• Tidak ada hasil yang ditemukan

STRATEGI TUTUR MASYARAKAT MINANGKABAU DALAM MELAKUKAN PENOLAKAN.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "STRATEGI TUTUR MASYARAKAT MINANGKABAU DALAM MELAKUKAN PENOLAKAN."

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

STRATEGI TUTUR MASYARAKAT MINANGKABAU DALAM MELAKUKAN PENOLAKAN12

1. Pendahuluan

Sebagai makhluk sosial, manusia tidak terlepas dan terisolasi dari manusia lainnya. Dalam setiap gerak kehidupan, pada hakikatnya manusia membutuhkan manusia lain. Contoh yang sederhana adalah berbicara. Untuk berbicara, manusia membutuhkan pasangan bicara atau mitra. Oleh karena itu, tidaklah dapat dipungkiri bahwa seorang manusia tergantung pada manusia lain dan manusia lain itu juga terikat dengan yang lainnya. Saling ketergantungan ini membentuk rantai panjang yang tercipta menjadi suatu paguyuban. Salah satunya dapat dilihat dalam paguyuban masyarakat Minangkabau.

Sebagai salah satu suku terbesar keempat di Indonesia, masyarakat Minangkabau menggunakan bahasa Minangkabau sebagai alat komunikasi antarmasyarakat penuturnya. Penutur Bahasa Minangkabau ini pada umumnya tinggal di sebuah wilayah yang secara administratif disebut Propinsi Sumatera Barat, kawasan belahan barat Sumatera bagian tengah. Selain di Sumatera Barat, penutur Bahasa Minangkabau ini juga tersebar di kota-kota besar hampir di seluruh Indonesia, bahkan sampai ke Negeri Sembilan, Malaysia.

Masyarakat Minangkabau terkenal dengan falsafah hidup alam takambang jadi guru ‘alam terkembang jadi guru’. Artinya, dalam tatanan kehidupan sehari-hari, masyarakat Minangkabau senantiasa belajar dari alam. Misalnya, ketika bertutur, seorang Minangkabau akan berbahasa dengan sangat hati-hati agar ucapannya tidak menyinggung perasaan orang lain. Hal ini sesuai dengan ungkapan lamak dek awak, katuju dek orang ‘enak oleh kita, disukai oleh orang lain’. Ungkapan ini sesuai dengan falsafah hidup adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah ‘adat bersendi syariat agama, syariat agama bersendi kitab Allah, yaitu Alqur’an. Artinya, segala sesuatu disesuaikan dengan syariat Islam, sebagai agama yang dianut oleh masyarakat Minangkabau.

Salah satu implementasi bertutur yang sangat diperhatikan oleh penutur Bahasa Minangkabau adalah tatkala melakukan penolakan. Tuturan penolakan ini berkaitan erat

1 Disajikan dalam Kompetisi Dosen Berprestasi Tingkat Unand 14 Mei 2010

(2)

dengan hilangnya muka mitra tutur (mungkin juga penutur). Kehilangan muka artinya mitra tutur dapat menjadi malu atau tersinggung akibat ujaran yang dilontarkan. Fenomena ini akan bermuara kepada keharmonisan sebuah hubungan. Oleh karena itu, masyarakat Minangkabau sangat memperhatikan strategi-strategi bertutur, khususnya penolakan, agar hubungan dengan mitra tutur senantiasa harmonis. Strategi itu tergambar dari pilihan linguistik yang digunakan. Strategi ini juga dihubungkan dengan aturan bertutur masyarakat Minangkabau yang dosebut dengan kato nan ampek ‘Kata Yang Empat’ (Revita, 2008).

Errington (1984) mengatakan bahwa orang Minangkabau cenderung berbicara tidak terus terang. Dengan kata lain, masyarakat Minangkabau berpotensi memakai ujaran-ujaran yang mengandung makna implisit dalam mengungkapkan sesuatu. Apa yang dikemukakan Errington tersebut dapat diamati pada contoh (1).

(1) Lamak samba di urang nan ka mamakan,

Enak sambal di orang yang akan memakan,

rancak pakaian di urang nan ka mamakai.

bagus pakaian di orang yang akan memakai.

‘Enaknya lauk tergantung kepada kepada orang yang memakan, bagusnya pakaian tergantung kepada orang yang memakai.’

Secara literal, tuturan (1) bermakna informatif bahwa rasa enak lauk dan bagusnya suatu pakaian tergantung kepada orang yang memakan dan memakainya. Namun, jika dihubungkan dengan konteks, bila yang bertutur itu adalah seorang bapak yang memiliki anak gadis dan ditujukan kepada seorang bapak (usianya lebih tua) yang memiliki anak laki-laki, tuturan (1) bukan saja bermakna informatif, tetapi juga dapat dianggap sebagai penolakan. Penolakan yang dimaksud adalah ketidakbersediaan penutur menerima lamaran mitra tutur untuk menjadikan anak gadis penutur sebagai menantu karena semua keputusan tergantung kepada anak gadisnya, sebagai orang yang akan menjalani kehidupan rumah tangga. Perasaan suka atau tidak suka tergantung kepada yang mempunyai rasa itu. Hal inilah yang dianalogikan dengan lamak samba dan rancak pakaian di urang na ka mamakai.

Selain secara tidak langsung, dengan ibarat, sebuah penolakan juga dapat disampaikan secara langsung, seperti yang tergambar pada ujaran (2) di bawah ini.

(2) Anak den ndak suko ka anak ang do.

(3)

Ujaran (2) memiliki tingkat keterancaman muka yang sangat tinggi. Ujaran (2) memiliki potensi untuk menimbulkan konflik. Bila terjadi dalam konteks kato mandaki atau malereang, penutur dapatakan dicap sebagai orang tidak tahu dengan nan ampek karena tidak mampu menerapkan salah satu konsep dalam kato nan ampek, yaitu bagaimana bertutur kepada orang yang lebih tua (kato mandaki) atau kepada orang yang disegani (kato malereang).

