UPAYA MENINGKATKAN SIKAP EMPATI METODE
SD NEGERI CATURTUNGGAL 3 DEPOK SLEMAN
Diajukan
guna
PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING JURUSAN PSIKOLOGI PENDIDIKAN DAN BIMBINGAN
UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
i
UPAYA MENINGKATKAN SIKAP EMPATI MELALUI METODE STORYTELLING PADA SISWA KELAS IV
SD NEGERI CATURTUNGGAL 3 DEPOK SLEMAN
SKRIPSI
Diajukan kepada Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan una Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan
Oleh Ela Destiyana NIM 12104244052
PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING JURUSAN PSIKOLOGI PENDIDIKAN DAN BIMBINGAN
FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
JULI 2016
MELALUI PADA SISWA KELAS IV SD NEGERI CATURTUNGGAL 3 DEPOK SLEMAN
v
MOTTO
“Bercerita bukan sekedar berbicara secara lisan tetapi memaknai cerita yang sesungguhnya”
(Penulis)
“ Dengan empati kehidupan akan saling melengkapi sehingga kekurangan tak lagi menghalangi kebahagiaan”
vi
PERSEMBAHAN
Skripsi ini saya persembahkan kepada :
1. Keluarga terhebat, Bapak Hudaya Zakaria, Ibu Rosdiana, Kakak Eli
Alpiyana atas dukungan, doa dan kasih sayang yang diberikan dengan
tulus.
2. Almamater tercinta, Universitas Negeri Yogyakarta
vii
UPAYA MENINGKATKAN SIKAP EMPATI MELALUI METODE STORYTELLINGPADA SISWA KELAS IV SD NEGERI CATURTUNGGAL 3 DEPOK SLEMAN
Oleh ElaDestiyana NIM 12104244052
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan sikap empati melalui metode
storytelling pada siswa kelas IV SD Negeri Caturtunggal 3 Depok Sleman.
Penelitian ini merupakan penelitian tindakan kelas dengan subjek penelitian siswa kelas IV SD Negeri Caturtunggal 3 Depok Sleman yang berjumlah 18 siswa. Penelitian ini dilakukan dalam 2 siklus yang terdiri dari 6 tindakan yaitu cerita Kentang Ajaib, Ibu Bermata Satu, Rasulullah dan Pengemis
Buta, Sepeda Motor Baru, Ibu Pemungut Beras dan Dibuang ke Hutan. Metode
pengumpulan data menggunakan skala sikap empati, observasi dan wawancara. Analisis data menggunakan data kuantitatif dan kualitatif. Reliabilitas skala sikap empati sebesar 0,870.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sikap empati dapat ditingkatkan melalui metode storytelling. Hal ini dapat dilihat berdasarkan hasil persentase rata-rata skor pre test, post test I dan post test II yang mengalami peningkatan dari 58,89 % menjadi 74,76 % dan meningkat lagi menjadi 79,29 %. Dari hasil tersebut, penelitian dapat dihentikan karena telah memenuhi kriteria keberhasilan yang ditargetkan yaitu 75 % dari persentase skor rata-rata sikap empati siswa. Interpretasi hasil observasi dan wawancara menunjukkan siswa telah mampu memunculkan sikap empati.
viii
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang senantiasa melimpahkan rahmat
dan karunia-NYA, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul
“Upaya Meningkatkan Sikap Empati Melalui Metode Storytelling Pada Siswa
Kelas IV SD Negeri Caturtunggal 3 Depok Sleman”. Skripsi ini disusun untuk
memenuhi salah satu syarat guna memperoleh gelar Sarjana Pendidikan
Universitas Negeri Yogyakarta.
Penulis menyadari bahwa penyusunan skripsi ini tidak dapat berjalan
lancar tanpa dukungan dan bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis
mengucapkan terimakasih kepada mereka yang telah mengantarkannya.
1. Dekan Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta yang
telah memberikan izin penelitian.
2. Ketua Jurusan Psikologi Pendidikan dan Bimbingan Universitas Negeri
Yogyakarta yang telah memberikan izin penelitian.
3. Bapak Sugiyatno, M.Pd. selaku dosen pembimbing yang telah
memberikan arahan, motivasi dan bimbingan dalam penyusunan skripsi
ini.
4. Bapak Sugiyanto, M.Pd. selaku dosen penasehat akademik yang telah
memberikan motivasi dan arahan dalam menyelesaikan skripsi ini.
5. Seluruh dosen jurusan psikologi pendidikan dan bimbingan yang telah
ix
6. Ibu Karti Andayani, S.Pd.SD dan Ibu Retno Nur Utami, S.Pd.SD yang
telah membantu dalam kelancaran proses penelitian ini.
7. Siswa-siswa SD Negeri Caturtunggal 3 Depok Sleman khususnya kelas IV
atas kesediaannya membantu penelitian ini.
8. Keluarga tercinta, kedua orangtua yang luar biasa dan kakakku tersayang
yang telah memberikan nasehat dan dukungan dalam penyusunan skripsi
ini.
9. Sahabat dan teman terbaik, Eke, Giar, Sandi, Mariska, Oni, Niken dan Fia
yang telah memberikan semangat sehingga skripsi ini dapat diselesaikan
dengan baik.
10.Teman-teman BKC 2012 yang telah memberikan semangat dan motivasi
dalam penyusunan skripsi ini.
11.Teman-teman ASTRI 6F, Dyah, Ayu, Ayun dan Imna yang bersedia
menemani, menghibur, memberi semangat serta selalu mendoakan demi
kelancaran penyusunan skripsi ini.
12.Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah
memberikan bantuan selama penelitian ini.
Semoga bantuan dari semua pihak mendapat balasan dari Allah
SWT. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan,
untuk itu kritik dan saran penulis harap untuk kesempurnaan tulisan ini.
Yogyakarta, 19 Juli 2016
x
A. Latar Belakang Masalah ... B. Identifikasi Masalah ... C. Pembatasan Masalah ... D. Perumusan Masalah ... E. Tujuan Penelitian ... F. Manfaat Penelitian ...
BAB II KAJIAN TEORI
xi
2. Karakteristik Masa Kanak-Kanak Akhir ... 3. Tugas Perkembangan Masa Kanak-Kanak Akhir ... C. Kajian tentang Storytelling ...
1. Pengertian Storytelling ...
2. Unsur-unsur Storytelling ...
3. Manfaat Storytelling ...
4. Teknik Penyajian Storytelling ...
5. Rancangan Kegiatan Storytelling ...
D. Penelitian yang Relevan ... E. Kerangka Berpikir ... F. Hipotesis Tindakan...
BAB III METODE PENELITIAN
A. Pendekatan Penelitian ... B. Tempat dan Waktu Penelitian ... C. Subjek dan Objek Penelitian ... D. Variabel Penelitian ... E. Desain Penelitian ... F. Skenario Siklus ... G. Teknik dan Instrumen Pengumpulan Data ...
1. Skala ... 2. Observasi ... 3. Wawancara ... H. Uji Validitas dan Reliabilitas Instrumen ... I. Teknik Analisis Data ... J. Indikator Keberhasilan Tindakan ...
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
xii
G. Keterbatasan Penelitian ...
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan ... B. Saran ...
DAFTAR PUSTAKA ...
LAMPIRAN ... 104
105 106
xiii
xiv
DAFTAR GAMBAR
hal Gambar 1.
Gambar 2.
Gambar 3. Gambar 4.
Bagan Kerangka Berpikir ... Alur Penelitian Tindakan Kelas Model Kemmis dan Mc. Taggart ... Hasil Skor Sikap Empati Siswa ... Presentase Skor Sikap Empati Siswa ...
42
xv Skala Sikap Empati (Sebelum Uji Validitas) ... Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas
(Sebelum Item Gugur) ... Kisi-kisi Skala Sikap Empati (Setelah Uji Validitas) ... Skala Sikap Empati (Setelah Uji Validitas) ... Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas
(Setelah Item Gugur) ... Hasil Observasi Siklus I ... Hasil Observasi Siklus II ... Hasil Wawancara dengan Siswa ... Hasil Wawancara dengan Guru Wali Kelas ... Hasil Pre Test ... Hasil Post Test I ... Hasil Post Test II ... Cerita ... Dokumentasi ... Surat Izin Penelitian ...
