• Tidak ada hasil yang ditemukan

MODUL 6 FASILITASI DALAM PENDAMPINGAN SOSIAL

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "MODUL 6 FASILITASI DALAM PENDAMPINGAN SOSIAL"

Copied!
110
0
0

Teks penuh

(1)
(2)
(3)

iii

MODUL 6

FASILITASI DALAM PENDAMPINGAN SOSIAL

PELATIHAN DASAR PENDAMPING SOSIAL

Oleh: Toton Witono

Pusat Pendidikan dan Pelatihan Kesejahteraan Sosial BADAN PENDIDIKAN, PENELITIAN, DAN PENYULUHAN SOSIAL

KEMENTERIAN SOSIAL RI 2020

(4)
(5)

v

KATA PENGANTAR

Puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas limpahan berkah dan karunia-Nya sehingga Modul Fasilitasi dalam Pendampingan Sosial untuk Pelatihan Dasar Pendamping Sosial ini dapat terwujud.

Keberhasilan penyelenggaraan kesejahteraan sosial sangat ditentukan oleh kualitas sumber daya manusia kesejahteraan sosial (SDM Kesos). Pendamping sosial merupakan salah satu SDM Kesos dari unsur tenaga kesejahteraan sosial (TKS) dengan jumlah puluhan ribu yang tersebar di seluruh pelosok Indonesia. Mereka memiliki ragam tugas, peran, dan tanggung jawab yang diemban sesuai domain bidang penyelenggaraan kesos. Pelatihan Dasar Pendamping Sosial dirancang dalam rangka memberikan kompetensi dasar pendampingan sosial di lapangan. Modul Fasilitasi dalam Pendampingan Sosial merupakan modul keenam dari sepuluh modul yang disusun. Modul ini sangat penting untuk membekali para pendamping sosial bagaimana melakukan fasilitasi bagi para penerima manfaat dalam menangani masalah, mengembangkan kemampuan, atau mengakses sumber. Harapannya adalah agar mereka mampu melakukan perubahan perilaku dan mencapai tujuan yang mereka cita-citakan. Modul ini tidak saja mengulas hal-hal terkait keterampilan dan teknik fasilitasi, tetapi juga mengetengahkan sejumlah konsep dasar sebagai landasan untuk praktik pendampingan.

Kami mengucapkan banyak terima kasih kepada penyusun beserta tim modul Pelatihan Dasar Pendamping Sosial. Saya melihat modul ini dan juga modul-modul lain tetap dikerjakan dengan serius, meskipun dalam kondisi terbatas karena pandemi wabah COVID-19. Segala sesuatu di dunia ini tidak ada yang sempurna. Modul ini pun tentu bukan sesuatu yang final. Koreksi, masukan dan saran masih sangat dibutuhkan demi perbaikan yang berkelanjutan. Semoga modul ini bermanfaat bagi para fasilitator sebagai peserta TOT dan juga para pendamping sosial di seluruh Indonesia.

Jakarta, September 2020 Kepala Pusdiklat Kesejahteraan Sosial

(6)
(7)

vii

DAFTAR ISI

Kata Pengantar v

Daftar Isi vii

Daftar Gambar dan Tabel ix

Petunjuk Penggunaan Modul x

BAB I PENDAHULUAN 1

A. Latar Belakang 1

B. Relevansi 3

C. Tujuan Pembelajaran 4

D. Pokok Bahasan 5

E. Metode dan Media Pembelajaran 6

F. Skema dan Proses Pembelajaran 7

BAB II FASILITASI DAN PENDAMPINGAN SOSIAL 11

A. Dekripsi Singkat 11

B. Mengenal Fasilitasi 12

1. Pengertian Fasilitasi 12

2. Karakteristik Fasilitasi 13

C. Pendampingan Sosial 16

1. Pemberdayaan dan partisipasi 19

2. Dinamika kelompok Perumusan Kesepakatan 23

3. Model Pembelajaran Orang Dewasa 31

D. Rangkuman 34

E. Lembar Kerja 35

LK. 6.1. Pendekatan Partisipatif vs Konvensional dalam Kerja Kelompok 35

LK. 6.2. Menggali pengalaman lapangan 35

F. Evaluasi 36

G. Umpan Balik dan Tindak Lanjut 37

BAB III PERAN DAN KETERAMPILAN FASILITASI 39

A. Dekripsi Singkat 39

B. Peran dan Keterampilan Fasilitasi 40

1. Animasi Sosial 43

(8)

3. Pemanfaatan Keahlian dan Sumberdaya 44

4. Pengorganisasian 45

5. Komunikasi Personal 46

6. Menumbuhkan Kesadaran 47

7. Mediasi dan Negosiasi 48

8. Melakukan Konfrontasi 49

9. Membangun Konsensus 50

10.Fasilitasi Kelompok 51

11.Berbagi Informasi dan Memberikan Pelatihan 53

C. Rangkuman 55

D. Lembar Kerja 56

LK. 6.3. Menggali Pengalaman Lapangan 56

E. Evaluasi 56

F. Umpan Balik dan Tindak Lanjut 57

BAB IV TEKNIK FASILITASI DALAM PERTEMUAN 59

A. Dekripsi Singkat 59

B. Fasilitasi dalam Pertemuan 61

1. Tahapan dan Proses Pertemuan 62

2. Prinsip Pembelajaran Orang Dewasa 64

C. Teknik Dasar Fasilitasi dalam Pertemuan 68

1. Teknik Bertanya 68

2. Mendengarkan Aktif 73

3. Fasilitasi Diskusi Terbuka 74

4. Curah Pendapat 75

5. Chartwriting 76

6. Penggunaan Media dalam Fasilitasi 78

7. Teknik Fasilitasi dalam Pembuatan Kesepakatan 80

8. Teknik Fasilitasi dalam Situasi Sulit 82

D. Rangkuman 86

E. Lembar Kerja 87

LK. 6.4. Praktik Teknik Fasilitasi 87

F. Evaluasi 89

G. Umpan Balik dan Tindak Lanjut 89

BAB V PENUTUP 91

A. Kesimpulan 91

B. Tindak Lanjut 93

Daftar Pustaka 95

(9)

ix

DAFTAR GAMBAR DAN TABEL

G A M B A R

Gambar 1.1. Skema pembelajaran modul fasilitasi 7

Gambar 2.1. Pengurangan peran fasilitator dan peningkatan peran masyarakat 15

Gambar 2.1. Tangga partisipasi Sherry Arnstein 23

Gambar 2.3. Potret dinamika kelompok dalam pengambilan keputusan 25 Gambar 2.4. Potret dinamika pengambilan keputusan dalam kenyataan 26 Gambar 2.5. Dua proses berpikir dalam dinamika pengambilan keputusan 26 Gambar 2.6. Bentuk ideal dinamika proses pengambilan keputusan 28 Gambar 2.7. Model/Teori Berlian Fasilitasi Proses Kesepakatan 29 Gambar 2.8. Model pembelajaran eksperiensial David Kolb 33 Gambar 3.1. Peran fasilitator menggunakan Jendela Johari 40

Gambar 4.1. Tahap dalam pertemuan/diskusi 62

Gambar 4.2. Layout pertemuan tradisional 63

Gambar 4.3. Layout pertemuan interaktif 63

Gambar 4.4. Persentase aktivitas pembelajaran yang diingat 66 Gambar 4.5. Proses pengambilan keputusan/perumusan kesimpulan Bersama 81

T A B E L

Tabel 2.1. Teknik pendampingan 18

Tabel 2.2. Perbedaan pendekatan partisipatif dan konvensional dalam

fasilitasi kelompok 24

Tabel 2.3. Perbedaan antara dua proses berpikir dalam pengambilan keputusan 28

Tabel 3.1. Peran dalam pendampingan sosial 42

Tabel 4.1. Contoh-contoh teknik mengajukan pertanyaan 72 Tabel 4.2. Tips dalam memfasilitasi curah pendapat 76 Tabel 4.3. Teknik pengambilan keputusan atau perumusan kesepakatan/

kesimpulan bersama 83

(10)

PETUNJUK PENGGUNAAN MODUL

Modul ini terdiri dari tiga pokok bahasan utama, yaitu fasilitasi dan pendampimngan sosial, peran dan keterampilan fasilitasi, dan teknik fasilitasi dalam pertemuan. Pokok bahasan awal merupakan pengetahuan yang agak abstrak yang berguna sebagai semacam landasan konseptual bagi peran dan keterampilan fasilitasi. Dua pokok bahasan berikutnya bersifat cukup praktis dan aplikatif karena merupakan keterampilan, teknik. dan juga sikap yang diperlukan pendamping sebagai seorang fasilitator kelompok atau komunitas.

Proses pembelajaran utama yang digunakan modul ini meggunakan model pembelajaran orang dewasa atau biasa dikenal dengan pembelajaran andragogi. Dengan demikian, asumsi utamanya adalah bahwa peserta di kelas TOT atau pada saat diklat nanti tidak lah seperti gelas kosong yang siap diisi. Sebaliknya, mereka adalah gelas yang sudah terisi sebagian, atau bahkan penuh. Sumber pengetahuan tidak semata berasal dari modul atau fasilitator di depan kelas, melainkan juga dari pengetahuan dan pengalaman peserta. Proses pembelajaran nanti diupayakan untuk menggali dan memanfaatkan pengalaman mereka di lapangan. Pengajar di depan lebih berperan hanya sebagai fasilitator. Untuk itu, konsep dan praktik fasilitasi tidak hanya menjadi materi utama yang akan disampaikan di kelas, tetapi juga inheren dalam proses pembelajaran itu sendiri.

Modul ini bukanlah buku resep (cook book) yang sangat praktis berisi langkah-langkah menit per-menit pembelajaran yang harus dilakukan peserta atau fasilitator di kelas. Terutama untuk pokok bahasan 1, modul masih membuka ruang interpretasi yang dapat didiskusikan bersama di kelas. Modul fasilitasi ini juga masih terbuka untuk pengembangan (atau improvisasi) metode dan media pembelajaran sejauh relevan dan koheren dengan materi pokok bahasan atau sub-pokok bahasan. Maka, penambahan materi dari luar pun sangat dimungkinkan sebagai pengayaan, bahkan sangat direkomendasikan.

