• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERANAN PIMPINANDALAM PENGEMBANGAN LEMBAGAPENDIDIKAN ISLAM

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PERANAN PIMPINANDALAM PENGEMBANGAN LEMBAGAPENDIDIKAN ISLAM"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

LEMBAGAPENDIDIKAN ISLAM

Khoirul Anam

IAIN Tulungagung Jl. Mayor Sujadi Timur 46 Tulungagung chasna.choir@gmail.com

ABSTRACT

Education is important in preparing and improving the quality of human resource in Indonesia. A well developed education system implies on the high quality of Islamic education in empowering Muslims in Indonesia to face globalization and reformation era. For private Islamic education, the role of the committee is central to make the institution excellent and outstanding.

Kata Kunci:Kepemimpinan, Pengembangan Lembaga Pendidikan Islam

Pendahuluan

Perkembangan masyarakat yangsemakin maju, menuntut mereka untuk terus menyesuaikan dan mengikuti dinamika tersebut. Kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan perubahan yang sifatnya global menjadi sebuah keniscayaankarena hal ini akan berkorelasi dengan eksistensi diri. Masyarakat/komunitas yang mampu mengikuti perkembangan akan memberi peluang lebih besar untuk bertahan, demikian juga sebaliknya. Madrasah sebagai sebuah lembaga pendidikan Islam dengan segala problematikanya juga tidak bisa terlepas dari fenomena global ini1.

Dewasa ini, kita semakin nyata mengalami proses gobalisasi yang ditandai dengan paling tidak, pergeseran pada tiga bidang: ekonomi, politik, dan budaya. Dalam bidang ekonomi terjadi liberalisasi, dalam bidang politik terjadi demokratisasi, dan dalam bidang budaya terjadi universalisasi nilai-nilai yang mengahruskan setiap bangsa untuk berpikir kembali tentang bagaimana mempertahankan jati dirinya2.

Bagi Indonesia sendiri, saat ini perlu dipertanyakan sejauh mana kesiapan pemerintah di segala tingkatan dan masyarakat swasta at large dalam menghadapi tantangan peningkatan kompetisi di pasar dunia (global) di tengah derasnya arus pembangunan di Indonesia yang sedang dilaksanakan dalam rangka membentuk suatu masyarakat yang diinginkan, dimana manusia sebagai subyek pembangunan.

1

“Pengembangan Guru, Sebuah Harga Mati”, http:// www.smak1 Cirebon.com/, diakses 02 Mei 2008

2

Pokja Filosofi Pendidikan, “Filosofi, Kebijakan, dan Strategi Pendidikan Nasional”, dalam Fasli Jalal dan Dedi Supriadi, Reformasi Pendidikan dalam Konteks Otonomi Daerah, (Yogyakarta: Adi Cita, 2001), hal. 3

(2)

Posisi manusia sebagai subjek pembangunan ini tidak bisa dipungkiri, karena melalui tangannya maju dan mundurnya pembangunan. Kalau ditelaah lebih mendalam pembangunan hakekatnya merupakan proses perubahan yang terus menerus serta merupakan kemajuan dan perbaikan menuju kearah tujuan yang diinginkan. Di sisi lain akibat dari paradigma pertumbuhan yang selama ini digunakan sebagai konsep pembangunan negara Indonesia, telah mengakibatkan kesenjangan yang cukup besar baik antara golongan kaya dan miskin maupun kesenjangan antara daerah satu dengan daerah lainnya.

Institusi yang ex officio bertanggung jawab terhadap pembinaan Sumber Daya Manusia adalah lembaga pendidikan. Oleh karena itu, penting sekali negara berkembang seperti Indonesia mengikuti nasihat peneliti McDougall: invest in man not in plan. Ada enam faktor yang menurut A. Qodry A. Azizy menjadi titik lemah yang kemudian menjadikan hancurnya sistem pendidikan nasional. Enam faktor tersebut (1) sistem pendidikan yang kaku dan sentralistik, (2) sistem pendidikan nasional tidak pernah mempertimbangkan kenyataan yang ada di masyarakat (3) sistem birokrasi yang kaku dan tidak jarang sebagai kendaraan politik penguasa (4) terbelenggunya guru dan dijadikannya guru sebagai alat birokrasi (5) pendidikan yang ada tidak berorientasi pada pembentukan kepribadian, namun hanya lebih pada sisi kognitif peserta didik dan (6) anak tidak pernah dididik atau dibiasakan untuk kreatif dan inovatif serta berorientasi pada keinginan untuk tahu3.

Dari uraian di atas, tergambar sebegitu besar peran pendidikan bagi proses penyiapan dan peningkatan kualitas sumber daya manusia. “Pendidikan ternyata memiliki peranan yang sangat penting, bahkan paling penting dalam mengembangkan peradaban … dan mencapai kejayaan …” umat manusia4.

Dalam rangka menjawab tantangan tersebut –di tengah keterpurukan yang melanda hampir semua negara berkembang-, dunia pendidikan dituntut untuk lebih meningkatkan kualitasnya. Hal ini penting agar setelah melewati masa krisis yang berkepanjangan ini, nasib bangsa Indonesia, terutama kaum miskin tidak semakin terpuruk. Selain itu menurut berbagai studi, terdapat korelasi yang tinggi antara tingkat pendidikan dengan pertumbuhan ekonomi suatu negara, dan juga ada korelasi yang tinggi antara keadaan ekonomi suatu negara dengan mutu pendidikannya5. Kualitas pendidikan di negara-negara yang sudah maju jauh lebih baik dibandingkan dengan di negara-negara berkembang dan negara miskin.

