• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS NILAI MORAL DALAM NOVEL NORWEGIAN WOOD KARYA HARUKI MURAKAMI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "ANALISIS NILAI MORAL DALAM NOVEL NORWEGIAN WOOD KARYA HARUKI MURAKAMI"

Copied!
101
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS NILAI MORAL DALAM NOVEL NORWEGIAN WOOD KARYA HARUKI MURAKAMI

HARUKI MURAKAMI NO "NORUWEI NO MORI" TO IU SHOUSETSU NI OKERU DOUTOKUTEKI KACHI NO BUNSEKI

SKRIPSI

Skripsi ini ditujukan kepada panitia ujian Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara untuk melengkapi salah satu ujian sarjana

dalam bidang Ilmu Sastra Jepang

Oleh:

Khairul Mazidah 160708011

PROGRAM STUDI SASTRA JEPANG FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2021

(2)

SKRIPSI

ANALISIS NILAI MORAL DALAM NOVEL NORWEGIAN WOOD KARYA HARUKI MURAKAMI

HARUKI MURAKAMI NO "NORUWEI NO MORI" TO IU SHOUSETSU NI OKERU DOUTOKUTEKI KACHI NO BUNSEKI

Oleh:

Nama : Khairul Mazidah NIM : 160708011

Disetujui oleh:

Dosen Pembimbing

(3)
(4)
(5)
(6)

KATA PENGANTAR

Bismillaahirrahmaanirrahiim

Alhamdulillaahi Rabbil’alamiin. Penulis memanjatkan puji syukur yang sebesar- besarnya ke hadirat Allah SWT karena atas segala nikmat dan karunia-Nya yang telah memberikan kesempatan bagi penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

Shalawat beserta salam kepada nabi besar Muhammad SAW, tauladan bagi umat manusia.

Skripsi yang berjudul “Analisis Nilai Moral Dalam Novel Norwegian Wood Karya Haruki Murakami” ini penulis susun sebagai salah satu syarat untuk meraih gelar Sarjana Sastra pada Departemen Sastra Jepang Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Medan.

Skripsi dengan judul “Analisis Nilai Moral Dalam Novel Norwegian Wood Karya Haruki Murakami” telah diselesaikan dengan baik. Isi dari penelitian ini yaitu mengungkap tentang nilai-nilai moral yang berkaitan dengan hubungan asmara dan pertemanan yang terkandung di dalam novel Norwegian Wood karya Haruki Murakami melalui prilaku para tokoh cerita di dalamnya.

Dalam penyusunan skripsi ini, penulis menyadari masih banyak kesalahan dan kekurangan, baik dalam hal penulisan, susunan kalimat, penggunaan kata-kata, maupun proses analisisnya.

Penulis juga menyadari sepenuhnya bahwa dalam penulisan skripsi ini tidak akan dapat berjalan lancar tanpa adanya berbagai pihak yang membantu dan mendukung. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan rasa terima kasih, penghargaan, dan penghormatan yang sebesar-besarnya kepada :

(7)

1. Bapak Dr. Budi Agustono, M.S, selaku Dekan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Hamzon Situmorang, M.S., Ph. D, selaku Ketua Departemen Sastra Jepang Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Drs. Eman Kusdiyana, M.Hum, selaku Dosen Pembimbing yang telah meluangkan waktu, tenaga dan pikiran untuk membimbing penulis selama proses penyusunan skripsi serta memberikan masukan, nasihat dan arahan dengan sabar, sehingga skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik.

4. Seluruh staf pengajar Jurusan Sastra Jepang dan Bahasa Jepang Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan banyak ilmu yang sangat bermanfaat sejak awal perkuliahan hingga selesai. Dan staf tata usaha yang telah banyak membantu penulis dalam hal akademik.

5. Para Dosen Penguji pada Ujian Seminar Proposal dan Dosen Penguji pada Ujian Skripsi, yang telah menyediakan waktu untuk membaca, menguji, memberikan arahan dan kritik terhadap skripsi ini.

6. Terutama yaitu kepada kedua orang tua penulis (Bapak Abdullah Effendy dan Ibu Aminah), orang tua yang terhebat dan yang terbaik, yang selalu memberikan perhatian penuh, nasihat serta selalu ada bagi penulis. Terima kasih banyak atas dukungan Buya dan Umi baik itu secara moril maupun materi, serta doa yang tiada henti yang selalu Buya dan Umi panjatkan dalam shalat. Semua yang Buya dan Umi lakukan tidak akan mampu penulis balas sampai kapanpun. Semoga Allah SWT senantiasa membalas segala

kebaikan Buya dan Umi.

7. Keponakan penulis, Tiara Muthmainnah, kepada keluarga dan saudara-saudara yang telah senantiasa mendukung, mendoakan dan menyemangati penulis.

8. Para sahabat penulis di Sastra Jepang stambuk 2016 yang senantiasa memberikan dukungan moral dan semangat.

(8)

9. Senior-senior seperdopingan yang berbaik hati dan yang selalu menyemangati, serta teman-teman seperjuangan lainnya.

10. Beberapa teman dari beastudi etos stambuk 2016 yang turut mendukung dan menyemangati.

11. Teman-teman dan senior-senior di grup KKN yang tidak dapat saya sebutkan satu per satu.

12. Seluruh teman-teman Sastra Jepang (Aotake) stambuk 2016 yang tidak dapat saya sebutkan satu per satu.

13. Beberapa sahabat SMP-SMA penulis yang telah memberikan dukungan dan semangat.

Penulisan skripsi ini pun jauh dari kata sempurna, untuk itu penulis mengharapkan saran dan kritik yang bersifat membangun demi kesempurnaan skripsi ini. Penulis berharap agar skripsi ini dapat berguna dan bermanfaat bagi pembaca.

Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih banyak.

Medan, 03 Januari 2021 Penulis,

Khairul Mazidah

(9)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iv

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah ... 1

1.2. Rumusan Masalah ... 5

1.3. Ruang Lingkup Pembahasan ... 6

1.4. Tinjauan Pustaka dan Kerangka Teori ... 7

1.5. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 11

1.6. Metode Penelitian ... 12

BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP NOVEL “NORWEGIAN WOOD” STUDI MORALITAS DAN SEMIOTIK 2.1 Defenisi Novel ... 14

2.2 Resensi Novel “Norwegian Wood” ... 16

2.2.1. Tema ... 16

2.2.2. Plot/Alur ... 17

2.2.3 Latar/setting ... 20

2.2.4 Tokoh dan Penokohan ... 22

2.2.5 Sudut Pandang ... 24

2.2.6 Amanat ... 26

(10)

2.3 Studi Moralitas dan Semiotik ... 26

2.4 Sekilas Tentang Biograf Pengarang ... 38

BAB III ANALISIS NILAI MORAL DALAM NOVEL “NORWEGIAN WOOD” KARYA HARUKI MURAKAMI 3.1 Sinopsis Cerita Novel “Norwegian Wood” ... 43

3.2 Analisis Pengungkapan Nilai-nilai Moral yang Terdapat dalam Novel “Norwegian Wood” ... 47

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN 4.1 Kesimpulan ... 82

4.2 Saran... 83

DAFTAR PUSTAKA ... 84

ABSTRAK ... 87

(11)

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

Sastra merupakan bentuk pengungkapan jiwa yang di dalamnya tertuang pemikiran, pengalaman, perasaan, semangat, ide serta keyakinan yang kemudian diwujudkan dalam suatu karya sastra yang mengangkat pesona dengan alat bantu bahasa. Sastra yang mengemukakan tentang fungsi sastra dalam mengarahkan manusia menjadi pribadi yang bermoral yaitu sastra humanistis.

Sastra humanistis adalah (1) karya sastra yang mengarah pada upaya memanusiakan manusia, mengangkat derajat dan martabat manusia, serta memanusiakan manusia, (2) karya-karya sastra lisan dan tulis yang melukiskan keberadaban manusia pada masa depan, mengubah dari karakter biadab ke beradab, serta menciptakan hati manusia semakin bijak, (3) karya-karya sastra yang membangkitkan ajaran kemanusiaan, agar semakin memahami dari mana dan akan ke mana manusia ada di dunia. Dengan kata lain, sastra humanistis selalu menjadi filter tindakan manusia agar semakin berbudaya luhur.

Itulah sebabnya. para peneliti dapat mengangkat aspek sikap dan perilaku manusia melalui karya sastra (Endraswara, 2013: 3).

Begitu banyak jenis karya sastra yang dapat dinikmati oleh para pecinta karya sastra.

Salah satunya yaitu novel. Abrams dalam Nurgiyantoro, (2009:9), berpendapat bahwa istilah novel berasal dari bahasa Itali, novella yang mengandung makna harfiah sebuah barang baru yang kecil, yang kemudian diartikan sebagai cerita pendek dalam bentuk prosa. Novel merupakan salah satu jenis prosa yang banyak diminati, tidak hanya berfungsi sebagai media hiburan, juga sebagai media dalam menambah wawasan bagi penikmatnya baik dari segi moral, sosial serta budaya. Sudah sangat banyak karya sastra

“novel” yang ber-setting Jepang yang mengungkapkan tentang pesan moral yang telah

(12)

beredar di Indonesia, baik itu ditulis langsung oleh pengarang (penutur Jepang) aslinya maupun pengarang asing ( dari luar Jepang). Salah satu novel Jepang yang beredar di Indonesia adalah berjudul “Norwegian Wood” karya Haruki Murakami.

Norwegian Wood merupakan salah satu novel best-seller dan terfavorit karya novelis Jepang, Haruki Murakami. Novel tersebut pertama terbit pada tahun 1987 yang telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa termasuk bahasa Inggris dan bahasa Indonesia.