Fenomena yang tergambar dalam data (1) lebih mudah dipahami bila peserta tutur juga mengerti dengan ereang jo gendeang dan kato nan sampai. Hal ini berkaitan dengan nilai-nilai sosial dan budaya masyarakat Minangkabau yang dapat menuntun penggunanya untuk memahami makna sebuah tuturan. Fenomena ini tercermin dalam ungkapan berbahasa Minangkabau ‘Alun takilek lah takalam’ dan ‘Manggarik ikan dalam aia lah tantu jantan jo batino, yang berarti bahwa seorang penutur harus bersikap arif dan bijaksana dalam menangkap maksud penutur karena dalam suatu tuturan bisa tersirat maksud yang berbeda atau bahkan bertolak belakang dengan bentuk tuturan.

Bagi masyarakat nonMinangkabau, strategi berbahasa seperti ini kadang-kadang sulit untuk dipahami. Namun demikian, sebagaimana yang dikatakan Finochiaro (1974) bahasa adalah suatu sistem lambang bunyi yang bersifat arbitrer yang memungkinkan semua orang dari kebudayaan tertentu atau orang dari luar budaya itu yang telah mempelajari sistem budaya tersebut, untuk berinteraksi. Kutipan ini menjelaskan bahwa Bahasa Minangkabau dapat dipelajari dan dianalisis sehingga penutur nonMinangkabau dapat menggunakan bahasa ini dengan baik untuk berkomunikasi.

Berdasarkan gambaran di atas, terlihat bahwa Bahasa Minangkabau sangat menarik untuk dikaji. Hal ini akan lebih menarik lagi bila dihubungkan dengan aspek-aspek non-linguistik seperti sosial dan budaya yang dapat mempengaruhi makna dan maksud dari sebuah tuturan. Oleh karena itu, ada tiga hal yang akan diperikan dalam karya ini, yakni (1) Apa strategi tutur masyarakat Minangkabau dalam melakukan penolakan?, (2) Kenapa strategi tertentu menjadi pilihan dibandingkan strategi lainnya?, (3) Apa nilai-nilai yang terkandung dalam banyaknya strategi masyarakat Minangkabau dalam melakukan penolakan ini?

(4)

Penelitian itu ibarat garis lurus yang disusun oleh banyak titik. Demikian pula karya ini merupakan lanjutan dari beberapa karya penulis terdahulu. Terkait dengan permasalahan yang dijabarkan, karya ini bertujuan untuk:

(1) melihat strategi bertutur masyarakat Minangkabau dalam melakukan penolakan.

(2) menjabarkan beberapa aspek yang mempengaruhi dasar pemilihan digunakannya strategi tertentu dibandingkan strategi lainnya.

(3) memerikan nilai budaya yang terefleksi dari strategi tutur masyarakat Minangkabau dalam melakukan penolakan.

3. Landasan Teori/Kajian Pustaka

Penolakan terjadi ketika seseorang secara langsung atau tidak langsung mengatakan tidak atas suatu permintaan. Kartomihardjo (1993) disaat melihat cara masyarakat Jawa Timur melakukan penolakan dalam interaksi lisan dan faktor-faktor yang mempengaruhi pemilihan bentuk tersebut mengemukakan bahwa masyarakat Jawa Timur pada umumnya merasa enggan untuk menolak dengan terus terang, tetapi lebih memilih bentuk penolakan yang terselubung. Secara keseluruhan dikatakan terdapat tujuh macam bentuk bahasa penolakan yang ditemukan, yaitu (1) penolakan dengan menggunakan kata tidak atau padanannya, nggak, jangan, dan ndak, (2) penolakan dengan menggunakan alasan, (3) penolakan dengan menggunakan syarat atau kondisi, (4) penolakan dengan menggunakan usul, komentar, atau pilihan, (5) penolakan dengan menggunakan ucapan terimakasih, (6) penolakan dengan menggunakan komentar, dan (7) penolakan dengan menggunakan isyarat non verbal. Pemilihan bentuk-bentuk di atas dipengaruhi oleh faktor-faktor di antaranya jenis kelamin, daerah asal responden, emosi, umur, status sosial, dan keakraban.

Selain itu, budaya juga berperan besar dalam menentukan pilihan strategi penolakan. Hal ini senada dengan pernyataan Nadar (2000) dan Revita (2006) yang mengemukakan bahwa betapa budaya dan bahasa yang digunakan seseorang berpengaruh dalam pilihan dan tata cara pengungkapan penolakan.

(5)

dari satu dan dua macam tindak tutur, berbeda dengan penutur bahasa Indonesia yaang lebih memilih kombinasi tiga atau empat macam tindak tutur; (2) penutur bahasa Indonesia dan bahasa Inggris, dalam hal penggunaan strategi kesopanan, sama-sama (a) memberikan alasan, (b) memberikan penawaran, (c) meminta maaf, dan (d) membuat apresiasi untuk melakukan penolakan dan alasan merupakan strategi yang paling dominan; (3) kenginan untuk menjaga keharmonisan, sebagai negara dengan masyarakat yang bersifat kolektif, membuat penutur bahasa Indoensia sangat hati-hati dalam melakukan penolakan karena kelompok masyarakat seperti ini lebih mendahulukan kepentingan kelompok atas kepentingan pribadi, berbeda dengan penutur bahasa Inggris yang tergabung dalam kelompok masyarakat individualis.

Beebe et al (1990) mengklasifikasikan strategi penolakan menjadi dua, (1) langsung, yaitu dengan menggunakan verba performatif (I refuse ‘Saya menolak’) dan pernyataan non peformatif ( no ‘tidak’, negative willingness I can’t’ Saya tidak bisa’/I won’t ‘Saya tidak akan’/I don’t think so’Saya kira tidak begitu’ dan (2) tidak langsung, diantaranya dengan cara pernyataan penyesalan, permintaan maaf, atau memberi alternatif.

Kedua strategi ini hendaklah dipergunakan secara tepat karena penolakan merupakan ancaman terhadap muka mitra tutur yang harapannya berlawanan dengan kenyataan. Oleh karena itu, dibutuhkan kemampuan pragmatik yang cukup tangguh agar mitra tutur tidak menjadi malu dan tersinggung. Verhaar (1996) menyebutnya dengan retorika, yaitu penggunaan bahasa secara efektif untuk tujuan tertentu. Dengan kata lain bahwa dalam melakukan penolakan seorang penutur akan memilih bentuk-bentuk tuturan tertentu agar penolaknnya tidak melukai persaan orang lain (Verhaar, 2001).