Pembicaraan tentang pendidikan, guru selalu ditempatkan di titik sentral.Apalagi dalam pembicaraan mengenai pendidikan Islam. Guru dalam ajaran Islam merupakan faktor yang dominan dan salah satu masukan instrumental yang penting dalam proses belajar mengajar. Karena perannya ini, adalah wajar dan bahkan menjadi suatu keharusan, bahwa penghargaan dan

3

A. Qodry A. Aziziy, Pendidikan (Agama) untuk Membangun Etika Sosial, (Semarang: Aneka Ilmu, 2003), hal. 8-12

4

Mujamil Qomar, Epistimologi Pendidikan Islam: dari Metode Rasional hingga Metode

Kritik, (Jakarta: Erlangga, 2005), hal. 226

5

Pokja Permberdayaan Guru dan Tenaga Kependidikan, “Pemberdayaan Guru”, dalam Fasli Jalal dan Dedi Supriadi, Reformasi…, hal. 340

(3)

penghormatan diberikan kepada guru, baik oleh peserta didik, masyarakat, maupun pemerintah.

Sebagai tenaga profesional, pun juga sebagai pembaharu dan pengembang dalam pembangunan nasional, guru mempunyai konsekuensi mendasar dalam bidang pendidikan khususnya, dan program-program pembangunan nasional secara umum. Terkait dengan akuntabilitas dalam sektor pendidikan, guru bertanggung jawab terhadap proses pendidikan yang terjadi pada peserta didiknya. Dari sini dapatlah dipahami bahwa profesionalisme merupakan sebuah tuntutan yang harus dipenuhi oleh seorang guru.Guru yang profesional dan efektif merupakan kunci keberhasilan bagi proses belajar-mengajar di sekolah. Bahkan, John Goodlad, seorang tokoh pendidikan Amerika Serikat, pernah melakukan penelitian yang hasilnya menunjukkan bahwa peran guru amat signifikan bagi setiap keberhasilan proses pembelajaran6.

Ada beberapa faktor eksternal dan internal yang dapat berdampak pada keberhasilan dalam melaksanakan tugas mulia yang diemban oleh guru dan lembaga pendidikan secara makro.Diantara faktor eksternalnya adalah kemampuan manajerial seorang pemimpin.

Dalam kasus pengembangan lembaga pendidikan Islam seperti madrasah – madrasah swasta –, maka peran pimpinan sangat urgen.Pimpinan yang dimaksud dalam kasus madrasah swasta adalah pengurus madrasah atau pengurus yayasan.Paling tidak pengurus madrasah/yayasanberperan sebagai pengarah serta pengambil polecy bagi pengembangan mutu pendidikan di lingkungan Lembaga Pendidikan Islam.

Kepempimpinan

Hakikat Kepemimpinan

“ Kepemimpinan” biasanya didefinisikan oleh para ahli menurut pandangan pribadi mereka, serta aspek-aspek fenomena dari kepentingan yang paling baik bagi pakar yang bersangkutan.Yukl mendefinisikan kepemimpinan sebagai suatu sifat, perilaku pribadi, pengaruh terhadap orang lain, pola-pola interaksi, hubungan kerjasama antar peran, kedudukan dari suatu jabatan administratif, dan persepsi dari lain-lain tentang legitimasi pengaruh7.Sementara itu, Nawawi mendefinisikan kepemimpinan sebagai kemampuan menggerakkan, memberikan motivasi, dan mempengaruhi orang-orang agar bersedia melakukan tindakan-tindakan yang terarah pada pencapaian tujuan melalui keberanian mengambil keputusan tentang kegiatan yang harus dilakukan8.

Uraian definisi kepemimpinan di atas memberikan pemahaman bahwa unsur kunci kepemimpinan adalah pengaruh yang dimiliki seseorang dan pada gilirannya akibat pengaruh itu bagi orang yang hendak dipengaruhi. Peranan penting dalam kepemimpinan adalah upaya seseorang yang memainkan peran sebagai pemimpin guna mempengaruhi orang lain dalam organisasi/lembaga tertentu untuk mencapai tujuan. Menurut Wirawan, “ mempengaruhi” adalah

6

Suyatno, “Guru yang Profesional dan Efektif”, http://aderusliana.blogspot.com/, diakses tanggal 02 Mei 2008

7Gary A. Yukl. Leadership In Organization. (New York: Prentice-Hall Inc, 1981), hal. 2-5 8

Hadari Nawawi. Administrasi Pendidikan. (Jakarta: Haji Masagung, 1987), hal. 81

(4)

proses dimana orang yang mempengaruhi berusaha merubah sikap, perilaku, nilai-nilai, norma-norma, kepercayaan, pikiran, dan tujuan orang yang dipengaruhi secara sistematis9.

Bertolak dari pengertiantersebut, terdapat tiga unsur yang saling berkaitan, yaitu unsur manusia, sarana, dan tujuan.Untuk dapat memperlakukan ketiga unsur tersebut secara seimbang, seorang pemimpin harus memiliki pengetahuan, kecakapan dan keterampilan yang diperlukan dalam melaksanakan kepemimpinannya.Pengetahuan dan keterampilan ini dapat diperoleh dari pengalaman belajar secara teori ataupun dari pengalamannya dalam praktek selama menjadi pemimpin.Namun secara tidak disadari seorang pemimpin dalam memperlakukan kepemimpinannya menurut caranya sendiri, dan cara-cara yang digunakan itu merupakan pencerminan dari sifat-sifat dasar kepemimpinannya.

