• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dan penting untuk mempertahankan hidup (Dalimartha, 1998). Tidak hanya

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dan penting untuk mempertahankan hidup (Dalimartha, 1998). Tidak hanya"

Copied!
28
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Hepar merupakan pusat metabolisme tubuh yang mempunyai banyak fungsi dan penting untuk mempertahankan hidup (Dalimartha, 1998). Tidak hanya memetabolisme karbohidrat, protein, lemak namun juga hormon dan zat kimia. Sebagai pusat metabolisme, hepar sering terpapar zat toksik yang tak jarang dapat menimbulkan kerusakan hepar. Virus, alkohol, obat-obatan, serta hepatotoksin lainnya dapat menyebabkan kelainan fungsi hepar baik kronis maupun akut (Rachmawati et al., 2013).

Salah satu contoh hepatotoksin adalah parasetamol. Parasetamol digunakan secara luas sebagai analgesik dan antipiretik. Walaupun parasetamol relatif aman, namun ketika digunakan dalam dosis tinggi yaitu di atas 150 mg/kgBB, dapat menimbulkan kerusakan hepar (Davern, 2012). Di dalam hepar, parasetamol dioksidasi oleh enzim sitokrom P450 menjadi bentuk metabolit reaktifnya yang disebut N-asetyl-p-benzoquinone imine (NAPQI). Selanjutnya NAPQI akan berikatan secara kovalen dengan protein dalam hepar yang mana hal tersebut dapat menyebabkan toksisitas (Nelson, 1995; Ikawati, 2010).

Disisi lain, beberapa tanaman alami telah diketahui memiliki fungsi sebagai hepatoprotektor. Hal ini berkaitan dengan komponen dari tanaman yang kaya akan antioksidan yang dapat melindungi hepar dari kerusakan akibat induksi hepatotoksin. Diantara jenis tanaman tersebut adalah rimpang kunyit dan herba

(2)

meniran. Rimpang kunyit (Curcuma domestica Val.) mengandung kurkuminoid, yang terdiri atas senyawa kurkumin, demetoksikurkumin, dan bisdemetoksikurkumin. Kunyit juga mengandung minyak atsiri yang komponen utamanya terdiri dari aromatik-turmeron, zingiberen, turmeron dan kurlon (Jayaprakasha et al., 2005). Kurkuminoid merupakan bahan aktif dari rimpang kunyit yang diketahui memiliki efek hepatoprotektif (Sreejayan & Rao, 1994). Adapun herba meniran (Phyllanthus niruri L.) mengandung senyawa golongan lignan antara lain filantin dan hipofilantin. Herba meniran juga mengandung flavonoid seperti niruriflavon dan komponen fenolik seperti triterpenoid (Thippeswamy et al., 2011). Zat aktif dalam meniran yang diduga memiliki aktivitas hepatoprotektif adalah filantin dan hipofilantin (Shamasundar et al., 1985; Kritikha et al., 2009) serta kuersetin (Guzy et al., 2004).

Kunyit dan meniran yang keduanya dapat berefek sebagai hepatoprotektor tersebut kemudian dikombinasikan untuk memperoleh efek optimal. Seperti yang dipaparkan oleh Yan et al. (2009) bahwa dalam preparasi multi herbal, antara satu komponen dengan komponen lain akan saling bersinergi hingga menghasilkan efek yang lebih baik jika dibandingkan dengan komponen yang tunggal. Novianto (2014) telah melakukan penelitian dengan mengkombinasikan ekstrak kunyit pasca destilasi dan ekstrak meniran sebagai hepatoprotektor. Efek optimal hepatoprotektif terhadap hewan uji ditunjukkan pada kombinasi 75 mg ektrak kunyit pasca destilasi dan 50 mg ekstrak meniran. Hasil penelitian tersebut kemudian dijadikan sebagai acuan dalam pembuatan produk GL. Produk GL merupakan sediaan herbal berupa kapsul berisi campuran ekstrak rimpang kunyit dan herba meniran yang berfungsi

(3)

untuk membantu memelihara kesehatan hepar. Komposisi produk GL yaitu 240 mg ekstrak rimpang kunyit, 160 mg ekstrak herba meniran, dan 176 mg bahan pengisi yang terdiri dari amilum manihot dan mikrokristalin selulosa. Ekstrak kunyit dalam sediaan ini merupakan ekstrak kunyit yang diperoleh tanpa melalui proses destilasi terlebih dahulu, inilah yang menjadi pembeda dengan penelitian Novianto (2014).

Pada kajian efek hepatoprotektif sering digunakan parameter fungsi hepar berupa peningkatan aktivitas SGPT (Serum Glutamic Pyruvic Transaminase) dan SGOT (Serum Glutamic Oxaloacetic Transaminase) dalam komponen biokimiawi darah. SGPT dan SGOT merupakan marker adanya nekrosis hepar (Willard & Tvedten, 1999) dan umumnya sebagai penanda ketoksikan hepar yang disebabkan oleh parasetamol (Nurrochmad dan Murwanti, 2000). Selain parameter biokimiawi darah, pemeriksaan histopatologis sel hepar juga umum dilakukan untuk mendukung hasil pengukuran aktivitas enzim SGPT dan SGOT.

Penelitian ini bertujuan untuk uji pra klinis terkait efek farmakologi produk GL. Uji pra klinis merupakan salah satu persyaratan uji untuk calon obat (Depkes RI, 2000). Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat diketahui bagaimana efek hepatoprotektif yang dihasilkan oleh produk GL ditinjau dari parameter aktivitas SGPT, SGOT dan histopatologis sel hepar, mengingat produk ini telah melalui serangkaian proses formulasi dengan tambahan bahan pengisi.

(4)

B. Perumusan Masalah

1. Apakah sediaan yang berisi campuran ekstrak kunyit dan meniran (produk GL) memiliki efek hepatoprotektif pada tikus jantan Wistar terinduksi parasetamol ditinjau dari parameter aktivitas SGPT dan SGOT serta histopatologis sel hepar?