Leech (1983:15) membagi retorika atas dua, yaitu retorika tekstual dan retorika interpersonal. Retorika tekstual menutut peserta tutur untuk bertutur secara jelas, runtut, dan relevan, sebagaimana yang tertuang dalam prinsip kerjasama Grice (1975). Retorika interpersonal menuntut peserta tutur untuk memperlakukan orang lain secara sopan, yaitu mematuhi prinsip-prinsip kesopanan.

(6)

being polite (mostly). Misalnya, penolakan dilakukan secara implisit, tidak dengan cara langsung.

Pemilihan bentuk yang implisit dan tidak langsung ini disebabkan oleh beberapa faktor, seperti (1) jarak sosial antara penutur dan mitra tutur, (2) besarnya perbedaan kekuasaan dan dominasi di antara keduanya, dan (3) status relatif jenis tindak tutur di dalam kebudayaan yang bersangkutan, artinya ujaran dalam suatu kebudayaan dianggap tidak terlalu mengancam muka (lihat juga Leech, 1983, Yule, 1985dalam Cahyono, 1995, Poedjosoedarmo, 2001).

Faktor-faktor tersebut di atas dikenal dengan istilah konteks (context). Konteks adalah segala latar belakang pengetahuan yang dimiliki bersama oleh penutur dan mitra tutur serta yang menyertai dan mewadahi sebuah pertuturan. Misalnya, ketika seorang bapak menolak diajak bermain oleh anaknya dan mengatakan, ‘Bapak lagi berlajar, Sayang’ dipahami sebagai sebuah penolakan oleh si anak. Namun, istrinya memahami secara berbeda, yaitu perintah untuk mengajak si anak menjauh dari suami. Pemahaman yang berbeda akan suatu ujaran yang sama, seperti contoh di atas, disebabkan oleh konteks sosial yaitu status sosial, hak dan kewajiban, serta pengalaman yang dialami peserta tutur.

Pemahaman yang berbeda akan suatu ujaran yang sama, seperti contoh di atas, disebabkan oleh konteks sosial yaitu status sosial, hak dan kewajiban, serta pengalaman yang dialami peserta tutur. Fenomena yang serupa dikemukakan oleh Nadar (2006) melihat bagaimana realisasi kesopanan berbahasa pada penolakan dalam bahasa Indonesia dan Inggris melalui kombinasi yang dipilih.

(7)

seperti ini lebih mendahulukan kepentingan kelompok atas kepentingan pribadi, berbeda dengan penutur bahasa Inggris yang tergabung dalam kelompok masyarakat individualis.

Menurut Leech (1983), konteks situasi tutur mencakup aspek-aspek, seperti (1) Penutur dan mitra tutur yang mencakup aspek-aspek yang berkaitan dengan peserta tutur ini, seperti usia, latar belakang sosial ekonomi, jenis kelamin, tingkat keakraban, dan lain-lain; (2) Konteks tuturan yaitu konteks dalam semua aspek fisik (koteks) dan seting sosial yang relevan dari tuturan bersangkutan (konteks) (lihat juga Yule, 1985 dalam Cahyono, 1995, Poedjosoedarmo, 2001); (3) Tujuan tuturan yakni bentuk-bentuk tuturan yang diutarakan penutur dilatarbelakangi oleh maksud dan tujuan tertentu; (4) Tuturan sebagai bentuk tindakan atau aktivitas, artinya sebuah tuturan berhubungan dengan tindak verbal yang terjadi dalam situasi tertentu; (5) Tuturan sebagai produk tindak verbal, berarti bahwa tuturan yang dihasilkan merupakan bentuk dari tindak verbal.

Berdasarkan konteks ini, penolakan dapat diwujudkan dengan berbagai macam strategi, seperti langsung menggunakan negasi ‘tidak’, menggunakan alasan,permintaan maaf, atau isyarat. Masing-masing wujud ini memiliki derajat kelangsungan penolakan yang berbeda. Derajat kelangsungan tindak tutur diukur berdasarkan jarak tempuh yang diambil oleh sebuah ujaran, yaitu titik ilokusi (di pikiran penutur) ke titik tujuan ilokusi (di pikiran pendengar). Jarak paling pendek adalah garis lurus yang menghubungkan kedua titik tersebut, dan ini dimungkinkan dengan penolakan yang dilakukan dengan menggunakan kata tidakdan padanannya. Makin melengkung garis pragmatik itu, makin tidak langsunglah ujaran itu (Gunarwan, 1994).

Dalam berkomunikasi, setiap penutur berharap agar apa yang diujarkan dapat dipahami oleh mitra tuturnya. Untuk itu, penutur berusaha agar tuturannya selalu relevan dengan konteks, jelas dan mudah dipahami, padat dan ringkas (concise), dan selalu langsung pada persoalan (straight forward) sehingga tidak menghabiskan waktu mitra tuturnya. Oleh karena itu, dalam suatu peristiwa tutur peserta tutur harus menyadari kaidah-kaidah yang mengatur penggunaan bahasa, artinya peserta tutur harus memahami konteks yang melatarbelakangi penggunaan bahasa tersebut. Jadi, dapat dikatakan bahwa ada semacam prinsip kerja sama (cooperative principles) yang harus dilakukan oleh peserta tutur agar proses komunikasi berjalan lancar.

(8)

kerja sama karena pertimbangan prinsip kesopanan (politeness principles). Allan (1986:10) mengatakan bahwa Being co-operative is being polite (mostly). Prinsip kesopanan ini tergambar dalam enam maksim yaitu (1) maksim kebijaksanaan, (2) maksim penerimaan, (3) maksim kemurahan hati, (4) maksim kerendahan hati, (5) maksim kecocokan, dan (6) maksim kesimpatian.

Dalam merealisasikan keenam prinsip kesopanan ini, ada beberapa teori kesantunan yang perlu diperhatikan. Hal ini terjadi mengingat penolakan berkaitan dengan penidakan atas suatu permintaan. Inti dari teori kesantunan adalah dalam melakukan penolakan, seorang penutur harus dapat menjaga perasaan atau menjaga muka mitra tutur agar tidak terancam (face threatening act) (Brown dan Levinson, 1987, Wijana, 2004).