Pendekatan Studi Kepemimpinan

Fiedler dan Charmer dalam kata pengantar bukunya yang berjudul Leadership and Effecctive Management, mengemukakan bahwa persoalan utama kepemimpinan dapat dibagi ke dalam tiga masalah pokok, yaitu: (1) bagaimana seseorang dapat menjadi seorang pemimpin, (2) bagaimana para pemimpin itu berperilaku, dan (3) apa yang membuat pemimpin itu berhasil10.

Sehubungan dengan masalah di atas, studi kepemimpinan yang terdiri dari berbagai macam pendekatan pada hakikatnya merupakan usaha untuk menjawab atau memberikan pemecahan persoalan yang terkandung di dalam ketiga permasalahan tersebut.

Hampir seluruh penelitian kepemimpinan dapat dikelompokkan ke dalam empat macam pendekatan, yaitu pendekatan pengaruh kewibawaan, sifat, perilaku dan situasional11.Pertama, pendekatan pengaruh kewibawaan.Menurut pendekatan ini, keberhasilan pemimpin dipandang dari segi sumber dan terjadinya sejumlah kewibawaan yang ada pada para pemimpin, dan dengan cara yang bagaimana para pemimpin menggunakan kewibawaan tersebut kepada bawahan. Pendekatan ini menekankan proses saling mempengaruhi, sifat timbal balik dan pentingnya pertukaran hubungan kerjasama antara para pemimpin dengan bawahan. French dan Raven dalam Wahjosumidjo mengemukakan bahwa berdasarkan hasil penelitian terdapat pengelompokan sumber dari mana kewibawaan tersebut berasal, yaitu: legitimate power,coersive power, reward power, referent power, dan expert power12.

Kedua, pendekatan sifat. Pendekatan ini menekankan pada kualitas pemimpin. Keberhasilan pemimpin ditandai oleh daya kecakapan luar biasa yang dimiliki oleh pemimpin, seperti tidak kenal lelah, intuisi yang tajam, wawasan masa depan yang luas, dan kecakapan meyakinkan yang sangat menarik.

9M. Ngalim Purwanto. Administrasi dan Supervisi Pendidikan. (Bandung: PT. Remaja

Rosda Karya, 1997), hal. 135

10

Fred E. Fiedler and Martin M. Charmer. Leadership and Effective Management. (Glenview Illionis: Scott, Foresman and Company, 1974), hal. 62

11Wahjosumidjo, Kepemimpinan Pimpinan lembaga, Tinjauan Teoritik dan

Permasalahannya. ( Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002), hal. 19

12

Ibid., hal. 21

(5)

Menurut pendekatan sifat, seseorang menjadi pemimpin karena sifat-sifatnya yang dibawa sejak lahir, bukan karena dibuat atau dilatih. Seperti dikatakan oleh Thierauf dalam Purwanto: “ The hereditery approach states that leaders are born and note made- that leaders do not acqueire the ability to lead, but inherit it“ yang artinya pemimpin adalah dilahirkan bukan dibuat bahwa pemimpin tidak dapat memperoleh kemampuan untuk memimpin, tetapi mewarisinya13. Selanjutnya Stogdill dalam Sutisna, mengemukakan bahwa seseorang tidak menjadi pemimpin dikarenakan memiliki suatu kombinasi sifat-sifat kepribadian, tapi pola sifat-sifat-sifat-sifat pribadi pemimpin itu mesti menunjukan hubungan tertentu dengan sifat, kegiatan, dan tujuan dari pada pengikutnya14.

Ketiga, pendekatan perilaku. “ Pendekatan perilaku” merupakan pendekatan yang berdasarkan pemikiran bahwa keberhasilan atau kegagalan pemimpin ditentukan oleh sikap dan gaya kepemimpinan yang dilakukan oleh pemimpin dalam kegiatannya sehari-hari dalam hal: bagaimana cara memberi perintah, membagi tugas dan wewenang, cara berkomunikasi, cara mendorong semangat kerja bawahan, cara memberi bimbingan dan pengawasan, cara membina disiplin kerja bawahan, dan cara mengambil keputusan15.

Keempat, pendekatan situasional.Pendekatan situasional menekankan pada ciri-ciri pribadi pemimpin dan situasi, mengemukakan dan mencoba untuk mengukur atau memperkirakan ciri-ciri pribadi ini, dan membantu pimpinan dengan garis pedoman perilaku yang bermanfaat yang didasarkan kepada kombinasi dari kemungkinan yang bersifat kepribadian dan situasional16.Pendekatan situasional dalam kepemimpinan mengatakan bahwa kepemimpinan ditentukan tidak oleh sifat kepribadian individu-individu, melainkan oleh persyaratan situasi sosial.Dalam kaitan ini Sutisna menyatakan bahwa “ kepemimpinan” adalah hasil dari hubungan-hubungan dalam situasi sosial, dan dalam situasi berbeda para pemimpin memperlihatan sifat kepribadian yang berlainan. Jadi, pemimpin dalam situasi yang satu mungkin tidak sama dengan tipe pemimpin dalam situasi yang lain dimana keadaan dan faktor-faktor sosial berbeda17.

