6 BAB II
KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA BERPIKIR
A. Kajian Pustaka 1. Pendidikan
Pendidikan merupakan salah satu aspek penting yang dapat mempengaruhi visi kebangsaan. Keberhasilan dalam penyelenggaraan pendidikan merupakan kunci menuju masa depan yang lebih baik. Pendidikan tidak dapat dicapai tanpa kontribusi dari berbagai pemangku kepentingan.
Pemerintah sebagai pembuat kebijakan memiliki peran dan tanggung jawab utama untuk melancarkan jalan menuju keberhasilan, dengan menjamin pendidikan untuk seluruh bangsa, misalnya kebijakan pendidikan gratis di negara berkembang (Quamruzzaman, Rodríguez, Heymann, Kaufman, &
Nandi, 2014).
Pendidikan merupakan upaya mewujudkan proses pembelajaran dalam mengembangkan potensi sikap spiritual, akhlak mulia, pengendalian diri, kecerdasan, agar menjadi pribadi yang lebih kritis dalam berpikir (Sofyan, 2019). Selain itu, menurut Depdiknas dalam UU No. 20 tahun 2003 pendidikan adalah upaya mewujudkan situasi dan proses pembelajaran agar siswa aktif mengembangkan potensi spiritual, pengendalian diri, kecerdasan, kepribadian, akhlak mulia, dan keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
Selain peran pemerintah, peran guru juga sangat besar karena menjalankan semua kebijakan dan peraturan pendidikan. Kualitas pendidikan tidak hanya ditentukan oleh perencanaan dan pengembangan pendidikan tetapi juga kualitas penyelenggaraannya. Ini juga membutuhkan pengawasan dari mitra yang berbeda, seperti ahli pendidikan, praktisi, dan pemangku kepentingan. Semuanya harus bersinergi untuk mencapai keberhasilan pendidikan, artinya tidak hanya fokus pada perbaikan evaluasi, pembaruan kurikulum, dan regulasi baru, tetapi juga pada pengembangan profesionalisme pengajaran (Purnomo, 2017). Oleh karena itu, sistem pendidikan Indonesia
7
dihadapkan banyak tantangan saat ini. Kualitas lulusan yang dihasilkan juga rendah. Rendahnya kualitas pendidikan menjadi kendala terbesar bagi bangsa Indonesia untuk dapat melangkah ke dalam kehidupan abad ke-21.
2. Kurikulum
Kurikulum adalah pedoman dalam pendidikan yang merupakan bagian dari satuan pendidikan dan kelas, untuk mewujudkan siswa yang diharapkan dalam UUD 1945 yakni mencerdaskan kehidupan bangsa (Alawiyah, 2013).
Keberagaman budaya, nilai, etnis, agama, dan daerah Indonesia mendorong proses pengembangan kurikulum untuk mengakomodasi muatan lokal untuk siswa lokal. Sehingga sangat disarankan setiap daerah memiliki muatan lokalnya yang unik, misalnya di Jawa Tengah pemerintah mengeluarkan secara resmi bahasa jawa sebagai muatan lokal yang wajib dipelajari oleh seluruh siswa di provinsi Jawa Tengah (Palupi, 2016). Selain itu, setiap sekolah juga diarahkan untuk mengembangkan kurikulum kontekstual dengan mempertimbangkan kembali lingkungan sosial sekolah, permasalahan, keragaman latar belakang ekonomi dan sosial siswa serta potensi pribadi dan sosialnya (Subkhan, 2016). Jadi, dapat kita lihat bahwa pada gagasan pokok kurikulum yang saat ini digunakan di Indonesia yakni kurikulum 2013, rancangan kurikulumnya tidak menjaga muatan lokal sebagai proses pembelajaran yang terpisah, tetapi memperlakukannya sebagai konteks dari semua materi pembelajaran.
Kurikulum 2013 saat ini digunakan di Indonesia. Standar isi dan standar penilaian kurikulum 2013 saat ini sedang mengalami penyempurnaan. Standar isi disusun agar siswa dapat berpikir kritis dan analitis sesuai standar internasional. Selain itu, dilakukan juga penyempurnaan standar penilaian.
Penyempurnaan dilakukan dengan melihat berbagai model standar penilaian internasional. Penilaian pada hasil belajar tersebut mengacu pada HOTS dengan persepsi siswa mampu berpikir secara luas dan mendalam terhadap materi pelajaran (Merta et al., 2019).
