DI KABUPATEN TAPANULI SELATAN PROVINSI SUMATERA UTARA
HALIJA NASUTION
DEPARTEMEN KEHUTANAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2007
DI KABUPATEN TAPANULI SELATAN PROVINSI SUMATERA UTARA
SKRIPSI Oleh
HALIJA NASUTION 031202008/BUDIDAYA HUTAN
Skripsi Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana di Departemen Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara
DEPARTEMEN KEHUTANAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2007
Kabupaten Tapanuli Selatan Provinsi Sumatera Utara Nama : Halija Nasution
NIM : 031202008
Program Studi : Budidaya Hutan
Disetujui Oleh Komisi Pembimbing
Achmad Siddik Thoha, S.Hut, M.Si
Ketua Anggota
Bejo Slamet, S.Hut, M.Si
Mengetahui
Ketua Departemen kehutanan
Dr. Ir. Edi Batara Mulya Siregar, M.Si
Alhamdulillah, Puji dan Syukur penulis kepada Allah SWT atas segala rahmat dan kasih sayang-NYa sehingga skripsi ini dapat diselesaikan. Selawat teriring salam kepada Rasulullah Nabi Muhammad SAW yang merupakan pembawa risalah kebenaran dan tauladan umat manusia di muka bumi.
Skripsi ini berjudul “Sistem Informasi Kebakaran Hutan dan Lahan Berdasarkan Indeks Kekeringan dan Titik Panas di Kabupaten Tapanuli Selatan Provinsi Sumatera Utara)”. Skripsi disusun sebagai satu syarat untuk medapat gelar sarjana di Departemen Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara.
Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Achmad Siddik Thoha, S.Hut, M.Si dan Bapak Bejo Slamet, S.Hut, M.Si selaku dosen pembimbing yang telah banyak memberikan saran, bimbingan, dan arahan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih banyak kekurangan dan jauh dari
kesempurnaan. Penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan menjadi
masukan bagi upaya pengelolaan dan pencegahan bahaya kebakaran secara dini untuk
kelestarian hutan dan lahan di Kabupaten Tapanuli Selatan.
iii DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR ... ii
DAFTAR ISI... iii
DAFTAR TABEL ... v
DAFTAR GAMBAR ... vi
DAFTAR LAMPIRAN ...viii
PENDAHULUAN ... 1
Latar Belakang ... 2
Tujuan Penelitian ... 5
Hipotesis Penelitian ... 5
Manfaat Penelitian ... 5
TINJAUAN PUSTAKA ... 6
Pengaruh Faktor-Faktor Iklim pada Kebakaran Hutan ... 6
Dampak Kebakaran Hutan ... 11
Sistem Informasi Kebakaran Hutan ... 12
Nilai Bahaya Kebakaran Hutan ... 14
Indeks Kekeringan Keetch Byram Drougth Index (KBDI)... 16
Titik Panas (hotspot) ... 19
Satelit Meteorologi NOAA dan Stasiun Penerimanya... 19
Aplikasi Sistem Informasi Geografis (SIG) ... 23
METODOLOGI PENELITIAN ... 24
Lokasi dan Waktu Penelitian ... 24
Bahan dan Alat Penelitian ... 24
Metode Penelitian ... 25
Pengumpulan Informasi Dasar Penelitian ... 25
Pengolahan Data ... 25
Input Data ke Sistem Informasi Geografis (SIG) ... 32
Analisa Data ... 38
Pola sebaran Titik Panas ... 38
Indeks Kekeringan KBDI ... 39
Hubungan Kejadian Hujan dan Indeks Kekeringan KBDI .... 39
Hubungan Kejadian Hujan dan Sebaran Titik Panas ... 39
Hubungan Sebaran Titik Panas dan Indeks Kekeringan KBDI ... 39
KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN ... 40
Kondisi Fisik ... 40
Kependudukan ... 43
Perekonomian ... 43
HASIL DAN PEMBAHASAN ... 45
Sebaran Titik Panas Bulanan di Kabupaten Tapanuli Selatan Tahun 2004, 2005 dan 2006... 45
Sebaran Titik Panas Tahunan Per-Kecamatan di Kabupaten
Tapanuli Selatan Tahun 2004, 2005 dan 2006 ... 48
iv
Indeks Kekeringan KBDI di Kabupaten Tapanuli
Selatan Tahun 2004, 2005 dan 2006 ... 51
Hubungan Sebaran Titik Panas dan Indeks Kekeringan KBDI ... 62
KESIMPULAN ... 68
Kesimpulan ... 68
Saran ... 69
DAFTAR PUSTAKA ... 70
LAMPIRAN
v
DAFTAR TABEL
Halaman
1. Status Delapan Generasi Terakhir NOAA ... 19 2. Skala Sifat Bahaya Kebakaran Berdasarkan ... 25 3. Curah Hujan dan Banyaknya Hari Hujan di Kabupaten Tapanuli Selatan 39 4. Curah Hujan Menurut Kecamatan di Kabupaten Tapanuli Selatan ... 40 5. Daftar Perusahaan Perkebunan yang terdapat di Kabupaten
Tapanuli Selatan... 41 6. Daftar Kawasan Hutan Tetap (Registrasi) di Kabupaten
Tapanuli Selatan... 42 7. Jumlah Titik Panas Bulanan Kabupaten di Tapanuli Selatan
Tahun 2004, 2005 dan 2006... 45 8. Rata-Rata Curah Hujan dan Jumlah Titik Panas Bulanan di Kabupaten
Tapanuli Selatan Tahun 2004, 2005 dan 2006 ... 47 9. Jumlah Titik Panas Tahunan Per-Kecamatan di Kabupaten Tapanuli
Selatan Tahun 2004, 2005 dan 2006 ... 49 10. Jumlah Titik Panas dan Indeks Kekeringan Bulan Agustus
di Kecamatan Sosa Tahun 2004, 2005 dan 2006 ... 63
vi
DAFTAR GAMBAR
Halaman 1. Hotspot Data Information Dissemination System ... 20 2. Penentuan Permulaan Perhitungan Indeks KBDI ... 26 3. Perhitungan Indeks Kemarau Kemarin dan Perhitungan Curah Hujan
Besih 24 Jam ... 27 4. Perhitungan IKK dengan Curah Hujan Bersih dan Perhitungan Faktor
Kekeringan ... 28 5. Perhitungan Indeks Kekeringan Hari ini dan Perhitungan Tingkat
Ajektif Hari ini ... 29 6. Jumlah Sebaran Titik Panas Bulanan Kabupaten Tapanuli Selatan
Tahun 2004, 2005 dan 2006 (Sumber Data Satelit NOAA, FFPMP2- PHKA/JICA ... 45 7. Peta Sebaran Titik Panas Tahunan di Kabupaten Tapanuli Selatan
Tahun 2004, 2005 dan 2006... 46 8. Rata-Rata Curah Hujan dan Titik Panas Bulanan di Kabupaten Tapanuli
Selatan Tahun 2004, 2005 dan 2006 ... 48 9. Jumlah Sebaran Titik Panas Tahunan Per-Kecamatan di Kabupaten
Tapanuli Selatan Tahun 2004, 2005 dan 2006 (Sumber Data Satelit NOAA, FFPMP2-PHKA/JICA ... 50 10. Kejadian Hujan dan Indeks Kekeringan di Stasiun Pengamat Hujan
BPP Gunung Tua Tahun 2004, 2005 dan 2006 ... 51 11. Kejadian Hujan dan Indeks Kekeringan di Stasiun Pengamat Hujan
BPP Camat Binanga Tahun 2004, 2005 dan 2006 ... 52 12. Kejadian Hujan dan Indeks Kekeringan di Stasiun Pengamat Hujan
BPP Arse Tahun 2004, 2005 dan 2006 ... 52 13. Kejadian Hujan dan Indeks Kekeringan di Stasiun Pengamat Hujan
BPP Aek Godang Tahun 2004, 2005 dan 2006 ... 52 14. Kejadian Hujan dan Indeks Kekeringan di Stasiun Pengamat Hujan
BPP Saipar Dolok Hole Tahun 2004, 2005 dan 2006 ... 53 15. Kejadian Hujan dan Indeks Kekeringan di Stasiun Pengamat Hujan
BPP Balakka Sitongkon Tahun 2004, 2005 dan 2006 ... 53
vii
