• Tidak ada hasil yang ditemukan

SKRIPSI FUNGSI SOSIAL OFURO (TRADISI MANDI) DALAM MASYARAKAT JEPANG OLEH WENI KARTIKA L TOBING

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "SKRIPSI FUNGSI SOSIAL OFURO (TRADISI MANDI) DALAM MASYARAKAT JEPANG OLEH WENI KARTIKA L TOBING"

Copied!
65
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

FUNGSI SOSIAL OFURO (TRADISI MANDI) DALAM MASYARAKAT

JEPANG

OLEH

WENI KARTIKA L TOBING

160722009

PROGRAM STUDI SASTRA JEPANG EKSTENSI FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2018

(2)

FUNGSI OFURO (TRADISI MANDI) PADA MASYARAKAT JEPANG SKRIPSI

Skripsi ini diajukan kepada panitia ujian Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Medan untuk melengkapi salah satu syarat

Ujian Sarjana dalam Bidang Ilmu Sastra Jepang

Oleh:

WENI KARTIKA L TOBING 160722009

Pembimbing I Pembimbing II

Prof. Drs. Hamzon Situmorang, M.S.,Ph.D. Drs.Nandi, S

NIP:19580704 1984 12 1 001 NIP :19600822 1988 03 1 002

PROGRAM STUDI SASTRA JEPANG EKSTENSI FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2018

(3)

DISETUJUI OLEH : Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Medan

Medan, 5 Maret 2018

Program Studi Sastra Jepang Ekstensi Ketua,

Prof. Drs. Hamzon Situmorang, M.S.,Ph.D.

NIP : 19580704 1984 12 1 00

(4)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena dengan lindungan dan berkatNya penulis diberikan kesehatan selama mengikuti perkuliahan hingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Skripsi yang berjudul

“Fungsi Sosial Ofuro (Tradisi Mandi) Pada Masyarakat Jepang” ini penulis

susun sebagai salah satu syarat untuk meraih gelar sarjana pada Program Studi Sastra Jepang Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara.

Selama proses penulisan ini, penulis banyak menerima bantuan baik moral, maupun materi. Oleh karena itu pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada :

1. Bapak Dr. Budi Agustono, M.S, selaku Dekan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Hamzon Situmorang, M.S., Ph.D., selaku Ketua Program Studi Sastra Jepang Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Prof. Hamzon Situmorang, M.S., Ph.D., selaku Dosen Pembimbing I, yang telah meluangkan waktu, pikiran dan tenaga untuk memberikan masukan-masukan dan bimbingan pada penulis selama proses penyusunan skripsi ini.

4. Bapak Drs. Nandi S, selaku Dosen Pembimbing II, yang telah meluangkan waktu, pikiran, dan tenaga untuk membimbing penulis dalam penyusunan skripsi ini.

5. Seluruh Bapak dan Ibu dosen Program Studi Sastra Jepang Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan pengajaran

(5)

kepada penulis selama masa perkuliahan. Dan juga kepada staf pegawai di Program Studi Sastra Jepang yang telah banyak membantu kelancaran administrasi penulis.

6. Orangtua tercinta, ayahanda P. L. Tobing dan ibunda M. Hutapea, atas dukungan yang telah diberikan kepada penulis baik moral maupun moril, dan selalu memberikan semangat serta mendoakan agar penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

7. Kakanda Melva Kristin S.Pd, abangda Elka Fernando Tobing SS, Andi Putra, yang telah memberikan dukungan dan semangat untuk penulis dalam proses penyelsaian skripsi ini.

8. Sahabat-sahabat terkasih, Dini, Sindy, Ratu, Dinda, Elysa, Gera, Inezt.

Yang telah membantu penulis dalam penyelesaian skripsi ini, menjadi penyemangat bagi penulis dan menjadi tempat mengeluh.

9. Teman-teman HINODE, Andrian, Dandi, Dedy, Eka, Memei,Riama, Yovi, Ridwan, dan Sam, serta adik-adik HINODE lainnya. Yang menemani penulis dalam masa pengerjaan skripsi ini, dan memberikan dukungan bagi penulis untuk segera menyelesaikan skripsi ini.

10. Teman-teman Program studi Sastra Jepang Ekstensi stambuk 2016, yang selalu menegur dan menyemangati penulis agar bisa menyelesaikan

skripsi ini. Terkhusus Meliana Sitanggang SS, Ridwan Hambali SS, Dameria SS, serta teman-teman lainnya yang tidak dapat penulis sebutkan.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa skripsi ini masih jauh dari kata sempurna baik dari segi isi maupun dalam uraiannya. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun. Akhir kata, semoga skripsi ini

(6)

nantinya dapat berguna dan bermanfaat bagi penulis, pembaca khususnya mahasiswa/i Program Studi Sastra Jepang Ekstensi Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara.

Medan, Juli 2018 Penulis

Weni K L Tobing

(7)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iv

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah 1 1.2 Ruang Lingkup Pembahasan ... 6

1.3 Tinjauan dan Kerangka Teori ... 6

1.4 Tujuan dan Manfaat ... 10

1.5 Metode Penelitian ... 11

BAB II JENIS-JENIS OFURO TRADISIONAL DI JEPANG 2.1 Ofuro ... 12

2.1.1 Pengertian dan Sejarah Ofuro ... 12

2.1.2 Perkembangan Ofuro... 14

2.2 Sentō ... 16

2.2.1 Pengertian dan Sejarah Sentō ... 16

2.2.2 Perkembangan Sentō ... 18

2.3 Onsen... 19

2.3.1 Pengertian dan Sejarah Onsen ... 19

2.3.2 Perkembangan Onsen ... 21

2.4 Rotenburo ... 22

2.5 Mandi Campur ... 24

2.6 Etika Pemandangan Umum di Jepang... 24 BAB III FUNGSI SOSIAL TRADISI MANDI

iv

(8)

3.1 Fungsi Sosial Ofuro ... 27

3.2 Fungsi Sosial Sentō ... 30

3.3 Fungsi Sosial Onsen ... 34

3.4 Fungsi Sosial Rotenburo ... 38

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN 4.1 Kesimpulan ... 41

4.2 Saran ... 42 DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN ABSTRAK

(9)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Orang Jepang pada umumnya memiliki rasa ketertarikan yang kuat terhadap kelompok dimana dia berada, terutama di perusahaan tempat kerjanya.

Kesetiaan kelompok tidak terbatas hanya di tempat kerja atau kantor saja.

Menurut Clark (1979: 54), orang Jepang digambarkan sebagai masyarakat yang memiliki mentalitas kelompok, memiliki rasa malu yang tinggi, menganut gaya manajerial keluarga, jujur, tertib, bersih, dan sebagainya. Bisa saja dalam kelompok klub olahraga, klub kesenian, kelompok ketetanggaan, kelompok kelas, kelompok angkatan universitas dan lain-lain (Davies, 2002: 13). Masyarakat Jepang kurang dapat menerima sifat individualisme, apalagi yang mencolok seperti masyarakat Barat. Masyarakat Jepang selalu menjaga keharmonisan dengan kelompok, lingkungan dan alam. Hal ini dapat kita lihat dalam budaya- budaya yang berkembang di Jepang. Salah satunya dapat kita lihat melalui budaya mandi di Jepang yang telah lama menjadi tradisi.

Tradisi dalam Bahasa Latin ialah traditio, yang artinya diteruskan atau kebiasaan, adat kebiasaan turun temurun (dari nenek moyang) yang masih dijalankan di masyarakat (Kamus Besar Bahasa Indonesia ) - Tradisional, sikap dan cara berpikir serta bertindak yang selalu memegang teguh pada norma dan adat kebiasaan yang ada secara turun temurun ; dalam pengertian yang paling sederhana adalah sesuatu yang telah dilakukan sejak lama dan menjadi bagian dari kehidupan suatu kelompok masyarakat, biasanya dari suatu negara, kebudayaan,

1

(10)

waktu, atau agama yang sama. Tradisi menurut WJS Poerwadaminto (1976: 1132) adalah segala sesuatu yang menyangkut kehidupan dalam masyarakat yang dilakukan secara terus menerus, seperti adat, budaya, kebiasaan dan juga kepercayaan. Tradisi merupakan sinonim dari kata “budaya” yang keduanya merupakan hasil karya. Tradisi adalah hasil karya masyarakat, begitupun dengan budaya.Keduanya saling mempengaruhi dan merupakan personafikasi dari sebuah makna hukum tidak tertulis, selanjutnya hukum tak tertulis ini menjadi patokan norma dalam masyarakat yang dianggap baik dan benar.

Tradisi Mandi merupakan salah satu kegiatan yang dilakukan manusia untuk membersihkan diri yang mulai dilakukan sejak manusia beradab, selain untuk menjaga kebersihan diri, mandi juga bermanfaat bagi kesehatan manusia.

Dalam beberapa kelompok masyarakat, tradisi mandi juga menjadi ritual yang penting, seperti mandi Buddha Rupang pada hari raya Trisuci Waisak dan ritual siraman pada pengantin jawa yang dimaksudkan sebagai simbol pembersihan dan penyucian diri.

Di Jepang, tradisi mandi dikenal sejak zaman kuno. Salah satu yang membedakan tradisi mandi di Jepang dengan negara lainnya adalah tata cara mandi dan tempat pemandiannya. Berdasarkan tujuannya, budaya mandi di Jepang sebelum tahun 1400 dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu sebagai bagian dari ritual keagamaan dan terapi kesehatan. Budaya mandi telah menjadi bagian dari ritual keagamaan sejak abad ketiga, namun hubungan ini semakin dikuatkan dengan masuknya agama Budha ke Jepang pada abad keenam. Kuil-kuil Budha di Jepang menggunakan pemandian air panas dan sauna (mandi uap)

(11)

sebagai sarana penyucian para pendeta sebelum melangsungkan upacara keagamaan.

