• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENYERAPAN DANA 60%, BUKU HARIAN DAN PROGRES PENELITIAN. Klaster Penelitian Pembinaan Peningkatan Kapasitas

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "PENYERAPAN DANA 60%, BUKU HARIAN DAN PROGRES PENELITIAN. Klaster Penelitian Pembinaan Peningkatan Kapasitas"

Copied!
94
0
0

Teks penuh

(1)

LAPORAN KEUANGAN DAN PROGRAS PENELITIAN

PENYERAPAN DANA 60%, BUKU HARIAN DAN PROGRES PENELITIAN

Klaster Penelitian Pembinaan Peningkatan Kapasitas

DISUSUN OLEH:

LUTHFI ULFA NI’AMAH, M. Kom. I ID Peneliti: 201510860104067

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI TULUNGAGUNG

2018

(2)

i DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ... i

BAB I. PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 5

C. Tujuan Penelitian ... 5

D. Pembatasan Masalah ... 6

E. Signifikansi Penelitian ... 7

F. Kajian Riset Sebelumnya ... 7

BAB II. TEORI DAN KAJIAN PUSTAKA ... 10

A. PILKADA, Media Sosial dan Politik di Indonesia ... 10

1. Sejarah Pemilihan Kepala Daerah di Indonesia ... 10

2. Media Sosial dan Perkembangannya di Indonesia ... 22

3. Media Sosial dan Politik di Indonesia ... 26

B. Partisipasi Politik Pemilih Muda ... 33

C. Partisipasi Politik dan Media Sosial ... 36

BAB III. METODE PENELITIAN ... 38 A. Kerangka Penelitian ... Error! Bookmark not defined.

B. Teknik-Teknik Penelitian ... Error! Bookmark not defined.

1. Pendekatan Kuantitatif ... Error! Bookmark not defined.

2. Pendekatan Kualitatif ... Error! Bookmark not defined.

C. Teknik Analisa ... Error! Bookmark not defined.

(3)

ii

D. Timeline Penelitian ... 42

BAB IV. ESTIMASI BIAYA PENELITIAN ... 42

REFERENSI ... 48

LAMPIRAN ... 90

E. Biodata Ketua Penelitian ... 90

(4)

1

BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Pemilihan Kepala Daerah (selanjutnya disingkat PILKADA) berkembang dari metode pemilihan tidak langsung menjadi pemilihan langsung sejak tahun 2004 dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004. Sejak saat itu masyarakat merasa tertarik berpartisipasi karena menganggap mampu memilih wakil masyarakat terdekat untuk memimpin daerahnya. Meskipun partisipasi politik warga Indonesia tidak setinggi negara maju, tetapi peningkatan partisipasi politik dirasa signifikan dari tahun ke tahun.

Salah satu contoh adalah jumlah partisipasi politik di Kabupaten Magetan. Pada PILKADAtahun 2008 tingkat partisipasi masyarakat hanya 68%. Di tahun berikutnya pada saat pemilihan legislatif tingkat partisipasi bertambah 2% dan di tahun 2013 pada PILKADA selanjutnya, tingkat partisipasi menjadi 72%.1 Begitu pula halnya dengan tingkat partisipasi masyarakat DKI Jakarta. Pada PILKADA 2017 tingkat partisipasi meningkat signifikan pada angka 78% jauh dari PILKADA tahun 2012 yang hanya 65%.2

Komisi Pemilihan Umum (selanjutnya disingkat KPU) sebagai lembaga pengelola pemilihan umum senantiasa berupaya menyusun program- program terkait upaya peningkatan partisipasi politik warga Indonesia. Salah satu di antaranya dengan meresmikan program bernama Warok (Warung Kepemiluan) atau Rumah Pintar Pemilu (RPP). Pemberian nama Warok diharapkan mendapat tempat tersendiri di masyarakat Jawa Timur karena

1 Data KPU Magetan 2013 dalam Skripsi Tia Subekti, 2014 : Partisipasi Politik Masyarakat dalam Pemilihan Umum: Studi Turn of Voter dalam Pemilihan Umum Kepala Daerah Kabupaten Magetan Tahun 2013. Skripsi Program Studi Ilmu Pemerintahan, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Brawijaya. 2013.

2Lubis, Heldania Utri. Detik News (Edisi Jumat 17 Februari 2017, 11:26 WIB). Partisipasi Pemilih Pilgub DKI 2017 78%, Naik Jauh dari 2012. Sumber: https://news.detik.com/berita/d- 3425016/partisipasi-pemilih-pilgub-dki-2017-78-naik-jauh-dari-2012.

(5)

2 merupakan nama salah satu penari dalam panggung kesenian Reog, khas daerah Ponorogo. Pada program ini KPU mengkhususkan target pada pemilih muda, terutama siswa SMU, dengan tidak hanya memberikan wadah pengetahuan melainkan juga memberikan sarana infrastruktur bagi keorganisasian di SMU. Salah satu di antara sarana tersebut adalah memfasilitasi pemilihan ketua osis, langkah-langkah mengelola sebuah pemilihan ketua osis, menyediakan alat, form pendaftaran dengan standarisasi pemilu beserta mendampingi debat kandidat calon ketua osis dengan format sebagaimanadilakukan pada PILKADA.3

Pemilih muda, yaitu pemilih usia 17-25 tahun, dianggap menjadi faktor penentu tingkat partisipasi politik Indonesia. Direktur Eksekutif Saiful Muzani Research and Consulting (SMRC), Djayadi Hanan, menyebutkan persentase pemilih muda dalam PILKADA DKI Jakarta pada bulan Juni-Juli 2017 sekitar 25%. Jumlah ini signifikan untuk mempengaruhi suara. Pemilih muda memiliki keaktifan dan lebih mampu menjangkau informasi calon pasangan sehingga menjadi pemilih yang kritis dan unik. Sementara berdasarkan data penduduk potensial pemilih pemilu (DP4) yang diperoleh KPU dari Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Disdukcapil) Provinsi DKI, total pemilih di Jakarta pada PILKADA 2017 diperkirakan mencapai 7.439.149 orang dengan jumlah pemilih yang memasuki batas minimum pemilih tercatat sebanyak 387.228 orang. Atau sebanyak 5%.4 Apabila diasumsikan kedua data tersebut akurat sesuai dengan jumlah sebenarnya, maka terdapat selisih cukup besar antara potensi pemilih muda dengan jumlah pemilih muda di lapangan.

3Kurniawan, Dian. Liputan 6 (Episode 31 Maret 2017, 19:10 WIB). Tingkatkan Partisipasi

PILKADA, KPU Jatim Resmikan Warok Ponorogo. Sumber:

http://PILKADA.liputan6.com/read/2905977/tingkatkan-partisipasi-PILKADA-kpu-jatim- resmikan-warok-ponorogo.

4Rakhmawaty. Republika. (Edisi Kamis, 17 Agustus 2017). Pemilih Muda Bakal Jadi Penentu.

Sumber: http://www.republika.co.id/berita/koran/halaman-1/16/09/28/oe7cs34-pemilih-muda- bakal-jadi-penentu.

(6)

3 Saat ini penduduk Indonesia menurut catatan World Bank berada di angka 261,1 juta jiwa.5Dimulai pada tahun 2012hingga mengalami puncak di tahun 2030diperkirakan Indonesia akan mengalami ledakan Bonus Demografi, dengan angka usia produktif (15-64 tahun) mencapai 66%.6 Di dalam buku Proyeksi Penduduk Indonesia cetakan tahun 2015, BPS mencatat penduduk usia 15-24 tahun pada 2015 di Tulungagung mencapai 150 ribu jiwa 1056 juta jiwa atau sekitar 14% dari jumlah penduduk total.7 Apabila total pemilih dianggap sama dengan tahun 2014 sebanyak 850 ribu jiwa8, maka total pemilih muda dapat berkontribusi pada hasil pemilu sebanyak hingga 17%.

Pentingnya suara dari pemilih muda menjadi perhatian semua pihak untuk berupaya memaksimalkan potensi besar tersebut. Pada era perkembangan telepon pintar seperti saat ini dengan kemunculan situs media sosial, generasi muda tercatat menjadi pengguna terbesar di dunia termasuk di Indonesia. Kementerian Komunikasi dan Informatika mengungkapkan pengguna internet di Indonesia saat ini mencapai 63 juta orang dengan 95%

menggunakan internet untuk mengakses jejaring sosial. Di dunia Indonesia menduduki peringkat kelima akun Twitter terbanyak.9 Hal ini berarti potensi pemilih muda untuk mengakses informasi melalui media sosial sangat tinggi.

Oleh karenanya banyak pakar menyarankan para calonuntuk mendekatkan diri kepada masyarakat melalui media sosial. Direktur Riset Charta Politica, Yunarto Wijaya mengatakan, kelas menengah mempunyai instrumen baru untuk menyampaikan aspirasi. Meskipun tidak dapat langsung dikaitkan dengan elektabilitas, arus pembicaraan netizen pada masa kampanye dapat

5 World Bank. Data. Population Total. Edisi 2017. Sumber:

http://data.worldbank.org/indicator/SP.POP.TOTL.

6 BPS. Proyeksi Penduduk, Mercusuar Pembangunan Negara. Sumber:

https://www.bps.go.id/KegiatanLain/view/id/85.