Bersama uraian materi, modul dilengkapi dengan lembar kerja, evaluasi atau latihan soal yang berisi pertanyaan, dan timbal-balik beserta rencana tindak lanjutnya.

(11)
(12)
(13)

Modul 6 Fasilitasi dalam Pendampingan Sosial 1

BAB I PENDAHULUAN

Pendamping sosial pada prinsipnya memiliki tugas utama melakukan pendampingan kelompok atau komunitas di masyarakat. Menurut Suharto (2009), pendampingan sosial merupakan salah satu strategi dalam melakukan pemberdayaan masyarakat. Bahkan pendampingan menjadi faktor penting penentu keberhasilan program pemberdayaan. Dalam konteks modul ini, pendampingan sosial dalam penjelasan Suharto dapat dipahami sebagai aktivitas dinamis yang dilakukan secara bersama-sama antara penerima manfaat dan pendamping sosial untuk mengatasi berbagai tantangan sebagai berikut (p. 94):

1. Merancang program perbaikan kehidupan sosial ekonomi 2. Memobilisasi sumber daya lokal

3. Memecahkan masalah sosial

4. Menciptakan atau membuka akses bagi pemenuhan kebutuhan

5. Menjalin kerjasama dengan berbagai pihak yang relevan dengan konteks pemberdayaan masyarakat.

Setiap pendamping sosial memiliki peran dan fungsi sesuai wilayah atau bidang penugasan. Pendamping sosial anak, misalnya, memiliki domain utama pendampingan sosial bagi pemerlu dari kategori anak, yakni dengan batasan usia di bawah 18 tahun. Keluarga dan orang-orang terdekatnya (significant others) juga menjadi tugas pendamping untuk dihubungi. Pihak-pihak terkait yang dapat membantu menangani masalah anak turut dilibatkan, sejauh diperlukan dan dianggap penting. Dalam interaksi antara pendamping dengan semua pihak terkait penanganan anak, akan sangat mungkin jika jalinan komunikasi menjadi intens, hubungan baik tercipta, dan kepercayaan pun terbangun.

Pada titik itulah keberadaan pendamping menjadi penting dan dibutuhkan

(14)

2 PELATIHAN DASAR PENDAMPINGAN SOSIAL

oleh masyarakat. Konsekuensinya, masyarakat merasa aman dan nyaman untuk meminta pertolongan kepada para pendamping dalam menyelesaikan permasalahannya, bahkan untuk urusan yang terkadang di luar tugas dan fungsinya sebagai pendamping sosial. Sebagai contoh dari lapangan, pendamping sosial komunitas adat terpencil (KAT) membantu orang sakit dari suatu komunitas untuk dibawa ke rumah sakit. Si pendamping harus memberi pengertian kepada keluarga yang lebih percaya pengobatan tradisional, memberi informasi yang tepat, membantu mempersiapkan dokumen yang diperlukan, mengurus kartu BPJS, dan urusan-urusan lain di luar tanggung jawabnya melakukan aktivitas pemberdayaan KAT. Selaku pendamping sosial yang hadir di tengah-tengah masyarakat tentu tidak bisa menolak ketika dimintai pertolongan oleh warga setempat.

Singkat cerita, pendamping sosial yang bertugas di lapangan harus mempersiapkan diri terhadap segala kemungkinan. Hal ini bukan berarti pendamping dituntut untuk serba bisa, karena dia juga harus paham dan sadar akan keterbatasan kapasitasnya. Namun demikian, pendamping harus mampu mengidentifikasi sumber daya (resources) yang ada, kemudian bagaimana mengakses dan menghubungkannya dengan pemerlu layanan di masyarakat.

Kerja pendampingan juga tidak sekadar menghubungkan orang dengan sistem sumber penyedia layanan atau fasilitas. Terkadang pendamping harus mampu menangkap kebutuhan atau masalah sosial yang mungkin tidak disadari oleh masyarakat. Dengan begitu, para pendamping harus dibekali kemampuan memunculkan gagasan, menangkap peluang di balik masalah, menginisiasi tindakan, melakukan penyadaran, mengedukasi dan menyuplai informasi yang dibutuhkan, dan lain sebagainya, sehingga masyarakat mau terlibat aktif melakukan perubahan ke arah lebih baik.

Kegiatan pendamping sosial di komunitas atau masyarakat seperti itu identik dengan apa yang disebut sebagai bekerja dengan kelompok (group work) dan dengan komunitas (community work). Aktivitas pendampingan sosial, terutama dalam melakukan perubahan terencana, memang dilakukan dalam semua tingkatan, baik individu, kelompok, ataupun komunitas. Namun, kerja pendampingan di tingkat

(15)

Modul 6 Fasilitasi dalam Pendampingan Sosial 3

kelompok dan komunitas bisa jadi lebih dominan untuk beberapa domain pelayanan kesejahteraan sosial.

Dalam kerangka itu, ada empat tugas atau fungsi utama yang harus dilakukan dalam kerja pendampingan sosial, sebagaimana dijelaskan Suharto (2009), yaitu: pendampingan atau fasilitasi; penguatan; perlindungan; dan pendukungan. Modul ini akan mengurai tugas-tugas tersebut, terutama tugas fasilitasi, untuk membekali para pendamping sosial dalam membantu penerima manfaat dalam penyelesaian masalah, pemenuhan kebutuhan, dan pengembangan kapasitasnya.

Ada berbagai situasi, masalah, atau kebutuhan di lapangan yang menuntut para pendamping sosial memberikan tindakan secara profesional. Profesional dalam arti bahwa aktivitas pertolongan yang diberikan harus berlandaskan teori dan keterampilan dan dilakukan dengan penuh tanggung jawab. Berdasarkan data hasil asesmen kebutuhan diklat (TNA) dari lapangan dan kajian dokumen, di sini perlu diinventarisir berbagai situasi yang mungkin muncul atau terjadi di masyarakat sebagai berikut:

1. Warga menyadari memiliki masalah sosial tertentu, entah secara individu, keluarga, atau komunitas, namun tidak tahu harus bagaimana.

2. Warga tidak menyadari masalah bersama yang dialami, padahal bisa menjadi bahaya laten yang jika dibiarkan akan menjadi ‘bom waktu’.

3. Kadang ditemui juga suatu kondisi dalam kelompok/organisasi dimana ada masalah yang sengaja didiamkan, padahal bisa membahayakan anggota lain. 4. Warga memiliki kebutuhan dasar yang harus dipenuhi, namun tidak memiliki

kemampuan yang memadai.

5. Sebagian kelompok masyarakat tidak bisa atau tidak tahu bagaimana mengakses pelayanan sosial atau pelayanan publik lain dalam rangka memenuhi kebutuhan mereka.

(16)

4 PELATIHAN DASAR PENDAMPINGAN SOSIAL

6. Masyarakat memerlukan informasi tertentu dan membutuhkan peningkatan kapasitas atau keterampilan tertentu.

7. Ada pelayanan sosial tertentu yang dibutuhkan warga, namun tidak tersedia oleh pemerintah setempat. Terkadang sebagian tidak mengerti bahwa itu adalah bagian dari haknya.

8. Anggota masyarakat ditolak untuk memperoleh pelayanan yang menjadi haknya karena suatu sebab.

9. Terjadi konflik horisontal antar keluarga atau antar kelompok masyarakat. 10.Ada sebagian anggota masyarakat atau kelompok minoritas yang mendapat

perlakuan kekerasan, diskriminasi, dikucilkan, terisolasi atau terusir dari tempat tinggalnya. Situasi yang dimaksud terkait dengan isu hak azasi manusia dan keadilan sosial.

11.Masyarakat atau komunitas memiliki potensi atau sumberdaya namun tidak didayagunakan dengan baik atau kurang optimal dimanfaatkan.

Dalam rangka mempersiapkan para pendamping sosial untuk menghadapi berbagai persoalan dan situasi tersebut, materi tentang fasilitasi harus pendamping dapatkan agar mampu mengemban tugas berat pendampingan secara maksimal dan bertanggung jawab. Bidang tugas dan domain pendamping memang berbeda, namun pengetahuan, keterampilan atau keahlian, dan sikap yang bersifat dasar fundamental dapat diberikan bagi semua kategori pendamping sosial.

1. Hasil Belajar

Setelah mengikuti pembelajaran modul ini peserta diharapkan mampu menerapkan keterampilan dan teknik fasilitasi dalam pendampingan sosial.

(17)

Modul 6 Fasilitasi dalam Pendampingan Sosial 5

2. Indikator Hasil Belajar Peserta dapat:

a. Menjelaskan konsep dasar fasilitasi dan pendampingan sosial;

b. Menggali pengalaman lapangan dan mengaitkannya dengan konsep peran dan keterampilan fasilitasi; dan

c. Mendemonstrasikan sejumlah teknik fasilitasi dalam sejumlah bentuk pertemuan, seperti diskusi, proses pengambilan keputusan, dan dalam pelatihan/pembelajaran.