Budaya mandi sebagai sarana penyucian juga dapat dilakukan dengan air dingin. Sebagai contoh, para Kaisar dan bangsawan Jepang zaman dahulu menyucikan diri mereka dengan mandi air dingin sebelum mengadakan upacara keagamaan, mengunjungi kuil Buddha, serta sebelum dan sesudah mengadakan ritual keagamaan. Para bangsawan memandikan bayi mereka segera sesudah dilahirkan, seperti yang disebutkan dalam Diary of Lady Murasaki (Shikibu, 2005: 46). Selain itu, budaya mandi juga menjadi bagian dari ritual keagamaan seperti „mandi pertama di Tahun Baru‟ atau upacara kekaisaran seperti penobatan Kaisar, penunjukan putra mahkota atau penyambutan selir Kaisar (Butler, 2005:

56). Dari ritual tersebut, dapat dilihat bahwa budaya mandi bertujuan untuk menyucikan diri dari segala sesuatu yang najis. Untuk kebiasaan mandi orang Jepang biasanya melakakukannya hanya sekali sehari, yaitu pada malam hari. Di Jepang sendiri waktu malam hari dianggap waktu yang sangat baik untuk mandi karena seharian mereka berada diluar rumah terkena kotoran, debu, keringat sehingga ketika selesai mandi mereka merasa badan mereka terasa segar kembali, dan rasa capek pun bisa hilang dengan berendam air. Pagi hari mereka tidak perlu mandi lagi karena badan mereka masih bersih setelah mandi semalam. Mereka hanya membasuh bagian wajah dan sikat gigi.

(http://njkganbare.blogspot.co.id/2015/03/kebiasaan-mandi-orang- jepang.html)

Tidak seperti negara lainnya, di Jepang mandi tidak hanya dilakukan di rumah, banyak tempat pemandian umum tersebar seperti ofuro, sentō dan onsen.

3

(12)

Ofuro merupakan bak mandi yang berasal dari bak kayu berbentuk pendek dan curam. Bak mandi ini dapat ditemukan di seluruh rumah di Jepang, apartemen dan penginapan tradisional Jepang. Sentō pemandian umum yang dulunya ada karena masih banyak orang Jepang yang tidak memiliki ofuro sendiri di rumahnya.

Onsen adalah tempat permandian air panas yang memiliki sumber langsung dari gunung berapi.

Masyarakat Jepang terbiasa mandi bersama-sama sesuatu yang jarang ditemukan dalam kebudayaan bangsa lain dewasa ini. Menurut Liliweri (2002: 8) kebudayaan merupakan pandangan hidup dari sekelompok orang dalam bentuk perilaku, kepercayaan, nilai, dan simbol-simbol yang mereka terima tanpa sadar yang semuanya diwariskan melalui proses komunikasi dari satu generasi ke generasi berikutnya.

Mandi bagi masyarakat Jepang tidak hanya dikenal sebagai sarana membersihkan diri, tetapi juga sebagai kegiatan yang bertujuan merelaksasikan diri dari semua pekerjaan yang telah dilakukan satu hari penuh, biasanya mereka akan menghabiskan waktu berjam-jam untuk berendam. Lebra (1976 : 9 ) mengatakan tentang pentingnya makna interaksi sosial bagi masyarakat Jepang, bahwa : “berhubungan sosial antar sesama merupakan bagian dari karakteristik etos budaya Jepang. Bagaimanapun juga, interaksi merupakan bagian dari hidup, bukan secara individu”. Dengan mengunjungi pemandian-pemandian umum masyarakat Jepang akan menciptakan interaksi sosial baru dengan pengunjung lain.

Bagi sebagian besar orang, terutama yang tumbuh besar di kota, mandi merupakan waktu pribadi yang dilakukan untuk diri sendiri, sehingga ketika ada

(13)

orang lain akan terasa kurang nyaman. Kebiasaan mandi bersama masih tetap ada di beberapa kelompok masyarakat, seperti orang-orang yang tinggal di daerah pedesaan; sebuah pemandangan yang sangat sulit ditemukan pada masyarakat kota yang lebih individualistis. Namun, bagi orang Jepang keberadaan orang lain saat mandi bukanlah sesuatu yang aneh. Mereka terbiasa mandi bersama-sama, dengan teman kelompok, anggota keluarga bahkan dengan orang yang tidak dikenal, contohnya di pemandian umum.

Budaya mandi bersama ini hidup dan berkembang dalam masyarakat Jepang hingga saat ini. Baik orang desa maupun penduduk kota melakukannya dan mereka mewariskan kebiasaan pada generasi berikutnya sejak usia dini dan menjadikan tradisi mandi sebagai sesuatu yang esensial sebagai wujud kebudayaan masyarakat Jepang.

Hal ini menunjukan bahwa budaya mandi di Jepang tidak hanya sebagai sarana untuk membersihkan diri, tetapi juga menjadi sebuah budaya sarat makna.

Berdasarkan latar belakang masalah tersebut maka penelitian ini akan memfokuskan analisis nilai-nilai yang terkandung didalam budaya mandi tersebut melalui skripsi yang berjudul “Tradisi Mandi dalam Masyarakat Jepang”.

1.2 Perumusan Masalah

Mandi bagi sebagian orang merupakan sesuatu yang dilakukan secara pribadi, kehadiran seseorang disaat waktu pribadi akan memunculkan perasaan tidak nyaman, tetapi bagi masyarakat Jepang mandi bersama dengan orang lain baik yang dikenal maupun tidak merupakan hal biasa. Peraturan disetiap

5

(14)

pemandian umum di seluruh Jepang yang mengharuskan pengunjung melepas seluruh pakaian saat berendam sudah dianggap biasa oleh masyarakat lokal.

Kebiasaan mandi bersama di pemandian umum menjadikan budaya mandi di Jepang sebagai salah satu sarana interaksi sosial bagi masyarakat, mereka akan melakukan komunikasi dengan orang lain ketika berendam di dalam ofuro.

Perumusan masalah dalam skripsi ini akan mengacu pada pertanyaan-pertanyaan penelitian, yakni sebagai berikut :

1. Bagaimana jenis-jenis ofuro pada masyarakat Jepang?

2. Bagaimanakah fungsi sosial ofuro (tradisi mandi)?

1.3 Ruang Lingkup Pembahasan

Agar pembahasan dalam penulisan skripsi ini tidak terlalu meluas serta terarah maka penulis membatasi ruang lingkup pembahasan, sehingga dapat memenuhi pokok permasalahan. Dalam penelitian ini akan difokuskan pada, budaya mandi dan interaksi sosial masyarakat Jepang. Penelitian ini difokuskan pada budaya mandi dalam ofuro, rotenburo, onsen, sentō. Untuk mendukung pembahasan, dibahas juga : Jenis-jenis tempat mandi di Jepang, makna mandi sebagai penyucian diri bagi orang Jepang (agama Shinto), dan manfaat mandi.

1.4 Tinjauan Pustaka dan Kerangka Teori 1.4.1 Tinjauan Pustaka

Berikut ini ditemukan beberapa penelitian mengenai tradisi mandi pada masyarakat Jepang yang berhubungan dengan penelitian ini.

(15)

Karatoruan (2011) dalam skripsinya yang berjudul “ Ofuro dan Orang Jepang” mendeskripsikan bahwa tradisi mandi dan ofuro telah tumbuh sejak awal sejarah masyarakat Jepang. Seiring berjalannya waktu, orang Jepang menambahkan berbagai macam inovasi kedalam tradisi mandi tersebut. Meskipun dewasa ini telah banyak diciptakan alat mandi yang lebih efisien dan ekonomis tetapi masyarakat Jepang tetap mempertahankan tradisi mandi dalam ofuro.

Berbagai macam hubungan dapat terjalin ketika mereka mandi bersama dalam ofuro. Interaksi yang terjadi tidak menjadi terhalang oleh rasa malu akan ketelanjangan, karena orang Jepang melihat ketelanjangan sebagai sebuah kondisi yang justru menyetarakan orang-orang dari berbagai latar belakang. Penulis juga menyebutkan bahwa tradisi mandi dalam ofuro ini mampu meningkatkan kualitas hubungan orang-orang dalam sebuah komunitas. Kedekatan dan komunikasi terbina diantara pribadi yang memiliki hubungan vertikal (orangtua-anak, tua- muda, orang-orang sebaya). Selain itu, batasan uchi-soto juga lebur ketika orang mandi dalam ofuro bersama-sama.

Virginia (2017) dalam skripsinya yang berjudul “Perbandingan Fungsi Sosial Pemandian Air Panas (onsen) di Jepang dengan di Indonesia”

mendeskripsikan bahwa masyarakat Jepang dikenal sebagai bangsa yang sangat suka berendam. Berendam di onsen sudah menjadi kebudayaan di Jepang. Selain untuk menghangatkan badan, orang Jepang berendam di onsen karena onsen dipercaya memiliki beberapa manfaat. Salah satunya manfaat rekreasi. Onsen juga merupakan tempat bersantai. Beberapa orang berpergian ke onsen sendiri, dengan keluarga atau dengan teman kerjanya untuk berekreasi bersama. Penulis juga menyebutkan bahwa, bagi orang Jepang, pemandian umum atau air panas adalah

7

(16)

tempat bertukar berita atau gosip. Saat berendam di onsen mereka akan berbicara dan berdiskusi dalam suasana santai dan terbuka satu sama lain sehingga terjadi hubungan sosial. Dan berendam di onsen memiliki manfaat dalam bidang medis juga.

Perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya adalah objek yang diteliti. Menurut pengamatan penulis sampai saat penelitian ini dilakukan, penelitian yang membahas tentang budaya mandi di Jepang masih sangat sedikit, dan umumnya ofuro dan onsen. Oleh karena itu, penelitian ini menguraikan lebih banyak tempat mandi di Jepang.

1.4.2 Kerangka Teori

Teori yang dipakai dalam penelitian dalam skripsi ini adalah teori fungsi sosial. Fungsi sosial adalah kegunaan suatu hal bagi hidup suatu masyarakat.

istilah fungsi sosil mengacu pada cara-cara bertingkah laku atau melakukan tugas- tugas kehidupan dalam memenuhi kebutuhan hidup individu , orang seorang maupun sebagai keluarga, kolektif, masyarakat, organisasi. Pelaksanaan fungsi sosial dapat dievaluasi / dinilai apakah memenuhi kebutuhan dan membantu mencapai kesejahteraan bagi orang yang bersangkutan, dan bagi masyarakat, apakah normal dapat diterima masyarakat sesuai dengan norma sosial. (Husain, 2011:24)

Malinowski dalam E. Smith (1927: 40-41) menerangkan bahwa pendekatan fungsional mempunyai suatu nilai praktis yang mengajarkan tentang kepentingan relative dari berbagai kebiasaan yang beragam-ragam dan bagaimana kebiasaan-kebiasaan itu tergantung satu dengan lainnya.

(17)

(http://blog.unnes.ac.id/prestia/2015/12/03/teori-fungsionalisme- malinowski/)

Teori fungsionalisme dapat secara bermanfaat diterapkan dalam analisa mekanisme-mekanisme kebudayaan secara tersendiri. Malinowski (1927:41) beranggapan bahwa semua unsur kebudayaan bermanfaat bagi masyarakat, dimana unsur itu terdapat. Durkheim (1893: 24) mengungkapkan bahwa masyarakat adalah sebuah kesatuan dimana didalamnya terdapat bagian-bagian yang dibedakan. Bagian-bagian dari sistem tersebut mempunya fungsi masing- masing yang membuat sistem menjadi seimbang. Bagian tersebut saling terinterdepedensi satu sama lain dan fungsional, sehingga jika ada yang tidak berfungsi maka akan merusak keseimbangan sistem. Dalam hali ini, masyrakat Jepang memfungsikan mandi sebagai salah satu sarana interaksi sosial, kesehatan, sebagai sarana ritual, maupun untuk kecantikan..

Saat mandi juga menciptakan interaksi sosial anatar pelakunya. Interaksi sosial merupakan bentuk umum proses sosial, karena interaksi sosial adalah syarat utama terjadinya aktivitas-aktivitas sosial. Interaksi sosial menurut Gillin dan Gillin (dalam Soekanto, 2007:55) merupakan hubungan-hubungan sosial yang dinamis yang menyangkut hubungan antara orang-orang-perorangan, antara kelompok-kelompok manusia maupun antara orang perorangan dengan kelompok manusia.

Teori lain yang juga digunakan dalam penelitian ini adalah teori purifikasi. Boye De Mente (1983: 88) mengungkapkan, saat mandi dalam ofuro, tidak hanya kebersihan raga yang diperoleh, namun juga kebersihan pikiran berkat

9

(18)

rasa tenang dan rileks. Mandi dalam ofuro dapat dilihat sebagai sebuah metode purifikasi.

Purifikasi adalah proses penyucian. Melalui purifikasi, sesuatu yang kotor dibesihkan, sehingga menjadi suci kembali. Masyarakat Jepang mengenal berbagai bentuk purifikasi dalam sistem religi mereka, Shintō. Purifikasi dalam kepercayaan Shintō disebutkan sebagai usaha membersihkan diri dari kotoran.

Keadaan kotor ini dapat disebabkan oleh beberapa hal, yang utama adalah kematian, menstruasi, dan proses kelahiran, kejahatan, dan penyakit. Dalam beberapa upacara purifikasi, digunakan air sebagai media pembersihan, untuk

“mencuci” yang kotor dan mengembalikannya ke keadaan semula, bersih (suci).

1.5 Tujuan dan Manfaat Penulisan 1.5.1 Tujuan Penulisan

Tujuan penelitian ini adalah :

1. Untuk mendreskripsikan jenis-jenis pemandian pada masyarakat Jepang.

2. Untuk mendeskripsikan fungsi sosial tradisi mandi masyarakat Jepang.

1.5.2 Manfaat Penulisan

Manfaat penelitian ini adalah :

1. Untuk menambah wawasan penulis dan pembaca mengenai budaya mandi di Jepang.

2. Untuk menambah wawasan penulis dan pembaca mengenai metode pembersihan diri (purifikasi) pada agama Shintō.

3. Untuk menambah referensi bagi orang yang akan meneliti tentang budaya mandi di Jepang.

(19)

1.6 Metode Penelitian

Menurut Sugiyono (1999 : 1) Metode Penelitian adalah “cara ilmiah untuk mendapatkan data dengan tujuan dan kegunaan tertentu. Cara ilmiah berarti kegiatan penelitian itu didasarkan pada ciri-ciri keilmuan, yaitu rasional, empiris dan sistematis. Rasional artinya bahwa penelitian dilakukan dengan cara-cara yang masuk akal, sehingga terjangkau oleh penalaran manusia. Empiris artinya bahwa cara-cara yang yang dilakukan itu dapat diamati oleh indra manusia sehingga orang lain dapat mengamati dan mengetahui cara-cara yang digunakan (Bandingkan : hal-hal yang dilakukan paranormal). Sistematis artinya proses yang digunakan dalam penelitian itu menggunakan langkah-langkah tertentu yang bersifat logi”.

Penelitian ini menggunakan penelitian studi pustaka. Studi pustaka adalah teknik pengumpulan data dengan melakukan penelaahan terhadap berbagai buku, literatur, catatan, serta berbagai laporan yang berkaitan dengan masalah yang ingin dipecahkan . Selain itu digunakan metode deskriptif yang bertujuan membuat gambaran, lukisan secara sistematis, faktual dan akurat mengenai data, sifat-sifat serta hubungan fenomena-fenomena yang diteliti . Penulis menggunakan metode pustaka untuk memperoleh data yang diperlukan dengan cara mendapatkannya dari literature berupa buku dan jurnal sebagai sumber utama. Penulis juga menggunakan akses internet sebagai media untuk memperoleh data-data yang berhubungan dengan masalah yang diteliti.

11

(20)

BAB II

JENIS-JENIS OFURO TRADISIONAL DI JEPANG

2.1 Ofuro

2.1.1 Pengertian dan Sejarah Ofuro

Ofuro (お風呂) secara harafiah berarti bak mandi ala Jepang. Istilah ini terdiri atas dua karakter kanji. Yang pertama adalah fu (風) yang berarti angin, dan kanji kedua adalah ro ( 呂 ), yang bermakna tulang punggung. Untuk menyebut mandi orang Jepang biasanya mengatakan “お風呂 に 入る” yang secara harafiah masuk kedalam ofuro (berendam). Kini, ofuro tidak hanya berarti bak mandi, tetapi mengacu pada keseluruhan bak mandi.

“The Japanese bath (furo) is designed to be used by more one person. It is deep enough for the water cover shoulders of a seated person. So that if one sits with knees tucked up, two or more people may sit together. In Japan small children often enter the tub with their mather or their father. (koji Yagi, A Japanese Touch For Your Home”.(1982:73).

Bak mandi ala Jepang (furo) di desain untuk digunakan lebih dari satu orang. Ini cukup untuk air menutupi bahu orang yang duduk. Jika seseorang duduk dengan lutut ditekuk, dua orang atau lebih bisa duduk bersama. Di Jepang anak kecil sering masuk ke bak mandi dengan ayah atau ibu mereka. Defenisi mandi ala Jepang tersebut menunjukan bahwa bak mandi ( furo) dibuat untuk lebih dari satu orang dengan cara duduk bersama berendam. Umumnya anak kecil akan berendam bersama ayah dan ibu mereka.

(21)

Edward Schafer dalam Clark (1994:21) yang meniliti tentang tradisi mandi China kuno, mengemukakan pendapatnya tentang tradisi mandi uap pertama kali di Jepang. Ia menduga bahwa tradisi tersebut berkembang dan mendapat pengaruh dari hal serupa yang terjadi di Korea, yang ternyata muncul juga dikebudayaan primitif Siberia, Rusia, Skandinavia, dan juga Indian Amerika.

Sebuah ofuro biasanya terbuat dari kayu yang berbentuk pendek dan curam. Jenis kayu yang dianggap paling baik untuk membuat ofuro berasal dari jenis kayu aromatik yang berasal dari tumbuhan hinoki, yang dianggap suci. Air dipanaskan langsung dari dasar bak, dan dilengkapi tutup pada bagian atas bak yang harus ditutup kembali setelah selesai mandi untuk menjaga temperatur air.

Air panas yang ada dalam ofuro sekitar 100 sampai 108 derajat F (38 sampai 42 derajat celcius). Ofuro banyak terdapat dirumah-rumah Jepang , hotel maupun ryoukan. Keberadaan ofuro sudah sangat umum di kediaman masyarakat Jepang modren.

Tata cara mandi di Jepang juga sangat berbeda dengan negara lain.

Sebelum masuk untuk berendam di ofuro, seseorang harus terlebih dahulu mandi dengan bersih diluar yubune, menggosok tubuh dan berbilas. Gunanya adalah untuk menjaga kebersihan air hangat didalam ofuro. sebab air tersebut akan digunakan bersama seluruh anggota keluarga maupun anggota kelompok secara bergantian. Yang menjadi salah satu keistimewaan dari ofuro adalah fakta bahwa air panas didalam bak digunakan oleh lebih dari satu orang, dan tidak diganti setiap ada yang akan mandi. Furo (atau yubune ( 湯 船) yang secara khusus mengacu pada bak mandi dengan air) biasanya dibiarkan penuh air semalam, dan

13

(22)

untuk beberapa rumah tangga airnya digunakan kembali atau didaur ulang untuk mencuci pakaian keesokan harinya.