7 BPS. Proyeksi Penduduk Kabupaten Kota Provinsi Jawa Timur. Jakarta. 2015.

8 KPU. Data Pemilih Tetap Pilpres 2014 Wilayah Tulungagung. Sumber:

https://data.kpu.go.id/ss8.php.

9 KOMINFO. Kominfo : Pengguna Internet di Indonesia 63 Juta Orang. Sumber:

https://kominfo.go.id/index.php/content/detail/3415/Kominfo+%3A+Pengguna+Internet+di+Indon esia+63+Juta+Orang/0/berita_satker. Diakses 17 Agustus 2017.

(7)

4 mendorong hasrat mereka menyalurkan hak pilihnya langsung ke TPS sehingga berdampak terhadap peningkatan partisipasi pemilih.10

Istilah Media Sosial atau berbagai ahli menyebut sebagai New Media merupakan perkembangan media seiring dengan perkembangan internet dan berbagai teknologi yang menyertainya. Peningkatan jumlah akun pengguna media sosial dari tahun ke tahun menghasilkan berbagai potensi kegunaan sosial media di berbagai bidang. Pesan teks di Facebook, Twitter, YouTube dan Internet telah memunculkan sumber baru bagi energi politik yang menjadi penghubung antara teknologi media baru, politik, dan kehidupan publik. Teknologi ini memiliki kekuatan cukup besar untuk mampu dimanfaatkan dalam proses pembentukan opini dan berlangsungnya kegiatan di tengah kelompok-kelompok masyarakat. Isu-isu politik yang sedang terjadi atau marak diberitakan di media massa menjadi bahasan menarik pula di media sosial yang dapat dilihat melalui trending topik dari jumlah hashtag dan postingan timeline.11

Para pemimpin yang memiliki akun media sosial mampu berkomunikasi dengan lebih lengkap, detail, dan cepat melalui postingan- postingan. Sebut saja akun walikota Bandung, Ridwan Kamil, memiliki jumlah follower sebanyak 6,8 juta di akun Instagram dan 3,1 juta follower di akun Facebook (per 17 Agustus 2017 pukul 11:18 WIB). Ridwan Kamil secara aktif menyampaikan kegiatan-kegiatan politik dan sosialnya di kedua akun tersebut sehingga terjadi interaksi langsung dengan masyarakat.

Pemimpin yang turut serta aktif dalam perkembangan jaman diharapkan mampu menjadi jembatan hambatan komunikasi politik tradisional yang sebelumnya terjadi. Arus informasi yang demikian deras diharapkan juga dapat terjaga aktualitasnya dengan konfirmasi-konfirmasi tepat yang

10Ira Sasmita, Media Sosial Bisa Genjot Partisipasi Pemilih, Republika. Sumber:

http://www.republika.co.id/berita/pemilu/berita-pemilu/14/04/02/n3ehor-media-sosial-bisa-genjot- partisipasi-pemilih. (Edisi Rabu , 02 April 2014, 18:10 WIB)

11Gayatri, H Irine. LIPI. (Edisi 17 Desember 2012). Kekuatan Media Sosial dalam Pembentukan Opini Politik. Sumber: http://www.politik.lipi.go.id/in/kolom/politik-nasional/753-kekuatan- media-sosial-dalam-pembentukan-opini-politik-.html.

(8)

5 disampaikan langsung oleh para pemimpin melalui akses terdekat bagi masyarakat, salah satunya melalui media sosial.

Penelitian kali ini memiliki anggapan sama, bahwa pemilih muda banyak menggunakan media sosial sebagai sarana komunikasi sehari-hari.

Hal ini perlu dimanfaatkan oleh para pemimpin dan calon pemimpin untuk menghapus batas komunikasi kepada masyarakat terutama kelompok muda.

Oleh karena itu tujuan penelitian ini pada akhirnya adalah menjaring potensi suara pemilih muda untuk berpartisipasi aktif hingga melaksanakan pemilu di TPS daerah masing-masing dengan menggunakan pendorong utama dari media sosial. Penelitian akan dilakukan dengan memadukan penelitian kuantitatif dan kualitatif dengan teknik quesioner dan analisa kritis terhadap pengguna media sosial di area Tulungagung untuk menggerakkan pemilih muda menjadi pencoblos dalam PILKADA Tulungagung 2018.

B. Rumusan Masalah

Pada penelitian ini, rumusan masalah dapat dirinci sebagai berikut:

1. Bagaimanakah bentuk-bentuk postingan yang diharapkan pemilih muda di sosial media dan efektivitas sosial media terhadap peningkatan pemilih muda pada PILKADA Tulungagung 2018?

2. Bagaimanakah peta motivasi, tingkat intensitas dan proses peningkatan jumlah ketertarikan pemilih muda terhadap postingan sosial media mengenai PILKADA Tulungagung?

3. Berapakah selisih prosentase pemilih muda daerah setempat sebelum dan sesudah berlangsungnya PILKADA Tulungagung?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Menentukan bentuk-bentuk postingan yang diharapkan pemilih muda di sosial media dan efektivitas sosial media terhadap peningkatan pemilih muda pada PILKADA Tulungagung 2018?

(9)

6 2. Menentukan peta motivasi, tingkat intensitas dan proses peningkatan jumlah ketertarikan pemilih muda terhadap postingan sosial media mengenai PILKADA Tulungagung?

3. Mengetahui selisih prosentase pemilih muda daerah setempat sebelum dan sesudah berlangsungnya PILKADA Tulungagung?

D. Pembatasan Masalah

1. Batasan Wilayah Penelitian

Penelitian ini akan dilakukan khusus di wilayah Tulungagung sehingga pembahasan penelitian akan lebih banyak membahas mengenai area setempat. Adapun pembahasan mengenai area lain dalam satu provinsi maupun nasional akan menjadi pembahasan pembanding yang membantu pembahasan secara utuh.

2. Batasah Cakupan Materi Penelitian

Penelitian akan mencakup upaya peningkatan pemilih muda melalui media sosial sehingga media atau metode lain yang bisa jadi berpotensi meningkatkan pemilih muda tidak akan dikaji mendetail di dalam penelitian atau hanya akan dijadikan sebagai pembanding.

3. Batasan Jumlah Obyek Penelitian

Obyek penelitian nanti akan berpaku pada jumlah akun yang terkait dengan akun yang khusus dibuat untuk penelitian ini, baik pada bagian follower, friend, like dan comment.

4. Batasan Masa Penelitian

Penelitian akan dilakukan selama satu tahun dari bulan Januari 2018 hingga Desember 2018 sehingga hasil penelitian di luar masa penelitian tersebut tidak akan disertakan di dalam penelitian atau akan menjadi bahan tambahan dalam pembahasan.

(10)

7 E. Signifikansi Penelitian

Penelitian ini diharapkan mampu menjadi:

1. Indikator metode peningkatan pemilih muda potensial di area Tulungagung pada khususnya, provinsi dan skala nasional pada umumnya.

2. Mampu berkontribusi dalam survey-survey pemilih di area lokal Tulungagung atau nasional khususnya pemilih muda.

3. Mampu menjadi acuan atau referensi bagi penelitian maupun lembaga terkait untuk melihat potensi pemilih muda dan metode mengelola pemilih muda sehingga mampu meningkatkan angka partisipasi politik lokal, provinsi dan nasional.

F. Kajian Riset Sebelumnya

No Penulis Judul Hasil Perbedaan

1. Dyah Ayu Herlyne Luvitasari dan Agus Satmoko Adi

Partisipasi Politik Mahasiswa dalam Pemilihan Umum Raya Jurusan Tahun 2013 sebagai Upaya Pembentukan

Kehidupan Demokratisdi

Lingkungan PMPKN FIS UNESA

(Jurnal dipublikasikan pada jurnal Kajian Moral

danKewarganegaraan.

Nomor 1 Volume 3 Tahun 2013)

Penelitian ini menyimpulkan terdapat perbedaan tingkat partisipasi politik yang ada pada mahasiswa PMPKN angkatan 2007, mahasiswa PMP-KN angkatan 2008, mahasiswa PMP-KN angkatan 2009, mahasiswa PMP-KN angkatan 2010, mahasiswa PMP-KN angkatan 2011, dan mahasiswa PMP-KN angkatan 2012. Fakta yang paling terlihat yakni partisipasi politik yang ada pada mahasiswa PMPKN angkatan 2012 tergolong paling tinggi

Penelitian sebelumnya hanya terfokus pada perbedaan partisipasi politik sedangkan penelitian yang akan dilakukan lebih luas lagi mulai dari bentuk- bentuk postingan, efektifitasnya pada sosial media sampai peta motivasi, tingkat intensitas dan proses peningkatan pemilih muda

(11)

8 dibanding angkatan lainnya.

2. Transparency International Indonesia

Persepsi Pemilih

Pemula pada

Pemerintah, Korupsi, dan Pemilu Nasional 2014

(Riset)

Riset ini bertujuan menentukan aspek pandangan kalangan muda pemilih pemula terhadap persoalan korupsi di Indonesia dan upaya pencegahannya;

pandangan kalangan muda pemilih pemula mengenai demokrasi sebagai sarana paling baik dalam mewujudkan pemerintahan yang bersih dan bebas korupsi; dan pandangan kalangan pemilih pemula muda mengenai pemilihan umum 2014 sebagai ruang bagi upaya pembentukan pemerintahan yang bersih.

