• Tidak ada hasil yang ditemukan

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Kesejahteraan Psikologis Ibu yang Memiliki Anak Tunagrahita di Kota Salatiga T1 462012052 BAB IV

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Kesejahteraan Psikologis Ibu yang Memiliki Anak Tunagrahita di Kota Salatiga T1 462012052 BAB IV"

Copied!
32
0
0

Teks penuh

(1)

33 BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.1. Setting Penelitian

4.1.1. Gambaran Umum Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Kota Salatiga. Kota Salatiga sendiri merupakan kota kecil yang berada diantara Semarang dan Solo. Peneliti sendiri pernah bertemu dengan beberapa anak berkebutuhan khusus (ABK) yang ada di Kota Salatiga. Di Kota Salatiga juga terdapat beberapa sekolah luar biasa, sekolah inklusi maupun tempat terapi yang mendukung ABK. Peneliti melakukan penelitian di Perkumpulan Orang Tua Anak Istimewa Salatiga (POTAIS) yang merupakan tempat terapi bagi ABK.

(2)

4.1.2. Proses Pelaksanaan Penelitian

4.1.2.1.Persiapan Penelitian

Sebelum melakukan penelitian, peneliti terlebih dahulu menyiapkan hal-hal yang dibutuhkan sebelum turun penelitian. Peneliti menentukan partisipan dan bertanya kepada beberapa orang tua yang memiliki ABK yang sesuai dengan kriteria partisipan untuk menjadi partisipan dalam penelitian di kota Salatiga.

Peneliti sebelumnya meminta ijin kepada pengurus POTAIS untuk melakukan penelitian dengan persyaratan mengajukan surat ijin penelitian dari Fakultas. Untuk itu peneliti mengajukan pembuatan surat ijin penelitian ke Fakultas Ilmu Kesehatan dan mendapatkan surat ijin untuk penelitian di POTAIS pada tanggal 12 April 2016. Setelah mengajukan surat ijin dan mendapatkan ijin untuk mulai melakukan penelitian di POTAIS, peneliti mulai melakukan pendekatan kepada keluarga anak tunagrahita.

(3)

bina hubungan saling percaya (BHSP) antara peneliti dengan calon partisipan. Sebelum memulai penelitian, peneliti meminta persetujuan partisipan dengan memberikan Informed consent untuk dibaca oleh calon partisipan. Peneliti juga menjelaskan bila peneliti akan menggunakan alat rekam untuk merekam seluruh wawancara dan peneliti akan menjaga kerahasiaan partisipan dengan hanya mencantumkan inisial nama partisipan.

Penelitian ini dimulai pada tanggal 12 April 2016 hingga 22 Mei 2016. Penelitian dilakukan di POTAIS dan rumah partisipan, kecuali partisipan 2 karena partisipan menolak untuk melakukan wawancara di rumahnya, sehingga wawancara dilakukan di rumah partisipan 1.

4.1.3. Gambaran Umum Partisipan

(4)

Karakteristik kelima partisipan tersebut adalah sebagai berikut:

Tabel 1

Gambaran Umum Partisipan

Karakteristik P1 P2 P3 P4 P5

Nama Ibu B.A E.Y A.B L K.S

Usia 53 tahun 40 tahun 40 tahun 46 tahun 47 tahun

Pendidikan S2 S1 SMA SMA SMEA

Pekerjaan

Misionaris Guru les/ Tutor

Ibu rumah tangga

Ibu rumah tangga

Ibu rumah tangga

Nama Anak A.J D V A D

Usia Anak 16 tahun 14 tahun 10 tahun 10 tahun 6 tahun

a. Partisipan 1 (P1)

P1 adalah seorang misionaris yang memiliki anak down syndrome. P1 bersedia untuk membantu peneliti

saat peneliti mengatakan mengangkat topik ABK sebagai skripsi peneliti. Wawancara pertama P1 dimulai tanggal 14 April 2016 pukul 10.30 – 11.35. Wawancara dilakukan selama 1 jam 5 menit untuk mendapatkan data penelitian. Wawancara kedua dilakukan tanggal 15 April 2016 pukul 14.00 – 14.30. Pada wawancara kedua dilakukan wawancara selama 21 menit 44 detik.

