• Tidak ada hasil yang ditemukan

KAJIAN TERJEMAHAN UJARAN YANG MENGANDUNG IMPLIKATUR PADA NOVEL THE DA VINCI CODE. Sebuah Tinjauan Pragmatik pada Penerjemahan TESIS

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KAJIAN TERJEMAHAN UJARAN YANG MENGANDUNG IMPLIKATUR PADA NOVEL THE DA VINCI CODE. Sebuah Tinjauan Pragmatik pada Penerjemahan TESIS"

Copied!
228
0
0

Teks penuh

(1)

commit to user

KAJIAN TERJEMAHAN UJARAN YANG

MENGANDUNG IMPLIKATUR PADA NOVEL THE DA VINCI CODE

Sebuah Tinjauan Pragmatik pada Penerjemahan

TESIS

Untuk Memenuhi sebagian Persyaratan untuk Mencapai Derajat Magister Program Studi Linguistik Minat Utama Penerjemahan

Diajukan oleh :

Sumardiono

S130907007

PROGRAM PASCA SARJANA

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA

(2)

commit to user

ii

KAJIAN TERJEMAHAN UJARAN YANG

MENGANDUNG IMPLIKATUR PADA NOVEL THE DA VINCI CODE

Sebuah Tinjauan Pragmatik pada Penerjemahan

Disusun oleh: Sumardiono S130907007

Telah Disetujui oleh Tim Pembimbing Pada tanggal : _______________________

Pembimbing I Pembimbing II

Prof. Drs. M.R Nababan,M.Ed.,M.A.,Ph.D. Prof. Dr. M. Sri Samiati Tarjana NIP. 19630328 199201 1 001 NIP. 19440602 196511 2 001

Mengetahui

Ketua Program Studi Linguistik

Prof. Drs. M.R Nababan,M.Ed.,M.A.,Ph.D. NIP. 19630328 199201 1 001

(3)

commit to user

iii

KAJIAN TERJEMAHAN UJARAN YANG

MENGANDUNG IMPLIKATUR PADA NOVEL THE DA VINCI CODE Sebuah Tinjauan Pragmatik pada Penerjemahan

Oleh: Sumardiono S130907007

Telah Disetujui dan Disahkan oleh Tim Penguji Pada tanggal : 22 Juli 2011

Jabatan Nama Tanda Tangan

Ketua Prof. Dr. Djatmika, M.A. ……… Sekretaris Dr. Tri Wiratno, M.A. ..………..

Anggota Penguji :

1. Prof. Drs. MR Nababan,M.Ed.,M.A.,Ph.D. ……… 2. Prof. Dr. M Sri Samiati Tarjana ………

Surakarta, 22 Juli 2011

Mengetahui

Direktur PPs UNS Ketua Program Studi Linguistik

Prof. Drs. Suranto,M.Sc.,Ph.D. Prof. Drs. MR Nababan,M.Ed.,M.A.,Ph.D. NIP. 19570820 198503 1 004 NIP. 19630328 199201 1 001

(4)

commit to user

iv

PERNYATAAN

Yang bertanda tangan di bawah ini, saya Nama : Sumardiono

NIM : S130907007

menyatakan dengan sesungguhnya, bahwa tesis berjudul KAJIAN TERJEMAHAN UJARAN YANG MENGANDUNG IMPLIKATUR PADA NOVEL THE DA VINCI CODE (Sebuah Tinjauan Pragmatik pada Terjemahan) adalah benar-benar karya saya sendiri. Hal-hal yang bukan karya saya dalam tesis tersebut diberi tanda citasi dan ditunjukkan dalam daftar pustaka.

Apabila di kemudian hari terbukti pernyataan saya tidak benar, maka saya bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan tesis dan gelar yang saya peroleh dari tesis tersebut.

Surakarta, Juli 2011 Yang membuat pernyataan,

(5)

commit to user

v

Bahasa telah menjadikan terang peradaban manusia.

Mengabarkan kisah, pengetahuan dan cinta dari generasi ke

generasi.

(6)

commit to user

vi

PERSEMBAHAN

Untuk yang berkhidmad pada linguistik, penerjemahan dan

pragmatik

(7)

commit to user

vii

KATA PENGANTAR

Tesis ini adalah hasil kerja keras dan penantian yang panjang. Tanpa dukungan moral dan sokongan semua pihak, mustahil tesis ini bisa tersaji seperti saat ini. Penulis mengapresiasi setiap dukungan dan sokongan dari semua pihak dan mengucapkan terimaksih yang tulus kepada:

1. Direktur Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberi kesempatan kepada penulis untuk belajar di Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret,

2. Ketua dan sekretaris Program Studi Linguistik Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberi kesempatan kepada penulis untuk menimba ilmu dan mewujudkan cita-cita di Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret,

3. Prof. Drs. MR Nababan, M.Ed., M.A., Ph.D., sebagai dosen pembimbing I yang telah membimbing, memberi pencerahan dan yang telah membuat penulis tertarik menggeluti dunia penerjemahan.

4. Prof. Dr. Sri Samiati Tarjana, M.A., sebagai dosen pembimbing II yang telah membagi ilmunya, menuntun dengan sabar dan memberi inspirasi tentang menariknya bidang pragmatik.

5. Prof. Dr. Drs. Joko Nurkamto, MPd, selaku kepala UPT P2B UNS dan Ibu Fitria Akmerti, S.S, M.A. yang telah memberi kesempatan kepada penulis untuk beraktualisasi diri dan mendorong untuk segera menyelesaikan tesis ini.

(8)

commit to user

viii

6. Drs. Sutoyo, M.Pd. dan Dra Sri Hartini, M.Pd., selaku pimpinan FKIP UNISRI yang telah memberi banyak kesempatan dan mendorong penulis untuk segera menyelesaikan tesis ini.

7. Sri Handayani S. Pd, M. Hum. dan Ulupi Sitoresmi, S.S selaku pimpinan PBI FKIP UNISRI yang telah berbagi semangat dan saling mengingatkan akan tugas akademik kami untuk segera menyelesaikan studi.

8. Teman-teman UPTP2B dan SAC yang telah memberi semangat sepanjang penulisan tesis ini: Mbak Nunung, Mbak Novi, Mbak Kartini, Beta, Maya yang telah meluangkan waktu berbagi suka dan duka.

9. Keluarga penulis, Bapak, Ibu, kakak, adik yang telah lama menanti mendengar kabar kapan penulis lulus dari S2.

10. Teman-teman PBI FKIP UNISRI: Pak Setya yang telah menjadi model untuk bagaimana menjalani hidup, Bu Fenti, Pak Yudis, Bu Evi, Bu Dewi, Pak Lukman, Bu Ayu, Bu Riyani, untuk semua dukungan dan semangat yang telah kita bagi bersama.

11. Ardianna Nuraini dan Umi Pujiyanti Beta dan Bayu untuk semua diskusi yang menggairahkan tentang penerjemahan dan pragmatik.

12. Teman-teman S2: Umi, Devi, Budiarti, Pak Anshori, Pak Zainal, Maya, Mbak Nuning, Ninuk, dan Mbak Maria atas waktu yang telah kita lalui bersama di S2 Pasca Sarjana UNS.

13. Semua teman dan sahabat yang penulis kenal dan telah memberi kontribusi baik langsung maupun tak langsung pada penulisan tesis ini.

(9)

commit to user

ix

Penulis berharap penelitian ini akan memberi manfaat pada rekan-rekan yang menggeluti bidang penerjemahan dan pragmatik. Penulis juga mengharapkan masukan dan kritikan yang membangun.

Surakarta, Juli 2011

(10)

commit to user x DAFTAR ISI PERSETUJUAN …………...………...….. ….. PENGESAHAN ………...……… PERNYATAAN …………...………...……… MOTTO ………….………... PERSEMBAHAN …...……… KATA PENGANTAR ………...………….. DAFTAR ISI ………...………...………. DAFTAR TABEL……… DAFTAR DIAGRAM……….. DAFTAR LAMPIRAN ………...……… ABSTRAK ………..………...………...……….. ABSTRACT ………..………... ii iii iv v vi vii x xiii xiv xv xvi xvii BAB I: PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ………..……… B. Rumusan Masalah………. C. Tujuan Penelitian………...……… D. Manfaat Penelitian……...……….. 1 8 8 9 BAB II: KAJIAN TEORI DAN KERANGKA PIKIR

A. Kajian teori………….. ………... 1. Penerjemahan………..……….... a. Pengertian Penerjemahan...….……….... b. Proses Penerjemahan….………. c. Teknik Penerjemahan…………...……… d. Kualitas Penerjemahan…………...…..……… 2. Pragmatik…..………..……… 3. Cakupan Pragmatik………...….………. 11 11 11 13 18 26 27 29

(11)

commit to user

xi

a. Deiksis…...…………..….……...……… b. Tindak Tutur (Speech Act).….………..……. c. Pressuposition ………...……...…..……… d. Implikatur Percakapan………...………. e. Prinsip Kerjasama dan Prinsip Kesantunan....……… 4. Pragmatik dan Penerjemahan....…...……...……….. 5. Implikatur dan Penerjemahan....………. 6. Penerjemahan dan Budaya ...………. 7. Sekilas novel The Da Vinci Code.……….. 8. Penelitian Sejenis...………... B. Kerangka Pikir …………...……….... 29 31 34 35 38 45 47 48 52 54 55

BAB III: METODOLOGI PENELITIAN

A. Sasaran Penelitian…… ……..……….. B. Bentuk dan Strategi Penelitian……….………. C. Sumber Data…..…...……….. D. Teknik Pengumpulan Data …..……….. E. Validitas Data ………..……….. F. Teknik Cuplikan...……….. G. Teknik Analisis Data ……..………...……… H. Prosedur Penelitian ….………. 57 58 60 62 65 67 68 70

BAB IV: HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian…… ……..………... B. Pembahasan………...…..………...