Penelitian terdahulu

lebih kepada

pandangan kalangan muda terhadap persoalan korupsi dan upaya pencegahannya sedangkan penelitian yang akan dilakukan lebih terfokus pada partisipasi politik pemilih muda yang terfokus pada media sosial.

3. Ryan Sugiarto

Karakteristik

Pemimpin Nasional Ideal Menurut Pemilih Pemula Yogyakarta (Jurnal dipublikasi pada Jurnal Islamic Review Volume III No. 1 April 2014)

Penelitian ini menyimpulkan pemilih pemula Yogyakarta menginginkan pemimpin ditingkat nasional dengan beberapa karakter, yaitu tokoh yang berlatar belakang professional, sipil, muda, dan nasionalis.

Dalam penelitian terdahulu menjelaskan keinginan pemilih pemula terhadap sosok pemimpin yang diinginkan, sedangkan penelitian yang akan dilaksanakan selain ingin mengetahui hal tersebut juga ingin mengetahui tingkat prosentase pemilih

(12)

9

setelah mengetahui profil calon pemimpin pada pilkada tersebut 4. Dwi

Yuliahsaridwi

Pemanfaatan Twitter

Buzzer Untuk

Meningkatkan

Partisipasi Pemilih

Muda Dalam

Pemilihan Umum (Jurnal dipublikasikan pada The Messenger Volume VII, Nomor 1, Edisi Januari 2015)

Penelitian ini menyimpulkan twitter sebagai salah satu media sosial yang popular di kalangan generasi muda dapat digunakan sebagai alat

sosialisasi. untuk

menyebarluaskan informasi pemilu kepada masyarakat seperti tata cara pelaksanaan, hak pilih dan jadwal pelaksanaan pemilu.

Penelitian terdahulu hanya menggunakan twitter sebagai sosial medianya, sedangkan penelitian yang akan dilaksanakan selain

twetter juga

menggunakan fb dan ig

(13)

10

BAB II. TEORI DAN KAJIAN PUSTAKA

Teori pada penelitian ini akan fokus kepada dua kajian yaitu perkembangan demokrasi Indonesia melalui sejarah format pemilu dari masa ke masa, teori mengenai media sosial, dan keterkaitan antar keduanya. Pada bagian Kajian Pustaka akan disajikan penelitian-penelitian yang terkait dengan pemilihan umum, partisipasi politik pemilih muda dan keterkaitan antara partisipasi politik dan media sosial.

A. Pilkada, Media Sosial dan Politik di Indonesia 1. Sejarah Pemilihan Kepala Daerah di Indonesia

PILKADA di Indonesia telah dilaksanakan sejak masa pemerintahan kolonial Belanda dengan mekanisme yang berbeda-beda, ada yang menggunakan pola penunjukkan, PILKADA melalui DPRD, dan PILKADA secara langsung.Pilihan masing-masing pola tersebut sangat bergantung pada pemegang kekuasaan. Pergantian pemegang kekuasaan maupun masuknya rezim baru dalam suatu kekuasaan memiliki pengaruh terhadap pelaksanaan PILKADA selama ini. Masing-masing penguasa atau rezim mengambil kebijakan-kebijakan yang berbeda-beda.12 Perjalanan pelaksanaan PILKADA di Indonesia apabila dikaji secara historis dibagi menjadi 3 zaman, yaitu a. Kepala Daerah Pada Zaman Belanda b. Kepala Daerah Pada Zaman Jepang c. Kepala Daerah Zaman Indonesia Merdeka.

a. PILKADA Pada Zaman Belanda

Pada zaman Belanda, pengaturan tentang pemerintahan di daerah umumnya dibedakan menjadi 2 bagian yang saling terkait satu sama lain. Pertama, daerah Jawa dan Madura. Kedua, daerah di luar Jawa dan Madura seperti Sumatera, Sulawesi, Kalimantan dan sebagainya.Pembagian wilayah ini dimaksudkan untuk membagi

12 Joko. J. Prihatmoko, PILKADA Langsung, (Semarang; Pustaka Pelajar, 2005), Hal. 37.

(14)

11 sebagian kewenangan yang dimiliki pusat kepada daerah-daerah. Ada beberapa tingkat-tingkat pemerintahan dalam zaman Belanda yang dapat dijelaskan sebagai berikut :

1). Daerah Jawa dan Madura

Tingkatan pemerintahan di Jawa dan Madura pada masa kolonial Belanda terbagi dalam beberapa tingkatan, yang dapat dikelompokkan menjadi pemerintahan pangreh praja dan pamong praja. Pemerintahan pangreh praja pada tingkat tertinggi disebut Provinsi yang dipimpin oleh Gubernur. Selanjutnya, tiap-tiap provinsi dibagi menjadi Karesidenan yang dipimpin oleh Residen.

Tiap-tiap Keresidenan dibagi-bagi lagi menjadi beberapa Afdelling yang dipimpin oleh Asisten Residen. Dalam pemerintahan pamong praja, terdiri dari Kabupaten yang dipimpin oleh Bupati. Kemudian tiap Kabupaten dibagi menjadi beberapa Kawedanan yang dipimpin oleh seorang Wedana. Tiap-tiap Kawedanan dibagi menjadi Kecamatan yang masing-masing dikepalai oleh Camat atau Asisten Wedana.Kecamatan meliputi beberapa desa yang dikepalai oleh seorang Kepala Desa.13

2). Daerah Luar Jawa dan Madura

Adapun untuk daerah luar Jawa dan Madura susunan tingkat-tingkat pemerintahan daerah agak berbeda sedikit dibandingkan dengan daerah Jawa dan Madura. Tingkat pemerintahan yang tertinggi disebut Provinsi yang dipimpin oleh Gubernur. Tiap-tiap provinsi dibagi menjadi beberapa Karesidenan yang dipimpin oleh seorang Residen. Tiap-tiap Karesidenan dibagi menjadi beberapa Afdeling yang dikepalai oleh seorang Asisten Residen. Tiap-tiap Afdeling dibagi menjadi beberapa Onder-Afdeling yang dikepalai oleh seorang Kontrolir. Tiap-tiap Onder Afdeling dibagi menjadi Kewedanan atau District yang dikepalai oleh Wedana atau Demang.

13 J.Kaloh, Kepemimpinan Kepala Daerah (Pola Kegaiatan, Kekuasaan, dan Perilaku Kepala Daerah Dalam Pelaksanaan Otonomi Daearh), (Jakarta; Sinar Grafika, 2009), Hal.25.

(15)

12 Selanjutnya tiap-tiap Kewedanan dibagi menjadi beberapa kecamatan atau Onder-District yang dikepalai oleh seorang Camat atau Asisten Demang dan tiap-tiap Kecamatan meliputi beberapa Desa atau Marga atau Kuria Nagari atau nama lainnya, yang dikepalai oleh seorang Kepala Desa atau nama lainnya.14

Pada zaman Belanda dapat dikatakan bahwa praktik penyelenggaraan PILKADA sudah dilakukan dengan cara penunjukan secara langsung.

Politik kolonial Belanda dalam menguasai daerah jajahan menerapkan sistem pemerintah daerah yang bertujuan untuk kepentingan mereka.15Oleh sebab itu, baik untuk daerah Jawa dan Madura atau daerah luar Jawa dan Madura, jabatan-jabatan Gubernur, Residen, Asisten Residen dan Kontrolir dipegang dan dijabat langsung oleh orang-orang Belanda, sedang untuk jabatan-jabatan lainnya seperti Camat dan Kepala Desa diberikan kepada pribumi bangsa Indonesia untuk mendudukinya.Untuk tiap-tiap jabatan pemerintahan sebagaimana telah dijelaskan diatas ,PILKADA dilaksanakan secara tertutup oleh Belanda. Hal ini terjadi karena tidak ada mekanisme dan persyaratan yang jelas dalam rekrutmen jabatan untuk pemerintahan di daerah.Mekanisme pengisian jabatan dalam tingkat-tingkat pemerintahan zaman Belanda dilakukan dengan sistem penunjukkan langsung oleh Belanda melalui Gubernur Jenderal untuk menempati posisi kepala pemerintahan di daerah-daerah dan memberi beberapa posisi kepada pribumi melalui sejumlah kewajiban. Kewajiban pribumi yang akan menduduki jabatan dalam pemerintahan yakni harus memberikan upeti.

b. Kepala Daerah Pada Zaman Jepang

Setelah zaman Belanda berakhir maka Jepang berkuasa atas Indonesia untuk menjalankan pemerintahan.Selaku pemegang kekuasaan pemerintahan, Jepang memaklumatkan 3 Osamu Sirei, yang dalam teks

14 Ibid.

15Joko. J. Prihatmoko, Pilkada Langsung, (Semarang; Pustaka Pelajar, 2005), Hal. 40.