(5)

Destiny Institute selama ± 2 tahun dan juga menjalani home schooling dengan P1 menjadi gurunya. Pertama kali P1 mengetahui keadaannya anaknya P1 merasa sedih dan kecewa, namun setelah menyadari jika kesedihan dan kekecewaan tidak akan mengubah keadaan anaknya serta dengan adanya dukungan orang di sekitarnya, P1 dapat menerima keadaan anaknya.

b. Partisipan 2 (P2)

P2 adalah seorang guru les atau tutor yang mendampingi orang asing di Kota Salatiga. Anak dari P2 menjalani terapi di POTAIS. Semua wawancara dengan P2 dilakukan di rumah P1, karena P2 menolak dilakukan wawancara di rumahnya. Wawancara pertama P2 dimulai tanggal 14 April 2016 pukul 11.35 – 11.55. Lalu dilakukan wawancara selama 16 menit

36 detik untuk mendapatkan data penelitian. Wawancara kedua dilakukan tanggal 15 April 2016 pukul 14.30 – 14.50. Pada wawancara kedua dilakukan wawancara selama 10 menit 13 detik.

(6)

anaknya adalah seorang anak spesial P2 langsung dapat menerima anaknya, namun dari hasil wawancara tersirat bahwa P2 pernah merasa menolak keadaan anaknya. Penolakan ini dapat pulih menjadi penerimaan setelah P2 mendapat saran dan nasihat dari temen-teman P2.

c. Partisipan 3 (P3)

P3 adalah orang tua yang membawa anaknya untuk terapi di POTAIS. BHSP pada P3 dilakukan di POTAIS. Sedangkan untuk wawancara dilakukan di rumah P3. Wawancara pertama P3 dimulai tanggal 14 April 2016 pukul 13.00 – 14.30. Lalu dilakukan wawancara selama 23 menit 56 detik untuk mendapatkan data penelitian. Wawancara kedua dilakukan tanggal 15 April 2016 pukul 10.00 – 10.20. Pada wawancara kedua dilakukan wawancara selama 5 menit 48 detik.

(7)

anaknya agar anaknya dapat berkembang dengan baik.

d. Partisipan 4 (P4)

P4 adalah orang tua yang membawa anaknya untuk terapi di POTAIS. BHSP pada P4 dilakukan di POTAIS. Sedangkan untuk wawancara dilakukan di rumah P4. Wawancara pada P4 dimulai tanggal 21 April 2016 pukul 12.00 – 13.00. Lalu dilakukan wawancara selama 17 menit 50 detik untuk mendapatkan data penelitian.

Anak P4 adalah anak pertama dari 2 bersaudara. Anak P4 bersekolah di SLB Negeri Salatiga dan juga menjalani terapi di POTAIS selama ± 4 tahun. P4 dapat menerima keadaan anaknya walaupun pernah mengalami “down” karena keadaan sang anak. P4

menyadari bahwa P4 harus menerima keadaan anaknya dan merasa bangga dengan anaknya setelah mendapat nasihat dari orang di sekitarnya maupun dari orang tua yang juga memiliki ABK.

e. Partisipan 5 (P5)

(8)

rumah P5. Wawancara pertama P5 dimulai tanggal 22 April 2016 pukul 13.00 – 14.00. Lalu dilakukan wawancara selama 29 menit 5 detik untuk mendapatkan data penelitian. Wawancara kedua dilakukan tanggal 24 April 2016 pukul 12.00 – 12.30. Pada wawancara kedua dilakukan wawancara selama 7 menit 17 detik.

Anak P5 adalah anak ke 2 dari 2 bersaudara. Anak P5 bersekolah di SLB Negeri Salatiga dan juga menjalani terapi di POTAIS selama ± 4 tahun. P5 dapat menerima keadaan anaknya walaupun pernah mengalami stres karena keadaan sang anak. P4 menyadari bahwa P4 harus menerima keadaan anaknya agar anak dapat berkembang dengan baik.

(9)

4.2. Hasil Penelitian

4.2.1. Deskripsi Hasil Penelitian

4.2.1.1 Penerimaan diri

Penerimaan diri adalah sebuah proses yang dialami oleh partisipan. Ada bermacam-macam reaksi partisipan saat mengetahui anaknya merupakan anak berkebutuhan khusus (ABK). Reaksi-reaksi dari partisipan ini merupakan proses untuk penerimaan diri. Beberapa partisipan mengalami perasaan menolak keadaan anak. Lihat dalam tabel kategorisasi, lampiran 5.