71 175

BAB V: SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan………… ……..………... … B. Saran…………...………...…..……….

208 210

(12)

commit to user xii DAFTAR PUSTAKA ………...……… LAMPIRAN ...………...……… 212 215

(13)

commit to user

xiii

DAFTAR TABEL

Tabel 1: Teknik Penerjemahan .………..130 Tabel 2: Implikatur dan Ilokusi Tidak Langsungnya………...178 Tabel 3: Implikatur dan Maksim-Maksim yang Terlibat……….181 Tabel 4: Teknik Penerjemahan dan Pergeseran daya Pragmatis ..…..……...195 Tabel 5: Keakuratan dan Teknik penerjemahan yang Diterapkan .………….199 Tabel 6: Keberterimaan dan Teknik penerjemahan yang Diterapkan .…...….203 Tabel 7: Jenis Implikatur, Teknik Penerjemahan, Pergeseran Daya Pragmatis

(14)

commit to user

xiv

DAFTAR DIAGRAM

Diagram 1: Proses penerjemahan menurut Larson ………....… 14 Diagram 2: Proses Penerjemahan menurut Suryawinata dan Hariyanto………. 16 Diagram 3: Kerangka Pikir………...55

(15)

commit to user

xv

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1: Data Penelitian

Lampiran 2: Kuesioner Tingkat Keakuratan dan Keberterimaan Rater 1 Lampiran 3: Kuesioner Tingkat Keakuratan dan Keberterimaan Rater 2

(16)

commit to user

xvi

ABSTRAK

Sumardiono. S130907007. 2011. KAJIAN TERJEMAHAN UJARAN YANG MENGANDUNG IMPLIKATUR PADA NOVEL THE DA VINCI CODE Sebuah Tinjauan Pragmatik pada Penerjemahan. Tesis. Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Penelitian ini bertujuan untuk mendiskripsikan bagaimana ujaran yang mengandung implikatur pada novel The Da Vinci Code diterjemahkan. Penelitian difokuskan pada jenis-jenis implikatur yang terkandung dalam ujaran pada novel The Da

Vinci Code, teknik-teknik yang diterapkan dan bagaimana pola pergeseran daya

pragmatisnya pada teks bahasa sasaran serta tingkat keakuratan dan keberterimaan terjemahan ujaran yang mengandung implikatur.

Metode penelitian yang diterapkan dalam penelitian ini adalah kualitatif deskriptif. Data diperoleh dengan menggunakan beberapa metode, yaitu metode catat simak, kuesioner dari para informan, serta wawancara dengan mereka. Penelitian ini merupakan studi kasus tunggal. Sumber data diperoleh dari novel The Da Vinci Code karya Dan Brown dan terjemahannya oleh Isma B. Koesalamwardi. Penelitian penerjemahan ini berorientasi pada produk.

Hasil penelitian ini menunjukan ada empat jenis implikatur berdasarkan ilokusi tak langsung yang ditimbulkannya; asertif, direktif, komisif dan ekspresif. Implikatur yang ditemukan pada penelitian ini berkecenderungan merupakan ujaran yang memanfaatkan maksim-maksim dari prinsip kerjasama (PK) dan maksim-maksim dari prinsip kesantunan (PS). Sebagian besar tidak terjadi pergeseran daya pragmatis pada ujaran terjemahan, sebagian mengalami pergeseran daya pragmatis. Ada 13 teknik yang digunakan penerjemah. Sebagian besar teknik yang diterapkan tidak mengubah daya pragmatis ujaran sementara beberapa teknik mengakibatkan pergeseran pragmatis. Tingkat keakuratan terjemahan bernilai rerata 2,86 sedangkan tingkat keberterimaan terjemahan bernilai rerata 2,85.

Peneliti menyimpulkan bahwa terjadi pergeseran daya pragmatik pada sebagian terjemahan ujaran yang mengandung implikatur. Pergeseran daya pragmatik terjadi karena teknik penambahan, penghapusan dan eksplisitasi yang diterapkan pada ujaran. Tingkat keakuratan dan keberterimaan terjemahan ujaran juga dipengaruhi oleh teknik-teknik yang diterapkan penerjemah.

Kata kunci: implikatur, teknik penerjemahan, keakuratan, keberterimaan, pergeseran daya pragmatis, maksim, prinsip kerjasama, prinsip kesantunan

(17)

commit to user

xvii

ABSTRACT

Sumardiono. S130907007. 2011. A TRANSLATION STUDY ON

UTTERANCES WITH IMPLICATURE IN THE DA VINCI CODE (A NOVEL)

A Pragmatic Review on Translation. Thesis. Postgraduate Program of Sebelas Maret University Surakarta.

This research aims at describing how utterances with implicature in The Da Vinci

Code (a novel) are translated. The research focused on the types of implicature of the

utterances, the techniques applied and the shift pattern of the pragmatic force of the target text as well as the accuracy and acceptability of the translation.

The method applied in this research was descriptive qualitative. The data were obtained by some methods, namely content analysis, questionnaire, and interview. The research is a single case study. The source of data was The Da Vinci Code (a novel) by Dan Brown and its translation by Isma B. Koesalamwardi. This translation research is product oriented.

The finding shows that there are four types of implicature, namely assertive, directive, commisive and expressive. The implicatures found in this research are mostly utterances utilizing the maxims of cooperative principles and those of politeness principles. Most of the translations do not have pragmatic shifts but some do. There are 13 translation techniques applied by the translator most of which do not shift the pragmatic force and some of them do. The accuracy rate of the translation is 2.86 and the acceptability rate is 2.85.

The conclusion states that some of the translations shift the pragmatic force. It is affected by the application of addition, deletion and explicitation. The accuracy and the acceptability are also affected by the application of the technique .

Key words: implicature, translation technique, accuracy, acceptability, pragmatic shift, maxim, cooperative principles, politeness principles.

(18)

commit to user

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Penerjemahan secara definisi merupakan proses pengalihan pesan dari satu kode ke kode lain. Penerjemahan dengan demikian melibatkan dua kode sekaligus. Keterlibatan dua kode dengan peran mengalihkan pesan mengandung konsekwensi bahwa penerjemahan berfungsi menjembatani dua sistem yang berbeda, baik sistem gramatika dalam ranah linguistik maupun sistem kultural di luar ranah linguistik. Dua kode dengan dua sistem yang berbeda ini dihubungkan oleh apa yang dinamakan unsur dalam atau deep structure yang kemudian dipindahkan ke bentuk kode lain yang terealisasikan lewat struktur permukaan atau surface structure.

Proses penerjemahan, diawali dengan kegiatan menangkap unsur dalam sebuah teks lewat pemahaman leksis, gramatika dan teks bahasa sumber. Tahap berikutnya, lewat sistem leksis, gramatika dan teks bahasa sasaran, pesan atau struktur dalam direalisasikan dalam bentuk kata, frasa, klausa, kalimat dan teks bahasa sasaran. Penerjemah berusaha memahami maksud penutur/penulis asli yang memproduksi teks bahasa sumber yang ditujukan untuk pembaca bahasa sumber, kemudian dia menciptakan kembali teks dengan bahasa sasaran untuk pembaca bahasa sasaran (Farwell dan Heimrich, 2007:l2).

Yang terjadi pada proses penerjemahan pada dasarnya adalah pengalihan pesan. Dalam proses pengalihan pesan atau makna ini diperlukan

(19)

perangkat-commit to user

perangkat untuk memahami makna yang terkandung dalam teks bahasa sumber. Karena itu, sebagai ilmu terapan, penerjemahan memerlukan disiplin ilmu lain untuk membantu memahami makna teks bahasa sumber. Disiplin ilmu yang terlibat dalam proses pemahaman ini meliputi linguistik sebagai penjelas proses-proses bahasa pada tataran morfologis, sintaksis maupun discourse. Linguistik merupakan disiplin yang menjembatani pemahaman teks bahasa sumber dan teks bahasa sasaran.

Linguistik berperan untuk mengetahui konfigurasi morfologis, sintaksis dan teks dalam membentuk sebuah makna. Pembentukan makna leksikal sebuah kata harus dipahami lewat susunan morfologisnya. Dalam bahasa Inggris, misalnya, akhiran –s atau –es diberikan pada kata benda untuk membentuk makna jamak/plural. Dari sini, seorang penerjemah memahami makna leksikal sebuah kata pada tataran morfologis dalam bahasa Inggris bahwa sebuah kata bermakna jamak apabila kata itu mengalami sufiksasi sibilant –s atau –es. Selanjutnya penerjemah merealisasikan bentuk jamak itu ke dalam kode kedua dengan memahami bagaimana, dalam bahasa sasaran, makna jamak direalisasikan. Pada tataran sintaksis, penerjemah misalnya memahami bahwa bentuk pasif dalam bahasa Inggris direalisasikan lewat subyek penderita yang diikuti bentuk to be dan diakhiri kata kerja dalam bentuk past participle. Setelah memahami bahwa bentuk ini bermakna pasif dalam bahasa Inggris, dia akan merealisasikannya dalam bahasa sasaran, misalnya bahasa Indonesia, dengan memahami bagaimana makna pasif dalam bahasa Indonesia direalisasikan. Dalam bahasa Indonesia, makna

(20)

commit to user

pasif direalisasikan lewat subjek penderita diikuti kata kerja yang mendapatkan awalan di-.