(16)

13 berbahasa Indonesia disebut (dalam ejaan aslinya) Oendang-Oendang b.) Kepala Daerah Pada Zaman Jepang. Ketiga Oendang-Oendang itu adalah Oendang-Oendang Nomor27Tahun 1902 Tentang Peroebahan Pemerintahan; Oendang-Oendang Nomor28 Tentang Atoeran Pemerintahan Syuu; dan Oendang-Oendang Nomor30 Tahun 1902 Tentang Mengoebah Nama Negeri dan Nama Daerah.Undang- undangtersebut merupakan landasan hukum bagi pemerintahan Jepang untuk menjalankan kekuasaan.16

Pada zaman Jepang yang menggantikan penjajahan di Indonesia dari Belanda, Jepang masih meneruskan asas dekonsentrasi 49 sebagaimana dilaksanakan oleh Pemerintah Belanda.Asas ini dilaksanakan Jepang dengan mengadakan perubahan-perubahan dalam praktik penyelenggaraannya. Perubahan yang jelas terlihat ialah tentang nama daerah beserta pejabatnya diganti dengan Bahasa Jepang, jabatan yang semula diduduki oleh orang-orang Belanda digantikan oleh para pembesar Jepang, sedangkan bangsa Indonesia hanya diberikan kesempatan sedikit mungkin. Wilayah provinsi beserta gubernurnya baik Jawa maupun di luar Jawa dihapus, serta Afdelling beserta asisten residennya untuk wilayah Jawa dihapus.Sistem pengangkatan dan/atau penunjukkan sebagaimana telah dijelaskan diatas dilakukan secara hierarkis.Hal ini mengakibatkan sistem rekrutmen Kepala Daerah tidak mengalami perubahan dibandingkan dengan masa zaman Belanda. Seperti halnya saat pemerintah Belanda menguasai wilayah Indonesia dan memegang kekuasaan atas pemerintahan, sistem rekrutmen Kepala Daerah saat zaman Jepang mengabaikan nilai-nilai demokrasi, transparansi dan akuntabilitas dalam pengangkatan tiap-tiap pejabat yang akan diangkat dan/atau ditunjuk oleh penguasa Jepang selaku pemerintah pusat.

a.) Kepala Daerah Pada Zaman Kemerdekaan

16Joko. J. Prihatmoko, Pilkada Langsung, (Semarang; Pustaka Pelajar, 2005), Hal. 42

(17)

14 Kepala Daerah pada zaman ini dibagi menjadi 3 bagian besar yakni : era orde lama, era orde baru, dan era reformasi. Berikut penjelasan lebih lanjut tentang ketiga era tersebut.

1. Era Orde Lama.

Produk hukum yang melandasi berlakunya sistem pemerintahan daerah dalam orde baru ialah undang-undang.Undang-undang pertama yang diterbitkan pada masa kemerdekaan adalah Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1945 tentang Peraturan Mengenai Kedudukan Komite Nasional Daerah.Undang-Undang ini bermaksud mengubah sifat Komite Nasional Daerah menjadi Badan Perwakilan Rakyat Daerah yang diketuai oleh Kepala Daerah. Dalam pasal 2 undang-undang tersebut dinyatakan bahwa:

“Komite Nasional Daerah menjadi Badan Perwakilan Rakyat Daerah, yang bersama-sama dengan dan dipimpin oleh Kepala Daerah menjalankan pekerjaan mengatur rumah tangga daerahnya, asal tidak bertentangan dengan Peraturan Pemerintah pusat dan Pemerintah Daerah yang lebih luas dari padanya”.17 Dalam poin penjelasan dalam undang-undang tersebut juga dinyatakan bahwa Kepala Daerah juga sebagai Komite Nasional Daerah yang hendak menjadi Badan Legislatif.18 Selain itu seorang Kepala Daerah harus menjalankan fungsi sebagai wakil Badan Perwakilan Rakyat Daerah.19

Dalam pasal sebagaimana telah dijelaskan diatas menyatakan bahwa Kepala Daerah duduk di lembaga eksekutif dan legislatif.

Berkaitan dengan hal tersebut dapat disimpulkan bahwa Kepala Daerah pada masa Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945 adalah Kepala Daerah yang diangkat pada masa sebelumnya yakni masa

17Lihat pasal 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945 tentang Peraturan Mengenai Kedudukan Komite Nasional Daerah.

18Lihat bagian penjelasan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945 tentang Peraturan Mengenai Kedudukan Komite Nasional Daerah.

19Lihat Pasal 4 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945 tentang Peraturan Mengenai Kedudukan Komite Nasional Daerah.

(18)

15 pendudukan Jepang. Akibat berbagai situasi yang muncul, seperti situasi politik, keamanan dan hukum ketatatanegaraan pada saat itu maka Kepala Daerah diangkat begitu saja untuk menjamin berlangsungnya pemerintahan daerah sebagai bagian dari pemerintahan pusat yang tergabung dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sekaligus mencegah kekosongan jabatan dalam pemerintahan.20 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945 hanya berusia 3 tahun. Pada tahun 1948, lahir penggantinya yaitu Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 tentang Pokok- Pokok Pemerintahan Daerah yang merujuk pada pasal 18 UUD 1945. Pada masa Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 telah diusahakan untuk mengadakan keseragaman antar Pemerintah Daerah di seluruh Indonesia.Secara hierarki, pada saat berlakunya undang-undang tersebut, wilayah Indonesia tersusun dalam tiga tingkatan. Dalam pasal 1 ayat (1) dinyatakan bahwa : “Daerah Negara Republik Indonesia tersusun dalam tiga tingkatan, ialah : Propinsi, Kabupaten (Kota besar) dan Desa (Kota kecil) negeri, marga dan sebagainya, yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri”. Salah satu hal diatur dalam undang-undang tersebut adalah peran Kepala Daerah dalam mengawasi pekerjaan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Pemerintah Daerah 59 serta berhak menahan pelaksanaan keputusan-keputusan yang diambil oleh DPRD dan Dewan Pemerintah Daerah 60

Undang-undang sebagaimana telah dijelaskan menetapkan bahwa Pemerintah Daerah dari DPRD dan Dewan Pemerintah Daerah.Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dipilih oleh dan dari DPRD.Kepala Daerah Provinsi diangkat oleh Presiden dari calon-calon yang diusulkan oleh DPRD.Kepala Daerah bertugas mengawasi pekerjaan DPRD dan Pemerintah Daerah. Hal ini tertuang dalam pasal 18 ayat (1) yang berbunyi Hal ini ditegaskan

20Joko. J. Prihatmoko, Pilkada Langsung, (Semarang; Pustaka Pelajar, 2005), Hal. 47

(19)

16 dalam pasal 36 ayat (1) undang-undang tersebut, yakni bahwa :

“Kepala Daerah mengawasi pekerjaan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan Dewan Pemerintah Daerah dan berhak menambah dijalankan putusan- putusan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan Dewan Pemerintah Daerah, bila dipandangnya putusan-putusan itu bertentangan dengan kepentingan umum atau bertentangan dengan undang-undang atau peraturan Pemerintah dan peraturan-peraturan daerah yang lebih atas, bila putusan-putusan itu diambil oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan Dewan Pemerintah Daerah di bawah Propinsi”. Pemerintah Daerah dari DPRD dan Dewan Pemerintah Daerah.Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dipilih oleh dan dari DPRD.Kepala Daerah Provinsi diangkat oleh Presiden dari calon-calon yang diusulkan oleh DPRD.Kepala Daerah bertugas mengawasi pekerjaan DPRD dan Pemerintah Daerah. Hal ini tertuang dalam pasal 18 ayat (1) yang berbunyi:

“Kepala Daerah Provinsi diangkat oleh Presiden dari sedikit- dikitnya dua atau sebanyak-banyaknya empat orang calon yang diajukan oleh DPRD Provinsi”.21 Presiden juga berwenang mengangkat Kepala Daerah Istimewa, sebagaimana tercantum dalam pasal 18 ayat (5) yang menyatakan bahwa: “Kepala Daerah Istimewa diangkat oleh Presiden dari keturunan yang berkuasa di zaman sebelum Republik Indonesia dan yang masih menguasai daerahnya, dengan syarat-syarat kecakapan, kejujuran, dan kesetiaan dan dengan mengingat adat-istiadat daerah itu”.22

Sementara itu, Menteri Dalam Negeri berwenang mengangkat Kepala Daerah Kabupaten atau Kota.Calon Kepala Daerah diusulkan oleh DPRD. Dalam pasal 18 ayat (2) disebutkan:

“Kepala Daerah Kabupaten(kota besar) diangkat oleh Menteri Dalam Negeri dari sedikit-dikitnya dua dan sebanyak-banyaknya

21Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah.