Penolakan ini merupakan proses untuk penerimaan diri. Reaksi penolakan yang timbul adalah perasaan-perasaan kecewa, malu, ketakutan. Selain itu, partisipan juga mengalami perasaan “down” saat mengetahui anaknya merupakan anak

spesial. Ada juga partisipan yang mengalami stres saat awal mengetahui kondisi anak.

(10)

dukungan dari orang lain maka dapat semakin cepat ibu dapat menerima kehadiran anaknya.

Pada P1 reaksi penolakan yang dialami terekspresikan dengan perasaan kecewa dan takut. P1 mengalami perasaan malu, kecewa dan ketakutan. P1 mengatakan ia menangis setiap hari dari awal mengetahui anaknya adalah ABK seperti terdapat dalam kalimat

“…memang saya nangis terus saya nangis terus karna sebelum dia lahir setelah diberitahu anak ini akan diberikan down syndrome saya nangis setiap kali ke gereja saya melihat foto kami dengan peta dunia saya dan suami saya di Indonesia saya nangis karna kami tidak tahu boleh kembali atau tidak. Sepertinya impian kami memang hancur jadi saya nangis terus …”

(P1, 136-139)

Pada saat P1 mengalami penolakan dalam dirinya, orang di sekitar P1 selalu memberikan dukungan untuknya. P1 akhirnya menyadari bahwa anaknya merupakan pemberian Tuhan dan mulai terbuka untuk menerima anaknya. Saat P1 mulai terbuka untuk menerima anaknya, P1 merasa ada jalan terbuka untuk semua yang terjadi padanya.

(11)

tidak pernah membawa anaknya untuk bersosialisasi dengan lingkungan. P2 dapat membawa anaknya untuk bersosialisasi setelah mendapat dukungan dari teman-temannya. P2 mengatakan menerima anaknya dari awal karena memang anak tersebut merupakan anaknya dan juga menerimanya sebagai takdir. P2 menganggap keadaan anaknya merupakan kehendak Tuhan dan bukan hukuman untuknya. Hal tersebut disebutkan oleh P2 seperti dalam kalimat

“…saya cuma mengikuti kehendak Tuhan aja gimana harusnya kalo saya mau sih pengennya anak saya sehat dan normal seperti orang lain tapi Tuhan kan berkehendak lain jadi saya cuma mengikuti seperti itu.”

(P2, 268-270)

(12)

lebih baik, ini sesuai dengan yang disebutkan dalam kalimat

“…waktu pertama-tama ya stress to ka kalo udah dibawa ke sana ke sini kesana ke sini kok perkembangane ga begitu…”

(P3, 384-385)

“…pernah stress ya pas awal-awal terapi itu dia kan masih lari sana lari sini …”

(P5, 310)

Pada P4 juga terlihat adanya proses penolakan. Penolakan tersebut terlihat dalam hasil wawancara dimana partisipan mengatakan merasa “down” saat

mengetahui partisipan memiliki anak spesial. Partisipan merasa memiliki anak spesial itu adalah beban. Partisipan lalu mendapatkan dukungan dari orang sekitar yang membuat partisipan akhirnya menerima anaknya. Dukungan yang diberikan itu berupa nasihat dan masukkan dari orang tua yang juga memiliki ABK, bahwa memiliki ABK bukanlah beban tapi merupakan titipan dari Tuhan yang harus dibanggakan. Seperti disebutkan dalam kalimat

“Awalnya down sih mbak, kok saya dikasih apa cobaan seperti ini kok saya apa dikasih ehmmm beban seperti ini gitu…”

(13)

4.2.1.2 Relasi yang baik dengan orang lain

Perasaan diterima ataupun ditolak dialami oleh partisipan secara beragam terkait partisipan memiliki ABK. Ada beberapa partisipan yang ditolak oleh keluarga maupun di lingkungan karena keadaannya. Pada P1 dan P2 mendapat penolakan dalam keluarganya. Ayah dari P1 menolak keadaan anaknya, ayahnya berpikir seharusnya P1 menggugurkan anaknya saat pertama mengetahui bahwa anak yang dikandungnya adalah ABK. Lihat dalam tabel kategorisasi, lampiran 5.

(14)

“di sini anak-anak pun seperti itu mengejek kalo orang tuanya mungkin memang didikan dari orang tuanya seperti itu karna orang tuanya aja melotot apalagi anak-anak ga punya akal ga diarahkan nah baru di sini saya merasa oh anak saya kok dianggap remeh sama orang”

(P2, 52-52)

Partisipan lainnya mengalami hal yang serupa yaitu menjadi bahan pembicaraan orang lain di lingkungannya. Pembicaraan orang lain ini membuat P3 dan P4 sakit hati. Seperti terdapat dalam kalimat

“…karna omongan orang yang bikin saya sakit hati.”