Tentu saja tidak hanya linguistik secara umum yang diperlukan untuk memahami teks bahasa sumber. Masih ada bidang linguistik lain yang bermanfaat untuk itu. Ketika seorang penerjemah berhadapan dengan sebuah kata yang tidak mempunyai padanan langsungnya dalam bahasa sasaran, dia membutuhkan semantik untuk membuat padanan pada tataran yang berbeda. Tataran kata-perkata tentu saja terlalu sederhana untuk diterapkan dalam praktek penerjemahan. Kata ‘stallion’ misalnya tidak bisa ditemukan padanan kata-perkatanya dalam bahasa Indonesia. Untuk menerjemahkannya secara akurat, karena tidak ada padanan perkatanya, kita membutuhkan semantik agar padanannya tepat. Kata ‘stallion’ mempunyai super ordinat ‘horse’ dengan beberapa komponen makna tambahan. ‘Stallion’ tidak hanya ‘horse’, tapi ia juga mengandung makna ’male’. Dengan bantuan semantik, kita kemudian bisa mendapatkan padanan kata ‘stallion’, yaitu ‘kuda jantan’.

Tentu saja dalam proses penerjemahan, pemahaman makna secara tekstual saja tidak cukup karena makna timbul tidak pada kata, frasa, atau kalimat tersebut secara mandiri. Makna muncul karena gesekan antara kata, frasa, atau kalimat dengan konteks di mana kata, frasa, atau kalimat itu muncul. Teks hanya dapat didekati melalui sebuah interpretasi (Farwell dan Heimrich, 2007:l2). Sebuah kegiatan memahami teks yang melibatkan sesuatu yang di luar teks itu sendiri, yaitu konteks.

(21)

commit to user

Konteks diperlukan untuk menginterpretasikan ujaran atau kalimat bahasa sumber dan kemudian memproduksi ujaran atau kalimat bahasa target. Konteks juga bermanfaat untuk menghindari ketaksaan kalimat bahasa sumber. Tanpa konteks yang jelas, sebuah kalimat bisa bermakna ganda. Konteks meliputi dua hal; konteks situasi dan konteks budaya. Konteks situasi meliputi siapa pembicara, siapa yang diajak bicara dan dalam situasi atau tempat seperti apa ujaran itu muncul. Kalimat atau ujaran yang sama bisa mempunyai makna yang berbeda bila diucapkan di tempat yang berbeda. Kalimat “Ada bis!” akan memiliki arti “Kita bisa segera pulang.” bila muncul di sebuah halte bis dengan orang-orang yang sudah lama menunggu untuk segera pulang dari tempat kerja atau kuliah. Tapi kalimat tersebut menjadi bermakna “Awas minggir!” apabila ujaran diucapkan ketika ada bis mau lewat sementara ada anak-anak yang sedang bermain sepak bola di tengah jalan.

Bahasa tidak hanya digunakan untuk menggambarkan realitas atau kejadian tapi juga digunakan untuk menggambarkan situasi mental serta nilai-nilai kultural yang terlibat dalam proses komunikasi (Farwell and Heimrich, 2007:l). Oleh sebab itu, pemahaman seorang penerjemah tentang budaya bahasa sumber adalah mutlak. Konteks budaya meliputi nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat, keyakinan-keyakinan, serta sejarah yang membentuk perilaku kolektif sebuah masyarakat.

Peran pragmatik, dengan begitu, tidak bisa diabaikan begitu saja. Menerjemahkan tanpa memperhatikan aspek pragmatik sebuah ucapan bisa berakibat fatal. Bahkan menurut pendekatan penerjemahan berbasis pragmatik,

(22)

commit to user

sebuah teks tidak mengandung makna dengan sendirinya. Teks diproduksi karena penulis atau pembicara menginginkan sebuah maksud (Farwell dan Heimrich, 2007:l). Artinya, sebuah teks lahir karena kebutuhan si penutur untuk mengungkapkan sesuatu sebagai reaksi atas peristiwa atau keadaan di dalam atau di luar dirinya.

Berikut sebuah contoh kasus penerjemahan yang memerlukan telaah pragmatik untuk mendapatkan makna yang lebih akurat. Ujaran berikut diambil dari novel The Da Vinci Code dan terjemahannya.

(01) “I hope I have not awoken you?"

(02) “Semoga saya tidak membangunkan anda”

Secara sekilas terjemahan di atas tampak sudah akurat. Pesan teks bahasa sumber (01) nampak sudah tersampaikan dengan baik pada teks bahasa sasaran (02). Ujaran (02) nampak sudah memenuhi kaidah gramatika bahasa Indonesia dengan pilihan leksis yang bagus. Secara sekilas pula pembaca akan percaya dengan terjemahan ini. Tapi, mari kita telaah konteks ujaran di atas. Ujaran (01) diucapkan di pesawat telpon oleh seorang petugas hotel kepada salah seorang tamunya di tengah malam. Landon, si penerima telpon baru saja bangun karena mendengar dering telpon.

Di sini, kita melihat bahwa ungkapan I hope yang diikuti bentuk present perfect bukanlah sebuah ungkapan harapan. Dalam bahasa Inggris, ini disebut bentuk present impossible yang digunakan untuk menyatakan penyesalan. Dari

(23)

commit to user

sisi pragmatik, ujaran (01) jelas melanggar maxim of relevance karena ujaran (01) jelas tidak relevan dengan konteks situasi bahwa si penelepon sudah membangunkan Landon, si penerima telepon. Apabila sebuah ujaran melanggar salah satu maksim maka kita bisa berasumsi bahwa ujaran itu mengandung implikatur. Dari analisis pragmatik, kita bisa menyimpulkan bahwa ujaran (01) adalah bentuk penyesalan si penutur karena telah membangunkan Landon, sehingga bentuk terjemahan yang tepat mestinya sebagai berikut:

(03) “Maaf, telah membangunkan Anda”.

Berikut ini contoh lain bagaimana penerjemah memanfaatkan pragmatik ke dalam proses penerjemahan untuk memperjelas pesan dalam bahasa sasaran yang diambil dari novel The Da Vinci Code.

BSU “Do all the drivers wear Rolex?” the agent asked, pointing to Vernet’s wrist.

Vernet glanced down and saw the the glistening band of his absurdly expensive watch peeking out from beneath the sleeve of his jacket. Merde. “This piece of shit? Bought it for twenty euro

from a Taiwanese street vendor in St Germain des Pres. I’ll sell it to you for forty.”

BSA “Apa semua pengemudi memakai Rplex?” Tanya agen itu sambil menunjuk pergelangan tangan Vernet.

Vernet melihat ke bawah dan melihat tali jam yang berkilauan dari jam tangannya yang sangat mahal itu. Silan. “Jam murahan ini?

Akumembelinya seharga dua puluh euro dari seorang pedagang kaki lima Taiwan di St. Germain des Pres. Aku mau menjualnya empat puluh euro. Berminat?”

(24)

commit to user

Konteks situasi menunjukan Vernet, presiden bank penyimpanan Zurich berusaha mengeluarkan Langdon dan Sophie keluar dari gedung bank. Dia menyamar sebagai supir truk pengangkut barang. Sayang penyamarannya nyaris terungkap ketika Collet seorang agen yang menghadangnya mengetahuinya memakai jam tangan Rolex. Untungnya, Vernet bisa meyakinkan kalau itu adalah Rolex palsu.

(04) “I’ll sell it to you for forty.”

(05) “Aku mau menjualnya empat puluh euro. Berminat?”

Pernyataan Vernet dalam teks bahasa Inggris (04) mengandung ilokusi tak langsung menawarkan. Pada teks bahasa sumber pesan ini terekam secara implisit. Oleh penerjemah, pernyataan Vernet ini diterjemahkan menjadi (05). Ilokusi tak langsung menawarkan dieksplisitkan menjadi ilokusi langsung menawarkan dalam kalimat “Berminat?”

Tampak di sini penerjemah memanfaatkan pragmatik untuk memperjelas pesan yang ada dalam teks bahasa sumber; dari pesan implisit menjadi eksplisit. Pesan yang tersampaikan lewat impikatur menjadi eksplikatur. Contoh di atas memberi kita sebuah kesimpulan betapa pendekatan pragmatik sangat diperlukan ketika seseorang menerjemahkan, terutama apabila teks itu berupa teks percakapan dengan konteks situasi dan konteks kultural tertentu.

(25)

commit to user

B. Rumusan Masalah

Dalam penelitian ini, penulis akan mengkaji beberapa permasalahan yang dirumuskan sebagai berikut:

1. Apa jenis-jenis implikatur yang terkandung dalam ujaran yang mengandung implikatur pada teks bahasa sumber?

2. Bagaimana pola pergeseran daya pragmatis pada terjemahan ujaran yang mengandung implikatur?

3. Teknik penerjemahan apa yang diterapkan dan bagaimana pergeseran daya pragmatis yang diakibatkannya?

4. Bagaimana tingkat keakuratan dan keberterimaan terjemahan ujaran dalam kaitannya dengan teknik yang diterapkan?

C. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui jenis-jenis implikatur yang terkandung dalam ujaran teks bahasa sumber

2. Untuk mengetahui bagaimana pola pergeseran daya pragmatis pada terjemahan ujaran yang mengandung implikatur.

3. Untuk mengetahui teknik penerjemahan yang diterapkan dan bagaimana pergeseran daya pragmatis yang diakibatkannya.

4. Untuk mengetahui bagaimana tingkat keakuratan dan keberterimaan terjemahan ujaran dalam kaitannya dengan teknik yang diterapkan.