Oleh karena itu, dalam situasi tutur yang biasa, seperti penolakan, seorang penutur harus menghitung derajat keterancaman ujaran yang dituturkan dengan mempertimbangkan faktor-faktor: (1) jarak sosial di antara penutur dan mitra tutur, (2) besarnya perbedaan kekuasaan dan dominasi di antara keduanya, dan (3) status relatif jenis tindak tutur di dalam kebudayaan yang bersangkutan, yaitu ujaran dalam suatu kebudayaan dianggap tidak terlalu mengancam muka.

Bagaimanapun juga, kesantunan itu bersifat nisbi dan tergantung kepada penafsiran pendengar. Artinya, dalam melaksanakan prinsip kerja sama perlu diperhatikan prinsip kesopanan. Fenomena ini sangat dipengaruhi oleh faktor sosial budaya masyarakat penuturnya. Setiap daerah itu punya perbedaan dan keunikan tersendiri yang membuatnya berbeda dengan wilayah lain. Setiap orang yang berada di wilayah itu harus mematuhi aturan-aturan yang berlaku, sebagaimana kata pepatah dimana bumi dipijak, disana langit dijunjung. Misalnya, cara menolak permintaan, orang yang berusia lebih tua atau lebih tinggi kedudukannya, orang yang baru dikenal atau tidak dikenal, perlu diperhatikan bentuk tuturan yang bagaimana yang harus digunakan, apakah tuturan yang langsung, tidak langsung, atau terselubung, seperti sasmita (Kartomihardjo, 1988) agar proses komunikasi berjalan dengan lancar dan permintaan itu dipenuhi.

(9)

berpengaruh pada bentuk lingualnya. Dengan kata lain, pemilihan bentuk kalimat (modus kalimat dan tipe tuturan yang digunakan) dalam bertutur dipengaruhi oleh pertimbangan-pertimbangan tersebut di atas. Variasi bentuk ini digunakan oleh penutur untuk tujuan pembeda tertentu sesuai dengan prinsip yang nampaknya dimiliki bersama oleh keseluruhan manusia dan berbeda antara masyarakat yang satu dengan yang lainnya (Martinet, 1987, Samsuri, 1991).

Dalam Kato Nan Ampek dikenal empat istilah, yakni (1) Kato Mandata (Kata Mendatar) ialah tuturan atau bahasa yang digunakan di antara orang yang seusia dan hubungannya akrab. Pemakaian tata bahasanya biasanya bersifat bahasa pasar yang lazim memakai suku kata terakhir atau kata-katanya tidak lengkap dan kalimatnya pendek; (2) Kato Mandaki (Kata Mendaki) ialah tuturan atau bahasa yang digunakan oleh orang yang usianya lebih muda dan kadangkala orang yang statusnya lebih rendah dari mitra tutur. Misalnya, bahasa yang digunakan oleh anak kepada orang tuanya, murid kepada gurunya, atau bawahan kepada atasannya. Pemakaian tata bahasanya lebih rapi dan ungkapannya lebih jelas; (3) Kato Manurun (Kata Menurun) ialah tuturan atau bahasa yang digunakan oleh orang yang usianya lebih tua kepada yang lebih muda atau yang status sosialnya lebih tinggi kepada yang lebih rendah. Misalnya, bahasa yang digunakan oleh orang tua kepada anaknya, guru kepada muridnya, atasan kepada bawahannya (tergantung umur), atau paman/bibi kepada keponakannya. Dalam penggunaan kato manurun ini, tata bahasanya rapi, tetapi dengan kalimat yang lebih pendek dan dapat berbentuk kalimat langsung maupun tidak langsung. Untuk kalimat-kalimat tertentu, sering juga digunakan kiasan-kiasan untuk mempertegas, mempertajam, atau memperdalam makna yang disampaikan; dan (4) Kato Malereang (Kata Melereng) ialah tuturan atau bahasa yang digunakan oleh orang yang saling menyegani. Misalnya, bahasa yang dipakai oleh orang yang mempunyai hubungan kekerabatan karena perkawinan, seperti ipar, besan, mertua, dan menantu atau orang-orang yang jabatannya dihormati, seperti penghulu, guru, dan ulama. Pemakaian bahasa Kato malereang ini berbentuk kalimat lengkap, tetapi mempunyai implikatur-implikatur, bebentuk peribahasa, kiasan, perumpamaan, atau sindiran.

4. Pembahasan

4.1 Strategi Tutur Masyarakat Minangkabau dalam Melakukan Penolakan

(10)

1. Menggunakan Negasi Langsung

Penolakan dengan cara negasi langsung ialah penolakan yang hanya menggunakan pemarkah negasi atau terdiri atas satu kata yang bermakna penolakan dan tidak diikuti oleh ujaran atau pernyataan. Contoh penolakan dengan cara ini adalah:

(3) (I) ndak (bisa) (4) Antilah.

‘Tidak bisa.’ ‘Tidak usahlah!’

Penolakan dengan cara (3) - (4) biasanya dilakukan oleh peserta tutur yang seusia atau sederajat status sosialnya, kato mandata, atau yang lebih rendah, kato manurun. Kalaupun ditemukan dalam dua kato lainnya, maka tentu ada maksud lain yang terkandung dalam penolakan itu, seperti marah atau hubungan antarpeserta tutur yang tidak harmonis. Dilihat dari kesantunan berbahasa, kedua bentuk penolakan dengan cara negasi langsung ini secara berurut dimulai dari yang kurang santun sampai ke paling santun.

2. Menggunakan Negasi dengan Pernyataan

Berbeda dengan cara pertama, penolakan menggunakan cara negasi dengan pernyataan diwujudkan oleh pernyataan negatif. Biasanya, cara ini dihadirkan dalam bentuk kalimat deklaratif. Misalnya,

(5) Andi ndak turun do, Ma.

‘Saya tidak turun, Bu.’

Ujaran (5) merupakan kalimat deklaratif negatif yang menggunakan negasi ndak untuk mengingkari verba turun. Pengingkaran verba turun mengindikasikan ketidakmauan penutur untuk memenuhi permintaaan turun.