16. Kejadian Hujan dan Indeks Kekeringan di Stasiun Pengamat Hujan BPP Ujung Batu Tahun 2004, 2005 dan 2006 ... 53 17. Kejadian Hujan dan Indeks Kekeringan di Stasiun Pengamat Hujan
BPP Aliaga Tahun 2004, 2005 dan 2006 ... 54 18. Kejadian Hujan dan Indeks Kekeringan di Stasiun Pengamat Hujan
BPP Sosopan Tahun 2004, 2005 dan 2006 ... 54 19. Kejadian Hujan dan Indeks Kekeringan di Stasiun Pengamat Hujan
BPP Padang Balangka Tahun 2004, 2005 dan 2006... 54 20. Peta Tingkat Kekeringan di Kabupaten Tapanuli Selatan Tahun 2006 ... 57 21. Peta Curah Hujan Rata-Rata Tahunan di Kabupaten Tapanuli Selatan
Tahun 2004, 2005 dan 2006... 61 22. Peta Indeks Kekeringan dan Titik Panas di Kabupaten Tapanuli
Selatan Bulan Agustus 2006 ... 64
viii DAFTAR LAMPIRAN
1. Data Suhu Maximum (Tmax) Tahun 2004, 2005 dan 2006 di Stasiun Meteorologi Aek Godang ... 73 2. Data Curah Hujan Bulanan dan Tahunan di Kabupaten Tapanuli
Selatan Tahun 2004, 2005 dan 2006 ... 74 3. Rekap KBDI, Nilai Ajektif dan Curah Hujan di Kabupaten
Tapanuli Selatan Tahun 2004, 2005 dan 2006 ... 75 4. Jumlah Sebaran Titik Panas (hotspot) Bulanan Per-Kecamatan di
Kabupaten Tapanuli Selatan Tahun 2004, 2005 dan 2006 ... 77 5. Jumlah Sebaran titik Panas di Kabupaten Tapanuli Selatan Tahun
2004, 2005 dan 2006 ... 79
Latar Belakang
Kerusakan hutan di Indonesia berdasarkan data Badan Planologi Kehutanan tahun 2003 menunjukkan bahwa laju deforestasi di kawasan hutan pada tahun 1997-2000 sebesar 2,38 juta ha, sementara diluar kawasan hutan sebesar 0,68 juta ha, laju kerusakan hutannya mencapai 1,6 juta ha per tahun. Dari data Departemen Kehutanan tahun 2004 ditunjukan bahwa luas seluruh kawasan hutan Negara adalah 120,6 juta ha dengan rincian hutan primer seluas 65,3 juta ha (54%), hutan sekunder 29,3 juta ha (24%) wilayah yang tidak lagi berhutan mencapai luas 23,6 juta ha (20%) dan hutan tanaman seluas 23,6 juta ha (Wibowo, 2006).
Laju kerusakan hutan yang terjadi pada umumnya berasal dari aktivitas yang sebagian besar dilakukan oleh masyarakat yang berada disekitar hutan maupun yang berada diluar kawasan hutan, aktivitas tersebut berupa kebakaran yang tidak terkontrol, penebangan, perladangan, pemukiman, industri, pencemaran dan lain sebagainya.
Dari tingkat keparahan kerusakan hutan yang terjadi, kebakaran merupakan penyebab kerusakan yang tercepat dan membawa dampak negatif yang besar.
Purbowaseso (2004) menyatakan kerusakan yang berlangsung selama kebakaran hutan bersifat eksplosif yang artinya terjadi dalam waktu yang relatif cepat dan dapat mencakup areal yang luas.
Kebakaran hutan dan lahan yang terjadi pada tahun 1997-1998 yang sebagian
besar terjadi di Kalimantan dan Sumatera telah menyebabkan berbagai kerusakan yang
diperkirakan hampir senilai 10 miliar dolar (FWI/GFI, 2001) dan pemerintah Indonesia
menyatakan kebakaran hutan yang terjadi pada tahun tersebut merupakan bencana
nasional (national disaster) (Purbowaseso, 2004).
Besarnya kerugian dari kebakaran hutan yang terjadi, memerlukan suatu penanggulangan agar kejadian tersebut dapat diminimalisasi serta tidak menyebabkan kerugian terlalu besar. Dimana aspek pencegahan adalah hal yang utama dilakukan agar kebakaran hutan tidak terjadi. Purbawaseso (2004) dalam kegiatan perlindungan hutan dari kebakaran memang harus diutamakan pada aspek pencegahan, sehingga dengan pencegahan yang baik tentunya diharapkan tidak terjadi kebakaran.
Pencegahan kebakaran hutan dapat dilakukan dengan menggunakan sistem informasi kebakaran, dimana sistem ini merupakan suatu sistem pengolahan dan distribusi informasi kebakaran kepada para stakeholder terkait hingga di tingkat lapangan, yang bertujuan untuk mendukung upaya pencegahan dan penanggulangan kebakaran.
Sistem ini terdiri dari aspek pengumpulan data, pengolahan dan analisa pendistribusian informasi kebakaran yang biasanya didukung dengan sistem komputer, teknologi lainnya seperti telekomunikasi, internet, pengindraan jauh atau sistem informasi geografis (SIG).
Sistem peringatan dini kebakaran (fire early warning system) merupakan suatu sistem yang diterapkan sebelum terjadinya kebakaran dan bertujuan untuk kegitan pencegahan agar pihak terkait dan masyarakat luas lebih hati-hati terhadap bahaya kebakaran yang mungkin terjadi ataupun untuk memberi tanda bagi kesiagaan regu pemadam kebakaran, dengan adanya sistem peringatan dini kebakaran (SPDK) kemungkinan sebaran cakupan areal kebakaran dapat diminimalisasi.
Salah satu kegiatan SPDK adalah penerapan penilaian bahaya kebakaran (fire
danger rating) yang menggunakan data cuaca harian sebagai data dasar untuk
menghitung Indeks kekeringan. Salah satu indeks yang digunakan adalah Keecth Byram
Drought Index (KBDI) yang mengepresikan kekeringan sebagai indeks yang bernilai 0
sampai 2000, yang didasarkan pada kandungan air (kelembaban tanah) (Hoffmann dkk,
2007). Dengan menggunakan KBDI kita akan mengetahui kelas bahaya kebakaran hutan
suatu wilyah dengan menggunakan data rata-rata hujan tahunan dari suatu stasiun, suhu maximum hari ini dan curah hujan hari ini yang dapat dikerjakan dengan mudah dengan menggunakan sparedsheet yang telah ada.
Kabupaten Tapanuli Selatan merupakan wilayah yang sektor pertanian dan perkebunannya memberikan peranan paling besar dalam perekonomian. Dimana terdapat 69 perusahaan yang bergerak dibidang perkebunan, seperti kelapa sawit, karet, kakao, dan kopi (BPS Tapanuli Selatan dalam Angka, 2006). Dengan berkembangnya sektor pertanian dan perkebunan, maka terdapat berbagai pola dalam hal pengelolaan lahan yang digunakan. Salah satunya adalah sistem pengelolaan dan pembukaan lahan secara membakar yang membawa dampak negatif bagi lingkungan, yang mana kondisi tersebut dapat terpantau oleh satelit meteorologi NOAA yang mengindikasikan adanya kebakaran berupa titik panas (hotspot).
Menurut hasil penelitian Sitompul (2005) pada tahun 2001, 2002, dan 2003
sebaran titik panas bulanan serta tahunan tertinggi terjadi di beberapa kecamatan di
Kabupaten Tapanuli Selatan Propinsi Sumatera Utara. Oleh karena itu, diperlukan suatu
pengkajian tentang tingkat bahaya kebakaran dan pola sebaran titik panas (hotspot)
sebagai suatu sistem informasi kebakaran guna pencegahan dan perlindungan pada daerah
tersebut.