(26)

commit to user

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoretis

Dalam penelitian ini peneliti berusaha menerapkan pendekatan pragmatik untuk menganalisis sebuah terjemahan, dalam hal ini terjemahan ujaran yang mengandung implikatur. Peneliti juga mencoba menjelaskan teknik-teknik yang diterapkan oleh penerjemah dan pengaruhnya pada pergeseran daya pragmatis dan tingkat keakuratan serta keberterimaan terjemahan.

Penelitian ini diharapkan akan memberi gambaran bagaimana pendekatan pragmatik bisa dipakai dalam mengkaji terjemahan. Pemanfaatan maksim-maksim, baik maksim-maksim prinsip kooperatif maupun prinsip kesantunan untuk menelaah makna tersembunyi sebuah ujaran, akan sangat bermanfaat untuk menilai kualitas penerjemahan, terutama terjemahan untuk teks yang berupa karya fiksi, misalnya novel atau cerita pendek.

2. Manfaat Praktis

Penerjemah membutuhkan banyak kompetensi, termasuk dalam hal ini kompetensi linguistik. Penelitian ini diharapkan bisa menjadi bahan acuan para penerjemah untuk bisa memanfaatkan pragmatik agar hasil terjemahannya lebih akurat. Pragmatik meninjau makna tidak saja pada tataran leksikal mauupun gramatikal, pragmatik meninjau makna setelah kalimat/ujaran dikaitkan dengan konteks, bauk konteks situasi maupun konteks kultural. Oleh karena itu, seorang penerjemah dituntut untuk memiliki pengetahuan pragmatik yang cukup untuk bisa menyampaikan makna pada tataran yang lebih dalam. Dengan kata lain pemahaman pragmatik akan

(27)

commit to user

membuat seorang penerjemah mampu melihat makna yang tersembunyi dari sebuah kalimat/ujaran, makna yang tidak diucapkan tapi dikomunikasikan.

(28)

commit to user

BAB II

KAJIAN TEORI DAN KERANGKA PIKIR

B. Kajian Teori

Penelitian ini membahas bagaimana ujaran yang mengandung implikatur diterjemahkan, teknik-teknik apa yang diterapkan penerjemah serta bagaimana pengaruhnya pada pergeseran daya pragmatis ujaran teks bahasa sumber serta tingkat keakuratan dan keberterimaan. Oleh karena itu pada bab II ini akan dibahas aspek-aspek teoretis yang akan mendukung analisis pada penelitian ini. Teori-teori yang akan dibahas meliputi teori-teori penerjemahan, antara lain; (1) pengertian perjemahan; (2) proses penerjemahan; (3) teknik penerjemahan, serta teori-teori pragmatik yang meliputi (1) pragmatik, dan (2) cakupan pragmatik, penerjemahan dan pragmatik, implikatur dan penerjemahan serta penerjemahan dan budaya.

1. Penerjemahan

a. Pengertian Penerjemahan

Meskipun secara garis besar mirip, setiap pakar penerjemahan mempunyai definisinya sendiri tentang penerjemahan. Pada bagian ini akan dibahas pengertian penerjemahan dari berbagai pakar serta persamaan dan perbedaan di antara mereka.

(29)

commit to user

Larson mengatakan bahwa penerjemahan pada dasarnya adalah perubahan bentuk (Larson, 1984:2). Larson sangat menekankan perbedaan antara bentuk dan makna dalam proses penerjemahan. Bentuk bahasa yang terealisasikan melalui kata, frasa, klausa dan kalimat adalah struktur permukaan (surface structure) sementara makna atau pesan adalah struktur dalam (deep structure). Proses penerjemahan pada dasarnya adalah perubahan bentuk bahasa sumber ke bentuk bahasa sasaran. Dalam proses penerjemahan yang terjadi adalah transfer makna. Maknalah yang tetap konstan sedang bentuk berubah karena tiap bahasa punya cara yang berbeda dalam mengemas makna. Jadi jelaslah kiranya bahwa kesamaan bentuk dan makna yang sepenuhnya sejajar sulit dijumpai dalam penerjemahan. (Machali, 2000:144)

Baker dengan teori kesepadanannya menyatakan bahwa tidak ada korespondensi satu-satu antara kata dan makna antar dua bahasa (Baker, 1992:11). Ini mengandung konsekuensi bahwa kesepadanan tidak selalu bisa tercapai secara linear. Apa yang disampaikan dalam suatu bahasa dengan kata mungkin perlu disampaikan dalam bentuk frasa atau bahkan klausa dalam bahasa lain. Baker menyusun kesepadanan dari tataran kata sampai tataran teks, Bahkan menurutnya, kesepadanan perlu dicapai pada tataran yang lebih tinggi dari itu, yaitu tataran pragmatik.

Sementara itu Catford menyatakan bahwa penerjemahan adalah penggantian materi teks dari suatu bahasa (bahasa sumber) dengan padanannya dalam bahasa lain (bahasa target) (Catford, 1965:20). Dapat disimpulkan bahwa Catford memahami penerjemahan sebagai proses pencarian padanan teks bahasa

(30)

commit to user

sumber untuk ditempatkan sebagai teks bahasa sasaran. Pendapat ini sedikit banyak mirip dengan pandangan Baker.

Dari tiga pakar penerjemahan di atas, tampak ada benang merah yang menghubungkan ketiganya tentang penerjemahan. Ketiga pakar melibatkan dua hal penting yaitu bahasa sumber dan bahasa sasaran yang dihubungkan oleh makna atau pesan.

Dapat pula disimpulkan, dari penjelasan di atas, bahwa penerjemahan bukanlah sekedar mengalihkan bentuk bahasa sumber ke dalam bahasa sasaran. Ada sesuatu yang lebih substansial yang mesti dipertahankan, yaitu pesan, makna atau gagasan dari teks bahasa sumber.

Dari sini kita kemudian menyadari langkah-langkah apa saja yang perlu dilakukan penerjemah ketika ia melakukan kegiatan penerjemahan

b. Proses Penerjemahan

Kata terjemahan bisa mengacu pada dua hal. Yang pertama adalah produk, sementara yang kedua adalah proses atau tindakan menerjemahkan (Munday, 2001:5). Menurut T. Bell (1991) terjemahan/translation merupakan konsep abstrak yang meliputi baik proses penerjemahan maupun hasil dari proses tersebut. Penerjemahan adalah proses rumit yang menuntut ketelitian dan kesungguhan. Tahap-tahap yang harus dilalui, meskipun secara garis besar mirip antara satu pakar dan pakar yang lain, adalah cerminan proses mental dalam diri penerjemah. Karena penerjemahan pada dasarnya adalah mentransfer makna dari teks bahasa sumber ke teks bahasa sasaran, maka minimal ada dua proses yang

(31)

commit to user

selalu hadir yaitu proses dekonstruksi teks bahasa sumber dan proses rekonstruksi

teks bahasa sasaran.

Penerjemahan bisa diterapkan pada tataran kata, frasa, klausa kalimat atau

bahkan teks secara keseluruhan (Hatim & Munday

penerjemahan diawali dengan mengidentifikasi leksikon, struktur gramatikal,

situasi komunikasi dan konteks struktural teks bahasa sumber. Tahap selanjutnya

adalah menganalisis untuk mendapatkan makna teks tersebut, baru kemudian

merekonstruksi makna yang sama ini dengan menggunakan leksikon dan struktur

gramatika yang sesuai dengan bentuknya yang berterima dalam bahasa sasaran

(Larson, 1984:2). Proses penerjemahan secara tradisional adalah aktivitas yang

berorientasi tujuan (bahasa sasara

Diagram 1: Proses penerjemahan menurut Larson

selalu hadir yaitu proses dekonstruksi teks bahasa sumber dan proses rekonstruksi

Penerjemahan bisa diterapkan pada tataran kata, frasa, klausa kalimat atau

bahkan teks secara keseluruhan (Hatim & Munday, 2004:17).

penerjemahan diawali dengan mengidentifikasi leksikon, struktur gramatikal,

situasi komunikasi dan konteks struktural teks bahasa sumber. Tahap selanjutnya

untuk mendapatkan makna teks tersebut, baru kemudian

truksi makna yang sama ini dengan menggunakan leksikon dan struktur

gramatika yang sesuai dengan bentuknya yang berterima dalam bahasa sasaran

Proses penerjemahan secara tradisional adalah aktivitas yang

berorientasi tujuan (bahasa sasaran) dan bersifat praktis (Gorle, 1994: 67)

Diagram 1: Proses penerjemahan menurut Larson (dikutip dari Larson, 1984) selalu hadir yaitu proses dekonstruksi teks bahasa sumber dan proses rekonstruksi

Penerjemahan bisa diterapkan pada tataran kata, frasa, klausa kalimat atau

, 2004:17). Proses

penerjemahan diawali dengan mengidentifikasi leksikon, struktur gramatikal,

situasi komunikasi dan konteks struktural teks bahasa sumber. Tahap selanjutnya

untuk mendapatkan makna teks tersebut, baru kemudian

truksi makna yang sama ini dengan menggunakan leksikon dan struktur

gramatika yang sesuai dengan bentuknya yang berterima dalam bahasa sasaran

Proses penerjemahan secara tradisional adalah aktivitas yang

(32)

commit to user

Dengan kata lain, dalam prosesnya, seorang penerjemah mengubah struktur permukaan (surface structure) sebuah teks yaitu kata, frasa, klausa dan kalimat dalam rangka menyampaikan semirip mungkin struktur dalam (deep structure) teks bahasa sumber, yaitu makna, pesan atau informasi. Artinya, yang berubah dalam penerjemahan adalah struktur permukaan sementara struktur dalam yaitu makna justru dipertahankan semaksimal mungkin. It is meaning which is being transferred and must be constant (Larson, 1984:3).