1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Masa kanak-kanak akhir atau sering juga disebut dengan masa usia
sekolah yaitu tahap transisi anak mulai dari taman kanak-kanak menuju
sekolah dasar. Masa usia sekolah dialami anak pada usia 6 tahun sampai
masuk ke masa pubertas dan masa remaja awal yang berkisar pada usia
11-13 tahun (Rita Eka I. dkk, 2008: 104). Pada masa ini, anak harus mulai
beradaptasi dengan lingkungan sekitar yaitu teman, guru, dan warga sekolah
lainnnya. Sekolah menjadi tempat menuntut ilmu kedua bagi anak setelah
keluarga, diharapkan dapat memberikan pengaruh positif yang dapat
membantu perkembangan anak baik dalam aspek kognitif, afektif, dan
psikomotorik. Menurut Kartini Kartono (1995:135) dengan pengajaran di
sekolah, anak diharapkan mampu melaksanakan tugas kewajiban yang baru,
khususnya dipersiapkan untuk tugas-tugas hidup yang cukup berat pada usia
dewasa.
Penyesuaian awal ketika di sekolah menyebabkan anak mengalami
perubahan sikap dan tingkahlaku. Perubahan tersebut dapat mengarah pada
perubahan positif dan negatif. Perubahan positif yang dialami anak ketika
dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan sekolah yaitu anak cenderung
lebih mudah menjalin pertemanan, sedangkan perubahan negatif yang
dialami anak ketika mengalami kesulitan dalam menyesuaikan diri dengan
lingkungannya yaitu anak dapat melakukan perilaku yang menyimpang.
2
sosial, anak harus belajar tentang cara-cara menyesuaikan diri dengan orang
lain. Kemampuan ini diperoleh anak melalui berbagai kesempatan atau
pengalaman bergaul dengan orang-orang di lingkungannya, baik orangtua,
saudara, teman sebaya maupun orang dewasa lainnya.
Anak yang menginjak sekolah dasar atau dapat dikategorikan masuk
pada masa kanak-kanak akhir memiliki tugas perkembangan yang berbeda
dengan masa kanak-kanak awal ketika masih di taman kanak-kanak.
Menurut Syamsu Yusuf (2006: 69) tugas perkembangan pada masa sekolah
yaitu (1) belajar memperoleh keterampilan fisik untuk melakukan
permainan; (2) belajar membentuk sikap yang sehat terhadap dirinya sendiri
sebagai makhluk biologis; (3) belajar bergaul dengan teman sebaya; (4)
belajar memainkan peranan sesuai dengan jenis kelaminnya; (5) belajar
keterampilan dasar dalam membaca, menulis, dan berhitung; (6) belajar
mengembangkan konsep sehari-hari; (7) mengembangkan kata hati; (8)
belajar memperoleh kebebasan yang bersifat pribadi; dan (9)
mengembangkan sikap yang positif terhadap kelompok sosial dan
lembaga-lembaga. Untuk mencapai tugas-tugas perkembangan tersebut secara
optimal, maka anak membutuhkan lingkungan sosial yang dapat mendukung
terlaksanakannya hal tersebut.
Lingkungan sosial yang baik akan memberikan pengaruh yang baik
bagi anak begitu pula sebaliknya. Hal yang sama diungkapkan oleh Fawzia
Aswin Hadis (1996: 167) bahwa anak pada usia ini harus belajar untuk
mengadakan hubungan-hubungan dengan orang dewasa di luar keluarganya.
3
mempengaruhi perkembangan kontrol diri anak dan orientasinya terhadap
keberhasilan. Syamsu Yusuf (2006: 180) menjelaskan bahwa perkembangan
sosial pada anak-anak Sekolah Dasar ditandai dengan adanya perluasan
hubungan di luar keluarga yaitu dengan teman sebaya sehingga ruang gerak
hubungan sosialnya bertambah luas. Pada masa ini, anak mulai bisa
memiliki kesanggupan menyesuaikan diri-sendiri (egosentris) kepada sikap
yang kooperatif (bekerjasama). Perkembangan sosial yang dialami anak
akan mempengaruhi anak dalam menyesuaikan dirinya dengan kelompok
teman sebaya maupun dengan lingkungan masyarakat sekitarnya.
Penelitian ini dilaksanakan di SD Negeri Caturtunggal 3 dikarenakan
dari hasil observasi yang telah dilakukan menunjukkan bahwa di sekolah
tersebut mempunyai masalah tentang sikap empati. Hasil observasi pada
siswa kelas IV SD Negeri Caturtunggal 3, siswa menunjukkan perilaku
egosentris. Hal ini terlihat ketika ada siswa yang membutuhkan penggaris
untuk mengerjakan tugas, tetapi temannya tidak bersedia meminjamkan dan
menyarankan untuk meminjam penggaris kepada teman yang lain. Kasus
lain misalnya, ketika ada teman yang sedang menangis di kelas karena
diejek dan tidak ada siswa yang berusaha menenangkannya atau
menghiburnya bahkan teman satu meja yang duduk disampingnya tetap
menulis tanpa menghiraukan apa yang terjadi dengan teman disampingnya,
sedangkan siswa laki-laki tertawa melihat temannya yang menangis dan
mendukung teman yang membuat siswa itu menangis. Peristiwa ini
menunjukkan bahwa siswa cenderung belum bisa memahami perasaan
4
Hal ini didukung data berdasarkan hasil wawancara dengan siswa
kelas IV, siswa mengungkapkan ekspresi tidak senang ketika melihat
temannya menjadi juara kelas. Siswa tidak mengucapkan selamat bahkan
berpendapat negatif mengenai temannya. Perilaku siswa yang seperti ini
menunjukkan siswa memiliki perasaan yang berbeda dengan temannya yang
menjadi juara kelas. Jadi dapat disimpulkan bahwa siswa belum bisa
memahami perasaan temannya. Kasus lain misalnya, ada siswa kelas IV
yang sedang sakit dan beberapa hari tidak masuk sekolah. Namun, hanya
sedikit siswa perempuan yang ikut menjenguk sedangkan siswa laki-laki
tidak mau ikut dan siswa perempuan lainnya mengatakan tidak memiliki
waktu untuk menjenguk bahkan bertanya mengapa siswa tersebut harus
dijenguk. Peristiwa tersebut menunjukkan bahwa siswa belum bisa
memahami kondisi atau keadaan temannya.
Berdasarkan hasil observasi dan wawancara di SD Negeri
Caturtunggal 3 Depok, jika anak terus dibiarkan seperti itu, maka anak bisa
memiliki sikap apatis. Ketika hal itu terjadi anak akan mengalami kesulitan
dalam beradaptasi dengan lingkungan sehingga menghambat anak dalam
menjalin hubungan sosialnya. Hubungan sosial yang terhambat
menyebabkan anak merasa asing dengan lingkungan sekitarnya. Di samping
itu, anak juga mengalami kesulitan dalam menjalin pertemanan terutama
dengan teman sebayanya. Salah satu cara agar anak dapat mencapai tugas
perkembangannya adalah belajar bergaul dengan teman sebaya. Hubungan
sosial terjadi karena adanya interaksi sosial yang melibatkan emosi atau
5
yang dialami temannya jika anak tidak berinteraksi. Oleh karena itu,
pentingnya bagi anak untuk membangun hubungan sosial yang baik
sehingga tercipta rasa kasih sayang terhadap orang lain serta memudahkan
anak dalam menumbuhkan sikap empati.
Goleman (2004: 136) menjelaskan bahwa kemampuan empati adalah
kemampuan untuk mengetahui perasaan orang lain. Empati merupakan akar
kepedulian dan kasih sayang dalam setiap hubungan emosional seseorang
dalam upayanya untuk menyesuaikan emosionalnya dengan emosional
orang lain. Johnson (Sari dkk, 2003 dalam Herly dkk, 2015: 5)
mengemukakan bahwa empati adalah kecenderungan untuk memahami
kondisi atau keadaan pikiran orang lain. Seseorang yang berempati
digambarkan sebagai seorang yang toleran, mampu mengendalikan diri,
ramah, mempunyai pengaruh serta bersifat humanistik.
Goleman (2004: 148) menegaskan bahwa anak-anak dengan empati
mampu menjalin hubungan sosial yang baik karena empati mendasari
banyak segi tindakan dan pertimbangan moral. Hal serupa diungkapkan oleh
Ali Muhtadi (2002: 4) yang menyatakan bahwa anak yang memiliki
kemampuan untuk berempati dapat digolongkan sebagai anak yang “baik”,
lembut hati, memikirkan perasaan orang lain, mengarahkan diri sendiri
kepada orang lain. Anak yang memiliki kemampuan berempati tinggi
terhadap emosi orang lain cenderung memiliki hasrat yang jelas untuk
bersikap bijaksana, sopan, murah hati dalam kerelaan anak melihat dunia
sebagaimana orang lain melihatnya, untuk mengalami dunia melalui mata
6
kelembutan hati. Newman dan Newman (dalam Rita Diah dkk, 2013: 122)
menyatakan anak-anak usia sekolah dasar seharusnya sudah dapat
memahami dan berempati pada perasaan orang lain. Permasalahan empati
termasuk salah satu permasalahan sosial yang dapat menghambat hubungan
sosial anak. Melihat berbagai permasalahan anak sekolah dasar yang
mengindikasikan perlunya penanaman empati dalam kehidupan sehari-hari,
maka dibutuhkan bimbingan dan konseling sosial untuk membantu
permasalahan sosial anak sehingga tugas perkembangan anak dapat tercapai
dengan baik. Salah satu upaya yang dilakukan peneliti yaitu dengan metode
storytelling.
