1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Manusia, sebagai mahluk sosial, tidak bisa hidup tanpa mengandalkan hubungan dengan manusia yang lain. Mengadakan hubungan dengan orang lain dilakukan, antara lain, dengan menutup perjanjian-perjanjian. Karena perjanjian merupakan janji dari dua pihak, ada kemungkinan bahwa janji-janji itu tidak terpenuhi. Karena itu, mestinya semua orang perlu untuk mempunyai persiapan paling tidak, tahu bagaimana kalau janji pihak lain tidak dipenuhi?1
Dalam perspektif ilmu hukum, tentunya kesehatan keuangan yang dialami oleh seorang pelaku usaha dapat mengakibatkan suatu akibat hukum yang terjadi dalam hubungan keperdataannya. Hubungan keperdataan tersebut dikategorikan sebagai perikatan. Menurut Subekti, suatu perikatan adalah suatu perhubungan hukum antara dua orang atau dua pihak, berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari pihak yang lain, dan pihak yang lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu.2 Hubungan antara perikatan yang terjadi dalam kegiatan bisnis dengan kesehatan keuangan seorang pelaku usaha dijabarkan secara sederhana oleh Sjahdeini sebagai berikut:
1 J. Satrio, Wanprestasi Menurut KUHPerdata, Doktrin, & Yurisprudensi, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2014, hlm. 1.
2 Subekti, Hukum Perjanjian (cet. 20), Intermasa, Jakarta, 2004, hlm. 1.
2
“Dalam kehidupan, baik orang perorangan (Natural Person) maupun suatu badan hukum (legal entity) adakalanya tidak memiliki uang yang cukup untuk membiayai keperluan atau kegiatannya. Untuk dapat mencukupi kekurangan uang tersebut, orang atau perusahaan antara lain dapat melakukannya dengan meminjam uang yang dibutuhkan itu dari pihak lain. … Dari sumber-sumber dana itulah kekurangan dana tersebut dapat diperoleh.”3
Debitur yang telah mengikatkan diri dengan kreditur dalam suatu perjanjian utang piutang, tentunya memiliki kewajiban hukum untuk mengembalikan uang yang dipinjamnya tersebut ditambah dengan bunga apabila telah diperjanjian sebelumnya. Dalam perspektif ilmu hukum, dapat kita pahami bahwa keadaan debitur yang tidak melaksanakan kewajibannya untuk mengembalikan pinjaman merupakan perbuatan wanprestasi (ingkar janji). Dalam menjalankan kegiatan bisnisnya, keuntungan dan risiko selalu berjalan beriringan dan tidak mungkin seorang pengusaha mendapatkan keuntungan tanpa adanya potensi risiko.4 Risiko dalam menjalankan usaha tidak terlepas dari adanya ketidakpastian (uncertainty) yang melahirkan baik kesempatan maupun ancaman5 sehingga dapat disimpulkan bahwa ketika pengusaha menjalankan usahanya, ia sedang berhadapan dengan sebuah kenyataan yang disebut sebagai ketidakpastian.
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (selanjutnya dibaca:
PKPU) merupakan suatu mekanisme hukum yang memberikan
3 Sutan Remy Sjahdeini, Hukum Kepailitan: Memahami Undang-undang No.37 tahun 2004 tentang Kepailitan, Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, 2009, hlm. 2.
4 Lysanne Currie (Ed), Business Risk: A Practical Guide for Board Members, Institute of Directors, London, 2012, hlm .7.
5 Kataryzna Chlapek, The Types of Business Risk Identified in Integrated Reporting, Cracow University of Economics, Faculty of Finance and Law, Department of Financial Accounting, 2018, hlm. 22.
3
kesempatan kepada debitur untuk menyelesaikan permasalahan utang piutang yang dialaminya dengan para krediturnya tanpa kehilangan aset harta kebendaannya yang diakibatkan dari sita umum yang diletakkan oleh pengadilan niaga. Sebagai sebuah sistem hukum, PKPU diatur di dalam Undang-undang No.37 tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (selanjutnya dibaca: UU-KPKPU). Secara hakikat, UU-KPKPU bertujuan untuk melindungi kepentingan kreditur dalam upaya mendapatkan pelunasan terhadap piutang-piutangnya secara adil, cepat, terbuka, dan efektif.6 Penulis dalam hal ini melihat permasalahan utang piutang yang menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kegiatan bisnis dan praktik utang piutang merupakan sebuah kenyataan sejarah dan merefleksikan pemenuhan kebutuhan manusia7 dan selain merupakan permasalahan ekonomi, utang piutang juga merefleksikan permasalahan tentang ‘who will end up bearing the cost of the spending of others’8.
Dengan tujuan penyelesaian utang debitur tersebut, UU-KPKPU diharapkan dapat memecahkan persoalan penyelesaian utang piutang yang kompleks. Selanjutnya selain untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan dalam rangka penyelesaian utang piutang tersebut perlu ada mekanisme penyelesaian sengketa yang adil, cepat, terbuka, dan efektif melalui suatu pengadilan khusus ini adalah untuk menangani, memeriksa, dan
6 Catur Irianto, Penerapan Asas Kelangsungan Usaha dalam Penyelesaian Perkara Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Jurnal Hukum dan Peradilan, Vol. 4, No. 3, November, 2015, hlm. 401
7 George Levy, Computational Finance Using C and C#: Derivatives and Valuation, Academic Press, Massachusetts, 2016, hlm. 275
8 Nathan Mladin & Barbara Ridpath, Forgive Us Our Debts – Lending and borrowing as if Relationship Matter, Theos, London, 2019, hlm. 20.