Konsep atau teori yang dapat mendukung dan membekali para pendamping sosial dalam memberikan pertolongan meliputi pokok dan sub-pokok bahasan sebagai berikut:

1. Fasilitasi dan pendampingan sosial a. Mengenal Fasilitasi

b. Pendampingan sosial 2. Peran dan keterampilan fasilitasi

a. Animasi sosial b. Dukungan

c. Pemanfaatan keahlian dan sumber daya d. Pengorganisasian

e. Komunikasi personal f. Menumbuhkan kesadaran g. Mediasi dan negosiasi h. Melakukan konfrontasi i. Membangun konsensus j. Fasilitasi kelompok

k. Berbagi informasi dan memberikan pelatihan

(18)

6 PELATIHAN DASAR PENDAMPINGAN SOSIAL

3. Teknik fasilitasi dalam pertemuan a. Fasilitasi dalam pertemuan b. Teknik Fasilitasi dalam pertemuan

Metode yang dipakai dalam pembelajaran modul fasilitasi ini adalah: 1. Ceramah

2. Tanya jawab 3. Curah pendapat 4. Diskusi kelompok 5. Presentasi hasil diskusi 6. Pembahasan/analisis kasus 7. Praktik atau simulasi

8. Konstruksi/kreasi studi kasus dari pengalaman lapangan 9. Bermain peran

Sedangkan, bahan dan media pembelajaran yang dipakai meliputi: 1. Bahan ajar (Modul Fasilitasi)

2. Bahan tayang (power point) 3. Bahan tayang video/film 4. White board 5. Spidol (boardmarker) 6. Laptop/PC 7. Proyektor 8. Active speaker 9. Pointers 10.Kertas plano 11.Flipchat board 12.Spidol warna

E. METODE DAN MEDIA

PEMBELAJARAN.RESOLUSI

(19)

Modul 6 Fasilitasi dalam Pendampingan Sosial 7

13.Kertas metaplan 14.Post-it notes 15.Selotip/double-tip

Skema pembelajaran modul fasilitasi ini dapat dilihat pada Gambar 1.1 berikut:

Gambar 1.1. Skema pembelajaran

Dari skema pada Gambar 1.1, proses pembelajaran berdurasi 270 menit (6 jam pelatihan) ini dapat diuraikan sebagai berikut:

1. Langkah 1 (5 menit)

Langkah pembukaan meliputi: a. Salam pembukaan dan chit-chat,

b. Review singkat materi atau modul-modul sebelumnya sambil menjelaskan Langkah 1

Pembukaan (5’)

Langkah 2 Menjelaskan materi Fasilitasi &

Pendam-pingan Sosial (15’) Langkah 4 Menyusun potongan kertas puzzle (20’)

F. SKEMA DAN PROSES PEMBELAJARAN

Langkah 5 Menjelaskan materi Peran & Keterampilan

Fasilitasi (30’) Langkah 6 Konstruksi dan pembahasan kasus pendampingan (60’) Langkah 7 Menjelaskan materi Teknik Fasilitasi Pertemuan (30’) Langkah 9 Penutup (5’) Langkah 8 Praktik Teknik Fasilitasi dalam Pertemuan (90’) Langkah 3 Menggali pengalaman pendampingan (15’)

(20)

8 PELATIHAN DASAR PENDAMPINGAN SOSIAL

ketarkaitannya dengan modul fasilitasi

c. Menjelaskan secara singkat (preview) modul fasilitasi, rencana proses pembelajaran, beserta tujuannya.

2. Langkah 2 (15 menit)

a. Fasilitator melakukan apersepsi terkait materi dalam pokok bahasan 1 b. Memaparkan materi pokok bahasan 1 secara interaktif. Pemaparan hanya

untuk penyegaran ingatan pengetahuan peserta. Namun mungkin ada konsep tertentu yang perlu sedikit pendalaman sesuai kebutuhan peserta. c. Mengajukan pertanyaan-pertanyaan singkat

d. Menjawab singkat pertanyaan yang mungkin muncul dari peserta. Jika pertanyaan terkait dengan pokok bahasan berikutnya, jawaban atau diskusi bisa ditunda untuk dilakukan pada saat pembahasan materi yang relevan. e. Menghimpun pertanyaan yang perlu di-probing mendalam untuk menjadi

bahan diskusi di pokok bahasan berikutnya.

3. Langkah 3 (15 menit)

a. Meminta masing-masing peserta untuk menggali pengalaman lapangan seperti pada LK. 6.1.

b. Dari hasil penggalian lapangan, identifikasi wujud kerja kelompok/ komunitas, fasilitasi yang dilakukan, atau praktik pemberdayaan/ partisipasi.

c. Hasilnya dituangkan dalam sebuah tulisan esai singkat.

4. Langkah 4 (20 menit)

a. Fasilitator memandu peserta untuk mempraktikkan LK 6.2.

b. Hasil kerja ditempel di board dan dibacakan oleh perwakilan peserta c. Fasilitator membahas dan mendiskusikan bersama peserta sambil

(21)

Modul 6 Fasilitasi dalam Pendampingan Sosial 9

5. Langkah 5 (30 menit)

a. Menjelaskan materi pokok bahasan ke-2 (peran dan keterampilan fasilitasi) secara interaktif.

b. Mengajukan pertanyaan-pertanyaan singkat dan menjawab pertanyaan yang relevan dengan materi.

6. Langkah 6 (60 menit)

1. Peserta bergabung ke dalam 3 kelompok.

2. Menginstruksikan masing-masing kelompok untuk membahas kasus-kasus pendampingan di lapangan.

3. Setiap kelompok diminta memilih hanya satu kasus dari anggota kelompok, baik yang berhasil maupun yang kurang berhasil, dan menuangkannya dalam tulisan.

4. Masing-masing kelompok membahas dan mengaitkan kasus yang dipilih dari sisi peran dan keterampilan fasilitasi sesuai perintah dalam lembar kerja.

5. Meminta perwakilan tiap kelompok untuk menyampaikan hasil diskusi. 6. Memberi kesempatan untuk tanya-jawab antar kelompok.

7. Debriefing hasil diskusi.

7. Langkah 7 (30 menit)

a. Menjelaskan materi pokok bahasan ke-3 (teknik fasilitasi) secara interaktif. b. Mengajukan pertanyaan-pertanyaan singkat dan menjawab pertanyaan

yang relevan dengan materi.

8. Langkah 8 (90 menit)

a. Peserta kembali dibagi dalam 3 kelompok semula, atau bisa juga dibentuk kelompok baru.

b. Pembagian 3 tema atau sub-pokok bahasan, yaitu: - Tema 1: Pertemuan atau diskusi

(22)

10 PELATIHAN DASAR PENDAMPINGAN SOSIAL

- Tema 2: Proses pengambilan keputusan

- Tema 3: Pembelajaran atau pelatihan kelompok

c. Menginstruksikan kepada 3 kelompok untuk mencari, menggali pengalaman lapangan dari salah satu atau lebih peserta yang relevan dengan tema yang dipilih

d. Meminta masing-masing kelompok untuk mengembangkan skenario dari pengalaman yang telah dibuat.

e. Setiap kelompok diminta untuk mempraktikkan teknik fasilitasi dengan cara simulasi atau bermain peran (role playing).

f. Mendorong semua kelompok agar simulasi atau role play melibatkan seluruh anggota kelompok.

g. Debriefing hasil simulasi atau role play.

9. Langkah 9 (5 menit)

a. Membuat kesimpulan bersama peserta.

b. Melakukan evaluasi secara lisan dengan meminta tanggapan balik (feedback) dari peserta tentang 3 materi pokok.

c. Menyampaikan kalimat penutup, mengapresiasi, dan mengucapkan terima kasih serta salam untuk mengakhiri proses pembelajaran.

(23)

Modul 6 Fasilitasi dalam Pendampingan Sosial 11

BAB II FASILITASI DAN

PENDAMPINGAN SOSIAL

Selaku pendamping sosial, siapakah yang Anda dampingi? Jawabannya tentu penerima manfaat. Penerima manfaat yang didampingi bisa berupa individu, kelompok, keluarga, komunitas, atau bahkan masyarakat luas. Mungkin kebanyakan pendamping sering menghadapi mereka secara berkelompok. Kalaupun fokusnya individu penerima manfaat, namun dalam upaya penyelesaian masalah atau pemenuhan kebutuhannya Anda seringkali harus melakukan kontak dengan orang-orang sekitarnya. Paling tidak dengan keluarga atau kerabatnya.

Lantas dalam rangka apa Anda menemui mereka? Tentu ada banyak tujuan, terutama terkait konteks tugas Anda selaku pendamping sosial. Secara umum, tujuan tersebut dapat berupa pemenuhan kebutuhan, pemecahan masalah, memperbaiki keberfungsian sosial, perubahan perilaku, mengurangi atau menghilangkan hambatan dalam interaksi sosial, atapun berupa pengembangan kapasitas dan tanggung jawab sosial mereka agar aktif berpartisipasi di masyarakat. Setting, wilayah, atau tempat pendamping dalam mengupayakan tujuan-tujuan tersebut pun beragam, yakni dapat meliputi lingkungan RT/RW, komunitas, desa/kelurahan, tempat ibadah, rumah sakit, klinik, remaja, organisasi pemuda, lembaga pemasyarakatan, sekolah, panti sosial, kantor pelayanan publik, dan lain-lain.

Bab ini merupakan pengantar bagi para pendamping sosial untuk mengenal konsep fasilitasi sebelum mereka dibekali peran/keterampilan dan teknik fasilitasi. Dalam aktivitas pendampingan sosial, konsep pemberdayaan dan partisipasi, dinamika kelompok, dan model pembelajaran orng dewasa juga sangat penting untuk dipahami para pendamping.

(24)

12 PELATIHAN DASAR PENDAMPINGAN SOSIAL

Anda pasti sudah sering mendengar istilah fasilitasi. Berbagai macam profesi gemar sekali menggunakan istilah tersebut. Bahkan dalam berbagai konteks, istilah ini pun sering muncul. Kata fasilitasi terkesan punya banyak arti dan dapat dipakai dalam konteks apapun. Namun, bisa jadi apa yang dimaksud belum begitu jelas, dari mana istilah ini berasal, dalam hal apa saja fasilitasi dapat diterapkan, atau pada saat apa peran fasilitator dibutuhkan. Di sini akan dijelaskan secara sekilas pengertian fasilitasi, sejarah kemunculan dan perkembangan fasilitasi, dan perumpamaan fasilitasi.

1. Pengertian Fasilitasi

Kata ‘fasilitasi’ diambil dari bahasa Perancis ‘facile’ dan Latin ‘facilis’ yang artinya: mudah dilakukan, untuk mempermudah, atau bermakna membuat sesuatu menjadi mudah (Barnhart, 1988 dalam Hogan, 2002: 10). Fasilitasi berkaitan dengan upaya mendorong adanya dialog terbuka di antara individu yang memiliki pandangan berbeda-beda sehingga berbagai asumsi dan opsi dapat tergali.

Konsep fasilitasi sangatlah kompleks, sehingga definisinya pun beragam. Karena merupakan bidang baru, tidak ada definisi tunggal yang disepakati oleh semua. Sebagai contoh, di sini diambil dari Hogan (2002: 57) yang mengartikan fasilitator sebagai “Seseorang ...yang memiliki berbagai kemampuan dan pengetahuan tentang manusia, proses, dan teknis, dan juga ragam pengalaman membantu kelompok untuk melangkah bersama mencapai tujuan.”