Norwegian Wood atau dalam versi bahasa Jepang “Noruwei No Mori”, ditulis oleh Haruki Murakami yang merupakan novelis Jepang yang juga sangat menyukai literatur barat. Norwegian Wood merupakan lagu yang diputar saat tokoh utama (Watanabe) berada di bandara Hamburg, Jerman. Judul novel tersebut (Norwegian Wood) juga terinspirasi dari lagu dari band asal Inggris The Beatles, yang merupakan lagu yang sangat disukai oleh gadis bernama Naoko dalam novel tersebut yang tidak lain adalah perempuan yang dicintai Watanabe. Selain itu, Norwegian Wood juga mempunyai makna mendalam yang menggambarkan kisah cinta dalam novel yang penulis bahas ini.

Sebagaimana yang digambarkan pada novel Norwegian Wood karya Haruki Murakami tersebut bahwa saat ada dua orang atau lebih yang tersesat di hutan yang luas, maka mereka haruslah berusaha untuk saling tolong menolong dan bekerja sama agar dapat keluar dari hutan tersebut. Begitulah kurang lebih pesan yang ingin disampaikan oleh si pengarang kepada pembacanya.

Dalam melakukan analisa terhadap novel Norwegian Wood atau versi dalam bahasa Jepang yaitu “Noruwei No Mori” karya Haruki Murakami tersebut, secara keseluruhan Norwegian Wood memiliki arti kebebasan, kesepian dan kematian. Sebagaimana hutan Norwegia yang luas, terdapat kebebasan di dalamnya, layaknya kehidupan di kota Tokyo yang diceritakan dalam novel tersebut. Suasana kota Tokyo yang penuh dengan

(13)

kebebasan, muda-mudi, nafsu birahi serta seks bebas. Dikarenakan novel tersebut dilatarbelakangi era transisi moderen (adanya pengaruh westernisasi), maka tidak dipungkiri adanya hal yang juga bersifat amoral seperti hubungan seks bebas. Hutan yang juga melambangkan kesunyian, sebagaimana yang dialami oleh tokoh cerita, Watanabe dan Naoko yang jiwanya mengalami kesepian saat ditinggal oleh orang yang mereka cintai. Selain itu, dalam masyarakat Jepang, hutan merupakan salah satu tempat yang biasa dijadikan lokasi bunuh diri seperti halnya yang dilakukan oleh tokoh Naoko dalam novel tersebut.

Novel Norwegian Wood menyajikan kisah cinta yang rumit dan kelam yang dialami oleh tokoh utama, Toru Watanabe. Pada saat duduk di bangku SMA, Watanabe mempunyai seorang sahabat lelaki bernama Kizuki. Kizuki mempunyai kekasih bernama Naoko. Naoko merupakan gadis yang sangat cantik, anggun dan sangat mencintai Kizuki.

Kizuki dan Watanabe sangatlah dekat. Mereka selalu bersama dan senang bermain billiard pada malam hari.

Namun, sesuatu yang tidak pernah diharapkan terjadi. Setelah malam saat Watanabe dan Kizuki bermain billiard bersama, keesokan harinya Kizuki ditemukan tewas bunuh diri di garasi rumahnya. Kizuki bunuh diri dengan cara menghirup asap knalpot mobil yang dipasang menggunakan pipa aluminium. Kematian Kizuki yang sangat tragis tersebut membuat Naoko dan Watanabe sangat terpukul. Naoko mengalami kekacauan mental, terlebih karena Kizuki melakukan bunuh diri tanpa diketahui apa alasannya.

Begitupun dengan Watanabe, kematian sahabatnya, Kizuki, meninggalkan pertanyaan- pertanyaan bagi dirinya. Naoko sempat direhabilitasi di rumah sakit yang jauh di pegunungan untuk membantunya memulihkan depresi. Dan di sana Naoko mendapatkan dokter sekaligus sahabat yang menjaganya setiap waktu bernama Reiko.

(14)

Watanabe dan Naoko menjadi dekat hari demi hari. Watanabe pun menjadi jatuh cinta kepada Naoko. Watanabe selalu ada untuk Naoko dan selalu mencoba menghiburnya dengan lelucon dan selalu ingin membuat Naoko bahagia dan melupakan kesedihannya.

Namun begitu, Naoko tidak pernah bisa mencintai lelaki selain Kizuki hingga pada akhirnya ia (Naoko) sudah tidak sanggup lagi dan memutuskan untuk bunuh diri di hutan dengan cara gantung diri. Hal itu sangat membuat Watanabe sangat terpukul. Ia sempat hidup terlunta-lunta seperti homeless. Namun kemudian ia sadar dan harus kembali ke kehidupan normalnya dan ingin menjalani kembali kisah cinta bersama gadis bernama Midori, gadis yang jatuh cinta pada Watanabe sejak di kelas Sejarah Drama II. Watanabe sempat diambang kegalauan apa ia harus memilih antara masa lalu atau masa depan.

Setelah penulis baca, dalam novel Norwegian Wood karya Haruki Murakami tersebut terdapat beberapa pesan moral yang ditunjukkan melalui prilaku para tokoh cerita yang bersangkutan dengan kehidupan percintaan dan pertemanan. Dalam novel Norwegian Wood tersebut, Haruki Murakami ingin menyampaikan pesan bahwa seyogyanya manusia itu harus menanggung resiko dan memikirkan konsekuensi dalam mengarungi kehidupan percintaan, serta apa saja yang harus dimiliki manusia itu agar kehidupan asmaranya dapat berjalan dengan baik. Selain dalam hal asmara, adapun pesan yang ingin pengarang sampaikan dalam hal pertemanan yaitu harus mempunyai solidaritas dan tolong menolong dalam berbagai hal.

Dalam sub-bab latar belakang ini, penulis tidak menguak atau dalam kata lain tidak menyebutkan secara terang-terangan seperti apa saja pesan moral yang diungkapkan dalam novel Norwegian Wood karya Haruki Murakami tersebut. Namun, pesan-pesan moral tersebut akan menjadi temuan dan kemudian ditunjukkan atau dijelaskan pada Bab III melalui cuplikan-cuplikan menggunakan pendekanan semiotika. Dan menurut penulis, novel Norwegian Wood karya Haruki Murakami sangat bagus dan baik untuk dibaca oleh

(15)

orang yang sudah cukup dewasa serta tidak cocok dikonsumsi oleh anak dibawah umur karena novel tersebut juga merupakan novel yang erotic dan memuat tentang adegan bunuh diri. Karena adanya beberapa nilai moral yang terkandung di dalam novel tersebut, penulis tertarik membahas novel Norwegian Wood dengan judul Analisis Nilai Moral Dalam Novel Norwegian Wood Karya Haruki Murakami.

1.2 Rumusan Masalah

Dilihat dari setting zaman, novel Norwegian Wood karya Haruki Murakami pertama terbit pada tahun 1987 dan telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa termasuk bahasa Inggris dan bahasa Indonesia. Namun novel tersebut dilatarbelakangi sekitar tahun 1960-1980 an di mana pada masa itu Jepang memasuki zaman modern dan menerima banyaknya pengaruh dari westernisasi. Terbukti bahwa Haruki Murakami merupakan novelis Jepang yang juga mengagumi karya-karya literatur dari Barat yang ia tuangkan di dalam novel tersebut. Seperti halnya dalam novel tersebut diungkapkan bahwa para tokoh cerita sangat menggemari karya-karya literatur dan musisi barat. Dan selain itu, di zaman transisi ke modern di mana kota Tokyo menjadi pusat hiruk piruk dunia malam serta muda-mudi yang melakukan seks bebas. Hal tersebut menjadi latar kehidupan yang dialami tokoh utama (Toru Watanabe) dalam novel tersebut serta bagaimana perjalanan kisah cintanya dan hubungannya dengan orang-orang di sekitarnya. Di mana di era tersebut masyarakat cenderung memiliki jiwa individualisme dan lebih bersifat liberal.

Dan di dalam novel tersebut juga terkandung nilai-nilai moral yang digambarkan oleh para tokoh cerita yang menarik untuk dibahas.

Pengarang melalui novel Norwegian Wood tersebut ingin menyampaikan pesan moral kepada pembaca tentang masyarakat yang memiliki atau mendapatkan permasalahan dalam hal asmara atau dengan kata lain memiliki kendala dalam hal percintaan.

Pengarang melalui karyanya tersebut ingin menyampaikan suatu pesan penting agar

(16)

masyarakat yang memiliki kendala dalam hal percintaan haruslah ikhlas dan tegar dalam menghadapi peristiwa yang terjadi. Karena ikhlas merupakan kuncinya serta saling membantu dalam hal solidaritas antar teman. Selain itu, kesetiaan juga merupakan kunci penting untuk suatu hubungan yang sehat.

Dalam bentuk pertanyaan, permasalahannya adalah sebagai berikut :

1. Nilai moral seperti apa sajakah yang terdapat dalam novel Norwegian Wood karya Haruki Murakami?

2. Bagaimana pengungkapan nilai moral yang dilakukan para tokoh cerita pada novel Norwegian Wood karya Haruki Murakami?

1.3 Ruang Lingkup Pembahasan

Dalam melakukan penelitian perlu adanya ruang lingkup pembahasan. Ruang lingkup pembahasan bertujuan untuk membatasi permasalahan agar topik pembahasan lebih terarah dan tidak keluar dari tema yang telah penulis teliti.