4
memutuskan berbagai sengketa tertentu termasuk dibidang kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang.9
Pailit merupakan suatu keadaan dimana debitor tidak mampu untuk melakukan pembayaran-pembayaran terhadap utang-utang dari para kreditornya. Keadaan tidak mampu membayar lazimnya disebabkan karena kesulitan kondisi keuangan (financial distress) dari usaha debitor yang telah mengalami kemunduran. Sedangkan kepailitan merupakan putusan pengadilan yang mengakibatkan sita umum atas seluruh kekayaan debitor pailit, baik yang telah ada maupun yang akan ada dikemudian hari.
Pengurusan dan pemberesan kepailitan dilakukan oleh Kurator dibawah pengawasan Hakim Pengawas dengan tujuan utama menggunakan hasil penjualan harta kekayaan tersebut untuk membayar seluruh utang debitor pailit tersebut secara proporsional (prorate parte) dan sesuai dengan struktur kreditor.10
UU-KPKPU dalam penjelasan umumnya mengemukakan bahwa Undang-Undang tersebut didasarkan pada beberapa asas. Asas-Asas tersebut antara lain (secara eksplisit disebutkan dengan kata-kata “antara lain”, yang berarti tidak terbatas pada asas-asas yang disebutkan itu saja) adalah:11
1) Asas Keseimbangan;
2) Asas Kelangsungan Usaha;
3) Asas Keadilan;
9 Gunawan Widjaja, Risiko Hukum & Bisnis Perusahaan Pailit, cet. 1, Forum Sahabat, Jakarta, 2009, hlm. 5.
10 M. Hadi Shubhan, Hukum Kepailitan (Prinsip, Norma, dan Praktik di Peradilan), Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2008, hlm. 1.
11 Sutan Remy Sjahdaeni. Op. Cit., hlm. 51.
5
4) Asas Integrasi;
Dikaji dari perspektif UU No. 37 Tahun 2004, Pada asasnya perdamaian dalam Kepailitan diatur dalam Bab II Bagian Keenam Pasal 144-177, sedangkan perdamaian berkenaan dengan pengajuan PKPU diatur dalam Bab III, Bagian Kedua Pasal 265-294 UU No. 37 Tahun 2004.12Pasal 144 UU-KPKPU menentukan, “Debitor Pailit berhak untuk menawarkan suatu perdamaian kepada semua kreditor”. Artinya, perdamaian tersebut dapat ditawarkan oleh debitor setelah debitor dinyatakan pailit oleh pengadilan niaga.13 Pasal 145 ayat (1) UU-KPKPU mengatur, bahwa “Rencana Perdamaian tersebut harus disediakan paling lambat 8 (delapan) hari sebelum rapat pencocokan piutang debitor di kepaniteraan pengadilan agar dapat dilihat dengan cuma-Cuma oleh setiap orang yang berkepentingan”.
Menurut Pasal 151 UU-KPKPU, Rencana Perdamaian diterima apabila disetujui dalam Rapat Kreditor oleh lebih dari ½ (Satu Perdua) jumlah Kreditor Konkuren yang hadir dalam rapat dan yang haknya diakui atau yang untuk sementara diakui, yang mewakili paling sedikir 2/3 (Dua Pertiga) dari Jumlah seluruh piutang konkuren yang diakui atau yang untuk sementara diakui dari Kreditor Konkuren atau kuasanya yang hadir dalam rapat tersebut. Akibat atau/ Konsekuensi dari Perdamaian yang disahkan adalah: Pertama, Perdamaian tersebut berlaku bagi semua Kreditor yang tidak mempunyai hak untuk didahulukan, dengan tidak ada pengecualian, baik yang telah mengajukan diri dalam kepailitan maupun
12 Lilik Mulyadi, Perkara Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) Teori dan Praktik, Alumni, Bandung, 2010, hlm. 237.
13 Sutan Remy Sjahdeini, Op Cit, hlm. 407.
6
tidak, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 162 UU-KPKPU. Kedua, sebagaimana diatur dalam Pasal 166 ayat (1) UU-KPKPU, Dalam Hal Pengesahan perdamaian telah memperoleh kekuatan hukum tetap, kepailitan berakhir.