2. Apakah peningkatan dosis pemberian sediaan yang berisi campuran ekstrak kunyit dan meniran (Produk GL) menunjukkan peningkatan efek hepatoprotektif ditinjau dari aktivitas SGPT dan SGOT serta histopatologis sel hepar?

C. Tujuan Penelitian

1. Mengetahui efek hepatoprotektif produk GL terhadap kerusakan hepar tikus terinduksi parasetamol melalui kajian parameter aktivitas SGPT dan SGOT serta histopatologis sel hepar.

2. Mengetahui hubungan antara peningkatan dosis pemberian produk GL terhadap efek hepatoprotektif yang ditimbulkan ditinjau dari aktivitas SGPT dan SGOT serta histopatologis sel hepar.

D. Tinjauan Pustaka 1. Hepar

Hepar merupakan organ vital yang terletak di dalam rongga perut bagian kanan atas, di bawah diafragma. Hepar berperan dalam proses metabolisme sebagian besar obat dan toksikan (Lu, 1991). Hepar memiliki dua lobus yaitu lobus

(5)

kanan dan lobus kiri. Lobus kanan berukuran lebih besar dibandingkan lobus kiri. Setiap lobus terdiri dari ribuan lobulus yang merupakan unit fungsional, dan setiap lobulus tersusun atas hepatosit (sel parenkim hepar) berbentuk kubus yang mengelilingi vena sentralis secara melingkar (Stockham & Scott, 2002). Hepatosit merupakan komponen struktural utama dari hepar. Hepatosit mempunyai enzim – enzim pemetabolisme zat kimia. Selain hepatosit, di dalam hepar juga terdapat sel Kupffer yaitu sel yang melapisi sinusoid dan berfungsi untuk merombak eritrosit, mensekresi protein yang terkait dengan proses imunologis dan melakukan fagositosis zat – zat asing yang berbahaya (Price & Wilson, 1992).

Darah yang disitribusikan ke saluran pencernaan akan kembali ke jantung melalui sistem portal hepar untuk menjalani beberapa proses. Dengan demikian zat-zat yang ada dalam darah akan melewati hepar, termasuk zat-zat toksin yang dapat menyebabkan kerusakan hepar. Jenis – jenis dari kerusakan hepar antara lain: a. Nekrosis hepar

Nekrosis hepar adalah kematian hepatosit. Nekrosis dapat bersifat fokal (sentral, pertengahan, perifer) atau masif. Umumnya, nekrosis merupakan kerusakan akut. Beberapa zat kimia telah dilaporkan dapat menyebabkan nekrosis hepar (Zimmerman, 1978). Peristiwa yang mengikuti terjadinya nekrosis antara lain: kariolisis (inti sel yang mati menghilang), piknosis (inti sel yang mati mengalami penyusutan), dan karioreksis (inti sel yang mati dan hancur meninggalkan pecahan kromatin yang tersebar di dalam sel) (Price & Wilson, 1992).

(6)

Nekrosis dapat disebabkan oleh metabolit reaktif toksikan yang terikat secara kovalen pada protein dan lipid, yang kemudian mengakibatkan terjadinya peroksidasi lipid. Habisnya adenosin trifosfat (ATP), habisnya glutation, rusaknya sitokrom P-450, serta hilangnya NAD dan NADP juga mampu menyebabkan terjadinya nekrosis hepar (Lu, 1991).

Nekrosis hepar merupakan suatu kondisi yang berbahaya, namun tidak selalu kritis karena kemampuan regenerasi jaringan mati di hepar cukup besar sehingga cepat digantikan dengan jaringan yang baru. Terjadinya nekrosis hepar dapat ditandai dengan peningkatan aktivitas SGPT dan SGOT dalam darah (Husadha, 1996).

b. Kongesti

Kongesti dikenal pula sebagai hiperemia. Jika dilihat dengan mata telanjang maka daerah atau organ yang mengalami kongesti akan terlihat berwarna lebih merah, dan apabila diamati secara mikroskopi maka terlihat kapiler - kapiler dalam jaringan melebar penuh berisi darah. Terdapat dua macam kongesti, yaitu kongesti aktif dan kongesti pasif (Price & Wilson, 1992). Kongesti aktif merupakan kenaikan jumlah darah yang mengalir ke suatu daerah, yang biasa terjadi pada daerah arterial. Kongesti aktif disebabkan oleh kapiler yang berdilatasi akibat rangsang vasodilator atau kelumpuhan vasokontriktor. Sedangkan kongesti pasif merupakan kondisi penurunan jumlah darah yang mengalir ke suatu daerah tertentu, yang biasa terjadi pada daerah aliran vena. Kongesti pasif dapat disebabkan oleh sebab – sebab sentral atau sistemik seperti pada gagal jantung (Price & Wilson, 1992).

(7)

Degenerasi vakuoler merupakan perubahan seluler akibat adanya gangguan metabolisme seperti hipoksia atau keracuan bahan kimia. Perubahan ini bersifat reversibel, namun dapat berubah menjadi ireversibel apabila penyebab cederanya menetap (Underwood, 1996). Istilah deskriptif dari perubahan hidropik dipakai untuk sel-sel yang sitoplasmanya menjadi pucat dan membengkak karena terjadi penimbunan cairan. Bentuk dari degenerasi hidropik yang teramati dalam mikroskop yaitu warna sel yang memutih atau pudar (seperti ruang kosong), berbutir – butir, terlihat albuminoid. Inti tampak membesar dan bergelombang serta kromatinnya jarang dan tidak menyerap eosin (Ressang, 1984).

d. Kolestatis

Kolestatis merupakan keadaan dimana terjadi penghentian aliran empedu sehingga mengakibatkan penumpukan bilirubin pada hepar, atau secara sederhana dapat dikatakan sebagai tersumbatnya aliran cairan empedu dari hepar. Kolestasis dapat diakibatkan oleh perubahan permeabilitas membran hepatosit atau saluran empedu. Kolestasis termasuk dalam kerusakan hepar yang bersifat akut. Kelainan ini lebih jarang ditemukan dibandingkan dengan perlemakan hepar dan nekrosis (Lu, 1991).