Fungsi Kepemimpinan

Menurut Ardi, fungsi kepemimpinan adalah bagian dari tugas utama yang harus dilaksanakan. Masih menurut Ardi, fungsi-fungsi kepemimpinan yaitu: membantu terciptanya suasana persaudaraan, dan kerjasama dengan penuh rasa kebebasan, membantu kelompok untuk mengorganisasikan diri yaitu ikut memberikan rangsangan dan bantuan kepada kelompok dalam menetapkan tujuan, membantu kelompok dalam menetapkan proses kerja, bertanggung jawab dalam mengambil keputusan bersama dengan kelompok, dan terakhir bertanggung jawab dalam mengembangkan dan mempertahankan eksistensi organisasi18.

13M. Ngalim Purwanto, Administrasi dan Supervisi…, hal. 31

14 Nunung Chomzanah dan Ating tedja sutisna, Dasar-Dasar Manajemen. (Bandung:

Armico, 1994), hal. 258

15

M. Ngalim Purwanto, Administrasi dan Supervisi…., hal. 32

16Wahjosumidjo, Kepemimpinan…, hal. 29

17Nunung Chomzanah dan Ating tedja sutisna, Dasar..., hal. 260 18

Romli Ardi. Hand Out Kepemimpinan Pendidikan. (Jakarta: PPS UHAMKA, t.t.), hal.2

(6)

Sementara itu Wahjosumidjo mengemukakan fungsi-fungsi kepemimpinan yaitu: membangkitkan kepercayaan dan loyalitas bawahan, mengkomunikasikan gagasan kepada orang lain, dengan berbagai cara mempengaruhi orang lain, menciptakan perubahan secara efektif di dalam penampilan kelompok, dan menggerakkan orang lain, sehingga secara sadar orang lain tersebut mau melakukan apa yang dikehendaki19.

Gaya Kepemimpinan

Seorang pemimpin dapat melakukan berbagai cara dalam kegiatan mempengaruhi atau memberi motivasi orang lain atau bawahan agar melakukan tindakan-tindakan yang selalu terarah terhadap pencapaian tujuan organisasi. Cara ini mencerminkan sikap dan pandangan pemimpin terhadap orang yang dipimpinnya, dan merupakan gambaran gaya kepemimpinannya.

Pimpinan sebuah organisasi masyarakat semacam pengurus madrasah/yayasanseperti:pimpinan lembaga pendidikan ma’ arif, al irsyad, dikdas muhammadiyahsebagai seseorang yang diberi tugas untuk memimpin institusi, bertanggung jawab atas tercapainya tujuan, peran, dan mutu pendidikan di bawah naungan lembaga pendidikan tersebut.

Dengan demikian agar tujuan lembaga dapat tercapai, maka pengurus madrasah/yayasan dalam melaksanakan tugas dan fungsinya memerlukan suatu gaya dalam memimpin, yang dikenal dengan gaya kepemimpinan. Menurut Purwanto, gaya kepemimpinan adalah suatu cara atau teknik seseorang dalam menjalankan suatu kepemimpinan.

Selanjutnya dikemukakan bahwa gaya kepemimpinan dapat pula diartikan sebagai norma perilaku yang digunakan seseorang pada saat orang tersebut mencoba mempengaruhi perilaku orang lain seperti yang ia lihat. Dalam hal ini usaha menselaraskan persepsi diantara orang yang akan mempengaruhi perilaku dengan yang akan dipengaruhi menjadi amat penting kedudukannya20.

Pengurus madrasah/yayasan dalam melakukan tugas kepemimpinannya mempunyai karakteristik dan gaya kepemimpinan untuk mencapai tujuan yang diharapkannya. Sebagai seorang pemimpin, pengurus madrasah/yayasan tentunya mempunyai sifat, kebiasaan, temperamen, watak dan kebiasaan sendiri yang khas, sehingga dengan tingkah laku dan gayanya sendiri yang membedakan dirinya dengan orang lain. Gaya atau tipe hidupnya ini pasti akan mewarnai perilaku dan tipe kepemimpinannya.

Wahjosumidjo mengemukakan empat pola perilaku kepemimpinan yang lazim disebut gaya kepemimpinan yaitu perilaku instruktif, konsultatif, partisipatif, dan delegatif. Masih menurut Wahjosumidjo, perilaku kepemimpinan tersebut masing-masing memiliki ciri-ciri pokok, yaitu: (1) perilaku instruktif; komunikasi satu arah, pimpinan membatasi peranan bawahan, pemecahan masalah dan pengambilan keputusan menjadi tanggung jawab pemimpin, pelaksanaan pekerjaan diawasi dengan ketat, (2) perilaku konsultatif; pemimpin masih memberikan instruksi yang cukup besar serta menentukan keputusan, telah diharapkan komunikasi dua arah dan memberikan supportif terhadap bawahan,

19Wahjosumidjo, Kepemimpinan..., hal. 40 20

M. Ngalim Purwanto, Administrasi dan Supervisi…, hal.48

(7)

pemimpin mau mendengar keluhan dan perasaan bawahan tentang pengambilan keputusan, bantuan terhadap bawahan ditingkatkan tetapi pelaksanaan keputusan tetap pada pemimpin, (3) perilaku partisipatif; kontrol atas pemecahan masalah dan pengambilan keputusan antara pimpinan dan bawahan seimbang, pemimpin dan bawahan sama-sama terlibat dalam pemecahan masalah dan pengambilan keputusan, komunikasi dua arah makin meningkat, pemimpin makin mendengarkan secara intensif terhadap bawahannya, keikutsertaan bawahan dalam pemecahan dan pengambilan keputusan makin bertambah, (4) perilaku delegatif; pemimpin mendiskusikan masalah yang dihadapi dengan bawahan dan selanjutnya mendelegasikan pengambilan keputusan seluruhnya kepada bawahan, bawahan diberi hak untuk menentukan langkah-langkah bagaimana keputusan dilaksanakan, dan bawahan diberi wewenang untuk menyelesaikan tugas-tugas sesuai dengan keputusan sendiri21.