Sedangkan Rencana Perdamaian dalam rangka PKPU dapat diajukan pada saat-saat berikut ini:
1) Bersamaan dengan diajukannya Permohonan PKPU (Pasal 224 ayat (4) UU-KPKPU);
2) Sesudah Permohonan PKPU diajukan (Pasal 266 UU-KPKPU), namun rencana itu harus diajukan sebelum tanggal hari sidang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 226 UU-KPKPU;
3) Setelah tanggal hari sidang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 226, dengan tetap memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 228 ayat (4) UUK-PKPU, yaitu selama berlangsungnya PKPU Sementara itu, yang tidak boleh melebihi 270 (Dua Ratus Tujuh Puluh) Hari terhitung sejak PKPU Sementara ditetapkan termasuk masa perpanjangannya.14 Sesuai dengan Pasal 281 ayat (1) huruf a dan b UU-KPKPU, tawaran perdamaian yang telah diserahkan debitur kepada kreditur untuk dipelajari dapat diterima apabila, dengan mengacu pada ayat (1) huruf a, terdapat persetujuan lebih dari ½ jumlah kreditur konkuren yang memiliki hak atas utang kepada kreditur dan hadir pada saat rapat kreditur berlangsung serta mewakili 2/3 dari jumlah tagihan yang telah diakui
14 Ibid, hlm. 376.
7
kreditur konkuren; dan, dengan mengacu pada huruf b, terdapat persetujuan dari ½ jumlah kreditur separatis yang memiliki hak atas utang kepada kreditur dan hadir pada saat rapat kreditur berlangsung serta mewakili 2/3 dari jumlah tagihan yang telah diakui kreditur separatis
PKPU Tetap berakhir pada saat putusan tentang pengesahan perdamaian itu memperoleh kekuatan hukum tetap. Segera setelah putusan tentang pengesahan perdamaian dalam rangka PKPU memperoleh kekuatan hukum tetap, perdamaian dalam rangka PKPU tersebut mengikat semua kreditor konkuren tanpa kecuali, baik kreditor yang telah menyetujui maupun yang tidak menyetujui rencana perdamaian itu.15
Dalam hal rencana perdamaian ditolak oleh kreditor konkuren atau apabila pengesahan perdamaian ditolak oleh pengadilan, maka dalam kedua hal tersebut akibatnya adalah sama, yaitu pengadilan niaga wajib menyatakan debitor pailit dan terhadap putusan kepailitan tersebut tidak dapat diajukan upaya hukum kasasi maupun upaya hukum peninjauan kembali.16
Namun meskipun perdamaian dapat menghindarkan debitur dari pelaksanaan likuidasi terhadap harta kekayaannya, UU-KPKPU memberikan hak kepada kreditur untuk membatalkan perdamaian yang telah disepakati sebagaimana diatur dalam Pasal 170 ayat (1) dan Pasal 291 ayat (1). Secara khusus Pasal 170 ayat (1) UU-KPKPU mengatur sebagai berikut: “Kreditur dapat menuntut pembatalan suatu perdamaian yang telah disahkan apabila debitur lalai memenuhi isi perdamaian
15 Ibid, hlm. 398
16 Ibid, hlm. 399
8
tersebut”. Sedangkan Pasal 291 ayat (1) berbunyi sebagai berikut:
“Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 170 dan Pasal 171 berlaku mutatis mutandis terhadap pembatalan perdamaian”.
Apabila kemudian dapat dibuktikan di muka persidangan bahwa kreditur memiliki alasan serta dapat membuktikan dalilnya bahwa perjanjian perdamaian dapat diakhiri, maka berdasarkan Pasal 291 ayat (2) UU-KPKPU mengatur bahwa: “Dalam putusan pengadilan yang membatalkan perdamaian, debitur juga harus dinyatakan pailit.”
Sehingga momen dimana majelis hakim pada pengadilan niaga telah menyatakan dalam amar putusannya bahwa perjanjian perdamaian yang telah disepakati batal beserta dengan segala akibat hukumnya, maka di saat itu juga majelis hakim pada pengadilan niaga menjatuhkan pailit kepada debitur beserta segala akibat hukumnya.
Dengan memperhatikan gagasan yang telah penulis jelaskan di atas, kini penulis akan menguraikan secara singkat objek penelitian penulis. Pada penelitian ini penulis akan menganalisa serta mengkaji 10 putusan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap, terkait dengan Permohonan Pembatalan Putusan Perdamaian yang telah disepakati debitur dan kreditur, dan telah disahkan oleh majelis hakim pengadilan niaga pada pengadilan negeri yang berwenang. Hal tersebut secara sederhana diuraikan dalam tabel sebagai berikut:
No. Putusan Pertimbangan Majelis
Hakim Amar Putusan
9
1
No.06/Pdt.Sus- Pembatalan Perdamaian/2020/
PN.Niaga Jkt.
Pusat
Majelis Hakim berkesimpulan, bahwa tidak terlaksanannya perjanjian tersebut bukan karena adanya itikad tidak baik dari Termohon, tetapi dikarenakan adanya keadaan kahar.
Menolak Permohonan Pembatalan Putusan Perdamaian
2
No.09/Pdt.Sus- Pembatalan Perdamaian/2016/
PN. Niaga Jkt.Pst
Majelis Hakim berkesimpulan, bahwa Termohon telah melakukan pembayaran kepada Pemohon I,...
hal tersebut menurut majelis hakim menunjukkan adanya itikat baik dari Termohon untuk menyelesaikan
kewajibannya
membayar kepada Krediturnya
Menolak Permohonan Pembatalan Putusan Perdamaian
3
No.11/Pdt.Sus- Pailit/2017/ PN.
Niaga Smg
Bahwa Debitur dalam melakukan Pembayaran adalah dengan menerbitkan Bilyet Giro, akan tetapi ketika dicairkan diblokir oleh Bank, karena Rekening Debitur telah ditutup.
Sehingga Majelis Hakim berkesimpulan, bahwa Debitur telah dalam keadaan tidak mampu membayar.