3. Menggunakan Kalimat Bermodus Imperatif

Penolakan dengan cara menggunakan kalimat bermodus imperatif sudah pasti diwujudkan oleh kalimat imperatif. Namun, kalimat imperatif di sini ada yang berupa imperatif biasa; imperatif halus, yaitu yang menggunakan kata penghalus; dan imperatif pembiaran. Berikut contoh penggunaannya.

(11)

Secara eksplisit, penolakan dengan cara menggunakan kalimat bermodus imperatif bermakna sebagai permintaan agar mitra tutur melakukan sesuatu. Namun, bila dihubungkan dengan konteks, permintaan itu merupakan penolakan untuk memenuhi keinginan mitra tutur.

4. Menunda

Menunda artinya membuat sesuatu menjadi tertunda. Menunda dapat menjadi alternatif dalam melakukan penolakan yang direalisasikan melalui kalimat deklaratif dan imperatif. Cara penolakan dengan menunda ditandai dengan kehadiran kata yang berarti menunda, seperti sabanta ‘sebentar’, tunggu ‘tunggu’, nantik ‘nanti’, dan beko ’nanti’. Berikut salah satu contoh penggunaannya dalam ujaran.

(7) Sabanta lai, Ni.

‘Sebentar lagi, Kak.’

Keempat penanda penolakan sabanta, tunggu, nantik, beko memiliki waktu tunda yang berbeda. Dimulai dari waktu tunda tersingkat sabanta, diikuti oleh beko, tunggu, dan nantik. Tidak adanya batasan waktu yang definit pada keempat pemarkah penolakan dengan cara penundaan ini dapat menimbulkan kesalahpahaman antarpeserta tutur. Untuk meminimalisir kesalahpahaman dipergunakanlah konteks.

5. Mengungkapkan Rasa Pesimis

Penolakan yang dilakukan dengan cara mengungkapan rasa pesimis, secara eksplisit, ditandai dengan penggunaan kata pesimis, seperti yang terlihat pada ujaran (8).

(8) Untuak rapek beko, pesimis Ika bisa ka teh.

‘Saya pesimis dapat mengikuti acara rapat nanti.’

Ujaran (8) menunjukkan kepesimisan penutur untuk dapat memenuhi permintaan. Kepesimisan itu dipertegas dengan ujaran yang mengikutinya, yaitu permintaan agar mitra tutur memintakan dia ijin untuk tidak ikut rapat.

6. Pernyataan Informatif

(12)

(9) Alah bara ari ko aden bajalan kaki sikola. Aden kanai hukum dek amak. Makonyo den puaso.

‘Sudah beberapa hari ini saya berjalan kaki ke sekolah. Saya sedang dihukum. Makanya saya puasa.’

Dalam ujaran (9), penutur melakukan penolakan dengan menginformasikan bahwa

dia tidak diberi uang jajan. Oleh karena itu, jangankan untuk membeli rokok sebagaimana

yang biasa dilakukan ketika pulang sekolah, untuk berangkat sekolah saja dia tidak memiliki

uang sehingga harus berjalan kaki. Tidak ada penanda negasi dalam (9), tetapi secara

keseluruhan isi ujaran menginformasikan bahwa penutur tidak memiliki uang sehingga tidak

dapat merokok.

7. Ekspresi yang Berhubungan dengan Perasaan

Secara umum, penolakan dengan cara mengekpresikan perasaan didahului oleh interjeksi. Dari interjeksi dan intonasi yang digunakan dapat diketahui perasaan yang dirasakan penutur saat penolakan dilakukan. Perasaan itu dapat berupa penyesalan, kekecewaan, keterkejutan, keberatan, seruan, atau pesimis. Berikut contohnya.

(10) Ndeeh…., awak mungkin ndak bisa pai do. ‘Saya mungkin tidak bisa pergi.’

Penolakan dalam ujaran (10) diawali oleh interjeksi ndeh yang dibunyikan panjang. Bunyi panjang pada interjeksi menunjukkan penyesalan penutur yang tidak bisa ikut karena harus melakukan kegiatan lain yang sama pentingnya.

8. Menggunakan Bentuk Kalimat Pengandaian

Sebagaimana yang telah dijelaskan pada sub-bab sebelumnya, kalimat pengandaian merupakan kalimat luas yang terdiri atas dua klausa, yakni klausa induk dan klausa anak. Klausa anak sering diawali oleh kata kok ‘kalau’ atau kalau ‘kalau’ yang tidak berbeda makna dan dapat saling menggantikan. Berikut contohnya terlihat pada ujaran (11).

(11) Kok bitu, kami tantu disadioan pulo untuak transportasi.

‘Kalau begitu, Kami juga minta disediakan sarana transportasi.’

(13)

9. Memberi Alasan

Memberi alasan merupakan cara penolakan yang relatif cukup sering digunakan. Biasanya, penolakan dengan memberi alasan ini sering diwujudkan oleh kalimat deklaratif karena alasan mengacu kepada pemberian informasi. Contoh,

(12) Nampaknyo kami bababan barek. Nan biasonyo kami . Kok isi biliak, alun ado lai. Tambah lo jo pakaian baralek.

‘Kami akan memikul beban berat karena tempat tidur dan almari untuk pengisi kamar penganten belum dibeli, begitu juga halnya dengan pakaian penganten.’

Ujaran (12 terjadi dalam sebuah acara peminangan. Dalam ujaran (196), penutur menolak permintaan mitra tutur untuk dibantu dalam pendanaan pesta pernikahan anak mereka. Penolakan dilakukan karena beberapa pertimbangan, yaitu peralatan untuk mengisi kamar penganten belum dibeli dan pakaian penganten pun belum ada. Pertimbangan inilah yang dikemukakan dan kemudian menjadi alasan untuk tidak memenuhi permintaan.