e. Perlemakan hepar (steatosis)

Steatosis merupakan kondisi dimana sel mengandung lipid lebih dari 5% (b/b). Hal ini terjadi akibat terhambatnya transfer lipid keluar dari hepar, sehingga lemak yang seharusnya dikeluarkan dari hepar tetap berada di dalam hepar dan membuat terjadinya penumpukan lemak. Steatosis juga dapat disebabkan oleh ketidakseimbangan antara kecepatan sintesis dan pelepasan trigliserida oleh sel –

(8)

sel parenkim ke dalam sirkulasi sistemik (Lu, 1991). Steatosis bersifat reversibel, namun jika keadaan ini terus berlanjut, maka vakuola - vakuola lemak yang berukuran kecil akan berkumpul dan bergabung membentuk vakuola yang lebih besar sehingga mendesak inti sel ke sel perifer. Akibatnya dapat menyebabkan nekrosis tak terbalikkan (ireversibel).

f. Sirosis

Sirosis ditandai dengan adanya penumpukan septa kolagen yang tersebar di sebagian besar hepar. Umumnya sirosis berasal dari nekrosis sel tunggal karena kurangnya mekanisme perbaikan sel. Hal ini menyebabkan aktivitas fibroblastik dan pembentukan jaringan parut. Tidak cukupnya aliran darah dalam hepar menjadi faktor pendukung terjadinya sirosis (Lu, 1991). Sirosis hepar dapat juga dikatakan sebagai pengerasan hepar. Sirosis hepar dicirikan dengan permukaan nodular, granular, dan iregular, konsistensinya keras dan terjadi fibrosis difus. Pada umumnya bahan – bahan toksik dan parasit dapat menyebabkan sirosis hepar (Ressang, 1984).

g. Hepatitis

Hepatitis adalah radang pada hepar yang umumnya disebabkan oleh virus. Akan tetapi, berbagai senyawa kimia juga dapat mengakibatkan sindrom klinis yang tidak dapat dibedakan dari hepatitis akibat virus (Lu, 1991).

2. Parameter Fungsi Hepar

a. Serum Transaminase

Komponen kimia dalam darah mampu menggambarkan patogenesis organ yang menjadi target spesifik dari senyawa toksik, sehingga apabila diamati

(9)

perubahannya dapat memberikan informasi tentang perkembangan atau perbaikan jaringan yang terluka. Sel hepar mengandung berbagai enzim, beberapa diantaranya dapat dijadikan sebagai ajuan dalam penegakan diagnosis suatu penyakit. Contohnya yaitu Serum Glutamic Oxaloacetic Transaminase / alanin amino transaminase (SGPT/ALT) dan serum Serum Glutamic Pyruvic Transaminase / aspartat amino transaminase (SGOT/AST). Meningkatnya SGPT dan SGOT dalam darah menunjukkan adanya kerusakan hepar (Grasso, 2002).

Adapun enzim transaminase merupakan sekelompok enzim yang bekerja sebagai katalisator dalam proses pemindahan gugus amino (Noer, 1987). SGPT adalah enzim sitosolik yang mengkatalisis perpindahan gugus amino alanin ke asam α-ketoglutarat membentuk piruvat dan glutamat, sedangkan SGOT merupakan enzim mikrosomal yang mengkatalisis perpindahan gugus amino aspartat ke asam α-ketoglutarat membentuk oxaloasetat dan glutamat (Hascheck et al., 2010). Aktivitas kedua enzim ini dapat diukur sehingga mampu menunjukkan tingkat keparahan kerusakan hepar. Meningkatnya aktivitas kedua enzim transaminase tersebut merupakan tanda adanya gangguan fungsi hepar yang terjadi dalam waktu 24 jam hingga 48 jam (Zimmerman, 1978).

Kerusakan sel hepar yang menyebabkan kenaikan enzim ini umumnya disebabkan oleh virus, obat-obatan atau toksin yang menyebabkan hepatitis, karsinoma metastatik, kegagalan jantung dan penyakit hepar granulomatus yang disebabkan oleh alkohol (Goldfrank et al., 2006).

Serum GOT selain terdapat pada hepar juga terdapat dalam jumlah besar pada sel jantung, jaringan otot skelet, serta ginjal, dan dalam jumlah yang terbatas

(10)

pada sel darah merah. Oleh sebab itu, SGOT tidak bisa dijadikan sebagai penanda spesifik kerusakan hepar mengingat distribusinya yang luas. Sedangkan pada SGPT, walaupun terdistribusi pada beberapa jaringan namun kadar terbesar terdapat pada hepar, sehingga SGPT mampu menggambarkan kerusakan hepar. Oleh karena itu, SGPT dapat dijadikan penanda spesifik kerusakan hepar (Dufour, 2008).

Pada manusia, pasien dengan nilai transaminase lebih dari 300-400 U/I biasanya menunjukkan penyakit hepatoseluler akut. Sedangkan kenaikan lebih dari 1000 U/I menunjukkan kerusakan hepar yang diakibatkan oleh virus hepatitis, keracunan obat-obatan yang akut serta hipotensi yang berkelanjutan (Husadha, 1996).

b. Histopatologis Hepar

Pemeriksaan patologi hepar bisa meliputi pemeriksaan makroskopik dan mikroskopik. Pemeriksaan makroskopik dilihat berdasarkan perubahan warna dan penampilan yang dapat menunjukkan sifat toksisitas, seperti nekrosis, kongesti, perlemakan hepar atau sirosis. Selain itu, berat hepar juga bisa menunjukkan kondisi hepar. Dalam kasus tertentu peningkatan berat hepar merupakan kriteria paling peka untuk toksisitas. Adapun pemeriksaan mikroskopik menggunakan mikroskop cahaya dapat mendeteksi berbagai jenis kelainan histopatologis, seperti perlemakan, nekrosis, sirosis, nodul hiperplastik dan neoplasia. Sedangkan pemeriksaan mikroskopik menggunakan mikroskop elektron dapat mendeteksi perubahan dalam berbagai struktur sub sel (Lu, 1991).