Mengabulkan Permohonan Pembatalan Putusan Perdamaian
10
4
No.12/Pdt.Sus- Pembatalan Perdamaian/2019/
PN. Niaga.Jkt.Pst
Majelis Hakim berkesimpulan, bahwa Debitur baru sebagian memenuhi
kewajibannya, dan pembayarannya tidak sesuai dengan jadwal dan jumlah yang telah disepakati, sehingga majelis berpendapat bahwa Debitur tidak ada itikat baiknya untuk melunasi hutangnya, dan tidak ada kemampuan untuk menyelesaikan hutang- hutangannya kepada Pemohon
Mengabulkan Permohonan Pembatalan Putusan Perdamaian
5
No.02/Pdt.Sus- Pembatalan Perdamaian/2014/
PN. Niaga.Jkt.Pst Jo. No.385K/Pdt.
Sus-Pailit/2017 Jo. No.61/PK/Pdt.
Sus-Pailit/ 2016.
Majelis Hakim berkesimpulan, bahwa Debitur telah terbukti lalai memenuhi kewajibannya
sebagaimana telah disepakati dalam perjanjian perdamaian.
Mengabulkan Permohonan Pembatalan Putusan Perdamaian
6
No. 4/Pdt.Sus.
Pembatalan Perdamaian/2019/
PN. Niaga Jkt Pst Jo. No.718 K/Pdt.
Sus-Pailit/2019
Majelis Hakim berkesimpulan, Bahwa bila terjadi pertentangan antara perjanjian perdamaian yang dilakukan di luar pengadilan setelah putusan berkekuatan hukum tetap, maka yang berlaku adalah putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, sehingga perubahan perjanjian
Mengabulkan Permohonan Pembatalan Putusan Perdamaian
11
perdamaian adalah tidak sah dan batal demi hukum. Penyelesaian harus dikembalikan
pada putusan
homologasi, Debitur wajib membayar hutangnya kepada Pemohon sesuai skema pembayaran yang diatur secara rinci dalam perjanjian perdamaian yang terdiri dari utang pokok dan bunga.
7
No.13/Pdt.Sus- Pembatalan Perdamaian/2019/
PN Niaga Jkt.Pst
Majelis Hakim berkesimpulan, bahwa Debitur dapat diberikan
waktu untuk
dilaksanakannya
Putusan Perdamaian, sehingga dipandang belum lalai dalam melaksanakan Putusan Perdamaian tersebut.
Menolak Permohonan Pembatalan Putusan Perdamaian
8
No.02/Pdt.Sus.
Pembatalan Perdamaian/2020/
PN Niaga Jkt. Pst Jo. No. 963 K/
Pdt.Sus-Pailit/
2020
Majelis Hakim berkesimpulan, bahwa Pemohon tidak dapat membuktikan Debitur telah melakukan Wanprestasi
Menolak Permohonan Pembatalan Putusan Perdamaian
9
No. 03/Pdt.Sus- Pembatalan Perdamaian/2020/
PN.Niaga.Jkt.Pst.
Majelis Hakim berkesimpulan, bahwa Debitur tidak memenuhi kewajiban Pembayaran terhadap Pemohon, sehingga Debitur telah lalai dalam melaksanakan isi Putusan Perdamaian.
Mengabulkan Permohonan Pembatalan Putusan Perdamaian
12
10
No.19/Pdt.Sus- Pembatalan Perdamaian/2020/
PN.Niaga.Jkt.Pst
Majelis Hakim berkesimpulan, bahwa Debitur telah lalai dalam melaksanakan isi Putusan Perdamaian, karena Termohon tidak melaksanakan
kewajiban pembayaran kepada Para Pemohon sesuai skema yang telah diperjanjikan dalam Perjanjian Perdamaian.
Mengabulkan Permohonan Pembatalan Putusan Perdamaian
Dengan mencermati beberapa putusan yang telah penulis uraikan secara sederhana di atas, bahwa dari 10 Putusan yang akan Penulis teliti Semua Permohonan Pembatalan Putusan Perdamaian berasal dari Perdamaian PKPU, dimana tidak semua Permohonan Pembatalan Putusan Perdamaian dikabulkan, setidaknya dalam 10 Putusan yang akan Penulis teliti, 4 Permohonan Pembatalan Putusan Perdamaian ditolak (40%), 6 Permohonan Pembatalan Putusan Perdamaian dikabulkan (60%). Yang lebih menarik Perhatian Penulis adalah terdapat 2 Putusan dimana Mahkamah Agung membatalkan Putusan Pengadilan pada Tingkat Pertama (Putusan No. 4/Pdt.Sus.Pembatalan Perdamaian/2019/PN. Niaga Jkt Pst Jo. No. 718 K/Pdt.Sus-Pailit/2019 dan Putusan No.
02/Pdt.Sus.Pembatalan Perdamaian/2020/PN Niaga Jkt. Pst Jo. No. 963 K/Pdt.Sus-Pailit/2020), dan 1 Putusan yang diajukan Upaya Hukum Peninjauan Kembali dan dikabulkan (No. 02/Pdt.Sus.Pembatalan Perdamaian/2014/PN.Niaga. Jkt.Pst Jo. No. 385 K/Pdt.Sus-Pailit/2014 Jo.