Penulis dalam skripsi ini membatasi pembahasannya hanya pada analisis nilai moral yang terungkap pada novel Norwegian Wood karya Haruki Murakami. Sumber data utama yaitu novel Norwegian Wood karya Haruki Murakami yang memiliki halaman berjumlah total 426 halaman yang merupakan cetakan kesepuluh terbitan April tahun 2018 dalam bahasa Indonesia. Terbitan asli novel tersebut yaitu pada tahun 1987 dengan judul asli Noruwei No Mori.

Dalam melakukan penelitian ini, agar memiliki data yang jelas dan akurat, maka pada Bab II penulis akan menjelaskan juga tentang Definisi Novel, Unsur Intrinsik Novel

“Norwegian Wood” yang meliputi tema, plot, latar/setting, tokoh dan penokohan, sudut pandang, amanat, Studi Moralitas dan Semiotik, dan Sekilas Tentang Biografi Pengarang dengan melakukan studi kepustakaan. Sementara sumber data sekunder berupa bahan

(17)

bacaan dari pustaka serta dari jurnal online serta media internet yang relevan dengan penelitian ini.

1.4 Tinjauan Pustaka dan Kerangka Teori 1. Tinjauan Pustaka

Pada umumnya mahasiswa/mahasiswi jurusan Sastra Jepang yang memilih konsentrasi sastra sudah pasti melakukan analisa atau penelitian terhadap karya-karya sastra berbau kejepangan, seperti : novel, cerpen, komik, manga, drama, film, puisi dan sebagainya. Dalam melakukan penelitian terhadap prosa tersebut penulis memilih novel sebagai objek utama, yaitu novel Norwegian Wood karya Haruki Murakami. Baik Sastra Jepang, Sastra Indonesia dan jurusan Sastra bahasa asing lainnya, serta segala jenis prosa tentu memiliki nilai moral di dalamnya. Tidak hanya moral yang bersifat keagamaan, tetapi juga ada moral yang bersifat kebudayaan, pendidikan dan sosial.

Sebelum mengkaji novel Norwegian Wood karya Haruki Murakami dari segi moralitas, pertama penulis akan meneliti dan membandingkan penelitian yang sudah ada sebelumnya mengenai novel Norwegian Wood karya Haruki Murakami dengan kajian yang berbeda. Tujuan penulis melakukan perbandingan tersebut yaitu untuk memastikan bahwa belum ada kajian yang sama persis seperti yang penulis akan lakukan.

Untuk hasil penelitian terdahulu, penulis menganalisis tentang penelitian yang sudah pernah dilakukan dengan objek penelitian yang sama, yaitu novel Norwegian Wood karya Haruki Murakami. Yaitu skripsi yang berjudul “ANALISIS NILAI PRAGMATIK DALAM NOVEL “NORWEGIAN WOOD” KARYA HARUKI MURAKAMI”, oleh Fitri Handayani, mahasiswi alumni Sastra Jepang, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara. Dalam penelitian tersebut, peneliti tersebut menggunakan metode penelitian deskriptif. Peneliti tersebut dalam skripsinya

(18)

menggunakan kajian moral berdasarkan ajaran nilai moral Bushido. Dalam penelitian tersebut, dijelaskan bahwa selain dilandasi oleh etika Zen, nilai moral Bushido juga dilandasi oleh Confusianism. Nilai moral Bushido yang dijelaskan yaitu antara lain : Gi (integritas), Yu (keberanian), Makoto-Shin (kejujuran dan keikhlasan), Jin (murah hati), Rei (hormat dan santun kepada orang lain), Meiyo (menjaga nama baik), dan Chungi (kesetiaan pada pemimpin).Perbedaannya dengan penelitan yang penulis lakukan ini, tidak ada ditemukan nilai-nilai moral yang penulis terdahulu terapkan. Pada penelitan yang penulis lakukan ini tidak berfokus pada moral Bushido. Namun, penulis lebih fokus kepada penelitian moral yang sebagaimana harusnya dimiliki oleh manusia serta apa saja yang seharusnya tidak dimiliki dan yang tidak boleh dimiliki oleh manusia dalam menghadapi kendala dalam hal percintaan dan pertemanan.

2. Kerangka Teori

Dalam menelaah tentang nilai moral yang terdapat dalam novel Norwegian Wood karya Haruki Murakami, penulis menggunakan dua jenis pendekatan yaitu pendekatan moral dan pendekatan semiotik.

Moral berasal dari bahasa Latin Mores. Mores berasal dari kata mos yang berarti kesusilaan, tabiat atau kelakuan. Moral dengan demikian dapat diartikan ajaran kesusilaan.

Menurut Nurgiantoro (2010: 323), nilai moral merupakan sesuatu yang tinggi nilainya yang berupa ukuran untuk mengatur tingkah laku dan perbuatan manusia yang dianggap baik dan buruk dalam masyarakat. Ia dapat mencakup seluruh persoalan hidup dan kehidupan, seluruh persoalan yang menyangkut harkat dan martabat manusia. Secara garis besar persoalan hidup dan kehidupan manusia itu dapat di bedakan ke dalam persoalan hubungan manusia dengan diri sendiri, hubungan manusia dengan manusia lain dalam lingkup sosial termasuk hubungannya

(19)

dengan lingkungan alam, dan hubungan manusia dengan Tuhan. Hubungan manusia dengan diri sendiri dapat berhubungan dengan masalah-masalah seperti eksistensi diri, harga diri, rasa percaya diri, takut, maut, rindu, dendam, kesepian, terombang-ambing antara beberapa pilihan, dal lain-lain yang bersifat melibat ke dalam diri dan kejiwaan seorang individu. Hubungan manusia dengan manusia lain dalam lingkup sosial termasuk hubungannya dengan lingkungan alam antara lain berwujud : persahabatan yang kokoh ataupun yang rapuh, kesetiaan, pengkhianatan, kekeluargaan, hubungan antar suami-istri, orang tua-anak, cinta kasih terhadap suami/istri, anak, orang tua, sesama, maupun tanah air, hubungan buruh-majikan, atasan-bawahan, dan lain-lain yang melibatkan interaksi manusia. Sementara hubungan manusia dengan Tuhannya berwujud religius dan didalamnya bersifat keagamaan.

Berdasarkan penjelasan mengenai nilai moral menurut Nurgiyantoro di atas, dapat disimpulkan bahwa karya sastra sangat erat kaitannya dengan nilai-nilai moral.

Pengarang melalui karyanya senantiasa menyampaikan nilai moral yang terkandung di dalam karya mereka agar dapat dijadikan cerminan atau pelajaran bagi para pembaca/penikmat karya sastra tersebut. Termasuk pada novel Norwegian Wood karya Haruki Murakami yang penulis teliti melalui analisis moralitas. Serta, penulis dalam melakukan penelitian terhadap novel “Norwegian Wood” ini, hanya akan menguak nilai moral yang berkaitan dengan hubungan manusia dengan sesama manusia lainnya yang berhubungan dengan kehidupan percintaan dan pertemanan di antaranya yaitu : persahabatan yang kokoh, kesetiaan, penghianatan dan cinta kasih terhadap sesama.

Menurut Franz Magnis-Suseno (1985 : 141-148) Kekuatan moral adalah kekuatan kepribadian seseorang yang mantap dalam kesanggupannya untuk bertindak sesuai dengan apa yang diyakininya sebagai benar. Menurut Franz Magnis-Suseno,

(20)

lima jenis kepribadian moral yang kuat, diantaranya : kejujuran, kesediaan untuk bertanggung jawab, kemandirian moral, keberanian moral dan kerendahan hati.

Berdasarkan penjelasan mengenai sikap-sikap kepribadian moral yang kuat menurut Franz Magnis-Suseno di atas, penulis dalam hal ini juga akan menelaah nilai moral dalam novel Norwegian Wood karya Haruki Murakami dengan melakukan penilaian akan sikap-sikap kepribadian moral yang kuat yang terdapat pada novel tersebut di antaranya ; kejujuran, keberanian moral dan kerendahan hati.

Menurut Djojosuroto dan Pangkerego (2000: 76), pendekatan moral bertolak dari asumsi dasar bahwa salah satu tujuan kehadiran sastra di tengah-tengah masyarakat pembaca adalah berupaya untuk meningkatkan harkat dan martabat manusia sebagai makhluk berbudaya, berpikir, dan berketuhanan. Pendekatan moral yaitu suatu pendekatan yang didasarkan pada kritik moral yang menuntut fungsi didaktis dalam karya sastra. Pendekatan yang bertolak dari dasar pemikiran bahwa karya sastra dapat menjadi media yang paling efektif untuk membina moral dan kepribadian suatu kelompok masyarakat. Moral diartikan sebagai suatu norma, etika, konsep tentang kehidupan yang dijunjung tinggi oleh sebagian besar masyarakat.

Berdasarkan konsep dari pendekatan moral di atas, penulis akan menganalisis nilai moral yang merupakan norma dan etika yang harus dilakukan manusia agar dapat hidup secara baik dan benar- benar menjadi manusia yang baik serta menghindari hal- hal atau prilaku yang tidak baik, yang diungkapkan di dalam novel Norwegian Wood karya Haruki Murakami.

Semiotik adalah suatu disiplin yang menyelidiki semua bentuk komunikasi yang terjadi dengan sarana signs ‘tanda-tanda’ dan berdasarkan pada sign system (code)

‘sistem tanda’. Banyak cara yang digunakan dalam menganalisis sebuah karya sastra khususnya novel. Salah satunya menganlisis dengan menggunakan pendekatan semiotik.