Christine Hogan (2002) menjelaskan bahwa istilah fasilitasi muncul dari dunia bisnis, pendidikan, dan pembangunan sejak paruh kedua abad ke-20. Konsep fasilitasi terus berkembang sejak Perang Dunia II (PD-II), khususnya ketika dipraktikkan dalam bidang manajemen, pendidikan, psikologi, dan Comdev. Fasilitator datang dari beragam latar belakang, bidang, profesi, budaya, atau disiplin ilmu. Penggunaan

(25)

Modul 6 Fasilitasi dalam Pendampingan Sosial 13

dalam berbagai konteks inilah yang menyebabkan konsepnya selalu berubah dan berkembang.

Akar fasilitasi memiliki asal-usul dalam profesi pertolongan seperti pendidikan, konseling, pekerjaan sosial, kerja pengembangan, dan aktivis keagamaan. Sepanjang abad ke-20, fasilitasi memiliki sejumlah alasan mengapa begitu populer. Di antaranya adalah bahwa ada gerakan pendulum yang berubah-ubah antara cara otokratik dan partisipatif. Perubahan besar terjadi pada abad ke-17 dimana pendulum bergerak ke arah doktrin tentang hak-hak alamiah manusia yang diformulasikan oleh John Locke (saat ini disebut sebagai hak azasi). Locke mengusulkan bahwa setiap orang memiliki untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan yang dibuat untuk mereka. Alasan lain adalah bahwa ada kebutuhan untuk membantu kelompok komunitas yang besar untuk membuat rencana dan menyelesaikan isu dan konflik dimana konstituen mereka mempunyai cara pandangnya sendiri (Hogan, 2002: 11-13).

Konsep fasilitasi yang dijelaskan di sini diambil dari bidang pengembangan masyarakat (community development atau biasa disingkat Comdev). Alasannya, pendamping sosial di lapangan lebih dominan bekerja dan berinteraksi dengan kelompok atau komunitas. Comdev juga dipandang memberi banyak sumbangsih bagi perkembangan konsep fasilitasi secara umum. Menurut Hogan (2002), fasilitasi (bersama perubahan sosial) dalam Comdev banyak dipengaruhi gerakan spiritual keagamaan Quakerisme dan konsep ‘Tangga Partisipasi’ dari Sherry Arnstein. Terkait ‘Tangga Partisipasi’ ini akan disinggung di bagian berikutnya.

2. Karakteristik Fasilitasi

Fasilitasi pada hakikatnya hanyalah suatu upaya membantu orang lain untuk mencapai tujuannya. Pendamping selaku fasilitator hanya mengantarkan dan memandu prosesnya, namun pelaku tetap si penerima manfaat. Yang menikmati hasil pun penerima manfaat, bukan pendamping.

(26)

14 PELATIHAN DASAR PENDAMPINGAN SOSIAL

BOX 2.1

Bu bidan membantu ibu hamil dalam persalinan. Dari mana bayi itu berasal? Ya, dari perut ibu hamil. Bayi siapakah itu? Ya, tentu saja bayinya sang ibu.

Namun, bu bidan tidak tinggal diam menanti nongolnya kepala sang bayi. Dia membantu proses persalinan. Dia memompa semangat juang sang ibu, mengajarkan posisi kaki tertentu, meminta ibu mengejan, manarik nafas panjang, dan lain sebagainya. Harapanya, persalinan berjalan lancar sehingga ibu dan bayi selamat. Sekali lagi, bu bidan tidak melahirkan bayi itu. (Rimbatmaja, 2018: 11-12)

Hogan (2002) mengibaratkan fasilitator seperti bidan, yang

membantu ibu hamil (bumil) hingga proses melahirkan. Bidan tidak harus hadir setiap saat untuk menemani bumil. Dia tidak ada saat proses kehamilan (konsepsi). Juga tidak harus turut bertangggung jawab mengurus bayi pasca-lahir dalam jangka panjang. Dalam artian, mereka tidak turut berpartisipasi ataupun merasakan

kebahagiaan di saat-saat menyenangkan dalam kehidupan si anak. Bandingkan dengan uraian di Box 2.1.

Maksud perumpamaan ini adalah bahwa fasilitator membantu sekelompok orang dengan cara mengidentifikasi dan menggunakan ragam proses untuk membantu mereka mengangkat ide ke permukaan dan memungkin-kan mereka mewujudkan tujuan yang diinginkan. Namun, fasilitator jarang hadir untuk menikmati hasil dari pekerjaan mereka, kecuali mereka yang memang bekerja dalam suatu lembaga/organisasi.

Laura Spencer (1989), seperti dikutip Hogan (2002: 48), mengidentikkan peran dan fungsi fasilitator laksana konduktor. Seorang konduktor berfungsi memimpin orkestrasi dan mengarahkan ragam talenta yang memainkan alat musik yang berbeda sehingga membentuk alunan simfoni yang indah.

Sebagai suatu seni, fasilitasi dapat dipraktikkan dengan beragam cara. Tidak mungkin hanya ada satu-satunya cara yang dianggap paling benar dan tepat karena perbedaan konteks, partisipan, isu, dan pola atau gaya fasilitasi. Masing-masing fasilitator sangat dimungkinkan mempunyai filosofi, metode, dan strategi yang berbeda-beda pula (Hogan, 2002: 48).

Hogan (2002) menyarankan bahwa entah fasilitator, manager, pendidik atau pekerja Comdev semacam pendamping sosial harus lebih fokus pada ‘proses’

(27)

Modul 6 Fasilitasi dalam Pendampingan Sosial 15

ketimbang ‘isi’. Agar fasilitasi efektif, mereka perlu menguasai keterampilan dan pengetahuan tentang ‘proses’ untuk menerapkan, memantau, dan mengevaluasi pendekatan partisipatif.

Hal itu dapat dijelaskan bahwa fasilitator yang ideal memiliki sikap netral dari sisi ide atau substansi. Ia tidak berdiri di posisi tertentu terkait isu yang sedang dibahas dan tidak punya kepentingan pada hasil yang hendak dicapai oleh kelompok. Dengan sikap dan posisi fasilitator yang netral seperti ini, karakteristik utama fasilitasi adalah content-neutral. Tugas atau peran penting dari seorang fasilitator adalah memandu proses yang terjadi dalam kelompok agar berjalan baik, memastikan semua anggota berpartisipasi penuh, memompa semangat, dan memberikan motivasi. Fasilitator juga harus menghindari adanya dominasi dari sisi proses dan perannya. Tugasnya hanyalah mengantarkan kelompok mencapai kesepakatan dan mencapai tujuannya.

Terkait dominasi peran dalam proses fasilitasi, di awal peran fasilitatir biasanya masih dominan. Namun idealnya peran fasilitator akan semakin berkurang seiring waktu. Sebaliknya, peran kelompok atau komunitas yang didampingi mungkin belum kelihatan di awal, namun akan semakin meningkat dalam proses hingga menjadi dominan. Gambar 2.1 dapat menggambarkan proses ini.

Gambar 2.1. Pengurangan peran fasilitator dan peningkatan peran masyarakat Sumber: Tim Pe-PP (2007: 24)

(28)

16 PELATIHAN DASAR PENDAMPINGAN SOSIAL

Peran fasilitator sangat dibutuhkan dalam suatu kelompok yang hendak menerapkan nilai-nilai partisipatif, terutama ketika sedang menghadapi masalah yang rumit untuk dipecahkan dan/atau ketika proses pengambilan keputusan. Sam Kaner bahkan menyatakan bahwa “fasilitator adalah penjaga api semangat, pembawa visi tentang apa yang dijelaskan Michael Doyle, dalam pengantar buku karya Kaner dkk., sebagai ‘sebuah proses inklusif dan terbuka” (Kaner et al., 2007: xix).

Ketika melakukan fasilitasi dalam komunitas, pendamping dapat bekerja sama dengan pendamping lain. Konsep kerja sama antar pendamping dalam melakukan fasilitasi disebut sebagai ko-fasilitasi. Knight dan Scott (1997), sebagaimana dikutip Hogan (2002: 85), mendefinisikan ko-fasilitasi sebagai:

Dua atau lebih fasilitator yang bekerja bersama untuk memungkinkan suatu kelompok beserta individu anggotanya dapat mencapai hasil yang disepakati dimana mereka memaksimalkan sumberdaya yang ada dan mengambil pelajaran dari kelompok lain, melalui keterlibatan aktif dari semua anggota. Terkait konsep dan bentuk kerja sama atau kolaborasi yang dilakukan antar pendamping sosial atau dengan pendamping lain lebih detail dapat dilihat dalam Modul Bekerja dalam Tim, Koordinasi, dan Jejaring Kerja.

Pendampingan sosial adalah aktivitas yang dilakukan pendamping sosial yang bertindak sebagai petugas lapangan untuk membantu penerima manfaat. Menurut Sumodiningrat, seperti dikutip Pusdiklat JPPPIW (2017), pendampingan sosial diperlukan dalam rangka mengatasi kesenjangan pemahaman antara penerima manfaat dan pihak penyedia manfaat. Program yang diselenggarakan pemerintah tentunya memiliki persyaratan dan ketentuan, skema pemberian bantuan, kegiatan yang harus dilakukan, kewajiban atau komitmen yang harus ditunaikan, dan tujuan dari penyelenggaraan program yang harus dicapai. Sementara pihak penerima

(29)

Modul 6 Fasilitasi dalam Pendampingan Sosial 17

manfaat adalah masyarakat yang kebanyakan belum paham akan syarat, karakteristik, dan tujuan jangka pendek maupun jangka panjang. Celah inilah yang menjadi tugas pendamping sosial untuk mengisi.

Tugas pendamping sosial tidak hanya melakukan sosialisasi dan penyuluhan program. Akan tetapi, pendamping sosial juga melakukan pengembangan dan pemberdayaan masyarakat. Di sini pendamping dapat bertindak sebagai perencana, pembimbing, pemberi informasi, motivator, mediator atau penghubung, fasilitator, dan evaluator (Pusdiklat JPPPIW, 2017).