No. 61/PK/Pdt.Sus-Pailit/2016).
13
Dengan melihat hal-hal tersebut diatas, telah terungkap bahwa majelis hakim pengadilan niaga memiliki pertimbangan hukum serta kaidah hukum yang berbeda-beda dalam memperhatikan suatu Permohonan Pembatalan Putusan Perdamaian yang berasal dari PKPU.
Oleh sebab itu penulis tertarik untuk menganalisa, membahas, serta mengkaji pertimbangan hakim dalam putusan-putusan tersebut, untuk mengetahui bagaimana perbuatan Debitur yang dapat mengakibatkan pembatalan terhadap Putusan Perdamaian. Berdasarkan latar belakang tersebut penulis tertarik untuk melakukan penelitian serta mendiskusikannya dalam tesis yang berjudul: ASAS ITIKAD BAIK (Good Faith) DALAM PERKARA PERMOHONAN PEMBATALAN
PUTUSAN PERDAMAIAN YANG BERASAL DARI PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG (PKPU).
Berdasarkan penelusuran informasi yang dilakukan oleh penulis melalui repository Universitas Kristen Satya Wacana tentang “Asas Itikad Baik (Good Faith) Dalam Perkara Permohonan Pembatalan Putusan Perdamaian yang Berdasarkan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU)” tidak ditemukan topik bahasan yang sama dengan judul penelitian yang penulis kaji. Akan tetapi, penulis merujuk pada beberapa penulisan hukum/ hasil penelitian yang terkait dengan penulisan ini antara lain:
1. Jurnal Hukum Ivan Harsono dan Paramita Prananingtyas pada tahun 2019, yang berjudul Analisis Terhadap Perdamaian Dalam PKPU dan Pembatalan Perdamaian Pada Kasus Kepailitan PT NJONJA
14
MENEER Fakultas Hukum Magister Kenotariatan Universitas Diponegoro. Penulisan tersebut membahas mengenai analisis pertimbangan hukum Hakim yang membatalkan perjanjian perdamaian PT Njonja Meneer dan akibat hukum yang timbul bagi debitor maupun kreditor setelah adanya perdamaian dan pembatalan perdamaian.
Dalam penelitian tersebut memang ada kesamaan dengan penelitian penulis, yaitu tentang dasar pertimbangan hakim dalam Memutus Permohonan Putusan Perdamaian, namun permasalahan yang diteliti oleh Saudara Ivan Harsono dan Paramita Praningtyas hanya menekankan kepada Kesesuaian Pertimbangan Hakim dalam memutus Pembatalan Perjanjian Perdamaian PT. Njonja Meneer.
2. Jurnal Hukum Lucky Dafira Nugroho, pada tahun 2016, yang berjudul Itikad Baik Sebagai Tolak Ukur Perbuatan Debitor Dalam Kepailitan Fakultas Hukum Universitas Trunojoyo Madura.
Penulisan tersebut membahas mengenai prinsip itikad baik dalam konsep kejujuran dan kepatutan yang bersumber pada ajaran moral dimana penilaian itikad baik ini sangat diperlukan dalam proses pemeriksaan permohonan pailit, permohonan PKPU, permohonan perdamaian oleh debitor dan gugatan actio pauliana. Dalam Penelitian tersebut memang ada kesamaan dengan Penelitian Penulis yaitu mengenai Itikad Baik dalam UU-KPKPU, akan tetapi dalam Penelitian tersebut Penilaian Itikad Baik tersebut hanya terbatas pada Pemeriksaan Permohonan Pailit, PKPU, Pengajuan Perdamaian, dan Gugatan Actio Pauliana.
15
Dari beberapa hal tersebut diatas, dapat ditarik perbedaan antara penelitian-penelitian terdahulu dengan penelitian yang dilakukan oleh penulis. Penelitian yang dilakukan oleh Penulis adalah mengenai dasar hukum pertimbangan hakim dalam memutus perkara permohonan pembatalan putusan perdamaian yang berasal dari PKPU, kualifikasi perbuatan debitur yang dapat mengakibatkan pembatalan terhadap putusan perdamaian yang berasal dari PKPU, dan akibat hukum dari pembatalan putusan perdamaian yang berasal dari PKPU.
B. Rumusan Masalah
Bertitik tolak pada Latar Belakang yang dikemukakan diatas, Penulis membatasi masalah yang akan diangkat agar dalam pembahasan masalah yang dikaji tidak meluas dan tidak rancu.
Adapun Rumusan Permasalahannya adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana dasar hukum pertimbangan hakim dalam memutus perkara permohonan pembatalan putusan perdamaian yang berasal dari PKPU?
2. Bagaimana penafsiran itikad baik dalam permohonan pembatalan putusan perdamaian yang berasal dari PKPU?
3. Bagaimana akibat hukum dari pembatalan putusan perdamaian yang berasal dari PKPU?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan uraian pada latar belakang penelitian diatas, maka sebagai tujuan dilakukan penelitian ini adalah:
16
1. Untuk mengetahui dan menganalisis mengenai dasar hukum pertimbangan hakim dalam memutus perkara permohonan pembatalan putusan perdamaian yang berasal dari PKPU.