Yang harus diketahui seorang penerjemah dalam proses rekonstruksi bentuk bahasa sumber ke bentuk bahasa sasaran adalah bahwa setiap bahasa punya cara yang berbeda dalam menyampaikan sebuah pesan yang sama. Perbedaan itu bisa pada tataran leksis maupun tataran gramatika. Untuk menyatakan informasi yang sama, misalnya bahwa si pembicara menderita pusing, seorang pembicara bahasa Inggris akan mengatakan, “I have a dizzy”. Orang Indonesia mungkin akan mengatakan, “Kepala saya pusing”. Sementara orang Jawa mengatakan, “Sirahku mumet”. Artinya apabila kita menerjemahkan kalimat bahasa Inggris di atas dengan terjemahan literal, “Saya mempunyai rasa pusing” atau “aku nduwe rasa mumet” maka penutur bahasa Indonesia dan Jawa akan merasa kalimat itu tidak lazim bahkan mungkin pada kasus-kasus tertentu akan terjadi kesalahpahaman. Pengunaan leksis “mempunyai” untuk menyatakan rasa sakit tentu tidak lazim atau tidak berterima dalam bahasa Indonesia maupun bahasa Jawa. Pada tataran gramatika, sintaksis, jelas bahasa Inggris menggunakan struktur kalimat verbal sementara bahasa Indonesia dan Jawa memilih menggunakan kalimat nominal. Pilihan ini sama skali bersifat arbriter. Seorang

(33)

commit to user

penerjemah tidak bisa selalu terikat oleh bentuk leksikal maupun gramatikal bahasa sumbernya. Bila ia gagal melakukannya maka hasil terjemahan akan terdengar tidak wajar menurut penutur bahasa sasaran.

Sementara, menurut Suryawinata dan Hariyanto (2003) ada dua proses utama dan empat tahap dalam penerjemahan. Yang pertama adalah struktur lahir atau proses eksternal dan yang kedua adalah struktur batin atau proses internal. Di bawah ini digambarkan empat tahap tersebut seperti terlihat pada gambar 3.

Evaluasi dan revisi

Proses eksternal

Analisis/ Restrukturisasi/

Pemahaman penulisan kembali

Proses internal

transfer padanan

Diagram 2: Proses Penerjemahan menurut Suryawinata dan Hariyanto (2003)

1) Tahap analisis. Pada tahap ini, penerjemah berusaha memahami teks bahasa sumber secara cermat. Penerjemah berusaha memahami hubungan antar kata, frasa dan kalimat teks bahasa sumber. Pada tataran gramatika, penerjemah berusaha mencari tahu bagaimana bahasa sumber menggunakan gramatika

Teks asli dalam BSu

Teks terjemahan dalam BSa

Konsep, makna, pesan dari teks

BSu

Konsep, makna, pesan dalam

(34)

commit to user

untuk merealisasikan pesan. Ini adalah tahap di mana penerjemah bergelut dengan struktur permukaan teks bahasa sumber.

2) Tahap transfer. Setelah memahami struktur permukaan teks bahasa sumber, penerjemah melalui kompetensi linguistik bahasa sumber, berusaha mencerna kata, frasa, klausa dan kalimat untuk memahami makna atau struktur dalam di balik struktur permukaan teks tersebut. Penerjemah tidak hanya berusaha memahami makna pada tataran kata atau frasa saja, dia juga berusaha memahami makna pada tataran tekstual bahkan pada kasus-kasus tertentu pada tataran pragmatik. Proses ini berlangsung di dalam pikiran penerjemah sehingga proses ini termasuk dalam proses internal.

3) Tahap restrukturisasi. Setelah penerjemah memahami struktur dalam, makna atau pesan teks bahasa sumber ini, dia berusaha mencari bentuk kata, frasa, klausa atau kalimat bahasa sasaran yang memiliki pesan atau makna semirip mungkin dengan bentuknya dalam bahasa sumber. Dengan kata lain, penerjemah berusaha mencari padanan bentuk bahasa sumber sehingga menjadi bentuk bahasa sasaran yang akurat dalam hal menyampaikan makna, mudah dipahami oleh pembaca bahasa sasaran dan terdengar natural di telinga pendengar atau pembaca bahasa sasaran.

4) Tahap evaluasi dan revisi. Setelah penerjemah berhasil melakukan restrukturisasi teks bahasa sasaran, dia harus membandingkan kembali antara teks bahasa sasaran dengan teks bahasa sumber. Ini dilakukan untuk memastikan bahwa semua pesan yang terdapat pada teks bahasa sumber, baik pesan yang tersurat maupun pesan yang tersirat, tersampaikan ke dalam teks

(35)

commit to user

bahasa sasaran secara akurat. Pada tahap ini, penerjemah perlu berhati-hati karena keakuratan tidak saja pada tataran semantik tapi juga tataran prakmatik dan bahkan tataran tekstual. Apabila penerjemah masih menemukan kekurangan, dia perlu melakukan revisi dengan mempertimbangkan keakuratan, keterbacaan dan keberterimaan.

Tentu saja tahap-tahap di atas bukanlah tahapan yang mutlak. Seorang penerjemah yang sangat terlatih dan berpengalaman mungkin tidak memerlukan waktu dan proses yang lama dalam menerjemahkan sebuah teks. Ia mungkin tidak memerlukan tahap evaluasi dan revisi. Tapi setidaknya tahapan di atas adalah sebuah model yang mungkin secara tidak disadari dialami oleh sebagian besar penerjemah.

c. Teknik Penerjemahan

Teknik penerjemahan adalah cara atau prosedur mengalihkan pesan teks dari bahasa sumber ke teks bahasa sasaran yang diberlakukan pada tataran kata, frasa, klausa maupun kalimat. Berikut ini sebagian teknik terjemahan yang biasa diterapkan oleh seorang penerjemah yang sebagian diambil dari Molina dan Albir (2002):

1) Penambahan (addition)

Teknik penambahan adalah teknik dengan menambah informasi pada teks bahasa sasaran dimana informasi tersebut tidak ada dalam teks bahasa

(36)

commit to user

sumber. Penerapan teknik ini dilakukan apabila penerjemah menganggap bahwa ada informasi yang tidak penting untuk diketahui pembaca bahasa sumber tetapi penting untuk pembaca bahasa sasaran.

Contoh:

BSU BSA

I’m sorry but I’m tired _. Maaf, tetapi saya sangat letih _.

2) Penghapusan (deletion)

Kebalikan dengan teknik penambahan, teknik penghapusan adalah teknik dengan menghilangkan informasi yang ada dalam bahasa sumber sehingga informasi tersebut tidak disampaikan dalam bahasa sasaran. Penerapan teknik ini dilakukan apabila penerjemah menganggap bahwa ada informasi yang tidak penting untuk pembaca bahasa sasaran. Penghapusan ini bisa terjadi pada tataran kata, frasa, klausa atau bahkan kalimat.

Contoh:

BSU BSA

Jesus had but one true message. Yesus punya satu pesan yang sejati.

3) Eksplisitasi (explicitation)

Teknik eksplisitasi adalah teknik untuk memunculkan pesan yang pada teks bahasa sumber tidak bersifat ekplisit. Jadi berbeda dengan teknik penambahan dimana pesan itu memang tidak terdapat pada teks bahasa sumber, pada teknik eksplisitasi pesan itu sebenarnya ada dalam teks bahasa sumber, hanya saja pesan tersebut implicit.

(37)

commit to user Contoh:

BSU BSA

He was a famous lawyer. Dulu dia seorang pengacara terkenal

4) Implisitasi (implicitation)

Teknik ini merupakan kebalikan dari teknik eksplisitasi, Teknik implisitasi diterapkan untuk membuat pesan/informasi yang eksplisit menjadi implisit. Pesan atau informasi yang pada teks bahasa sumber disampaikan secara eksplisit lewat perangkat leksikal menjadi implisit secara gramatikal atau makna/pesan itu memang sudah terkandung dalam kalimat/klausa secara keseluruhan. Tidak ada penghilangan pesan pada teknik ini.

Contoh:

BSU BSA

You two can expect to stay in France

Kalian tidak mungkin berada di Perancis

5) Modulasi (modulation)

Teknik modulasi adalah teknik yang diterapkan dengan memanfaatkan pergeseran semantik (semantic shift) dengan cara mengubah sudut pandang baik pada tataran struktural maupun leksikal. Teknik ini banyak dipakai apabila dengan mempertahankan konstruksi kalimat bahasa sumber mengakibatkan terjemahan menjadi tidak atau kurang berterima. Menurut Molina & Albir (2002): Modulation is to change the point of view, focus or cognitive category in relation to the ST; it can be lexical or structural.

(38)

commit to user Contoh:

BSU BSA

This is a charter flight, not a taxi Ini pesawat sewaan, bukan taksi

6) Transposisi (transposition)

Teknik transposisi adalah teknik yang diterapkan dengan cara mengubah unit-unit gramatikal antara teks bahasa sumber dan teks bahasa sasaran. Dengan kata lain terjadi pergeseran gramatikal pada penerapan teknik ini. Pergeseran gramatikal ini bisa dalam bentuk kategori kelas kata, pluralitas maupun struktur gramatikal yang lain seperti perubahan aktif ke pasif dan sebaliknya.