(21)

Secara etimologis istilah semiotik diturunkan dari kata Yunani, semeion yang berati tanda. Menurut Pradopo (2012:121) sistem semiotika atau sistem ketandaan yaitu sistem ketandaan yang mempunyai arti. Bahasa merupakan sistem ketandaan yang berdasarkan ketentuan oleh konvensi (perjajian masyarakat). Dalam tanda ada dua prinsip yaitu 1) penanda (signifer) atau yang menandai yang merupakan bentuk tanda.

2) petanda (signified) atau yang ditandai. Berdasarkan hubungan antara penanda dan petanda, ada tiga jenis tanda yang pokok yaitu ikon, indeks, dan simbol.

Berdasarkan penjelasan tentang pengertian semiotik di atas, penulis akan menafsirkan atau memaknai tanda-tanda yang merupakan indeksikal dari nilai moral yang dilakukan oleh para tokoh cerita dalam novel Norwegian Wood karya Haruki Murakami.

1.5 Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian

Berdasarkan permasalahan yang telah diuraikan tersebut di atas, maka penulis merangkum tujuan penelitian sebagai berikut :

1. Untuk mendeskripsikan nilai moral apa saja yang terdapat dalam novel Norwegian Wood karya Haruki Murakami.

2. Untuk mendeskripsikan pengungkapan nilai moral yang dilakukan oleh para tokoh cerita dalam novel Norwegian Wood karya Haruki Murakami.

2. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat yang dapat diambil dari hasil penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Menambah pengetahuan pembaca tentang nilai-nilai moral yang seharusnya dimiliki manusia serta nilai apa saja yang seharusnya tidak dimiliki khususnya

(22)

dalam hal percintaan dan pertemanan melalui novel Norwegian Wood karya Haruki Murakami.

2. Membimbing pembaca agar memiliki sikap yang terarah dan baik untuk menjadi manusia yang bermoral.

1.6 Metodologi Penelitian

Dalam melakukan atau menyusun sebuah penelitian karya ilmiah, perlu adanya pemaparan metodologi penelitian. Untuk meneliti dan mengumpulkan data, penulis penulis melakukan studi kepustakaan dan sistem teknik catat simak. Dalam melakukan penelitian ini, penulis juga dalam penyajian data menggunakan metode deskriptif analisis.

Metode dan teknik pengumpulan data adalah seperangkat cara atau teknik yang merupakan perpanjangan dari indera manusia karena tujuannya adalah mengumpulkan fakta-fakta empirik yang terkait dengan masalah penelitian. Untuk studi kepustakaan, penulis menggunakan pendapat M. Nazir sedangkan untuk metode analisis deskriptif penulis menggunakan pendapat Sugiyono.

Menurut M.Nazir dalam bukunya yang berjudul ‘Metode Penelitian’

mengemukakan bahwa yang dimaksud dengan : “Studi kepustakaan adalah teknik pengumpulan data dengan mengadakan studi penelaahan terhadap buku-buku, litertur- literatur, catatan-catatan, dan laporan-laporan yang ada hubungannya dengan masalah yang dipecahkan.”(Nazir,1988: 111).

Dengan menggunakan studi kepustakaan, penulis menggunakan sumber utama yaitu novel Norwegian Wood karya Haruki Murakami. Selain itu, penulis juga berkunjung ke perpustakaan universitas untuk mencari, menemukan, mengumpulkan, membaca serta memahami isi yang terdapat dalam bahasan buku-buku yang berkaitan

(23)

dengan penelitian ini. Dan kemudian penulis juga mengunjungi situs-situs internet dan jurnal online yang memiliki bahasan terkait penelitian yang penulis lakukan.

Menurut Sugiyono (2005: 21) menyatakan bahwa metode analisis deskriptif adalah suatu metode yang digunakan untuk menggambarkan atau menganalisis suatu hasil penelitian tetapi tidak digunakan untuk membuat kesimpulan yang lebih luas.

Dalam melakukan penelitian ini penulis juga menerapkan metode analisis deskriptif yaitu dengan cara memaparkan suatu gambaran atau deskripsi terhadap data dan sumber data yang apa adanya.

(24)

BAB II

TINJAUAN UMUM TERHADAP NOVEL “NORWEGIAN WOOD” STUDI MORALITAS DAN SEMIOTIK

2.1 Definisi Novel

Novel merupakan salah satu bentuk karya sastra yang paling banyak diminati oleh penikmat karya sastra. Hal itu dikarenakan novel memiliki daya tarik secara imajinasi yang luas serta alat komunikasi (bahasa) yang digunakan juga terkesan menarik.

Abrams dalam Nurgiyantoro (1998:9) mengungkapkan bahwa sebutan novel berasal dari bahasa Itali novella ( yang dalam bahasa Jerman novelle). Secara harafiah, novella berarti sebuah barang baru yang kecil, dan kemudian diartikan sebagai cerita pendek dalam bentuk prosa. Dewasa ini istilah novella mengandung pengertian yang sama dengan istilah Indonesia novelette (Inggris novelette), yang berarti sebuah karya prosa fiksi yang panjangnya cukup, tidak terlalu panjang, namun juga tidak terlalu pendek.

Pada umumnya novel mengandung suatu unsur cerita yang terbilang lumayan panjang dan memiliki unsur-unsur intrinsik di dalamnya yang membangun cerita di dalam sebuah novel. Antara lain berupa : tema, plot, latar/setting, tokoh dan penokohan, sudut pandang, amanat dan gaya bahasa.

Di dalam karya sastra (novel) terdapat beberapa macam novel, diantaranya sebagai berikut :

1. Novel Romantis

Novel romantis adalah novel yang memuat cerita panjang bertemakan percintaan. Novel ini hanya dibaca khusus oleh para remaja dan orang dewasa. Alur ceritanya pertemuan kedua tokoh yang berlawanan jenis tersebut ditulis semenarik mungkin. Lalu dilanjutkan dengan konflik-konflik percintaan hingga mencapai sebuah

(25)

titik klimaks, lalu diakhiri dengan sebuah ending yang kebanyakan bercabang jadi tiga: happy ending (dua tokoh utama bersatu), sad ending (dua tokoh utama tidak bersatu), dan ending menggantung (pembaca dibiarkan menyelesaikan sendiri kisah itu).

2.

Novel Komedi

Novel komedi adalah novel yang memuat cerita yang humoris (lucu) dan menarik dengan gaya bahasa yang ringan dengan diiringi gaya humoris dan mudah dipahami.

3.

Novel Religi

Novel ini bisa saja merupakan kisah romantis atau inspiratif yang ditulis lewat sudut pandang religi. Atau novel yang lebih mengarah kepada religi meski tema tersebut beragam.

4.

Novel Horor

Novel ini biasanya bercerita seputar hantu. Sisi yang menarik dari novel ini adalah latar tempatnya, yang kebanyakan sebagai sumber hantu itu berasal. Cerita juga biasa disajikan dalam bentuk perjalanan sekelompok orang ke tempat angker.

5.

Novel Misteri

Novel ini adalah novel yang biasanya memuat teka-teki rumit yang merespons pembacanya untuk berpartisipasi dalam menyelesaikan masalah tersebut. Bersifat mistis, dan keras.Tokoh-tokoh yg terlibat biasanya banyak dan beragam, seperti polisi, detektif, ilmuwan, budayawan, dll.

6.

Novel Inspiratif

Novel Inspiratif adalah novel yang menceritakan sebuah cerita yang bisa memberi inspirasi pembacanya. Biasanya novel inspiratif ini banyak yang berasal dari cerita nonfiksi atau nyata. Tema yang disuguhkan pun banyak, seperti tentang

(26)

pendidikan, ekonomi, politik, prestasi, dan percintaan. Gaya bahasanya pun kuat, deskriptif, dan akhirnya menemui karakter tokoh yang tak terduga.

2.2 Resensi Novel “Norwegian Wood” Karya Haruki Murakami 2.2.1 Tema

Menurut pandangan Hartoko dan Rahmanto (dalam Nurgiyantoro, 1995:68), tema merupakan gagasan dasar umum yang menopang sebuah karya sastra dan yang terkandung di dalam teks sebagai struktur semantis dan yang menyangkut persamaan- persamaan atau perbedaan-perbedaan.

Menurut Fananie (2000:84), tema adalah ide, gagasan, pandangan hidup pengarang yang telah melatarbelakangi ciptaan karya sastra. Karena sastra merupakan refleksi kehidupan masyarakat, maka tema yang diungkapkan dalam karya sastra bisa sangat beragam. Tema bisa berupa moral, etika, agama, sosial, budaya, teknologi, tradisi yang terkait erat dengan masalah kehidupan. Namun, tema bisa merupakan pandangan pengarang, ide atau keinginan pengarang dalam menyiasati persoalan yang muncul.

Berdasarkan kedua definisi dari tema di atas, penulis menyimpulkan bahwa tema yang diungkapkan dalam novel Norwegian Wood karya Haruki Murakami tersebut adalah tentang seorang lelaki yang mengalami kisah cinta yang kelam dan rumit di masa mudanya, serta perjuangannya dalam menghadapi dan melalui rintangan/permasalahan, dan suka duka yang mewarnai kehidupan asmara dan pertemanannya.

(27)

2.2.2 Plot/Alur

Kenny (1966:14), mengemukakan plot sebagai peristiwa-peristiwa yang di tampilkan dalam cerita yang tidak bersifat sederhana, karena pengarang menyusun peristiwa-peristiwa itu berdasarkan kaitan sebab akibat. Plot menurut Foster (1970:93) adalah peristiwa-peristiwa cerita yang mempunyai penekanan pada adanya hubungan kausalitas.

Nurgiyantoro (2005:201-210) membagi tahap pemplotan secara teoritaskronologis menjadi tahap plot: awal-tengah-akhir, tahap plot: rincian lain.