Setelah membilas diri diluar ofuro biasanya orang akan berendam di dalam ofuro hingga sebatas leher, menikmati air panas dalam bak yang membuat otot-otot yang pegal setelah seharian beraktivitas menjadi rileks dan kembali santai. Biasanya orang akan berendam selama 45 menit sampai 1 jam, dan biasanya mereka akan memaki handuk basah dikepala mereka saat berendam. Hal ini merupakan salah satu cara masyarakat Jepang untuk menikmati waktu bersantai. Setelah berendam didalam ofuro biasanya mereka akan langsung pergi tidur.

2.1.2 Perkembangan Ofuro

Ofuro yang digunakan sekarang telah mengalami banyak perubahan dari bentuk awalnya. Selain dari material pembuatannya sampai pada cara memanaskan air. Awalnya memanaskan ofuro masih menggunakan cara tradisional, dengan kayu yang dibakar dibawah ofuro. Pada awal abad ke 7, orang Jepang mencoba memanaskan air langsung di dalam ofuro. Salah satu metode yang paling banyak digunakan pada saat itu ialah metode 鉄砲風呂 (teppōburo), yaitu dengan sebuah pipa baja yang dipasang tegak lurus disisi sudut bak, kemudian bahan bakar yang ditempatkan diatasnya untuk memanaskan air.

Bentuk lainnya yang hampir mirip dengan metode teppōburo adalah hesoburo. Namun pada hesoburo, pipa diganti dengan kotak logam yang diletakan diluar ofuro, dan dipasang disudut bawah bak. Didalam kotak terdapat bahan

(23)

bakar yang digunakan untuk memanaskan air dalam bak. Metode yang berbeda dengan yang sebelumnya yaitu komochiburo, pada ofuro jenis ini kita akan mendapati bak mandi utama yang besar, dan akan ada tong lebih kecil yang dipergunakan untuk memanaskan air. Keduanya saling dihubungkan oleh pipa, dan air yang telah dipanaskan dalam tong kecil akan dialirkan ke bak mandi yang lebih besar menggunakan prinsip termosifonik. Sekarang, banyak ofuro yang sudah dilengkapi dengan keran air panas yang dapat langsung mengalirkan air kedalam bak.

Perubahan lainnya adalah pada bahan dasar pembuatan ofurp. Jika dulu kayu merupakan material umum untuk membuat ofuro, sekarang lebih banyak ofuro yang dibuat menggunakan stainless fibre. Perubahan ini terjadi dikarenakan kepraktisan dan perawatan yang lebih mudah, serta biaya yang jauh lebih murah.

Kayu yang dianggap baik untuk membuat ofuro harganya relatif mahal, dan memerlukan perawatan yang lebih intens dikarenakan rentan terhadap jamur dan lumut. Bahan kayu yang cenderung lebih sulit dibersihkan mengakibatkan orang beralih ke fibre antinoda.

Hingga saat ini kebiasaan berendam di dalam ofuro masih dilaksanakan masyarakat Jepang, bahkan ofuro menjadi ciri khas kamar mandi Jepang.

Kebudayaan dan masyarakat tidak dapat dipisahkan. Kebudayaan ada jika ada masyarakat sebagai pelakunya. Masyarakat memiliki sifat tumbuh dan berkembang sesuai dengan jaman dimana masyarakat itu hidup. Pertumbuhan dan perkembangan masyarakatpun otomatis membuat kebudayaan terus tumbuh dan berkembang. Ofuro yang sekarang telah mengalami perubahan dari bentuk

15

(24)

awalnya. Selain bentuk material yang digunakan, perkembangan juga tampak dari cara memasak air.

2.2 Sentō

2.2.1 Pengertian dan Sejarah Sentō

Kata sentō merupakan kombinasi dari karakter kanji sen (銭せん) yang berarti uang dan to (湯) yang atau dapat juga dibaca dengan yu, yang berarti air panas. Dengan demikian dapat diartikan mengeluarkan uang untuk menikmati air panas. Sentō merupakan pemandian umum yang sudah ada sejak zaman dahulu.

Tsujiyu merupakan bentuk sederhana dari sentō. Dalam sejarah, pemandian model ini pertama kali muncul di Kyoto, selama periode Heian (794-1185). Pada masa ini banyak orang yang menyewakan bak mandi dan menyediakan air panas.

Air panas yang tersedia di sentō biasanya merupakan air panas yang dididihkan sendiri oleh pengelola dengan bantuan mesin, menurut Menurut Undang-Undang Pemandian Umum (Kōshū Yokujō-hō) Pasal 1, fasilitas pemandian umum boleh menggunakan air panas yang dididihkan sendiri, air bermineral dari mata air panas, air dari onsen, dan lain-lain. Pengelola dapat menarik biaya mandi untuk pengguna jasa pemandian umum, dan biasanya biaya untuk masuk ke sentō sekitar ¥450(per februari 2014) dan untuk anak-anak dengan biaya yang lebih murah.

Saat memasuki sebuah sentō seorang tamu akan disambut manejer pengelola atau yang biasa disebut bandai dan pengunjung akan diberikan kunci loker dengan rantai, untuk menyimpan pakaian dan barang-barang pribadi milik

(25)

pengunjung. Para pengunjung harus melepas seluruh pakaian mereka diruang ganti (datsuiba) dan hanya membawa handuk kecil serta peralatan mandi.

Sebelum masuk kedalam bak seseorang harus terlebih dahulu membersihkan diri di bilik-bilik yang telah disediakan pihak pengelola sentō. Disebut juga dengan Kakeyu mengacu pada praktek membersihkan tubuh seseorang secara menyeluruh dengan air panas bahkan sebelum memasuki sumber air panas atau tempat pemandian umum. Hal ini tidak hanya dilakukan untuk membersihkan keringat dan kotoran pada badan, tetapi juga untuk membiasakan tubuh dengan suhu air yang hangat. Biasanya ruang ganti akan dipisahkan berdasarkan jenis kelamin, begitu juga dengan kolam untuk berendam. Untuk anak-anak baik perempuan maupun laki-laki biasanya akan berendam bersama ibunya. Tetapi dibeberapa tempat memberlakukan peraturan batasan usia anak-anak yang ikut mandi bersama ibu mereka, bervariasi tergantung prefektur dimana sentō itu terletak, seperti di Tokyo yang memberlakukan batasan usia 10 tahun untuk ikut mandi bersama ibu. Tetapi ada juga sentō yang memberlakukan mandi campur.

Ketika sedang berendam biasanya pengunjung akan menggantungkan kunci loker mereka pada pergelangan tangan ataupun pergelangan kaki mereka, untuk handuk biasanya mereka meletakan disisi luar bak, ataupun memakainya dikepala. Handuk tidak boleh bersentuhan dengan air karena akan dianggap najis.

Untuk menjaga kebersihan, pengunjung juga tidak boleh membasahi rambut diarea bak. Setelah selesai mandi pengunjung diharapkan mengusap seluruh tubuh mereka dengan handuk hingga benar-benar kering, karena kembali ke ruang ganti dengan kondisi basah akan dianggap tidak sopan, setelah berendam di dalam bak

17

(26)

disarankan untuk tidak membilas tubuh dengan air dingin, karena ini dianggap akan menghilangkan efek air panas bagi tubuh.

2.2.2 Perkembangan Sentō

Pada awalnya sentō dibuat untuk memenuhi kebutuhan masyrakat Jepang yang tidak memiliki bak mandi pribadi di kediamannya. Tercatat hingga pertengahan 1960an hanya sekitar 60% rumah di Jepang yang memiliki bak mandi di dalam rumah mereka. Sentō menjadi sangat populer pada periode Edo (1603- 1868) sebagai fasilitas yang digunakan setiap hari oleh orang biasa. Pemandian umum pertama di Edo (nama sebelumnya untuk Tokyo) dibangun pada 1591 oleh seorang pria bernama Ise Yoichi, keberhasilan sentō ini membuat banyak pihak membuka fasilitas yang sama. Untuk menarik pelanggan mereka biasanya beroperasi di sudut-sudut jalan yang strategis dan ramai dilewati orang sehingga mudah ditemui seperti di pasar dan jalan-jalan ke kuil.

Selama periode Edo, bak pemandian umum biasanya berada di ruangan gelap tanpa jendela dengan pintu masuk yang rendah, ini dilakukan untuk mencegah uap air keluar. Tetapi pada awal zaman Meiji ada peraturan yang mengharuskan sentō memiliki bangunan yang lebih terbuka. Sekarang ini banyak perkembangan yang mempengaruhi budaya mandi di sentō seperti perkembangan pada pipa dalam ruangan yang dipakai sampai pada perkembangan bahan bakar impor, ini membuat pengoprasian sentō semakin memakan biaya tinggi, dan secara tidak langsung membuat pengelola sentō menaikan biaya administrasi.

Peran pemandian umum seperti sentō juga sudah tergantikan dengan private ofuro dikarenakan kenyamanan dan privasi.

(27)

Sekarang terdapat sentō yang diperuntukan untuk para lansia. Sentō yang dimodifikasi sesuai kebutuhan fisik kaum lanjut usia, dimana mereka bisa mandi dengan nyaman dan dapat menikmati berendam dengan mengobrol bersama teman-temannya. Salah satu dari banyaknya pengguna sentō ialah mahasiswa ataupun pekerja asing yang tinggal di Jepang, yang biasanya memiliki kamar sewa kecil atau bergaya tradisional, yang mengharuskan mereka pergi ke pemandian umum jika ingin berendam.