Contoh:

BSU BSA

A man of faith deserves the highest

Seorang yang percaya berhak mendapatkan yang terbaik

7) Generalisasi (generalization)

Teknik generalisasi menerapkan penggunaan istilah yang lebih general dalam teks bahasa sasaran dari sebuah istilah yang lebih spesifik dalam teks bahasa sumber. Menurut Molina & Albir (2002): Generalization is to use a more general or neutral term. Penerapan teknik ini mungkin dilakukan apabila tidak ada istilah yang lebih spesifik dalam bahasa sasaran.

Contoh:

BSU BSA

I am going back to Paris in the morning.

(39)

commit to user

8) Partikularisasi (particularization)

Teknik partikularisasi diterapkan dengan cara menggunakan istilah yang lebih spesifik dalam teks bahasa sasaran untuk menggantikan istilah yang lebih general dalam teks bahasa sumber, kebalikan dari teknik generalisasi. Menurut Molina & Albir (2002). Particularisation is to use a more precise or concrete term.

Contoh:

BSU BSA

Sangreal is my favorite mistress.”

Dan Sangreal adalah kekasih favoritku.”

9) Pinjaman Murni (pure borrowing)

Teknik pinjaman murni adalah sebuah teknik penerjemahan dengan cara mengambil istilah yang ada di teks bahasa sumber untuk kemudian dipakai pada teks bahasa sasaran tanpa ada perubahan baik perubahan ejaan maupun perubahan yang lainnya.

Contoh:

BSU BSA

At the right hand of the Lord. Di sebelah kanan the Lord.

10) Pinjaman Alami (naturalized borrowing)

Kebalikan dengan teknik pinjaman murni, teknik pinjaman alami adalah teknik penerjemahan dengan cara mengadopsi istilah yang ada di teks bahasa sumber untuk kemudian dilakukan beberapa penyesuaian, misalnya

(40)

commit to user

penyesuaian ejaan dan sebagainya agar sesuai dengan tata aturan bahasa sasaran.

Contoh:

BSU BSA

Simon, did I win the policemen’s lottery?

Simon, apakah aku memenangkan lotere?

11) Teknik Padanan Lazim (established equivalence)

Teknik padanan lazim adalah teknik penerjemahan dengan mengadopsi istilah yang dipakai secara resmi dari istilah tehnis di bidang tertentu. Teknik padanan lazim adalah teknik dengan menggunakan istilah atau ungkapan yang telah dikenal dan diakui dalam kamus atau bahasa sasaran sebagai padanan dari bahasa sumber (Molina & Albir, 2002) padanan lazim ini sering disebut terjemahan baku. Teknik ini sering dipakai pada penerjemahn bidang keilmuan atau profesi tertentu.

Contoh:

BSU BSA

Bonds are negotiable as cash. Surat berharga bisa dinegosiasikan untuk diuangkan.

12) Teknik Literal (literal)

Teknik literal sering disebut teknik penerjemahan harfiah. Dikatakan teknik penerjemahan harfiah karena teknik ini dilakukan dengan cara mengalihkan makna secara apa adanya dari teks bahasa sumber ke dalam teks bahasa sasaran. Menurut Molina & Albir (2002) literal translation is

(41)

commit to user

to translate a word or an expression word for word. Teknik ini biasanya dilakukan terutama pada level kata, frasa atau klausa yang sederhana. Contoh:

BSU BSA

“Go!” She yelled. “Jalan!” Sophie berteriak

13) Teknik kompensasi (compensation)

Teknik kompensasi adalah teknik di mana sebuah pesan disampaikan pada bagian lain dari teks terjemahan. Hal ini dilakukan karena pesan atau informasi tersebut tidak memungkinkan berada pada posisi yang sama seperti pada teks bahasa sumber. Menurut Molina & Albir (2002): Compensation is to introduce a ST element of information or stylistic effect in another place in the TT because it cannot be reflected in the same place as in the ST.

Contoh:

BSU BSA

Then I’m sure he will be pleased to receive you in the morning.

Kalau begitu dia dia pasti akan senang menerima Anda besok pagi.

14) Teknik kalke (calque)

Teknik kalke hampir mirip dengan teknik literal. Perbedaannya, teknik ini masih mempertahankan struktur bahasa sumber atau bisa juga struktur yang mengikuti bahasa sumber tetapi masih mempertahankan leksikan bahasa sumber. Teknik kalke merupakan sebuah terjemahan kata atau frasa yang bisa bersifat leksikal maupun structural (Molina & Albir, 2002:510).

(42)

commit to user Contoh:

BSU BSA

Secretary general Sekretaris jendral

15) Teknik deskripsi (description)

Teknik deskripsi menggantikan sebuah istilah atau ekspresi dengan deskripsi bentuk atau fungsinya (Molina & Albir, 2002:510). Teknik deskripsi memberi penjelasan atas sebuah istilah atau konsep yang mungkin tidak dimiliki bahasa sasaran.

Contoh:

BSU BSA

Pan cake Semacam kue serabi dengan rasa manis

16) Teknik kreasi diskursif (discursive creation)

Teknik kreasi diskursif memuat terjemahan yang tampak sangat berbeda dengan teks bahasa sumbernya. Teknik ini membuat sebuah kesepadanan temporal yang tidak terduga dan kadang di luar konteks (Molina & Albir, 2002:510).

Contoh:

BSU BSA

Appointment in Samarra Maut Menunggumu di Samarra.

17) Teknik substitusi (substitution)

Teknik substitusi mengubah elemen linguistik dengan elemen paralinguistik (intonasi, gerak tangan) atau sebaliknya (Molina & Albir, 2002:510). Teknik ini misalnya dipakai pada interpreting.

(43)

commit to user 18) Teknik variasi (variation)

Teknik variasi mengubah elemen linguistik atau paralinguistik (intonasi, gerak tangan) yang mempengaruhi aspek variasi linguistik: perubahan tone teks, style, dialek sosial atau regional (Molina & Albir, 2002:511).

d. Kualitas Terjemahan

Kualitas terjemahan merupakan salah satu isu terpenting dalam disiplin ilmu penerjemahan. Ada beberapa hal pokok yang perlu diperhatikan seorang penerjemah untuk menghasilkan terjemahan yang baik/berkualitas. Beberapa ahli mengajukan proposinya tentang bagaimana terjemahan yang baik. Nida & Taber membuat kriteria tentang bagaimana terjemahan yang baik. Yang pertama, terjemahan harus mengikuti kaidah ketepatan; artinya pembaca dapat memehami teks terjemahan seperti teks aslinya; 2 kemudahan dalam memahami teks terjemahan atau dengan kata lain sebuah teks terjemahan tidak menimbulkan kesulitan tersendiri untuk dipahami; 3 menggunakan kemampuan dan pendapat orang untuk menyempurnakan informasi pada terjemahan (Nida & Taber, 1969:173).

Meskipun begitu pandangan Nida dan Taber ini mempunyai kelemahan yaitu pendekatan itu hanya mengacu pada respon pembaca. Pendekatan ini mengabaikan teks asli sebagai pembanding sehingga penilaian keakuratan menjadi rendah sementara keberterimaan tinggi. Tentu pembaca tidak bisa menilai apakah terjemahan akurat atau tidak, karena mereka tidak punya akses terhadap teks bahasa sumber.

(44)

commit to user

Sementara itu, Nababan (2010) mengajukan Accuracy Rating dan Readibility Rating dalam mengukur keakuratan pesan maupun keterbacaan. Secara umum para praktisi penerjemahan menilai kualitas terjemahan meliputi keakuratan, keterbacaan, dan keberterimaan. Keakuratan mengacu pada seberapa jauh pesan teks bahasa sumber tersampaikan ke dalam teks bahasa sasaran. Sementara itu keberterimaan mengacu pada seberapa jauh hasil terjemahan memenuhi kaidah bahasa sasaran, baik kaidah gramatikal maupun kaidah cultural. Keterbacaan mengacu sejauh mana teks terjemahan mudah dipahami oleh khalayak pembaca.

2. Pragmatik

Pragmatik merupakan bidang ilmu bagian dari linguistik yang lumayan baru. Bila semantik adalah ilmu yang mengkaji hubungan antara simbol bahasa dengan realitas yang diwakilinya, pragmatik lebih mengkaji makna bahasa seperti yang dimaksud oleh si penutur. Jadi, pragmatik melihat makna bukan dari kalimat atau ujaran itu sendiri tapi makna seperti yang dimaksudkan si penutur. Pragmatik adalah cabang ilmu bahasa yang mengkaji bagaimana bahasa digunakan untuk berkomunikasi (Nadar, 2009:95). Apa yang dikomunikasikan si penutur dalam ujarannya tapi tidak dikatakan merupakan bagian kajian pragmatik. Di dalam bukunya, George Yule menyatakan bahwa pragmatik adalah studi tentang maksud si pembicara (Yule, 1996:3). Sementara itu, Fraser (dalam Schimdt, 1996: 30) mengatakan bahwa pragmatik adalah teori komunikasi linguistik. Sementara Mey (1994) menyatakan bahwa pragmatik adalah telaah mengenai hubungan tanda

(45)

commit to user

dengan penafsir atau dengan kata lain pragmatik merupakan suatu studi tentang hubungan antara tanda dan penafsirnya.

Kajian pragmatik melibatkan tidak saja ujaran secara terpisah, tapi juga memahami makna sebuah ujaran dengan melibatkan aturan-aturan yang terlibat dalam sebuah percakapan, siapa pembicara, siapa pendengar, dan dalam situasi seperti apa percakapan itu berlangsung. Kajian pragmatik, dengan demikian, merupakan kajian tafsir sebuah ujaran setelah memperhatikan unsur-unsur tersebut di atas.