10. Menggunakan Ujaran Eksternal ya, internal tidak

Penolakan dengan cara menggunakan ujaran eksternal ya, internal tidak dapat diwujudkan oleh kalimat imperatif dan deklaratif. Fitur khas cara ini adalah diawali dengan kata (i)yo ’(I)ya’ dan diikuti dengan penggunaan kata penghubung perlawanan (te)tapi, bila terjadi dalam satu kalimat (lihat Ramlan, 2001:56-62). Jika pengiyaan (i)yo merupakan ujaran bebas, ujaran yang mengikutinya berbentuk kalimat yang bermakna ketidakmauan untuk memenuhi permintaan. Contohnya dapat dilihat pada ujaran (13).

(13 Iyo, tapi anak kini tu umumnyo bapacaran. Nyo inyo ndak do. Tu bekolah dibaoknyo saja anak gadih urang.

‘Iya, tetapi anak sekarang umumnya memiliki pacar. Kalau ditanya, dikatakan tidak ada. Namun, tiba-tiba sudah memperkenalkan calon istri.’

Ujaran (13) merupakan kalimat deklaratif yang pengiyaannya diikuti oleh kata penghubung perlawanan tapi. Kehadiran tapi membuat ujaran (13) yang secara eksternal berkata iya, tetapi bermakna tidak.

(14)

Namun, seringkali bentuk ini dijadikan alasan untuk menolak dengan pertimbangan alasan penolakan tidak akan ditanya lebih jauh. Kalaupun ditanya, penutur bisa berkelit dengan mengatakan bahwa tidak ada jawaban sebaik Insya Allah. Jadi, kata Insya Allah dimanipulasi untuk melakukan penolakan.

11. Memberi Saran

Penolakan dengan cara memberi saran artinya penidakkan atas sebuah permintaan dengan memberi saran atau usul. Saran atau usul ini dapat menjadi alternatif bagi mitra tutur untuk mencari jalan keluar atas penolakan yang diberikan. Penolakan dengan cara ini dapat diwujudkan oleh kalimat deklaratif, interogatif, dan imperatif yang sering dimarkahi oleh kata mausulkan ‘mengusulkan’, bapandapek ‘berpendapat’, (sa)rancak(nyo) ‘sebaiknya’, labiah baiak ‘lebih baik’, atau elok ‘bagus’. Berikut contoh penggunaannya.

(14) Kami mausulkan, soal toloang manoloang, bantu mambantu untuak dapek dipikian baliak.

‘Kami mengusulkan agar masalah bantuan ini untuk dipikirkan kembali.’

Pola seperti ujaran (14) sering ditemukan dalam konteks peminangan yang penolakannya dilakukan dengan menggunakan kata mausulkan ‘mengusulkan’. Dalam konteks yang sama, kata mausulkan ini dapat saling menggantikan dengan bapandapek ‘berpendapat’.

12. Memberi Komentar

Memberi komentar artinya memberikan tanggapan atas sebuah permintaan. Komentar biasanya disampaikan oleh orang yang melakukan penolakan. Penolakan dengan cara ini sering didahului oleh interjeksi wah dan kadang-kadang dilengkapi oleh kinesik tersenyum.

(15) Wah, baa kakak ko? Pamaleh, mah!

‘Bagaimana kakak ini? Pemalas!’

(15)

13. Bertanya

Bertanya artinya meminta keterangan atau informasi. Sebuah permintaan dapat ditolak dengan kembali bertanya. Agar bentuk penolakan itu jelas, biasanya diikuti oleh ekspresi muka yang menunjukkan ketidakmauan. Karena berupa pertanyaan, penolakan dengan cara bertanya diwujudkan oleh kalimat interogatif, misalnya

(16) Lai talok dek Uda?

‘Apakah kamu mampu melakukannya?’

Dalam budaya masyarakat Minangkabau orang yang paling sibuk, ketika seorang anak perempuan menikah, adalah pamannya. Begitu pula ketika proses peminangan dilakukan, idealnya yang menjadi juru bicara adalah paman/kakak kandung dari ibu anak perempuan. Namun, ketika si paman merasa tidak mampu, tugas ini bisa dialihkan ke paman jauh atau saudara laki-laki sepersukuan.

Fenomena ini terjadi pada peristiwa tutur (16). Paman kandung anak perempuan ini dinilai tidak mampu melakukan tugasnya karena faktor kesehatan dan keterbatasan kemampuan dalam hal yang berkaitan dengan upacara adat. Oleh karena itu, dicarilah paman yang bukan kandung (saudara ibu yang sesuku). Merasa masih mampu, si paman meminta kepada adiknya agar dia tetap dijadikan juru bicara, tetapi ditolak oleh si adik dengan balik bertanya (16). Penolakan dengan cara bertanya dinilai cukup santun karena disampaikan dengan ujaran yang tidak menggunakan negasi langsung.

14. Meminta Maaf

Penolakan dengan meminta maaf merupakan cara yang relatif sering dilakukan oleh masyarakat Minangkabau. Penolakan dengan cara ini ditandai oleh penggunaan kata maaf di awal atau di akhir kalimat (17). Kadang-kadang, penolakan dengan cara meminta maaf tidak diikuti oleh ujaran lain, tetapi hanya terdiri atas kata maaf saja (17).

(18) Maaf, Wat. Kalau itu kurang yakin Ikenyo karano ka singgah- singgah dulu. ‘Maaf. Saya tidak bisa membantu karena saya akan singgah ke banyak tempat.’

15. Mengucapkan Terimakasih

(16)

terimakasih. Tanpa diikuti oleh penjelasan lebih jauh, ujaran terimakasih sudah dapat dimaknai sebagai sebuah penolakan.

(18) Mokasi sajolah, Ni.

‘Terimakasih.’

Penolakan yang dilakukan dalam ujaran (18) tidak hanya disusun oleh kata terimakasih, tetapi dipertegas dengan menghadirkan kata sajolah ‘sajalah’. Kadang-kadang, penolakan dengan cara ini juga dapat diikuti oleh penjelasan lain berupa alasan sehingga maksud ujaran lebih jelas. Di samping memperjelas, ujaran tambahan juga digunakan untuk memunculkan aspek kesantunan.