(P3, 262) “…omongan orang-orang mungkin kadang mengikis hati ya…”

(P4, 53)

Walaupun begitu tidak ada perubahan sosial kedua partisipan. Hubungan P3 dan P4 dengan lingkungan sekitar tetap baik. Relasi P3 dengan lingkungan terlihat baik berdasarkan observasi peneliti. Para tetangga maupun anak-anak mau bermain dan berkumpul di rumah partisipan saat sore hari. Hal ini disebutkan dalam kalimat

(15)

peneliti terlihat P5 memiliki relasi yang baik dengan sekitarnya, tetangga partisipan mau mengobrol dan bermain dengan anak partisipan tanpa merasa aneh. Ini disebutkan dalam kalimat

“Orang itu kan pada dasarnya sama saja to mbak macem-macem pola pikirnya ya mbak jadi ada yang mendukung anak saya ada yang engga mau sama anak saya kan dimana aja sama saja to kayak ibu-ibu yang di sini banyak kan yang mendukung anak saya.”

(P5, 440-442)

4.2.1.3 Otonomi

Memiliki anak berkebutuhan khusus membuat orang tua khususnya ibu memberikan waktunya secara penuh untuk perkembangan anaknya. Semua partisipan memiliki usahanya masing-masing agar anaknya menjadi lebih baik. P1, P3, P4 dan P5 bekerja sama dengan suaminya dalam melakukan usaha-usaha tersebut. Lihat dalam tabel kategorisasi, lampiran 5.

[image:15.516.86.447.191.533.2]
(16)

lagi. P2 berusaha terus untuk kebaikan anaknya dengan membawa anaknya terapi maupun memberikan terapi kembali saat sudah berada di rumah.

Sama dengan P2, partisipan lainnya seperti P3, P4 dan P5 juga melakukan hal yang sama yaitu membawa anaknya untuk terapi. Para partisipan juga mengulang kembali apa yang sudah diajarkan diterapi setelah berada di rumah. Partisipan juga menyekolahkan anaknya agar perkembangan anak dapat maksimal. Partisipan juga mengerti keadaan dan kebutuhan untuk anaknya.

P1 sendiri bersedia untuk menjadi guru dan pendamping untuk anaknya di sekolah setelah diberitahu bahwa anaknya sudah tidak dapat bersekolah di sekolah tersebut karena tidak ada guru yang mampu mengajar ABK. Seperti disebutkan dalam kalimat

“...jadi mulai kelas 2 SD saya menjadi guru anak saya setiap hari saya ke sekolah dan saya mendidik anak saya tetap diterima di kelas itu...”

(17)

4.2.1.4 Penguasaan lingkungan

Dalam penguasaan lingkungan setiap partisipan memiliki cara yang berbeda-beda sesuai kemampuannya. Semua partisipan memiliki penguasaan lingkungan yang baik. Para partisipan dapat menciptakan keadaan lingkungan agar sesuai dengan anak mereka. Lihat dalam tabel kategorisasi, lampiran 5.

Para partisipan memiliki cara yang berbeda dalam menunjukkan penguasaan llingkungannya. P1, partisipan mengajarkan anaknya menghafal A-Z dan membaca sejak dini, sehingga orang tidak akan tahu kondisi anaknya karena anaknya sudah dapat membaca sejak kecil. Seperti disebutkan dalam kalimat

“saya selalu mendidik anak saya membaca buku saya punya foto anak saya waktu usia 2 tahun dia sudah hafal A B C D sampai Z dia sudah usia 4 tahun dia sudah mulai baca”

(P1, 311-313)

(18)

melihat anaknya. P2 akhirnya memikirkan itu dan sekarang partisipan membawa anaknya keluar untuk berjalan-jalan, sehingga anak P2 dapat bersosialisasi dengan orang sekitarnya. Seperti disebutkan dalam kalimat

“…ndak papa setiap tetangga yang dekat saya kunjungi semua anak saya bawa kadang-kadang sore juga ngerumpi saya bawa anak saya gitu.”