Pragmatik mengeksplorasi maksud yang dikatakan untuk mengetahui apa yang dikehendaki si pembicara melalui ujarannya. Kegiatan ini melibatkan interpretasi yang tidak diucapkan oleh si pembicara tapi dikomunikasikan lewat uajarannya. Yule menyebutnya investigasi makna yang tersembunyi (Yule;1996;35). Pragmatik dengan demikian mempelajari bagaimana menginterpretasikan ujaran lebih dari yang dikatakan oleh si pembicara. Dengan kata lain, pragmatik mengkaji makna secara lebih dalam dari sekedar makna superfisial yang terungkap lewat kategori leksikal dan gramatika.

Dalam sebuah percakapan, seorang pembicara akan memasukan pertimbangan-pertimbangan tentang apa yang bisa dikatakan dan apa yang tidak. Pertimbangan ini diperoleh lewat apa yang oleh Grice disebut Prinsip kerjasama. Prinsip ini semacam aturan-aturan yang tidak tertulis yang secara universal mengatur percakapan manusia. Dari prinsip-prinsip inilah kita bisa mengetahui apa yang sebenarnya hendak dikatakan seseorang. Dalam keadaan tanpa tekanan apapun seorang pembicara tanpa disadari mematuhi prinsip-prinsip tersebut.

(46)

commit to user

Meskipun begitu, ada saat-saat di mana si pembicara, karena keadaan atau tekanan tertentu ‘terpaksa’ melanggar salah satu atau beberapa prinsip kerjasama ini. Ketika ‘pelanggaran’ ini terjadi maka dapat dipastikan bahwa ada makna tersembunyi yaitu makna yang tidak diungkapkan lewat tuturan tapi dikomunikasikan dalam percakapan tersebut. Di sinilah pragmatik sebenarnya mengambil peranannya di dalam komunikasi antar manusia.

3. Cakupan Pragmatik

a. Deiksis

Deiksis merupakan istilah teknis yang mengacu pada pronomina yang acuannya tergantung dari situasi tuturan. Dengan kata lain referen dari sebuah deiksis sangat terikat oleh konteks. Atas alasan inilah deiksis dikategorikan dalam ranah pragmatik. Seperti yang dikatakan Yule dalam bukunya bahwa deiksis atau deixis expression hanya bisa diinterpretasikan oleh pembicara dan pendengar yang terlibat dalam konteks percakapan yang sama (Yule, 1996;6)

Jelaslah dari penjelasan di atas bahwa deiksis mencerminkan hubungan yang sangat mendasar antara bahasa dengan konteks situasi dalam rangka memahami makna. Sebuah deiksis, dengan begitu, mempunyai referen yang beragam tergantung situasi ujaran tersebut. Sebuah ujaran berikut bisa menjadi contoh:

(47)

commit to user

Kata ‘di sini’ pada ujaran di atas jelas memiliki acuan yang sangat tergantung dengan situasi tuturan. Pendengar tidak akan pernah tahu maksud dari kata ‘di sini’, kecuali ia terlibat dalam percakapan itu atau mengetahui konteks berlangsungnya ujaran tersebut.

Deiksis secara umum dibagi menjadi tiga, yaitu deiksis tempat, waktu dan persona.

Deiksis tempat mengacu pada acuan tempat secara relatif terhadap lokasi di mana para partisipan percakapan berada (Levinson, 1983;62). Dieksis tempat dibagi menjadi proksimal dan distal. Proksimal adalah acuan tempat dekat dengan si pembicara dalam bahasa Indonesia adalah ‘di sini’. Sementara distal adalah acuan tempat jauh dari si pembicara; misalnya ‘di sana’.

Deiksis waktu hampir mirip dengan deiksis tempat. Ada dua jenis deiksis yaitu bentuk proksimal dan distal. Bentuk proksimal mengacu pada penunjuk waktu yang dekat dengan saat terjadinya peristiwa tuturan. Kata ‘now’ mengacu pada deiksis ini sementara ‘then’ bisa mengacu pada saat yang jauh dari peristiwa tuturan baik masa lampau maupun masa depan.

Deiksis person berkaitan dengan peran partisipan dalam peristiwa tuturan. Secara leksikal deiksis person diwakili oleh bentuk-bentuk personal pronoun: first person (I, we), second person (you), third person (he,she,they). First person merupakan bentuk gramatikalisasi dari si pembicara sendiri, second person untuk lawan bicara baik jamak atau tunggal sementara third person mengacu pada tokoh-tokoh yang tidak terlibat dalam tindak tuturan tapi menjadi bahan pembicaraan baik dalam bentuk jamak maupun tunggal.

(48)

commit to user

Disamping tiga pokok bentuk deiksis di atas masih ada dua bentuk deiksis; deiksis wacana dan deiksis sosial. Deiksis wacana adalah pentuk pronomina selain yang disebut di atas yang referennya ada, baik klausa maupun kalimat, di dalam teks tersebut. Sementara deiksis sosial berkaitan dengan aspek sosial hubungan antara si pembicara dengan pendengar. Deiksis sosial berhubungan dengan hubungan dan status sosial relatif antara si pembicara, pendengar dan tokoh lain di dalam situasi tuturan. Di sini seorang pembicara dengan kemampuan sosialnya harus bisa menentukan kapan harus menggunakan bentuk honorifik dan kapan tidak.

b. Tidak Tutur (Speech Act )

Ketika mengutarakan ujaran kita tidak saja memberikan informasi tapi juga sekaligus melakukan tindakan. Kita mengucapkan sesuatau bukan tanpa maksud melainkan sekaligus menghasilkan efek tindakan yang akan direspon oleh yang mendengarnya sesuai dengan interpretasi pendengar. Tindakan yang melekat ketika kita mengungkapkan sesuatu itulah yang disebut speech act atau tindak tutur.

Speech act atau tindak tutur masuk dalam ranah pragmatik karena efek dari tindak tutur itu sangat terikat dengan konteks. Sebuah ujaran bisa memiliki tindak tutur yang berbeda ketika diucapkan pada konteks yang berbeda.

(49)

commit to user

Ujaran di atas bisa bermakna setara dengan “Do you have enough money?” bila diucapkan seorang ibu kepada anaknya yang mau bepergian. Tapi ujaran ini juga bisa bermakna sama dengan “May I borrow some money?” bila diucapkan seorang teman ketika hendak membayar sesuatu sambil membuka dompetnya yang kosong melompong. Dengan kata lain ujaran di atas bisa merupakan tindak tutur ‘questioning’ atau ‘requesting’, tergantung konteks yang melingkupinya.

Sebuah ujaran sekaligus mengandung tiga tindakan. Yang pertama disebut tindakan lokusi. Yaitu makna dari ujaran itu secara harfiah. Yang kedua disebut tindakan ilokusi, tindakan yang merupakan tujuan seperti yang dimaksud si pembicara itu sendiri. Sebuah ujaran bisa merupakan tindakan ’bertanya’, ‘Meminta sesuatu’, atau ‘memperingatkan’. Ujaran tersebut kemudian mendapatkan respon tindakan dari pendengar. Respon inilah yang disebut tindakan perlokusi. Tindakan sebagai hasil dari interpretasi pendengar.

Tindak tutur bisa bersifat langsung atau tidak langsung. Apabila tindak lokusi dan ilokusi memiliki hubungan yang langsung, tidak memerlukan interpretasi yang rumit karena maksud ujaran sudah terekspresikan secara literal, maka tindak tutur itu disebut tindak tutur langsung. Demikian pula sebaliknya. Berikut ini contohnya:

(03) Please open the window! (04) It is very hot in here.

(50)

commit to user

Pada ujaran (03) makna lokusi dan lokusinya berimpit yaitu si penutur memerintah petutur untuk membuka jendela. Tidak ada perbedaan antara makna lokusi dengan daya ilokusinya. Tindak tutur dari ujaran tersebut bersifat langsung. Sementara itu, pada ujaran (04) makna lokusi dengan daya perlokusinya tidak paralel. Makna lokusi ujaran (04) adalah penutur memberi informasi bahwa udara di dalam ruangan panas. Meskipun begitu lewat konteks situasi, mitra tutur bisa berinterpretasi secara berbeda. Ruangan yang tidak ber AC, jendela tertutup dan penutur yang berkeringat membuat petutur mengambil kesimpulan bahwa makna lokusi dari ujaran tersebut adalah penutur meminta petutur untuk membuka jendela. Tindak tutur pada ujaran (04) dengan begitu bersifat tidak langsung.

Searle dalam Leech (1993) memproposisikan lima jenis tindak tutur sebagai berikut:

1. Tindak tutur asertif: tindak tutur dimana penutur terikat dengan kebenaran proposisi yang dikatakannya, misalnya: menyatakan, melaporkan, mengeluh.

2. Tindak tutur direktif: tindak tutur yang bertujuan menghasilkan efek berupa tindakan yang dilakukan mitra tutur, misalnya: memerintah, memohon, menuntut.

3. Tindak tutur komisif: tindak tutur yang mengikat penutur dengan suatu tindakan yang akan dilakukan di masa depan, misalnya: menawarkan, menjanjikan.

(51)

commit to user

4. Tindak tutur deklaratif: tindak tutur yang mensyaratkan pelaksanaan ilokusi yang mengakibatkan adanya kesesuaian isi proposisi dengan realitas, misalnya member nama, menjatuhkan hukuman.