Tahap plot: awal-tengah-akhir. Tahap awal atau tahap perkenalan, pada umunya berisi sejumlah informasi penting yang berkaitan dengan berbagai hal yang akan di kisahkan pada tahap-tahap berikut. Misalkan, penunjukan dan pengenalan latar, seperti nama-nama, tempat, suasana, alam, waktu kejadian, dan lain-lain yang garis besarnya berupa deskrifi setting. Fungsi pokok tahap awal (pembukaan) sebuah cerita adalah untuk memberikan informasidan penjelasan seperlunya khususnya yang berkaitan dengan peralatan dan penokohon.

Tahap tengah atau tahap pertingkaian menampilkan pertentangan atau konflik, bagian tengah cerita merupakan bagian terpanjang dan terpenting dari sebuah cerita fiksi. Pada bagian ini cerita di sajikan: tokoh-tokoh memainkan peran, peristiwaperistiwa fungsional dikisahkan, konflik berkembang semakin meruncing, menegakan dan mencapai klimaks, dan pada umumnya tema pokok, makna pokok ceruta di ungkapkan.

Tahap akhir atau tahap pelaraian, menampilkan adegan tertentu sebagai akibat klimaks. Bagian ini berisi bagaimana kesudahan cerita.

(28)

Tahap plot: rincian lain. Tahap plot rincian lain terdiri dari beberapa tahap, yaitu tahap situasion, tahap penyisuation, berisi pelukisan dan pengenalan situasi latar atau tokoh-tokoh cerita. Plot dengan istilah lainnya disebut dengan alur.

Alur dapat dikatagorikan ke dalam beberapa jenis yang berbeda berdasarkan sudut- sudut tinjauan atau kriteria yang berbeda pula. Pembedaan alur didasarkan pada urutan waktu, jumlah, dan kepadatan (Nurgiyantoro, 2013:212).

1. Pembedaan Alur Berdasarkan Kriteria Urutan Waktu

Urutan waktu yang dimaksud adalah waktu terjadinya pristiwa-pristiwa yang ada dalam karya fiksi. Urutan waktu dalam hal ini berkaitan dengan logika cerita.

Pembedaan alur berdasarkan kriteria urutan waktu yang pertama disebut sebagai alur lurus, alur sorot balik dan alur campuran (Nurgiyantoro, 2013:213).

a. Alur Lurus (Progresif)

Dikatakan progresif jika pristiwa-pristiwa yang dikisahkan bersifat kronologis atau secara runtut cerita dimulai dari tahap awal, tahap tengah, dan tahap akhir. Maka alur lurus dapat disebut sebagai alur maju. Alur lurus biasanya menunjukan kesederhanaan, tidak berbelit-belit dan mudah diikuti.

b. Alur Sorot-Balik (Flashback)

Alur ini juga disebut alur regresif yaitu urutan cerita bersifat kronologis.

Cerita tidak dimulai dari awal, melainkan mungkin dari tahap tengah atau akhir cerita baru kemudian tahap awal cerita.

c. Alur Campuran

Alur campuran adalah apabila sebuah cerita terdapat alur lurus dan alur sorot- balik digunakan secara bergantian.

(29)

2. Perbedaan Alur Berdasarkan Kriteria Jumlah

Sebuah Novel mungkin hanya menampilkan satu alur, tetapi mungkin mengandung lebih dari satu alur. Kemungkinan pertama adalah yang beralur tunggal, sedangkan yang kedua adalah beralur sub-alur (Nurgiyantoro, 2013:217).

a. Alur tunggal

Alur tunggal hanya mengembangkan sebuah cerita dengan menampilkan tokoh utama protagonis sebagai hero atau pahlawan. Cerita umumnya hanya berisi perjalanan hidup tokoh tersebut, lengkap dengan konflik yang dialaminya.

Cerita tersebut mirip dengan biografi seseorang atau memang berupa novel biografi.

b. Alur Sub-alur

Sesuai dengan namanya yaitu alur sub-alur, yaitu hanya bagian dari alur utama. Sub-alur berisi cerita “kedua” yang ditambahkan yang berfungsi memperjelas dan memperluas pandangan kita terhadap alur utama dan mendukung efek keseluruhan cerita, Abrams dalam Nurgiyantoro, (2013:218).

3. Pembedaan Alur Berdasarkan Kriteria Kepadatan

Kriteria kepadatan dimaksudkan sebagai padat atau tidaknya pengembangan dan perkembangan cerita pada sebuah teks fiksi. Peristiwa demi pristiwa yang dikisahkan mungkin berlangsung susul menyusul secara cepat, tetapi mungkin juga sebaliknya. Keadaan yang pertama dinamakan alur padat sedangkan yang kedua alur longgar (Nurgiyantoro, 2013:219).

a. Alur Padat

(30)

Karya sastra yang beralur biasanya menyajikan cerita secara cepat, peristiwa yang terjadi susul menyusul dengan cepat, hubungan antar pristiwa juga terjalin secara erat, pembaca seolah-olah selalu dipaksa untuk terus menerus mengikutinya. Namun yang perlu diingat adalah kadar kepadatan antar tiap bab, episode, atau bagian sebuah novel biasanya tidak sama. Jika kehilangan pada bagian yang padat, pembaca dapat merasa kehilangan.

b. Alur Longgar

Antara pristiwa penting yang satu dengan yang lain disisipkan oleh berbagai pristiwa tambahan yang dapat memperlambat ketegangan cerita. Bila kita membaca novel tidak secara keseluruhan, kita masih dapat memahami keseluruhan cerita dengan baik.

Berdasarkan penjelasan tentang plot/alur di atas, berdasarkan kriteria urutan waktu, novel Norwegian Wood karya Haruki Murakami memiliki plot/alur sorot balik (flashback). Ditunjukkan di awal cerita, tokoh utama (Watanabe) yang saat itu berusia 37 tahun yang teringat akan kehidupan asmara dan pertemanannya di masa lalunya saat ia duduk di bangku SMA dan di perkuliahan.

2.2.3 Latar (Setting)

Latar menurut Robert Staton merupakan lingkungan sebuah peristiwa yakni dunia tempat terjadinya sebuah peristiwa. Latar biasanya oleh pengarang di hadirkan dalam bentuk deskripsi. Latar juga memiliki fungsi secara langsung dalam mempengaruhi para tokoh dan memperkuat satu tema dalam cerita. Dalam banyak cerita fiksi, latar mampu membuat atau memunculkan nada emosional di sekeliling tokoh cerita. Latar dapat juga berarti ruang fisik. Hal ini dapat di contohkan dari latar belakang dari sebuah kafe di Paris, Gunung di California, ataupun sebuah jalan di

(31)

daerah Dublin. Latar juga dapat berwujud bagian dari waktu seperti hari, tahun, musim, ataupun hal yang berhubungan dengan masa lalu.

Abrams dalam Nurgiantoro, (1994: 216) mengatakan bahwa latar atau setting yang disebut juga sebagai landas, tumpu, yang menyaran pada pengertian tempat, hubungan waktu, dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan.

Unsur latar dibedakan ke dalam tiga unsur pokok yaitu tempat, waktu dan sosial.

1. Latar Tempat

Latar tempat merupakan lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Unsur tempat yang digunakan mungkin tempat-tempat dengan nama-nama tertentu, inisial tertentu, dan lokasi tertentu tanpa nama yang jelas.

Pada novel “Norwegian Wood”, mengambil tempat yakni Bandara Hamburg, Jerman, dan beberapa kota di Jepang yaitu : Tokyo, Kobe, Kyoto, Osaka dan beberapa kota lainnya di Jepang yang menjadi tempat berlangsungnya cerita. Sementara untuk latar tempat lainnya yaitu : asrama, rumah, Universitas Tokyo, restoran, apartemen, stasiun kereta api, rumah sakit, bar, bioskop, panti rehabilitasi, hutan dan beberapa tempat umum lainnya.

2. Latar Waktu

Latar waktu berhubungan dengan masalah “kapan” terjadinya peristiwa- peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Latar waktu bisa berupa detik, menit, jam, hari, minggu, tahun dan sebagainya. Tetapi ada juga pengarang yang tidak menentukan secara jelas tahun, tanggal atau hari terjadinya peristiwa, namun hanya menyebutkan saat Hari Raya, Natal, Tahun Baru, dan sebagainya

(32)

yang akhirnya akan mengacu kepada waktu seperti tanggal dan bulan bergantung latar tempat dalam cerita.

Novel “Norwegian Wood” memiliki latar waktu pada tahun 1960-1980 an. Untuk latar musim, terjadi pada musim gugur, musim semi dan musim panas di Jepang.

3. Latar Sosial

Latar sosial menunjuk pada hal-hal yang berhubungan dengan prilaku kehidupan sosial masyarakat disuatu tempat yang diceritakan dalam karya fiksi.

Tata cara kehidupan sosial masyarakat mencakup berbagai masalah dalam lingkup yang cukup komplek. Hal itu dapat berupa kebiasaan hidup, cara berpikir, dan sikap.

Cerita di dalam novel “Norwegian Wood” dilatarbelakangi pada tahun 1960-1980 an di mana pada zaman itu Jepang memasuki zaman transisi moderenisasi dan banyak menerima pengaruh dari westernisasi. Digambar pada novel tersebut bahwa pada saat itu Jepang, khususnya Tokyo sebagai pusat kota yang dipenuhi dengan hiruk piruk dunia malam serta kaum kawula muda yang dengan bebas melakukan hubungan seksual dimana saja. Hal tersebut jugalah yang menggambarkan latar belakang kehidupan sosial tokoh utama (Watanabe) dan para tokoh lainnya. Di mana pada era tersebut masyarakat cenderung memiliki jiwa individualisme yang cukup tinggi dan juga bersifat liberal.