(P2, 122-125)

Cara P3 menguasai lingkungan adalah dengan membuktikan bahwa anaknya bukanlah idiot. P3 selalu membiasakan anaknya keluar untuk bersosialisasi dengan lingkungannya setelah anaknya bisa berjalan dan berbicara pada usia 4 tahun. Seperti yang disebutkan dalam kalimat

“…omongan orang ternyata anakmu idiot itu yang saya buktikan oh ternyata anak saya engga makanya anak saya tak saya keluarkan terus”

(P3, 110-111)

P4 lebih tidak memperdulikan pembicaraan orang lain tentang kondisi anaknya. P4 menguasai lingkungan dengan menjelaskan bagaimana kondisi anaknya setiap kali ada yang menanyakan anaknya, sehingga orang lain mengerti kondisi anaknya. Seperti terdapat dalam kalimat

(19)

(P4, 109)

Anak P5 memiliki tingkah laku yang hiperaktif untuk itu partisipan harus memberitahu anaknya secara terus menerus untuk tidak melakukan hal mengganggu tetangganya. Hal ini dilakukan untuk menguasai lingkungan sehingga anaknya dapat diterima dan tidak mendapat perilaku buruk. Partisipan hanya mendiamkan saja pembicaraan orang lain tentang anaknya dan membawa anaknya hanya ke orang-orang yang dapat menerima anaknya saja agar pertumbuhan serta perkembangan anaknya tidak terganggu dengan lingkungan yang menolaknya. Seperti disebutkan dalam kalimat

“Ya orang kan ada yang welcome sama anak saya sama ada yang engga ya saya ngajak anak saya bergaul sama yang welcome aja kalo yang engga yaudah gausah”

(P5, 468-469)

4.2.1.5 Tujuan hidup

(20)

yang normal dapat memiliki aktivitas, kegiatan fisik yang seperti anak pada umumnya dan mampu berpikir seperti anak seusianya (lihat dalam tabel kategorisasi, lampiran 5). Semua partisipan memiliki harapan untuk anaknya dapat menjadi mandiri dan dapat beraktifitas seperti anak lainnya. Seperti disebutkan dalam kalimat

“Tujuan saya yang khusus sih buat anak saya buat anak saya tumbuh normal gitu…”

(P5, 190)

P1 dan P3 memiliki harapan yang sama yaitu agar anaknya dapat lulus sekolah. Selain itu, P1 mengatakan ingin anaknya menjadi seorang yang mandiri walaupun tidak 100% maupun ingin anaknya bekerja dan menikah. Seperti disebutkan dalam kalimat

“Prinsip saya gini loh ka setidaknya gitu anak gini biar bisa dapet ijazah lah jadinya kakanya sekolah adeknya tetap”

(P3, 319-320)

P1 juga menginginkan anaknya dapat menjadi teladan bagi anak yang lainnya, seperti yang terdapat dalam kalimat

“…saya merasa anak saya terpanggil tinggal di Indonesia ehm sebagai dan dia bisa menjadi teladan terus sampe dia sudah dewasa sampe dia meninggal…”

(21)

Harapan untuk anaknya menjadi teladan juga disampaikan oleh P4 dan P5. Seperti disebutkan dalam kalimat

“Ada harapannya anak saya bisa bertumbuh berkembang sempurna lagi seperti anak-anak yang lain dan bisa apa menjadi anak yang berguna ya mungkin buat nusa dan bangsa gitu harapannya”

(P4, 120-121)

“…buat anak saya tumbuh normal gitu kan juga orang- orang lain yang punya anak berkebutuhan khusus biar engga sukanya diumpetke gitu mbak bukannya diterapi…”

(P5, 190-192)

Dalam kehidupannya P2 pernah mengalami keputusasaan karena keadaan anaknya. Tetapi partisipan berpikir keputusasaan tidak membuat semuanya berubah sehingga partisipan kembali menerima keadaan anaknya. Sama seperti partisipan lainnya P2 memiliki harapan terbesar P2 adalah agar anaknya bisa normal. Seperti disebutkan dalam kalimat

“…bisa normal itu harapan terbesar walaupun itu tidak mungkin tapi tetep harap”

(P2, 419)

(22)

Besar harapan juga agar orang tua yang memiliki anak seperti partisipan untuk terbuka untuk menyembuhkan anaknya bukan malah menyembunyikan anaknya. Seperti yang disebutkan dalam kalimat

“..saya ingin lewat anak saya ini mungkin saya suatu saat bisa membagikan orang kan yang apa yang nasibnya seperti saya gini yan punya anak yang apa autis bisa membagikan kalo saya sudah berhasil dalam mendidik anak saya ini.”