PengembanganLembaga PendidikanIslam

Di Indonesia dikenal berbagai bentuk dan jenis pendidikan Islam, seperti Pondok Pesantren, Madrasah, Sekolah Umum bercirikan Islam, Perguruan Tinggi Islam dan jenis-jenis pendidikan Islam luar sekolah, seperti Taman Pendidikan al-Qur’an (TPQ), Pesantren dan sebagainya. Kesemuanya itu, sesungguhnya merupakan aset dan salah satu dari konfigurasi sistem pendidikan nasional Indonesia. Keberadaan lembaga-lembaga pendidikan tersebut, sebagai khasanah pendidikan dan diharapkan dapat membangun dan memberdayakan umat Islam di Indonesia secara optimal, tetapi pada kenyataan pendidikan Islam di Indonesia tidak memiliki kesempatan yang luas untuk bersaing dalam membangun umat yang besar ini.

Memang terasa janggal dan mungkin juga lucu, karena dalam suatu komunitas masyarakat muslim yang besar, pendidikan Islamkurang mendapatkan kesempatan untuk berkembang secara optimal. Mungkin ada benarnya, pepatah yang mengakatakan bahwa “ayam mati kelaparan di lumbung padi”, artinya, pada kenyataannya pendidikan Islam tidak mendapat kesempatan yang luas dan seimbang dengan umatnya yang besar di bumi Indonesia ini.

Akhir-akhir ini terlihat pendidikan Islam mulai mengalami kemajuan, hal ini terbukti dengan semakin bertambah jumlah (kuantitatif) dan kokohnya keberadaan lembaga pendidikan Islam, artinya masuknya pendidikan agama/madrasah ke dalam mainstream pendidikan nasional, misalnya pada pendidikan tingkat madrasah sekarang ini, sejak ibtidaiyah sampai aliyah sudah mengikuti kurikulum nasional.

Sekolah Islam Unggulan sebagai Wacana Pengembangan Pendidikan Islam

Perkembangan yang mencolok pada tahun 90-an adalah munculnya sekolah-sekolah elite Muslim yang dikenal sebagai “sekolah Islam”. Sekolah-sekolah itu mulai menyatakan dirinya secara formal dan diakui oleh banyak kaum muslim sebagai “sekolah unggulan” atau “sekolah Islam unggulan”. Istilah lain yang sering digunakan untuk menyebut sekolah-sekolah tersebut adalah “SMA Model” atau “SMA Islam Model”.

21

Wahjosumidjo, Kepemimpinan…., hal. 449-450

(8)

Sekolah-sekolah tersebut dapat dikatakan sebagai “sekolah elite” Islam, karena sejumlah alasan yang mendasarinya.Alasan pertama bahwa sekolah-sekolah tersebut bersifat elite dari sudut akademis, dalam beberapa kasus hanya siswa-siswa terbaik yang dapat diterima sekolah-sekolah tersebut melalui seleksi yang kompetitif.Guru-guru yang mengajar di sekolah tersebut hanyalah mereka yang memenuhi persyaratan yang dapat diterima dan melalui seleksi secara kompetetif.Sekolah-sekolah tersebut dikelolah dengan manajemen yang baik dengan memiliki berbagai sarana pendidikan yang jauh lebih baik dan lebih lengkap, seperti perpustakaan, laboratorium, bengkel kerja, ruang komputer, masjid dan sarana olahraga.Semua itu membuat peserta didik di sekolah-sekolah tersebut jauh lebih baik secara akademis bila dibandingkan dengan sekolah-sekolah Islam lainnya dan bahkan dengan sekolah-sekolah umum yang disekolah-sekolah oleh pemerintah.

Dari perkembangan sekolah-sekolah ini, pemerintah dalam hal ini Kementerian Agama dan para ahli pendidikan Islam mulai percaya bahwa kualitas pendidikan madrasah dapat ditingkatkan, artinya bahwa pendidikan berkualitas yang ditawarkan madrasah akan dapat “dibeli” oleh kalangan orang tua Muslim. Maka tanpaknya, kita harus berusaha melakukan koreksi secara cepat dan cermat tentang program-program pendidikan pendidikan Islam yang sedang dijalankan, sehingga perbedaan antara pendidikan Islam dengan pendidikan umum dalam konfigurasi pendidikan nasional dapat dipersempit, artinya, secara kualitas pendidikan Islam harus mendapat kesempatan yang luas dan seimbang dengan umatnya yang besar di bumi Indonesia ini. Apabila kita menginkan pendidikan Islam dapat bersaing dengan pendidikan lain, tentu saja persoalan visi, misi, tujuan, fungsi, metode, materi dan kurikulum, orientasi, manajemen dan organisasi pendidikan Islam, harus dikoreksi, direvisi dan bahkan direformasi secara berani, sehingga pendidikan Islam akan menjadi pendidikan yang menarik minat peserta didik tanpa mengurangi prinsip-prinsip ajaran dari sumber pokok Islam yaitu Qur’an dan Hadis.