Storytelling adalah menuturkan sesuatu yang mengisahkan tentang
perbuatan atau suatu kejadian dan disampaikan secara lisan dengan tujuan
membagikan pengalaman dan pengetahuan kepada orang lain (Bachtiar,
2005: 10). Dengan metode storytelling diharapkan anak dapat mulai melatih
kepekaan terhadap situasi maupun keadaan diri sendiri dan orang lain.
Berdasarkan hasil penelitian Rita Diah Ayuni dkk (2013: 126)
membuktikan bahwa storytelling memberikan pengaruh pada perilaku
empati anak, khususnya pada aspek fantasi dikarenakan anak diajak untuk
mengimajinasikan cerita yang disampaikan. Melalui imajinasi-imajinasi
yang telah terjadi pada saat storytelling, anak kemudian dapat
membayangkan perasaan dan pikiran tokoh permainan yang sedang
dibuatnya. Hasil penelitian yang dilakukan oleh F. Widiana Satya P (2012:
21) menunjukkan bahwa ada perbedaan signifikan antara kemampuan
7
dibuktikan dari hasil post test yang lebih tinggi dari pre test. Anak yang
memiliki skor pre test yang rendah dan kemudian memiliki skor post test
yang tinggi. Penelitian ini membuktikan bahwa pembacaan buku cerita
efektif dalam meningkatkan kemampuan empati anak.
Metode storytelling pernah digunakan di SD Negeri Caturtunggal 3
dalam pembelajaran namun pelaksanaannya belum optimal untuk
meningkatkan sikap empati siswa kelas IV SD Negeri Caturtunggal 3. Oleh
karena itu peneliti menganggap metode storytelling cocok diterapkan di
sekolah dasar untuk meningkatkan empati anak khususnya siswa kelas IV
yang menjadi subjek penelitian. Metode storytelling atau mendongeng juga
memiliki potensi untuk memperkuat imajinasi, meningkatkan empati dan
pemahaman, memperkuat nilai dan etika, dan merangsang proses pemikiran
kritis/kreatif. Storytelling yang berarti penyampaian cerita kepada para
pendengar dirasa tepat dijadikan metode pembelajaran bagi anak karena
sifatnya yang menyenangkan, tidak menggurui, serta dapat mengembangkan
imajinasi. Cerita yang disajikan melalui storytelling memberikan anak
kesempatan menilai sesuatu dari berbagai sudut pandang.
Peristiwa-peristiwa yang ada dalam cerita dapat memperkaya pengalaman dan
pengetahuan anak tentang suatu hal dan dijadikan arahan untuk melihat
perkembangan tingkah laku anak.
Berdasarkan uraian mengenai metode storytelling yang berguna bagi
anak untuk meningkatkan sikap empati pada siswa kelas IV SD Negeri
Caturtunggal 3 Depok, maka peneliti memutuskan untuk melakukan
8
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, permasalahan tersebut dapat
diidentifikasi berikut ini :
1. Beberapa siswa kelas IV masih menunjukkan sikap egosentris dengan
lebih mementingkan diri sendiri dan mengabaikan orang lain.
2. Beberapa siswa masih belum bisa menunjukkan sikap empati terhadap
teman yang sedang kesulitan maupun yang sedang bahagia.
3. Belum optimalnya pelaksanaan metode storytelling untuk
meningkatkan sikap empati pada siswa kelas IV SD Negeri
Caturtunggal 3 Depok Sleman.
C. Pembatasan Masalah
Dari identifikasi masalah tersebut, dalam penelitian ini dibatasi pada
masalah proses dan hasil dari metode storytelling untuk meningkatkan sikap
empati pada siswa kelas IV SD Negeri Caturtunggal 3 Depok Sleman.
D. Perumusan Masalah
Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Bagaimanakah proses meningkatkan sikap empati pada siswa kelas IV
SD Negeri Caturtunggal 3 Depok Sleman melalui metode storytelling ?
2. Bagaimanakah hasil dari proses meningkatkan sikap empati melalui
metode storytelling pada siswa kelas IV SD Negeri Caturtunggal 3
9
E. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan proses dan hasil proses
sikap empati melalui metode storytelling pada siswa kelas IV SD Negeri
Caturtunggal 3 Depok Sleman.
F. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini dapat memberikan manfaat baik teoritis maupun
praktis :
1. Manfaat Teoritis
Penelitian ini dapat menambah ilmu pengetahuan dalam bidang
bimbingan dan konseling terutama yang berkaitan dengan meningkatkan
sikap empati pada anak sekolah dasar melalui metode storytelling.
2. Manfaat Praktis
a. Bagi Peneliti
Penelitian ini diharapkan mampu memberikan ilmu pengetahuan
dan pengalaman sebagai calon pendidik yang akan membimbing
baik di SD,SMP maupun SMA sederajat.
b. Bagi Guru Wali kelas
Penelitian ini diharapkan mampu memberikan pemahaman kepada
guru/wali kelas terkait permasalahan yang terjadi pada siswa dan
tetap memantau perkembangan siswanya.
c. Bagi Siswa
Dapat dijadikan sebagai langkah awal bagi siswa dalam melatih
sikap empati sebagai bekal nantinya untuk bergabung di lingkungan
10 d. Bagi Peneliti Selanjutnya
Dapat dijadikan dasar untuk mengembangkan penelitian yang akan
dilakukan dan diharapkan dapat menemukan alternatif metode lain
11
BAB II KAJIAN TEORI
A. Kajian tentang Sikap Empati 1. Pengertian Empati
Istilah empati pertama kali dikemukakan oleh Edward Titchener
berasal dari bahasa Yunani empatheia yang artinya memasuki perasaan
orang lain atau ikut merasakan keinginan atau kesedihan seseorang
(David Howe, 2015: 15). Menurut Goleman (2004: 136) kemampuan
berempati adalah kemampuan untuk mengetahui bagaimana perasaan
orang lain. Empati merupakan akar kepedulian dan kasih sayang dalam
setiap hubungan emosional seseorang dalam upayanya untuk
menyesuaikan emosionalnya dengan emosional orang lain. Kunci untuk
memahami perasaan orang lain adalah mampu membaca pesan non verbal
seperti nada bicara, gerak gerik, ekspresi wajah, dan sebagainya.
Kemampuan empati yang dimiliki oleh seseorang dapat membuat
orang tersebut memahami kondisi orang lain. Menurut Kohut (dalam
Taufik, 2012: 40) empati sebagai suatu proses dimana seseorang berpikir
mengenai kondisi orang lain sehingga Kohut mendefinisikan empati
adalah kemampuan berpikir objektif tentang kehidupan terdalam dari
orang lain.
Setiawati, dkk. (dalam Treni, 2012: 6) mengemukakan bahwa
empati berkenaan dengan perasaan yang bermakna sebagai suatu
kepekaan rasa atau terhadap hal-hal yang berkaitan secara emosional
12
berempati memiliki kepekaan rasa yang lebih baik daripada orang yang
tidak berempati terhadap keadaan di sekitarnya. Kepekaan rasa ini adalah
suatu kemampuan dalam bentuk mengenali dan mengerti perasaan orang
lain.
Carl Rogers (dalam Taufik, 2012: 40) yang menyatakan bahwa
empati adalah sikap memahami yang seolah-olah individu tersebut masuk
dalam diri orang lain sehingga bisa merasakan dan mengalami
sebagaimana yang dirasakan dan dialami oleh orang lain itu, tetapi tanpa
kehilangan identitas dirinya sendiri. Kemampuan empati dapat dikontrol
oleh individu sehingga tidak hanyut dalam situasi orang lain.
Berdasarkan definisi para ahli dapat disimpulkan bahwa empati
merupakan kemampuan seseorang dalam memahami perasaan orang lain,
dapat mengenali kondisi orang lain, merasakan pengalaman orang lain
serta dapat memberikan respon empatik yang sama terhadap apa yang
dirasakan oleh orang lain.
2. Pengertian Sikap
Setiap orang memiliki sikap yang berbeda-beda terhadap sebuah
objek. Sikap berkaitan erat dengan perilaku seseorang. Menurut Sarlito
Sarwono dkk. (2009: 83) mengemukakan sikap adalah suatu konsep yang
melibatkan tiga aspek yaitu kognitif, afektif dan perilaku. Komponen
kognitif berupa semua pemikiran dan ide-ide baik positif maupun negatif
yang berkaitan dengan objek. Komponen afektif berupa perasaan atau
emosi seseorang yang diwujudkan melalui perasaan suka atau tidak suka,
13
diketahui melalui respon seseorang terhadap suatu objek yang
ditunjukkan melalui tindakan atau perbuatan yang diamati.