2.2.4 Tokoh dan Penokohan 1. Tokoh

Menurut Abrams dalam Nurgiyantoro (1995:165), tokoh cerita adalah orang-orang yang ditampilkan dalam suatu karya naratif yang ditafsirkan memiliki memiliki kualitas moral dan kecenderungan tertentu seperti yang

(33)

diekspresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam tindakan. Tokoh cerita menempati posisi strategis sebagai pembawa dan penyampaian pesan, amanat, moral, atau sesuatu yang sengaja ingin disampaikan kepada pembaca.

2.

Penokohan

Menururt Nurgiyantoro (2012:165), penokohan dan karakterisasi- karakterisasi sering juga disamakan artinya dengan karakter dan perwatakan menunjuk penempatan tokoh-tokoh tertentu dengan watak-watak tertentu dalam sebuah cerita. Penokohan memiliki pengertian yang lebih luas dibandingkan dengan tokoh, sebab ia sekaligus mencakup masalah siapa tokoh cerita, bagaimana perwatakan, dan bagaimana penempatan dan pelukisannya dalam sebuah cerita sehingga sanggup memberikan gambaran yang jelas bagi pembaca.

Berikut adalah tokoh dan penokohan dalam novel “Norwegian Wood” :

a. Toru Watanabe, lelaki yang merupakan tokoh utama dalam novel tersebut.

Watanabe merupakan seorang yang mandiri, penyuka literature barat, peduli terhadap orang lain, mudah terpengaruh oleh teman dekatnya dan memiliki kepribadian yang sulit dalam menentukan pilihan untuk masa depannya.

b. Kizuki, merupakan sahabat Watanabe yang sering bermain biliyar di malam hari bersama. Kizuki bunuh diri tanpa diketahui alasan yang jelas yang menyisakan tanda tanya bagi Watanabe dan kekasihnya (Naoko).

c. Naoko, gadis cantik yang merupakan kekasih Kizuki sekaligus juga teman dekat Watanabe. Gadis yang sangat depresi setelah ditinggal pergi oleh kekasihnya (Kizuki) serta masa lalunya yang kelam yang membuat ia akhirnya menyerahkan hidupnya dengan cara bunuh diri.

(34)

d. Kopasgat, merupakan nama alias dari teman sekamar Watanabe selama di asrama.

Kopasgat merupakan pribadi yang rajin, lugu, gagap, dan sering menjadi bahan lelucon oleh Watanabe.

e. Nagasawa, teman dekat Watanabe selama di perkuliahan. Ia adalah lelaki yang tampan, kaya, pintar, namun sering menyalurkan hasrat menyimpangnya yaitu berhubungan seksual dengan wanita lain. Mempunyai kekasih bernama Hatsumi.

f. Hatsumi, kekasih Nagasawa. Gadis yang baik hati, bersahabat dan cukup sabar dengan tingkah kekasihnya (Nagasawa).

g. Reiko Ishida, wanita yang dulunya pasien di tempat rehabilitasi di mana Naoko sempat dirawat. Reiko adalah sosok yang baik hati, setia dalam menjalin pertemanannya dengan Naoko. Reiko selalu senang dalam menghibur Naoko dengan menyanyikan lagu favorit gadis tersebut sambil memainkan alat musik dengan mahirnya. Ia selalu ada saat Naoko membutuhkannya. Mereka berdua sangatlah dekat selama berada di panti rehabilitasi.

h. Midori, gadis tomboy yang menyukai Watanabe saat di perkuliahan. Ia gadis yang sangat energetic, suka berbicara dan periang.

2.2.5 Sudut Pandang

Sudut pandang merupakan cara suatu kisah diceritakan atau pandangan yang dipergunakan pengarang sebagai sarana untuk menyajikan tokoh, tindakan, latar, dan peristiwa yang membentuk cerita dalam karya kepada pembaca (Abrams, 1981:142).

Menurut Friedman (dalam Stevick, 1967:118) mengemukakan sejumlah pertanyaan yang dapat digunakan untuk membedakan macam-macam sudut pandang.

1. Siapa yang berbicara kepada pembaca?

2. Dari posisi mana cerita tersebut dikisahkan?

(35)

3. Saluran informasi apakah yang digunakan narator untuk menyampaikan ceritanya?

Misalnya, melalui kata-kata, pikiran, dan persepsi pengarang, atau kata-kata, pikiran, dan persepsi tokoh.

4. Sejauh mana narator menempatkan pembaca dari ceritanya?

Pada umumnya, sudut pandang dibedakan menjadi dua macam, yaitu persona pertama

“aku” dan persona ketiga “dia”.

a. Sudut Pandang Persona Pertama: “Aku”

Narator atau si “aku” merupakan seseorang yang ikut terlibat dalam cerita.

Narator mengisahkan tindakan, peristiwa, dan sikapnya terhadap tokoh lain. Narator mengisahkan setiap kejadian yang dilihat, diketahui, dialami, didengar, dan dirasakannya kepada pembaca. Narator secara langsung dan dengan bebas dapat menyatakan sikap, pikiran, dan perasaannya sendiri kepada pembaca, tetapi ia hanya dapat memberikan pandangan dari pihaknya sendiri terhadap tokoh-tokoh lain.

Narator hanya bersifat mahatau bagi diri sendiri dan tidak terhadap orang-orang (tokoh) lain yang terlibat dalam cerita. Oleh sebab itu, pembaca hanya dapat melihat dan merasakan melalui apa yang diceritakan oleh si “Aku”

b. Sudut Pandang Persona Ketiga: “Dia”

Posisi pengarang pada cerita dengan sudut pandang persona ketiga “dia”

berada di luar cerita. Tokoh dalam cerita ditampilkan menggunakan nama atau dengan kata ganti “dia”, khususnya untuk tokoh utama. Kata ganti seperti “dia” atau “ia”

digunakan sebagai variasi dari nama tokoh. Penyebutan nama atau ganti yang berulang dapat membantu pembaca mengetahui tokoh yang sedang diceritakan.

Berdasarkan penjelasan mengenai sudut pandang di atas, dalam novel

“Norwegian Wood”, si pengarang (Haruki Murakami) menggunakan sudut pandang

(36)

persona pertama : “Aku” di mana ia berperan sebagai tokoh utama (Toru Watanabe) yang mengisahkan tindakan, peristiwa, dan sikapnya terhadap tokoh yang lain.

2.2.6 Amanat

Menurut Rusiana (1982:74), amanat adalah sebuah ajaran moral atau pesan yang mau disampaikan oleh pengarang kepada pembaca. Jalan keluar permasalahan atau akhir permasalahan yang ada dalam cerita dapat disebut sebagai amanat. Amanat merupakan renungan yang disajikan kembali oleh pembaca. Menurut Kosasih (2006), amanat adalah pesan yang disampaikan oleh pengarang kepada pembaca lewat tulisan-tulisannya, supaya pembaca dapat menarik sebuah kesimpulan dari apa yang sudah pembaca nikmati.

Pengarang (Haruki Murakami) melalui novel “Norwegian Wood” ingin menyampaikan pesan kepada pembaca bahwa dalam kehidupan percintaan dan pertemanan, seyogyanya manusia itu harus menanggung resiko dan memikirkan konsekuensinya, serta apa saja yang harus dimiliki manusia itu agar kehidupan asmaranya dapat berjalan dengan baik.

2.3 Studi Moralitas dan Studi Semiotik 2.3.1. Studi Moralitas

1. Konsep Nilai Moral

Menurut Salam (2000:2), moral mempunyai pengertian yang sama dengan kesusilaan, memuat ajaran tentang baik buruknya perbuatan. Jadi, perbuatan itu dinilai sebagai perbuatan yang baik atau perbuatan yang buruk. Salam (2000:13) juga mengungkapkan bahwa moral langsung mempunyai hubungan dengan perbuatan manusia sehari-hari, mempunyai hubungan langsung bagaimana manusia harus berbuat dalam kehidupannya sehari-hari.

(37)

Istilah “bermoral” mempunyai pertimbangan baik dan buruk yang bersifat relatif. Pandangan seseorang tentang moral, nilai-nilai, dan kecenderungan- kecenderungan, biasanya dipengaruhi oleh pandangan hidup, way of life, bangsanya (Nurgiyantoro, 2012:321).

Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa dalam sebuah karya sastra seperti novel, si pengarang menciptakan tokoh dengan watak protagonis dan watak antagonis yang masing-masing memiliki perilaku baik dan buruk. Saat tokoh dalam novel tersebut memiliki atau mencerminkan perilaku yag baik (terpuji) maka dari situlah pengarang mengharapkan agar dapat mencontoh prilaku yang baik tersebut. Adapun tokoh yang memiliki prilaku kurang terpuji (buruk) maka si pengarang menginginkan agar pembacanya menghindari prilaku tersebut.

2. Penilaian Baik dan Buruk ( Obyektif dan Subyektif )

Menurut Poedjawiyatna (1982 : 35-36) Penilaian baik-buruk mengenai tindakan seseorang memang kerapkali dilakukan oleh orang lain, misalnya hakim, pendidik dan tetangga. Dalam hal ini yang dimaksud dengan penilaian obyektif.

terutama dalam ilmu atau etika, ialah jika penilaian itu dengan mempertimbangkan seluruh situasi dari yang bertindak: kondisi pisik, psikologis, pendidikan dan sebagainya, pendeknya yang mempengaruhi adanya tindakan itu.