Pada tahun 2013 tercatat 5.200 sentō yang beroprasi diseluruh Jepang, namun jumlah ini semakin menurun, tercatat 300 sentō tutup setiap tahunnya. Hal ini dikhwatirkan akan berdampak pada hilangnya budaya mandi di sentō pada masyarakat Jepang. Untuk tetap mempertahankan mandi bersama di sentō, para pemilik pemandian umum ini banyak bekerja sama dengan pengusaha untuk membangun areal perumahan yang lebih kecil yang dapat dipenuhi kebutuhan mandinya dengan sarana tempat mandi umum miliknya. Dengan demikian, di Jepang terdapat dua jenis areal tempat tinggal, yaitu areal yang tidak mempunyai kamar mandi sendiri, tetapi memiliki fasilitas sentō pada apartemennya, dan areal yang memiliki kamar mandi sendiri.

Untuk mengikuti perkembangan zaman sentō mulai dibangun dengan versi modern, ialah super sentō. Super sentō biasanya menawarkan lebih dari 15 jenis pemandian yang berbeda, seperti jacuzzi, sauna dan salon kecantikan.

19

(28)

2.3 Onsen

2.3.1 Pengertian dan Sejarah Onsen

Negara Jepang memiliki banyak gunung vulkanik yang memasok air panas ke lebih dari 20.000 onsen di seluruh Jepang, setiap menitnya onsen di Jepang dapat menghasilkan 2,6 juta liter air. Ciri geografis Jepang sangat cocok untuk mata air panas karena dikelilingi kira-kira 245 gunung berapi, dan 86 diantaranya masih aktif. Terdapat 5 area onsen yang terkenal di Jepang yaitu Hakone, Kinugawa, Beppu, Wakura, dan Dogo. Onsen (温泉) secara harafiah berasal dari 2 huruf kanji yaitu, 温あたたかい yang berarti hangat dan 泉いずみ yang berarti sumber, mata air. Jadi berdasarkan kanjinya dapat diartikan bahwa onsen adalah sumber atau mata air hangat.

Tradisi mandi di onsen dalam masyarakat Jepang telah berkembang sejak zaman dahulu. Onsen dikenal sejak era Kamakura dan Sengoku (pada abad ke 12 dan 17 Masehi). Pada sejarahnya para petani dan samurai biasanya akan pergi ke onsen untuk bersantai. Pada saat itu para samurai akan berendam di air panas alami dengan kandungan air mineral untuk menyembuhkan luka-luka setelah perang. Tradisi mandi di onsen hampir sama dengan di sentō, yang membedakan hanya air panas yang ada di onsen merupakan air panas alami yang berasal dari perut bumi, sedangkan di sentō merupakan air panas buatan.

Sebuah onsen harus mengandung salah satu dari 19 mineral yang berbeda seperti kadar ion hidrogen, sulfur, maupun fluorin yang harus sesuai hukum onsen yang diberlakukan oleh pemerintah Jepang, pada tahun 1948. Contohnya adalah persyaratan seperti tingkat asam metabolik (HBO2) lebih besar dari 5 mg / kg,

(29)

atau konsentrasi ion hidrogen lebih besar dari 1mg / kg, dan seterusnya.

Persyaratan ini untuk memastikan bahwa onsen dapat memberikan tingkat kehangatan dan nutrisi yang paling mereka perhatikan. Undang-undang ini juga mengatur syarat kisaran suhu mata air. Saat seseorang memasuki onsen disarankan untuk meminum air terlebih dahulu untuk mencegah dehidrasi, dan tidak banyak mengkonsumsi alkohol sebelum berendam. Mengingat banyak pengunjung yang meminum sake maupun minuman alkohol lainnya saat pergi ke onsen. Setelah berendam disarankan untuk meminum air, teh, ataupun minuman isotonik lainnya, namun meminum susu setelah berendam di onsen juga populer bagi masyarakat Jepang.

Onsen biasanya berada dikawasan pegunungan, disekitar pegunungan, dibawah kaki gunung, atau tepian pantai. Bentuknya hanya berupa kolam yang luas dan bukan merupakan tempat berenang. Sumber air panas yang ada di onsen biasanya memiliki 2 sumber panas yaitu, magma yang berada di dasar gunung merapi dan panas yang bukan dari gunung merapi.

2.3.2 Perkembangan Onsen

Pada masa pengenalannya (zaman Kamakura) onsen dilakukan didaerah terpencil, ini dilakukan untuk menjaga keselamatan para samurai dari para musuh.

Pada zaman Edo (abad 17-19) onsen mulai diperkenalkan pada publik, hingga zaman Meiji (pada awal abad 20) perkembangan onsen semakin pesat, onsen tidak hanya dapat ditemui di daerah pegunungan saja, namun juga di tengah kota.

Diperkirakan telah ditulis pada catatan izumo no kuni fudoki yang ditulis pada tahun 733 yang menjelaskan tentang Tamatsukuri onsen, yang terletak di

21

(30)

Prefektur Shimane, mata air panas yang menyembur di daerah ini mengalir di sepanjang tepi sungai. Mata air panas yang keluar tepat di tempat dengan pemandangan yang menghadap ke darat dan laut. Pria dan wanita, tua dan muda bolak-balik disepanjang jalan mengikuti pantai dengan hiruk-pikuk, menikmari waktu dengan minum dan bersenang-senang. Ketika mereka mandi di pemandian air panas, mereka mendapati kulit yang lebih sehat dan semua rasa nyeri hilang.

Dari sini mereka mulai menyebutnya “air dewa”.

Perkembangan onsen dapat dilihat dari, banyaknya hotel-hotel maupun ryoukan yang menyediakan fasilitas onsen di dalamnya. Biasanya pihak hotel maupun ryoukan akan memberikan yukata (kimono musim panas atau jubah mandi), dengan kamar bergaya tradisional Jepang yang dilengkapi dengan futon, teh tradisional dan snack yang disajikan untuk mendukung fasilitas onsen di dalam hotel tersebut.

2.4 Rotenburo

Rotenburo merupakan salah satu jenis pemandian air panas (onsen), namun rotenburo merupakan outdoor onsen. Biasanya rotenburo terdiri dari sebuah kolam yang terletak di luar ruangan langsung bebas di alam terbuka.

Pemandian ini dibuat diluar ruangan bertujuan agar pengunjung dapat menikmati pemandangan sambil berendam santai, karena itu rotenburo jauh lebih populer daripada onsen dalam ruangan.

Rotenburo yang ideal menawarkan pemandangan yang menyenangkan, lingkungan yang alami serta udara yang segar. Biasanya masyarakat akan menikmati berendam saat musim semi dengan pemandangan indahnya bunga

(31)

yang sedang mekar, ataupun saat musim dingin dengan dikelilingi salju yang putih. Banyak orang Jepang yang sangat menyukai berendam di rotenburo dengan waktu yang lama, seiring perkembangannya kita dapat menemukan bermacam- macam jenis rotenburo di Jepang seperti :

a. Rotenburo alami, sebuah lubang ditanah dengan pasokan air panas yang terus mendidih, biasanya lubang-lubang tersebut merupakan sisa-sisa kolam renang kuno buatan manusia, dan biasanya terdapat di daerah- daerah terpencil. Salah satu rotenburo alami ialah air terjun panas, tetapi rotenburo alami ini berpotensi bahaya, dikarenakan tidak adanya pengelolaan. Air yang ada didalam lubang sewaktu-waktu bisa menjadi terlalu panas.

b. Konyoku adalah rotenburo campur, dimana pria dan wanita akan mandi bersama. Dibeberapa tempat konyoko memberlakukan mandi tanpa busana, tetapi tidak jarang yang memperbolehkan memakai handuk ataupun yukata. Konyoku yang memberlakukan mandi tanpa busana biasanya diisi 80 % laki-laki, dan ini biasanya terdapat di pedesaan, di Tokyo menurut peraturan setempat konyoku tidak diizinkan.

c. Waterpark rotenburo, pemandian umum yang terbuka untuk umum, memiliki fasilitas spa yang besar serta taman air dan kolam renang, yang memungkinkan penggunaan pakaian renang.

d. Mineral rotenburo adalah rotenburo dengan air panas alami yang memiliki banyak mineral seperti sulfur, natrium klorida, hidrogen karbonat dan besi. Ini dianggap sangat bermanfaat bagi kesehatan.

23

(32)

e. Rotenburo pribadi, banyak hotel , resor dan spa yang menawarkan onsen pribadi untuk disewakan. Rotenburo ini merupakan pilihan populer untuk dinikmati bersama keluarga, pasangan dan teman. Banyak hotel ataupun ryokan yang menawarkan rotenburo pribadi dikamar hotel. Biasanya terletak di balkon ataupun di teras.

2.5 Mandi Campur

Kebiasaan mandi bersama dengan lawan jenis di Jepang telah dilakukan sejak zaman dahulu. Dalam Izumo fudoki, tercatat mandi campur di pemandian umum mulai dilakukan pada abad ke 7. Kebiasaan ini sekarang banyak dilukiskan dalam sketsa. Pada zaman Edo mandi campur merupakan hal yang umum, hingga akhirnya pada abad ke 18 pemerintah mengeluarkan larangan untuk mandi campur. Larangan ini hanya berlaku efektif di Edo, untuk daerah lain banyak yang mengabaikan. pada awal zaman Meiji terdorong kritik dari negara barat yang mempengaruhi hubungan luar negri, pemerintah Jepang mewajibkan pemisahan jenis kelamin pada pemandian-pemandian umum di Jepang. Pada awalnya pemisahan ini hanya dilakukan dengan memberi sekat berupa bambu ataupun tali sebagai batas, namun semakin lama diikuti dengan perubahan pada pemisahan pintu masuk, ruang ganti pakaian dan fasilitas-fasilitas lainnya. Saat ini pemandian umum yang memberlakukan mandi campur semakin jarang, dan biasanya terletak di pedesaan. kalaupun ada, yang mengunjungi adalah orang-orang lanjut usia.