(11)

Kebanyakan jaringan didapati tidak berwarna, sehingga tidak banyak yang dapat dilihat di bawah mikroskop. Oleh sebab itu agar berbagai unsur jaringan jelas terlihat dan dapat dibedakan, umumnya sampel harus diwarnai. Bahan warna diharapkan dapat mewarnai jaringan secara selektif. Hematoksilin dan Eosin adalah bahan pewarna yang banyak digunakan dalam pewarnaan jaringan. Pengecatan dasar menggunakan Hematoksilin Eosin (HE) dapat digunakan untuk melihat morfologi nukleus, sitoplasma, dan matrix seluler dengan bantuan mikroskop cahaya (Junqueira & Carniero, 1980). Hematoksilin Eosin adalah bahan pewarna yang sering digunakan pada pewarnaan histoteknik. Hematoksilin bekerja sebagai pewarna basa, artinya zat ini mewarnai unsur basofilik jaringan. Hematoksilin memulas inti, bagian sitoplasma yang kaya akan RNA dan matriks tulang rawan menjadi warna biru. Adapun Eosin berkerja sebagai pewarna asam. Bahan pewarna ini akan memulas komponen asidofilik jaringan seperti mitokondria, granula sekretoris dan kolagen menjadi warna merah muda (Junqueira et al., 1995).

3. Hepatotoksin

Hepatotoksin adalah zat yang dapat menimbulkan efek toksik pada hepar dengan dosis berlebihan atau dalam jangka waktu yang lama. Hepatotoksin dapat menyebabkan kerusakan hepar akut, subakut, dan kronik. Pada umumnya hepatotoksin dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu :

a. Hepatotoksin intrinsik

Golongan senyawa hepatotoksin intrinsik memiliki sifat dasar toksik terhadap hepar. Kerusakan hepar akibat pemejanan senyawa golongan ini dapat

(12)

diramalkan. Contoh dari golongan hepatotoksin intrinsik antara lain karbon tetraklorida, etionin, kloroform, dan kontrasepsi steroid (Zimmerman, 1978). b. Hepatotoksin idiosinkratik

Golongan senyawa hepatotoksin idiosinkratik merupakan senyawa yang dapat menimbulkan efek toksik pada individu yang sensitif. Efek toksik dari senyawa – senyawa golongan ini tidak dapat diramalkan. Contoh dari golongan senyawa hepatotoksin idiosinkratik antara lain isoniazid, haloten, dan sulfonamid (Zimmerman, 1978).

Toksikan didetoksifikasi di dalam hepar melalui reaksi konjugasi dengan beberapa senyawa yang dihasilkan seperti glutation, asam glukoronat, glisin, dan asetat. Di dalam hepar terdapat enzim pemetabolisme xenobiotik dengan kadar tinggi (terutama sitokrom P-450). Xenobiotik adalah semua senyawa kimia yang dalam keadaan normal tidak dibutuhkan oleh tubuh, termasuk di dalamnya adalah obat. Adanya enzim pemetabolisme ini membuat sebagian besar toksikan menjadi kurang toksik dan lebih mudah larut air, sehingga lebih mudah diekskresikan. Akan tetapi dalam beberapa kasus, toksikan diaktifkan sehingga dapat menginduksi lesi (Zimmerman, 1978).

4. Parasetamol

Parasetamol merupakan serbuk hablur, putih tidak berbau dan rasa sedikit pahit. Parasetamol larut dalam air mendidih dan dalam natrium hidroksida (NaOH) 1 N, mudah larut dalam etanol. Parasetamol mempunyai berat molekul 151,16 (Depkes RI, 1995). Struktur kimia parasetamol ditunjukkan sebagai berikut:

(13)

OH

NHCOCH

3

Gambar 1. Struktur parasetamol (Mutschler, 1991)

Parasetamol atau asetaminofen atau N-asetil-p-aminofenol secara luas digunakan sebagai analgesik dan antipiretik. Mekanisme kerja parasetamol adalah dengan menghambat pembentukan prostaglandin. Prostaglandin adalah suatu senyawa dalam tubuh yang berfungsi sebagai mediator nyeri dan inflamasi. Enzim

cyclooxygenase (COX) merupakan enzim yang berperan dalam pembentukan

prostaglandin dari asam arakhidonat. Prostaglandin tidak akan terbentuk apabila enzim cyclooxygenase dihambat, sehingga dapat mengurangi rasa nyeri (Ikawati, 2010).

Pembentukan prostaglandin tidak hanya dikatalisis oleh enzim COX-1 dan COX-2 melainkan oleh enzim COX-3 juga yang banyak terdapat di otak dan sistem syaraf pusat. Parasetamol ini lebih spesifik menghambat enzim COX-3 yang terdapat di otak, sehingga menghambat prostaglandin yang dapat mempengaruhi termostat di hipotalamus. Hal ini yang menyebabkan parasetamol dapat menurunkan demam (antipiretik). Selain itu parasetamol juga bekerja sebagai analgesik karena penghambatan prostaglandin dapat menurunkan ambang rasa nyeri. Tidak terhambatnya COX-1 oleh parasetamol dapat menurunkan efek samping pada lambung karena tidak mempengaruhi produksi prostaglandin yang dibutuhkan untuk melindungi mukosa lambung. Akan tetapi, kerja parasetamol

(14)

yang tidak menghambat COX-2, membuat efek parasetamol sebagai anti radang menjadi kecil di jaringan (Ikawati, 2010).