Secara garis besar, Suharto (2009) menyebutkan ada empat tugas dan fungsi pendampingan sosial, yaitu fasilitasi (atau pemungkinan), penguatan, perlindungan, dan pendukungan. Fasilitasi terkait dengan pemberian motivasi, menjadi contoh model, melakukan mediasi dan negosiasi, membangun konsensus atau kesepakatan bersama, dan mengelola sumberdaya. Fungsi penguatan dapat berupa peningkatan kapasitas, peningkatan kesadaran, penyampaian informasi, dan melakukan konfrontasi. Perlindungan yang diberikan pendamping dapat berupa pencarian sumber pemecahan masalah atau pemenuhan kebutuhan, melakukan pembelaan, pemanfaatan media, dan menjalin relasi dan jejaring kerja. Sedangkan pendukungan meliputi tidak hanya keterampilan praktis untu mendukung perubahan sosial, tetapi juga mampu mengelola dinamika kelompok, melakukan analisis sosial, membangun relasi, bernegosiasi, berkomunikasi, dan mencari sekaligus mengelola pendanaan (Suharto, 2009: 95-97).

Di lapangan, ada sejumlah teknik pendampingan yang dicontohkan oleh Tim Pe-PP (2007), yang juga dikutip oleh Pusdiklat JPPPIW (2017), seperti tampak pada Tabel 2.1. Teknik pendampingan tersebut bersifat cukup praktis untuk diterapkan oleh para pendamping sosial yang berperan sebagai fasilitator di lapangan.

Salah satu rekomendasi dari hasil penelitian oleh Susantyo et al. (2018) tentang peran dan fungsi pendamping sosial adalah pengembangan kapasitas bagi para pendamping untuk tugas pemberdayaan. Performa para pendamping dalam menjalankan fungsinya dianggap masih kurang, sehingga kompetensi atau kapasitas masih perlu dioptimalkan. Seperti telah dijelaskan, pendampingan sosial memiliki

(30)

18 PELATIHAN DASAR PENDAMPINGAN SOSIAL

tugas pemberdayaan masyarakat penerima manfaat. Kemudian, praktik pemberdayaan sangat mementingkan adanya partisipasi yang kuat dari anggota. Dua konsep ini saling terkait erat dan menjadi wilayah dimana fasilitasi dipraktikkan.

Tabel 2.1. Teknik pendampingan

Bentuk kegiatan pendampingan Keterangan

Bersilaturahim Dengan tokoh masyarakat, tokoh pemuda, pemimpin adat dan orang-orang yang memiliki pengaruh di masyarakat

Menumbuhkan rasa saling percaya Hindarkan rasa saling curiga Belajar bersama dalam suasana kehidupan

nyata

Bertujuan agar dapat mengamati, mendalami serta dapat menangkap nuansa dan kepekaan dalam kehidupan rumah tangga dan

kehidupan masyarakat/kampung Membangun simpati, empati, dan kerjasama Caranya bergaul/bersilaturahmi dengan

masyarakat, ngobrol dan berdiskusi dengan masyarakat tentang penghidupan, keinginan/ cita-cita/harapan

Menciptakan dan menjaga hubungan (rapport) yang baik dengan masyarakat

Bergaul di masyarakat

Mengamati kondisi masyarakat Bersosialisasi dengan masyarakat/

menyesuaikan diri dengan kondisi yang ada Menghadiri pertemuan-pertemuan

kampung

Seperti pengajian, pernikahan, khitanan, kedukaan, event-event tertentu dan lainnya Belajar bersama masyarakat membangun

kelembagaan

Seperti membentuk aturan main/kesepakatan bersama

Menggali informasi tentang masyarakat Seperti sejarah kampung, perkembangan sumberdaya alam & penghidupan masyarakat Menggali persoalan-persoalan terutama

pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam, hutan dan penghidupan masyarakat Membangun kerjasama dengan berbagai elemen dalam masyarakat maupun dengan pihak-pihak luar masyarakat

Membangun kelembagaan Ditujukan untuk mengembangkan kerjasama, menciptakan ketertiban, silaturahim,

membantu menyelesaikan persoalan secara bersama, wahana untuk mengawasi dan mengendalikan berbagai kegiatan Sumber: Tim Pe-PP (2007) dalam Pusdiklat JPPPIW (2017: 67-8)

(31)

Modul 6 Fasilitasi dalam Pendampingan Sosial 19

Seperti telah didiskusikan di awal, pendamping sosial bertugas di tengah-tengah masyarakat. Meskipun target atau sasaran pemerlu pelayanan beragam dari individu, kelompok, organisasi, hingga masyarakat, pendamping lebih sering berhadapan dan berinteraksi dengan kelompok ataupun komunitas. Masing-masing tentu berbeda dan sangat beragam dari sisi bentuk, karakteristik, visi atau tujuan, permasalahan yang dihadapi, ataupun prinsip dan norma yang dipegang.

Dalam melakukan pendampingan kelompok, berbagai kendala pasti sering dijumpai. Ada beberapa anggota yang terlalu vokal dalam pertemuan dan bahkan cenderung memaksakan gagasan. Sementara banyak anggota lain yang malu-malu mengutarakan pendapat. Kebanyakan kelompok di masyarakat tampaknya masih bersifat konvensional dimana pandangan yang berbeda kurang dihargai, keterlibatan seluruh anggota belum dianggap penting, keputusan masih didominasi kelompok yang kuat, dan lain sebagainya. Untuk menghadapi kondisi tersebut, seorang pendamping harus memahami dinamika kelompok/komunitas.

Terkait tugas untuk penyampaian informasi dan pengetahuan, peningkatan kapasitas, atau penumbuhan kesadaran di kalangan penerima manfaat, pendamping sosial dapat bertindak sebagai edukator (pendidik atau pelatih), motivator, penyuluh, atau penyampai informasi. Maka, pendamping yang baik juga memahami bagaimana menerapkan pembelajaran untuk para penerima manfaat.

Penjelasan di atas menunjukkan adanya sejumlah kebutuhan pendamping sosial terhadap pemahaman dan kapasitas tentang sejumlah konsep. Bagian selanjutnya akan dijelaskan singkat mengenai konsep pemberdayaan dan partisipasi, dinamika kelompok, dan model pembelajaran orang dewasa.

1. Pemberdayaan dan Partisipasi

Pendamping sosial tidak bisa setiap saat, siang dan malam, mendampingi para penerima manfaat. Proses pemberian pertolongan pastilah ada batasnya, baik dari sisi waktu maupun tahapan. Pendampingan tidak bisa dilakukan selamanya hingga penerima manfaat tidak mampu lepas dari bantuan pendamping. Jika sampai

(32)

20 PELATIHAN DASAR PENDAMPINGAN SOSIAL

mengakibatkan (atau malah menciptakan) ketergantungan, bisa jadi ada yang keliru dengan kerja pendampingan yang dilakukan.

Pemberian pertolongan melalui proses pendampingan sosial harus diarahkan dalam rangka menciptakan kemandirian penerima manfaat. Kemandirian berkaitan dengan konsep pemberdayaan yang di dalamnya terkandung satu unsur penting berupa partisipasi. Menurut Craig dan Mayo (1995), seperti dikutip Huraerah (2008), pemberdayaan sangat dekat hubungannya dengan konsep kemandirian, partisipasi, jejaring kerja, dan kesetaraan atau pemerataan. Suharto (2009) turut menegaskan pemberdayaan sangat menekankan pentingnya partisipasi yang kuat.

Konsep pemberdayaan sangat penting dalam kerja pendampingan sosial yang kegiatan utamanya adalah bekerja dengan komunitas atau kelompok. Menurut Jim Ife (2013), pemberdayaan merupakan komponen penting dalam kerja komunitas dimana peran pekerjanya lebih menekankan pada proses pemberdayaan ketimbang hasil. Sejumlah pakar telah lebih dulu menegaskan bahwa pemberdayaan bukanlah suatu hasil akhir, melainkan sebuah proses yang terus berlangsung yang dialami setiap orang (Hogan, 2000).

Arti kata pemberdayaan yaitu “menjadi berdaya.” Pemberdayaandidefinisikan sebagai “proses menolong individu, kelompok, dan komunitas untuk meningkatkan kemampuan atau kekuatan secara personal, interpersonal, sosial-ekonomi, dan politik untuk memberikan pengaruh terhadap perbaikan kondisi mereka” (Barker, 2003: 103). Tujuan pemberdayaan adalah untuk “meningkatkan daya/kuasa/kontrol (power) bagi orang-orang yang tidak beruntung” (Ife, 2013: 63). Ringkasnya, pemberdayaan adalah upaya agar membuat orang menjadi berdaya atau memiliki kemampuan untuk mengatur hidup dan menentukan masa depan mereka sendiri.

Menurut Ife (2013), daya atau kuasa bagi orang-orang tidak beruntung dapat diperoleh dengan cara memberikan daya kepada individu atau kelompok; memungkinkan mereka mengambil kuasa dalam genggaman tangan mereka sendiri; redistribusi kontrol dari orang yang berpunya kepada kaum papa; dan seterusnya. Robert Adams (2003) berpendapat bahwa karakter utama pemberdayaan adalah memungkinkan penerima manfaat agar memiliki daya atau kemampuan yang lebih

(33)

Modul 6 Fasilitasi dalam Pendampingan Sosial 21

besar dalam memperoleh sumberdaya atau mengakses sistem sumber, pendidikan, politik, kesadaran diri, dan seterusnya.

Kemudian, dalam hal apa para penerima manfaat (yang mungkin termasuk orang-orang tidak beruntung) memiliki daya, kontrol, atau kuasa? Ife (2013: 68-70) merinci ada tujuh macam atau jenis daya/kuasa yang dipakai dalam strategi pemberdayaan berbasis komunitas, yaitu daya/kuasa untuk:

a. Membuat pilihan pribadi dan menentukan jalan hidup. b. Mendefinisikan kebutuhan.

c. Berpikir.

d. Mengatasi masalah terkait lembaga atau sistem pelayanan publik. e. Mengakses dan memanfaatkan sumberdaya.

f. Terlibat atau terhubung dengan aktivitas ekonomi. g. Mengontrol reproduksi.