22 Ibid. Pasal 18 ayat (5).

(20)

17 empat calon yang diajukan oleh DPRD Kabupaten (kota besar)”.23Adapun Kepala Daerah Desa atau kota kecil diangkat oleh Gubernur. Dalam pasal 18 ayat (3) disebutkan :“Kepala Daerah Desa(kota kecil) diangkat oleh Kepala Daerah Provinsi dari sedikit-dikitnya dua dan sebanyak-banyaknya empat orang calon yang diajukan DPRD Desa (kota kecil)”.24Satu hal yang menjadi catatan penting dalam Undang-Undang Nomor 22 tahun 1948 ialah undang-undang ini mampu memberikan ketegasan tentang pemisahan antara fungsi eksektutif dan legislatif. Kepala Daerah tidak lagi menjadi ketua DPRD sebagaimana diatur dalam Undang- Undang Nomor 1 tahun 1945. Pada kenyataannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 mengalami revisi dan menghasilkan produk hukum baru yakni Undang-Undang Nomor 1 tahun 1957 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah.25 Hal yang menjadi pembeda dalam undang-undang ini dibandingkan dengan undang-undang lainnya terkait pemerintahan daerah ialah adanya tingkatan- tingkatan daerah.Secara hukum tingkatan ini mulai dikenalkan dalam undang-undang ini.Sesuai hierarki, undang-undang ini membagi 3 tingkatan, Gubernur memimpin daerah tingkat I (termasuk Kotapraja Jakarta Raya), Bupati/Walikota memimpin Daerah Tingkat II(termasuk Kotapraja), dan Camat untuk Daerah Tingkat III.26Dalam pasal 2 ayat (1) dikatakan bahwa : “Wilayah Republik Indonesia dibagi dalam daerah besar dan kecil, yang berhak mengurus rumah tangganya sendiri, dan yang merupakan sebanyak-banyaknya (3) tiga tingkat yang derajatnya dari atas ke bawah sebagai berikut : a. Daerah tingkat ke I, termasuk Kotapraja, Jakarta Raya, b. Daerah tingkat ke II, termasuk Kotapraja, c.

23Ibid, Pasal 18 ayat (2)

24Ibid, Pasal 18 ayat (3)

25Undang-Undang Nomor 1 tahun 1957 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1957 Nomor 6, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 1143)

26 Joko. J. Prihatmoko, Pilkada ………..Hal. 51

(21)

18 Daerah tingkat III. Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957, Pemerintah Daerah terdiri atas DPRD dan Dewan Pemerintah Daerah. Pasal 6 ayat (1) undang-undang tersebut menyatakan bahwa : “Kepala Daerah karena jabatannya adalah ketua serta anggota Dewan Pemerintah Daerah”. 27Kemudian dijelaskan lebih lanjut dalam pasal 23 ayat (1) bahwa “Kepala Daerah dipilih menurut aturan yang ditetapkan dalam undang- undang”.Pada praktiknya undang-undang yang maksudkan untuk memilih Kepala Daerah dalam pasal tersebut belum dibuat.Atas beberapa pertimbangan maka untuk sementara waktu Kepala Daerah dipilih oleh DPRD dengan memperhatikan syarat-syarat kecakapan dan pengetahuan yang diperlukan untuk menduduki jabatan sebagai Kepala Daerah.Selain itu, seorang Kepala Daerah merupakan alat daerah yang menjalankan Pemerintahan daerah dan bertindak kolegial, yaitu bersama-sama dengan anggota Dewan Pemerintah Daerah lainnya.28

Undang-undang yang selanjutnya berlaku terkait pemerintahan daerah ialah Undang-Undang Nomor 18 tahun 1965. Di dalam Undang-Undang Nomor 18 tahun 1965 mengatur tentang Kedudukan Kepala Daerah baik sebagai alat pemerintah pusat maupun sebagai dan alat pemerintah daerah. Sebagai alat pemerintah pusat, Kepala Daerah menjadi pemegang kebijaksanaan politik di daerahnya dengan mengindahkan wewenang yang ada pada pejabat-pejabat sebagaimana diatur berdasarkan peraturan-peraturan perundang-undangan yang berlaku, menyelenggarakan koordinasi antara jawatan-jawatan pemerintah pusat di daerah antara jawatan-jawatan tersebut dengan pemerintah daerah melakukan pengawasan atas jalannya pemerintahan daerah dan menjalankan tugas-tugas yang diserahkan

27Lihat pasal 6 ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah

28J.Kaloh,……….Hal.33.

(22)

19 kepadanya oleh pemerintah pusat.29Berlakunya undang-undang sebagaimana telah dijelaskan diatas menyatakan bahwa Kepala Daerah masih dipilih oleh DPRD yang pengangkatannya dilakukan oleh Presiden dalam wilayah daerah tingkat I. Daerah tingkat II pengangkatan Kepala Daerah dilakukan oleh Menteri Dalam Negeri.Selanjutnya, Kepala Daerah tingkat II diangkat oleh Kepala Daerah tingkat I melalui persetujuan Menteri Dalam Negeri.

2. Era Orde Baru

Perkembangan politik yang terjadi dalam masa peralihan dari orde lama ke orde baru telah membawa nuansa baru dalam kepemimpinan Kepala Daerah. Hal ini tentu membawa nuansa baru dalam kepemimpina Kepala Daerah yang ditandai dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok- Pokok Pemerintahan di Daerah.30Dapat dikatakan bahwa produk hukum yang lahir pada era ini memuat tentang mekanisme pemilihan calon Kepala Daerah yang dalam hal ini masih dilaksanakan oleh DPRD namun pengangkatan dan pemberhentiannya berbeda secara hierarki.31Sejak berlakunya Undang-Undang Nomor5 Tahun 1974, ketentuan PILKADA tidak mengalami perubahan berarti sebab DPRD memegang komando dalam melaksanakan pemilihan dan pencalonan Kepala Daerah.

Pemilihan dan pencalonan Kepala Daerah tercantum dalam pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Nomor5 Tahun 1974 dinyatakan bahwa :“Kepala Daerah tingkat I dicalonkan dan dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dari sedikit-dikitnya 3 (tiga) orang dan sebanyak-banyaknya 5 (lima) orang yang telah

291965 tentang Pokok-Undang-Undang Nomor8 tahun Pokok Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1965 Nomor 83, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2778).

30Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Di Daerah ( Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1974 Nomor 38, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3037).

31Suharizal, Pemilukada: Regulasi, Dinamik, dan Konsep Mendatang, (Jakarta: Raja Grafindo persada, 2011), Hal.16.

(23)

20 dimusyawarahkan dan disepakati bersama antara pimpinan DPRD/pimpinan fraksi-fraksi dengan Menteri Dalam Negeri”.

Kemudian ditambahkan dalam pasal 16 ayat (1) bahwa “Kepala Daerah tingkat II dicalonkan dan dipilih oleh DPRD dari sedikit- dikitnya 3 (tiga) orang dan sebanyak-banyaknya 5 (lima) orang yang telah dimusyawarhkan dan disepakati bersama antara pimpinan DPRD/pimpinan fraksi-fraksi dengan Gubernur Kepala Daerah. Untuk selanjutnya, Kepala Daerah tingkat I diangkat dan diberhentikan oleh Presiden, sedangkan Kepala Daerah tingkat II diangkat dan diberhentikanoleh Menteri Dalam Negeri.Mekanisme diatas menggambarkan bahwa PILKADA dilakukan secara hierarki.32

3. Era Reformasi

Di era reformasi sampai saat ini telah terdapat beberapa undang- undang yang mengatur tentang pemerintahan daerah. Undang- undang tersebut ialah Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 yang telah beberapa kali dieubah dan terakhir dirubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 yang merupakan perubahan kedua atas Undang- Undang Nomor 32 Tahun 2004, serta Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014.Dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999,PILKADA dilakukan dengan menggunakan sistem demokrasi tidak langsung dimana Kepala Daerah dan wakil Kepala Daerah dipilih oleh DPRD. DPRD masih memiliki kewenangan yang cukup besar dalam menentukan Kepala Daerah serta wakil Kepala Daerah. Pengaturan tentang pengisian Kepala Daerah terdapat dalam pasal 34 ayat 1 yang menyebutkan bahwa“Pengisian Jabatan Kepala Daerah dan wakil Kepala Daerah dilakukan oleh DPRD melalui pemilihan secara bersamaan”. Selanjutnya pada ayat (2)

32Pasal 16 ayat 1 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah.

(24)

21 dikatakan : ”Calon Kepala Daerah dan calon wakil Kepala Daerah ditetapkan oleh DPRD melalui tahapan pencalonan dan pemilihan”.33Dalam perjalanan era reformasi, berbagai kelemahan dalam Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 kemudian direvisi melalui Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004.34Dalam Undang- Undang Nomor 32 Tahun 2004, PILKADA tidaklagi dilakukan oleh DPRD namun telah berubah menjadi sistem pemilihan langsung dimana rakyat selaku pemegang kedaulatan berperan secara aktif dalam melaksanakan pemilihan. Pasal 24 ayat 5 Undang-undang tersebut menyatakan bahwa : “Kepala Daerah dan wakil kepala daerah sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan ayat (3) dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat di daerah yang bersangkutan”.35 Selanjutnya dalam upaya untuk memperbaiki pola demokrasi di Indonesia maka sejak tahun 2008, pemerintah bersama DPR telah menyetujui dan memberlakukan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008.Undang-Undang tersebut merupakan perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Dalam pasal 56 ayat 1 undang-undang tersebut dinyatakan bahwa : “Kepala Daerah dan wakil kepala daerah dipilih dalam satu pasangan calon yang dilaksanakan secara demokratis berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil”.36 Pada perkembangan selanjutnya, lahirlah Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014.Undang-undang tersebut tidak mengatur secara jelas tentang PILKADA.Hal ini bisa terlihat dalam pasal-pasal dalam undang-undang sebagaimana telah disebutkan diatas tidak memberi penjelasan tentang mekanisme

33Pasal 34 ayat 1 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah.

34Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah ( Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437).

35Pasal 24 ayat 5 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

36Pasal 56 ayat 1Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

(25)

22 dalammemilih Kepala Daerah.37Dalam pasal 62 dinyatakan bahwa

“Ketentuan mengenai PILKADA diatur dengan undang-undang”.38 Undang-undang yang dimaksud dalam pasal tersebut mengacu Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggaraan pemilu.Undang-undang tersebut memberi pesan bahwa rakyat masih berperan dalam memilih Kepala Daerah di daerahnya.

2. Media Sosial dan Perkembangannya di Indonesia

Konvergensi media menghasilkan perubahan dalam arus informasi.

Konvergensi media merupakan sebuah istilah yang mulai banyak digunakan sejak tahun 1990-an. Konvergensi menjadi suatu istilah yang umum dipakai dalam perkembangan teknologi digital, dimana di dalam konvergensi terjadi pengintergrasian teks, angka, gambar, video, dan suara dalam suatu media. Fungsi dari konvergensi media oleh Miles adalah sebagai informasi dan media yang meningkatkan proses pemikiran berdasarkan sistem teknologi berbasis komputer dan membawa pengguna media melintasi jaringan komunikasi. Sedangkan tujuan dari konvergensi adalah pencapaian suatu tujuan yaitu pengelolaan konten, baik berupa informasi, gambar, audio, dan lain-lain, agar dapat diakses masuk dalam jenis teknologi apapun sehingga dapat dikonsumsi oleh satu jenis atau berbagai jenis media. Adanya konvergensi media membuat khalayak bebas dalam mengakses, memproduksi, serta mengkonsumsi informasi.39

Setiap jenis teknologi, melahirkan lingkungan teknologi. Tovler menyebutkan lingkungan teknologi secara tidak langsung merubah kebudayaan, norma-norma sosial, pola-pola interaksi, dan organisasi- organisasi masyarakat”.40Pernyataan tersebut secara tidak langsung

37Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587).

38Pasal 62 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.

39 Terry Flew, New Media, (Australia; Oxford, 2004), Hal 10.

40 Idi Subandy Ibrahim, Lifestyle Ecstasy: Kebudayaan Pop dalam Masyarakat Komoditas Indonesia, (Yogyakarta; Jalasutra, 1997),

(26)

23 menjelaskan mengenai pernyataanMcLuhan mengenai hubungan antara teknologi, media, dan masyarakat atau yang sering disebut dengan tehnological determinsm, yaitu paham bahwa teknologi bersifat determinan atau menentukan dalam membentuk kehidupan manusia.Pemikiran McLuhan ini sering dinamakan Teori Ekologi Media, dimana melihat lingkungan media, gagasan bahwa teknologi dan teknik, mode informasi dan kode komunikasi yang memainkan peran penting dalam kehidupan manusia. Asumsi dari teori ekologi media, yaitu:

a) Media mempengaruhi setiap perbuatan atau tindakan dalam masyarakat.

Asumsi pertama ini menekankan pada gagasan pada saat ini manusia tidak dapat lepas dari media. Media merupakan sebuah hal yang penting, bahkan menembus ke dalam kehidupan manusia yang paling dalam. Keberadaan media memberikan pengaruh dalam kehidupan manusia dan masyarakat.

b). Media memperbaiki persepsi dan mengelola pengalaman

Asumsi kedua ini menjelaskan bagaimana manusia secara langsung dipengaruhi media. Dimana media memiliki kekuatan besar dalam mempengaruhi padangan kita terhadap dunia.

c). Media mengikat dunia bersama-sama

Asumsi ketiga dari teori ekologi media menyebutkan bahwa media mengikat dunia bersama-sama. Untuk menjelaskan bagaimana media mengikat dunia menjadi satu sistem politik, ekonomi, sosial, dan budaya global, atau yang disebut dengan global village.41

Kehadiran teknologi memberikan pengaruh sangat besar dalam kehidupan manusia. Manusia memiliki hubungan simbolik dengan teknologi, dimana kita menciptakan teknologi dan kemudian teknologi kembali pada siapa diri kita. McLuhan menyebutkan teknologi media telah

41Terry Flew, New Media, (Australia; Oxford, 2004), Hal 10.

(27)

24 menciptakan revolusi di tengah masyarakat karena masyarakat pada saat ini masyarakat sudah sangat tergantung kepada teknologi dan tatanan masyarakat terbentuk berdasarkan pada kemampuan masyarakat menggunakan teknologi. 42

Teknologi komunikasi menjadi penyebab utama perubahan budaya, McLuhan dan Innis menyatakan bahwa media merupakan kepanjangan atau eksistensi dari pikiran manusia, dengan demikian media memegang peran dominan dalam mempengaruhi tahapan perkembangan manusia.43 O’Brien mengatakan bahwa perilaku manusia dan teknologi memiliki interaksi di dalam lingkungan sosioteknologi.44 Sehingga bisa dikatakan bahwa ketika teknologi hadir dalam bentuk baru, maka akan mempengaruhi struktur masyarakat, strategi komunikasi, masyarakat dan budaya, serta proses sosial. Kehadiran new media secara tidak langsung merubah struktur masyarakat Indonesia. Adanya pergeseran struktur sosial masyarakat secara tidak langsung mengubah pola komunikasi yang terjadi di dalam masyarakat tersebut. Saat ini remaja di Indonesia menjadi tidak segan dalam menyampaikan segala kegiatan pribadinya ke dalam ruang publik.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) dan Pusat Kajian Komunikasi (PusKaKom) Universitas Indonesiatahun 2016 saat ini pengguna internet dari total populasi Indonesia 256,2 juta orang sudah mencapai 51,8% atau sebesar 132,7 juta orang. Jumlah pengguna internet di pulau Jawa paling tinggi sebanyak 65%, diikuti Sumatera 15%, Sulawesi 6,3%, Kalimantan 5,8%, Bali dan Nusa tenggara 4,7%, dan Maluku-Papua 2,5%.Pengguna internet di indonesia rata-rata tertinggi adalah pengguna muda internet dengan umur pengguna sekitar 25-34

42 E.M. Griffin, A First Look at Communication Theory 5th Edition, (New York; McGraw Hill, 2003), Hal.

43Morissan, dkk. Teori Komunikasi Massa, (Bogor; Ghalia Indonesia, 2010), Hal. 31.

44 Burhan Bungin, Sosiologi Komunikasi: Teori, Paradigma, dan Diskursus Teknologi Komunikasi di Masyarakat. (Jakarta; Kencana, 2006), hal.

(28)

25 tahun sebesar 76,1%. Dari total pengguna internet sebanyak 69,22% atau sebesar 91,8 juta adalah pekerja/wiraswasta. Pengguna terbanyak berikutnya adalah mahasiswa sebesar 13,38% atau 17,8 juta jiwa.Alasan utama pengguna mengakses internet yang paling sering adalah alasan untuk update informasi atau memperbaharui informasi dengan persentase 25,3% atau sekitar 31,3 juta. Sementara jenis konten yang paling sering diakses oleh pengguna internet di Indonesia adalah media sosial dengan persentase sebesar 97,4% atau 129,2 juta.Konten yang paling sering dikunjungi di media sosial adalah media sosial facebook, penggunanya sangat banyak sekitar 54% atau sebesar 71,6 juta pengguna, diikuti Instagram sebanyak 15%, Youtube 11%, Google+ 6%, Twitter 5,5%, dan Linkedin 0,6%.Berdasarkan penelitian tersebut menunjukkan sekitar 69,9% pengguna atau sekitar 92,8 juta pengguna melakukan aktivitas internet di tempat tidak tetap/dimana saja.45

Dapat disimpulkan pengguna internet mengakses internet tanpa batas melalui fasilitas data internet provider atau jaringan wifi di banyak tempat. Hal ini berarti pengguna internet mampu memperoleh informasi apapun secara cepat tanpa batas lokasi dan waktu. Konten paling banyak dikunjungi adalah sosial media, yang berarti masyarakat muda Indonesia menginginkan segala informasi dapat diakses melalui sosial media. Hal ini dapat menjadi landasan berpikir pemerintah apabila menghendaki masyarakat, terutama kelompok muda, untuk berpartisipasi politik, sangat baik apabila menggunakan media sosial. Banyak pemimpin mulai menggunakan sosial media untuk berkomunikasi dengan masyarakat.

Tentu saja lebih baik lagi apabila pemerintah yang terkait langsung dengan aktivitas politik mampu memanfaatkan sosial media untuk berinteraksi langsung dengan masyarakat menggunakan teknologi terkini.

45Indonesia Dalam Angka 2012. Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) dan Pusat Kajian Komunikasi (PusKaKom) Universitas Indonesia.