2. Untuk mengetahui sekaligus menganalisis penafsiran asas itikad baik dalam permohonan pembatalan putusan perdamaian yang berasal dari PKPU.
3. Untuk mengetahui sekaligus menganalisis akibat hukum dari pembatalan putusan perdamaian yang berasal dari PKPU.
D. Manfaat Penelitian
Berdasarkan permasalahan yang menjadi fokus kajian penelitian ini dan tujuan yang ingin dicapai maka penelitian ini dapat memberikan Manfaat baik secara teoritis maupun secara praktis yaitu:
1. Manfaat teoritis, hasil penelitian ini dapat memberikan manfaat dalam kajian pengembangan ilmu hukum, khususnya ilmu hukum perdata.
2. Manfaat praktis, hasil dari penelitian ini diharapkan dapat mengembangkan cara berpikir dan menjadi bahan sumbangan pemikiran bagi para praktisi hukum.
a) Bagi Masyarakat
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat, pencerahan, pengetahuan, acuan atau informasi kepada masyarakat tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) sehingga Masyarakat menjadi Paham akan Hukum.
17
b) Bagi Mahasiswa
Hasil dari penelitian ini diharapkan menjadi literatur atau sumber bacaan bagi mahasiswa untuk meningkatkan pengetahuan tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) serta dapat dijadikan sebagai acuan bagi mahasiswa dalam melaksanakan penelitian yang serupa dengan kajian-kajian berikutnya yang lebih mendalam.
E. Landasan Teori
Seperti yang telah kita ketahui bersama dalam pergaulan hidup kita masing-masing dalam masyarakat bahwa pihak yang jujur patut harus diperlindungi dan sebaliknya pihak yang tidak jujur (te kwader trouw) patut mendapatkan hukuman dari ketidakjujuran tersebut.17 Prodjodikoro menyebut itikad baik dengan istilah “kejujuran” dan membedakan dengan
“kepatutuan” selanjutnya menjelaskan bahwa kejujuran terdiri dari dua macam, yaitu:
1) Kejujuran pada waktu mulai berlakunya perhubungan hukum, Seperti kejujuran memegang barang sebagai salah satu syarat guna memperoleh milik barang yang dipegang itu secara lampau waktu (verjaring). Kejujuran ini berupa pengiraan dalam hati sanubari seseorang bahwa syarat-syarat dimulainya hubungan hukum telah terpenuhi.
2) Kejujuran pada waktu pelaksanaan hak-hak dan kewajiban- kewajiban dalam suatu hubungan hukum. Pasal 1338 ayat (3)
17 Wirjono Prodjodikoro, Azas-Azas dalam Hukum Perdata, hlm. 56.
18
BW mengatur kejujuran dalam pelaksanaan perjanjian terletak pada keadaan jiwa manusia yang titik berat terletak pada tindakan kedua belah pihak dalam melaksanakan janji. Hal kejujuran adalah hal yang selalu bersifat subjektif dan yang bersifat objektif yang berkaitan dengan kepatuhan.18
Tidak mudah memang untuk menemukan keterangan yang pasti dan definitif mengenai konsep itikat baik ini sendiri. Apadin sendiri mengungkapkan hal yang sama sebagai berikut, “The phrase good faith does not have a common definition. It is not wrong to say that there are good faith definitions as many as the number of jurists interested in this notion.”19 Menurut penulis, hal ini salah satunya disebabkan karena perbedaan pendekatan yang dilakukan oleh para sarjana hukum dan tidak hanya terkhususkan pada sistem hukum di Indonesia tapi secara luas juga mencakup pemahaman beberapa negara yang memiliki sistem hukum yang berbeda dengan Indonesia. Meskipun ternyata kita patut untuk memvalidasi pernyataan tersebut, pendekatan yang dilakukan oleh Bruno Zeller patutnya menjadi perhatian kita bersama dimana ia berpendapat sebagai berikut: “Arguably a definition of good faith is not needed in order to understand and apply such a concept … an initial understanding of good faith is derived from a study of what judges, jurist, and legislators
18 Barnabas Dumas Manery, Makna dan Fungsi Itikad Baik dalam Kontrak Kerja Konstruksi, hlm.
140.