Berdasarkan penjelasan tersebut dapat disimpulkan sikap adalah
suatu konsep yang dapat diketahui melalui pengetahuan, perasaan dan
kecenderungan tingkah laku seseorang terhadap suatu objek.
3. Komponen Empati
Kemampuan empati tersusun dari beberapa komponen. Menurut
Hoffman dkk. (dalam Taufik, 2012: 43) komponen empati terdiri atas
komponen kognitif dan afektif.
a. Komponen Kognitif
Komponen kognitif merupakan komponen yang menimbulkan
pemahaman terhadap perasaan orang lain. Ketika seseorang
memahami perasaan orang lain, maka individu tersebut mampu
menempatkan diri dalam posisi orang lain. Baron & Byrne (2005:
112) mengungkapkan bahwa kemampuan kognitif adalah kemampuan
untuk mempertimbangkan sudut pandang orang lain, mampu
menempatkan diri dalam posisi orang lain.
Hal yang sama diungkapkan oleh Fesbach (dalam Taufik, 2012: 44)
bahwa komponen kognitif sebagai kemampuan untuk membedakan
dan mengenali kondisi emosional yang berbeda. Sebagaimana yang
dikemukakan oleh David Howe (2015: 24) bahwa empati kognitif
didasarkan pada kemampuan melihat sebuah situasi dari sudut
pandang orang lain. Hal ini melibatkan proses berpikir tentang pikiran
14
orang lain. Secara garis besar bahwa aspek kognitif dari empati
meliputi aspek pemahaman atas kondisi orang lain.
Berdasarkan pendapat para ahli dapat disimpulkan bahwa empati
kognitif adalah kemampuan memahami perasaan, dapat menempatkan
diri dalam posisi atau kondisi orang lain.
b. Komponen Afektif
Colley (dalam Taufik, 2012: 51) menyatakan bahwa komponen
afektif merujuk pada kemampuan menselaraskan pengalaman
emosional pada orang lain. Empati afektif merupakan suatu kondisi
dimana pengalaman emosi seseorang sama dengan pengalaman emosi
yang sedang dirasakan oleh orang lain. Aspek empati ini terdiri atas
simpati, sensitivitas dan sharing penderitaan yang dialami orang lain
seperti perasaan dekat terhadap kesulitan-kesulitan orang lain yang
diimajinasikan seakan-akan dialami oleh diri.
Pengalaman emosional memiliki pengaruh terhadap individu untuk
berempati. Menurut Colley, empati afektif merupakan suatu kondisi
dimana pengalaman emosi seseorang sama dengan pengalaman emosi
yang sedang dirasakan oleh orang lain, atau perasaan mengalami
bersama dengan orang lain.
Berdasarkan pendapat ahli, dapat disimpulkan empati afektif adalah
suatu kondisi dimana pengalaman emosi seseorang sama dengan
15
4. Proses Empati
Davis (dalam Taufik, 2012: 53) menggolongkan proses empati ke
dalam empat tahapan, yaitu antecedents, processes, interpersonal
outcomes, dan intrapersonal outcomes.
a. Antecedents
Antecedents yaitu kondisi-kondisi yang mendahului sebelum
terjadinya proses empati. Setiap orang memiliki situasi yang berbeda
dalam memunculkan sikap empatinya. Situasional khusus inilah yang
menjadi pendahulu sebelum individu memunculkan sikap empatinya.
Situasional khusus terdiri dari dua kondisi, pertama, kekuatan
situasi dan tingkat persamaan antara observer dan target. Kekuatan
situasi sangat memengaruhi seseorang untuk berempati, misalnya
ketika mengunjungi para korban bencana dan dihadapkan pada situasi
yang menyedihkan, ketika itu ada gejolak dalam perasaan dan pikiran
tentang situasi tersebut dan mencari solusi apa yang dapat dilakukan.
Kedua, persamaan antara observer dan target, jika semakin tinggi
tingkat persamaannya, maka semakin besar peluang observer untuk
berempati. Misalnya persamaan tempat tinggal, etnis, agama, bangsa
dan sebagainya.
Jadi dapat disimpulkan bahwa terdapat dua kondisi yang
mendahului sebelum terjadi proses empati yaitu kekuatan situasi dan
16
b. Processes
Kemampuan empati yang dimunculkan oleh seseorang dibedakan
menjadi tiga jenis proses yaitu non cognitive processes, simple
cognitive processes, dan advance cognitive processes. Non cognitive
processes terjadi karena disebabkan oleh proses-proses non kognitif,
artinya tanpa memerlukan pemahaman terhadap situasi yang terjadi.
Misalnya ketika satu bayi (A) menangis, selanjutnya akan diiringi
oleh tangisan bayi lainnya (B). Proses empati jenis ini hanya
melibatkan proses emosi dan terjadi dengan sendirinya.
Simple cognitive processes adalah proses empati yang hanya
membutuhkan sedikit proses kognitif. Misalnya ketika seseorang
menghadiri upacara wisuda atau pesta pernikahan, orang tersebut
akan datang dengan menunjukkan sikap bahagia atau sebaliknya
ketika menghadiri pemakaman, maka orang tersebut akan
menunjukkan perasaan duka cita. Empati yang dimunculkan tidak
membutuhkan proses yang mendalam, karena situasi-situasi tersebut
mudah dipahami.
Advance cognitive processes adalah proses empati yang menuntut
seseorang mengerahkan kemampuan kognitif. Misalnya ketika teman
mengatakan “saya telah dipukuli oleh pencuri”. Ketika teman
mengatakan kalimat itu, dia tidak menunjukkan wajah sedih atau
menderita dan terkesan berekspresi datar. Namun orang tersebut
17
ini merupakan proses yang dalam, membutuhkan pemahaman yang
tinggi terhadap situasi yang terjadi.
Berdasarkan penjelasan tersebut dapat disimpulkan terdapat tiga
jenis proses empati yaitu non cognitive processes, simple cognitive
processes, dan advance cognitive processes. Ketiga proses ini
ditimbulkan oleh penyebab yang berbeda-beda. Non cognitive
processes terjadi tanpa memerlukan pemahaman terhadap situasi yang
terjadi. Simple cognitive processes terjadi karena situasinya mudah
dipahami. Advance cognitive processes berbeda dengan kedua proses
sebelumnya karena pada proses ini memerlukan pemahaman yang
tinggi terhadap situasi yang terjadi.
c. Intrapersonal Outcomes
Intrapersonal Outcomes terdiri dari dua macam yaitu affective
outcomes dan non affective outcomes. Affective outcomes terdiri atas
reaksi-reaksi emosional yang dialami observer dalam merespon
pengalaman-pengalaman target. Affective outcomes terbagi dalam dua
bentuk yaitu parallel dan reactive outcomes. Parallel outcomes yaitu
adanya keselarasan antara yang seseorang rasakan dengan yang
dirasakan atau dialami oleh orang lain. Sedangkan reactive outcomes
didefinisikan sebagai reaksi-reaksi afektif terhadap
pengalaman-pengalaman orang lain yang berbeda. Non affective outcomes
didasarkan pada proses kognitif, karena observer secara cermat
18
Berdasarkan penjelasan tersebut dapat disimpulkan intrapersonal
outcomes terdiri dari affective outcomes dan non affective outcomes.
Affective outcomes terdiri atas reaksi-reaksi emosional yang dialami
observer dalam merespon pengalaman target. Non affective outcomes
didasarkan pada proses kognitif dikarenakan observer menangkap dan
menganalisis situasi yang dihadapinya.
d. Interpersonal Outcomes
Interpersonal outcomes akan berdampak pada hubungan antara
observer dan target. Salah satu bentuk dari interpersonal outcomes
adalah munculnya helping behavior (perilaku menolong). Hubungan
yang akan terjalin antara observer dan target salah satunya diawali
dengan perilaku menolong. Jadi interpersonal outcomes diwujudkan
dalam perilaku menolong yang nantinya akan mempererat hubungan
hubungan antara observer dan target.
Dalam penelitian ini untuk siswa kelas IV proses empati lebih
difokuskan pada simple cognitive proceses yaitu proses empati yang
terjadi karena situansinya mudah dipahami dan interpersonal outcomes
yang diwujudkan dalam perilaku menolong.