Salah satu indikator untuk mengukur keberdayaan masyarakat adalah partisipasi mereka. Tingkat partisipasi dapat mengindikasikan kadar kontrol atau kuasa yang dimiliki penerima manfaat. Dengan demikian, tingkat partisipasi dapat menjadi tolok ukur sejauhmana kelompok dan komunitas yang Anda dampingi dianggap sudah berdaya dan mandiri. Menurut Hogan (2002), pengembangan komunitas dan kerja fasilitasi sangat bergantung pada partisipasi warga. Suharto (2009) turut menegaskan bahwa partisipasi publik yang tinggi sangatlah penting dalam pemberdayaan masyarakat.

Partisipasi memiliki pengertian dasar berupa aksi/tindakan untuk turut serta mengambil bagian atau terlibat dalam suatu kegiatan. Sedangkan partisipasi masyarakat berarti keterlibatan masyarakat dalam proses pembangunan, mulai dari tahap perumusan kebijakan, perencanaan dan penyusunan program, hingga proses pengambilan keputusan (Mubyarto, 1997 dalam Huraerah, 2008). Huraerah meringkas definisi dari beberapa sumber bahwa makna partisipasi tidak sekadar turut serta ambil bagian dalam suatu kegiatan. Namun, ada tiga ide dasar yang terkandung dalam pengertian partisipasi, yakni adanya: keterlibatan mental-emosional; dorongan memberikan kontribusi; dan penerimaan mengambil tanggung jawab (p.95).

(34)

22 PELATIHAN DASAR PENDAMPINGAN SOSIAL

Pemberdayaan dan partisipasi masing-masing memiliki tingkatan atau tangga. Sebagai tambahan pengetahuan, pemberdayaan memiliki lima tingkatan (Hogan, 2007) yaitu:

a. Pemberdayaan individu

b. Pemberdayaan individu tersembunyi/terselubung c. Pemberdayaan hasil mediasi

d. Pemberdayaan sosial-politis e. Pemberdayaan politis

Versi lain tingkat keberdayaan yang lebih konkret dibuat oleh Susiladiharti (2002), seperti dikutip Huraerah (2008: 90). Lima posisi/kondisi keberdayaan yang dimaksud dimulai dari tingkat keberdayaan pertama (bawah) sampai tingkat kelima:

a. Terpenuhinya kebutuhan dasar.

b. Penguasaan atau akses terhadap sumber daya atau sistem sumber yang dibutuhkan.

c. Dimilikinya kesadaran penuh tentang bermacam potensi dan kekuatan atau kelemahan individu dan lingkungannya.

d. Kemampuan berpartisipasi aktif dalam berbagai kegiatan bermanfaat bagi lingkungan sekitarnya.

e. Kemampuan atas kontrol terhadap diri dan lingkungannya. Misalnya dalam hal dinamika dan keterlibatan masyarakat dalam mengendalikan program atau kebijakan lembaga dan pemerintah, termasuk kemampuan melakukan evaluasi keberhasilannya.

Sedangkan tingkat partisipasi diadopsi dari formulasi Sherry Arnstein (1969) yang terdiri dari delapan tangga atau tingkatan, seperti dipakai Hogan (2002: 38-9, 2007). Tangga partisipasi tersebut disusun berdasarkan tingkat partisipasi dari anggota kelompok atau komunitas dalam proses dan interaksi dengan pendamping.

Seperti tampak pada Gambar 2.2, dua anak tangga paling bawah (manipulasi dan terapi) menandakan ketiadaan atau sangat minimnya partisipasi anggota kelompok. Naik ke tiga tangga berikutnya (menyampaikan informasi, konsultasi, dan plakasi), tingkat keterlibatan penerima manfaat semakin naik pula. Namun tingkatan

(35)

Modul 6 Fasilitasi dalam Pendampingan Sosial 23

ini masih dikatakan sebagai bentuk tokenisme. Baru pada tiga anak tangga paling atas (kerjasama, delegasi, dan kontrol penuh), partisipasi anggota semakin kuat hingga kuasa atas pengambilan keputusan atau menentukan nasib sendiri betul-betul di bawah kendali mereka secara penuh.

8. Kontrol sepenuhnya oleh kelompok/komunitas Kadar kekuasaan kelompok/komunitas 7. Pendelegasian kuasa 6. Kerjasama (partnership) 5. Plakasi Kadar tokenisme 4. Konsultasi 3. Menyampaikan informasi 2. Terapi Non-partisipasi 1. Manipulasi

Gambar 2.2. Tangga partisipasi Sherry Arnstein Sumber: Hogan (2002: 38, dengan perubahan)

2. Dinamika Kelompok Perumusan Kesepakatan

Bagi seorang fasilitator yang hendak mendampingi kelompoknya dalam upaya mencapai pembuatan keputusan secara partisipatif, pemahaman tentang dinamika kelompok merupakan kompetensi inti (Kaner et al., 2007). Berikut ini akan dijelaskan konsep dinamika kelompok yang diformulasi oleh Kaner et al. (2007). Meskipun konsep dinamika kelompok Kaner et al. dibuat dalam kerangka pembuatan keputusan secara partisipatif, sampai tahap tertentu konsepnya dapat diterapkan dalam konteks pendampingan sosial bagi kelompok atau komunitas secara umum.

Sebelum uraian konsep dinamika kelompok, selaku fasilitator kelompok atau komunitas, pendamping harus memahami nilai-nilai partisipatif yang harus dipegang. Tabel 2.2 dapat menjadi panduan bagi para pendamping terkait sejumlah karakteristik penting yang membedakan pendekatan partisipatif dari pendekatan konvensional dalam suatu kelompok atau komunitas.

(36)

24 PELATIHAN DASAR PENDAMPINGAN SOSIAL Tabel 2.2. Perbedaan pendekatan partisipatif dan konvensional dalam fasilitasi kelompok

Kelompok Partisipatif Kelompok Konvensional

Setiap orang berpartisipasi, tidak hanya yang vokal-vokal saja

Pemikir tercepat dan paling pandai bicara akan lebih banyak diberi kesempatan Setiap orang diberi ruang untuk

bertukar-pikiran

Orang terbiasa saling menginterupsi untuk hal-hal yang umum

Pandangan berbeda diperbolehkan Perbedaan pendapat dianggap sebagai konflik yang mesti dihindari atau “diselesaikan”

Saling menegaskan dengan pertanyaan suportif: “Jadi ini yang Anda maksud?”

Bertanya dipandang seperti menantang, seakan-akan orang yang ditanya telah melakukan kekeliruan

Setiap orang berupaya memperhatikan orang yang sedang bicara

Jika orang yang sedang bicara tidak meminta perhatian, orang ngobrol seenaknya, cuek, atau melihat jam

Semua dapat saling bertukar ide secara bebas karena mereka tahu bahwa idenya juga didengar

Orang sulit untuk saling mendengarkan atau memahami gagasan karena masing-masing sibuk memikiran apa yang ingin mereka katakan

Setiap anggota dapat mengungkapkan hal-hal yang kontroversial. Setiap orang tahu posisi pendapat/dukungan masing-masing

Sebagian cenderung menghindari

kontroversi, sehingga tidak ada yang tahu dimana posisi pendapat/dukungan masing-masing

Semua dapat mewakili pandangan yang lain – meski terkadang tidak sejalan

Orang jarang dapat mewakili pandangan atau alasan kelompok lain yang tidak sejalan Tidak ada yang komplain atau ngedumel di

belakang di luar pertemuan

Karena merasa tidak bebas mengutarakan pendapat langsung dalam pertemuan, orang lebih suka bicara di belakang

Meskipun berbeda pendapat dengan pimpinan kelompok, orang tetap berani menyatakan apa yang mereka yakini

Orang yang tidak sejalan atau punya

pandangan berbeda sendiri umumnya kurang didukung untuk menyatakan pendapat Suatu masalah belum dianggap selesai

sebelum semua yang terpengaruh oleh keputusan memahami alasannya

Suatu masalah dianggap selesai begitu orang-orang pandai telah menemukan jawaban. Yang lain diharapkan menyesuaikan saja tanpa melihat apakah dia paham alur pikir keputusannya.

Ketika semua menyetujui, diasumsikan bahwa keputusan telah mencerminkan seluruh pendapat

Ketika tercapai kesepakatan, semua dianggap memiliki pemikiran/pendapat yang sama

(37)

Modul 6 Fasilitasi dalam Pendampingan Sosial 25

Kaner et al. (2007) menggambarkan dinamika kelompok dalam pertemuan pengambilan keputusan secara sederhana dengan memakai gambar diagram. Diagram dalam setiap gambar memotret proses pengambilan keputusan dari awal hingga pertemuan berakhir. Ragam ide/gagasan yang muncul dalam diskusi dan perkembangannya sampai akhir divisualkan dalam diagram sehingga dinamikanya dapat mudah dimengerti.

Gambar 2.3 memotret proses pengambilan keputusan dalam sebuah kelompok. Setiap lingkaran kecil mewakili satu ide/gagasan atau usulan. Tanda panah menunjukkan arah pikiran kemana perkembangannya selama diskusi. Diagram tersebut juga dapat menggambakan dimensi ragam usulan (secara vertikal) dan dimensi waktu (secara horisontal). Dimensi waktu ditunjukkan dengan awal mula pertemuan ketika membahas suatu topik baru (new topic) sampai akhi pertemuan dimana keputusan dapat diambil (decision point).

Gambar 2.3. Potret dinamika kelompok dalam pengambilan keputusan Sumber: Kaner et al. (2007: 4)

Seperti tampak pada Gambar 2.3, proses pertemuan kelompok dalam pengambilan keputusan menunjukkan perkembangan yang diharapkan karena pemikiran yang berkembang dari suatu topik mengarah ke satu kesepakatan. Di sini ide yang berkembang tidak sampai liar, kelompok pertemuan tidak sampai membuat frustrasi, dan keputusan pun berhasil dibuat bersama-sama.

Kaner et al. (2007) mengatakan kenyataannya sering berbeda. Kelompok diskusi dalam rangka pengambilan keputusan tidak berjalan seperti yang diharapkan.