Dalam kurikulum 2013, hanya ada empat prinsip dasar yakni standar kompetensi lulusan, standar proses, standar isi, dan standar penilaian. Standar
8
kompetensi lulusan dijadikan acuan pegembangan standar isi, standar proses, standar penilaian pendidikan, standar pendidik dan tenaga kependidikan, standar sarana dan prasarana, standar pengelolaan, dan standar pembiayaan.
Setiap siswa memiliki portofolio sebagai lembar acuan penilaian dan menjadikan ekstrakurikuler pramuka wajib untuk semua jenjang pendidikan dasar hingga menengah (Slameto, 2015).
Menurut Kemendikbud dalam Permendikbud No. 70 tahun 2013 tantangan internal dan eksternal terhadap pendidikan di Indonesia mendasari terbentuknya kurikulum 2013. Tantangan internal yang dihadapi adalah sumber daya manusia usia produktif yang melimpah, sedangkan tantangan eksternal yang dihadapi adalah arus globalisasi, isu lingkungan hidup, peningkatan teknologi dan informasi, kemajuan industri kreatif dan budaya, serta kemajuan pendidikan di ranah internasional.
Tujuan dari pengembangan kurikulum 2013 menurut Kemendikbud dalam Permendikbud No. 69 Tahun 2013 adalah untuk mempersiapkan manusia Indonesia agar mampu hidup secara individu dan berkontribusi bagi masyarakat, bangsa, negara, dan dunia.
Pembelajaran kurikulum 2013 bertujuan untuk pegembangan bakat, minat, siswa berkarakter, kompeten dan literat. Pengalaman belajar mulai dari sederhana hingga kompleks diperlukan untuk mewujudkan tujuan tersebut.
Guru melaksanakan belajar mengajar dan penilaiannya sesuai karakteristik pembelajaran abad 21 (http://pena.belajar.kemdikbud.go.id akses 28 September 2018).
Pada kurikulum 2013, semua materi pembelajaran harus dikontekstualisasikan terlebih dahulu sebelum diajarkan kepada siswa agar dapat mendekatkan siswa dengan permasalahan sehari-hari dan menjadikan proses pembelajaran lebih bermakna dan bermanfaat bagi mereka. Oleh karena itu, untuk memastikan implementasi kurikulum 2013 sejalan dengan pengertian akomodatif kurikulum, perumusan proses pembelajaran yang menjadi sentral dalam desain kurikulum 2013 harus didasarkan pada kegiatan kontekstual.
9
Dengan kata lain, kurikulum 2013 mengakomodir kurikulum formal, informal dan kolateral ke dalam satu paket (Palupi, 2018).
3. Pembelajaran Abad 21
Menurut Yana (dalam ((Wijoyo, 2018)) pembelajaran abad 21 memiliki perbedaan dengan pembelajaran masa lalu. Saat ini harus memperhatikan standar acuan untuk mewujudkan tujuan pembelajaran. Berdasar standar yang telah ditetapkan, guru memiliki pedoman pembelajaran dan tujuan yang hendak dicapai. Memasuki abad 21, dampak teknologi sudah terasa dalam banyak hal termasuk pendidikan. Dalam masyarakat saat ini, guru, dosen, pendidik dan siswa, dituntut memiliki kemampuan belajar abad 21. Pengetahuan di era saat ini memunculkan tantangan dan peluang.
Menurut Scott (2017) Upaya peningkatan mutu pendidikan tidak lepas dari tuntutan daya saing abad 21 yang kompleks dan menantang. Ada tiga kerangka kerja utama keterampilan abad ke-21, yakni (1) keterampilan belajar dan inovasi; (2) keterampilan hidup dan karier; dan (3) keterampilan informasi, media, dan teknologi.
Guru pada pembelajaran abad ke-21 dituntut umtuk paham teknologi.
Meneliti, mengkomunikasikan, dan bahkan melamar pekerjaan secara online di seluruh dunia melalui komputer atau ponsel sangatlah mudah bagi mereka (Burke et al., 2009). Peserta didik pada abad ke-21 harus mampu melakukan pengarahan pada dirinya masing – masing dan memiliki kecakapan dalam melakukan kolaborasi antara individu, kelompok, dan teknologi (McCoog, 2008). Jaringan sosial dibentuk atas ide bagaimana orang dapat saling mengenal dan berinteraksi (Zaidieh, 2012).
Oleh karena itu, Pendidikan abad 21 mengintegrasikan pengetahuan, keterampilan, dan sikap, serta penguasaan TIK. Keterampilan tersebut dikembangkan melalui berbagai mode pembelajaran berdasarkan karakteristik kemampuan dan materi pembelajaran.
