur Telah siap ia pecahkan diri sendiri Menjadi suku-suku kata dan lema Termuat dalam kamus-kamus suci Untuk mencari arti hidup yang asing Lasiana, 2020

Donasi langganan Rp25.000 (Rek. 8210278045 BCA a.n Dhiana)

(32)

Saddam HP

Sketsa Suatu Senja

1/

Siulan angin puncak pun di pinggang bukit itu Berkisah kepada batu-batu tentang tetes Darah yang menguarkan harum mawar 2/

Sementara terpisah dari sekelompok gagak utara, Ia hinggap di bubungan karang, pori-pori dunia Telah menumbuhkan batang salib ke arah langit 3/

Mulut salib dikunci paku di empat mata angin Bertukar rahasia dengan tanah yang dipijaki Dalam percakapan yang diam dan bijak 4/

Ada gagak sepi mencari jejaknya di kulit bumi Tempias tanah dari sayapnya terentang umpama Salib, di balik kepak ia sembunyi air mata

5/

Pipi batu merona dikecup bibir angin yang samar Menyisakan cerita panjang tentang debu-debu Dan aroma luka bagaikan wangi anggur Lasiana, 2020

Donasi langganan Rp25.000 (Rek. 8210278045 BCA a.n Dhiana)

(33)

Donasi langganan Rp25.000 (Rek. 8210278045 BCA a.n Dhiana)

Saddam HP

“Aku Haus”

Kalimat kelima menuju penghabisan Ia sabdakan dengan ludah yang basi Di mulut bercampur amis darah Dan asin keringat.

Pekik hari itu begitu parau bagai panas Kemarau membakar kerongkongan Meredam bunyi suaranya hingga Yang keluar hampir seperti desis.

Kembali ke tiga tahun yang lalu Tak semua orang mengingat Ia pernah tampil begitu gagah Mengubah air dalam bejana kana Semanis anggur tua di pesta itu.

Telah ia dengar suara ibunya yang harum Seperti aroma surga mengetuk-ngetuk Pintu masa mudanya memohon

Sebuah mukjizat untuk pertama kali.

Tetapi, kali ini bukan pesta, Ibu.

Kini ia merasa gurun telah pindah ke leher, Sementara dahaga orang banyak di bibir bukit Serupa dosa-dosa yang diunjukkan ke lidahnya Tak lebih asam dari cuka.

Maka usai kalimat pendek ketujuh disabdakan Ia biarkan dirinya menjadi anggur

Diperas sampai ampas.

Lasiana, 2020

(34)

Saddam HP

Kapal

Berlayar ke samudera, kapal karam Di atas karang seperti kaki yang kiri Dan yang kanan ditancapi satu paku.

Orang-orang berdiri di pesisir, sebagian Menangis sebagian mengejek. “Ia bilang Ia diutus dari sebuah pulau di surga. Tapi Ia datang hanya untuk tenggelam.” Lupa Adalah kutukan bagi kenangan. Karang itu Tercipta dari tulang rusuk mereka, dari debu Dosa mereka. Air mata tiada bisa menambal Lubang kayu, air laut menampung tangis langit Biru, dan tenggelam tinggal menunggu waktu.

Kapal itu pernah singgah di pelabuhan hati mereka, –yang mengasihinya pun yang tidak–membawa

Obat-obatan dan rerempah dari timur, ilmu dan agama.

Di sisi pulau yang lain, menyangkanya sebagai Milik perompak, meriam dan lembing menanti Perintah sang kapten; mempercepat kematian atau Menikmatinya lebih lama. Pukul tiga kerak karang digilas Kaki-kaki berpaku, lambung kapal dikoyak tombak bengis, Ia pun sudi membenamkan diri seperti saat ia dibaptis.

Lasiana, 2020

Donasi langganan Rp25.000 (Rek. 8210278045 BCA a.n Dhiana)

(35)

Hasan Aspahani

(36)

Donasi langganan Rp25.000 (Rek. 8210278045 BCA a.n Dhiana)

Esai

PUISI modern kita masih sangat muda. Sejarah puisi Indonesia dibandingkan banyak negara lain

bukanlah linimasa dengan bentangan yang panjang, pun terputus-putus, juga kosong dan bolong dalam beberapa periode.

Ketika Muhammad Yamin memulai puisi modern Indonesia dengan menulis soneta, pada 1920, dia mengadopsi bentuk yang diinisiasi oleh penyair Italia Giacomo da Lentini pada abad ke-13. Ketika Amir Hamzah menerjemahkan Tagore pada tahun 1930-an, sastrawan India itu telah menjadi noneropa pertama yang mendapat Nobel Sastra.