5. Perkembangan Empati
Kemampuan empati yang dimiliki setiap orang dapat
dikembangkan melalui lingkungan sosialnya. Taufik (2012: 92)
mengemukakan keberadaan empati adalah sesuatu yang telah
dianugerahkan pada diri sejak bayi dan akan dibentuk serta
19
pengalaman yang ditemukan baik dalam kehidupan sehari-hari maupun
melalui pembelajaran langsung yang diberikan oleh orangtua kepada
anak-anaknya.
Hoffman (dalam Taufik, 2012: 93) menjelaskan anak memiliki
kapabilitas untuk mempelajari hubungan-hubungan yang sederhana dan
bayi telah mengetahui tekanan-tekanan psikologis pada orang lain dengan
ketidaknyamanan yang mereka rasakan.
Dovidio, Piliavin, Schroeder & Penner (dalam Taufik, 2012: 93)
berpendapat anak pada usia 1-2 hari memang belum bisa berempati,
namun telah memiliki potensi-potensi untuk berempati dan potensi
tersebut nantinya harus terus dikembangkan oleh orangtua dan guru agar
anak menjadi pribadi yang berempati.
Hoffman (dalam Taufik, 2012: 94) berpendapat bahwa selama
tahun pertama, anak-anak tidak memiliki rasa tentang diri sendiri sebagai
individu yang unik, terpisah dan berbeda dengan orang-orang
disekitarnya karena anak belum dapat membedakan diri sendiri dengan
orang lain.
Anak yang berusia 1 tahun mulai bisa memahami bahwa orang lain
sedih, sementara anak belum bisa memahami kesedihannya sendiri.
Kemampuan empati anak masih berorientasi pada diri sendiri yaitu hanya
sebatas tahu kalau orang lain sedih maka sedihnya orang lain itu
situasinya sama seperti saat dirinya sedang sedih.
Pada usia 2 atau 3 tahun, empati anak lebih berkembang ditandai
makna-20
makna istilah untuk berbagai keadaan yang berbeda seperti kekecewaan,
kesedihan karena kehilangan, bahkan perasaan buruk tentang diri sendiri
(misalnya harga diri yang rendah).
Pada masa akhir kanak-kanak, anak dapat mengalami empati dalam
merespon kondisi kehidupan orang lain, tidak hanya terfokus pada diri
sendiri. Reaksi-reaksi tersebut dapat diperoleh atau dipelajari oleh anak
seiring dengan makin intensifnya berteman atau berinteraksi dengan
teman sepermainannya yang berasal dari latar belakang yang berbeda
beda.
Berdasarkan penjelasan para ahli dapat disimpulkan bahwa empati
dapat dibentuk dan dikembangkan melalui orang-orang di sekitarnya.
Perkembangan empati anak dimulai sejak bayi. Memasuki masa
kanak-kanak akhir perkembangan empati anak semakin baik. Anak mengalami
empati dalam merespon kondisi kehidupan orang lain. Reaksi tersebut
didapat seiring dengan makin intensifnya berteman dengan teman dari
latar belakang yang berbeda.
B. Kajian tentang Anak
1. Pengertian Masa Kanak-Kanak Akhir
Masa kanak-kanak akhir atau sering juga disebut dengan masa usia
sekolah yaitu tahap transisi anak mulai dari taman kanak-kanak menuju
sekolah dasar. Masa usia sekolah dialami anak pada usia 6 tahun sampai
masuk ke masa pubertas dan masa remaja awal yang berkisar pada usia
11-13 tahun (Rita Eka I. dkk, 2008: 104). Pada masa ini anak paling peka,
21
bertanya. Anak akan mengalami perubahan yang dapat mempengaruhi
penyesuaian pribadi dan penyesuaian sosialnya.
Perkembangan sosial anak mulai meningkat yang ditandai dengan
adanya perubahan pengetahuan dan pemahaman mereka mengenai
kebutuhan ketentuan maupun peraturan-peraturan. Masa usia sekolah
disebut pula sebagai periode intelektual dimana keadaan emosionalitas
anak jadi makin berkurang, sedangkan unsur intelek dan akal budi jadi
semakin menonjol serta minat yang obyektif terhadap dunia sekitar
menjadi semakin besar (Abu Ahmadi, 1991: 77).
Berdasarkan penjelasan tersebut dapat disimpulkan masa
kanak-kanak akhir adalah masa transisi anak dari taman kanak-kanak-kanak-kanak menuju
sekolah dasar yang dialami pada usia 6 tahun sampai masuk ke masa
pubertas awal yang berkisar pada usia 11-13 tahun.
2. Karakteristik Masa Kanak-kanak Akhir
Masa kanak-kanak akhir mempunyai ciri-ciri tertentu yang
membedakannya dengan masa kanak-kanak awal. Berikut ciri-ciri
penting dari masa kanak-kanak akhir menurut Elizabeth B. Hurlock
(1980: 146) yaitu :
a. Masa kanak-kanak akhir bagi orangtua merupakan usia yang
menyulitkan yaitu suatu masa dimana anak tidak mau lagi menururti
perintah dan dimana lebih banyak dipengaruhi oleh teman-teman
sebaya daripada oleh orangtua dan anggota keluarga lain.
b. Masa kanak-kanak akhir merupakan usia tidak rapih yaitu suatu masa
22
penampilan dan kamarnya sangat berantakan, terutama anak laki-laki
kurang memperhatikan dan tidak bertanggungjawab terhadap pakaian
dan benda-benda miliknya sendiri.
c. Masakanak-kanak akhir merupakan usia bertengkar yaitu suatu masa
dimana banyak terjadi pertengkaran antarkeluarga dan suasana rumah
yang tidak menyenangkan bagi semua anggota keluarga. Keluarga
yang memiliki anak laki-laki dan perempuan adalah hal biasa jika
anak laki-laki mengejek saudara perempuannya kemudian terjadi
pertengkaran dalam bentuk maki-makian atau serangan fisik.
d. Masa kanak-kanak akhir merupakan usia sekolah dasar dimana anak
diharapkan memperoleh dasar-dasar pengetahuan yang dianggap
penting untuk keberhasilan penyesuaian diri pada kehidupan dewasa
dan mempelajari berbagai keterampilan tertentu, baik keterampilan
kurikuler maupun ekstrakurikuler.
e. Masa kanak-kanak akhir merupakan periode kritis dalam dorongan
berprestasi yaitu suatu masa dimana anak membentuk kebiasaan
untuk mencapai sukses, tidak sukses, atau sangat sukses.
f. Masa kanak-kanak akhir merupakan usia berkelompok yaitu suatu
masa dimana perhatian utama anak tertuju pada keinginan diterima
oleh teman-teman sebaya sebagai kelompok, terutama kelompok yang
bergengsi dalam pandangan teman-temannya.
g. Masa kanak-kanak akhir merupakan usia penyesuaian diri yaitu anak
ingin menyesuaikan dengan standar yang disetujui kelompok dalam
23
h. Masa kanak-kanak akhir merupakan usia kreatif yaitu suatu masa
dalam rentang kehidupan dimana akan ditentukan apakah anak-anak
menjadi konformis atau pencipta karya yang baru dan orisinal.
i. Masa kanak-kanak akhir merupakan usia bermain yaitu anak diberi
kebebasan dalam mementukan minat dan kegiatan bermain yang
menjadi pilihannya.
Masa kanak-kanak akhir terdiri dari dua fase yaitu masa kelas
rendah dan masa kelas tinggi. Masa kelas rendah Sekolah Dasar yaitu
berlangsung antara usia 6/7 tahun – 9/10 tahun, biasanya siswa duduk di
kelas 1,2 dan 3 Sekolah Dasar, sedangkan masa kelas tinggi yaitu
berlangsung antara usia 9/10 tahun – 12/13 tahun, biasanya mereka duduk
di kelas 4,5 dan 6 sekolah dasar. Subjek dalam penelitian ini adalah siswa
kelas IV Sekolah Dasar yang termasuk ke dalam katergori masa kelas
tinggi. Ciri-ciri anak pada masa kelas-kelas tinggi Sekolah Dasar menurut
Rita Eka I. dkk (2008: 116) adalah :
a. Perhatiannya tertuju kepada kehidupan praktis sehari-hari
b. Ingin tahu, ingin belajar dan realistis
c. Timbul minat kepada pelajaran-pelajaran khusus
d. Anak memandang nilai sebagai ukuran yang tepat mengenai prestasi
belajarnya di sekolah
e. Anak-anak suka membentuk kelompok sebaya atau peergroup untuk
bermain bersama dan mereka membuat peraturan sendiri dalam
24
Berdasarkan pendapat dari para ahli dapat disimpulkan
karakteristik masa kanak-kanak akhir adalah :
a. Perhatiannya tertuju kepada kehidupan praktis sehari-hari
b. Ingin tahu, ingin belajar dan realistis
c. Timbul minat kepada pelajaran-pelajaran khusus
d. Anak memandang nilai sebagai ukuran yang tepat mengenai prestasi
belajarnya di sekolah
e. Anak-anak suka membentuk kelompok sebaya atau peergroup untuk
bermain bersama dan mereka membuat peraturan sendiri dalam
kelompoknya.