Menurut Bialik (2015) dan Scott (2017) kemampuan yang relevan dengan kompetensi 4C, meliputi kreativitas, berpikir kritis, komunikasi, dan kolaborasi. Keterampilan abad 21 memiliki dua komponen utama yakni
10
keterampilan abstrak (kreatif dan kritis) serta keterampilan khusus (komunikasi dan kolaborasi). Berpikir kreatif dan kritis merupakan berpikir tingkat tinggi (HOTS) (Miri, David, & Uri, 2007). Oleh karena itu, untuk menghadapi berbagai tantangan abad 21 dan menjadikan siswa berpikir kritis, kreatif, inovatif, mampu memecahkan masalah, membuat keputusan, serta berkarakter baik, maka seluruh jenjang pendidikan perlu dibekali HOTS.
4. Kimia dan Pembelajaran Kimia
Pembelajaran adalah sistem yang saling berhubungan dan yang mencapai hasil yang diinginkan berdasarkan tujuan yang telah ditetapkan.
(Sanjaya,2008). Proses belajar mengajar ditandai dengan interaksi bertujuan, secara metodologis berakar dari guru dan siswa, dimana berlangsung secara sistematis melalui tahapan desain, implementasi, dan evaluasi. Belajar tidak terjadi secara instan, tetapi berlangsung melalui tahapan yang bercirikan karakteristik tertentu. Pertama, memaksimalkan proses mental siswa dalam proses belajar mengajar. Kedua, proses tanya jawab yang berkesinambungan diarahkan pada peningkatan kemampuan berpikir siswa, dimana siswa memperoleh pengetahuan yang mereka konstruksikan sendiri (Sagala,2010).
Ilmu kimia adalah cabang ilmu sains yang mempelajari keberadaan materi dengan mempelajari struktur, sifat, dan perubahan energinya.
(Jespersen, Brady, dan Hyslop, 2012). Kimia adalah studi tentang bagaimana hal-hal disatukan, terbuat dari apa, sifat-sifatnya, dan bagaimana hal tersebut berubah dan bereaksi dengan hal-hal lain. Berdasarkan fenomena alam dalam kimia, konsep, teori, dan hukum, disusun. Konsep, teori, dan hukum ini kemudian dapat digunakan kembali untuk menjelaskan berbagai fenomena yang terjadi di alam. Dalam menjelaskan fenomena alam ini, kimia menghubungkan tiga tingkatan yakni makroskopik, mikroskopis, dan simbolik.
Mata pelajaran kimia menjadi tantngan tersendiri bagi sebagian siswa SMA dan MA (Kasmadi dan Indraspuri, 2010). Berdasar karakteristik kimia yang dijelaskan di atas, kimia sangat baik digunakan untuk mengembangkan keterampilan abad ke-21 (Redhana, 2019).
11
Oleh karena itu, pembelajaran kimia adalah proses siswa berinteraksi dengan lingkungan untuk mencapai tujuan pembelajaran kimia. Kualitas pembelajaran dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain perbedaan individu, strategi belajar mengajar, metode pembelajaran, dan sumber belajar yang digunakan. Penggunaan media dapat membantu guru untuk menyampaikan materi dan sumber soal latihan.
5. Higher Order Thinking Skills (HOTS)
HOTS adalah kemampuan peserta didik yang berorientasi pada keterampilan berpikir tingkat tinggi yakni kemampuan berpikir kritis, logis, reflektif, metakognitif, dan berpikir kreatif. Menurut Ernawati, 2017 HOTS adalah cara berpikir yang secara integral berfokus pada analisis, sintesis, asosiasi, dan penarikan kesimpulan untuk menciptakan sesuatu yang kreatif dan produktif. Cara berpikir telah berubah dari sekedar menghafal secara lisan menjadi memahami hakikat apa yang terkandung di antara mereka. Cara berpikir ini mendorong siswa untuk memunculkan berbagai kemungkinan atau alternatif yang bervariasi, dan dapat menemukan solusi untuk memecahkan masalah.