(33)

2.6 Etika Pemandian Umum Di Jepang

Mandi di pemandian umum bagi masyarakat Jepang telah menjadi sebuah kebiasaan yang telah dilakukan dari generasi ke generasi, dari kebiasaan inilah tercipta tahap-tahap kegiatan yang dilakukan seseorang ketika mandi di pemandian umum di Jepang.

Sebelum memasuki area bak mandi seseorang harus terlebih dahulu menanggalkan pakaian dan menyimpannya di dalam loker, setelah itu pengunjung harus membilas tubuh mereka sampai bersih di wilayah bilas yang berupa ruangan bersekat dilengkapi dengan bangku kecil. Bangku kecil digunakan ketika seseorang berbilas, setiap pengunjung harus memastikan tubuh mereka bersih ketika akan memasuki yubune. Untuk kegiatan keramas mereka akan melakukannya diruang bilas. Kebersihan ruang bilas harus dijaga setiap pengunjung, tidak dibenarkan meninggalkan bilik dengan busa shampoo yang masih tertinggal di lantai, pengunjung harus memastikan ruang bilas tetap bersih.

Jepang dikenal sebagai bangsa yang memiliki jiwa disiplin yang tinggi, dan sangat menghormati pandangan orang lain. Mereka akan mengutamakan kepetingan orang lain daripada diri sendiri. Melalui budaya mandi bersama di pemandian umum kita dapat merasakan budaya disiplin Jepang yang sangat kuat.

Sebelum masuk ke sebuah pemandian seseorang harus memperhatikan peraturan yang berlaku di tempat tersebut, setiap pengunjung harus mematuhi peraturan yang berlaku agar tidak merugikan pengunjung lainnya. Peraturan yang dibuat mencakup barang-barang yang disarankan untuk dibawa saat mandi dan orang yang tidak diperbolehkan masuk ke bak mandi.

25

(34)

Barang-barang yang disarankan untuk dibawa saat mandi dipemandian umum adalah :

1. Tali rambut atau jepit rambut bagi orang yang memiliki rambut panjang, agar rambut tidak terjuntai dan masuk kedalam air. Rambut yang masuk kedalam air dianggap bisa mengotori air.

2. Handuk kecil yang akan dibawa ke area bak mandi. Hal ini dilakukan karena membawa handuk besar tidak efisien, kebanyakan pengunjung akan meletakan handuk kecil di kepala mereka.

3. Sabun dan shampoo, dikarenakan tidak semua pemandian umum dilengkapi dengan fasilitas sabun dan shampoo.

Orang yang dilarang masuk ke pemandian umum adalah :

1. Orang yang memiliki tato, karena di Jepang orang yang memiliki tato identik dengan yakuza.

2. Orang yang sakit, orang yang memiliki riwayat penyakit serius seperti penyakit jantung dan ginjal harus berkonsultasi dengan dokter sebelum masuk kedalam pemandian umum, sedangkan untuk orang demam dilarang untuk masuk.

3. Orang dalam kondisi mabuk, hal ini dikarenakan orang yang sedang mabuk cenderung tidak sadar dan berpotensi untuk jatuh dan tenggelam di bak mandi. Selain itu, suhu pemandian juga bisa menyebabkan penurunan tekanan darah dan aritmia yang dapat berakibat fatal.

4. Orang yang sedang datang bulan, hal ini dikarenakan darah wanita yang sedang datang bulan dianggap najis, dan mencegah terjadinya infeksi serta menjaga kebersihan air.

(35)

BAB III

FUNGSI SOSIAL TRADISI MANDI 3.1 Fungsi Sosial Ofuro

Budaya mandi dengan berendam di ofuro pada masyarakat Jepang sudah dikenal sejak zaman dahulu, dan pada abad ke 7 semakin banyak penggunaan ofuro pada rumah tangga Jepang. Giliran pemakaian ofuro dalam rumah tangga Jepang pada umumnya diperuntukan untuk laki-laki paling tua di rumah tersebut.

Namun apabila dalam suatu kediaman memiliki tamu yang berkunjung, tamu akan dipersilahkan untuk mandi terlebih dahulu diikuti dengan orang-orang yang dihormati atau dituakan dalam rumah tersebut, setelah itu akan diikuti oleh anak- anak dan anggota keluarga yang lebih muda. Sedangkan untuk wanita pada umumnya akan mandi paling akhir setelah semua selesai menggunakan ofuro.

Kebiasaan untuk mengutamakan giliran laki-laki sebagai orang yang pertama kali menggunakan ofuro dapat dilihat dari tradisi memandikan bayi pada masyarakat Jepang. Adalah tradisi ubuyu, tradisi memandikan bayi untuk membersihkan diri dari pencemaran setelah dilahirkan. Pelaksanaan ubuyu umumnya dilakukan dengan meletakan bayi yang baru lahir dalam baskom berisi air hangat, biasanya bayi yang diletakan sudah dibersihkan dari kotoran sisa persalinan, kemudian dibasuh dengan air.

Keluarga bangsawan Jepang dimasa lalu umumnya menghadirkan seorang ahli untuk memimpin upacara ini. Dikalangan masyarakat biasa, pelaksanaan ubuyu sangat bervariasi. Mulai dari yang sederhana dilakukan oleh bidan, hingga yang rumit yang dilaksanakan dengan berbagai macam aturan.

Ubuyu mungkin juga dilakukan berkali-kali selama berhari-hari, tujuan dari

27

(36)

tindakan ini adalah untuk menambah keberuntungan dan kesehatan bagi bayi yang baru lahir.

Terdapat kecenderungan untuk memandikan bayi laki-laki lebih sering daripada bayi perempuan, ada yang memandikan bayi laki-laki sebanyak limapuluh kali, sedangkan bayi perempuan tigapuluh kali. Pembedaan ini didasarkan pada pertimbangan akan tantangan dalam membesarkan anak. Seorang anak laki-laki dipandang lebih sulit dididik daripada anak perempuan. Mereka juga akan tumbuh dengan beban yang lebih berat daripada anak perempuan.

Mereka akan menjadi kepala keluarga kelak ketika ia sudah dewasa dan membangun rumah tangganya sendiri.

Kecenderungan memberi lebih pada laki-laki juga dapat dilihat dari kebiasaan mandi orang Jepang, yang mendahulukan giliran laki-laki dalam pemakaian ofuro. Karena air yang pertama kali digunakan didalam ofuro merupakan air terpanas, paling bersih serta sangat paling diinginkan. Hal ini juga dianggap istimewa, karena orang yang menggunakan ofuro pertama tidak perlu menunggu giliran untuk menggunakan kamar mandi. Laki-laki dipandang sebagai figur utama dalam keluarga, sandaran keluarga, maka dari itu mereka layak diberikan bagian terbaik, salah satunya dipersilahkan menggunakan ofuro pertama kali.

Di rumah, interaksi dalam ofuro umumnya terjadi antara orangtua dan anak atau kakek dan nenek dengan cucu mereka. Pada umumnya anak laki-laki akan mandi bersama ayahnya, sedangkan anak perempuan akan mandi bersama ibunya, dan kebiasaan yang dilakukan sejak anak-anaknya masih berusia balita.

(37)

Mandi dengan anak-anak dianggap penting di Jepang, karena dipercaya dapat membangun ikatan yang lebih erat antara orangtua dan anak.

Hubungan antara ibu dan anak melalui kontak fisik saat mandi sangatlah penting. Kesempatan kontak fisik ini sama pentingnya seperti hubungan yang terjalin ketika tahap seorang ibu menyusui. Kontak fisik yang biasanya terjadi saat mandi seperti kebiasaan menggosok punggung sembari bercakap-cakap. Saat mandi bersama ini banyak hal yang dibicarakan anatara orang tua dan anak mereka. Topik yang juga penting diajarkan saat mandi ialah pengetahuan tentang tubuh manusia. Ketika mandi bersama seorang anak akan belajar bagaimana cara menjaga dan merawat organ-organ tubuh mereka pada orangtuanya.

Bagi sebagian masyarakat Jepang baik laki-laki maupun perempuan , masih mandi bersama orangtuanya hingga menginjak usia remaja, yaitu hingga usia SMP dan SMA. Menurut sebuah survey yang dilansir dari sebuah website sirabee.com dimana survey tersebut dilakukan terhadap wanita berusia rata-rata 20 sampai 30 tahun, dengan menanyakan apakah mereka masih mandi dengan orang tua mereka hingga menginjak bangku SMP dan SMA. Lebih dari 10%

kaum wanita tersebut mengatakan bahwa mereka masih mandi bersama orangtua masing-masing hingga menginjak usia SMP. Sebuah sekolah khusus pria di Jepang, melakukan sebuah survey terhadap seluruh murid kelas 2 SMP sekolah tersebut, menyatakan bahwa berdasarkan survey yang telah dilakukan, lebih dari setengah jumlah murid kelas 2 SMP tersebut masih mandi dengan ibunya. Dan mayoritas dari mereka umumnya adalah murid yang memiliki nilai-nilai pelajaran yang tinggi. Hal ini dikatakan sebagai efek dari sebuah budaya “skinship” yaitu

29

(38)

sebuah istilah dalam bahasa Jepang untuk mengartikan kontak fisik untuk saling terbuka antara seorang ibu dan anaknya.