Tujuan Penelitian
1. Mendapatkan informasi tentang bahaya kebakaran hutan dan lahan di Kabupaten Tapanuli Selatan
2. Mendapatkan hubungan faktor cuaca terhadap sebaran titik panas di Kabupaten Tapanuli Selatan
3. Mendapatkan hubungan faktor cuaca terhadap indeks kekeringan di Kabupaten Tapanuli Selatan
Hipotesis Penelitian
1. Curah hujan semakin banyak maka jumlah titik panas sedikit 2. Curah hujan semakin tinggi maka indeks kekeringan KBDI rendah
3. Indeks kekeringan KBDI semakin tinggi maka jumlah titik panas semakin tinggi
Manfaat Penelitian
1. Mendukung data dan informasi yang digunakan sebagai sistem peringatan dini terhadap bahaya kebakaran hutan dan lahan
2. Dapat digunakan sebagai acuan dalam pengambilan keputusan sebagai upaya
pencegahan dan penanggulangan kebakaran hutan dan lahan bagi stakeholder
Pengaruh Faktor-Faktor Iklim pada Kebakaran Hutan
Chandler et.al (1983) dalam Thoha (2001) menyatakan bahwa cuaca dan iklim mempengaruhi kebakaran hutan dengan berbagai cara yang saling berhubungan yaitu iklim menentukan jumlah total bahan bakar yang tersedia, iklim menentukan jangka panjang waktu dan kekerasan musim kebakaran, cuaca mengatur kadar air dan kemudahan bahan bakar hutan untuk terbakar dan cuaca mempengaruhi proses penyalaan dan penjalaran kebakaran hutan. Adapun pengaruh faktor- faktor iklim pada kebakaran hutan yaitu:
a. Radiasi Matahari
Waktu mempengaruhi kebakaran hutan yaitu melalui proses pemanasan bahan bakar yang dipengaruhi oleh radiasi matahari yang berfluktuasi dalam sehari semalam. Suhu maksimum dicapai pada tengah hari sedangkan suhu minimum tercapai pada saat menjelang matahari terbenam dan dini hari .
Fuller (1991) dalam Thoha (2001) menyatakan bahwa perbedaan pemanasan matahari pada permukaa bumi berperan dalam variasi iklim yang memberikan kontribusi pada bahaya kebakaran. Penyinaran matahari selain memanaskan permukaan bumi juga memanaskan lapisan udara dibawahnya. Pemanasan udara menimbulkan perbedaan tekanan udara yang menyebabkan terbentuknya pola pergerakan angin sehingga angin akan bergerak dari daerah bertekanan tinggi ke daerah bertekanan rendah.
Variabel utama yang mengontrol kadar air bahan bakar pada bahan bakar mati
adalah curah hujan, kelembaban relatif dan suhu. Angin dan penyinaran matahari
merupakan faktor penting pada pengeringan bahan bakar dimana pengaruhnya pada
perubahan suhu bahan bakar dan suhu kelembaban relatif pada udara yang berbatasan langsung dengan permukaan bahan bakar.
b. Suhu Udara
Suhu udara bahan bakar adalah salah satu faktor yang menentukan kemudahannya untuk terbakar dan tingkat terbakarnya. Suhu dicapai dengan penyerapan radiasi matahari secara langsung dan konduksi dari lingkungan termasuk udara yang meliputinya. Suhu udara merupakan faktor yang selalu berubah dan mempengaruhi suhu bahan bakar serta kemudahannya untuk terbakar. Suhu udara tergantung dari intensitas panas/penyinaran matahari. Areal dengan intensitas penyinaran matahari yang tinggi akan menyebabkan bahan bakar cepat mengering, sehingga memudahkan terjadinya kebakaran. Suhu yang tinggi akan mengindikasikan bahwa daerah tersebut cuacanya kering sehingga rawan kebakaran (Purbowaseso, 2004).
Menurut Saharjo (1997) dalam Thoha (2001) pada hari pagi dengan suhu yang cukup rendah sekitar 20 ◦C ditambah dengan rendahnya kecepatan angin membuat api tidak berkembang sehingga terkosentrasi pada satu titik. Sementara siang hari dengan suhu 30-35 ◦C, dan kadar air bahan bakar cukup rendah (<30%) membuat proses pembakaran berlangsung cepat dan bentuk kebakarannya pun tidak satu titik, tapi berubah-ubah karena pengaruh angin.
c. Kelembaban Udara
Kelembaban udara berasal dari evaporasi air tanah, badan air dan transpirasi
tumbuh-tumbuhan. Ketika kandungan air di udara sama dengan besarnya penguapan
air, maka terjadilah kondisi jenuh udara. Umumnya kandungan air di udara lebih kecil
dari penguapan yang terjadi, dan kondisi ini disebut udara tak jenuh. Para ahli
meteorologi menggambarkan kelembaban udara sebagai Relative Humadity
(kelembaban relatif) yang didefenisikan sebagai rasio antara kandungan air dalam udara pada suhu tertentu dengan kandungan air maksimum yang dapat dikandung pada suhu dan tekanan yang sama. Kelembaban udara yang tinggi akan mempengaruhi kandungan air bahan bakar, dimana bahan bakar akan menyerap air dari udara yang lembab tersebut. Wilayah tropis memiliki ciri khas seperti ini dan secara alami wilayah-wilayah dengan ciri seperti ini memiliki ketahanan terhadap kebakaran hutan (Purbowaseso, 2004).
Menurut Saharjo (1997) dalam Thoha (2001), kelembaban relatif yang tinggi di pagi hari yaitu sekitar 90-95% ditambah dengan rendahnya kecepatan angin membuat api tidak berkembang sehingga terkosentrasi pada satu titik. Sementara siang hari dengan kelembaban relatif 70-80% dan kadar air bahan bakar cukup rendah (<30%) membuat proses pembakaran berlangsung cepat dan bentuk kebakarannya pun tidak satu titik, tapi berubah-ubah karena pengaruh angin.
d. Presipitasi
Penelitian Triani (1995) dalam Thoha (2001) yang mengadakan penelitian di KPH Banyuwangi Selatan menunjukan hasil perhitungan indeks kekeringan bekisar 0-800 (menurut Kingstone dan Ramadhan). Pada bulan dengan sedikit curah hujan, indeks kekeringan cukup tinggi, sebaliknya pada bulan dengan curah hujan tinggi , indeks kekeringan rendah, bahkan mencapi angka nol. Hal ini menunjukan bahwa curah hujan mempengaruhi kadar air bahan bakar.
Hal yang sama juga dijelaskan Syaufina (1988) dalam Thoha (2001), bahwa di
Semarang, Jawa Tengah, puncak kebakaran hutan terjadi pada bulan Agustus dan
September. Data observasi selama 5 tahun menunjukan bahwa kebakaran hutan
meningkat seiring dengan menurunnya curah hujan dan puncak kebakaran hutan
terjadi pada bulan-bulan tanpa curah hujan. Pada saat itu, tanaman jati menggugurkan
daun-daunnya, sehingga ketersediaan bahan bakar menjadi meningkat dalam jumlah sedangkan kadar air yang menurun secara drastis. Kondisi tersebut membuat bahan bakar menjadi lebih mudah terbakar. Suatu daerah yang memiliki curah hujan tinggi berpengaruh terhadap kelembaban udara dan kadar air bahan bakar. Dengan demikian bahan bakar yang mengandung kadar air tinggi dan kelembaban udara tinggi, maka akan sulit terjadi kebakaran.
Faktor curah hujan ini juga penting dilihat pada bulan-bulan apa termasuk curah hujan tinggi dan bulan apa yang rendah. Faktor curah hujan diduga merupakan faktor pemicu utama terjadinya kebakaran hutan dan lahan. kebakaran hutan dan lahan dengan intensitas besar yaitu pada tahun 1982/1983, 1991, 1994 dan 1997. Pada tahun-tahun tersebut terjadi tahun-tahun yang kering dimana curah hujan berada dibawah kondisi normal. Kondisi tersebut diyakini bersamaan dengan munculnya fenomena El-Nino, yang menyebabkan kemarau panjang (Purbowaseso, 2004).
e. Angin
Angin merupakan faktor pemacu dalam tingkah laku api. Adanya angin akan menurunkan kelembaban udara, sehingga mempercepat pengeringan bahan bakar, memperbesar ketersediaan oksigen, sehingga api dapat berkobar dan merambat cepat, serta adanya angin akan mengarahkan lidah api ke bahan bakar yang belum terbakar (Purbowaseso, 2004).
Menurut Chandler et.al (1983) dalam Thoha (2001), angin merupakan salah satu faktor penting dari faktor-faktor cuaca yang mempengaruhi kebakaran hutan.
Angin bisa menyebabkan kebakaran hutan melalui beberapa cara. Angin membantu
pengeringan bahan bakar yaitu sebagai pembawa air yang sudah di uapkan dari bahan
bakar. Angin juga mendorong dan meningkatkan pembakaran dengan suplai udara
secara terus-menerus dan peningkatan penjalaran melalui kemiringan nyala api yang terus merembet pada bagian bahan bakar yang belum terbakar.
Deeming (1995) dalam Hoffmann dkk (2007) mengemukakan bahwa tiupan angin, akan memperbesar kemungkinan membesarnya nyala api dari sumbernya (korek api, obor, kilat dan sebagainya). Sekali nyala api terjadi, maka kecepatan pembakaran, lama penjalaran dan kecepatan pekembangan api akan meningkat dengan makin besarnya tiupan angin.