Parasetamol bila dikonsumsi secara oral akan cepat diabsorpsi dan dialirkan oleh darah menuju hepar. Di dalam hepar, selain berkonjugasi dengan sulfat dan glukoronat membentuk metabolit non toksik berupa parasetamol sulfat dan parasetamol glukoronat, parasetamol juga mengalami proses aktivasi metabolik, yaitu suatu proses dimana parasetamol dioksidasi oleh bentuk iso CYP450 menjadi metabolit reaktifnya yang disebut N-asetyl-p-benzoquinone imine (NAPQI). NAPQI merupakan senyawa yang reaktif dan akan mengasilasi makromolekul selular esensial sehingga dapat menyebabkan toksisitas (Ikawati, 2010). Metabolit NAPQI dapat menyebabkan stress oksidatif akibat pengikatannya secara kovalen dengan protein dalam hepar (Nelson, 1995). Keberadaan NAPQI juga mampu merubah struktur dan fungsi dari protein selular. NAPQI dapat memicu penurunan aktivitas kalsium ATPase dan meningkatkan kadar kalsium sitosol. Abnormalitas kadar kalsium intraselular dapat berakibat timbulnya perubahan fungsi membran serta hilangnya integritas membran (Chun et al., 2009).

Bila parasetamol digunakan dalam dosis teurapeutik, kadar glutation (GSH) yang terdapat dalam tubuh cukup untuk mendetoksifikasi NAPQI. Glutation mengandung gugus sulfhidril yang akan mengikat radikal bebas NAPQI secara kovalen dan menghasilkan konjugat asam merkapturat yang kemudian akan dieksresikan melalui urin (Ikawati, 2010). Akan tetapi, jika parasetamol digunakan dalam dosis tinggi, maka kadar NAPQI akan melebihi kemampuan glutation untuk mendetoksifikasi NAPQI dan menyebabkan kerusakan intraseluler diikuti nekrosis

(15)

hepar (Cairns, 2008). Lebih lanjut peranan glutation terhadap toksisitas parasetamol dapat terlihat pada gambar berikut:

OH N H CH3 O O N CH3 O OH N CH3 O S glutation H OH N CH3 O H N Protein H CYP-450 Glutation H2N-Protein

Gambar 2. Peranan glutation terhadap toksisitas parasetamol (Cairns, 2008) 5. Kunyit

Rimpang kunyit mengandung minyak atsiri tidak kurang dari 3,02 %v/b dan kurkuminoid tidak kurang dari 6,60 % dihitung sebagai kurkumin (Depkes RI, 2008). Kandungan kurkuminoid terdiri atas senyawa kurkumin, demetoksikurkumin, dan bisdemetoksikurkumin. Sedangkan komponen utama minyak atsiri yang terkandung dalam rimpang kunyit terdiri dari aromatik-turmeron, zingiberen, turmeron dan kurlon (Jayaprakasha et al., 2005).

Kunyit (Curcuma longa Linn. atau Curcuma domestica Val.) termasuk dalam suku Zingiberaceae, telah lama dikenal oleh masyarakat sebagai tanaman yang banyak manfaatnya antara lain sebagai antitumor, sebagai pembersih darah, serta menurunkan kadar lemak darah dan kolesterol. Kunyit juga memiliki khasiat

NON TOKSIK

NAPQI Parasetamol

(16)

sebagai anti bakteri, antioksidan, anti inflamasi, anti kanker, anti hepatitis, anti kejang, dan anti racun ular (Padua et al., 1999). Rimpang kunyit juga dilaporkan memiliki aktivitas hepatoprotektif (Hartono et al., 2005; Goenarwo et al., 2009). Kurkuminoid merupakan bahan aktif dari rimpang kunyit yang memiliki efek hepatoprotektif (Sreejayan & Rao, 1994).

Penelitian Hartono et al. (2005) melaporkan bahwa pemberian ekstrak etanol kunyit dosis tunggal 5 mg/kgBB dan 10 mg/kgBB mampu menurunkan kadar SGPT dan SGOT pada tikus jantan Wistar yang diinduksi parasetamol. Penelitian lain dari Goenarwo et al. (2009) melaporkan bahwa pemberian air perasan kunyit konsentrasi 50%, 75%, dan 100% dengan dosis 1 ml/200 gBB tikus selama 7 hari ternyata juga mampu mencegah kenaikan kadar SGOT, SGPT dan bilirubin total serum, akibat pemberian parasetamol dosis toksik.

Beberapa penelitian membuktikan bahwa senyawa kurkumin mampu menunjukkan efek hepatoprotektif terhadap hepatotoksin parasetamol (Yousef et

al., 2010), galaktosamin (Cerny et al., 2011), CCl4 (Reyes et al, 2007; Cao et al., 2015), dan butilhidroperoksida-tersier (Suyatna et al., 2006).

Berikut ini adalah struktur kurkuminoid yang terdiri dari kurkumin, demetoksi kurkumin, dan bisdemetoksi kurkumin

(17)

O O H OH H3CO HO O O OCH3 OH H3CO HO O O H OH H HO Kurkumin Demetoksikurkumin Bisdemetoksikurkumin

Gambar 3. Struktur kurkuminoid (Jayaprakhasa et al., 2015)

Kurkumin memberikan karakteristik warna kuning terang dan rasa yang kuat pada kunyit. Setelah pemberian peroral akan diabsorpsi oleh usus dan ekskresinya sebagian besar lewat feses. Gugus hidroksil dan metoksil pada cincin fenil serta subtituen diketon pada kurkumin diduga berperan dalam kemampuannya sebagai antioksidan (Jayaprakasha et al., 2005; Jovanovic et al., 2001).

6. Meniran

Herba meniran mengandung senyawa-senyawa golongan lignan antara lain filantin dan hipofilantin. Herba meniran juga mengandung flavonoid seperti niruriflavon dan komponen fenolik seperti triterpenoid (Thippeswamy et al., 2011). Kadar flavonoid total dalam herba meniran tidak kurang dari 0,90% dihitung sebagai kuersetin (Depkes RI, 2008).