Pada umumnya istilah obyektif berarti, jika ada penilaian terhadap tindakan orang lain: tindakan lepas dari subyek yang melakukan tindakan itu, sehingga lepas pula dari situasinya, dan tindakan itu diukur dengan ukuran baik-buruk di luar subyek itu pula: misalnya mencuri (mengambil yang hukan haknya) itu buruk, itu penilaian obyektif, sebab tidak menghiraukan siapa yang mencuri dan dalam situasi manakah pengambilan itu dilakukan. Dalam hal ini lalu pandangan orangnya sendiri dengan kata-hatinya: disebut pandangan subyektif. Dalam hal tersebut di atas, ada

(38)

kemungkinan bahwa menurut pandangan objektif tindakan seseorang buruk, tetapi secara subyektif orang yang bertindak itu tidak berbuat buruk.

Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa penilaian prilaku seseorang itu baik atau buruk dapat dinilain secara subyektif dan obyektif.

3. Hubungan Baik dan Buruk

Kalau sesuatu (tindakan etis) tidak baik, maka buruklah itu. Derajat keburukan tidak perlu sama, mungkin hanya agak buruk, ada yang buruk benar, ada pula yang terlalu buruk: tetapi semuanya itu buruk karena tidak baik. Ternyata buruk itu suatu pengertian yang negatif pula. Bukan adanya tìndakan yang dinilai buruk, melainkan karena tiadanya baik yang seharusnya ada. Jadi bukan tindakannya semata- mata yang memburukkannya. Sebagai contoh tindakan mengambil. Tindåkan mengambil itu ada (dilakukan), maka baiklah tindakan itu, jika yang diambil itu menjadi haknya; buruk, jika yang diambil itu bukan haknya. Pandangan dan pertimbangan yang memburukkan tindakan itupun negatif pula: bukan haknya. (Poedjawiyatna, 1982 : 37-38).

Berdasarkan penjelasan di atas, dapat dikatakan bahwa baik dan buruk itu sangat berhubungan tergantung pada siapa yang melakukannya, apa yang dilakukannya serta orang yang menilainya.

4. Tindakan Netral

Menurut Poedjawiyatna (1982 : 41-42), dalam pembicaraan sehari-hari memang banyak sekali tindakan yang tidak dinilai secara etis, sehingga tidak dikatakan baik-buruknya. Tak ada orang dengan terang menilai, bahwa berjalan-jalan itu baik atau buruk; begitu pula makan atau minum. Akan tetapi soalnya disini: kalau

(39)

dinilai secara etis, bagaimanakah halnya? Sebab tindakan itu diadakan dengan sengaja, jadi dapat dinilai secara etis. Jika benar ada tindakan dengan sengaja, tentulah dapat dinilai baik-buruknya.

Bahwa tidak selalu mudah mengadakan penilaian ini karena sukar juga menentukan kesengajaan orang lain dalam tindakannya, itu diakui sepenuhnya: tetapi tindakan dengan sengaja dapat dinilai, tindakan sengaja tak ada yang netral, walaupun demikian, ada pula benarnya jika orang mengatakan, bahwa ada tindakan yang dari sendirinya baik, jika obyeknya baik. Misalnya sembahyang itu baik, karena tindakan itu tertujukan kepada Tuhan. Itu hanya pandangan obyektif, jadi lepas dari subyek yang melakukan serta dengan segala situasinya. Tetapi jiką ditinjau dengan kesengajaan orang yang bersembahyang itu, maka segera pula ada pertanyaan, apa benar ia bersembahyang untuk menghormat Tuhan. Jika sekiranya ia berbuat demikian itu melulu untuk menarik perhatian atau supaya dipuji orang, maka sekaligus perbuatan itu bukanlah baik, melainkan buruk, ia munafik.

Berdasarkan penjelasan di atas mengenai tindakan netral, dapat dikatakan bahwa dalam kehidupan sehari-hari dapat ditemukan tindakan netral. Dimana tindakan tersebut tidak dapat diniai baik ataupun buruk. Dari contoh yang dipaparkan di atas, dapat disimpulkan bahwa sesuatu perbuatan itu terpuji atau tercela, tergantung pada orang yang melaksanakan atau melakukannya.

5. Ukuran Baik

Menurut Poedjawiyatna (1982 : 43), ternyata bahwa tanya-jawab itu biasanya berhubung rapat dengan pandangan filsafat tentang manusia (antropologia metafisika) dan ini tergantung pula dari metafisika pada umumnya.)

(40)

Beberapa ikhtisar pendapat tentang ukuran baik menurut Poedjawiyatna (1982 : 43-49) :

a. Hedonisme

Aliran ini amat tua, sebetulnya terdapat dimana- mana sebagai aliran filsafat yang terumuskan terutama terkenal di tanah Yunani. Disebut demikian aliran ini, karena yang dianggap ukuran tindakan baik ialah hedone: kenikmatan dan kepuasan rasa. Memang harus diakui, bahwa banyak tindakan manusia terdorong oleh cenderung untuk mencapai kepuasan. Bahkan ada ahli psikologi yang berpendapat, bahwa semua tindakan itu berdasarkan atas cenderung yang tak tersadari, ialah cenderung untuk mencapai kepunsan semata, yang disebutnya libido seksualis (S. Freud), atau.cenderung.untuk mencapai kepuasan dalam memiliki kekuasaan (Adler). Walaupun teori ini sekarang tidak diterima oleh psikologi lagi, akan tetapi tetaplah benar, bahwa cenderung mencari kepuasan itu masih merupakan suatu (bukan satu-satunya) faktor yang mendorong manusia untuk bertindak.

Bagi penganut hedonisme rasa puas dan bahagia disamakan. Adapun bahagia itu menenangkan manusia dan mau apa lagi manusia, jika ia sudah tenang hidupnya? Tetapi betulkah tiap kepuasan rasa selalu mengakibatkan ketenangan?

Maka timbul kemungkinan harus dibeda-bedakan macam dan sifat kepuasan itu.

Ada kepuasan yang merupakan kebahagiaan dan menenangkan, tetapi ada juga kepuasan rasa belaka yang kemudian menimbulkan kehausan dan kegelisahan.

b. Utilitarisme

Yang baik ialah yang berguna, demikianlah ukuran baik bagi penganut aliran yang disebut utilitarisme itų (utilis = berguna). Kalau ukuran ini berlaku bagi per orangan, disebut individual, dan jika berlaku bagi masyarakat (negara) disebut

(41)

sosial. Dalam praktek inipun dimana-mana. Dalam abad kita sekarang ini dengan tekniknya yang serbaguna banyak yang mendengungkan, bahwa memang kegunaanlah yang menentukan segala-galanya: apakah nilai dan guna sesuatu yang tak berguna? Pun dalam politik pedoman 'guna' ini tidak asing, tanpa malu- malu dikatakan: apa saja, fitnah, khianat, bohong, kekerasan dan paksaan (baik), asal berguna untuk mencapai tujuan. Kesulitannya terutama yang mengenai perorangan yang berguna bagi yang bertindak, itu belum tentu berguna bagi orang lain, jadi tidak umumlah ukuran ini. Lagi pula apa yang berguna itu hanya guna (untuk) mencapai tujuan.

c. Vitalisme

Istilah ini sebetulnya tidak terlalu baik, sebab agak membingungkan. Oleh karena disana-sini terpakai juga, dipergunakan, untuk menunjuk aliran, yang mengatakan, bahwa yang baik ialah yang mencerminkan kekuatan dalam hidup manusia Kekuatan dan kekuasaan yang menaklukkan orang lain yang lemah, itu ukuran baik: manusia yang kuasa itulah manusia baik!

d. Sosialisme

Oleh karena masyarakat itu terdiri dari manusia, maka ada yang berpendapat, bahwa masyarakat yang menentukan baik-buruknya tindakan manusia yang menjadi anggotanya. Lebih jelas lagi: apa yang lazim dianggap baik oleh masyarakat tertentu, itu baiklah! Inilah yang disebut ukuran sosialistis dalam Etika. Harus diakui, bahwa aliran ini banyak mengandung kebenaran, hanya secara ilmiah kurang memuaskan, karena tidak umum. Kerap kali suatu adat- kebiasaan dalam suatu masyarakat dianggap baik, sedangkan dalam masyarakat lain dianggap tidak baik. Ingat saja kita perbedaan adat-istiadat dari bangsa timur dan barat, bahkan antara suku-suku ditanah air.

(42)

e. Religiosisme

Aliran yang terkenal dan menurutnya yang paling baik dalam praktek, ialah aliran yang berpendapat, bahwa baiklah yang sesuai dengan kehendak Tuhan, sedangkan buruklah yang tidak sesuai dengan kehendak Tuhan itu. Maka tugas teologialah yang menentukan, manakah yang menjadi kehendak Tuhan itu.

Keberatan terhadap aliran ini ialah ketidak-umum- an dari ukuran itu. Kita tahu bahwa ada terdapat bermacam-macam agama. Agama itu mengutarakan pedoman hidup yang menurut agama masing-masing merupakan kehendak Tuhan.

Pedoman itu tidak sama, malahan disana-sini nampak bertentangan: misalnya tentang poligami, talak dan rujuk, aturan makan dan minum, hubungan suami-istri dan sebagainya.

f. Humanisme

Menurut aliran itu, yang baik ialah yang sesuai dengan kodrat manusia, yaitu kemanusiaannya. Dalam tindakan kongkrit tentulah manusia kongkrit pula yang ikut menjadi ukuran, sehingga pikiran, rasa, situasi seluruhnya akan ikut menentukan baik-buruknya tindakan kongkrit itu. Penentuan dari baik-buruk tindakan yang kongkrit lalah kata hati orang yang bertindak..