Dampak Kebakaran Hutan dan Lahan
Departemen Kehutanan (2007) menyatakan beberapa dampak kebakaran hutan dan lahan, diantaranya :
a. Dampak Terhadap Bio-Fisik
Dampak buruk dari kebakaran hutan dan lahan sangat banyak. Kerusakan
dapat berkisar dari gangguan luka-luka bakar pada pangkal batang pohon/tanaman
sampai dengan hancurnya pepohonan/tanaman secara keseluruhan berikut vegetasi
lainnya. Dengan hancurnya vegetasi, yang paling dikhawatirkan adalah hilangnya
plasma nutfah (sumber daya genetik pembawa sifat keturunan) seiring dengan
hancurnya vegetasi tersebut. Selain itu kebakaran dapat melemahkan daya tahan
tegakan terhadap serangan hama dan penyakit. Batang pohon yang menderita luka
bakar meskipun tidak mati, seringkali pada akhirnya terkena serangan
penyakit/pembusukan atau menjadi merana.Kebakaran hutan juga dapat mengurangi
kepadatan tegakan dan merusak hijauan yang bermanfaat bagi hewan serta
mengganggu habitat satwa liar. Rusaknya suatu generasi tegakan hutan oleh
kebakaran, berarti hilangnya pengorbanan dan waktu yang diperlukan untuk mencapai
taraf pembentukan tegakan tersebut.
Kebakaran hutan dan lahan dapat merusak sifat fisik tanah akibat hilangnya humus dan bahan-bahan organik tanah, dan pada gilirannya tanah menjadi terbuka terhadap pengaruh panas matahari dan aliran air permukaan. Tanah menjadi mudah tererosi, perkolasi dan tingkat air tanah menurun. Kebakaran yang berulang-ulang di kawasan yang sama dapat menghabiskan lapisan serasah dan mematikan mikroorganisme/jasad renik yang sangat berguna bagi kesuburan tanah.
Dampak lainnya dari kebakaran hutan adalah rusaknya permukaan tanah dan meningkatnya erosi. Kawasan yang terbakar di lereng-lereng di daerah hulu DAS cenderung menurunkan kapasitas penyimpanan air di daerah-daerah di bawahnya.
Dari hasil pengamatan menunjukkan bahwa penurunan mutu kawasan karena kebakaran yang berulang-ulang menyebabkan erosi tanah dan banjir, yang menimbulkan dampak lanjutan berupa pendangkalan terhadap saluran air, sungai, danau dan bendungan.
b. Dampak Terhadap Sosial Ekonomi
Perubahan bio-fisik terhadap sumber daya alam dan lingkungan akibat kebakaran hutan dan lahan, mengakibatkan penurunan daya dukung dan produktivitas hutan dan lahan. Pada keadaan serupa ini akan menurunkan pendapatan masyarakat dan negara dari sektor kehutanan, pertanian, perindustrian, perdagangan, jasa wisata dan lainnya yang terkait dengan pemanfaatan sumber daya alam dan lingkungannya.
c. Dampak Terhadap Lingkungan
Di samping dapat menimbulkan kerugian material, kebakaran hutan dan lahan
juga menimbulkan akumulasi asap yang besar. Kebakaran hutan dan lahan pada tahun
1994 dan tahun 1997 telah menarik perhatian dunia, karena adanya suatu kondisi
cuaca tertentu yaitu asap dari kebakaran hutan dan lahan terperangkap di bawah suatu
lapisan udara dingin atmosfir di atas wilayah Indonesia dan negara tetangga,
menyebabkan penurunan visibilitas (daya tembus pandang) sehingga mengganggu kelancaran transportasi darat, laut dan udara.
Sistem Informasi Kebakaran
Sistem informasi kebakaran adalah suatu sistem yang mengelola data dan infromasi yang terkait dengan ruang kebakaran dalam suatu acuan terpadu. Sistem ini berbasis komputer dengan menggunakan sistem informasi geografis (SIG) yang membantu untuk pengolahan data geografis dan data lainnya, memanipulasi, mentransformasi, menganalisis dan akhirnya menampilkannya.
Sistem informasi ini mempunyai beberapa tugas penting antara lain pemantauan dan deteksi kebakaran, menentukan kriteria bahaya kebakaran, analisis data dan penyebaran informasi ke berbagai instansi terkait (UPTD Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan Samarinda, 2007 ).
1. Pemantauan dan Deteksi Kebakaran
Penggunaan sarana penginderaan jauh adalah cara yang efisien dalam memantau dan mendeteksi kebakaran hutan dan lahan untuk skala wilayah yang luas. Di Kalimantan Timur sudah dibangun sebuah stasiun penerima satelit NOAA dengan bantuan Jerman, tepatnya berada di UPTD Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan Samarinda. Data kiriman dari satelit NOAA-AVHRR (National Oceanic and Atmospheric Administration-Advanced Very High Resolution Radiometer) merupakan deteksi pada waktu sebenarnya.
Sebuah hotspot adalah sebuah pixel kebakaran yang mewakili areal 1,1 km², ini
menunjukkan bahwa ada satu kebakaran atau beberapa kebakaran dalam areal itu,
namun itu tidak menjelaskan jumlah, ukuran dan intensitas kebakaran dan areal
terbakar. Salah satu kelemahan sensor Satelit NOAA adalah tidak bisa menembus
awan, sehingga walaupun terdapat kebakaran di areal tersebut, bila tertutup awan maka kebakaran tersebut tidak dapat terdeteksi.
Informasi dari satelit berupa lokasi titik panas yang diperoleh setiap hari dari satelit NOAA 12 dan 16. Data ini harus dianalisis untuk memperoleh koordinat hotspot dan di-update secara teratur.
2. Sistem Peringatan Dini
Sistem peringatan dini yang paling banyak dipergunakan di banyak negara adalah Fire Danger Rating (Tingkat Bahaya Kebakaran). Sistem ini mempertimbangkan pengamatan data cuaca harian dan oleh karena itu dapat diperbaharui setiap hari dan secara tepat dipergunakan dalam areal setempat yang spesefik. Informasi ini sangat berguna bagi manajemen kebakaran untuk merencanakan perlunya usaha-usaha pencegahan.
Satu indeks bahaya kebakaran sederhana telah diadopsi dan dimodifikasi untuk Kalimantan Timur. Sistem ini disebut Keetch Byram Drought Index (KBDI) atau Indeks Kekeringan Keetch-Byram. Indeks ini hanya memperhitungkan tiga variabel cuaca yaitu temperatur maksimum harian, curah hujan harian dan rata-rata curah hujan tahunan.
KBDI mempunyai kisaran nilai 0 - 2.000. Untuk kemudahan interpretasi bagi para manager kebakaran, KBDI dibagi dalam empat kelas yang terkait dengan skala sifat bahaya kebakaran yaitu ;
- Rendah : 0 – 999 - Tinggi : 1500 - 1749 - Sedang : 1000 – 1499 - Sangat tinggi : 1750 - 2000 3. Zone dan Peta Rawan Kebakaran
Peta kerawanan kebakaran yang dinamis adalah selain menggunakan faktor-
faktor seperti jaringan jalan, sungai dan pemukiman, juga menggunakan vegetasi,
Indeks kekeringan Keetch Byram dan NDVI (Normalize Difference of Vegetation Index) yang merupakan derivasi dari citra NOAA-AVHRR. Peta kerawanan kebakaran dinamis menggunakan ekstensi ArcView dalam sistem informasi geografis.
Peta dan zone kerawanan sangat bermanfaat dalam perencanaan kegiatan pencegahan dan penempatan personil dan peralatan pemadam kebakaran.
Nilai Bahaya Kebakaran (Fire Danger Rating)
Penilaian bahaya kebakaran hutan (fire danger rating) adalah suatu sistem manajemen pemberantasan yang disesuaikan atau diintegrasikan dengan pengaruh atau akibat faktor-faktor bahaya kebakaran yang dinyatakan dalam satu atau lebih nilai indeks dari keperluan cara perlindungan. Sistem Tingkat Bahaya Kebakaran menunjukkan bahaya kebakaran atau tingkat kekeringan dari suatu keragaman kondisi alam secara meteorologis (Hoffmann dkk, 2007).
Fire danger rating pada penerapanya dapat dijadikan acuan dalam sistem penanggulangan dini (early warning system). Menurut Arba’i dan Deddy (1996) dalam Thoha (2001), sistem penanggulangan dini merupakan rangkaian kegiatan pelaporan dan penanggulangan kebakaran dengan memanfaatkan jaringan komunikasi satelit, perangkat telekomunikasi di dekat stasiun pengamat cuaca lapangan lainnya.