(P4, 130-132)

4.2.1.6 Pertumbuhan diri

Memiliki anak berkebutuhan khusus membuat beberapa perubahan dalam kehidupan keluarga. Perubahan ini dialami oleh semua partisipan dalam penelitian ini. Partisipan mengatakan menjadi lebih sabar setelah memiliki, merawat serta membesarkan ABK. Partisipan juga mengalami perubahan yang berbeda-beda dalam diri partisipan. Lihat dalam tabel kategorisasi, lampiran 5.

P1 mengakui adanya perubahan pandangan hidup setelah memiliki anak berkebutuhan khusus. Partisipan juga mengatakan dengan kehadiran anaknya memulihkan kehidupan partisipan.

(23)

kerajaan Tuhan bukan prinsip-prinsip duniawi jadi anak adalah gips saya..”

(P1, 441-442)

P2 menyadari bahwa dirinya tidak memiliki kontrol dalam kehidupan sehingga memiliki anak dengan keadaan spesial itu membuat partisipan menjadi lebih pasrah. Seperti disebutkan dalam kalimat

“..saya cuma mengikuti kehendak Tuhan aja gimana harusnya kalo saya mau sih pengennya anak saya sehat dan normal seperti orang lain tapi Tuhan kan berkehendak lain jadi saya cuma mengikuti seperti itu”

(P2, 268-270)

P3 menyadari bila menginginkan anaknya menjadi lebih baik semuanya harus dilakukan dari partisipan. Dengan ibu sendiri menerima anaknya dan mengusahakan segala sesuatu untuk anaknya, maka anaknya akan berkembang lebih baik. Seperti disebutkan dalam kalimat

“…saya ngelogro cuma ngedengar tetangga bilang halah bocah idiot bocah idiot kan saya menangis anak yo ra piye-piye gitu setelah ada apa-apa saya ikut. Oh iyaya ternyata memang harus dari saya nyatanya anaksaya tambah bagus saya cuma gitu”

(P3, 294-296)

(24)

tapi Tuhan juga memberikan kelebihan pada anaknya. Seperti disebutkan dalam kalimat

“…kita harus bangga punya anak seperti ini juga titipan dari Tuhan gitu ya nah itu saya ambil hikmahnya dan terus apa ya gimana lagi kalo dikasih anak seperti ini kan harus tetep dijaga kita harus diapa digali mungkin kepinterannya”

(P4, 14-16)

Setelah memiliki anak berkebutuhan khusus, P5 menjadi lebih bersyukur lagi dengan keadaan anaknya. Dalam menghadapi suatu masalah partisipan menjadi lebih tenang dan tidak mudah terpancing emosi. Seperti disebutkan dalam kalimat

“..Kita kan jadi bersyukur mbak, dulu kan sudah anak saya kayak gini parah kasian gimana setelah kita tahu banyak anak-anak berkebutuhan khusus lebih lagi kan saya jadilebih bersyukur Alhamdulilah lebih bersyukur lebih baik masih banyak yang autis yang hydrocephalus”

(P5, 193-196)

4.3. Pembahasan

(25)

(environmental mastery), tujuan dalam hidup (purpose in life) dan pertumbuhan diri (personal growth).

Dari analisis hasil penelitian dapat dilihat bahwa dalam setiap partisipan muncul masalah yang berbeda-beda bila dilihat dari setiap aspek kesejahteraan psikologis. Kesejahteraan psikologis sendiri adalah keadaan dimana seseorang memiliki kondisi yang baik dalam penerimaaan kelebihan maupun kekurangan dirinya, memiliki hubungan yang baik dengan orang lain, mandiri, mampu menguasai lingkungan, memiliki tujuan hidup dan bertumbuh dalam pribadi (Ryff, 1989).

Secara detail masalah kesejahteraan psikologis ini berbeda dalam setiap aspek partisipan menghadapi setiap dimensi kesejahteraan psikologis. Aspek penerimaan diri sendiri merupakan aspek paling penting bila dilihat dari hasil penelitian. Dengan mengalami penerimaan diri dimensi lainnya dari kesejahteraan psikologis dapat diatasi.

(26)

Proses penolakan berupa perasaan malu, kecewa, ketakutan dan juga menyesal memiliki anak tunagrahita.