Apabila persoalan tersebut dilakukan secara baik, terencana dan terprogram, pendidikan Islam akan menjadi lebih solid dalam memberdayakan umat Islam di Indonesia dan siap menghadapi tantangan globalisasi serta tantangan reformasi diberbagai bidang kehidupan berupa demokrasi pendidikan, membangun etos kerja, profesionalisme, memiliki kemampuan emosional dan moralitas agar dapat membangun masa depan yang lebih baik, lebih maju, damai, adil dan lebih sejahtera, sehingga terwujud masyarakat baru Indonesia yang rahmatan lil’alamin.

Pola Pengembangan Pendidikan Islam

Dalam upaya mencari pola atau model alternatif pendidikan Islam di Indonesia, hendaknya pengembangan pendidikan Islam menitikberatkan atau berorientasi kepada visi dan misi, fleksibilitas, relevansi pendidikan di sekolah (formal) dan pendidikan di luar sekolah (non formal). Artinya keluwesan sistem dan kerjasama antara bentuk lembaga pendidikan Islam itu, akan melahirkan model alternatif baru dewasa ini dan masa mendatang.

(9)

Dalam upaya mencari “model alternatif pendidikan Islam” yang akan disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat madani Indonesia, paling tidak ada tiga pendekatan yang ditawarkan sebagai pola alternatif pendidikan Islam, yaitu pendekatan sistemik, suplemen dan pendekatan komplementer. Pertama, pendekatan sistemik, yaitu perubahan harus dilakukan terhadap keseluruhan sistem pada lembaga pendidikan Islam formal yang ada, dalam arti terjadi perubahan total.Kedua, pendekatan suplementer, yaitu dengan menambah sejumlah paket pendidikan yang bertujuan memperluas pemahaman dan penghayatan ajaran Islam secara lebih memadai.Langkah ini yang sering dilakukan dengan istilah yang populer adalah “tambal sulam”.Ketiga, pendekatan komplementer, yaitu dengan upaya mengubah kurikulum dengan sedikit radikal untuk disesuaikan secara terpadu22.

Dalam menghadapi perubahan dan tantangan masyarakat global, ada beberapa persoalan mendasar internal pendidikan Islam yang harus diselesaikan terlebih dahulu secara tuntas, yaitu :

Pertama, harus mengikis habis wawasan sejarah pendidikan Islam yang tidak sesuai dengan gagasan yang dibawa al-Qur’an, berupa persolan dikotomik pendidikan Islam yang merupakan persoalan mendasar dari perkembangan pendidikan Islam selama ini.Pendidikan Islam harus dijauhkan dari dikotomik, menuju pada integrasi antara ilmu agama dan ilmu umum, sehingga tidak melahirkan jurang pemisah antara ilmu agama dan ilmu bukan agama. Integrasi tersebut dengan sekaligus menciptakan perangkat lunah yaitu kerangka filosofis yang jelas dan baku.

Kedua, perlu pemikiran kembali tujuan dan fungsi lembaga-lembaga pendidikan Islam.Artinya lembaga-lembaga pendidikan tidak hanya berorientasi atau memenuhi keinginan kepentingan akhirat saja dengan mengajarkan keterampilan beribadah saja.Hal itupun, masih dirasakan apabila pendidikan Islam “dipandang dari dimensi ritual masih jauh dalam memberikan pengayaan spritual, etika dan moral”23ilahiyah.Memang diakui, bahwa peserta didik secara verbal kognitif dapat memahami ajaran Islam dan terampil dalam melaksanakannya (psikomotorik), tetapi kurang menghayati (afektif) kedalaman maknanya.Oleh karena itu, lembaga-lembaga pendidikan Islam harus menjadikan pendidikannya tersebut sebagai tempat untuk mempelajari ilmu-ilmu agama (spritual ilahiyah), ilmu pengetahuan, teknologi, keterampilan atau kemahiran, seni dan budaya serta etika dan moral ilahiyah.

Pendidikan Islam sekarang ini juga dihadapkan pada persoalan-persoalan yang cukup kompleks, yakni persoalan reformasi dan globalisasi menuju masyarakat Indonesia baru. Tantangan yang dihadapi sekarang adalah bagaimana upaya untuk membangun paradigma baru pendidikan Islam, visi, misi, dan tujuan, yang didukung dengan sistem kurikulum atau materi pendidikan, manajemen dan organisasi, metode pembelajaran untuk dapat mempersiapkan manusia yang berkualitas, bermoral tinggi dalam menghadapi perubahan masyarakat global yang

22

Suroyo, Perbagai Persoalan Pendidikan; Pendidikan Nasional dan Pendidikan Islam di

Indonesia, Jurnal Pendidikan Islam, Kajian tentang Konsep Pendidikan Islam, Problem dan

Prospeknya, Volume 1 Tahun 1991, Fakultas Tarbiyah IAIN, Yogyakarta, hal. 64

23

A. MalikFadjar, Reformasi Pendidikan Islam, (Jakarta: Fajar Dunia, 1999), hal. 52

(10)

begitu cepat, sehingga produk pendidikan Islam tidak hanya melayani dunia modern, tetapi mempunyai pasar baru atau mampu bersaing secara kompetetif dan proaktif dalam dunia masyarakat modern, global dan informasi. Perubahan yang perlu dilakukan pendidikan Islam, yaitu: (1) Membangun sistem pendidikan Islam yang mampu mengembangkan sumber daya manusia yang berkualitas agar mampu mengantisipasi kemajuan iptek untuk menghadapi tantangan dunia global menuju masyarakat Indonesia baru yang dilandasi dengan nilai-nilai ilahiyah, kemanusia (insaniyah), dan masyarakat, serta budaya. (2) Menata manajemen pendidikan Islam dengan berorientasi pada manajemen berbasis sekolah agar mampu menyerap aspirasi masyarakat, dapat mendayagunakan potensi masyarakat, dan daerah (otonomi daerah) dalam rangka penyelenggaraan pendidikan Islam yang berkualitas. (3) Meningkatkan demokratisasi penyelenggaraan pendidikan Islam secara berkelanjutan dalam upaya memenuhi kebutuhan masyarakat agar dapat menggali serta mendayagunakan potensi masyarakat.