Tujuannya untuk mendeteksi lokasi sumber kebakaran atau peluang yang berpotensi menimbulkaan kebakaran. Tindakan itu kemudian dilanjutkan dengan langkah mencegah terjadinya kebakaran hutan yang tidak terkendali.
Menurut Suratmo (1985) untuk menentukan nilai bahaya kebakaran hutan,
diperlukan sejumlah elemen bahaya kebakaran hutan yang terdiri atas elemen tetap
(iklim, radiasi matahari, keadaan vegetasi, jumlah dan sifat bahan bakar, tanah,
tofografi, altitud, penyebab kebakaran, nilai kerusakan, gejala yang nampak serta
organisasi tim pemberantas kebakaran) dan elemen tidak tetap (kadar air bahan bakar, angin, temperatur udara, keadaan udara lapisan atas, hujan, air tanah serta kelembaban).
Tujuan penilaian bahaya kebakaran menurut Hoffmann dkk (2007) adalah untuk menyediakan informasi mengenai daya nyala vegetasi pada daerah yang rawan untuk mendukung upaya kegiatan pencegahan dan deteksi kebakaran, kesiap-siagaan tenaga pemadam kebakaran dan tindakan yang perlu segera diambil bila ada laporan kebakaran.
Pada dasarnya dikenal tiga macam cara penilaian bahaya kebakaran hutan (Suratmo, 1985), yaitu:
1. Fire Danger Meter Methode
Sistem ini disusun berdasarkan penelitian elemen-elemen: angin, kadar air bahan bakar, kelembaban udara (tanggal) musim kebakaran, gejala-gejala yang tampak dan penyebab kebakaran. Elemen-elemen tersebut di kombinasikan dan di buat tujuh kelas bahaya kebakaran
2. Cumulative Relative Humadity Methode
Dasar penyusunan sistem ini adalah korelasi dari kumulatif kelembaban udara dengan sifat-sifat kebakaran hutan. Nilai bahaya kebakaran hutan dibagi pasa empat kelas
3. Canadian Fire Danger Tables
Sistem ini didasarkan pada derajat penguapan sebagi indikator kadar air bahan
bakar. Elemen yang diukur untuk penyusunan tabel hanya kebakaran hutan hanya dua
yaitu curah hujan dan angin. Nilai bahaya kebakaran hutan dibagi menjadi 17 kelas
Indeks Kekeringan Keetch Byram Drougth Index (KBDI)
Indeks kekeringan adalah jumlah yang mewakili pengaruh bersih (net) evavotranspirasi dan prespitasi dalam menghasilkan defisiensi kelembaban kumulatif pada serasah tebal atau lapisan tanah bagian atas. Indeks kekeringan merupakan jumlah yang berkaitan dengan daya nyala (flammability) bahan-bahan organik tanah Keetch dan Byram (1988) dalam Thoha (2006).
Model KBDI dibuat berdasarkan asumsi-asumsi berikut:
a. Laju hilangnya kelembaban di daerah kawasan hutan akan bergantung pada kerapatan vegetasi yang menutupi kawasan tersebut. Pada gilirannya, kerapatan vegetasi yang menutupi dan kapasitas penguapannya, merupakan fungsi dari nilai rata-rata curah hujan tahunan. Selanjutnya, vegetasi tersebut pada akhirnya akan menyesuaikan dengan sendirinya dalam memanfaatkan lebih banyak kelembaban di sekitarnya
b. Hubungan vegetasi dengan curah hujan mendekati kurva eksponensial dimana laju hilangnya kelembaban merupakan fungsi rata-rata curah hujan tahunan. Oleh karena itu, laju hilangnya kelembaban akan menurun dengan semakin menurunnya kerapatan vegetasi, dan dengan menurunnya rata-rata curah hujan tahunan
c. Laju hilangnya kelembaban dari tanah ditentukan oleh hubungan evavotranspirasi d. Hilangnya kelembaban tanah seiring dengan waktu diperkirakan dengan bentuk
kurva eksponensial dimana kelembaban titik layu digunakan sebagai tingkat
kelembaban yang terendah. Oleh karena itu, laju penurunan (drop) yang
diharpakan pada kelembaban tanah terhadap titik layu pada kondisi yang sama,
adalah cukup proporsional terhadap jumlah ketersediaan air dalam lapisan tanah
untuk waktu tertentu
e. Kedalaman lapisan tanah pada saat kekeringan berlangsung adalah saat dimana tanah memiliki nilai kapasitas lapang sebesar 8 inchi. Meskipun seleksi 8 inchi agak berubah-ubah, namun nilai numerik yang tepat tidak begitu pening. Kadar kelembaban yang terjadi pada kapasitas lapang 8 inchi tersebut cukup masuk akal untuk penggunaan pengendalian kebakaran hutan sebab di banyak Negara, permukaan vegetasi menguapkan banyak air seluruhnya terjadi pada musim panas f. KBDI hanya memerlukan data-data seperti: rata-rata curah hujan tahunan, curah
hujan harian maksimum yang kesemuanya tersedia di stasiun pengamat cuaca lapangan terbang
Kelebihan KBDI sebagai alat untuk menilai tingkat bahaya kebakaran hutan antara lain:
1. KBDI dikembangkan di Amerika Serikat pada tahun 1968 dan telah diterapkan penggunaanya dengan beberapa modifikasi yang dilakukan oleh orang-orang Australia dan Negara lain. Di Indonesia KBDI telah diterapkan oleh IFFM (Integrated Forest Fire Mangement), lembaga kerjasama Jerman dan Indonesia, di Kalimantan Timur dengan KBDI sistem numerik
2. KBDI hanya membutuhkan data curah hujan 24 jam, temperatur maksimum 24 jam rata-rata curah hujan tahunan yang diperoleh dari stasiun pengamat cuaca 3. KBDI dapat dihitung secara manual dan persamaan hitungnya cukup mudah untuk
diprogram ke dalam kalkulator maupun komputer
4. Instrument yang diperlukan dalam stasiun pengamat cuaca adalah catatan pengukur curah hujan, temograf dan instrument pelindung
5. KBDI harus dihitung setiap saat dilakukan pengamatan cuaca, namun tidak harus
dihitung tiap hari. Oleh karena itu dapat dihitung sekali seminggu
Titik Panas (hotspot)
Titik panas (hotspot) merupakan suatu istilah yang digunakan untuk mengindikasikan lokasi terjadinya vegetation fire pada suatu daerah tertentu yang dinyatakan dalam titik koordinat. Pada kenyataanya, tidak semua hotspot mengindikasikan terjadinya kebakaran. Untuk itulah diperkenalkan istilah firespot yang secara khusus digunakan untuk mengindikasikan titik terjadinya kebakaran.
Namun istilah hotspot lebih umum digunakan. Istilah ini muncul bersamaan dengan mulai beroperasinya satelit meteorologi NOAA yang menghasilkan citra untuk mengindikasikan terjadinya vegetation fire (Anderson, 1999).
Sebuah hotspot adalah sebuah pixel kebakaran yang mewakili areal 1,1 km², ini menunjukkan bahwa ada satu kebakaran atau beberapa kebakaran dalam areal itu, namun itu tidak menjelaskan jumlah, ukuran dan intensitas kebakaran dan areal yang terbakar (FFPMP2, 2007).
Titik panas atau lazim disebut hotspot adalah penamaan yang diberikan
terhadap produk pencitraan satelit NOAA. Satelit ini mengelilingi bumi setiap 100
menit di ruang angkasa sejauh 850 km. Data dari NOAA dapat diterima hampir setiap
hari. Pusat Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan (Pusdakarhutla), disetiap
Propinsi mempunyai akses langsung terhadap stasiun satelit yang berada di Jakarta
tersebut. Sedangkan untuk kebutuhan umum, data baru akan diterima dua hari setelah
kebakaran terjadi. NOAA dilengkapi dengan sensor AVHRR (Advanced Very High
Resolution Radiometer). AVHRR akan mendeteksi suhu permukaan tanah
menggunakan sinar infra merah pendek utama. Titik panas (hotspot) adalah
terminologi dari satu pixel yang memiliki suhu lebih tinggi dibandingkan dengan
daerah/lokasi sekitar yang tertangkap oleh sensor satelit data digital. Ukuran satu pixel
ini setara dengan 1.2 km dikalikan dengan 1.1 km dan titik panas dipermukaan bumi
yang dapat ditangkap oleh sinar infra merah adalah 315º K (420º C) pada siang hari dan 310º K (370º C) pada malam hari. Dalam keadaan berawan, deteksi titik panas ini tidak dapat dilakukan. Derajat panas senilai 420º C pada siang hari disatu kawasan mustahil ditemukan pada daerah yang tidak memiliki titik api. Refleksi panas pada sebuah atap seng pada pabrik yang luas hanya mampu memproduksi panas tidak lebih dari 257º C. Dengan menggunakan angka ini, total luas hutan dan lahan di Indonesia yang terbakar dalam enam tahun terakhir mencapai 27,612 juta ha. Rata-rata setiap tahunnya, hutan dan lahan seluas 5 juta ha dibakar (WALHI, 2007).