Secara empiris dan klinis, herba meniran telah dilaporkan memiliki khasiat sebagai antibakteri atau antibiotik, antipiretik, antiradang, diuretik, ekspentoran,

1 3 2 4 5 6 7 8 9 10 2’ 3’ 4’ 5’ 6’ 7’ 8’ 9’ 10’ 3

(18)

hipoglikemik, antitumor, antikanker, serta hipolipidemik. Meniran termasuk tanaman suku Euphorbiaceae yang telah banyak digunakan untuk mengobati berbagai penyakit hepar (antihepatotoksik). Herba ini sering digunakan sebagai salah satu komponen dalam obat multiherbal penyakit hepar. Phyllanthus niruri dilaporkan memiliki aktivitas hepatoprotektif yang poten melawan berbagai gangguan hepar seperti hepatitis akibat virus dan toksisitas yang disebabkan oleh obat maupun lingkungan (Unander et al., 1995; Padma & Setty, 1999; Sebastian & Setty, 1999). Venkateswaran et al. (1987) melaporkan bahwa ada satu atau lebih kandungan kimia dalam meniran yang secara in vivo dapat menghambat replikasi virus woodchuck hepatitis sehingga mengurangi kerusakan hepar yang ditimbulkan.

Dalam beberapa penelitian, disebutkan bahwa meniran memiliki aktivitas hepatoprotektif terhadap hepatotoksin parasetamol (Sabir & Rocha, 2008; Makoshi

et al., 2013), CCl4 (Harish & Shivanandappa, 2006; Bhattacharjee & Sil, 2007) dan

thioacetamide (Sarkar & Sil, 2007). Penelitian Sabir & Rocha (2008) melaporkan

pada studi in vivo pemberian ektrak air meniran dosis 100 mg/kgBB selama 7 hari dapat menurunkan secara signifikan nilai SGPT, SGOT, peroksidasi lipid dan meningkatkan secara signifikan aktivitas katalase hepar pada tikus jantan Wistar yang induksi parasetamol. Adapun pada studi in vitro nya, ektrak air meniran mampu mengurangi akumulasi lipid peroksida yang diakibatkan oleh induksi Fe dan SNP (sodium nitroprusside) serta menujukkan aktivitas antioksidan dalam menangkap radikal bebas dari DPPH dan mengkhelat Fe. Penelitian lain yang mendukung yaitu penelitian Harish & Shivanandappa (2006) yang melaporkan

(19)

bahwa pada studi in vivo ektrak air dan ekstrak metanol meniran dengan dosis 100 mg/kgBB dapat menurunkan peroksidasi lipid, aktivitas SGPT dan aktivitas SGOT pada tikus terinduksi CCl4. Ektrak air dan ekstrak metanol meniran juga mampu menangkap radikal bebas DPPH, menghambat superoxide (O2-), dan menghambat peroksidasi mikrosomal pada pada uji in vitro-nya.

Penelitian terbaru menunjukkan bahwa protein isolat meniran turut berperan dalam aktivitas hepatoprotektif yang dimilikinya. Bhattacharjee & Sil (2007) melaporkan fraksi protein dari ekstrak air meniran menghasilkan aktivitas hepatoprotektif yang lebih baik daripada fraksi non protein, yaitu dengan memberikan penurunan aktivitas SGPT yang lebih besar pada tikus terinduksi CCl4. Penelitian lain dari Junieva & Yazid (2006) menyebutkan bahwa pada studi in vitro protein isolat meniran mampu menaikkan viabilitas sel serta menurunkan pelepasan enzim LDH (Lactate dehydrogenase) yang mana merupakan indikator kerusakan hepatosit akibat induksi tioasetamida.

Efek hepatoprotektif dari herba meniran berkaitan dengan senyawa antioksidan yang dimilikinya. Aktivitas antioksidan meniran selama ini diduga berasal dari senyawa fenolik yang terkandung dalam meniran. Namun menurut penelitian Harish & Shivanandappa (2006) kandungan fenolik tidak berkorelasi lurus dengan efek antioksidan meniran. Kandungan fenolik lebih tinggi ternyata tidak memberikan penghambatan superoxide (O2-) yang lebih besar. Hal ini mengindikasikan bahwa terdapat senyawa lain yang berperan dalam efek antioksidan meniran. Menurut Shamasundar et al. (1985), senyawa filantin dan hipofilantin yang terkandung dalam meniran mampu melindungi kultursel hepatosit

(20)

tikus terhadap karbon tetraklorida yang bersifat hepatotoksik. Krithika et al. (2009) juga melaporkan bahwa senyawa filantin dan hipofilantin memiliki efek antihepatotoksik terhadap hepatotoksin CCl4 dan galaktosamin. Senyawa filantin terdapat pada akar, batang, daun, dan biji buah meniran. Kadar tertinggi ada pada daunnya.

Berikut ini adalah senyawa filantin dan hipofilantin

O CH3 O O CH3 CH3 O O H3C H3C O CH3 O O O O CH3 CH3 O H3C H3C O (a) (b)

Gambar 4. Struktur filantin (a) dan hipofilantin (b) (Ram, 2001)

Dalam penelitian lain dilaporkan bahwa keberadaan flavonoid jenis kuersetin di dalam ekstrak meniran mampu memberikan efek hepatoprotektif terhadap tikus terinduksi parasetamol (Guzy et al., 2004). Yousef et al. (2010) juga melaporkan bahwa senyawa kuersetin mampu memberikan efek hepatoprotektif terhadap tikus yang diinduksi parasetamol. Kuersetin merupakan flavonoid polifenol dan diklasifikasikan sebagai flavonol. Dalam golongan flavonoid, kuersetin merupakan penangkap ROS yang paling poten (Heijnen et al., 2002) dan memiliki kapasitas sebagai anti-inflamasi yang kuat (Orsolic et al., 2004). Berikut ini adalah struktur kuersetin

(21)

O OH OH OH O OH HO

Gambar 5. Struktur kuersetin (Hoffmann, 2003) 7. Produk GL

Gambar 6. Sampel uji (Produk GL)