Masa hidup Hamzah Fansuri di abad ke-16 memang beririsan beberapa tahun dengan Shakespeare, tapi ada abad-abad kosong antara Fansuri dengan pembaharu terdekat berikutnya Abdullah bin Abdulkadir Munsyi di akhir abad ke-18, juga Raja Ali Haji di awal abad-19.

Dan sementara karya Shakespeare mendunia bersama mengglobalnya bahasa Inggris, syair-syair Fansuri yang membuktikan kemampuan dan

menjadikan bahasa Melayu sebagai prototipe bahasa estetis itu beratus tahun terlupakan.

William Marsden (1754 – 1836) dalam perjalanannya menjelajah Sumatera terpesona melihat dan mendengar orang berpantun dan menyebutnya sebagai sajak liris melayu. Ia pun menjadi orang pertama yang memperkenalkan pantun ke Eropa dengan menerjemahkan “Pantun Kupu-kupu Terbang Melintang” pada 1812. Pantun, bersama haiku, dan sajak klasik Cina menginspirasi sajak imajis di Inggris, 1914.

Sementara puisi Indonesia mengabaikan pantun itu apa sebenarnya bisa menjadi akar puisi Indonesia, Kita justru menganggapnya sebagai sastra lama yang padanya harus ditarik garis pemisah yang tegas. Padahal diakui oleh Sanusi Pane pantun punya estetika yang sebenarnya punya kemiripan dengan soneta itu, apa yang mereka adaptasi sebagai bentuk pembaharu.

Hasif Amini mengatakan bahwa perjalanan perpuisian Indonesia sejak abad ke-20, sejak ia mencoba lepas dari tradisi lisan, sesungguhnya tak pernah benar-benar bergerak sebagai sebuah disiplin yang membina dasar-dasarnya sendiri secara kukuh. Ia menuliskan itu dalam buku "Puisi Tak Pernah Pergi" (Kompas, 2003). kumpulan sajak-

Kenapa Kita Mencintai Sapardi?

Maka begitulah para penyair Indonesia - mereka yang menulis puisi dalam bahas Indonesia - bekerja:

tanpa dasar yang kukuh. Chairil Anwar yang kita akui sebagai sosok yang meletakkan batu terakhir pekerjaan memodernkan puisi Indonesia, juga penyair sebelum dan sesudahnya, bekerja dengan gairah dan bakat, maupun kenaifan, dan kadang dengan kesemberonoan menafsirkan licensia poetica, masing-masing penyair.

"Puisi menjadi semacam lahan bebas (bahkan liar) yang tak menyediakan perangkat khusus yang jelas dan memadai menyangkut penciptaannya," kata Hasif.

Situasi yang digambarkan Hasif itu akurat. Tapi upaya upaya untuk menghadirkan "disiplin untuk membina dasar secara kukuh" itu bukannya tak ada.

Banyak sekali esai-esai bernas yang apabila

disistematisasi bisa menjadi bahan untuk membina dasar yang kukuh itu. Chairil menulis banyak artikel juga naskah pidato tentang puisi yang cemerlang.

Abdulhadi WM pernah menulis soal sejarah sajak imajis dengan jelas dan bagaimana pengaruhnya di Indonesia. Hartojo Andangdjaja memulis tentang haiku tidak hanya membahas soal fisik berapa suku kata tiap larik tapi yang jauh lebih penting adalah estetika isinya. Esai-esai Sutardji Calzoum Bachri dan Goenawan Mohamad, juga Subagio

Sastrowardoyo, adalah sumber sejarah

perkembangan pemikiran puisi indonesia yang bisa saling melengkapi tapi belum kita baca secara utuh.

Ya, itulah persoalannya bahan-bahan bagus itu seakan terkubur, terlupakan. Sirkulasi hasil pemikiran dan pengetahuan kita memang tak lancar. Mungkin mampat. Apalagi untuk hal-hal yang tak primer seperti puisi ini.

Dalam kerangka argumen seperti itulah kami ingin mengetengahkan sosok Sapardi Djoko Damono yang baru saja meninggalkan kita, menyelesaikan

tugasnya ikut mengambil peran mengembangkan puisi Indonesia. Dan dia mengambil dan

mengerjakan peran yang penting. Pekerjaan yang tidak selalu mudah, tapi ia bertahan dengan keras kepala. Itulah sebabnya kenapa kita harus berterima kasih dan mencintai dia. Kita sekarang, dan nanti, hingga kelak ratusan tahun lagi, menikmati hasil kerjanya. Sapardi menyumbang banyak bahan, juga menata bahan itu, untuk membina dasar puisi Indonesia secara kukuh.