16. Melucu

Melucu artinya membuat sesuatu menjadi lucu sehingga orang lain bisa tertawa. Melucu yang dimaksud di sini dilakukan secara sengaja. Wijana, (2004) menyebutnya dengan artificial humor yaitu penutur sengaja menyimpangkan suatu tuturan sehingga menimbulkan aspek kelucuan (comic effect). Penyimpangan dilakukan pada prinsip dasar komunikasi yang tertuang dalam prinsip kerjasama yang dikemukakan oleh Grice (1975) dan prinsip kesopanan (Leech, 1983). Penolakan dengan cara ini dapat dilihat pada contoh di bawah ini.

(19) Aduuhhh, Ibuk nan denai sayang! No, thankyou deh.

‘Tidak. Terimakasih.’

Efek kelucuan yang dimunculkan penutur dalam melakukan penolakan dapat dilihat dari beberapa penyimpangan, yaitu (1) maksim kuantitatif. Ujaran ini muncul setelah mitra tutur melakukan permintaan dengan kalimat interogatif yes/no question, Nio ndak Ike jadi ketua jurusan? ‘Maukah kamu menjadi ketua jurusan?’. Secara kuantitatif, jawaban yang dibutuhkan hanyalah ya atau tidak; (2) maksim kebijaksanaan yang mengharuskan penutur untuk meminimalkan kerugian pada mitra tutur. Bentuk penolakan dengan menggunakan negasi no ’tidak’ berarti penutur memaksimalkan kerugian pada mitra tutur. Selain itu, peralihan kode pada ujaran (19) dari bMn ke bIng mengindikasikan rendahnya tingkat kesantunan karena semakin baku sebuah tuturan, semakin formal dan semakin santunlah tuturan itu. Namun, cara yang dipilih penutur tersebut bukanlah tanpa tujuan, tetapi untuk memunculkan kelucuan. Tujuan ini semakin diperjelas dengan penyampaian ujaran sambil tertawa.

(17)

Menyindir artinya mengkritik kesalahan orang lain dengan cara tidak terus terang. Ketidakterusterangan sindiran dapat dilihat dari pengalihan fungsi kata ganti orang pertama ke orang kedua atau sebaliknya.

(20) Sabananyo inyo kan jauah dek awak tu. Apaloai mamak

kanduangnyo masih iduik.

‘Bukankah hubungan kita jauh dengan orang itu. Apalagi saya sebagai paman kandungnya masih hidup.’

Penyindiran dilakukan penutur dalam ujaran (20) dengan mengganti kata ganti orang pertama ambo’ saya’ dengan kata ganti orang ketiga mamak kanduangnyo ‘paman kandungnya’. Penggantian kata ganti ini merupakan upaya untuk memperhalus penolakan dan mempertajam permintaan yang secara implisit mengandung penolakan.

18. Ungkapan Tradisional

Penolakan dengan menggunakan ungkapan tradisional, dalam bahasa Minangkabau, dapat diwujudkan melalui peribahasa dan pantun. Peribahasa adalah ungkapan atau kiasan yang mengandung nasihat atau pelajaran. Peribahasa biasanya berbentuk implisit, seperti yang terlihat pada ujaran (21) dan (22).

(21) Lamak samba dek urang nan ka mamakan. Lamak pakaian dek urang nan ka mamakai.

‘Enaknya lauk dirasakan oleh orang yang akan memakannya. Bagusnya pakaian diputuskan oleh orang yang akan memakainya.’

Ujaran (21) melibatkan dua peserta tutur. Dalam peristiwa tutur, penutur menolak lamaran mitra tutur atas putranya. Penolakan ini dilakukan dengan mengunakan pepatah. Pepatah merupakan bentuk kias yang dapat meminimalisir keterancaman muka mitra tutur saat ditolak. Untuk memahami pepatah diperlukan pemahaman yang tinggi dan pengalaman yang cukup. Pemahaman dan pengalaman ini dibutuhkan agar tidak terjadi salah interpretasi terhadap ujaran. Oleh karena itu, dalam peristiwa adat, seperti meminang, dibutuhkan juru bicara yang bijaksana dan menguasai adat sehingga komunikasi berjalan lancar.

(22) Nampaknyo dalam hal iko nan basangkutan, ‘Kok barek alun tapikua, kok ringan alun tajinjiang’.

‘Nampaknya dalam hal ini keadaan yang bersangkutan sesuai dengan kata pepatah, ‘Berat belum dapat dipikul, ringan belum dapat dijinjing.’

(18)

untuk menanggung tanggung jawab. Ketidakmampuan ini mengindikasikan penolakan untuk dibebani tanggung jawab, yaitu menjadi kepala rumah tangga. Ungkapan ini hampir senada dengan pepatah dalam bahasa Indonesia ‘Berat sama dipikul, ringan sama dijinjing’ yang berarti pekerjaan berat akan menjadi ringan kalau dikerjakan bersama-sama.

4.2 Aspek yang Mendasari Pemilihan Strategi Tuturan Penolakan

Kedelapan belas strategi penolakan ini digunakan secara bervariasi. Artinya, ada beberapa aspek yang mempengaruhi penggunaan strategi ini, diantaranya (1) peserta tutur yang terlibat, seperti yang terlihat padca ujaran (1), (2), (3), (4), (9), (15, dan (16); (2) situasi tutur, seperti pada ujaran (8), (12), dan (13) ; (3) pokok tutur pada ujaran (5), (6),(7), (10), (11), (13), (15), (19), dan (20) (21), (22); dan (4) norma tutur sebagaimana yang terlihat pada ujaran (14).

4.3 Nilai Budaya dari Gradasi Strategi Tuturan Penolakan

Sebagaimana yang sudah dijelaskan bahwa masyarakat Minangkabau adalah kelompok yang berusaha untuk menjaga agar harmonisasi senantiasa terjadi dalam setiap rangkaian interaksi. Implementasinya adalah tingginya gradasi strategi tuturan penolakan yang dilakukan, yakni delapan belas cara. Kedelapan belas strategi ini memiliki tingkat keterancaman muka yang bervariasi. Namun, dari jumlah yang relatif banyak tercermin bahwa masyarakat Minangkabau berusaha menghindari agar orang lain tidak tersakiti dalam sebuah interaksi (penolakan). Untuk itu salah satunya ada penolakan yang disampaikan dengan menggunakan ungkapan tradisional. Selain itu, sikap menjaga muka orang lain merupakan refleksi dari sebuah sifat adaptif. Artinya, masyarakat Minangkabau berusaha untuk memilih strategi penolakan yang tepat sesuai dengan budaya mitra tuturnya (berhubungan dengan aspek peserta tutur (1)). Untuk itulah, masyarakat Minangkabau cukup mudah diterima oleh berbagai masyarakat dari kelompok berbeda.