International Student Assessment Program (PISA) adalah program yang mengukur pencapaian siswa berusia 15 tahun dalam matematika, sains, dan membaca. Penilaian PISA dilakukan setiap tiga tahun sekali dengan fokus pada pendidikan nasional. Sejak tahun 2000, ketika PISA pertama kali diterapkan, jumlah negara peserta terus meningkat, dan pada tahun 2018, dari 41 negara menjadi 79 negara yang terdaftar sebagai negara peserta PISA di bawah sistem pengembangan dan Organization for Economic Cooperation (OECD) (OECD,2019). Berdasarkan hasil PISA tahun 2018, Indonesia menduduki peringkat ke 74 dari 79 negara pada kategori kemampuan membaca, serta menduduki peringkat ke 73 dan ke 71 pada kategori kemampuan matematika dan sains (Hewi & Shaleh, 2020). Maka dari itu diperlukan adanya perubahan sistem dalam pembelajaran dan penilaian HOTS.
HOTS adalah keterampilan berpikir yang dimiliki individu dalam menghadapi masalah, ketidakpastian, pertanyaan, dan dilema yang tidak biasa.
12
Dalam situasi seperti itu, siswa tidak bisa hanya menggunakan solusi yang dihafal tetapi kombinasi pemikiran kritis, logis, reflektif, metakognitif, dan kreatif untuk mengembangkan strategi kreatif untuk menyelesaikannya (King, Goodson & Rohani,2011). HOTS adalah proses metakognitif yang mengajarkan bagaimana menggunakan metode mengamati dan mempelajari proses informasi dalam menghasilkan ide (Yee et al., 2015). Oleh karena itu, meskipun HOTS didasarkan pada keterampilan berpikir tingkat rendah (LOTS) seperti aplikasi dan analisis sederhana, namun tingkat kognitif serta penerapan atau aplikasinya jauh lebih kompleks, dimana memuat penjelasan, keputusan, kinerja, dan solusi yang valid tidak hanya dalam konteks yang diberikan oleh guru tetapi juga situasi kehidupan nyata yang dapat diidentifikasi oleh siswa sendiri.
HOTS memiliki peran yang penting dalam meningkatkan kemampuan belajar siswa, kecepatan dan keefektifan proses pembelajaran (Heong, Yunos,Hassan, Othman, & Kiong, 2011). Lebih penting lagi, HOTS bisa diajarkan dan dipelajari. Namun, integrasi HOTS yang berhasil dalam hal pengajaran, diperlukan pertimbangan yang cermat dalam semua aspek pengajaran termasuk pendekatan pengajaran, strategi pengajaran, dan penilaian (Nguyen & Nguyen, 2017).
Menurut Saputra (dalam ((Dinni, 2018)) menyatakan bahwa HOTS bertujuan untuk meningkatkan keterampilan berpikir siswa pada tingkat yang lebih tinggi, yakni berpikir kritis dalam menerima informasi, berpikir kreatif dalam memecahkan masalah, dan mengambil keputusan dalam situasi yang kompleks. Menurut Broolhart (dalam Afandi dan Sajidan, (2018)), aspek HOTS dapat dibagi menjadi tiga yaitu HOTS sebagai sebuah transfer of knowledge, HOTS sebagai berpikir kritis dan HOTS sebagai pemecahan masalah.
Berdasarkan taksonomi Bloom yang disempurkan Anderson &
Krathwohl, proses berpikir adalah kemampuan dalam mengetahui (C1), memahami (C2), menerapkan (C3), menganalisis (C4), mengevaluasi (C5), dan mencipta (C6). Dimensi C1 dan C2 tergolong level kognitif 1 (Low Order
13
Thinking Skills/LOTS), C3 pada level kognitif 2 (Middle Order Thinking Skills/MOTS), dan C4 sampai C6 pada level kognitif 3 (HOTS). Soal HOTS berada pada dimensi C4 hingga C6 (Rahman, Ofianto, & Yetferson, 2019).
Dalam pelaksanaan pembelajaran HOTS terdapat suatu transfer antar konsep, penerapan dan pemrosesan informasi, pencarian informasi yang berkaitan, penyelesaian masalah menggunakan informasi, serta ide dan informasi ditelaah secara kritis. Pada dimensi pengetahuan, soal HOTS tidak hanya mengukur dimensi faktual, konseptual, atau prosedural saja namun juga dimensi metakognitif (Rahman, Ofianto, & Yetferson, 2019). Jadi, HOTS adalah keterampilan berpikir untuk mengkaji informasi secara kritis, kreatif, kreatif, dan memecahkan masalah.
Menurut Krathwohl (dalam Lewy, 2009) indikator HOTS meliputi : a. Menganalisis
1) Menganalisis informasi atau menstrukturkan informasi untuk mengetahui hubungannya
2) Mampu mengetahui dan membedakan faktor sebab akibat dari suatu informasi
3) Merumuskan pertanyaan atau mengidentifikasi informasi b. Mengevaluasi
1) Mengevaluasi solusi permasalahan, ide, serta metode berdasarkan standar yang ada untuk melihat tingkat efektivitas dan manfaatnya.