(https://soranews24.com/2016/01/19/survey-suggests-surprising-number-of- japanese-kids-bathe-with-their-parents-up-until-high-school/)

Dapat disimpulkan bahwa keberadaan ofuro dalam sebuah kediaman di Jepang, memberikan banyak manfaat bagi penggunanya. Selain sebagai salah satu bentuk penghormatan kepada kaum laki-laki ataupun orang-orang yang dihormati, penggunaan ofuro bersama orangtua juga dapat mempererat hubungan antara anak dan orangtuanya.

3.2 Fungsi Sosial Sentō

Seperti yang dikemukakan pada bab sebelumnya, orang Jepang terbiasa untuk mandi bersama. Meskipun penggunaan ofuro pada rumah tangga Jepang dapat ditemui di seluruh penjuru Jepang, namun pemandian umum seperti sentō, onsen dan rotenburo dengan mudah kita dapati. Hal ini dikarenakan kebiasaan mereka untuk mandi bersama di pemandian umum. Kesempatan untuk mandi bersama ini mereka peroleh paling banyak adalah ketika mereka pergi ke pemandian umum seperti sentō dan onsen.

Ketika pergi ke pemandian umum atau sumber mata air panas, yang mereka jumpai adalah orang-orang diluar lingkup keluarga. Ketika seseorang pergi mengunjungi pemandian umum seperti sentō, orang tersebut akan memiliki kesempatan untuk mandi bersama orang lain, seperti bersama teman kantor, teman kuliah bahkan orang yang tidak dikenal.

(39)

Sentō sebagai salah satu pemandian umum yang digemari masyarakat Jepang dari tahun ke tahun mengalami penurunan, hal ini dikarenakan penggunaan ofuro pada setiap rumah tangga. Meskipun popularitas sentō telah menurun, tetapi masih banyak pengunjung yang tetap datang untuk mandi disana sekalipun mereka sudah memiliki ofuro di kediamannya. Hal ini menunjukan bahwa pengunjung mendapatkan sesuatu yang lebih ketika mandi di sentō daripada sekedar mandi.

Dibeberapa daerah, pemandian umum seperti sentō berfungsi sebagai pusat komunitas. Ketika berada disentō orang-orang banyak bertemu, berkenalan, dan bertukar informasi.

Sentō telah lama menjadi tempat dimana para tetangga bertemu, dari berbagai generasi datang dan mandi bersama. Beberapa orang bahkan datang ke sentō bersama-sama, minum bersama-sama , sebelum akhirnya pulang ke rumah masing-masing untuk kembali ke sentō tersebut besoknya. Hal ini merupakan dampak dari perkembangan sentō. Pemilik sentō yang tidak igin usahanya tutup, bekerjasama dengan pengusaha areal perumahan untuk mendirikan sentō di komplek-komplek perumahan, yang membuat sentō menjadi tempat bertemunya para tetangga.

Keberadaan sentō dalam sebuah perumahan membawa dampak yang besar bagi masyarakat Jepang. Orang Jepang dikenal sebagai masyarakat gila kerja, mereka akan menghabiskan hari ditempat kerja dan tidak memiliki waktu untuk bersosialisasi dengan tetangga tempat mereka tinggal. Sentō menjadi salah satu pilihan mereka untuk bertemu tetangga, saling menyapa ataupun bertukar informasi. Mereka tetap bisa bersosialisasi dengan orang lain sembari merelaksasikan diri dengan berendam di sentō.

31

(40)

relaksasi yang didapatkan saat berendam juga erat kaitannya dengan kebersihan diri. Filosofi kebersihan Jepang dengan mandi di rumah maupun dipemandian umum diungkapkan Boye De monte (1983:37) :

“ in their home and hotspring spa baths, the Japanese still enjoy the healty practice of mixed bathing. While not overtly sexual, bathing is still very sesual in activity in Japan. They have recognized since ancient times, the lustration effect of water that bathing not always dirty but spiritual and emotional grime as well. A good scrubing followed by a relaxing soak in a hot tub has the effect of returning one to a virginal state of mind”

Dirumah dan di spa pemandian air panas, mereka tetap menikmati terapi kesehatan dari mandi bersama. Mandi di Jepang tetap menjadi aktivitas yang sensual, dan hal itu telah diakui sejak zaman kuno. Kebersihan yang dicapai dengan air mandi bukan hanya kebersihan fisik melainkan kebersihan spiritual dan emosional. Berendam di bak mandi memiliki efek mengembalikan keadaan pemikiran suci.

Orang-orang yang telah terbiasa mandi di sentō, akan merasa aneh dan asing ketika mereka berhenti pergi ke sentō. Mereka akan merasa sepi dan terisolasi. Yang mereka dapatkan ketika mandi di sentō tidak hanya sebuah badan yang bersih dengan mandi, tetapi hubungan sosial yang tidak akan mereka dapatkan saat mereka mandi dengan ofuro pribadi di rumah.

Ketika mandi bersama di dalam sentō, orang-orang diharuskan untuk melepas seluruh pakaian yang dikenakan dan berendam dengan keadaan tanpa busana, perilaku ini menunjukan konsep pencampuran sosial, dimana kaum elit dan rakyat jelata bergabung tanpa ada perbedaan. Hal ini dianggap karena, saat

(41)

memasuki pemandian seseorang tidak hanya menanggalkan pakaian saja melainkan status sosial mereka.

Ketika mandi bersama terciptalah apa yang disebut dengan 裸はだかの付つき い” hadaka no tsukiai” yaitu gaul telanjang, yang mana orang Jepang menganggap ketelanjangan bukan merupakan suatu fenomena yang aneh, mereka menganggap itu merupakan suatu hubungan yang akrab dan lebih personal.

Selain itu, Shinobu Machida (dalam Talmadge : 2006:42) , seorang ahli sentō mengungkapkan pula :

Shinto and our buddhism are also very tolerant of exposing the body, much more so than buddishm in the asian content. Because we are and island nations, there was feeling that we are family and thus there was less resistance to a certain amount of nudity in certain situations.

Shinto dan budha kami juga sangat toleran dengan menunjukan tubuh, lebih daripada budha lain di Asia. Karena kami negara kepulauan , ada perasaan bahwa kita semua keluarga, oleh karena itu ada sedikit perlawanan dengan ketelanjangan tertentu pada waktu tertentu.

Dari pernyataan tersebut dapat disimpulkan bahwa istilah hadaka no tsukiai tidak timbul begitu saja, namun juga turut didukung oleh sistem kepercayaan masyarakat Jepang, yang mana dalam pernyataan diatas disebut adalah shinto dan budha Jepang. Kepercayaan yang dianut bangsa Jepang menoleransi ketelanjangan dalam kondisi tertentu, hal ini telah mempengaruhi budaya mandi bersama di Jepang.

(42)

Dari fakta-fakta diatas dapat disimpulkan bahwa dengan pergi mandi ke sebuah sentō seseorang akan berinteraksi secara alami dan bergaul tanpa membawa status sosial. Bahkan Scott Clark (1998: 243) :

“The sento has long been though of as a place for children to learn about life and becoming a member of community”

Sento telah lama menjadi tempat anak-anak untuk belajar tentang kehidupan dan menjadi anggota dari komunitas. Mereka akan meniru apa yang dilakukan orangtua mereka, bertegur sapa dengan orang-orang yang dijumpai di pemandian, sopan santun saat berada di pemandian, serta pengendalian diri.

Karena berada di ruang publik, maka seseorang yang sedang mandi bersama dengan orang lain harus juga memikirkan orang-orang sekitarnya: bagaimana agar sikap mereke tidak mengganggu orang lain, dan membina komunikasi dengan pengunjung lain. Mereka tidak merasa aneh mandi bersama orang lain dengan kondisi telanjang karena mereka menggap itu merupakan suatu proses pengakraban.

3.3 Fungsi Sosial Onsen

Keberadaan onsen di Jepang didukung oleh kondisi alam Jepang yang banyak memiliki gunung vulkanik, hal ini menjadikan onsen sebagai salah satu ciri khas Jepang. Banyak wisatawan dalam negeri maupun luar negeri datang untuk menikmati berendam di dalam onsen. Onsen yang bersumber dari perut bumi menghasilkan manfaat yang baik bagi kesehatan maupun kecantikan.

(43)

Menurut shintoisme di Jepang mandi di dalam onsen mempunyai makna ritual permainan dan kebersihan atau menyucikan diri, sedangkan menurut konfusianisme onsen berperan sebagai sarana sosialisasi dan komunikasi bagi masyarakat. Di tempat pemandian orang-orang berendam bersama-sama di dalam kolam yang sama dalam suasana santai sehingga komunikasi yang terjadi terjalin dengan baik.

Pergi ke onsen merupakan kegiatan yang menyenangkan bagi masyarakat Jepang, biasanya mereka akan pergi bersama keluarga, teman sekolah, komunitas maupun teman kantor. Dengan pergi ke onsen mereka tidak hanya menikmati waktu dengan berendam, tetapi mereka juga bisa berinteraksi dengan teman-teman kelompok mereka. Sama seperti sento, saat mandi didalam onsen juga seseorang telah menanggalkan status sosial mereka. Bagi seorang pekerja yang pergi ke onsen dengan atasannya, batas antara atasan dan bawahan seperti konsep

jōge kankei” yang sangat kental dalam dunia pekerjaan di Jepang secara otomotatis luruh. Mereka akan melupakan batasan yang ada, dan berinterkasi selayaknya seorang yang sederajat, dan menjadi satu kelompok.