Yang diutarakan oleh humanisme dan tiap aliran ialah ukuran abstrak, ukuran obyektif, terlepas dari subyek yang melakukan tindakan itu. Maka dapat dirumuskan: tindakan yang baik ialah tindakan yang sesuai dengan derajat manusia, jadi tidak mengurangi atau menentang kemanusiaan.

Berdasarkan penjelasan, bahwa menurut Poedjawiyatna terdapat enam (6) ikhtisar pendapat tentang ukuran baik seseorang dari berbagai macam aliran serta dapat disimpulkan bahwa tindakan yang baik ialah tindakan yang sesuai dengan derajat manusia, jadi tidak mengurangi atau menentang kemanusiaan.

(43)

6.

Jenis-jenis dan Wujud Moral

Nilai moral merupakan sesuatu yang tinggi nilainya yang berupa ukuran untuk mengatur tingkah laku dan perbuatan manusia yang dianggap baik dan buruk dalam masyarakat. Ia dapat mencakup seluruh persoalan hidup dan kehidupan, seluruh persoalan yang menyangkut harkat dan martabat manusia. Secara garis besar persoalan hidup dan kehidupan manusia itu dapat di bedakan ke dalam persoalan hubungan manusia dengan diri sendiri, hubungan manusia dengan manusia lain dalam lingkup sosial termasuk hubungannya dengan lingkungan alam, dan hubungan manusia dengan Tuhan (Nurgiantoro, 2010: 323).

a. Hubungan manusia dengan diri sendiri

Persoalan manusia dengan dirinya sendiri dapat bermacam-macam jenis dan tingkat intensitasnya. Ia dapat berhubungan dengan masalah-masalah seperti eksistensi diri, harga diri, rasa percaya diri, takut, maut, rindu, dendam, kesepian, terombang-ambing antara beberapa pilihan, dal lain-lain yang bersifat melibat ke dalam diri dan kejiwaan seorang individu.

b. Hubungan manusia dengan manusia lain dalam lingkup sosial termasuk hubungannya dengan lingkungan alam

Hubungan ini berkaitan dengan hubungan antar sesama, hubungan sosial dan masalah-masalah yang berupa hubungan antar manusia. Antara lain berwujud persahabatan yang kokoh ataupun yang rapuh, kesetiaan, pengkhianatan, kekeluargaan, hubungan antar suami-istri, orang tua-anak, cinta kasih terhadap suami/istri, anak, orang tua, sesama, maupun tanah air, hubungan buruh-majikan, atasan-bawahan, dan lain-lain yang melibatkan interaksi manusia.

(44)

c.

Hubungan manusia dengan Tuhannya

Hubungan manusia dengan Tuhan erat kaitannya dengan hubungan persoalan manusia dengan dirinya sendiri. Hubungan manusia dengan Tuhannya berwujud religius dan didalamnya bersifat keagamaan.

Berdasarkan penjelasan tentang nilai moral menurut Nurgiyantoro di atas, dapat disimpulkan bahwa karya sastra sangat erat kaitannya dengan nilai-nilai moral.

Pengarang melalui karyanya senantiasa menyampaikan nilai moral yang terkandung di dalam karya mereka agar dapat dijadikan cerminan atau pelajaran bagi para pembaca/penikmat karya sastra tersebut. Termasuk pada novel Norwegian Wood karya Haruki Murakami yang penulis teliti melalui analisis moralitas. Serta, penulis dalam melakukan penelitian terhadap novel “Norwegian Wood” ini, hanya akan menguak nilai moral yang berkaitan dengan hubungan manusia dengan sesama manusia lainnya yang berhubungan dengan kehidupan percintaan dan pertemanan di antaranya yaitu : persahabatan yang kokoh, kesetiaan, penghianatan, dan cinta kasih terhadap sesama yang akan dijelaskan menggunakan pendekatan semiotika pada bab III

Menurut Djojosuroto dan Pangkerego (2000: 76), pendekatan moral bertolak dari asumsi dasar bahwa salah satu tujuan kehadiran sastra di tengah-tengah masyarakat pembaca adalah berupaya untuk meningkatkan harkat dan martabat manusia sebagai makhluk berbudaya, berpikir, dan berketuhanan. Pendekatan moral yaitu suatu pendekatan yang didasarkan pada kritik moral yang menuntut fungsi didaktis dalam karya sastra. Pendekatan yang bertolak dari dasar pemikiran bahwa karya sastra dapat menjadi media yang paling efektif untuk membina moral dan kepribadian suatu kelompok masyarakat. Moral diartikan sebagai suatu norma, etika, konsep tentang kehidupan yang dijunjung tinggi oleh sebagian besar masyarakat.

(45)

Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa moral sangat erat kaitannya dengan sastra. Sastra tidak hanya menyuguhkan nilai estetika dan imajinasi bagi pembaca, tetapi melalui karya sastra tersebut, pembaca juga dapat terbimbing dari segi moral untuk dapat menjadi manusia yang lebih bermartabat dan terarah.

Untuk itu, penulis dalam penelitian ini telah membaca secara berulang novel

“Norwegian Wood” dan menunjukkan nilai moral melalui prilaku para tokoh cerita melalui pendekatan moral.

7. Sikap-sikap Kepribadian Moral Yang Kuat

Menurut Franz Magnis-Suseno (1985 : 141-148) Kekuatan moral adalah kekuatan kepribadian seseorang yang mantap dalam kesanggupannya untuk bertindak sesuai dengan apa yang diyakininya sebagai benar. Menurut Franz Magnis-Suseno, lima jenis kepribadian moral yang kuat, diantaranya :

a. Kejujuran

Dasar setiap usaha untuk menjadi orang kuat secara moral adalah kejujuran.

Tanpa kejujuran kita sebagai manusia tidak dapat maju selangkah pun karena kita belum berani menjadi diri kita sendiri. Tidak jujur berarti tidak seia-sekata dan itu berarti bahwa kita belum sanggup untuk mengambil sikap yang lurus.

Tanpa kejujuran, keutamaan-keutamaan moral lainnya kehilangan nilai mereka. Bersikap baik terhadap orang lain, tetapi tanpa kejujuran, adalah kemunafikan dan sering beracun. Begitu pula sikap-sikap terpuji seperti sepi-ing- pamrih dan ramé-ing-gawé menjadi sarana kelicikan dan penipuan apabila tidak berakar dalam kejujuran yang bening. Hal yang sama berlaku bagi sikap tenggang rasa dan mawas diri: tanpa kejujuran dua sikap itu tidak lebih dari sikap berhati- hati dengan tujuan untuk tidak ketahuan maksud yang sebenarnya.

(46)

b. Kesediaan untuk bertanggung jawab

Kejujuran sebagai kualitas dasar kepribadian moral menjadi operasional dalam kesediaan untuk bertanggung jawab. Itu, pertama, berarti kesediaan untuk melakukan apa yang harus dilakukan, dengan sebaik mungkin. Bertanggung jawab berarti suatu sikap terhadap tugas yang membebani kita. Kita merasa terikat untuk menyelesaikannya, demi tugas itu sendiri.

c. Kemandirian moral

Kemandirian moral berarti bahwa kita tak pernah ikut-ikutan saja dengan pelbagai pandangan moral dalam lingkungan kita, melainkan selalu membentuk penilaian dan pendirian sendiri dan bertindak sesuai dengannya. Kemandirian moral adalah kekuatan batin untuk mengambil sikap moral sendiri dan untuk bertindak sesuai dengannya. Mandiri secara moral berarti bahwa kita tidak dapat

"dibeli" oleh mayoritas, bahwa kita tidak pernah akan rukun hanya demi kebersamaan kalau kerukunan itu melanggar keadilan.

d. Keberanian Moral

Keberanian moral menunjukkan diri dalam tekad untuk tetap mempertahankan sikap yang telah diyakini sebagai kewajiban pun pula apabila tidak disetujui atau secara aktif dilawan oleh lingkungan. Orang yang memiliki keutamaan itu tidak mundur dari tugas dan tanggung jawab juga kalau ia mengisolasikan diri, dibikin merasa malu, dicela, ditentang atau diancam oleh yang banyak, oleh orang-orang yang kuat dan mempunyai kedudukan dan juga oleh mereka yang penilaiannya kita segani.

Referensi

Dokumen terkait

Pemberian punishment bagi pegawai di kantor Kelurahan Marga Mulya Bekasi Timur adalah sesuatu yang tidak diharapkan, hal tersebut sebagai bentuk penghukuman atau

Berdasarkan hasil analisis diketahui ada hubungan negative yang sangat signifikan antara kestabilan emosi dengan kecemasan berbicara di depan umum dengan koefisien korelasi (r)

Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 23 tahun 201I tentang Organisasi dan Tata kerja Universitas Negeri Yogyakartal.. Keputusan N,ltnteri

Pertama, Prinsip-prinsip kepemimpinan Yusuf dalam menghadapi perubahan adalah sebagai berikut, (1) Berpegang teguh pada visi yang berasal dari Allah yang ditunjang dengan

wa pemberian minyak goreng yang telah difortifi - kasi dengan vitamin A lebih efektif dalam mence- gah kejadian morbiditas (ISPA dan diare) baik pada ibu maupun anak

Untuk yang berasal dari Kabupaten Magelang, Kabupaten Purworejo dan Kabupaten Kebumen akan lebih baik apabila dijadikan dalam satu lokasi mengingat karateristik

Model pengembangan kompetensi guru abad 21 adalah sebuah model yang membimbing guru untuk meningkatkan kompetensi profesional sehingga mampu menghadapi generasi

Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) Direktorat Pembinaan Tenaga dan Lembaga Kebudayaan, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan