PENCEMARAN UDARA LINTAS BATAS AKIBAT KEBAKARAN HUTAN MENURUT HUKUM LINGKUNGAN INTERNASIONAL DAN
IMPLEMENTASINYA DI INDONESIA Oktissa Fanny1
, Narzif2,Deswita Rosra1 Prodi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Bung Hatta Prodi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Andalas Email : (Foktissa@ymail.com)
1.ABSTRAK
Adapun masalah yang dibahas dalam skripsi ini adalah mengenai 1). Bagaimanakah pengaturan pencemaran udara yang bersifat lintas batas menurut hukum internasional dan nasional di Indonesia; 2). Bagaimanakah tanggungjawab negara terhadap kerugian yang ditimbulkan oleh pencemaran udara dilintas batas negara.Dengan metode pendekatan hukum normatif dan dianalisis dengan metode penelitian deskriptif kualitatif untuk menguraikan peraturan-peraturan yang berlaku dan menetukan isi atau makna aturan hukum yang dijadikan rujukan dalam menyelesaikan permasalahan hukum yang menjadi objek kajian. Bedasarkan penelitian yang penulis lakukan terdapat permasalahan mengenai, pencemaran udara lintas batas akibat kebakaran hutan yang terjadi di Riau yang terjadi karena ulah tangan manusia, yang dilakukan untuk kepentingannya sendiri tanpa memikirkan apa yang akan terjadi bagi orang-orang sekitarnya. Dampak dari pencemaran tersebut dapat menganggu kelangsungan hidup manusia. Bukan hanya berdampak bagi manusia saja, tetapi juga berdampak terhadap lingkungan itu sendiri. Kebakaran hutan di Indonesia ini berakibat melintas batasnya asap kebakaran hutan tersebut kenegara tetangga seperti, Malaysia dan Singapura. Dalam hal ini dibahas tentang pengaturan pencemaran udara lintas batas akibat kebakaran hutan menurut hukum Internasional dan hukum nasional di Indonesia.
Kata kunci : Pencemaran, Lintas Batas, Kebakaran Hutan, Hukum Lingkungan Internasional, Implementasinya.
2.Pendahuluan
Secara umum dari dahulu sampai sekarang manusia menggantungkan hidupnya kepada alam dan kepada keadaan lingkungan di sekitarnya untuk menunjang kehidupannya. Alamdan kehidupan manusia yang ada di dalamnya merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari lingkungan hidup. Indonesia merupakan salah satu negara di dunia yang mempunyai wilayah hutan tropis terluas pertama di dunia setelahnya hutan amazone dengan luas mencapai 144 juta ha1. Hutan yang begitu luas ini mempunyai manfaat yang banyak bagi Indonesia khususnya dan bagi dunia. Menurut data yang pernah ada, salah satu contoh kasus kebakaran hutan terbesar sepanjang sejarah Negara Indonesia terjadi sekitar tahun 1982/1983 yaitu terjadi kebakaran hutan yang sangat besar di Indonesia yang terjadi di Pulau Kalimantan. Dampak yang ditimbulkan dari kebakaran hutan ini
1
Bambang Purbowaseso, 2004, Pengendalian Kebakaran Hutan, Jakarta, Rineka Cipta, hlm:2.
antara lain seperti kesehatan terganggu, perekonomian terganggu bahkan bisa menyebabkan terganggunya hubungan diplomatik antar negara. Pencemaran udara akibat kebakaran hutan saat ini sudah sampai pada tingkat pencemaran yang bersifat lintas batas dan sudah menjadi bagian utama dalam masalah lingkungan Internasional.
Pencemaran lintas batas ini dengan segala konsekuensinya seharusnya disikapi secara serius oleh semua pihak dalam tingkatan hidup lokal, regional maupun internasional. Seharusnya semua pihak duduk dalam satu perundingan untuk memecahkan permasalahan ini tanpa melihat siapa yang salah. Pencemaran udara lintas batas akibat kebakaran hutan ini menimbulkan kecemasan bagi masyarakat internasional. Kecemasan terhadap pencemaran asap lintas batas negara akibat kebakaran hutan ini telah menjadi perhatian regional dalam kawasan ASEAN. Terbukti dengan dijadikannya masalah pencemaran asap lintas batas
negara sebagai topik bahasan kerja sama ASEAN.
ASEAN Transboundarry Haze
Pollution (AATHP) dibentuk untuk
memfasilitasi kerjasama dan koordinasi antara para pihak dalam mengelola dampak dari kebakaran hutan dan/atau lahan khususnya pencemaran asap yang timbul dari kebakaran.
3. Perumusan Permasalahan
1. Bagaimanakah pengaturan pencemaran udara lintas batas menurut hukum internasional dan nasional di Indonesia?
2. Bagaimanakah tanggung jawab negara terhadap kerugian yang ditimbulkan oleh pencemaran udara di lintas batas negara?
4.Metode Penelitian
1. Jenis penelitian
Penelitian ini mempergunakan metode pendekatan hukum normatif atau juga disebut dengan tipe penelitian inventarisasi hukum, yang dimaksud hukum normatif adalah penelitian yang mengacu, menggunakan serta mengolah data-data sekunder.
2. Sumber data
Data yang digunakan adalah data sekunder, yaitu data yang diperoleh dari dokumen-dokumen resmi, buku-buku yang berhubungan dengan objek penelitian, hasil penelitian dalam bentuk laporan, skripsi, tesis, disertasi, peraturan perundang-undangan.
5. Pembahasan
Kebijakan lingkungan global-internasional terdapat dalam kesepakatan-kesepakatan internasional
mengenai lingkungan, baik yang sifatnya multilateral maupun bilateral. Kesepakatan internasional ini dapat berbentuk deklarasi, konvensi, agenda,
dan atau perjanjian internasional di bidang lingkungan.
a. Konferensi Stockhom, Swedia (1972)
Konferensi PBB tentang Lingkungan Hidup Manusi yang pertama dilaksanakan di Stockholm, Swedia, pada tanggal 5-16 Juni 1972. Konferensi PBB yang merupakan usul Swedia dengan tema “only one earth”
ini diikuti oleh 113 negara, 21 badan atau organisasi PBB, dan 16 organisasi antar-pemerintah. Disamping itu, konferensi tersebut diikuti pula oleh 258 organisasi non pemerintah yang mewakili berbagai kelompok, termasuk di dalamnya organisasi atau lembaga swadaya masyarakat, seperti lerra Club, The
International Association of Art
Critics sebagai peninjau.
Walaupun Deklarasi Stockholm 1972 tidak mengatur secara khusus tentang pencemaran udara lintas batas negara, namun Deklarasi
tersebut mengatur tentang masalah perlindungan lingkungan hidup.2
Pada akhir sidang yaitu tanggal 16 Juni 1972 Konferensi Stockholm menghasilkan Deklarasi Stockholm (terdiri dari preambul dan 26 asas), 109 rekomendasi sebagai rencana aksi lingkungan (action plan) dan 11 resolusi mengenai lingkungan hidup. Rencana aksi lingkungan yang
ditetapkan untuk
mengimplementasikan Deklarasi Stockholm terdiri atas tiga bagian besar, yaitu:
1) A global assesment
programme, dikenal dengan
Earthwatch;
2) Enviromental management
activities; dan
3) Supporting measure:
education and training, public
information, and organizational and financing arrangements.3
2 Muhammad Akib, Hukum Lingkungan
Perspektif Global dan Nasional, Jakarta,Pt RajaGrafindo Persada, 2014
Sebagai tiang utama hukum lingkungan internasional Deklarasi Stockholm 1972 menyatakan bahwa:
Prinsip 1, “Man has the fundamental right to freedom, equality and adequate conditions of life, in an environment of a quality that permits a life of dignity and well-being, and he bears a solemn responsibility to
protectand improve the
environment for present and future generations. In this respect, policies promoting or
perpetuating apartheid, racial
segregation, discrimination,
colonial and other forms of
oppression and foreign
domination stand condemned and must be eliminated”.
b. Konferensi Rio de Janeiro, Brazil (1992)
Dua puluh tahun setelah Konferensi Stockholm, tepatnya pada tanggal 3-14 Juni 1992, PBB
menyelenggarakan United Nations Conference on Environment and
Development (UNCED) di Rio de
Janeiro, Brazil. Tema konferensi ini adalah “Think globally, act locally”. Konferensi menekankan betapa pentingnya semangat kebersamaan
(multilaterisme) untuk mengatasi
berbagai masalah yang ditimbulkan oleh benturan antara upaya-upaya melaksanakan pembangunan (oleh
developmentalist) dan upaya-upaya melestarikan lingkungan (oleh
environmentalist).4
Pada tahun 1990 ketika dibentuk
BAPEDAL, semakin banyak
dihasilkan peraturan-peraturan lingkungan baru yang merupakan kebutuhan bagi penegakan hukum yang efektif dan kebutuhan kalangan industri terhadap aturan main yang jelas. Tercatat disahkan peraturan pemerintah (setingkat di bawah UU)
4 Departemen Kehutanan, “Milestone: Kehutanan
Dalam Forum Global”,
http://www.dephut.go.id/informasi/umum/kln/miles tone
mengenai Pengendalian Pencemaran Air (PP No. 20 1990), Pengelolaan Limbah B3 (PP No. 19 tahun 1994), Pengendalian Pencemaran Udara (PP No.41 tahun 1997), dan Pengendalian Pencemaran Laut (PP No. 18 tahun 1999).
Secara umum dikatakan, negara bertanggung jawab dalam hukum internasional untuk perbuatan atau tindakan yang bertentangan dengan kewajiban internasional negara itu. Komisi Hukum Internasional (ILC) telah membahas persoalan tanggung jawab negara ini sejak tahun 1956 namun baru pada tahun 2001 berhasil merumuskan rancangan pasal-pasal tentang Tanggung Jawab Negara karena Perbuatan yang dipersalahkan menurut Hukum Internasional yang kemudian diedarkan oleh Majelis Umum PBB. Dalam hal ini negaralah yang dipertanggungjawabkan karena melakukan kesalahan menurut hukum internasional berkewajiban untuk
melakukan perbaikan penuh atas kerugian yang diakibatkan oleh perbuatannya itu. Kerugian itu mencakup kerugian material maupun immaterial. Dalam pelanggaran atas kewajiban Internasioanl dan sebagai bentuk pertanggungjawaban negara Republik Indonesia ditinjau dari segi Hukum Internasional
Pencemaran lintas batas akibat kebakaran hutan yang terjadi di Indonesia untuk saat ini memang belum menimbulkan sengketa antara negara-negara ASEAN, terutama antara negara yang di dalam wilayahnya terjadi kebakaran hutan dengan negara yang menderita akibat dampak dari kebakaran hutan.
Peristiwa kebakaran hutan yang terjadi di Indonesia, merupakan bentuk-bentuk perwujudan prinsip tanggung jawab negara dalam ASEAN Agreement on the Conservation of Nature and Natural Resources, dapat dikatakan belum dijalankan
sebagaimana mestinya karena di lihat dari aspek penegakan hukum dengan segala sanksinya, aspek kelembagaan yang tidak permanen dan profesional, tidak tersedianya peralatan dan teknologi kebakaran hutan dan lahan yang memadai.
Dalam ASEAN Agreement
Transboundarry Haze Pollution
dituliskan pada Pasal 27 bahwa untuk menyelesaikan sengketa pencemaran lintas batas akibat kebakaran hutan wajib diselesaikan secara damai melalui konsultasi dan perundingan. Menurut Pasal 30 ayat (1) Undang-Undang Pengelolaan Lingkungan Hidup yang selanjutnya disebut dengan UUPPLH menyatakan bahwa sengketa lingkungan hidup dapat ditempuh melalui pengadilan ataupun diluar pengadilan berdasarkan pihak yang bersengketa
Kebakaran hutan yang terjadi di Provinsi Riau menjadi perhatian dunia saat ini. Asap yang menyebar
hingga ke negara tetangga itu, langsung dikabarkan oleh media internasional dan menjadi preseden buruk bagi Indonesia. Indeks standar polusi (PSI) pernah mencapai level kritis, yakni 400, yang berpotensi mengancam nyawa orang-orang sakit dan lanjut usia. Di Malaysia, khususnya di negara bagian Johor, ratusan sekolah ditutup karena kabut asap dari Indonesia. Pemerintah di kedua negara tetangga itu pun mengeluarkan protes. Masalah asap ini, sebaiknya dibicarakan bilateral saja. Pasalnya, terindikasi bahwa perusahaan Malaysia lah yang membakar hutan untuk membuka lahan. Situasi itu telah membawa banyak dampak buruk. Pertama, meningkatnya deforestasi atau penggudulan hutan karena kepentingan bisnis. Aktivitas ini menyebabkan kerusakan ekosistem dan keanekaragaman hayati secara
massif. Kedua, terjadinya penyingkiran terhadap masyarakat lokal dan adat dalam pengelolaan dan pemanfaatan hasil hutan. Banyak kawasan tanah ulayat dirampas paksa oleh perusahaan.5
Dengan demikian, dalam kasus Kebijakan kehutanan itu bertolak belakang dengan pasal 33 UUD 1945. Jika benar seperti itu maka citra kedua negara yang
menjadi buruk di mata
internasional.
Kebakaran hutan yang terjadi di Indonesia sampai sejauh ini tidak pernah diselesaikan melalui pengadilan oleh negara-negara korban dari pencemaran lintas batas akibat kebakaran hutan, karena negara-negara ASEAN tersebut menganut prinsip penyelesaian sengketa secara damai seperti yang terkandung dalam AATHP. Apabila terjadi
kebakaran hutan di wilayah ASEAN maka negara-negara tersebut turut serta membantu untuk menanggulanginya.
7.Simpulan.
1. Pengaturan Pencemaran Udara Yang Lintas Batas Akibat Kebakaran Hutan Menurut Hukum Internasional
dan Hukum Nasional Di
Indonesia.Kebijakan lingkungan global-internasional terdapat dalam kesepakatan-kesepakatan internasional mengenai lingkungan, baik yang sifatnya multilateral maupun bilateral. Kesepakatan internasional ini dapat berbentuk deklarasi, konvensi, agenda, dan atau perjanjian internasional di bidang lingkungan
2. PertanggungJawaban Negara Dalam Mengatasi Pencemaran Udara yang Melintas Batas Akibat Dari Kebakaran Hutan dalam perkembangan hukum internasional, terhadap masalah kebakaran hutan, kewajiban negara
pertanggungjawaban terhadap lingkungan.
3. Pencemaran lintas batas akibat kebakaran hutan yang terjadi di indonesia untuk saat ini memang belum menimbulkan sengketa antara negara-negara ASEAN , namun Indonesia bertanggungjawab terhadap kebakaran hutan yang terjadi di dalam wilayah yuridiksinya, karena tanggungjawab negara dalam hukum Internasional adalah untuk mencegah terjadinya sengketa antar negara, disamping juga bertujuan memberika perlindungan hukum dan prinsip tanggungjawab negara merupakan salah satu prinsip yang penting dalam hukum Internasional, peristiwa kebakaran hutan di indonesia merupakan perwujudan prinsip tanggungjawab negara dalam ASEAN Agreement on the Conservation of Nature and Natural Resourse.