3. Tugas Perkembangan Masa Kanak-kanak Akhir
Tugas perkembangan adalah tugas yang muncul pada fase-fase
tertentu dalam kehidupan individu. Keberhasilan melaksanakan tugas
perkembangan itu akan membawa kebahagiaan dan keberhasilan dalam
melaksanakan tugas-tugas yang selanjutnya. Berikut tugas-tugas
perkembangan pada masa sekolah menurut Winarno Surakhmad (1992:
24) :
1. Belajar menguasai keterampilan-keterampilan fisik untuk
permainan-permainan yang umum
2. Membentuk sikap yang sehat mengenai diri sendiri sebagai
organisme yang sedang tumbuh
3. Belajar bergaul dengan baik bersama teman-teman sebaya
25
5. Mengembangkan keterampilan-keterampilan yang penting dalam hal
membaca, menulis dan berhitung
6. Mengembangkan konsep-konsep yang diperlukan dalam kehidupan
sehari-hari
7. Mengembangkan pembentukan kata hati, moral dan nilai sosial
8. Mengembangkan sikap yang sehat terhadap kelompok-kelompok
sosial dan lembaga-lembaga
Keberhasilan dalam menyelesaikan tugas perkembangan pada
masa kanak-kanak awal memang banyak ditentukan oleh lingkungan
keluarga dan orang-orang terdekat dalam keluarga. Menurut Rita Eka
Izzaty (2008: 104) keberhasilan melaksanakan tugas perkembangan pada
masa kanak-kanak akhir adalah ditentukan oleh keluarga, sekolah dan
lingkungan teman sebaya.
Berdasarkan penjelasan tersebut dapat disimpulkan tugas
perkembangan masa kanak-kanak akhir adalah :
1. Belajar menguasai keterampilan-keterampilan fisik untuk
permainan-permainan yang umum
2. Membentuk sikap yang sehat mengenai diri sendiri sebagai
organisme yang sedang tumbuh
3. Belajar bergaul dengan baik bersama teman-teman sebaya
4. Belajar memainkan peranan sesuai dengan jenis kelaminnya
5. Mengembangkan keterampilan-keterampilan yang penting dalam hal
26
6. Mengembangkan konsep-konsep yang diperlukan dalam kehidupan
sehari-hari
7. Mengembangkan pembentukan kata hati, moral dan nilai sosial
8. Mengembangkan sikap yang sehat terhadap kelompok-kelompok
sosial dan lembaga-lembaga
C. Kajian tentang Storytelling 1. Pengertian Storytelling
Storytelling adalah kegiatan menyampaikan cerita dari seseorang
storyteller kepada pendengar dengan tujuan memberikan informasi bagi
pendengar sehingga dapat digunakan untuk mengenali emosi dirinya
sendiri dan orang lain, serta mampu melakukan problem solving.
Storytelling disampaikan tanpa menggunakan alat peraga, namun dengan
mengandalkan kualitas vokal, mimik wajah, gerakan tangan serta tubuh
(Rita Diah Ayuni dkk, 2013: 123).
Menurut Henny (dalam Muallifah, 2013: 99) dalam proses
pembelajaran storytelling atau metode bercerita merupakan salah satu
metode untuk meningkatkan kemampuan berbicara. Bercerita bukan
hanya berbagi pengetahuan tentang isi cerita dan pengalaman, tetapi juga
memberikan suatu nasihat kepada anak. Selain itu bercerita juga dapat
memperkenalkan anak kepada nila-nilai moral dan sosial. Hal yang sama
juga diungkapkan oleh Brewer (dalam Mualifah, 2013: 100)
menggambarkan storytelling adalah bertutur dengan intonasi yang jelas,
menceritakan sesuatu yang berkesan, menarik, punya nilai-nilai khusus
27
Berdasarkan pendapat para ahli dapat disimpulkan bahwa
storytelling adalah metode yang dilakukan dengan menceritakan
(mendongengkan) sebuah cerita yang didalamnya terdapat nilai-nilai
moral dan sosial.
2. Unsur – unsur Storytelling
Sebuah cerita memiliki unsur-unsur penting yang terkandung di
dalamnya. Unsur-unsur tersebut dikenal dengan unsur intrinsik dan
ekstrinsik. Unsur intrinsik adalah unsur yang membangun dari dalam
sebuah cerita. Menurut Enny Zubaidah (2012: 62-93) unsur intrinsik
meliputi: (a) tema dan amanat, (b) tokoh dan penokohan, (c) alur, (d)
seting/latar, (e) sudut pandang, dan (f) gaya penceritaan. Berikut adalah
penjelasan unsur intrinsik yang terkandung dalam cerita :
(1) Tema dan Amanat
Tema adalah pesan cerita, yang merupakan perasaan, ide, dan
makna yang ingin disampaikan penulis tentang kehidupan, nilai,
kepercayaan, atau perilaku manusia. Tema memegang peranan
penting dalam storytelling. Sebuah cerita harus memiliki tema yang
menarik untuk disampaikan kepada anak sehingga menarik perhatian
anak dalam mengikuti storytelling .
Sebuah cerita selain memiliki tema tentu terdapat amanat yang
terkandung di dalamnya. Amanat adalah pesan yang ingin
disampaikan oleh penulis. Hal penting yang harus diperhatikan
adalah kejelasan tema cerita sehingga memudahkan anak dalam
28 (2) Tokoh dan Penokohan
Sebuah cerita menjadi lebih menarik apabila melibatkan tokoh
yang mempunyai sifat yang berbeda-beda. Tokoh cerita atau sering
dikenal dengan pelaku cerita memiliki sifat, kebiasaan, dan
tingkahlaku yang secara keseluruhan mampu menggambarkan
seseorang. Tokoh yang digunakan dalam cerita memiliki peran untuk
menghidupkan sebuah cerita. Jadi tokoh yang dideskripsikan
memiliki sifat yang berbeda-beda akan membuat cerita menjadi lebih
menarik sehingga mempunyai kesan tersendiri bagi anak-anak yang
membacanya.
(3) Alur
Alur adalah jalan sebuah cerita dari awal sampai akhir cerita
disampaikan. Sebuah cerita dapat dipahami karena memiliki alur
yang jelas. Dalam pelaksanaan storytelling, haruslah memilih cerita
yang mempunyai alur yang jelas dan mudah dipahami sehingga anak
dapat mengerti isi cerita di dalamnya.
(4) Seting atau Latar Cerita
Latar menggambarkan tempat, suasana, dan waktu terjadinya
peristiwa ketika peristiwa tersebut berlangsung. Tempat bisa terjadi
di rumah, di hutan, dikantor, dan sebagainya. Waktu bisa
berlangsung pagi hari, siang hari, sore hari, malam hari, besok, atau
pun lusa.Suasana dapat berlangsung ketika cuaca panas, dingin,
29 (5) Gaya Penceritaan
Gaya cerita memegang peranan penting untuk menarik perhatian
anak. Hal ini terlihat dari cara pemilihan kata, penggunaan kalimat
dalam gaya bahasa, teknik penggambaran tokoh, latar cerita dan
sebagainya. Sebuah cerita yang dapat dipahami oleh anak adalah
cerita yang menggunakan bahasa sederhana sehingga tidak
membingungkan anak.
(6) Sudut Pandang
Sudut pandang merupakan cara penulis dalam menyampaikan
cerita melalui tokoh dan unsur yang ditampilkan. Sebuah cerita
tergantung dari siapa yang menceritakan. Oleh karena itu, cerita
dapat berubah jika cerita itu ditulis melalui sudut pandang yang
orang yang berbeda.
Unsur ekstrinsik berbeda dengan unsur intrinsik. Unsur ekstrinsik
adalah unsur yang berada di luar cerita seperti masyarakat, agama,
politik, ekonomi dan filsafat. Sebuah cerita yang dibuat oleh seseorang
tergantung pada seberapa luas dan dalamnya pegetahuan orang tersebut
sehingga mempengaruhi cerita yang dihasilkan.
3. Manfaat Storytelling
Bagi anak-anak, duduk yang manis menyimak penjelasan dan
nasihat merupakan sesuatu yang tidak menyenangkan. Sebaliknya jika
mereka diminta untuk duduk berlama-lama untuk menyimak cerita atau
30
menasehati anak melalui cerita memberikan efek pemuasan terhadap
kebutuhan akan imajinasi dan fantasi.
Menurut Tadkiroatun Musfiroh (2005: 24) bercerita menjadi
sesuatu yang penting bagi anak karena beberapa alasan :
1. Bercerita merupakan alat pendidikan budi pekerti yang paling mudah
dicerna anak disamping teladan yang dilihat anak setiap hari.