Tawaran Hasim Amir ini, yang dikutip A. Malik Fadjar24, dapat digunakan sebagai konsep pendidikan Islam dalam menghadapi perubahan masyarakat Indonesia, yaitu :

Pertama, pendidikan integralistik, merupakan model pendidikan yang diorientasikan pada komponen-komponen kehidupan yang meliputi: Pendidikan yang berorientasi pada Rabbaniyah (Ketuhanan), insaniyah (kemanusiaan) dan alamiyah (alam pada umumnya), sebagai suatu yang integralistik bagi perwujudan kehidupan yang baik dan untuk mewujudkan rahmatan lil ‘alamin, serta pendidikan yang menggap manusia sebagai sebuah pribadi jasmani-rohani, intelektual, perasaan dan individual-sosial.

Kedua, pendidikan yang humanistik, merupakan model pendidikan yang berorientasi dan memandang manusia sebagai manusia (humanisasi), yakni makhluk ciptaan Tuhan dengan fitrahnya. Pendidikan humanistik, diharapkan dapat mengembalikan peran dan fungsi manusia yaitu mengembalikan manusia kepada fitrahnya sebagai sebaik-baik makhluk (khairu ummah).

Ketiga, pendidikan pragmatik adalah pendidikan yang memandang manusia sebagai makhluk hidup yang selalu membutuhkan sesuatu untuk melangsungkan, mempertahankan dan mengembangkan hidupnya baik bersifat jasmani maupun rohani, seperti berpikir, merasa, aktualisasi diri, keadilan, dan kebutuhan spritual ilahiyah. Dengan demikian, model pendidikan dengan pendekatan pragmatik diharapkan dapat mencetak manusia pragmatik yang sadar akan kebutuhan-kebutuhan hidupnya, peka terhadap masalah-masalah sosial kemanausiaan dan dapat membedakan manusia dari kondisi dan siatuasi yang tidak manusiawi. Keempat, pendidikan yang berakar pada budaya, yaitu pendidikan yang tidak meninggalkan akar-akar sejarah, baik sejarah kemanusiaan pada umumnya maupun sejarah kebudayaan suatu bangsa, kelompok etnis, atau suatu masyarakat tertentu.

24

A. Malik Fadjar, Reformasi…., hal. 37-39

(11)

Peran Pengurus/Yayasandan Masyarakat dalam Pengembangan Lembaga Pendidikan Islam

Memberikan Saran atau Masukan yang Membangun

Madrasah ataupun lembaga pendidikan Islam model lainnya merupakan wakil keluarga untuk membantu pendidikan anak sejak ia masuk lembaga pendidikan. Dengan demikian berarti lembaga pendidikan mempunyai hubungan yang sangat erat dengan keluarga. Oleh karena itu lembaga pendidikan harus selalu memperhitungkan dan mengajak serta keluarga atau masyarakat dalam proses penyelenggaraan pendidikan anak di lembaga pendidikan.

Mengingat pentingnya kerja sama ini, maka dibentuklah komite lembaga pendidikan yang salah satu fungsinya adalah untuk mewadahi dan menyalurkan aspirasi dan prakarsa masyarakat dalam melahirkan kebijakan oprasional dan program pendidikan di satuan pendidikan. Jadi dengan melalui komite, berbagai keluhan, kekecewaan, permasalahan serta keinginana dan harapan masyarakat dapat ditampung, dipecahkan dan ditindak lanjuti oleh komite.

Untuk dapat merealisasikan hal tersebut, maka lembaga pendidikan harus mengadakan pertemuan secara berkala dengan masyarakat, agar lembaga pendidikan dapat melaporkan persoalan-persoalan yang muncul dalam penyelenggaraan pendidikan dan agar dapat menyerap aspirasi masyarakat terhadap penyelenggaraan pendidikan guna kelancaran dan peningkatan mutu pendidikan. Sehingga dengan demikian, maka pengembangan pendidikan Islam akan dapat tercapai dengan baik sesuai dengan tujuan pendidikan dan harapan masyarakat.

Membantu Tenaga, Fikiran dan Biaya Penyelenggaraan Pendidikan

Sebagaimana telah dipaparkan di atas, bahwa dana dan sarana prasarana pendidikan merupakan unsur penting dalam penyelenggaraan pendidikan. Oleh karena itu sekolah harus selalu melakukan penggalian sumber-sumber dana dan pembinaan sarana dan prasarana secara berkala dan berkesinambungan, agar penyelenggaraan dan peningkatan mutu pendidikan dapat tercapai dengan baik dan sarana prasarana senantiasa fungsional secara optimal guna kepentingan proses belajar mengajar.