Memiliki ABK bukanlah harapan partisipan saat partisipan mengandung. Sehingga perasaan partisipan saat mengetahui anak dalam kandungannya atau anak yang dilahirkannya merupakan ABK ada perasaan menolak hal tersebut. Dari proses penolakan ini, kelima partisipan akhirnya dapat menerima anaknya.

Semua partisipan menerima segala kekurangan maupun kelebihan anaknya. Hal ini sejalan dengan penerimaan diri menurut Ryff (1989) dimana penerimaan diri yang baik ditandai dengan menerima keadaan dirinya baik kekurangan maupun kelebihannya, berperilaku positif terhadap dirinya dan merasa puas dengan masa lalunya. Kelima partisipan sama-sama percaya bahwa memiliki anak berkebutuhan khusus adalah rencana yang Tuhan percayakan untuk mereka, sehingga mereka hanya tinggal berusaha memberikan yang terbaik untuk anak yang telah dipercayakan kepada mereka.

(27)

tua yang memiliki ABK dapat terbuka sehingga mempengaruhi pengasuhan orang tua terhadap anak. Penerimaan diri yang baik dapat membuat orang tua melakukan apa yang terbaik juga sesuai kebutuhan anak mereka yang berkebutuhan khusus. Dengan adanya dukungan-dukungan sosial tersebut orang tua jadi dapat dengan cepat menerima keadaannya maupun anaknya (Levianti, 2013; Riaz & Qasmi, 2012).

Dalam relasi yang baik dengan orang lain, semua partisipan terlihat memiliki relasi yang baik dengan orang lain. Walaupun dari hasil wawancara beberapa partisipan mendapatkan hal-hal yang tidak menyenangkan, semua partisipan tetap membuat hubungan yang baik dengan orang lain di sekitarnya.

(28)

sehingga orang tua dapat menjadi terbuka dan tidak menjadi bahan pembicaraan orang sekitar (Roffey, 2012).

Dalam aspek otonomi atau kemandirian, kelima partisipan menunjukan partisipan dapat memutuskan sendiri tanpa tergantung orang lain, mampu melawan tekanan sosial dan bersikap dengan benar serta mampu mengontrol perilaku dan mampu mengevaluasi kemampuan diri terkait pengasuhan mereka sebagai orang tua terhadap anaknya. Hal tersebut sesuai dengan konsep mandiri yang dikemukakan oleh Ryff (1989), individu yang mandiri adalah individu yang dapat memutuskan sendiri tanpa tergantung orang lain, mampu melawan tekanan sosial dan bersikap dengan benar, mampu mengontrol perilaku dan mampu mengevaluasi kemampuan diri.

Kelima partisipan dapat bertindak menjadi guru maupun terapis untuk anaknya. Kelima partisipan juga tidak menjadi tertekan dengan tekanan sosial yang tidak menyenangkan karena kondisi anaknya.

(29)

atau menciptakan keadaan yang sesuai dengan nilai dan kepentingan (Ryff, 1989). Penguasan lingkungan yang terlihat dari semua partisipan, yaitu semua partisipan dapat mengasuh agar anak-anaknya tidak mendapat pengaruh yang besar dari lingkungan yang menolaknya.

Penguasaan lingkungan dapat dipengaruhi juga oleh status perkawinan ini sesuai dengan hasil penelitian Moe (2012). Moe mengatakan wanita yang bercerai memiliki penguasaan lingkungan yang lebih rendah dibandingkan dengan wanita yang berkeluarga atau bersuami. Hal ini dikarenakan wanita yang bercerai harus mengurus anaknya dan mencari nafkah seorang diri, serta ibu juga tidak memiliki pasangan untuk berbagi.

Dengan memiliki anak berkebutuhan khusus bukan berarti tujuan hidup ibu dan tujuan hidup ibu terhadap anak hancur. Pada kelima partisipan terlihat jelas bahwa partisipan memiliki tujuan hidup baik untuk masa depan anaknya maupun untuk dirinya sendiri. Partisipan percaya, anak mereka yang spesial ini juga memiliki hidup yang berarti. Dengan segala kekurangannya anak mereka juga memiliki kelebihan yang dapat menjadi teladan bagi orang lain.

(30)

dapat ditemukan dalam kehidupan sendiri. makna hidup dapat ditemukan baik dalam keadaan yang menyenangkan dan tidak menyenangkan, keadaan bahagia, dan penderitaan. Terdapat ungkapan-ungkapan seperti meaning in suffering atau blessing in disguise ungkapan ini memiliki arti bahwa dalam penderitaan sekalipun makna hidup tetap dapat ditemukan. Makna hidup ini sangat sesuai dengan kehidupan keluarga ABK, dimana semua partisipan mengatakan tetap memiliki tujuan hidup walaupun keadaan mereka seperti itu.