2. Bercerita memberi ruang lingkup yang bebas pada anak untuk
mengembangkan kemampuan bersimpati dan berempati terhadap
peristiwa yang menimpa orang lain. Hal tersebut mendasari anak
untuk memiliki kepekaan sosial.
3. Bercerita memberikan efek psikologis yang positif bagi anak dan
guru sebagai pencerita, seperti kedekatan emosional sebagai
pengganti figur lekat orangtua.
4. Bercerita mendorong anak memberikan “makna” bagi proses belajar
terutama mengenai empati sehingga anak dapat berpikir bagaimana
seharusnya memandang sesuatu masalah dari sudut pandang orang
lain. Dengan kata lain, anak belajar memahami sudut pandang orang
lain secara lebih jelas berdasarkan perkembangan psikologis
masing-masing.
Menurut Musfiroh (Elis, 2009)(Musfiroh, 2005) dalam Treni
(2012: 8) berpendapat terdapat beberapa alasan menjadi sesuatu yang
penting yaitu sebagai berikut :
1. Memberi contoh pada anak bagaimana menyikapi suatu masalah
31
sekaligus memberi pelajaran pada anak bagaimana cara
mengendalikan keinginan-keinginan yang dinilai negatif oleh
masyarakat.
2. Mendongeng memberi ruang gerak pada anak kapan sesuatu nilai
berhasil ditangkap dan diaplikasikan.
Pendapat yang sama diungkapkan oleh Moeslichaton (dalam
Muallifah, 2013: 98) bahwa metode bercerita (storytelling) memiliki
manfaat, diantaranya :
1. Menyisipkan sifat empati, kejujuran, kesetiaan, keramahan dan
ketulusan.
2. Memberikan sejumlah pengetahuan sosial, moral, dan lain
sebagainya.
3. Melatih anak belajar mendengarkan apa yang disampaikan.
4. Membuat anak bisa mengembangkan aspek psikomotor, kognitif dan
afektif.
5. Mampu meningkatkan imajinasi dan kreatifitas anak.
Berdasarkan pendapat para ahli dapat disimpulkan manfaat
storytelling sebagai berikut :
1. Bercerita merupakan alat pendidikan budi pekerti yang paling mudah
dipahami anak disamping teladan yang dilihat anak setiap hari.
2. Bercerita memberi ruang lingkup yang bebas pada anak untuk
mengembangkan kemampuan bersimpati dan berempati terhadap
32
3. Bercerita memberikan efek psikologis yang positif bagi anak dan
guru sebagai pencerita.
4. Bercerita mendorong anak memberikan “makna” bagi proses belajar
terutama mengenai empati.
5. Memberi contoh pada anak bagaimana menyikapi suatu masalah
dengan baik
6. Memberi ruang gerak pada anak kapan sesuatu nilai berhasil
ditangkap dan diaplikasikan.
4. Teknik Penyajian Storytelling
Sebuah cerita akan menjadi lebih menarik tergantung bagaimana
cara guru sebagai storyteller dalam menyampaikan cerita. Menurut
Tadkiroatun Musfiroh (2005: 141-159) teknik penyajian storytelling
terbagi menjadi dua macam yaitu bercerita dengan alat peraga dan
bercerita tanpa alat peraga.
a. Bercerita dengan Alat Peraga
Bercerita dengan alat peraga merupakan salah satu alternatif agar
kegiatan storytelling menjadi lebih menarik. Alat peraga yang paling
sederhana adalah buku, gambar, papan flanel, boneka dan film bisu.
a) Bercerita dengan Alat Peraga Buku
Bercerita dengan alat peraga buku dikategorikan sebagai
reading aloud (membaca nyaring). Membacakan cerita dalam
buku memiliki beberapa kelebihan dan kelemahan. Beberapa
kelebihan yaitu pertama, membacakan cerita dalam buku
33
kedua, buku merupakan sumber ide terbaik; ketiga, ketika
menyimak tulisan, anak memiliki kesempatan untuk
memprediksi kata dari kelanjutan cerita; keempat, gambar dalam
buku membantu pemahaman anak; kelima, keberadaan buku
mendorong anak untuk belajar membacanya sendiri begitu
kegiatan bercerita selesai.
Kelemahan pada teknik ini yaitu kegiatan bercerita dapat
menjadi monoton dan membosankan. Penggunaan terknik ini
tergantung kepada guru yang membacakan cerita. Jika guru
tersebut membacakan cerita dengan intonasi, ekspresi dan
menguasai isi cerita maka, kegiatan storytelling akan menarik
meskipun dengan membaca buku.
b) Bercerita dengan Alat Peraga Gambar
Alat peraga gambar yang dapat digunakan untuk
menyampaikan dongeng kepada anak meliputi gambar berseri
dalam bentuk kertas lepas dan buku, serta gambar di papan
flanel. Keduanya dapat diterapkan dengan memperhatikan
jumlah anak, kebutuhan media, dan kesesuaian cerita.
Media gambar dalam bentuk kertas lepas dan buku sesuai
apabila jumlah anak tidak terlalu banyak dan sebaliknya, gambar
di papan flanel dapat digunakan untuk jumlah yang lebih besar
mengingat papan flanel memiliki daya jangkau yang lebih luas
34
Bercerita dengan gambar lepas membutuhkan penguasaan
cerita yang baik. Guru dituntut bukan saja hafal cerita tetapi juga
memiliki kemampuan mensinkronkan gambar dan cerita, serta
keterampilan mengkomunikasikan gambar kepada pendengar.
c) Bercerita dengan Alat Peraga Boneka
Boneka menjadi alat peraga yang dianggap mendekati
natularitas bercerita. Tokoh-tokoh yang diwujudkan melalui
boneka berbicara dengan gerakan-gerakan yang mendukung
cerita dan mudah diikuti anak. Melalui boneka, anak tahu tokoh
mana yang sedang berbicara, apa isi pembicaraannya dan
bagaimana perilakunya. Boneka kadang menjadi sesuatu yang
hidup dalam imajinasi anak.
Boneka menjadi alat yang menarik bagi anak-anak bila
digunakan dalam kegiatan storytelling. Jenis cerita yang
disampaikan dengan alat peraga boneka adalah cerita dongeng
dan cerita rakyat. Boneka yang biasa digunakan untuk
storytelling adalah kancil, tikus, monyet, gajah, semut dan
lain-lain.
Bercerita dengan boneka membutuhkan persiapan yang
matang, terutama persiapan memainkan boneka. Keterampilan
menggerak-gerakkan jari dengan lincah menjadi bagian penting
dalam memainkan peran para tokoh. Keterampilan memainkan
boneka menjadi faktor penentu keberhasilan bercerita disamping
35
d) Bercerita dengan Media Gambar Gerak
Bercerita dengan teknik ini masih jarang dipergunakan oleh
guru ketika melakukan storytelling. Bercerita dengan media
gambar gerak adalah bercerita menggunakan film bisu. Gambar
dan film dibuat berurutan dalam satu jalinan cerita, sedangkan
narasi dan dialog diisi oleh guru.
Cerita jenis ini kadang dipergunakan oleh pendongeng
untuk menghibur pendengar dalam jumlah banyak. Bercerita
dengan media ini memerlukan keterampilan bercerita yang tinggi
dan prima. Disamping menghafal skenario cerita, pencerita juga
harus memiliki berbagai karakter suara tokoh dan kemampuan
bernada yang baik. Suara hasil aksi seperti memukul,
menendang, mengaduh dan meloncat juga sangat baik jika
dikuasai pendongeng.
b. Bercerita tanpa Alat Peraga
Bercerita tanpa alat peraga disebut juga bercerita secara langsung.
Teknik ini sering digunakan oleh guru dalam melakukan storytelling.
Teknik ini tidak terikat tempat, waktu, dan orang yang hadir.
Meskipun fleksibel, bercerita dengan tanpa alat peraga membutuhkan
keterampilan dan memori yang tinggi. Hal ini dikarenakan ketika
storytelling tidak ada alat bantu apapun yang dapat membangkitkan
daya ingat akan peristiwa, narasi dan dialog tokoh-tokohnya.
Bercerita tanpa alat peraga ini sangat mengandalkan kualitas
36
hal ini, guru mungkin memerlukan catatan kecil sebagai penolong jika
ada bagian yang terlupakan.
Metode storytelling dalam penelitian ini adalah bercerita dengan
alat peraga yaitu buku bacaan. Hal ini dilakukan untuk menghindari
bagian-bagian yang terlupakan oleh guru sehingga keseluruhan isi
cerita dapat disampaikan secara lengkap tanpa ada kekurangan apapun
dan siswa dapat memahami makna yang terkandung dalam cerita.