5. Tindak tutur ekspresif: tindak tutur yang mengungkapkan perasaan atau sikap mental dari penutur Tindak tutur ini mengikat penutur dengan suatu tindakan yang akan dilakukan di masa depan, misalnya: memuji, mengecam, mengucapkan terimakasih.

c. Presupposition

Ujaran yang diucapkan seorang pembicara mengandung dua informasi sekaligus; informasi lama dan informasi baru. Presupposition mengacu pada asumsi yang dihasilkan informasi lama pada sebuah ujaran atau kalimat. Ujaran yang diucapkan seorang pembicara akan menimbulkan presupposition bagi pendengarnya. Presupposition tidak diucapkan secara verbal oleh si pembicara. Pendengarlah yang menarik simpulan darinya.

(05) His journey to Sydney made him sick.

Pernyataan bahwa perjalanannya ke Sydney membuatnya sakit mengandung beberapa informasi sekaligus. Pernyataan itu bisa memberi informasi pada kita bahwa ia telah melakukan perjalanan ke Sydney. Informasi inilah yang disebut presupposition. Imformasi ini tidak diungkapkan si pembicara secara eksplisit tapi pendengarlah yang menyimpulkan demikian. Dengan kata

(52)

commit to user

lain presupposition merupakan informasi yang tidak diucapkan tapi dikomunikasikan dalam percakapan.

Meskipun presupposition masuk dalam kategori pragmatik yang dengan demikian sangat terikat konteks situasi, presupposition sebuah ujaran tidak berubah ketika dalam bentuk negatif.

(06) His journey to Sydney didn’t make him sick.

Jadi ujaran (06) tidak menghasilkan presupposition yang berbeda dengan ujaran (05). Kasus ini disebut ‘constancy under negation’. Artinya kasus dimana sesuatu tidak mengalami perubahan pesan ketika berubah dalam bentuk negatif

d. Implikatur Percakapan (Conversational Implicature)

Ide implikatur atau conversational implicture lahir dari kenyataan bahwa banyak ujaran atau kalimat yang menjadi tidak terjelaskan ketika dijelaskan dengan pendekatan semantik. Implikatur merupakan salah satu konsep penting dalam ranah pragmatik (Levinson, 1983;97). Di antara aspek-aspek yang lain, speech act, deixis, presupposition, implikatur merupakan aspek yang dominan dalam pragmatik (Mujiyono, 1996:8)

Implikatur menjadi tonggak penting paradigma pragmatik yang membuktikan kemampuan penjelasan pragmatik dalam menyelesaikan fenomena linguistik yang sebelumnya tidak terjelaskan.

(53)

commit to user (07) Will you be free tonight?

Pendekatan semantik tidak mampu menjelaskan bagaimana ujaran (07) merupakan sebuah ajakan. Di sini peran pragmatik bisa dimainkan. Lewat implikatur, pragmatik memberi penjelasan bagaimana pendengar menangkap pesan atau makna yang tersirat tidak sekedar makna yang tersampaikan secara superficial. Implikatur merupakan pesan yang tersembunyi dalam sebuah ujaran meskipun pesan itu tidak secara eksplisit dikatakan (Gazdar,1979: 80)

Jelas ada jarak antara yang diucapkan seseorang dan apa yang sebenarnya ingin disampaikan. Kadang seorang penutur memang mengucapkan apa yang ingin dia sampaikankan tapi kadang pula ia tidak mengungkapkannya secara eksplisit. Bahkan kadang ia mengucapkan apa yang sebaliknya ingin disampaikannya.

Implikatur menyediakan perangkat bagaimana menyampaikan sesuatu lebih dari yang dikatakan. Dengan kata lain bagaimana mengkomunikasikan sesuatu lebih dari yang dikatakan secara harfiah. Grice (1967), di dalam bukunya mengusulkan sebuah ide yang dinamakan prinsip kerjasama, prinsip-prinsip yang berlaku dalam percakapan. Untuk bisa menangkap pesan lebih dari yang diucapkan secara harfiah linguistik memanfaatkan prinsip-prinsip kerjasama Grice.

(08) Do you have some coffee?

(54)

commit to user

Paradigma semantik tidak bisa menjelaskan bagaimana ujaran (08) yang berupa pertanyaan bisa dijawab dengan ujaran (09) yang nampak tidak gayut satu sama lain. Pragmatik menjelaskan melalui konteks ujaran, dalam situasi lembur misalnya seorang teman dengan wajah kelelahan dan tampak mengantuk sambil membawa cangkir kosong, bahwa ujaran (08) adalah sebuah permintaan. Respon dari ujaran (08) (ujaran [09]) yang merupakan bentuk pertanyaan secara harfiah tapi secara struktur dalam berarti sebuah permintaan harus dipahami dengan prinsip-prinsip kerjasama bahwa si pendengar tidak mempunyai kopi dan di lantai bawah ada sebuah kantin yang masih buka dan menjual kopi. Pendengar menyarankan penanya untuk membeli kopi di kantin sebagai alternatif karena ia tidak mempunyai kopi. Dengan demikian ujaran (09) bisa diungkapkan dengan kalimat eksplisit seperti berikut:

(10) I am sorry, but I don’t have any coffee. The canteen is still open Downstair. It sells coffee, so you better you go there and buy some.

Kalimat yang dicetak tebal pada (10) menunjukan implikatur dari ujaran (09) yang merupakan pesan yang tidak diucapkan secara harfiah tapi dikomunikasikan.

Leech membuat sebuah ancangan untuk untuk menginterpretasikan sebuah tuturan. Cara untuk meninterpretasikan implikatur apa yang terkandung dari sebuah ujaran disebut analisis heuristik. Strategi heuristik berusaha

(55)

commit to user

mengidentifikasi daya pragmatik sebuah tuturan dengan merumuskan hipotesi-hipotesis dan kemudian mengujinya dengan data-data yang tersedia (Leech, 1993:61)

e. Prinsip Kerja Sama (PK) dan Prinsip Kesantunan (PS)

1) Prinsip Kerjasama (PK)

Prinsip kerjasama (cooperative principles) merupakan konsep yang sangat penting sekaligus mendasar di dalam pragmatik. Lewat konsep prinsip kerjasamalah makna implisit sebuah ujaran bisa dijelaskan. Prinsip kesantunan (politeness principles) melengkapi penjelasan hubungan antara makna (dalam ranah semantik) dan daya (dalam ranah pragmatik). Contoh berikut ini akan menjelaskan bagaimana prinsip kerjasama beroperasi dalam percakapan.

(09) “Can I borrow your car for the weekend?” (10) “My cousin is coming around this weekend.”

Tanpa asumsi bahwa penutur (10) bersikap kooperatif terhadap mitra tuturnya maka sulit kita menarik makna yang menghubungkan ujaran (10) dan (09). Apa hubungan antara meminjam mobil dengan sepupu yang akan berkunjung? Bila ternyata jawaban (10) tidak punya hubungan dengan pertanyaan (09). Dengan kata lain penutur (10) tidak bermaksud menjawab pertanyaan (09), maka penutur yang bersangkutan tidak melaksanakan kerja sama atau tidak bersifat kooperatif (Wijana, 1996:46). Peristiwa seperti ini tentu sangat jarang

Gambar

Tabel 1: Teknik Penerjemahan .……………………………………………..130  Tabel 2: Implikatur dan Ilokusi Tidak Langsungnya………………………...178  Tabel 3: Implikatur dan Maksim-Maksim yang Terlibat…………………….181  Tabel  4: Teknik Penerjemahan dan Pergeseran daya Pragmatis ..…..……...1
Diagram 1: Proses penerjemahan menurut Larson (dikutip dari Larson, 1984) selalu hadir yaitu proses dekonstruksi teks bahasa sumber dan proses rekonstruksi
Diagram 2: Proses Penerjemahan menurut Suryawinata dan Hariyanto (2003)
Diagram 3: Kerangka Pikir
+2

Referensi

Dokumen terkait

Nah kali ini kita akan membahas tentang teknik pengucapan bunyi vokal dalam bahasa Jawa.. Oke sekarang Anda praktekkan pada kata-kata berikut di bawah ini (ini juga akan

Ada interaksi antara pembelajaran TAI dengan berbantuan LKS MGMP termodifikasi dan LKS berbasis masalah dengan kemampuan awal dan berpikir kritis terhadap

Hasil pelayuan yang baik ditandai dengan pucuk layu yang berwarna hijau kekuningan, tidak mengering, tangkai muda menjadi lentur, bila digenggam terasa lembut dan bila

Parasitoid dapat bersifat soliter (satu inang dengan satu parasitoid) atau gregarius (satu inang dengan dua sampai beberapa ratus individu parasitoid)..

Dengan pengaturan ini, secara otomatis memberikan keringanan untuk imigran agar dapat masuk ke dalam wilayah Indonesia yang berdampak besarnya angka penyelundupan imigran di

Pada penelitian yang telah dilakukan di Rekam Medik Rawat Jalan Rumah Sakit Muhammadiyah Palembang periode 2010 diperoleh angka presentase umur ≥ 50 tahun lebih

Hasil penelitian di BPRS Rajasa Lampung Tengah menunjukan bahwa pembiayaan ijarah multijasa berpengaruh signifikan terhadap tingkat pendapatan BPRS Rajasa Lampung

MODEL SISIPAN PENGAJARAN KOSAKATA UNTUK MENINGKATKAN SIKAP, MOTIVASI, DAN KEMAMPUAN BERBAHASA SISWA KELAS VI SEKOLAH DASAR ISLAM TERPADU KABUPATEN BANDUNG DALAM KONTEKS