(29)

26 3. Media Sosial dan Politik di Indonesia

Salah satu teori Komunikasi yang menjelaskan mengenai perubahan media adalah teori Difusi Inovasi. Teori difusi-inovasi mengatakan bahwa komunikator yang mendapatkan pesan dari media massa sangat kuat untuk mempengaruhi orang-orang. Dengan demikian, adanya inovasi (penemuan), lalu disebarkan (difusi) melalui media massa akan kuat memengaruhi massa untuk mengikuti.46 Rogers dan Shoemaker (1971) menyebutkan difusi adalah proses dimana penemuan disebarkan kepada masyarakat yang menjadi anggota sistem sosial. Teori ini di awal perkembangannya mendudukkan peran pemimpin opini (opinion leader) dalam memengaruhi sikap dan perilaku masyarakat. Hal ini berarti Teori difusi – inovasi memposisikan peran media massa sebagai agen perubahan sosial dengan pengaruh kuat di masyarakat. Hal atau sesuatu yang baru akan menimbulkan keingintahuan masyarakat dan cenderung untuk menyebarkan kepada orang lain. Lalu, media massa berperan untuk memperkenalkan penemuan baru tersebut.47

Pengaruh media sosial dalam dunia politik khususnya dalam hal komunikasi politik, terutama dalam kampanye Pemilu.48 Penting bagi institusi politik untuk berpartisipasi aktif dalam komunikasi politik yang berbasiskan media sosial, terutama dalam kampanye Pemilu. Media sosial selanjutnya menggambarkan sebagai sarana ideal dan basis informasi untuk mengetahui opini publik tentang kebijakan dan posisi politik, selain untuk membangun dukungan komunitas kepada politisi yang tengah berkampanye. Sejumlah penelitian menunjukkan politisi di seluruh dunia telah mengadopsi media sosial untuk menjalin hubungan dengan konstituen, berdialog langsung dengan masyarakat dan membentuk diskusi politik. Kemampuan menciptakan ruang dialog antara politisi dengan publik serta menarik minat pemilih pemula/pemilih muda membuat media

46Nurudin, Pengantar Komunikasi Massa, (Depok: Raja Grafindo Persada, 2013), Hal. 189

47 Ibid. Hal. 190-191.

48Chavez, 2012; Riaz, 2010; Stietglitz & Dang-Xuan, 2012.

(30)

27 sosial semakin penting bagi politisi.49 Sebelum menggunakan media sosial para politisi sudah menggunakan internet untuk berkampanye. Internet bisa menjadi cara yang potensial dalam mendobrak politik demokrasi massa yang opresif yang menyuarakan suara dari bawah ke atas, yang kerap dengan power yang dimiliki, dimanfaatkan oleh penguasa untuk kepentingan golongannya. Internet diharapkan bisa menjadi media bagi mengalirnya informasi dua arah yang interaktif antara politisi dan pendukungnya. Internet menjanjikan memberikan forum yang seluas- luasnya bagi pengembangan kelompok kepentingan dan sebagai sarana penyaluran opini.50 Di Indonesia, penggunaan internet sebenarnya sudah dimulai sejak Pemilu 1997, di mana kontestan Pemilu saat itu: Golongan Karya, Partai Demokrasi Indonesia, dan Partai Persatuan Pembangunan, masing-masing memiliki situs resmi. Informasi dalam situs tersebut meliputi program partai, pernyataan politik, susunan pengurus pusat/daerah, AD/ART, dan kesempatan dialog dengan pengurus. Pada Pemilu 2004 dan 2009 penggunaan internet semakin meningkat pada partai politik, individu calon legislator, calon presiden dan calon wakil presiden.51 Keberhasilan menggunakan media sosial dipandang sebagai salah satu faktor kesuksesan Barack Obama memenangi pemilihan presiden Amerika Serikat. Sekitar 30 persen pesan-pesan kampanye Obama disampaikan melalui media baru.52 Beberapa tahun sebelum Obama, terdapat nama Howard Dean yang mampu memanfaatkan internet untuk meraih atensi publik AS. Namun saat itu Dean kandas di konvensi nasional Partai Demokrat.53 Di Inggris, makin banyak anggota parlemen menggunakan blog dan Yahoo Groups untuk mengkomunikasikan ide

49 Stieglitz & Dang-Xuan, 2012.

50 Asih, Irsanti Widuri. 2011. “Media Sosial dan Politik: Sarana E-Democracy atau Sekadar Pepesan Kosong?”dalam Proceeding Semnas FISIPUT. Hal.452-465.

51 Putra, Afdal Makkuraga. 2011. “Media Baru dan Fenomena Komunikasi Politik pada Pemilukada di Propinsi Banten 2011” dalam Jurnal UMN Volume III Nomor 2 Desember. Hal.23- 34.

52 Riaz, Saqib. 2010. “Effects on New Media Technologies on Political Communication” dalam Journal of Political Studies, Vol. 1, Issue 2 University of the Punjab Lahore. Hal. 161-173.

53 Chavez, 2012.

(31)

28 mereka dan mendengarkan ide orang lain.54 Media sosial merupakan rimba raya, dan praktis tidak ada peraturan di dalamnya.55 Apabila tantangan itu tidak dihadapi dengan bijak, maka hasilnya aktor politik tersebut justru malah menjadi bahan cibiran di dunia maya. Media sosial telah mengaburkan pemahaman orang, apakah yang dikatakan tersebut merupakan sikap resmi atau hanya ungkapan pemikiran atau perasaan dia sebagai pribadi. Sikap resmi atau institutional rhetoric dan ungkapan pribadi atau everyday talk sering tumpang tindih.56 Seseorang akan salah persepsi apakah curhat yang dilakukan oleh aktor politik di media sosial merupakan ungkapan dirinya sebagai pribadi atau mewakili institusinya.

Persoalannya aktor politik di Indonesia masih belum menyadari bahwa dalam berkomunikasi di media sosial memerlukan kemampuan tersendiri.

Kemampuan di sini tentu tidak hanya kemampuan teknis, tetapi mentalitas.

Kehadiran media sosial menuntut para pelaku politik untuk beradaptasi.

Namun para pelaku politik tersebut sering kesulitan dalam fase adaptasi ini57.

Ada beberapa hal yang berkaitan dengan “mentalitas lama” (old mentalities) seperti yang disebutkan di atas – dan hal ini umumnya dialami oleh organisasi yang menggunakan media sosial. Salah satunya adalah mengabaikan sifat interaktif yang ada di media sosial. Dalam era politik kontemporer, politisi harus memikirkan audiens interaktif dan kapasitas mereka untuk menjawab, menanggapi, mendistribusikan dan memodifikasi pesan yang mereka terima. Penelitian Asih mengungkapkan bahwa partai politik di Indonesia mayoritas belum memaksimalkan media sosial dan media baru. Faktor interaktifitas diabaikan. Dari 34 parpol peserta Pemilu

54 Guervitch, Michael. , Coleman, Stephen., Blumler, Jay G. 2009. “Political Communication -- Old and New Media Relationships” dalam The ANNALS of the Amreican Academy of Political and Social Science 625. Hal.164-182.

55 Fitch, Kate. 2009. “Making Friends in the Wild West: Singaporean Public Relations Practitioners’ Perceptions of Working in Social Media” dalam PRism 6(2). Hal 1-14.

56 Finet, Dayna. 2001. “Sociopolitical Environments and Issues” dalam The New Handbook of Organizational Communication: Advances in Theory, Research, and Methods. Fredric M. Jablin &

Linda L. Putnam (Eds). Thousand Oaks: SAGE. Hal 274-276.

57 Chavez, 2012. Op cit.

(32)

29 2009, seluruhnya memiliki website. Sayangnya situs web tersebut belum dimanfaatkan secara maksimal sebagai media komunikasi dua arah.

Hampir di semua website parpol tidak tersedia forum yang memungkinkan komunikasi dua arah. Kalau pun tersedia, forum ini tidak dapat diakses.

Facebook dan Twitter yang digunakan oleh politisi dan partai politik ternyata isinya hanya untuk menginformasikan hal-hal yang baik-baik saja.

Transaksi informasi yang terjadi didominasi oleh posting-posting yang disampaikan oleh simpatisan parpol atau politisi. Politisi dan partai politik sekadar latah menggunakan jejaring sosial untuk berinteraksi. Media sosial masih dimanfaatkan sebagai media kampanye, belum interaktif, belum aspiratif. Padahal media sosial memiliki potensi sebagai sarana untuk mendengarkan suara masyarakat.58

Di era interaktif digital, produksi pesan dan citra politik malah justru menjadi hal yang rawan untuk "diganggu". Pelaku politik harus mempertimbangkan kemungkinan bahwa pesan-pesan mereka akan dimodifikasi oleh pihak lain ketika pesan tersebut disampaikan melalui media sosial. Lingkungan media digital tidak menghargai integritas informasi: ketika informasi itu sudah dipublikasikan secara online, maka siapa pun bebas untuk memodifikasinya.59 Para pengguna internet tak tertarik untuk mencari rekam jejak atau program yang ditawarkan oleh politisi. Sebaliknya, ada kecenderungan di masa kampanye Pemilu, internet justru digunakan untuk mengolok-olok politisi dan menyerang politisi yang tidak disukai.60

Kelemahan partai politik dan politisi di Indonesia adalah hanya

“menyapa” konstituen biasa/pendukung biasa setiap lima tahun saja, yakni menjelang pemilihan umum. Jika tidak mendekati pemilihan umum, partai

58 Asih, Irsanti Widuri. 2011. “Media Sosial dan Politik: Sarana E-Democracy atau Sekadar Pepesan Kosong?” dalam Proceeding Semnas FISIPUT. Hal.452-465.