Lokasi dengan suhu tinggi yaitu lebih besar dari 153 ◦C dapat terdeteksi dari citra satelit cuaca NOAA. Lokasi ini dikenal dengan titik panas (hotspot). Banyaknya titik panas pada suatu wilayah menandakan bahwa daerah tersebut rawan kebakaran hutan dan lahan. Semakin banyak jumlah titik panas, maka akan semakin tinggi tingkat kerawanan terjadinya kebakaran hutan dan lahan (Purbowaseso, 2004).
Satelit Meteorologi NOAA dan Stasiun Penerimanya
Satelit NOAA merupakan “keluarga” satelit meteorologi yang dimiliki oleh Amerika Serikat, dan pertama kali diluncurkan pada tanggal 1 April 1960 dengan nama TIROS 1. NOAA adalah kepenjangan dari National Oceanic and Atmopheric Administration, yaitu nama lembaga yang bertanggungjawab atas operasional satelit tersebut. Satelit ini beredar pada orbitnya dengan ketinggian sekitar 870 km diatas permukaan laut dengan tingkat resolusi bisa mencapai 1,1 km
2Pada awalnya, NOAA digunakan untuk membantu aktifitas peramalan dan pemantauan cuaca di muka bumi secara berkisenambungan. Namun dalam perkembangannya, informasi yang ada pada satelit NOAA telah digunakan oleh berbagai organisasi didunia untuk pengelolaan sumber daya alam, diantaranya untuk
(Imanda, 2001).
pemetaan penutupan salju, monitoring terjadinya banjir, pemetaan vegetasi suatu kawasan, analisis kelembaban tanah suatu kawasan, monitoring terjadinya kebakaran hutan (berupa sebaran Hotspot), monitoring terjadinya badai gurun pasir dan berbagai pemanfaatan yang lainnya. Data yang secara khusus dimanfaatkan untuk pemantauan adanya kebakaran hutan diambil dari sensor AVHRR (Advanced Very High Resolution Radiometer) yang mulai dipasang sejak NOAA-6. Tabel berikut ini merupakan ringkasan 9 generasi terakhir satelit keluarga NOAA.
Tabel 1. Status Delapan Generasi Terakhir Satelit NOAA
No Satelit Tanggal peluncuran Status
1. NOAA-8 28 Maret 1983 Di-non-aktifkan sejak tanggal 29
Desemer 1985
2. NOAA-9 12 Desember 1984 Di-non-aktifkan sejak tanggal 13
Februari 1998
3. NOAA-10 17 September 1986 Saluran (channel) sinar infra merah rusak sejak tahun 1994
4. NOAA-11 21 September 1988 Rusak (gagal beroperasi) pada tanggal 13 September 1994
5. NOAA-12 14 Mei 1991 Masih beroperasi
6. NOAA-13 9 Agutus 1994 Rusak (gagal beroperasi pada tanggal 21
Agustus 1993
7. NOAA -14 30 Desember 1994 Masih beroperasi
8. NOAA-15 13 Mei 1998 Sedang menjalankan prosedur
9 NOAA-16 - Sedang dalam pengembangan
Rheidahari (2001) satelit NOAA-AVHRR tidak dapat digunakan untuk mengukur secara tepat luas area yang terbakar ataupun memberikan data yang tepat mengenai kerusakan vegetasi. Koordinat hotspots mewakili titik tengah dari pixel kebakaran yang terdeteksi dan bukan koordinat letak kebakaran dipermukaan bumi yang sesungguhnya. Dari pengalaman pembuktian lokasi hotspots, kebakaran atau beberapa kebakaran dapat terletak dalam radius 500 meter dari koordinat titik tengah tersebut. Beberapa kendala juga ditemukan dalam pengoperasian stasiun penerima
Imanda (2001).
Dari table tersebut terlihat bahwa pada saat ini ada 4 satelit yang masih aktif,
yaitu NOAA-10, NOAA-12, NOAA-14, dan NOAA-15. Tetapi NOAA-10 mengalami
kerusakan pada saluran infra merahnya.
NOAA-AVHRR, salah satu kendala adalah kesulitan dalam menjamin registrasi yang baik dari citra NOAA-AVHRR secara berturut-turut. Kekeliruan registrasi geografis tergantung pada keakuratan operator ketika menumpang-susunkan garis pantai dalam proses georefensi citra. Sehubungan dengan besar skala citra tersebut (kira-kira 1:6.000.000) kualitas registrasi juga tergantung pada kualitas citra itu sendiri.
Semakin jelas garis pantai yang dapat dilihat, maka semakin akurat hasil georeferensinya. Kendala yang lain adalah keakurasian alat Scanner AVHRR juga dipengaruhi oleh besarnya sudut pemantauan. Hal ini menimbulkan bias dalam pemantauan satu obyek di atas permukaan bumi.
Lokasi pemantauan/deteksi FFPMP2 diutamakan untuk daerah Kalimantan dan Sumatra. Daerah lain yang terjangkau dalam deteksi ini adalah: Sulawesi, Sabah, Serawak, Singapura dan bagian ujung selatan Semenanjung Malaysia.
Gambar 1. Hotspot Data Information Dissemination System
(FFPMP2, 2007).
Aplikasi Sistem Informasi Geografis (SIG) pada Kebakaran Hutan dan Lahan
Sistem Informasi Geografis (SIG) secara cepat mulai menjadi suatu peralatan standar dalam pengelolaan sumber daya alam dan dipergunakan untuk membantu para pengambil keputusan dalam mempertimbangkan berbagai alternatif dan pengembangan sumber daya alam. Dengan karakteristik SIG yang berpola ini, lokasi dari tempat-tempat yang berpotensi maupun yang mempunyai kendala untuk dikembangkan dapat dievaluasi dalam waktu yang singkat (Riswan, 2002).
Disamping itu SIG mampu menghasilkan peta melalui input data hasil pengukuran lapangan (batas wilayah, titik triangulasi dan GPS) maupun data citra satelit (landsat, NOAA, SPOT, dan Goes). Aplikasi SIG ini tidak hanya tumbuh secara jumlah tetapi juga bertambah keragamannya. Penggunaan lain dari disiplin lain yang non-geographic, seperti ilmu lingkungan, ilmu kesehatan dan ekonomi menghasilkan pertambahan jenis implementasi SIG. Posisi dan fungsi SIG pada suatu organisasi bergantung pada suatu organisasi bergantung pada karakter dari organisasi itu sendiri. Aplikasi yang diinginkan dapat bervariasi mulai dari yang hanya berorientasi pada proses sampai yang berorientasi ke strategi
(Lillesand dan Kiefer, 1997).
Kondisi Fisik
Kabupaten Tapanuli Selatan secara geografis terletak diantara 0 ◦10’ -1◦50’
Lintang Utara dan 98 ◦50’ - 100◦10’ Bujur Timur, dengan luas wilayah 12.261,55 km
21. Sebelah Utara :Kabupaten Tapanuli Utara dan Tapanuli Tengah (mencapai 1.226.155 Ha). Secara Administratif Kabupaten Tapanuli Selatan berbatasan dengan beberapa daerah yaitu :
2. Sebelah Timur :Provinsi Riau dan Kabupaten Labuhan Batu
3. Sebelah Selatan :Provinsi Sumatera Barat dan Kabupaten Mandailing Natal
4. Sebelah Barat :Samudera Indonesia dan Kabupaten Mandailing Natal
Kabupaten Tapanuli Selatan terdiri dari 28 kecamatan yaitu; Batang Angkola, Sayurmatinggi, Sosopan, Barumun, Ulu Barumun, Lubuk Barumun, Sosa, Huta Raja Tinggi, Batang Lubu Sutam, Barumun Tengah, Huristak, Simangambat, Batang Onang, Padangsidempuan Timur, Siais, Padangsidempuan Barat, Batang Toru, Marancar, Sipirok, Arse, Padang Bolak Julu, Padang Bolak, Portibi, Halongonan, Saipar Dolok Hole, Aek Bilah, Dolok, Dolok Sigompulon.