Organoleptik : Warna : kecoklatan Bau : kuat Rasa : pahit

Produk GL merupakan sediaan herbal berupa kapsul berisi campuran ekstrak kunyit dan meniran dengan perbandingan 3:2 yang berfungsi untuk membantu memelihara kesehatan hepar. Komposisi Produk GL yaitu 240 mg ekstrak rimpang kunyit, 160 mg ekstrak herba meniran, dan 176 mg bahan pengisi yang terdiri dari amilum manihot dan mikrokristalin selulosa. Adapun zat aktif yang berperan dalam menimbulkan efek hepatoprotektif produk GL yaitu kurkuminoid, filantin dan hipofilantin, serta kuersetin. Pelarut yang digunakan untuk mengekstraksi rimpang kunyit dan herba meniran dalam sediaan produk GL yaitu etanol. Etanol merupakan pelarut universal yang mana banyak senyawa dapat terlarut di dalamnya, sehingga dengan begitu senyawa kurkuminoid, filantin,

6’ 7 1 2 3 4 5 6 1’ 2’ 3’ 4’ 5’ 8

(22)

hipofilantin dan kuersetin yang berperan dalam menimbulkan efek hepatoprotektif produk GL diharapkan dapat tersari. Produk GL merupakan hasil pengembangan dari penelitian Novianto (2014) yang melaporkan bahwa campuran 75 mg ekstrak etanolik kunyit pasca destilasi dan 50 mg ekstrak etanolik meniran ternyata mampu menghasilkan efek hepatoprotektif yang lebih baik jika dibandingkan dengan bentuk tunggalnya. Kombinasi ekstrak kunyit dan meniran dengan perbandingan 3:2 tersebut mampu memberikan penurunan aktivitas ALP (Alkaline Phosphatase) lebih besar secara signifikan (p<0,05) jika dibandingkan bentuk tunggalnya. Kombinasi tersebut juga memberikan gambaran histopatologis yang lebih baik dari bentuk tunggal ekstrak kunyit maupun ekstrak meniran.

8. Kromatografi Lapis Tipis

Kromatografi adalah prosedur untuk memisahkan campuran bahan kimia menjadi substansi tunggalnya berdasarkan perbedaan distribusi senyawa pada 2 fase yang tidak saling campur. Kedua fase tersebut adalah fase diam (stationary

phase) dan fase gerak (mobile phase), yang saling bersinggungan tapi tidak saling

campur. Kromatografi lapis tipis (KLT) merupakan bagian dari kromatografi planar, yaitu kromatografi yang fase diamnya dilapiskan pada suatu lempeng datar (Gritter et al., 1985). Kromatografi lapis tipis dikenal sejak digunakannya senyawa alumina yang dilapiskan pada plat kaca untuk pemeriksaan tinctur pada tahun 1930.

Secara garis besar, fase diam yang umum digunakan ada 2 jenis. Fase diam yang polar (mengikuti fase normal) dan fase diam yang non polar (fase terbalik). Fase diam yang sering digunakan adalah silica gel. Silica yang digunakan merupakan silica yang dibebaskan dari air, bersifat sedikit asam, dan merupakan

(23)

fase diam yang paling populer digunakan. Silica digunakan untuk kromatografi dengan fase normal sedangkan untuk fase terbalik digunakan silica yang dilapisi dengan senyawa non polar misalnya lemak, parafin, minyak silicon rubber gom, atau lilin (Gritter et al., 1985).

Keuntungan dari penggunaan KLT antara lain:

a. dapat menguji secara kualitatif banyak senyawa secara bersamaan b. dapat dilakukan dengan mudah tanpa sumber listrik

c. cepat dan datanya reliable

d. sistem peralatan sederhana, murah dan mudah dimodifikasi

KLT dapat digunakan untuk tujuan preparatif maupun analitik. Jika ditujukan untuk keperluan analitik, penotolan hendaknya dibuat sekecil mungkin agar diperoleh pemisahan yang optimal. Totolan sampel yang melebar dapat menurunkan derajat pemisahannya. Berikut ini variasi jumlah sampel yang direkomendasikan untuk KLT dan disesuaikan berdasarkan tujuan analitik.

Tabel 1. Penotolan jumlah sampel yang direkomendasikan untuk tujuan analitik

Tujuan Diameter totolan (mm) Konsentrasi sampel (%) Jumlah sampel (mg) Kuantitatif (densitometer) 2 mm (0,5 ml sampel) 0,02 – 0,2 0,1 – 1 Identifikasi 3 mm (1 ml sampel) 0,1 – 1 1 – 20 Tes kemurnian 4 mm (2 ml sampel) 5 100

Volume terkecil yang dapat diaplikasikan secara manual untuk memperoleh reprodusibilitas yang baik adalah 0,5 µL. Bila volume sampel lebih dari 2 µL, maka penotolan disarankan secara bertahap dengan menunggu totolan kering sebelum penotolan berikutnya (Lukitaningsih & Sudarmanto, 2013).

(24)

Adapun metode penampak bercak pada KLT antara lain: a. Dilihat secara visual untuk senyawa-senyawa berwarna

b. Dilihat di bawah sinar UV 254 nm untuk senyawa-senyawa yang dikembangkan di atas plat yang diimpregnasi fluorescein yang dapat berpendar di bawah lampu UV 254 nm. Bercak akan nampak sebagai bercak gelap akibat terjadi pemadaman fluoresensi sorben.

c. Dilihat di bawah sinar UV 366 nm untuk senyawa-senyawa yang berfluoresensi secara alami.

d. Ditambahkan pereaksi pembentuk warna.

Salah satu pereaksi semprot adalah AlCl3. AlCl3 dapat digunakan untuk mendeteksi golongan senyawa flavonoid. Reaksi antara golongan senyawa flavonoid dengan AlCl3 adalah dengan membentuk senyawa kompleks. Pada kuersetin gugus hidroksi dan keton yang bertetangga akan membentuk kompleks dengan Al yang tahan terhadap asam, sedangkan gugus ortodihidroksi akan membentuk kompleks dengan Al yang tidak tahan asam (Markham, 1988).