19 Eylem Apadin, Eylem Apaydin, The Principle of Good Faith in Contracts, https://www.researchgate.net/publication/330564045_THE_PRINCIPLE_OF_GOOD_FAITH_IN_C ONTRACTS, diakses pada tanggal 2 Juni 2021, hlm. 5
19
have referred to as big examples of good faith.”20 Patutlah kemudian kita berangkat pada satu pemahaman yang sama bahwa, “… the law of contracts must ensure that contractual agreements generally conform to the requirement of good faith.”21
Berangkat dari hal tersebut, Mason menerangkan bahwa ada tiga hal pokok yang terkandung di dalam itikad baik: 1) an obligation to the parties to cooperate in achieving the contractual objects (kewajiban para pihak untuk bekerja sama dalam meraih objek perjanjian; 2) compliance with honest standard of conduct (mematuhi secara jujur hal-hal secara umum patut untuk dilakukan; 3) compliance with the standard of conduct which are reasonable having regard to the interest of the parties (mematuhi hal-hal patut yang wajar dengan memperhatikan kepentingan dari para pihak).22 Dengan demikian, kelakuan yang wajar, jujur, dan memperhatikan kepentingan para pihak adalah salah satu unsur, yang menurut penulis, merupakan hal yang sangat penting mengingat bahwa kelakuan atau perbuatan salah satu pihak yang tidak menghormati apa yang telah disepakati dapat mengakibatkan kerugian bagi salah satu pihak yang terikat dalam perjanjian. Salah satu pihak tidak diperkenankan untuk merugikan kepentingan pihak lain yang terikat dalam perjanjian. Bahkan jika kerugian tidak dapat terhindari lagi, pihak yang mengakibatkan hal
20 Bruno Zeller, Good Faith – is it a Contractual Obligation?, Bond Law Review, Volume 15, Issue 2, hlm. 219
21 Ejan Mackaay & Violette Leblanc, The Law and Economics of Good Faith in the Civil Law Contract, Paper for the Conference of the European Association of Law and Economics, September 2003, hlm. 4
22 A F Mason, Contract, Good Faith And Equitable Standards In Fair Dealing, Law Quarterly Review, 2000, Vol. 116, hlm. 69
20
tersebut harus berupaya agar hal tersebut tidak merugikan kepentingan dari pihak lain yang sudah terikat dalam perjanjian.
Itikad baik merupakan kunci dari segala perbuatan hukum keperdataan yang dilakukan oleh subjek hukum. Penghormatan terhadap perjanjian yang telah disepakati tidak hanya berfokus pada pelaksanaan perjanjian saja tetapi juga meletakkan hakikat kejujuran dan kepatutan serta niat untuk menghormati kepentingan dari masing-masing pihak.
Penghormatan terhadap kepentingan para pihak, menurut penulis, adalah kewajiban yang harus dibebankan kepada para pihak yang hendak mengikatkan dirinya masing-masing. Hal ini berarti para pihak memiliki kewajiban untuk memberikan keterangan atau informasi yang sebenar- benarnya terhadap pihak lain yang bertujuan agar setiap tindakan debitur didasarkan pada informasi kreditur semata-mata sebagai bentuk penghormatan kepada kepentingan kreditur.
Ruang lingkup Itikad Baik yang diatur dalam Kitab Undang- Undang Hukum Perdata di beberapa Negara seperti di Indonesia masih diletakkan pada pelaksanaan kontrak saja. Hal itu terlihat dari bunyi Pasal 1338 ayat (3) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia yang menyatakan bahwa perjanjian harus dilaksanakan dengan Itikad Baik (zij moeten te goeder trouw worden ten uitvoer gebracgt). Padahal sesungguhnya Itikad Baik juga diperlukan di dalam Proses negosiasi dan penyusunan pembuatan kontrak. Dengan demikian, Itikad Baik tersebut
21
sebenarnya sudah harus ada sejak saat proses negosiasi dan penyusunan kontrak hingga pelaksanaan kontrak.23
Oleh karena itu, menerapkan itikad baik ke dalam suatu perjanjian tidak hanya semata-mata bertujuan agar perjanjian tersebut terlaksana, tetapi juga bertujuan untuk melindungi kepentingan para pihak yang hendak saling mengikatkan dirinya satu sama lain. Para pihak harus terikat dengan rasa saling percaya yang timbul dari karena kehendak tersebut.
Tidak hanya dalam kata-kata yang termuat dalam klausula perjanjian semata, melainkan juga pada tindakan-tindakan yang akan, sedang, atau telah dilakukan dilakukan oleh para pihak sepanjang kontrak tersebut masih berlaku. Hal ini dapat memberikan ganjaran atau sanksi kepada para pihak yang tidak mematuhi serta menghormati perjanjian tersebut agar bertanggung jawab dengan mengganti seluruh kerugian yang timbul atau keuntungan yang hilang karena perbuatannya.24
Memandang permasalahan ini Ridwan Khairandy berpendapat bahwa salah satu permasalahan dalam kajian itikad baik adalah keabstrakan maknanya, sehingga dalam penarapannya masih memerlukan penafsiran Hakim.25 Bahkan menurut J. Satrio, ketentuan Pengaturan Itikad Baik tersebut adalah ketentuan yang ditujukan kepada pengadilan.
Dikatakan demikian karena sengketa mengenai Itikad Baik dalam Praktiknya hampir selalu dimintakan penyelesaiannya kepada
23 Ridwan Khariandy, Kewenangan Hakim untuk Melakukan Intervensi Terhadap Kewajiban Kontraktual Berdasarkan Asas Itikad Baik, Jurnal Hukum No. 15 Vol. 7, Desember 2000, hlm. 102