Dari ke-28 Kecamatan tersebut di atas, yang termasuk daerah kajian
adalah kecamatan yang sering terdeteksi adanya titik panas antara lain; Barumun
Tengah, Batang Angkola, Batang Lubu Sutam, Halongonan, Huristak, Huta Raja
Tinggi, Padang Bolak, Padangsidempuan Barat, Simangambat dan Sosa. Secara
umum Kabupaten Tapanuli Selatan memiliki tofografi berbukit dan bergunung
dengan kemiringan tanah terdiri dari:
1. Datar : 317.410 Ha (25,89%) 2. Landai : 154.435 Ha (12,59%) 3. Berbukit-Bukit : 245.215 Ha (19.99%) 4. Bergunung : 509.095 Ha (41.53%)
Kabupaten Tapanuli Selatan dilalui pegunungan Bukit Barisan dan ditemui beberapa gunung berapi yang tidak aktif lagi yaitu gunung Sibual-buali, Lubuk Raya, dan Sanggar Udang.
Iklim wilayah adalah iklim tropis dengan temperatur udara sekitar 23 ◦C, penyinaran matahari 60%, kelembaban nisbi 61,05%, curah hujan rata-rata berkisar antara 1500-4000 mm per tahun, curah hujan menurut kecamatan di tampilkan pada Tabel 3 dan Tabel 4 berikut :
Tabel 3. Curah Hujan dan Banyaknya Hari Hujan di Kabupaten Tapanuli Selatan
No Bulan Curah Hujan (mm) Hari Hujan (Hari)
2004 2005 2004 2005
1 Januari 183 504 12 17
2 Pebruari 222 103 12 6
3 Maret 177 241 11 11
4 April 280 295 11 11
5 Mei 91 132 4 6
6 Juni 20 84 4 4
7 Juli 70 157 4 7
8 Agustus 55 267 6 9
9 September 268 101 12 7
10 Oktober 201 424 12 18
11 November 958 381 15 16
12 Desember 654 338 20 13
Sumber : BPS Kabupaten Tapanuli Selatan dalam Angka (2006)
Tabel 4. Curah Hujan Menurut Kecamatan di Kabupaten Tapanuli Selatan
No Kecamatan Curah Hujan (mm/Tahun)
Minimun Maksimum
1 Batang Angkola 18 314
2 Sayur Matinggi - -
3 Sosopan 25 443
4 Barumun 38 421
5 Ulu Barumun - -
6 Lubuk Barumun - -
7 Sosa 42 888
8 Huta Raja Tinggi - 595
9 Batang Lubu Sutam - -
10 Barumun Tengah 33 388
11 Huristak - -
12 Simangambat - -
13 Batang Onang - -
14 Padang Sidempuan Timur 21 307
15 Siais - -
16 Padang Sidempuan Barat - 700
17 Batang Toru - 760
18 Marancar - -
19 Sipirok - 685
20 Arse 39 1.996
21 Padang Bolak Julu - -
22 Padang Bolak 35 276
23 Portibi - -
24 Halongonan 38 420
25 Saipar Dolok Hole 95 2.97
26 Aek Bilah - -
27 Dolok - -
28 Dolok Sigompulon - -
Sumber : BPS Kabupaten Tapanuli Selatan dalam Angka (2006)
Kependudukan
Berdasarkan sensus penduduk tahun 2005 jumlah penduduk Kabupaten
Tapanuli Selatan adalah 627.076 jiwa. Ditinjau dari lapangan pekerjaan,
komposisi penduduk Tapanuli Selatan menunjukan bahwa lapangan pekerjaan
pertanian menyerap sebagian besar tenaga kerja. Lapangan kerja berikutnya
adalah perdagangan, industri, angkutan, komunikasi, jasa kemasyarakatan,
kontruksi, keuangan, pertambangan, dan sangat sedikit penduduk yang bekerja pada sektor listrik, gas dan air minum.
Perekonomian
Sektor ekonomi yang paling besar perananya dalam perekonomian di Kabupaten Tapanuli Selatan adalah sektor pertanian, sektor perdagangan dan juga sektor industri. Ketiganya merupakan sektor strategis dalam perekonomian di Kabupaten Tapanuli Selatan. Dari data Kabupaten Tapanuli Selatan dalam angka tahun 2006 tertera bahwa di Tapanuli Selatan terdapat 69 perusahaan yang bergerak di bidang perkebunan, seperti kelapa sawit, karet, kakao, dan kopi yang ditampilkan pada Tabel 5.
Tabel 5. Daftar Perusahaan Perkebunan yang terdapat di Kabupaten Tapanuli Selatan
No Nama Perusahaan Lokasi Kebun Komoditi Luas (Ha)
1 PT. Perkebunan Nusantara III Batang Toru Karet, Sawit 39000
2 PT. Maju Indo Raya Batang Toru Sawit 5523
3 PT. Samukti Karya Lestari Batang Toru Sawit 10425
4 PT. Bona Huta Raja Batang Toru Sawit 306.2
5 PT. Perkebunan Nusantara III Batang Toru Sawit 6607
6 PT. Rahmat Sipirok Sentosa Sipirok Kopi 774
7 PT. Sipirok Indah Sipirok Teh, Kopi 175
8 PT. Kultindo Ereshamas Arse Kopi 641
9 PT. Perkebunan Nusantara III Dolok Karet 291.32
10 PT. Tindoan Bujing Dolok Sawit 300
11 PT. Sinar Kurnia Psp. Timur Karet 6
12 PT. Tanjung Siram Dolok Sigompulon Sawit 450
13 PT. Tapian Nadenggan Barumun Tengah Sawit 7595.62
14 PT. First Mujur Plantation and Industry Barumun Tengah Sawit 15000
15 PT. Eka Pendawa Sakti Barumun Tengah Sawit 9214.9
16 PT. Wonorejo Perdana Barumun Tengah Sawit 9194.9
17 PT. Barumun Raya Padang Langkat Barumun Tengah Sawit 3090
18 PT. Sejahtera Utama Barumun Tengah Sawit 617
19 PT. Jati Murni Pratama Barumun Tengah Sawit 4100
20 PT. Tasik Raja Barumun Tengah Sawit 35.55
21 PT. Perkebunan Nusantara III (KB Bukit Tujuh) Barumun Tengah Sawit 132.94
22 PT. Sakti Raja Naga Barumun Tengah Sawit 2750
23 PT. Torus Ganda Group Simangambat Sawit 47000
24 PT. AMKS Barumun Tengah Sawit 21543.24
25 PT. Sihapas Indah Barumun Tengah Sawit 5000
26 PT. Sikorang Saut Sejahtera Barumun Tengah Sawit 3000
27 PT. Perkebunan Nusantara IV Sosa Sawit 7305.9
28 PT. Damai Nusa Sekawan Sosa Sawit/Karet 3213
29 PT. Mazuma Agro Indonesia Sosa Sawit 2797.46
30 PT. Sumber Sawit Makmur Sosa/Barumun Sawit 2072
31 PT. Permata Hijau Sawit Sosa Sawit 3140.48
32 PT. Subur Langgeng Sosa Sawit 4500
33 PT. Karya Sejati Sama Abadi Sosa Sawit 3383
34 PT. Victorindo Karya Lestari Sosa Sawit 3000
35 PT. Adidaya Kurnia (Eri Rangkuti) Sosa Sawit 125.54
36 PT. Parma Sosa Sawit 30.01
37 PT. Barumun Sari Palma (Andi T) Sosa Sawit 112.01
38 PT. Maju Agro Indonesia Huta Raja Tinggi Sawit 9.468.97
39 PT. Barumun Sari Palma Barumun Tengah Sawit 288.03
40 PT. Perkebunan Nusantara II Barumun Tengah Sawit 4000
41 PT. Lubuk Hoteng Plantation (Kadafi Harahap) Batang Onang Sawit 1520
42 PT. Sinur Halongonan Sawit 50
43 PT. Sinarlika Portibi Jaya Plantation Padang Bolak Sawit 1679.12
44 PT. Hexasetia Sawita Padang Bolak/Portibi Sawit/Karet 1176
45 Kelompok Tani Harangan Godang Halongonan Sawit 744.2
46 KUD Tani Mukti Huristak Sawit 736.54
47 KUD Mekar Mulia Huristak Sawit 479.16
48 UD. Ratoma Halongonan Sawit 65.68
49 UD. Insana II Halongonan Sawit 422.83
50 UD. Insana III Huristak Sawit 360.25
51 UD. Lapan-Lapan Padang Bolak Sawit 431.21
52 G. Sormin Padang Bolak Sawit 246.02
53 PT. Ondop Perkasa Makmur Sayur Matinggi/Siais Sawit 8000
54 M. Said Ginting CS Huristak Sawit 150
55 IR. Aspan Mawardi Hasibuan Barumun Sawit 150
56 UD. Lian Fil Sosa Sawit 150
57 CV. Arkani Perkasa Sosa Sawit 3000
58 CV. Matahari Sosa Sawit 250
59 CV. Nasional Sosa Sawit 225
60 PT. Karya Murni Barumun Tengah Sawit 456
61 PT. Damai Nusa Sekawan Barumun/Sosa Sawit 3204
62 CV. Tuara Marancar Kakao 30
63 PT. Rezeki Alam Semesta (RAS) Barumun Tengah Sawit 1500
64 Koperasi Sinar Maduma Sei Korang Sosa Sawit 1765
65 Koperasi Bukit Harapan Simangambat Sawit 23
66 IR. Taufiq Ruli Sinulingga Huta Raja Tinggi Sawit 103.1
67 Andalan Mulia Nasution, SE, AK Batang Toru Sawit 37.5
68 PT. Perkebunan Nusantara II Barumun Tengah Sawit 1144.26
69 PT. Perkebunan Nusantara IV Sosa Sawit 7294.2
Sumber : BPS Kabupaten Tapanuli Selatan dalam Angka 2006 (2006)
Berdasarkan data penggunaan lahan di Kabupaten Tapanuli Selatan
sebagian besar tanah digunakan untuk lahan sawah yaitu sebesar 42.438 Ha
sedangkan penggunaan lain yaitu ; perkarangan dan bangunan 1.981 Ha,
Tegal/Kebun 39.451 Ha, Ladang/Huma 20.111 Ha, Pengembalaan 26.490 Ha,
Rawa tidak ditanami 18.912 Ha, Kolam/Tebat/Empang 940 Ha, dan Lahan
sementara tidak ditanami 53.287 Ha. Kawasan Hutan hutan tetap (registrasi)