59Gurevitch, et.al, 2009. Op cit.

60 Momoc, Antonio. 2011. “New Media and Social Media in the Political Communication” dalam The 6th Edition of The International Conference European Integration-Realities and Perspectives.

Hal.556- 562.

(33)

30 atau politisi hanya menyapa pendukung-pendukung yang kaya.61 Padahal sebenarnya politisi perlu memberikan gambaran dirinya kepada publik atau yang lebih dikenal sebagai branding. Brandingmenggunakan new media yang diwakilioleh media sosial dapat berefek positifuntuk perusahaan maupun dalam kasusini adalah personal. Hal ini didukung oleh kemampuan internet dalam menjangkaumasyarakat yang sebelumnya terabaikanlewat branding dengan cara lama. Penelitian ini juga dilengkapi oleh kemampuan media sosial yang dalam kesehariannya dapat menggunakan bahasa masyarakat sehingga kualitas pesan dapat menyebar luas kepada publik.62

Kesuksesan branding melalui media sosial ditentukan oleh pengelolaan media sosial secara up to date dan senantiasa menjaga komunikasi secara konsisten dengan menggunakan struktur percakapan yang sedang berkembang dalam lingkungan masyarakat.63Berdasarkan penelitian yang berkembang, penggunaan media sosial mempunyai beberapa keuntungan strategis. Secara garis besar keuntungan yang dihasilkan dari branding menggunakan media berbasis internet adalah mudah, murah, praktis, dan efektif.64Politisi tentu merasa menghadapi tantangan lain terkait penggunaan media sosial sebagai upaya pembentukan branding yakni menampilkan pribadi sesuai dengan harapan masyarakat.65

Para pemilih pemula atau dikhususkan lagi para pemilih muda perlu didorong memiliki kemauan terlibat dalam berpolitik atau dengan kata lain berpartisipasi politik. Partisipasi politik sendiri adalah kegiatan seseorang atau kelompok orang untuk ikut serta secara aktif dalam kehidupan politik, yaitu dengan jalan memilih pimpinan Negara dan,

61Wasesa, 2011

62 Toppi, Aino Maijja. 2012. “Corporate Brand Communication Through Social Media In industrial Setting.” Journal University of Honolulu. Vol 2. Hal 36-45.

63 Lipiainen, Heini dan Karjaluotto, Heikki. 2012. “Suggestions For B2B Brand On Surviving In The Digital Age.” Journal University of Helsinki. Vol 3. Hal. 1-6.

64 Anshari, 2013. Op cit.

65Guervitch, et.al., 2009. Op cit.

(34)

31 secara langsung atau tidak langsung, mempengaruhi kebijakan pemerintah (public policy). Salah satu aktivitas partisipasi politik mencakup tindakan seperti memberikan suara dalam pemilihan umum, menghadiri rapat umum, menjadi anggota suatu partai atau kelompok kepentingan, mengadakan hubungan (contacting) dengan pejabat pemerintahan atau anggota parlemen, dan sebagainya.66

Di dalam negara demokrasi, tingginya tingkat partisipasi politik menunjukkan bahwa warga negara mengikuti dan memahami masalah politik dan ingin melibatkan diri dalam kegiatan-kegiatan itu. Sebaliknya tingkat partisipasi yang rendah pada umumnya dianggap sebagai tanda yang kurang baik, karena berarti bahwa banyak warga negara tidak menaruh perhatian terhadap masalah ketatanegaraan. Rendahnya partisipasi politik salah satuya diakibatkan oleh rendahnya kesadaran politik masyarakat, terutama kalangan anak muda. Pengertian “Pemuda”

menurut UU No. 40 tahun 2009 tentang kepemudaan. Pengertian

“Pemuda” adalah warga negara Indonesia memasuki periode penting pertumbuhan dan perkembangan berusia 16 (enam belas) sampai 30 (tiga puluh) tahun. Sedangkan pengertian “Kepemudaan” adalah berbagai hal berkaitan dengan potensi, tanggung jawab, hak, karakter, kapasitas, aktualisasi diri, dan cita-cita pemuda.

Jadi, pemilih muda adalah mereka yang berusia 17-29 tahun pada hari pencoblosan atau yang sudah menikah dan tercatat dalam daftar pemilih tetap. Pemilih muda dalam setiap pemilu nasional ataupun pemilukada mempunyai jumlah yang relatif besar. Miriam Budiarjo secara umum mengartikan partisipasi politik sebagai kegiatan sesorang atau kelompok orang untuk ikut serta secara aktif dalam kehidupan politik yaitu dengan jalan memilih pimpinan negara secara langsung atau tidak langsung memengaruhi kebijakan pemerinah (public policy).67 Terakhir menurut Keith Faulks partisipasi politik adalah keterlibatan aktif individu

66Mirriam, 1998. Op cit.

67Sastroatmodjo, Sudijono. 1995. Perilaku Politik. Semarang: Ikip Semarang Press. Hal. 68.

(35)

32 maupun kelompok dalam proses pemerintahan yang berdampak pada kehidupan mereka. Hal ini meliputi keterlibatan dalam pembuatan keputusan maupun aksi oposisi, yangpenting partisipasi merupakan proses aktif.68

Menurut Ramlan Surbakti partisipasi politik terbagi menjadi dua yaitu partisipasi aktif dan pasrtisipasi pasif. Partisipasi aktif adalah mengajukan usul mengenai suatu kebijakan umum, mengajukan alternatif kebijakan umum yang berlainan dengan kebijakan yang dibuat pemerintah, mengajukan kritik dan perbaikan untuk meluruskan kebijakan, membayar pajak dan memilih pemimpin pemerintah. Sebaliknya, kegiatan yang termasuk dalam kategori partisipasi pasif berupa kegiatan-kegiatan yang menaati pemerintah, menerima, dan melaksanakan saja setiap keputusan pemerintah.69 Sementara itu, Milbart dan Goel membedakan partisipasi menjadi beberapa kategori. Pertama, apatis. Artinya, orang yang tidak berpartisipasi dan menarik diri dari proses politik. Kedua, spectator.

Artinya, orang yang setidak-tidaknya pernah ikut memilih dalam pemilihan umum. Ketiga, gladiator. Artinya mereka yang secara aktif terlibat dalam proses politik, yakni komunikator, spesialis mengadakan kontak tatap muka, aktivis partai dan pekerja kampanye, dan aktivis masyarakat.70

Dari artikel yang diterbitkan KPU Jakarta disebutkan sebagian dari pemilih muda adalah pemilih pemula, yaitu warganegara yang berusia 17- 21 tahun dan baru pertama kali memilih dalam pemilu. Untuk meningkatkan partisipasi dalam pemilu pemilih muda perlu mengetahui dan memahami berbagai hal yang terkait dengan pemilu.71

68Faulks, Keith. 2010. Sosiologi Politik. Bandung: Nusa Media. Hal. 226.

69Surbakti, Ramlan. 1997. Partai Pemilu dan Demokrasi . Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Hal 142.

70 Ibid. Hal. 143.

71 Sumber: http://www.kpu.go.id, 14 Maret 2014, 17.06 WIB.

Gambar

Diagram 1 Partisipasi Berdasarkan Kepemilikan KTP Baru  Mayoritas  responden  dalam  penelitian  ini  menyatakan  baru  berpartisipasi  dalam  pemilu  setelah  memiliki  KTP
Diagram 2 partisipasi dalam mencoblos setlah punya KTP
Diagram 3 Baru Berpartisipasi Meski Sudah Lama Punya KTP  D.  Ketertarikan Pemilih Muda Berpartisipasi Dalam Pemilih
Diagram 4 Partisipasi Pemilu Karena Tren
+7

Referensi

Dokumen terkait

Pengadilan Negeri Bangil merupakan bagian lingkungan peradilan umum di bawah Mahkamah Agung RI sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan

Dalam penelitian ini, analisis yang dilakukan dengan menggunakan Individual Competence Framework (Kerangka Kompetensi Individu). Kemampuan literasi media dapat diukur

Wawancara yang dilakukan ke Kepala Sekolah mencakup latar belakang dari diterapkannya sekolah berbasis inklusi dan tentang sistem pendidikan inklusi yang sudah

Dapat menyajikan konsep dalam berbagai bentuk representasi matematis sebagai suatu logaritma pemahaman konsep namun masih melakukan beberapa kesalahan1. Dapat menyajikan

6. Informed consent yang sudah di tanda tangani oleh pasien atau keluarga pasien disimpan dalam rekam medic.. Bila informed consent yang diberikan oleh pihak lain atau pihak ke

Dari hasil analisa penelitian di atas disimpulkan bahwa kondisi lalu lintas wilayah hinterland saat ini sampai lima tahun mendatang masih layak. Terkait dengan peraturan lalu

Analisis kualitatif dalam penelitian ini menggunakan pendekatan analisis data kualitatif dengan menggunakan alat bantu analisis data statistik baik yang

Rasio Aktivitas merupakan rasio yang dipakai untuk mengetahui sejauh mana perusahaan menggunakan sumberdaya yang dimiliki dalam meningkatkan aktivitas perusahaan, dimana