5. Kesimpulan

‘Lain lubuk, lain ikannya.’ Setiap daerah memiliki kekhasan tersendiri, salah satunya adalah strategi mereka dalam menolak. Apapun pilihan strategi yang dimiliki masyarakat Minangkabau, semuanya tidak terlepas dari kebutuhan mereka sebagai pengguna bahasa dalam konteks yang natural.

(19)

Allan, Keith. 1986. Linguistic Meaning. (Vol.1 dan Vol.2). London: Routledge & Kegan Paul Inc

Anwar, Khaidir. 1995. Beberapa Aspek Sosio-Kultural Masalah Bahasa. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press

Asher, R.E. 1994. The Encyclopedy of Language and Linguistics. Oxford: Pergam

Aslinda. 2000. “Kato Nan Ampek” Tuturan dalam Bahasa Minangkabau Suatu Tinjauan Sosiolinguistik. Tesis. Yogyakarta:Universitas Gadjah Mada

Branen, Julia. 1997. Memadu Metode Penelitian Kualitatif dan Kuantitatif. (Penerjemah H. Nuktah Arfawie Kurde, Imam Safe’I, Noorhaidi A.H Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset Cahyono, Bambang Yudi. 1998. Kristal-kristal Ilmu Bahasa. Surabaya: Airlangga

University Press

Chen, X., Ye,L., dan Zhang,Y. 1995. ‘Refusing in Chinese’. Dalam G. Kasper. Pragmatics of Chinese s A Native and Target Language. Honolulu: University of Hawai’I Press

Djajasudarma, T. Fatimah. 1993. Metode Linguistik Ancangan Metode Penelitian dan Kajian. Bandung:Eresco

Errington, Frederick K. 1984. Manner And Meaning in West Sumatera: The Social Context of Consciousness. New York:Yale University

Finocchario, Mary. 1974. Engliih as A Second Language: From Theory to Practice. USA:Regents Publishing Company Inc

Grice, H.P. 1975. ‘Logic and Conversation’. Dalam A.Jaworski dan N Coupland. The Discourse Reader. New York: Routledge

Gunarwan, Asim. 1994. “Kesantunan Negatif di Kalangan Dwibahasawan Indonesia-Jawa di Jakarta: Kajian Sosiopragamatik”. PELLBA 7. (Penyunting Bambang Kaswanti Purwo). Jakarta: Lembaga Bahasa Unika Atmajaya.

Gunarwan, Asim. 1994a. “Pragmatik:Pandangan Mata Burung”. Mengiring Rekan Sejati Festschrift Buat Pak Ton. (Penyunting Soenjono Dardjowidjojo). Jakarta:Unika Atmajaya.

Ibrahim, Abdul Syukur.1992. Panduan Penelitian Etnografi Komunikasi. Surabaya:Usaha Nasional

Kartomihardjo, Soeseno. 1988. Bahasa Cermin Kehidupan Masyarakat. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi

Leech, Geoffrey. 1983. Principle of Pragmatics. New York:Longman

Levinson, Stephen C. 1983. Pragmatics. London:Cambridge University Press Martinet, Andre. 1987. Ilmu Bahasa: Pengantar. Yogyakarta: Kanisius

Moleong, Lexy J. 1991. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung:PT Remaja Rosdakarya Nio, Be Kim Hoa, HRL, Zainuddin, Khatib, Yusran, Zainil, Yusuf, Yusna, Surin, Agustar.

1979. Morfologi dan Sintaksis Bahasa Minangkabau. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Indonesia Depdikbud

Poedjosoedarmo, Soepomo. 1985. “Komponen Tutur”. Dalam Perkembangan Linguistik di Indonesia. Penyunting Soenjono Dardjowidjojo. Jakarta:Arcan

Poedjosoedarmo, Soepomo. 2001. Filsafat Bahasa. Surakarta: Muhamaddiyah University Press.

Revita, Ike. 2008. ‘Permintaan dan Penolakan dalam Bahasa Minangkabau (Tinjauan Sosiopragmatik). Disertasi. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada

Revita, Ike. 2006. ‘Cyberspace dan Filsafat Bertutur Masyarakat Minangkabau’. Simposium Internasional Dies Natalis ke-60 dan Lustrum ke-12 FIB UGM. Yogyakarta. 16-17 Maret

(20)

Samsuri. 1991. Analisis Bahasa. Jakarta:Erlangga

Sudaryanto. 1993. Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa. Yogyakarta: Duta Wacana University Press

Verhaar, J.W.M. 2001. Asas-Asas Linguistik Umum. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press

Referensi

Dokumen terkait

2.2.5.2.2 Steel pipe may be used as tubular structural members provided it complies with ASTM A139, grade B; ASTM A53 type E or S, grade B; or API 5L, grade B; and provided the

Sehubungan dengan hasil evaluasi terhadap dokumen kualifikasi yang saudara ajukan pada paket pekerjaan Pengadaan Peralatan dan Fasilitas Kantor Pengadilan Tingi Jayapura

Batas luar Peta Blok dari PBB sangat berbeda dengan dari Citra, karena peta dasar yang digunakan PBB terlalu tua, sedang wilayah pantai sudah berubah. Peta

Walaupun energi potensial akibat gaya tarik menarik antara elektron dan proton menjadi hanya dua kali dari dalam atom hidrogen di limit R → 0, energi potensial tolakan dua proton

Penentuan potensi antibakteri fraksi kloroform p.a : etanol p.a (95:5), fraksi kloroform p.a : etanol p.a : asam asetat p.a (90:8:2), dan fraksi kloroform p.a : etanol p.a :

[r]

Gardenia Raya Blok BA I No.. Noer

Hal ini mengindikasikan sampai saat ini terjadi kekosongan hukum dalam pengaturan tentang kegiatan penghimpunan dana haji bagi nasabah yang akan melaksanakan ibadah haji