Dengan pergi berendam ke onsen bagi karyawan perusahaan merupakan cara melepaskan penat dari segala beban pekerjaan. Berendam di onsen membuat pikiran mereka rileks dan tenang, sehingga membuat diri mereka segar kembali dan menjadi lebih produktif. Banyak perusahaan di Jepang kadang-kadang memberikan hari libur bagi karyawannya untuk dapat berendam di onsen, dengan harapan saat seseorang telah kembali dari onsen akan menjadi lebih produktif kembali.

35

(44)

Pergi ke onsen dengan teman-teman kelompok atau sekantor pada masyarakat Jepang menjadi sebuah kebiasaan yang sarat makna, bagi orang Jepang yang dikenal sebagai masyarakat yang memiliki mentalitas kelompok yang tinggi, pergi bersama-sama dan menghabiskan waktu bersama merupakan sesuatu yang penting. Takie Sugiyama Lebra(1976: 115) memaparkan :

“the outward communication of unity typically takes the form of play and enjoyment- doing pleasurable things together. Small wonder that Japanese go in for group participation in eating, drinking, singing, and dancing. Even sleeping and bathing together with one’s peers is a culturally endorsed expression. There’s an expression, hadaka no tsukiai, which means companions in nudity or naked association. The idea is that by sharing the same bath and bathwater, you do away with all the normal social barriers in life and can forge closer bounds.

Occasionally i also hear the expression bath are best friends, and it’s true that the atmosphere of the bath makes possible the closeness rarely experienced otherwise in Japanese life.”

Bahwa kedekatan dan rasa memiliki terhadap suatu kelompok ditunjukan dengan melakukan hal-hal yang menyenangkan secara bersama-sama. Tidak heran bahwa orang Jepang pergi untuk pergi makan, minum , menyanyi dan berdansa dengan grupnya. “Melakukan sesuatu bersama-sama” mengharuskan “bersama”

dalam ruang yang sama. Kebanyakan orang Jepang memperkuat kedekatan dengan sentuhan fisik seperti : menyentuh, mendorong, saling menggosok punggung dan saling menunjukan interaksi intim.

(45)

Teori hadaka no tsukiai juga berlaku untuk budaya mandi dalam onsen.

Hadaka no tsukiai yang diungkapkan oleh Alexia Brue, merupakan jalan untuk merasakan ikatan yang lebih dekat.

“There’s an expression, hadaka no tsukiai, which means companions in nudity or naked association. The idea is that by sharing the same bath and bathwater, you do away with all the normal social barriers in life and can forge closer bounds. Occasionally i also hear the expression bath are best friends, and it’s true that the atmosphere of the bath makes possible the closeness rarely experienced otherwise in Japanese life.”

Ada sebuah ungkapan, hadaka no tsukiai, yang dimana artinya bergaul telanjang atau asosiasi telanjang. Dengan mandi bersama, seseorang akan menyingkirkan status sosial dalam kehidupan normal dan menciptakan kedekatan, karena keadaan saat mandi memungkinkan kedekatan yang sangat jarang di Jepang.

Selain menjadi wadah interaksi tanpa batas pada masyarakat Jepang, onsen memiliki manfaat yang sangat baik bagi kesehatan. Air alami yang berasal dari perut bumi mengandung bermacam-macam mineral seperti sulfur, hidrogen dan flourin membuat onsen sangat bermanfaat untuk mengobati penyakit rematik, penyakit saraf dan kelainan ginekologi. Dan bermanfaat bagi kencantik yang dipercaya dapat menghaluskan kulit.

Sebuah ungkapan “isshukan hitogemuri” (satu minggu kunjungan) sering digunakan dalam membahas terapi di sumber air panas untuk mengobati kondisi medis dan meningkatkan kesehatan. Ketika orang membenamkan diri pada air panas seseorang mendapatkan efek stimulasi dari mineral dalam

37

(46)

kandungan air. Dokter-dokter resmi mulai menggunakan mata air panas untuk panas untuk terapi pada periode Edo (1603-1868). Seorang ahli pengobatan tradisional, Gotō Konzan (1659-1733) membantu 200 pekerja magang, yang mengalami krisis dalam pengobatan di tiongkok. Konzan mengemukakan teori ikki ryū tai (penyumbatan energi), yang menduga manusia menjadi sakit karena penyumbatan dalam tubuh. Dan mulai berpikir untuk menyembuhkan penyakit melalui pelepasan energi yang tersumbat dalam tubuh. Ini adalah metode untuk merangsang sistem saraf simpatik. Jadi, untuk mengembalikan keseimbangan energi dan merasa lebih berenergi, seseorang harus berendam di mata air yang sangat panas.

3.4 Fungsi Sosial Rotenburo

Rotenburo merupakan termasuk onsen yang paling digemari oleh masyarakat Jepang. Yang membedakan rotenburo dengan onsen biasa adalah, rotenburo merupakan pemandian yang lebih menonjolkan keindahan alamnya.

Rotenburo yang terdiri dari kolam-kolam yang berada di alam bebas dengan pemandangan alam Jepang.

Seperti yang kita ketahui bangsa Jepang selalu menjaga keharmonisannya dengan makhluk hidup maupun alam, mereka akan menjaga alam dan menganggap alam sebagai sesuatu yang harus dihormati. Meskipun mereka terkenal sebagai masyarakat dengan teknologi yang sangat maju tetapi masyarakat Jepang sangat menyukai konsep alami. Budaya mandi di rotenburo menjadi sangat populer di Jepang, dikarenakan minat besar penduduk Jepang terhadap alam.

(47)

Melalui budaya mandi di rotenburo orang Jepang menaruh perhatian khusus pada segala sesuatu yang natural dan berkaitan dengan alam. Mereke sedapat mungkin menhadirkan alam dalam keseharian mereka. Ini dianggap merupakan cara berkomunikasi dan menyatu dengan alam.

Biasanya mereka akan berendam di ofuro saat bunga-bunga bermekaran pada musim semi, bunga-bunga yang gugur. Sementara untuk musim salju mereka akan pergi ke onsen biasa, karena cuaca yang begitu dingin, namun ada beberapa pemandian yang buka dengan pemandangan pegunungan yang diselimuti salju.

Segala keindahan yang ditawarkan saat seseorang mandi di rotenburo menjadi magnet bagi masyarakat Jepang maupun luar, menjadikan rotenburo sebagai sarana rekreasi. Aneka macam rotenburo dapat kita temui di Jepang, seperti mineral rotenburo yang terdiri dari air panas alami yang mengandung mineral yang tinggi. Waterpark rotenburo yang menyajikan pemandian dengan tema taman air dan kolam berenang, serta rotenburo pribadi yang bisa dinikmati bersama keluarga.

Biasanya orang akan pergi ke rotenburo bersama teman sekolah, teman kantor ataupun keluarga. Sama seperti onsen dan sento, saat seseorang mandi di rotenburo mereka akan berinteraksi dengan orang yang mereka kenal maupun tidak. Rotenburo masih menjadi pemandian umum terfavorit di Jepang, keindahan alam yang dapat dinikmati saat berendam di rotenburo terkadang juga dimanfaatkan sebagai bisnis. Tidak jarang orang Jepang akan mengadakan rapat ataupun pertemuan bisnis dengan berendam di rotenburo, karena saat berendam mereka akan terbuka satu sama lain.

39

(48)

Umumnya manfaat onsen biasa dengan rotenburo adalah sama, keduanya sama-sama pemandian umum dengan air alami dari perut bumi, namun saat mandi di onsen seseorang lebih mencari manfaat bagi kesehatan, sedangkan saat mandi di rotenburo pengunjung lebih menikmati pemandangan disekitar rotenburo daripada manfaat kesehatan dari berendam di rotenburo tersebut.

(49)

BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN

4.1 Kesimpulan

Hasil yang didapat setelah penulis menganalisa tentang fungsi tradisi mandi pada masyarakat Jepang adalah :

1. Penggunaan ofuro dalam rumah tangga Jepang menunjukan pengohormatan terhadap kepala keluarga maupun orang yang dituakan dalam keluarga. Hal ini dilakukan sebagai bentuk penghargaan karena seorang keluarga dianggap sebagai figur utama dalam keluarga, dan sandaran keluarga. Biasanya anak- anak akan menggunakan ofuro bersama ayah dan ibu mereka, budaya skinship yang tercipta antara orangtua dan anak pada saat mandi di ofuro menciptakan sifat saling terbuka. Sebuah survey pada siswa sebuah SMP di Jepang menyatakan bahwa mereka yang masih berendam di ofuro bersama ibunya cenderung memiliki nilai yang lebih tinggi.

2. Sento sebagai pemandian umum berperan sebagai salah satu wadah perkumpulan bagi masyarakat Jepang, umumnya pengunjung yang datang ke sento adalah tetangga sekitar perumahan. Meskipun penggunaan ofuro pribadi pada rumah tangga Jepang telah banyak, tetapi masih banyak orang yang datang ke sento, karena pengalaman yang didapatkan saat berendam di sento tidak akan mereka dapati saat berendam di ofuro pribadi. Keberadaan sento menjadi salah tempat bertemu dan bersosialisasi antar tetangga yang kesehariannya sibuk dengan aktivitas pekerjaan. Dengan membawa anak pergi ke sento akan membiasakan mereka untuk terlibat dalam masyarakat

41

Gambar

Gambar 1: Pemakaian ofuro kayu pada  zaman dahulu
Gambar 4 : Pergi dan menyewa rotenburo pribadi bisa menjadi pilihan liburan  keluarga Jepang
Gambar 6 : Interaksi yang terjadi pada pemandian umum
Gambar  8 : berendam di rotenburo sambil menikmati pemandangan alam  bersama teman.

Referensi

Dokumen terkait

Bab ini berisi pemaparan penulis tentang gambaran umum lokasi penelitian, kegiatan-kegiatan ritual kolektif yang dilakukan di lingkungan desa Klepu RW 2, interaksi