5. Rancangan Kegiatan Storytelling
Sebelum memulai kegiatan bercerita, guru terlebih dahulu membuat
rancangan kegiatan storytelling yang meliputi proses persiapan awal
sampai penutup akhir cerita. Menurut Moeslichatoen (2004: 175) dalam
rancangan kegiatan bercerita terdapat rancangan persiapan guru,
pelaksanaan, dan penilaian kegiatan bercerita.
a. Rancangan Persiapan Guru
Guru melakukan persiapan terlebih dahulu sebelum melaksanakan
kegiatan storytelling. Secara umum persiapan guru untuk merancang
kegiatan storytelling adalah sebagai berikut :
1. Menetapkan tujuan dan tema/judul cerita yang dipilih.
Sebuah cerita harus memiliki tujuan yang jelas dan sesuai
dengan tema ataupun judul cerita yang dipilih. Setelah
menetapkan tujuan, pilihlah tema atau judul cerita yang dapat
menarik perhatian anak sehingga anak antusias dalam mengikuti
37
2. Menetapkan bentuk cerita yang dipilih.
Guru harus menetapkan bentuk cerita yang disampaikan
kepada anak. Cerita yang disampaikan dapat menggunakan
ilustrasi gambar, majalah/buku, maupun papan flanel.
3. Menetapkan rancangan bahan dan alat yang diperlukan untuk
kegiatan bercerita.
Bahan dan alat yang digunakan tergantung alat peraga yang
digunakan.
b. Rancangan Pelaksanaan Kegiatan Bercerita
Kegiatan storytelling dapat berjalan dengan baik karena ada
proses atau langkah-langkah sebagai acuan dalam melaksanakannya.
Langkah-langkah kegiatan storytelling adalah sebagai berikut :
1. Mengkomunikasikan tujuan dan tema/judul cerita kepada anak.
2. Mengatur tempat duduk anak.
3. Membuka kegiatan bercerita dengan menggali pengalaman anak
yang berkaitan dengan cerita.
4. Mengembangkan cerita dengan menyampaikan fakta-fakta yang
terjadi di kehidupan sehari-hari.
5. Menyampaikan cerita dengan memberikan gambaran positif dari
sebuah peristiwa.
38
c. Menetapkan Rancangan Penilaian Kegiatan Bercerita
Penilaian kegiatan bercerita dilakukan dengan menggunakan
teknik bertanya pada akhir kegiatan yang memberi petunjuk
seberapa besar perhatian dan tanggapan anak terhadap isi cerita.
Berdasarkan pendapat para ahli dapat disimpulkan rancangan
kegiatan storytelling yang dilakukan adalah sebagai berikut :
1. Menetapkan masalah untuk diberikan tindakan
Peneliti menetapkan masalah untuk diberikan tindakan dalam
kegiatan storytelling. Permasalahan yang ditampilkan yaitu sikap
empati sesuai dengan judul penelitian yang diteliti.
2. Memilih cerita yang akan disampaikan kepada siswa
Pemilihan cerita untuk disampaikan pada kegiatan storytelling
diambil dari buku cerita anak yang isi cerita secara keseluruhan
berkaitan dengan kehidupan sehari-hari.
3. Membuka kegiatan bercerita dengan memberikan pengantar awal
Untuk memulai topik yang berkaitan dengan cerita maka, guru
dapat mengajukan pertanyaan kepada siswa sebagai pengantar
sehingga ada interaksi awal yang baik dalam membangun antusias
siswa dalam kegiatan storytelling.
4. Mengkomunikasikan tujuan dan tema/judul dalam kegiatan bercerita
kepada siswa
Pada tahapan ini peneliti menjelaskan tujuan dari kegiatan
storytelling yang dilakukan dan judul cerita yang disampaikan agar
39 5. Memulai kegiatan bercerita
Guru mulai membacakan cerita yang dipilih dan meminta siswa
untuk konsentrasi dalam mendengarkan cerita yang disampaikan.
6. Melakukan tanya jawab dengan siswa
Setelah cerita selesai dibacakan, guru dan siswa melakukan tanya
jawab terkait cerita tersebut. Hal ini dilakukan untuk mengetahui
apakah siswa mendengarkan dan mengerti isi cerita yang
disampaikan oleh guru.
7. Menutup kegiatan dengan pernyataan penutup
Guru dapat menutup kegiatan storytelling dengan penyataan
tertutup terkait cerita yang disampaikan seperti menyampaikan
amanat yang terkandung dalam cerita.
D. Penelitian yang Relevan
Penelitian terdahulu yang dapat dijadikan acuan adalah hasil penelitian
Rita Diah Ayuni dkk. (2013: 126) membuktikan pengaruh pada perilaku
empati anak, khususnya pada aspek fantasi dikarenakan anak diajak untuk
mengimajinasikan cerita yang disampaikan. Melalui imajinasi-imajinasi yang
telah terjadi pada saat storytelling, anak kemudian dapat membayangkan
perasaan dan pikiran tokoh permainan yang sedang dibuatnya.
Pada penelitian ini, variabel yang diteliti sama yaitu empati. Namun,
pendekatan penelitian dan subjek penelitian berbeda. Pendekatan penelitian
yang digunakan adalah penelitian korelasi dan subjek penelitian adalah siswa
40
Hasil Penelitian yang dilakukan oleh F. Widiana Satya P (2012: 21)
menunjukkan bahwa ada perbedaan signifikan antara kemampuan empati
anak sebelum dan sesudah mengikuti pembacaan buku cerita. Hal ini
dibuktikan dari hasil post test yang lebih tinggi dari pre test. Anak yang
memiliki skor pre test yang rendah dan kemudian memiliki skor post test
yang tinggi. Penelitian ini membuktikan bahwa pembacaan buku cerita
efektif dalam meningkatkan kemampuan empati anak.
Penelitian ini memiliki persamaan variabel yang diteliti yaitu kemampuan
empati. Perbedaan penelitian ini terletak pada pendekatan penelitian dan
subjek penelitian. Pendekatan penelitian ini menggunakan penelitian
eksperimen dan subjek penelitian adalah anak usia 6-7 tahun yang
bersekolah di Taman Kanak-Kanak.
E. Kerangka Pikir
Sikap empati yang dibahas dalam penelitian ini akan dibatasi dan
difokuskan pada masa kanak-kanak akhir atau masa usia sekolah. Masa
kanak-kanak akhir adalah masa dimana anak akan memasuki babak baru
dalam kehidupannya yaitu masuk Sekolah Dasar (SD). Lingkungan yang
baru menuntut anak untuk dapat menyesuaikan diri. Ketika masuk sekolah
dasar, anak akan mengenal teman sebayanya, guru sekolah maupun warga
sekolah lainnya. Anak juga akan lebih sering menghabiskan waktu dengan
teman sebayanya. Teman sebaya dapat memberikan pengaruh baik maupun
buruk. Oleh karena itu, agar anak terhindar dari perilaku menyimpang yang
dapat menghambat tugas perkembangannya maka peran keluarga sangatlah
41
membangun hubungan sosialnya. Salah satunya yaitu dengan mengajarkan
anak bahwa pentingnya memiliki rasa kasih sayang terhadap orang lain yang
diwujudkan dalam sikap empati.
Goleman (2004: 148) menyatakan bahwa anak-anak dengan empati
mampu menjalin hubungan sosial yang baik karena empati mendasari banyak
segi tindakan dan pertimbangan moral. Hal ini menandakan bahwa
pentingnya bagi anak untuk memiliki sikap empati karena akan berpengaruh
terhadap perkembangan hubungan sosialnya. Namun, sikap empati pada
setiap anak itu berbeda-beda. Untuk meningkatkan sikap empati pada
anak-anak, maka dibutuhkan sebuah metode yang nantinya dapat memiliki dampak
yang baik bagi perkembangan empati anak. Metode tersebut adalah
storytelling. Sekolah yang menjadi tempat penelitian yaitu SD Negeri
Caturtunggal 3 Depok. Di sekolah tersebut sudah pernah dilakukan
storytelling, namun belum optimal sehingga harus ada perbaikan agar dapat
meningkatkan sikap empati anak.
Storytelling merupakan kegiatan menyampaikan cerita kepada
pendengar dengan tujuan memberikan informasi atau pesan yang terkandung
di dalam cerita agar pendengar dapat merasakan emosi sesuai dengan jalan
cerita yang disampaikan. Bercerita bukan hanya berbagi pengetahuan tentang
isi cerita dan pengalaman, tetapi juga memberikan suatu nasihat kepada anak
dan memperkenalkan anak kepada nila-nilai moral dan sosial.
Selama melakukan kegiatan storytelling, sikap empati yang diharapkan
muncul pada anak adalah dilihat dari bagaimana ekspresi anak dalam