berdasarkan fungsinya yaitu ; Hutan Lindung 123.607 Ha, Hutan Suaka Alam
10.770 Ha dan Hutan Suaka Margasatwa 40.300 Ha. Luasan kawasan hutan lengkapnya ditampilkan pada Tabel 6.
Tabel 6. Daftar Kawasan Hutan Tetap (registrasi) di Kabupaten Tapanuli Selatan
Nama Kawasan Hutan
Nomor Reg
Hutan Lindung (Ha)
Hutan Suaka Alam (Ha)
Hutan Suaka Marga Satwa (Ha)
Sanggarudang 1 368
Dolok Lubuk Raya 2 3050
DolokSibual-Buali 3 5000
Batang Gadis II Komp I 5 8000
Angkola Komp I 6 11000
Angkola Komp II 6
Barumun 7 40300
Sosa 8 30000
Gunung Tua Komp I 8 678
Gunung Tua I Komp II 9 4331
Gunung Tua I Komp III 9 660
Gunung Tua I Komp III/U 9 4190
Gunung Tua I Komp III/S 9 2320
Sipirok 10 1200 5770
Bila II Komp I 11 14110
Bila II Komp II 11 3430
Bila II Komp III 11 1660
Bila II Komp IV 11 2640
Gunung Tua II Komp I 12 79
Gunung Tua II Komp II/U 12 5500
Gunung Tua II Komp II/S 12 6300
Batang Toru II 15 5900
Dolok Sisipan I 16 203
Dolok Sisipan II 16 3140
Siodop Utara 32 6620
Siodop Selatan 34 350
Singkuang Utara 33
DK. Meranti Nagodang 38 5500
Dolok Sibalanga 39
Padang Lawas 40 1622
Bila I/Bag. Selatan 48 738
Oppu Makar 65 18
Jumlah 123607 10770 40300
Sumber : BPS Kabupaten Tapanuli Selatan dalam Angka 2006 (2006)
Waktu dan Lokasi Penelitian
Penelitian dilaksanakan pada bulan Maret sampai dengan Mei 2007. Wilayah penelitian adalah Kabupaten Tapanuli Selatan Provinsi Sumatera Utara. Analisis data dilakukan di Laboratorium Inventarisasi Hutan Departemen Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara.
Bahan dan Alat Bahan-bahan penelitian terdiri dari:
1. Data cuaca (Suhu Maksimum dan Curah Hujan) harian, bulanan dari tahun 2004 sampai 2006 dari Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG)
2. Data titik panas (hotspot) harian , bulanan, dari tahun 2004 sampai 2006 dari Forest Fire Prevention and Management Project 2 (FFPMP2)
3. Data kebakaran hutan dan lahan dari tahun 2004 sampai 2006 dari Departemen Kehutanan
4. Data spasial digital berupa peta Administrasi Kabupaten Tapanuli Selatan
Alat – alat penelitian yang digunakan adalah alat tulis menulis, Personal
Computer (PC), perangkat lunak Arc. View 3.3.
Metode Penelitian
Pengumpulan Informasi Dasar Penelitian
Sebelum semua pekerjaan dimulai, dilakukan satu tahap awal yaitu pengumpulan informasi dasar. Pada tahap ini adalah mencari informasi yang berhubungan dengan kegiatan penelitian. Informasi yang dikumpulkan meliputi:
tingkat ketersediaan data berupa data kebakaran hutan dan lahan, titik panas (hotspot), curah hujan, dan suhu perangkat lunak yang digunakan dalam proses pekerjaan dan analisis serta perangkat keras yang dapat mendukung penelitian.
Pengolahan Data Penghitungan Indeks Kekeringan KBDI
Perhitungan data untuk mendapatkan indeks kekeringan KBDI meliputi beberapa tahapan yaitu:
1. Perhitungan Indeks Kemarau Kemarin (IKK) 2. Perhitungan Curah Hujan Bersih
3. Mengurangi IKK dengan 10x Curah Hujan Netto (bersih) 4. Faktor Kekeringan
5. Indeks Kekeringan Hari Ini
6. Menentukan Tingkat Ajektif Hari Ini
Nilai indeks kekeringan yang digunakan adalah nilai Keetch Byram Drought
Index (KBDI). Perhitungan nilai indeks ini dilakukan pada stasiun pengamat hujan
yang mewakili Kabupaten Tapanuli Selatan. Formula untuk menghitung nilai KBDI dijelaskan sebagai berikut Deeming (1995) dalam Rheidahari (2001) :
KBDI
hari ini= ( Σ KBDI
kemarin– (10* CH) + DF Dimana:
hari ini
CH : Curah hujan bersih
DF : Faktor kekeringan yang telah dimodifikasi dan dapat digunakan untuk perkiraan bahaya kebakaran adalah, dengan formulasi sebagai berikut :
Tmax adalah suhu maksimum harian dan AnnRain adalah rata-rata curah hujan tahunan dan YKBDI adalah Keetch/Byram Drougth Index kemarin. Tmax, AnnRain dan YKBDI merupakan variabel, sedangkan angka-angka yang ada merupakan nilai konstanta yang menunjukan evapotranspirasi dan keberadaan vegetasi.
Penyusunan data dasar dimulai dari pengumpulan data dari Badan Meteorologi dan Geofisika dan penyajian skala sifat untuk setiap tingkat kebakaran.
Setelah semua data cuaca terkumpul kemudian dimasukan ke komputer untuk
mendapatkan format digitalnya. Berdasarkan perhitungan Keetch Byram Drougth
Index (KBDI) menunjukan kemungkinan terjadinya kebakaran, yang diekspresikan
melalui nilai indeks yang berkisar 0 sampai 2000.
Tabel 2. Skala Tingkat Bahaya Kebakaran Hutan dan Lahan
Skala Angka SkalaSifat Keterangan
0 - 999 Rendah
Material Bakar mengandung cukup air (lembab), mudah mencegah penyebaran api
1000 - 1499 Sedang
Api pada permukaan dan asapnya bisa menyebar.
Kebakaran dapat dikendalikan dengan peralatan tangan (hand tools).
1500 - 1749 Tinggi
Bahan bakar kering dan mudah terbakar, kebakaran akan menyebar dengan cepat perlu penanggulangan dini untuk menahan penyebaran.
1750 - 2000 Extrim Penyebaran api sangat cepat dan intensif
(Badan Meteorologi dan Geofisika, 2007)