24 Ibid, hlm. 8
25 Ibid, hlm. 94.
22
Pengadilan.26 Hakim melalui Interpretasinya memiliki peran penting untuk mengurangi kelemahan dan kekurangan itu. Hakim memiliki kewenangan judges as laws maker. Dengan kewenangan tersebut menjadikan hakim sebagai orang yang dapat menjadikan Undang-Undang yang dimaksud tetap aktual dan efektif.27 Dengan demikian, putusan pengadilan menjadi hukum yang sesungguhnya berlaku (Law in Action) dalam peristiwa konkreto yang berhubungan dengan kasus tertentu (Particular Case).28
Dalam Hukum Kepailitan penilaian itikad baik tersebut dapat dijadikan tolak ukur Hakim Pengadilan Niaga untuk menentukan status hukum dari Debitor Termohon Pailit apakah layak untuk dipailitkan atau diberi kelonggaran untuk melanjutkan usahanya, maupun sebagai pedoman dalam menilai perbuatan Debitor dalam Proses Pemeriksaan pada Permohonan Pembatalan Putusan Perdamaian.29
F. Metode Penelitian 1. Pendekatan Masalah
Pendekatan masalah dalam penelitian ini bersifat yuridis normatif. Pendekatan yuridis adalah suatu pendekatan yang mengacu pada hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku berkaitan dengan isu hukum yang akan diteliti, sedangkan pendekatan
26 J. Satrio, Hukum Perikatan, Perikatan yang Lahir dari Perjanjian, Buku II, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1995, hlm. 166.
27 Arthur Lewis, Introduction to Business Law, Wirral: Tudor Business Publishing Ltd, 1998, hlm.
185
28 Z. Asikin Kusumah Atmadja, Beberapa Yurisprudensi Perdata yang Penting serta Hubungan Ketentuan Hukum Acara Perdata, Mahkamah Agung Republik Indonesia, Jakarta, 1992, hlm. 341.
29 Lucky Dafira Nugroho, Itikad Baik Sebagai Tolak Ukur Perbuatan Debitor Dalam Kepailitan, Jurnal Era Hukum No. 2, November 2016, hlm. 288
23
normatif adalah penelitian terhadap data sekunder bidang hukum.
Pendekatan ini dilakukan dengan melakukan telaah pada kasus yang berkaitan dengan isu hukum yang dihadapi. Kasus yang ditelaah merupakan putusan pengadilan dan telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Hal pokok yang dikaji pada setiap putusan adalah pertimbangan hakim untuk sampai pada suatu keputusan sehingga dapat digunakan sebagai argumentasi dalam memecahkan isu hukum yang dihadapi.
2. Sumber Bahan Hukum
Dalam penelitian ini bahan hukum yang digunakan antara lain bahan hukum primer yang merupakan bahan hukum yang bersifat autoritatif, artinya mempunyai otoritas. Bahan-bahan hukum primer terdiri dari peraturan perundang-undangan, catatan resmi atau risalah dalam pembuatan perundang-undangan, dan putusan-putusan hakim.30 Putusan Pengadilan inilah sebenarnya yang merupakan Law in Action31. Dalam penelitian ini yang menjadi Bahan Hukum Primer adalah berupa:
1) Putusan No.06/ Pdt. Sus-Pembatalan Perdamaian/ 2020 / PN. Niaga.
Jkt. Pst;
2) Putusan No. 09/ Pdt.Sus-Pembatalan Perdamaian/ 2016 / PN. Niaga.
Jkt. Pst;
3) Putusan No. 11/Pdt.Sus-Pailit/2017/PN.Niaga.Smg;
30 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Terbitan Kencana, Jakarta, hlm. 181.
31 Ibid, hlm. 182.
24
4) Putusan No. 12/ Pdt.Sus-Pembatalan Perdamaian/ 2019 / PN. Niaga.
Jkt. Pst;
5) Putusan No.02/ Pdt.Sus-Pembatalan Perdamaian/ 2014 / PN. Niaga.
Jkt.Pst Jo. No. 385 K/ Pdt.Sus-Pailit/ 2017 Jo. No. 61/ PK/ Pdt.Sus- Pailit/2019;
6) Putusan No. 4/ Pdt.Sus-Pembatalan Perdamaian/ 2019 / PN. Niaga.
Jkt. Pst Jo. No.718 K/ Pdt.Sus-Pailit 2019;
7) Putusan No. 13/ Pdt.Sus-Pembatalan Perdamaian/ 2019 / PN. Niaga Jkt.Pst;
8) Putusan No. 02/ Pdt.Sus-Pembatalan Perdamaian/ 2020 / PN. Niaga Jkt. Pst Jo. No.963 K/Pdt.Sus-Pailit/2020;
9) Putusan No.03/ Pdt.Sus-Pembatalan Perdamaian/ 2020 / PN. Niaga.
Jkt.Pst;
10) Putusan No. 19/ Pdt.Sus-Pembatalan Perdamaian/ 2020 / PN. Niaga.
Jkt.Pst.
3. Pengolahan dan Analisis Bahan Hukum.
Pengolahan bahan-bahan hukum dalam bentuk pengamatan terhadap putusan-putusan Pengadilan Niaga dan Mahkamah Agung tentang Perkara Permohonan Pembatalan Putusan Perdamaian dilakukan dengan cara melakukan pengambilan sample dari beberapa putusan-putusan tersebut, yang kemudian bahan-bahan dilakukan pengolahan, dan penganalisaan secara kualitatif serta selanjutnya diterapkan dengan kenyataan-kenyataan sosial yang sedang terjadi.
Analisis kualitatif ini tidak hanya mendasarkan penelitian pada
25
pengumpulan data dari kepustakaan, tetapi juga berdasarkan pada kenyataan yang berlaku, yang kesemuanya disajikan dan dianalisis dalam bentuk esai dengan kalimat yang agak panjang guna membahas permasalahan yang diangkat dalam rumusan masalah.