(38)

26 PELATIHAN DASAR PENDAMPINGAN SOSIAL

Gambar 2.4 menunjukkan bahwa kelompok kehilangan fokus tema diskusi sehingga tidak menghasilkan keputusan. Kalaupun fasilitator dan beberapa orang berupaya keras agar diskusi tetap fokus dan sesuai jalur, namun mereka tidak bisa mengubah fakta bahwa anggota kelompok adalah individu-individu yang memiliki cara pandang berbeda-beda.

Gambar 2.4. Potret dinamika pengambilan keputusan dalam kenyataan Sumber: Kaner et al. (2007: 5)

Gambar 2.5. Dua proses berpikir dalam dinamika pengambilan keputusan Sumber: Kaner et al. (2007: 6)

(39)

Modul 6 Fasilitasi dalam Pendampingan Sosial 27

Namun demikian, Kaner et al. (2007) juga membuat model diagram yang dianggap lebih mendekati kenyataan. Gambar 2.5 menunjukkan adanya dua proses pemikiran yang umum dalam diskusi pengambilan keputusan, yaitu pemikiran divergen dan pemikiran konvergen. Pada saat-saat tertentu, anggota kelompok butuh mengekspresikan pandangan mereka (proses berpikir divergen). Namun di saat-saat yang lain, mereka juga ingin mempersempit perbedaan dan berupaya mengarahkan diskusi ke kesimpulan (proses berpikir konvergen).

Kaner et al. (2007) mengangkat empat contoh perbedaan antara proses berpikir divergen dan konvergen. Perhatikan Tabel 2.3.

Tabel 2.3. Perbedaan antara dua proses berpikir dalam pengambilan keputusan

Divergen Konvergen

Menumbuhkembangkan ide-ide vs. Mengelompokkan ide-ide dalam kategori Diskusi bebas terbuka vs. Menyimpulkan poin-poin kunci

Mencari ragam pandangan vs. Menuju ke arah kesepakatan Menahan/menghindari penilaian vs. Menerapkan penilaian Sumber: Kaner et al. (2007: 6)

Selanjutnya Kaner et al. (2007) menentukan bentuk dari dinamika proses pengambilan keputusan yang dianggap ideal. Menurut mereka, dalam teori sebuah kelompok yang memiliki komitmen untuk menyelesaikan masalah sulit pasti akan melangkah secara hati-hati. Langkah pertama, kelompok akan menggali ide-ide sehingga muncul berbagai ragam ide. Berikutnya, mereka akan berupaya melakukan konsolidasi pemikiran menuju satu usulan kesepakatan. Kemudian mereka akan menggodok lagi usulan tersebut hingga mencapai keputusan final yang sekiranya dapat mencerminkan ragam ide-ide yang pernah muncul. Langkah-langkah ini tergambar pada diagram Gambar 2.6.

Namun, lagi-lagi dalam kehidupan nyata tidaklah semulus langkah-langkah sesuai teori. Pasti ada sesuatu yang harus dilalui dan dilakukan pada kenyataannya. Karena pada praktiknya, kebanyakan orang sulit mengubah dari keinginan selalu mengungkapkan pendapat pribadi ke arah upaya memahami pendapat orang lain.

(40)

28 PELATIHAN DASAR PENDAMPINGAN SOSIAL

Sebagian merasa sering disalahpahami sehingga mengulang-ulang pendapatnya. Ada yang ingin cepat selesai. Kadang sebagian sibuk ngobrol dengan teman di sampingnya. Masing-masing ingin pendapatnya didengar. Kondisi seperti ini dapat membuat orang menjadi bingung, terganggu, frustrasi, tidak sabar, dan sebagainya. Pertemuan bahkan mengarah pada kebuntuan (deadlock). Parahnya, kadang pemimpin pertemuan berusaha menghilangkan kebuntuan dengan cara membuat keputusan sepihak.

Gambar 2.6. Bentuk ideal dinamika proses pengambilan keputusan

Sumber: Kaner et al. (2007: 13)

Kaner et al. (2007) menyatakan bahwa dinamika di atas menggambarkan bahwa proses berpikir konvergen tidak otomatis terjadi setelah proses berpikir divergen dilewati. Menurut Kaner et al. ada langkah penting yang terlewat oleh kelompok. Langkah yang dimaksud adalah mengenali adanya zone tidak nyaman yang membuat anggota pertemuan merasa resah, tertekan, dan putus asa. Kaner et al. (2007) menamainya dengan Groan Zone atau bisa terjemahkan sebagai Zona Kritis. Saat melewati zone ini, anggota pertemuan mengulang-ulang pandangannya, tidak sensitif, saling defensif mempertahankan pendapat, emosi mudah meletup, dan seterusnya. Sayangnya, kebanyakan justru tidak mengerti betul apa yang terjadi.

R A G A M ID E WAKTU PENDAPAT UMUM RAGAM PANDANGAN PENYATUAN PEMIKIRAN PEMBULATAN

(41)

Modul 6 Fasilitasi dalam Pendampingan Sosial 29

Untuk mengenali dan melewati Zona Kritis, Kaner et al. (2007: 20) menawarkan suatu model yang dinamakan dengan Diamond of Participatory Decision-Making bagi para fasilitator (Gambar 2.7). Tim Pe-PP (2007) menerjemahkannya sebagai “Teori Berlian Fasilitasi Proses Kesepakatan.” Seperti tampak pada Gambar 2.7, Groan Zone berada di tengah-tengah antara zona divergen dan zona konvergen. Di awal zona divergen ada proses pengambilan keputusan yang sifatnya instan karena tidak melalui proses-proses divergensi dan konvergensi. Justru tipikal pertemuan seperti ini umum terjadi (business as usual) yang biasanya dilakukan oleh kelompok konvensional, bukan partisipatif. Sedangkan di ujung proses pertemuan dinamakan sebagai zona penutup (closure zone) dimana kesepakatan berhasil dibuat.

Gambar 2.7. Model/Teori Berlian Fasilitasi Proses Kesepakatan Sumber: Kaner et al. (2007: 20)

Lebih jauh Kaner et al. (2007) menjelaskan bahwa Zona Kritis merupakan konsekuensi dari kebhinekaan dalam kelompok. Kesalahpahaman dan miskomunikasi adalah hal yang normal dan alamiah dalam proses pengambilan keputusan partisipatif. Ketika melewati fase sulit ini, fasilitator harus mampu mengatasi kesalahpahaman dan miskomunikasi demi mencapai kesepakatan yang lestari dan kolaborasi yang mantap. Caranya adalah dengan mencari kesepahaman dan

(42)

30 PELATIHAN DASAR PENDAMPINGAN SOSIAL

kesamaan. Persamaan dan kesamaan dalam gagasan atau pandangan di antara anggota kelompok menjadi prasyarat bagi proses berpikir yang cerdas dan kreatif dalam pengambilan keputusan.

Ada empat nilai utama dalam pengambilan keputusan partisipatif (Kaner et al., 2007):

a. Partisipasi penuh

Seluruh anggota kelompok didorong untuk bersuara mengungkapkan isi kepala mereka.

b. Pemahaman bersama

Untuk mencapai kesepakatan yang langgeng, antar anggota saling memahami dan menerima kebutuhan dan tujuan masing-masing.

c. Solusi inklusif

Solusi yang mampu mengakomodir semua kepentingan merupakan bentuk kebijaksanaan kelompok yang muncul dari hasil penyatuan pandangan dan kebutuhan setiap orang.

d. Tanggung jawab bersama

Dalam kelompok partisipatif, semua anggota sadar bahwa pelaksanaan hasil keputusan merupakan tanggung jawab bersama, bukan hanya sebagian orang. Dengan kesadaran itu, mereka akan sepenuh hati untuk terliba penuh dalam pembuatan kesepakatan sebelum diputuskan.

Keempat nilai inti tersebut sekaligus menjadi domain seorang fasilitator kelompok untuk memainkan perannya. Dalam proses pengambilan keputusan yang bersifat partisipatif, fasilitator berperan untuk menggalang partisipasi penuh semua anggota, mempromosikan kesepahaman bersama, memperjuangkan solusi yang dapat mengakomodir semua pandangan atau kebutuhan, dan menanamkan rasa tanggung jawab bersama di kalangan anggota.

Tujuan dan manfaat yang diharapkan dari peran-peran seorang fasilitator dengan nilai-nlai partisipatif tersebut dapat membentuk (Kaner et al., 2007: 29):

a. individu-individu anggota yang lebih kuat

(43)

Modul 6 Fasilitasi dalam Pendampingan Sosial 31

 daya nalar yang lebih kuat

 lebih percaya diri

 lebih berkomitmen

 keterampilan komunikasi yang lebih baik

 peningkatan kemampuan mengemban tanggung jawab yang lebih luas dan berat

b. kelompok yang lebih kuat

 peningkatan kemampuan mendayagunakan berbagai talenta

 mampu mengakses lebih banyak jenis informasi

 membangun rasa hormat dan atmosfer yang saling mendukung

 memiliki prosedur lebih jelas dalam menghadapi dinamika kelompok

 peningkatan kapasitas mengatasi masalah rumit c. kesepakatan yang lebih kuat

 lebih banyak ide

 ide-ide yang lebih brilian dan berkualitas

 pemecahan yang mengakomodir tujuan setiap anggota

 kesepakatan yang lebih bijak

 pelaksanaan hasil kesepakatan secara lebih bertanggung jawab 3. Model Pembelajaran Orang Dewasa

Di ranah pelatihan, konsep fasilitasi dipengaruhi oleh sejumlah inovator besar. Sebut saja John Dewey (1859-1952), seorang filsuf dan ahli pendidikan, yang menyatakan bahwa guru atau pendidik lebih tepat berperan sebagai fasilitator, yang mampu menciptakan kondisi belajar dengan cara menuntun dan membantu, bukan mendikte, mengajari, atau menyuruh, apalagi memaksa. Fasilitasi memakai pendekatan penyelesaian masalah dan situasi pembelajaran harus lebih bersifat kooperatif ketimbang diktatorial yang lebih mengandalkan kekuasaan (Hogan, 2002).