2) Pembuatan hipotesis, mengkritik dan melaksanakan pengujian
3) Penerimaan atau penolakan pernyataan sesuai kriteria yang ditentukan c. Mencipta
1) Menciptakan generalisasi gagasan
2) Membuat konsep bagaimana cara penyelesaian masalah
3) Mengorganisasikan berbagai unsur menjadi struktur baru yang belum ada sebelumnya.
Karakteristik dari soal HOTS yakni mengukur keterampilan HOTS berdasarkan permasalahan kontekstual, menggunakan bentuk soal yang beragam, serta dan mengukur tingkat kognitif C4 (menganalisis), C5
14
(mengevaluasi), dan C6 (mencipta) (Taubah, 2019). Karakteristik instrumen penilaian HOTS mengukur keterampilan berpikir tingkat tinggi yang menjadikan siswa mampu memecahkan masalah, berpikir kritis, kreatif, serta mampu berargumen dan mengambil keputusan (Widana, 2017). Langkah menyusun soal HOTS antara lain yakni menganalisis KD, membuat susunan kisi – kisi soal, menentukan stimulus yang kontekstual serta menarik, membuat pertanyaan yang sesuai dengan kisi - kisi soal, serta menulis rubrik penilaian atau kunci jawaban (Kemdikbud, 2018).
B. Kerangka Berpikir
Kurikulum 2013 saat ini digunakan di Indonesia, dimana standar penilaian dan standar isi kurikulum 2013 sedang mengalami penyempurnaan. Standar isi disusun agar siswa dapat berpikir kritis dan analitis sesuai standar internasional.
Selain itu, dilakukan juga penyempurnaan pada standar penilaian. Penyempurnaan dilakukan dengan melihat berbagai model standar penilaian internasional.
Penilaian pada hasil belajar tersebut mengacu pada HOTS dengan persepsi siswa mampu berpikir secara luas dan mendalam terhadap materi pelajaran (Merta, Lestari, & Setiadi, 2019).
Guru adalah garda terdepan dalam memberikan pendidikan di Indonesia.
Guru harus dapat membiasakan pembelajaran berbasis HOTS seperti memberikan beberapa soal yang mengandung HOTS. Kemampuan guru tercermin dari kompetensi yang dimilikinya. Hasil belajar yang diperoleh siswa menunjukkan efektif atau tidaknya pembelajaran yang dilakukan oleh guru tersebut. Oleh karena itu, guru harus menyiapkan instrumen penilaian yang terkait dengan HOTS. Guru profesional diperlukan dalam pembaharuan penilaian HOTS. Melalui pendampingan pemerintah dalam memperkenalkan keterampilan HOTS, diharapkan dapat meningkatkan kualitas mutu pendidikan.
Oleh karena itu, untuk menghadapi berbagai tantangan abad 21 dan menjadikan peserta didik mampu berpikir kritis, kreatif, inovatif, mampu memecahkan masalah, membuat keputusan, serta memiliki karakter yang baik, maka seluruh jenjang pendidikan perlu dibekali HOTS. Namun perlu diingat bahwa keefektifan dan kualitas belajar mengajar yang baik dapat dilihat dari
15
kualitas penilaiannya, begitu juga sebaliknya kualitas penilaian dapat menunjukkan bagaimana kualitas pembelajarannya, karena penilaian dan pembelajaran tidak dapat dipisahkan.
Gambar 2.1 Kerangka Berpikir Kondisi Ideal
1. Kurikulum 2013 sebagai wahana pelaksanaan HOTS dalam pembelajaran.
2. Guru yang mampu mengimplementasikan penilaian HOTS dengan benar dan baik mampu mendukung pelaksanakan HOTS dalam pembelajaran dengan baik
Kondisi Lapangan 1. Pengetahuan guru
terhadap penilaian HOTS cukup tinggi 2. Implementasi
penilaian HOTS kurang maksimal
Permasalahan
Jika guru tidak memiliki kemampuan dalam mengimplementasi penilaian HOTS, maka peserta didik dan guru kurang mampu mendukung pelaksanakan HOTS dalam pembelajaran kimia dengan baik dan tidak bisa menghadapi tantangan global pada masa yang akan datang, karena kemampuan peserta didik masih pada hafalan
Hasil Implementasi Penilaian Higher Order Thingking Skills (HOTS) dalam Pembelajaran Kimia di SMA Negeri 1 Magelang