Dalam penetapan profil KLT digunakan zat pembanding. Zat pembanding dapat berupa senyawa identitas maupun marker. Senyawa identitas merupakan senyawa yang dapat menjadi petunjuk spesifik suatu bahan tertentu, sedangkan marker adalah kandungan kimia, suatu senyawa atau golongan senyawa yang penting untuk tujuan kontrol kualitas, tanpa mempertimbangkan apakah mereka memiliki aktivitas farmakologis atau tidak (Hertiani, 2012). Syarat marker antara lain dapat diukur kadarnya dengan metode analisis yang umum digunakan, bersifat stabil, dan dapat diisolasi.

(25)

E. Landasan Teori

Penggunaan parasetamol dosis tinggi yaitu di atas 150 mg/kgBB, dapat menimbulkan kerusakan hepar (Davern, 2012). Di dalam hepar, parasetamol dioksidasi oleh enzim sitokrom P450 menjadi bentuk metabolit reaktifnya yang disebut N-asetyl-p-benzoquinone imine (NAPQI). NAPQI dapat berikatan secara kovalen dengan protein dalam hepar dan menyebabkan toksisitas (Nelson, 1995; Ikawati, 2010). Ketika parasetamol digunakan dalam dosis tinggi, maka kadar NAPQI akan melebihi kemampuan glutation untuk mendetoksifikasi NAPQI dan menyebabkan kerusakan intraseluler diikuti nekrosis hepar (Cairns, 2008).

Rimpang kunyit telah diketahui memiliki aktivitas hepatoprotektif (Hartono

et al., 2005; Goenarwo et al., 2009). Kandungan kurkuminoid berperan dalam

aktivitas hepatoprotektif yang dimiliki kunyit (Sreejayan & Rao, 1994). Beberapa penelitian melaporkan bahwa senyawa kurkumin mampu menunjukkan efek hepatoprotektif terhadap hepatotoksin parasetamol (Yousef et al., 2010), galaktosamin (Cerny et al., 2011), CCl4 (Reyes et al., 2007; Cao et al., 2015), dan butilhidroperoksida-tersier (Suyatna et al., 2006).

Herba meniran juga dilaporkan memiliki aktivitas hepatoprotektif terhadap hepatotoksin parasetamol (Sabir & Rocha, 2008; Makoshi et al., 2013), CCl4 (Harish & Shivanandappa, 2006; Bhattacharjee & Sil, 2007) dan tioasetamida (Sarkar & Sil, 2007). Senyawa yang diduga berperan dalam aktivitas hepatoprotektif meniran yaitu filantin dan hipofilantin (Shamasundar et al., 1985; Krithika et al., 2009) serta kuersetin (Guzy et al., 2004).

(26)

Kombinasi ekstrak kunyit dan meniran mampu menghasilkan efek hepatoprotektif. Penelitian Novianto (2014) melaporkan bahwa pemberian kombinasi 75 mg ekstrak kunyit pasca destilasi dan 50 mg ekstrak meniran dapat menurunkan aktivitas SGPT dan SGOT, aktivitas ALP (Alkaline Phosphatase), kadar bilirubin, peroksidasi lipid, juga mampu menaikkan total protein dan kadar glutation pada tikus terinduksi parasetamol. Efek hepatoprotektif yang dihasilkan dari kombinasi tersebut bahkan lebih optimal dari bentuk tunggalnya. Kombinasi 75 mg ekstrak kunyit pasca destilasi dan 50 mg ekstrak meniran mampu memberikan penurunan aktivitas ALP lebih besar secara signifikan (p<0,05) jika dibandingkan bentuk tunggalnya. Kombinasi tersebut juga memberikan gambaran histopatologis yang lebih baik dari bentuk tunggal ekstrak kunyit maupun ekstrak meniran.

Produk GL merupakan sediaan herbal berupa kapsul yang mengandung campuran ekstrak kunyit dan meniran yang berfungsi untuk membantu memelihara kesehatan hepar. Komposisi Produk GL yaitu 240 mg ekstrak rimpang kunyit, 160 mg ekstrak herba meniran, dan 176 mg bahan pengisi. Dengan melihat penelitian-penelitian sebelumnya maka memungkinkan sediaan ini memiliki efek hepatoprotektif terhadap tikus terinduksi parasetamol.

(27)

F. Hipotesis

Pemberian produk GL pada tikus jantan Wistar terinduksi parasetamol memiliki efek hepatoprotektif yang terlihat dari parameter aktivitas SGPT dan SGOT, serta histopatologis sel hepar.

(28)

Gambar

Gambar 2. Peranan glutation terhadap toksisitas parasetamol (Cairns, 2008)
Gambar 3. Struktur kurkuminoid (Jayaprakhasa et al., 2015)
Gambar 5. Struktur kuersetin (Hoffmann, 2003)
Tabel 1. Penotolan jumlah sampel yang direkomendasikan untuk tujuan analitik  Tujuan  Diameter totolan

Referensi

Dokumen terkait

Kita yang waras pun akhirnya mencoba menerima realitas itu dengan mengemukakan sejumlah alasan, seperti wajar saja turun karena orang miskin sudah menjadi sangat miskin sekarang..

[r]

[r]

Hasil proyeksi penduduk baik stagnan maupun menggunakan itriasi dapat dihitung laju pertumbuhan penduduk (LPP), hasil proyeksi tahun 2035 dengan kondisi stagnan tingkat

Ternyata penerapan traffic engineering adalah merupakan keunggulan jaringan MPLS terhadap jaringan berbasis IP (non MPLS), karena proses routing menjadi lebih cepat dengan

Variabel kondisi selokan, dari hasil analisis menunjukkan terdapat hubungan antara kondisi selokan yang buruk dengan kejadian leptospirosis di Kabupaten Pati ( p =

Sejalan dengan hal tersebut, Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya dalam mendukung peningkatan produksi perikanan telah menetapkan langkah-langkah nyata agar pembudidaya

• Cara ini dapat dilakukan dengan cepat dan sederhana. • Uji didih ini dapat digunakan utk mendeteksi apakah susu sdh disimpan terlalu lama tanpa pendinginan dan sudah