Sehubungan dengan hal tersebut, maka masyarakat perlu memberikan bantuan tenaga, fikiran dan biaya pendidikan agar penyelenggaraan pendidikan di sekolah dapat berjalan dengan optimal, guna tercapainya tujuan pendidikan sebagaimana yang diharapkan bersama. Jadi dengan adanya bantuan tenaga, fikiran dan biaya dari masyarakat, maka pengembangan lembaga pendidikan Islam akan dapat tercapai dengan baik sesuai dengan tujuan pendidikan Islam itu sendiri.

Mengawasi Penyelenggaraan dan Pengembangan Pendidikan Islam

Untuk dapat merealisasikan pengembangan pendidikan Islam, maka masyarakat sebagai salah satu dari tri pusat pendidikan harus senantiasa mengadakan pengawasan terhadap jalannya penyelenggaraan pendidikan dilembaga pendidikan, yaitu dengan cara berpartisipasi aktif mengidentifikasikan permasalahan pendidikan, memikirkan jalan keluar dalam memecahkan problem

(12)

pendidikan dan ikut aktif kreatif dalam memberikan sumbangan ide, gagasan dan pendanaan guna kemajuan pendidikan Islam.

Jadi dengan adanya pengawasan masyarakat terhadap jalannya penyelenggaraan pendidikan, maka pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan di lembaga pendidikanakan dapat berjalan dengan efektif dan optimal, sehingga peningkatan pendidikan dapat tercapai dengan baik dan menghasilkan peserta didik yang berkualitas.

Penutup

Penyelenggara lembaga pendidikan Islam memiliki peranan yang sangat urgen.Peran tersebut paling tidak dimanifestasikan sebagai pengarah serta pengambil polecy bagi pengembangan mutu pendidikan di lingkungan Lembaga Pendidikan yang dinaunginya. Kuantitas serta kualitas peran yang dimainkan akan sangat berimplikasi pada peningkatan kualitas lembaga pendidikan serta pada pengembangan lembaga pendidikan Islam ke depan. Dengan demikian para penyelanggara pendidikan atau pengurus lembaga pendidikan harus mampu mengantisipasi segala bentuk hambatan yang dapat merintangi kelancaran dan pengembangan pendidikan Islam.

DAFTAR PUSTAKA

“Pengembangan Guru, Sebuah Harga Mati”, http:// www.smak1 Cirebon.com/, diakses 02 Mei 2008

Fadjar, A. Malik,Reformasi Pendidikan Islam, Jakarta: Fajar Dunia, 1999

Azizi, A. Qodry A.,Pendidikan (Agama) untuk Membangun Etika Sosial, Semarang: Aneka Ilmu, 2003

Fiedler, Fred E. and Martin M. Charmer. Leadership and Effective Management. Glenview Illionis: Scott, Foresman and Company, 1974

Yukl, Gary A.,Leadership In Organization. New York: Prentice-Hall Inc, 1981 Nawawi, Hadari,Administrasi Pendidikan. Jakarta: Haji Masagung, 1987

Purwanto,M. Ngalim,Administrasi dan Supervisi Pendidikan. Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 1997

Qomar, Mujamil,Epistimologi Pendidikan Islam: dari Metode Rasional hingga Metode Kritik, Jakarta: Erlangga, 2005

Jalal, Fasli, dan Dedi Supriadi, Reformasi Pendidikan dalam Konteks Otonomi Daerah, Yogyakarta: Adi Cita, 2001

Ardi, Romli,Hand Out Kepemimpinan Pendidikan. Jakarta: PPS UHAMKA, t.t. Suroyo, “Perbagai Persoalan Pendidikan; Pendidikan Nasional dan Pendidikan

Islam di Indonesia”, Jurnal Pendidikan Islam, Kajian tentang Konsep Pendidikan Islam, Problem dan Prospeknya, Volume 1 Tahun 1991, Fakultas Tarbiyah IAIN, Yogyakarta

(13)

Chomzanah, Nunung dan Atingtedjasutisna, Dasar-Dasar Manajemen. Bandung: Armico, 1994

Suyatno, “Guru yang Profesional dan Efektif”, http://aderusliana.blogspot.com/, diakses tanggal 02 Mei 2008

Wahjosumidjo, Kepemimpinan Pimpinan lembaga, Tinjauan Teoritik dan Permasalahannya. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002.

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini dilaksakanakan di Sungai Bolifar yang terletak di Kecamatan Bula Timur, Kabupaten Seram Bagian Timur, Provinsi Maluku .Penelitian ini bertujuan untuk

Salah satu gangguan pada plasenta yang mengakibatkan kegagalan fungsi plasenta adalah Insufisiensi Plasenta, yaitu suatu komplikasi yang terjadi pada kehamilan di mana plasenta

kelas eksperimen dan kelas kontrol berbeda secara statistik, maka dapat disimpulkan bahwa pembelajaran dengan menggunakan pendekatan ilmiah pada materi larutan

Selain, guru menegaskan kepada siswa untuk tidak membicarakan hal lain selain materi yang yang dibahas, guru juga menggunakan sistem pengurangan nilai kepada siswa yang

Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan informasi tentang karakteristik sarang dan pendugaan populasi orangutan di Cagar Alam Sipirok, Sumatera UtaraI. Penelitian dilakukan

KEGIATAN ANGGARAN TARGET REALISASI KINERJA PADA TRIWULAN REALISASI CAPAIAN. KINERJA

Studi pendahuluan yang telah dilakukan di Panti Pelayanan Sosial Lanjut Usia (PPSLU) Sudagaran Banyumas didapatkan lansia yang mengalami gangguan fungsi kognitif