8.Saran
1. Sejauh ini upaya – upaya penanggulangan masalah asap hanya ada jika peristiwa kebakaran hutan sudah terjadi, dimana yang seharusnya dilakukan oleh pemerintah adalah memperkuat penerapan tentang pencegahan terjadinya kebakaran
hutan dan lahan guna
menghindari kerusakan
lingkungan dan pencemaran asap yang parah.
2. Pemerintah harus lebih selektif dalam penerbitan izin ekplorasi dan ekspoitasi hutan, serta melakukan pengawasan dan kontrol secara berkelanjutan terhadap perusahan – perusahan yang memiliki izin.
3. Pemerintah harus benar – benar serius dalam menerapkan peraturan perundang – undangan yang berlaku. Apabila ada pelanggaran tidak segan untuk menindak.
9.Daftar rujukan
A. BUKU
Bambang Purbowaseso,Pengendalian
Kebakaran Hutan,Rineka
Cipta,Jakarta, 2004
Daud Silalahi, Hukum Lingkungan Dalam Sistem Penegakan Hukum Lingkungan Indonesia, Bandung: Alumni, 1992
Gatot P. Soemartono, Hukum
Lingkungan Indonesia, Sinar
Grafika, Jakarta, 2004
Koesnadi Hardjasoemantri,Hukum Perlindungan Lingkungan,Gadjah Mada
Universty,1991,Yogyakarta.
Hukum Tata Lingkungan, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2000
Muhammad Akib, Hukum Lingkungan Perspektif Global dan Nasional, Jakarta,Pt RajaGrafindo Persada, 2014
M. Daud Silalahi,Hukum
Lingkungan,PT. Alumni,Jl,Bukit Pakar Timur Bandung,2001 Niniek Suparni, Pelestarian
Pengelolaan dan Penegakkan
Hukum Lingkungan, Sinar
Grafika, Jakarta, 1994 Siti Sundari Rangkuti,
Suparto Wijoyo, Hukum Lingkungan:
Mengenal Instrumen Hukum
PengendalianPencemaran Udara di Indonesia, Surabaya, Airlangga University Press, 2004
Supriadi,Hukum Lingkungan di Indonesia,Sinar Grafika,Jl. Sawo Raya No 18,2006,Jakarta
Tresna sastrawijaya, Pencemaran Lingkungan,Rineka
Cipta,Jakarta,2009
Zainuddin Ali, Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2010
B. PENGATURAN
PERUNDANG-UNDANGAN
Undang-undang pencegahan dan
pemberantasan perusakan hutan
(P3H),Sinar grafika,jakarta,2013 Undang-Undang Lingkungan Hidup
No. 32 Tahun 2009 Konferensi Rio Tahun 1992 Deklarasi Stockholm 1972
The 1997 ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution (AATHP)
C. SUMBER LAIN
Ariana Alisjahbana and Andhyta Utami, diakses pada tanggal 03
September 2014, lihat
:http://www.wri.org/blog/2014/03 / kebakaran-hutan-di-indonesia- mencapai-tingkat-tertinggi-sejak-kondisi-darurat-kabut
Kasus pembakaran hutan di Riau meningkat dibanding tahun 2013 http://www.tribunnews.com/nasio nal/2014/03/11/
Pelaku Pembakaran Hutan di Jambi di Tahan,
http://www.harianterbit.com/read/ 2014/10/04/9284/0/20/13/
Emil Salim, Menjelang Johannesburg, http://www.kompas.com/kompas-cetak/0208/19/opini/menj36.htm Kementrian Negara Lingkungan Hidup, “Prinsip-prinsip Kehutanan (Rio de Janeiro, 1992)”, http://www.menlh.go.id
Departemen Kehutanan, “Milestone: Kehutanan Dalam Forum Global”, http://www.dephut.go.id/informasi/um um/kln/milestone