KEBEBASAN MENCIPTA. Sapardi adalah sastrawan

(37)

Donasi langganan Rp25.000 (Rek. 8210278045 BCA a.n Dhiana)

Esai

merasakan refresi akibat dukungan itu. Pada tahun 1969, tepatnya tanggal 6 November di Taman Ismail Marzuki, Sapardi berceramah dengan sebuah tema besar "Puisi Indonesia Mutakhir: Beberapa Catatan".

Yang ia soroti mula-mula adalah kebebasan mencipta yang telah kembali, setelah ketegangan dan bahkan pemberangusan apa-apa saja yang kontrarevolusi, termasuk puisi. "Meskipun saya menyadari," kata Sapardi, "belum sepenuhnya kebebasan itu kita miliki". Aktivitas Sapardi sepanjang hidupnya adalah catatan bagaimana ia ikut menjaga kebebasan mencipta itu. Ia terlibat banyak kegiatan menggelorakan penciptaan sastra itu.

KEMURNIAN PUISI. Saat berceramah itu, Sapardi diam-diam menyiapkan buku puisinya yang pertama,

"DukaMu Abadi". Dengan sedikit drama, Jeihan telat sampai membawa buku yang dicetak di Bandung, buku itu dijadikan contoh bagaimana kebebasan itu dirayakan. Sapardi memilih sajak-sajak imajis-liris ketimbang ratusan sajak berbagai bentuk dan tema yang telah ia tulis setakat tahun itu. Ia memilih puisi yang lebih dekat ke puisi murni. Dan ia, seperti dikatakan Goenawan Mohamad, menautkan kembali puisi Indonesia pada lirik pada saat yang tepat, seperti Amir Hamzah sebelumnya dengan "Nyanyi Sunyi".

Dan dia bertahan dengan keras kepala pada pilihan itu. Ini buka semata pilihan pribadi, tapi Sapardi seperti sedang meletakkan penunjuk arah utara dalam peta puisi Indonesia. Sajaknya menjadi pijakan dasar bagi penyair yang kemudian untuk berkembang dan mengembangkan puisi Indonesia.

HARGA DAN KEKUATAN KATA. Chairil ingin mengggali-korek tiap kata sedalamnya, hingga ke intinya (kartu pos kepada Jassin, 1944), juga mengutuki penyair yang mendurhaka pada kata, mengingatkan bahwa kata adalah Kebenaran, dan tak membudak pada dua majikan (Hoopla, 1945). Chairil mewujudkan tekadnya itu dalam puisi-puisinya. Lalu bertahun-tahun pernyataan itu terabaikan, kata kembali didurhakai. Pada tahun 1969, Sapardi mengingatkan lagi, dengan lantang: kata adalah segalanya dalam puisi. Kata-kata tidak sekadar berperan sebagai alat yang menghubungkan pembaca dengan ide penyair, seperti peran kata-kata dalam bahasa sehari-hari dan prosa umumnya, tapi sekaligus sebagai pendukung imaji dan penghubung pembaca dengan intuisi penyair. Kata, ide, imaji, intuisi. Tapi siapa yang mengingat pernyataan itu setelahnya? Atau hari ini? Padahal Sapardi tidak bicara tentang

sajaknya. Ia bicara tentang puisi Indonesia yang

Kenapa Kita Mencintai Sapardi?

Kata adalah segalanya dalam puisi. Kata-kata tidak sekadar berperan

sebagai alat yang menghubungkan pembaca dengan ide penyair, seperti peran kata-kata dalam bahasa

sehari-hari dan prosa umumnya, tapi sekaligus sebagai pendukung imaji

dan penghubung pembaca dengan intuisi

penyair.

Referensi

Dokumen terkait

[r]

[r]

[r]

[r]

Objek penilaian properti ini meliputi sebidang tanah kosong dengan luas 11.087 meter persegi yang berlokasi di Jalan KH Mas Mansyur RT.. 016/008, Kelurahan Karet Tengsin,

Direktorat Riset dan Pengabdian Masyarakat Universitas Indonesia (DRPM UI), dalam hal ini subdit PPM sebagai unit pelaksana manajemen bertugas untuk memfasilitasi

Tuhan YME yang telah memberikan karunia-Nya kepada penulis, sehingga dapat menyelesaikan penyusunan skripsi yang beijudul “PENGARUH BIMBINGAN ORANG TUA TERHADAP INTENSITAS

Sesuai dengan aturan liturgi (PUMR 105b), komentator bertugas memberikan penjelasan dan petunjuk singkat kepada umat yang hadir, supaya mereka lebih siap merayakan