Setiap partisipan juga mengalami pertumbuhan diri setelah memiliki anak berkebutuhan khusus. Dalam diri partisipan mengalami perubahan menjadi yang lebih baik. Pertumbuhan diri ini muncul juga dikarenakan adanya penerimaan diri. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian sebelumnya dimana seseorang yang menerima dirinya sendiri memiliki pemikiran yang realistis tentang kelebihan dan kelemahannya, sehingga mereka terfokus pada pertumbuhan dirinya dan menjadi lebih baik dalam berhadapan dengan anak tunagrahita (Bekenkamp, Groothof, Bloemers & Tomic, 2014).

(31)

partisipan dapat juga bertindak sebagai guru maupun terapis untuk anaknya yang dimana mereka belum pernah mengalami sebelumnya. Pengalaman baru seperti ini sesuai dengan personal growth (pertumbuhan diri) menurut Ryff (1989) yaitu membuka diri akan pengalaman baru.

Dilihat dari hasil penelitian jenis ABK dari setiap partisipan memiliki pengaruh dalam kesejahteraan psikologis ibu. Semua partisipan memiliki anak dengan jenis ABK yang berbeda-beda. P1, P3, P4 dan P5 memiliki anak yang tidak memiliki kecacatan secara fisik, sedangkan P2 memiliki anak yang cacat secara fisik. Kesejahteraan psikologis P2 ini lebih rendah dibanding dengan partisipan lainnya.

Perbedaan kesejahteraan psikologis dapat sangat terlihat dari aspek relasi dengan orang lain, dimana P2 masih memiliki kecurigaan dengan orang lain. Hasil ini sesuai dengan hasil penelitian yang mengatakan kesejahteraan psikologis ibu dengan anak-anak retardasi mental khususnya ibu yang memiliki anak Down Syndrome (P1) memiliki kesejahteraan psikologis yang lebih baik dibanding dengan ibu yang memiliki anak retardasi mental lainnya (Abbeduto, Seltzer & Shattuck, 2004).

(32)

dukungan keluarga dan sosial. Keluarga yang mendukung partisipan dapat membuat partisipan lebih terbuka tentang anaknya, sehingga mendukung dalam kesejateraan psikologis partisipan. Selain itu ada faktor-faktor yang mempengaruhi kesejahteraan psikologis yaitu umur, jenis kelamin, faktor ekonomi, pendidikan serta kesehatan.

4.4. Keterbatasan Penelitian

Peneliti menyadari adanya beberapa keterbatasan dalam penelitian yaitu:

1. Dalam penelitian ini tingkat pendidikan maupun usia belum dimasukkan dalam kriteria partisipan.

Gambar

usaha-usaha tersebut. Lihat dalam tabel kategorisasi, lampiran 5.

Referensi

Dokumen terkait

Sasaran yang ingin dicapai Bagian Humas dan Protokol Pemerintah.. Daerah Kabuapten

Jawab: Ya...sudah mendorong keterbukaan informasi dengan kita memunculkan berita, itu berarti kita sudah membuka keluar bahwa kegiatan Pemerintah Daerah Kabupaten Gunungkidul

Alhamdulillahirobbil’ alamin, Dengan puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, taufik serta hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah

Mata bor helix kecil ( Low helix drills ) : mata bor dengan sudut helix lebih kecil dari ukuran normal berguna untuk mencegah pahat bor terangkat ke atas

“dulu pernah kita pindah ke lantai 3, di ruang baca, dengan harapan lebih laku karena lebih banyak mahasiswa yang berlalu-lalang di situ, tapi jadi serasa sesak ruangannya. Trus

Warnanya sama dengan transkrip nilai akademik dari unviersitas, namun dengan desain yang agak berbeda…”koq pas saya wisuda dulu belum diberi yang kayak gini sih Pak..saya mau dong

Putra asisten 2010 yang pertama ditunjuk untuk mepraktekkan kompetensi membuka pelajaran saat dikelas.. “Assalamu’alaikum wr wb., apa

If you're just starting your civil engineering career but need to shore up your resume's infrastructure, check out this resume sample for an entry-level civil engineer below..