Ahli lain yang mempopulerkan istilah fasilitator pada dekade 1970-80an yaitu Carl Rogers (1902-87). Psikoterapis Amerika ini berpendapat bahwa peserta didik seharusnya dipacu agar mereka mampu “belajar bagaimana untuk belajar” dan

(44)

32 PELATIHAN DASAR PENDAMPINGAN SOSIAL

mereka harus menjadi mandiri (otonom). Alasannya, kebanyakan peserta didik lebih suka belajar dengan caranya sendiri. Peran guru hanya memfasilitasi (Hogan, 2002).

Seorang penulis yang paling berpengaruh sekaligus kontroversial tentang pendidikan orang dewasa, Malcolm Knowles, memperkenalkan konsep pendidikan orang dewasa tahun 1970. Konsepnya dikenal dengan ‘andragogi’. Model andragogi merupakan kebalikan dari ‘pedagogi’ atau pendidikan untuk anak. Karakeristik utama andragogi adalah pendekatan fasilitatif. Knowles merinci tiga asumsi utama yang membedakan kedua model tersebut (Hogan, 2002: 27):

a. Orang dewasa kurang memiliki ketergantungan dibanding anak dan cenderung mampu mengatur diri.

b. Orang dewasa lebih memiliki khazanah pengalaman, maka konsep diri mereka sangat berkaitan erat dengan pengalaman yang dimiliki sehingga mereka akan memproyeksikan pengalaman tersebut dalam proses pembelajaran.

c. Anak-anak lebih dapat menerima pengetahuan dan keterampilan yang akan berguna suatu saat nanti. Sebaliknya, orang dewasa ingin pembelajaran mereka dapat berguna saat ini dan materi belajar terkait langsung dengan masalah yang sedang mereka hadapi.

Pembelajaran yang bersifat mengatur diri, sebagai salah satu asumsi model andragogi di atas, sangat mirip dengan pendekatan fasilitatif. Lebih jauh Knowles mendorong penggunaan ‘kontrak belajar’ ketika memulai proses pembelajaran. Kontrak belajar lagi-lagi memerlukan pendekatan fasilitatif. Kontrak belajar berarti sebuah ‘rencana proses’. Fokusnya terletak pada kebutuhan dan gaya belajar peserta didik.

Model pembelajaran lain yang menekankan pentingnya peran pendidik sebagai fasilitator adalah pembelajaran eksperiensial yang didesain oleh David Kolb. Model pembelajaran ala Kolb tidak saja memanfaatkan pengalaman masa lalu, tetapi juga pengalaman baru atau aktif masa kini. Kolb memformulasi empat tahap dalam siklus pembelajaran eksperiensial berikut ini:

a. Pengalaman konkret, yakni peserta didik secara langsung terlibat dalam sebuah pengalaman;

(45)

Modul 6 Fasilitasi dalam Pendampingan Sosial 33

BOX 4.2

Variasi metode dalam pembelajaran orang dewasa:

a. Permainan

b. Berbincang (ngobrol) c. Berdiskusi

d. Nonton film/video

e. Praktik simulasi atau bermain peran

b. Observasi reflektif, dimana peserta berpikir tentang pengalaman tersebut; c. Konseptualisasi abstrak, dimana peserta menyimpulkan, melakukan

generalisasi atau memeras pembelajaran baru menjadi sebuah teori; dan d. Eksperimentasi aktif dimana peserta memutuskan pembelajaran baru apa

yang dapat diterapkan atau dipraktikkan. Perhatikan Gambar 2.8.

Gambar 2.8. Model pembelajaran eksperiensial David Kolb Sumber: Hogan (2002: 29)

Tahapan dalam model pembelajaran Kolb tidak harus berurutan atau sekuensial. Agar peserta mampu memproses

pengalaman dengan cara yang bermakna, harus ada seorang fasilitator atau ‘manusia proses yang membantu peserta mempu mengambil pelajaran dari pengalaman. Di sini, menurut John Heron, seperti dikutip Hogan (2002: 29), fasilitator berperan “membantu partisipan untuk belajar dalam kelompok eksperiensial.”

Pengalaman konkret Observasi reflektif Konseptualisasi abstrak Eksperimentasi aktif

(46)

34 PELATIHAN DASAR PENDAMPINGAN SOSIAL

Aktivitas pendampingan sosial di lapangan sangat membutuhkan konsep dan keterampilan terkait fasilitasi. Dengan fasilitasi, tujuan pendampingan sosial harus diarahkan untuk menciptakan kemandirian para penerima manfaat, bukan malah menyebabkan ketergantungan. Upaya menciptakan kemandirian merupakan bagian dari upaya pemberdayaan masyarakat, yang memiliki unsur utama berupa partisipasi. Fasilitasi, pemberdayaan, dan partisipasi menjadi landasan konsep yang fundamental untuk memahami dan mempraktikkan peran, keterampilan, dan teknik fasilitasi.

Untuk lebih melengkapi ketiga konsep dasar tersebut, konsep tentang dinamika kelompok dalam proses perumusan kesepakatan dan konsep pembelajaran orang dewasa pun tidak kalah penting. Dalam memfasilitasi pengambilan keputusan atau pemecahan masalah di antara kelompok atau komunitas penerima manfaat, seorang pendamping harus dibekali pemahaman akan dinamika proses terkait tahap konvergen, tahap kritis, dan tahap divergen. Masing-masing tahap ini sangat krusial untuk dikenali dan pendamping harus memiliki sejumlah keahlian untuk mengatasi dan memandu proses hingga mampu mencapai titik kesepakatan yang mengakomodir semua gagasan. Pendakatan terhadap kelompok juga lebih bersifat partisipatif ketimbang konvensional.

Fasilitasi dalam pelatihan atau peningkatan kapasitas penerima manfaat memerlukan pemahaman dasar tentang pembelajaran orang dewasa. Konsep pembelajaran andragogi dan model pembelajaran eksperiensial sangatlah penting dalam mempraktikkan fasilitasi untuk konteks pembelajaran. Para penerima manfaat sebagai manusia dewasa memiliki karakteristik dan kebutuhan yang berbeda dengan anak usia sekolah, sehingga pendekatan dan strategi pembelajaran harus dibedakan.

Dengan mempelajari kedua pokok bahasan tambahan tersebut, Anda diharapkan dapat mempraktikkan konsep pendidikan orang dewasa (andragogi) dalam pertemuan kelompok dengan penerima manfaat dan dinamia kelompok dalam pengambilan keputusan. Konsep ini memiliki karakteristik berbeda dibanding konsep

(47)

Modul 6 Fasilitasi dalam Pendampingan Sosial 35

pedagogi, yang lebih cocok diterapkan untuk anak-anak, bukan orang dewasa. Tahapan dalam melakukan pertemuan atau diskusi dapat menjadi pedoman dalam praktik, termasuk bagaimana mengatur setting pertemuan dan prosesnya. Sejumlah sikap dan perilaku fasilitatif sangat baik diterapkan dalam pertemuan, diskusi, ataupun pengambilan keputusan. Hal ini akan dibahas dalam bab terakhir tentang teknik fasilitasi.

LK. 6.1. Menggali Pengalaman Pendampingan (15 menit)

1. Uraikan bentuk-bentuk kegiatan pendampingan sosial yang telah Anda lakukan di lapangan.

2. Jelaskan praktik fasilitasi dalam kegiatan pendampingan tersebut.

3. Jika praktik yang Anda lakukan dirasa mengandung unsur pemberdayaan, uraikan prosesnya dan sampai sejauh mana tingkat partisipasi anggota kelompok/komunitas penerima manfaat yang muncul.

4. Tuangkan jawaban dari dua pertanyaan tersebut dalam sebuah tulisan singkat (maksimal 600 kata atau 2 halaman A4).

5. Esai boleh ditulis tangan atau diketik computer.

6. Jika waktu di kelas tidak cukup, peserta dapat menuntaskannya di luar kelas.

LK. 6.2. Pendekatan Partisipatif vs Konvensional dalam Kelompok (20 menit)

1. Peserta tetap di tempat duduk maing-masing

2. Fasilitator menyiapkan board dengan membuat dua kolom tulisan untuk

E. LEMBAR KERJA

Gambar

Gambar 1.1. Skema pembelajaran
Gambar 2.1. Pengurangan peran fasilitator dan peningkatan peran masyarakat  Sumber: Tim Pe-PP (2007: 24)
Gambar 2.2. Tangga partisipasi Sherry Arnstein   Sumber: Hogan (2002: 38, dengan perubahan)
Gambar  2.3  memotret  proses  pengambilan  keputusan  dalam  sebuah  kelompok. Setiap lingkaran kecil mewakili satu ide/gagasan atau usulan
+7

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian berupa produk modul busana anak dengan materi diambil disesuaikan dengan silabus, menunjukkan bahwa modul yang sesuai digunakan pada Kompetensi

Kompetensi Umum : Mahasiswa mampu menjelaskan tentang pengertian ilmu ekonomi, permasalahan dalam ekonomi, dan konsep-konsep dasar dalam ekonomi makro yang meliputi:

Kajilah materi dan melakukan aktivitas yang ada di modul terkait media pembelajaran dan sumber belajar dan Analisislah kebutuhan media dan sumber belajar sesuai kompetensi

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, maka dapat disimpulkan sebagai berikut: 1)Penelitian pengembangan modul Kompetensi Dasar Menjelaskan Cara Membuat Surat

1. Menetapkan judul modul yang akan disusun. Menyiapkan buku-buku sumber dan buku referensi lainya. Melakukan identifikasi terhadap kompetensi dasar, melakukan kajian

MODUL PEMBELAJARAN BAHASA INGGRIS KELAS IX Kompetensi Dasar: 3.1 Menerapkan fungsi sosial, struktur teks, dan unsure kebahasaan teks interaksi interpersonal lisan dan tulis yang

31 NO UNIT KOMPETENSI ELEMEN KOMPETENSI INDIKATOR KELULUSAN terkait dengan kemampuan dasar olah grafis digital digital 2.1.2 Menjelaskan terminologi terkait konsep umum

KONSEP DASAR PSIKOLOGI SOSIAL Interaksi sosial manusia di masyarakat, baik itu antar individu, antara individu dengan kelompok atau antar kelompok, tidak dapat dilepaskan dari fenomena